Sejak Maret 2020, pandemi Covid-19 telah mewabah di Indonesia. Pandemi mempengaruhi setiap aspek kehidupan, salah satunya adalah aspek ekonomi. Pada triwulan I-2020, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 2,97%, sedangkan pada triwulan I-2019, perekonomian Indonesia mencapai tingkat pertumbuhan 5,07%. Selanjutnya, laju pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2020 turun tajam menjadi 5,32%. Ini merupakan resesi terburuk sejak resesi 1999 (Damayanti, 2021). Faktanya, Indonesia bukan satu-satunya yang mengalami krisis ekonomi sejak pandemi Covid-19. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pada Seminar Nasional ISEI 2021 bahwa dunia juga mengalami pertumbuhan ekonomi negatif yang sangat kuat sebesar 3,2%. Selain itu, pertumbuhan perdagangan internasional yang biasanya mencapai puluhan persen setiap tahun, turun signifikan menjadi 8,3 persen pada 2020. Ini tidak lebih dari kebijakan nasional yang disebut PSBB atau membatasi mobilisasi umum dan logistik antar negara.
Namun kabar baiknya untuk tahun 2021 adalah ekonomi Indonesia mulai pulih dan dapat lepas dari resesi yang menghancurkan. Badan Pusat Statistik (2021) melaporkan ekonomi Indonesia tumbuh 3,24% pada triwulan III-2021 dibandingkan triwulan sebelumnya dan 3,51% dibandingkan triwulan III tahun sebelumnya. Pembatasan mobilisasi Covid-19 di wilayah antarnegara juga mulai dilonggarkan sehingga meningkatkan fleksibilitas kegiatan ekonomi negara. Pada triwulan I-2022, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05%, dengan sektor pengangkutan dan pergudangan yang memegang peranan penting, memberikan kontribusi sebesar 15,79% terhadap pertumbuhan tersebut. Tahun ini, provinsi di pulau jawa mendominasi struktur ekonomi Indonesia dengan pangsa 57,78% pada kuartal I, dengan output ekonomi naik 5,07% dibandingkan kuartal I 2021.
Wilayah Jawa, khususnya wilayah metropolitan, adalah tempat impian semua penduduknya untuk menemukan kehidupan yang layak. Padahal, sejak pandemi, terutama pada tahun 2021, meningkatnya angka Pengangguran telah menyebabkan krisis ekonomi. Menurut Indayani dan Hartono (2020), Pengangguran adalah angkatan kerja yang belum pernah mendapat kesempatan untuk bekerja, dan angkatan kerja adalah orang-orang yang berusia antara 15 sampai dengan 60 tahun yang memenuhi syarat dan ingin bekerja. Tentu saja, tidak semua orang ingin kehilangan pekerjaan. Banyaknya pemecatan sementara di perusahaan Anda dapat menyebabkan Pengangguran, terutama saat pandemi. Banyak perusahaan tidak mampu membayar upah yang layak kepada pekerja dalam kasus seperti itu, memaksa manajer perusahaan untuk mengurangi jumlah pekerja. Namun, Badan Pusat Statistik (2022) melaporkan bahwa tingkat Pengangguran di Indonesia menurun dari 6,26% pada Februari 2021 menjadi 5,83% pada Februari 2022. Dengan rincian jumlah Pengangguran di Indonesia pada Februari 2021 adalah 8,75 juta, turun menjadi 8,4 juta pada Februari tahun ini dan perlu dipertahankan.
Badan Pusat Statistik Jawa Timur (2018) mengatakan tidak ada yang salah ketika kita ingin belajar manajemen kebijakan publik dari apa yang sudah dilakukan oleh Provinsi Jawa Timur. Karena dalam beberapa kondisi, daerah ini terhitung memiliki keistimewaan tersendiri. Pertama, dari sisi kondisi ekonomi, Jawa Timur dapat dianggap sebagai miniatur perekonomian nasional karena kesamaan struktur ekonomi yang dimiliki. Tiga sektor lapangan usaha utama penopang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur secara berturut-turut adalah sektor industri pengolahan (29,03%), perdagangan (18,18%), dan pertanian (12,80%). Menurut data yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (2022), 3 besar Provinsi tertinggi pada tingkat Pengangguran terbuka (TPT) per Bulan Februari 2022 adalah Provinsi Banten dengan TPT sebesar 8,53%, diikuti dengan Provinsi Jawa Barat dengan angka TPT mencapai 8,35%, disusul oleh Provinsi Kep. Riau dengan angka TPT sebesar 8,02%. Sementara itu, Provinsi Jawa Timur memiliki angka TPT mencapai 4,81% yang berada dibawah angka TPT Indonesia secara keseluruhan yaitu 5,83%.
Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi tingkat Pengangguran terbuka di Provinsi Jawa Timur. Jawa Timur dipilih sebagai wilayah untuk meramalkan angka tersebut karena Jawa Timur merupakan miniatur perekonomian nasional bagi Negara Indonesia. Pada periode sebelumnya, tingkat Pengangguran terbuka Jawa Timur mengalami peningkatan yang sangat drastis pada Agustus 2021 yaitu sebesar 5,74%. Namun, di Februari 2022, angka tersebut sudah menurun hingga menjadi 4,81%. Hasil peramalan yang didapat akan menentukan indikasi pulih atau tidaknya perekonomian Indonesia dan kebijakan yang perlu diambil dalam meningkatkan perekonomian Indonesia di periode selanjutnya.
Model ARIMA berbeda dengan kebanyakan model peramalan lainnya karena dalam metode ini tidak ada pola tertentu dari data periode sebelumnya (Wiwin dan Manuharawati, 2018). Terdapat beberapa model ARIMA yaitu:
Model AR
Model AR memiliki orde p dengan model sebagai berikut.
\[
Z_t = \mu+\phi_1Z_{t-1}+\phi_2Z_{t-2}+\dots+\phi_pZ_{t-p}+e_t \tag{1}
\]
Keterangan:
\(\mu\) = Nilai konstan
\(\phi_k\) = Parameter model AR ke-k, di mana k = 1,2,…,p
\(e_t\) = Residual ke-t
Model MA
Model MA memiliki orde q dengan rumusan model sebagai berikut.
\[
Z_t = \mu+\theta_1e_{t-1}+\theta_2e_{t-2}+\dots+\theta_qe_{t-q}+e_t \tag{2}
\]
Keterangan:
\(\theta_i\) = Parameter model MA ke-i, di mana i = 1,2,…,q
Model ARMA
Model ARMA merupakan gabungan dari model AR dan MA dengan model sebagai berikut.
\[
Z_t = \mu+\phi_1Z_{t-1}+\dots+\phi_pZ_{t-p}+e_t+\theta_1e_{t-1}+\dots+\theta_qe_{t-q} \tag{3}
\]
Sedangkan, model ARIMA perlu melibatkan differencing dengan rumus:
\[
(1-B\phi_1-\dots-B^p\phi_p)(1-B)^dZ_t = \mu+(1-B\theta_1-\dots-B^q\theta_q)e_t \tag{4}
\]
Identifikasi data deret waktu dapat dilakukan dengan membuat plot data untuk melihat atau menguji varians dan mean stasioneritas data. Jika data tidak stasioner terhadap ragam, maka perlu dilakukan transformasi, sedangkan bila data tidak stasioner terhadap rata-rata, maka perlu dilakukan differencing.
Identifikasi dengan membuat plot pada data dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya trend, musiman, dan lain lain dalam data. Melalui plot yang dibentuk, stasioneritas suatu data dapat diketahui indikasinya. Namun, mengidentifikasi data dalam plot hanyalah analisis awal dan uji stasioneritas harus tetap dilakukan.
Stasioneritas terhadap ragam dapat dilakukan dengan menentukan nilai lambda (\(\lambda\)) pada Box-Cox. Jika nilai \(\lambda\) jauh dari 1, maka data dikatakan tidak stasioner terhadap varians atau ragam. Dengan demikian, langkah selanjutnya adalah melakukan transformasi Box-Cox hingga nilai \(\lambda\) mendekati angka 1. Jika nilainya mendekati angka 1, maka data sudah dikatakan stasioner terhadap **varians* atau ragam.
Data dikatakan stationer dalam rataan jika rataan cenderung konstan dari waktu ke waktu atau data bersifat stabil. Dan data deret waktu dikatakan stationer dalam ragam jika fluktuasi datanya tetap atau konstan. Stasioneritas berarti bahwa tidak terjadinya pertumbuhan dan penurunan data. Data deret waktu sangat banyak digunakan, namun data deret waktu menyimpan berbagai permasalahan yaitu salah satunya adalah autokorelasi yang mengakibatkan data menjadi tidak stasioner. Ada beberapa cara untuk melihat kestationeran data, yaitu dengan melihat koefisien autokorelasi dan korelogramnya (correlogram) serta dengan uji akar unit atau uji Augmented Dickey Fuller (ADF). Uji stasioneritas dengan uji Augmented Dickey Fuller (ADF), dilakukan dengan hipotesis :
\(H_0\) : \(\rho\) \(=\) 0
\(H_1\) : \(\rho\) \(\neq\) 0
Dengan statistik uji: \[
ADF = \frac {\rho} {SE(\rho)} \tag{5}
\] Keterangan:
\(\rho\) = Nilai autokorelasi
\(SE(\rho)\) = Kesalahan dari \(\rho\)
Kriteria pengujian yang digunakan yaitu:
Jika p-value dari statistik uji bernilai kurang dari alpha (0.05) atau nilai statistik uji Dickey Fuller bernilai lebih besar dari nilai kritis MacKinnon, maka H0 ditolak. Artinya, data telah stasioner terhadap rata-rata.
Jika p-value dari statistik uji bernilai lebih dari alpha (0.05) atau nilai statistik uji Dickey Fuller bernilai lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon, maka H0 diterima. Artinya, data belum stasioner terhadap rata-rata.
Karena syarat pembentukan model ARIMA salah satunya ialah data bersifat stasioner terhadap rata-rata, maka Jika H0 diterima, perlu dilakukan differencing atau pembedaan sampai H0 ditolak, yang berarti data telah stasioner terhadap rata-rata.
Jika data telah stasioner terhadap ragam dan rata-rata, maka langkah selanjutnya ialah membentuk plot ACF dan PACF. Plot tersebut digunakan untuk menentukan model tentative. Adapun model yang dibentuk berdasarkan pola dari plot ACF dan PACF sesuai dengan tabel di bawah ini.
Tipe Model | Pola ACF | Pola PACF |
---|---|---|
AR(p) | Menurun secara eksponensial menuju nol | Signifikan pada lag ke-p |
MA(q) | Signifikan pada lag ke-q | Menurun secara eksponensial menuju nol |
ARMA(p, q) | Menurun secara eksponensial menuju nol | Menurun secara eksponensial menuju nol |
AR(p) atau MA(q) | Signifikan pada lag ke-q | Signifikan pada lag ke-p |
Model ARIMA yang baik yaitu model yang dapat menggambatkan suatu kejadian model bila penaksiran parameternya signifikan tidak samadengan nol (Aswi dan Sukarna, 2006). Hipotesis yang digunakan dalam pengujian signifikansi parameter yaitu:
Parameter AR(p):
\(H_0 : \hat{\phi} = 0\)
\(H_1 : \hat{\phi} \neq 0\)
Statistik uji yang digunakan ialah: \[
t = \frac{\hat{\phi}}{SE(\hat{\phi})} \tag{6}
\]
Parameter MA(q):
\(H_0 : \hat{\theta} = 0\)
\(H_1 : \hat{\theta} \neq 0\)
Statistik uji yang digunakan ialah: \[
t = \frac{\hat{\theta}}{SE(\hat{\theta})} \tag{7}
\]
Kriteria pengujian yang digunakan untuk kedua parameter tersebut adalah sebagai berikut.
Jika p-value dari statistik uji t bernilai lebih besar dari alpha (0.05), maka H0 diterima. Artinya, parameter tidak berpengaruh signifikan terhadap model.
Jika p-value dari statistik uji t bernilai lebih kecil dari alpha (0.05), maka H0 ditolak. Artinya, parameter berpengaruh signifikan terhadap model.
Uji white noise dilakukan dengan menggunakan uji Ljung-Box. Hipotesis uji yang digunakan adalah sebagai berikut.
\(H_0 : \rho_1 = \rho_2 = \dots = \rho_k = 0\) (Residual memenuhi syarat white noise)
\(H_1 :\) Minimal ada satu \(\rho_k \neq 0\), di mana \(k = 1,2,\dots,K\) (Residual tidak memenuhi syarat white noise)
Statistik uji yang digunakan yaitu:
\[
Q = n(n+2) \sum_{k=1}^{K} \frac{\hat{\rho_k}^2}{n-k} \tag{8}
\]
Dengan:
\[
\rho_k = \frac{\sum_{i=1}^{n-k}(Z_t-\mu)(Z_{t+k}-\mu)}{\sum_{i=1}^{n}(Z_t-\mu)^2} \tag{9}
\]
Keterangan:
\(n\) = Banyaknya data
\(k\) = Lag waktu
\(K\) = Maksimal lag waktu
\(\hat{\rho_k}\) = Nilai estimasi ACF lag ke-k
\(\rho_k\) = Koefisien ACF
\(Z_t\) = Nilai data pada pengamatan ke-t
\(Z_{t+k}\) = Nilai data pada pengamatan ke-t+k
\(\mu\) = Rata-rata nilai data pengamatan
Kriteria pengujiannya yaitu:
Jika p-value dari statistik uji Q bernilai lebih kecil dari alpha (0.05), maka H0 ditolak. Artinya, residual belum memenuhi white noise.
Jika p-value dari statistik uji Q bernilai lebih besar dari alpha (0.05), maka H0 diterima. Artinya, residual telah memenuhi white noise.
Untuk menguji normalitas residual, dilakukan menggunakan uji Shapiro Francia. Pada dasarnya, Shapiro-Francia test adalah uji normalitas yang merupakan pengembangan dari Shapiro-Wilk Test. Hasil yang ditunjukkan selalu hampir sama dengan hasil Shapiro-Wilk. Uji Shapiro Francia menggunakan hipotesis uji sebagai berikut :
\(H_0\) : Residual berdistribusi normal
\(H_1\) : Residual tidak berdistribusi normal
Sedangkan, kriteria pengujian yang digunakan yaitu:
Jika p-value dari statistik uji Shaporo Francia bernilai lebih dari alpha (0.05), maka H0 diterima. Artinya, residual data berdistribusi normal.
Jika p-value dari statistik uji Shaporo Francia bernilai kurang dari alpha (0.05), maka H0 ditolak. Artinya, residual data tidak berdistribusi normal.
Jika model telah memenuhi seluruh uji di atas dan terdapat lebih dari satu model, maka akan dipilih model terbaik dengan menggunakan nilai Akaike Information Criterion (AIC). Semakin kecil nilai AIC, maka akan semakin baik model.
Data yang digunakan ialah data persemester Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Jawa Timur sebanyak 29 periode, dimulai dari bulan Februari 2008 hingga Februari 2022. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik, dengan tampilan data sebagai berikut.
> library(knitr)
> library(readxl)
> Pengangguran <- read_excel("D:/SMT 6/Komputasi Statistika/praktikum/Data Tingkat Pengangguran Terbuka Jatim.xlsx")
Error: `path` does not exist: 'D:/SMT 6/Komputasi Statistika/praktikum/Data Tingkat Pengangguran Terbuka Jatim.xlsx'
> kable(Pengangguran, caption="Data Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Timur (dalam Persentase)")
Error in kable(Pengangguran, caption = "Data Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Timur (dalam Persentase)"): object 'Pengangguran' not found
> # Library
> library(tseries)
> library(forecast)
> library(nortest)
> library(lmtest)
> library(FitAR)
> library(stats)
> library(EnvStats)
> library(ggplot2)
> library(readxl)
> Pengangguran <- read_excel("D:/SMT 6/Komputasi Statistika/praktikum/Data Tingkat Pengangguran Terbuka Jawa Timur.xlsx")
> View(Pengangguran)
Data yang digunakan berada di dalam folder D dengan file bernama “Data Tingkat Pengangguran Terbuka Jatim” yang memiliki format xlsx. Oleh karena itu, digunakan perintah read_excel
untuk mampu membaca file tersebut dengan argumen file path dari file Excel yang akan digunakan. Data disimpan dalam variabel yang bernama Pengangguran.
> ggplot(Pengangguran, aes(Periode, TPT))+
+ geom_line() +
+ geom_point(size = 1.2) +
+ theme_minimal() +
+ labs(title = "Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Jawa Timur", y="TPT")
Gambar di atas adalah grafik yang menunjukkan besarnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Timur untuk setiap periode dari Februari 2008 hingga Februari 2022. Fungsi ggplot
digunakan dengan argumen Pengangguran
sebagai variabel untuk menyimpan data yang digunakan. Fungsi tersebut juga ditambahkan dengan fitur grafik garis dengan fungsi geom_line
, terdapat tanda titik di tiap titik periode dan TPT yang berpasangan dengan fungsi geom_point
yang berargumen ukuran dari besarnya titik tersebut, dan theme_minimal
sebagai tema dari grafik yang ditunjukkan. Grafik yang ditampilkan berjudul “Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Jawa Timur” dan sumbu-y bernama “TPT” yang ditunjukkan dari argumen pada fungsi labs
.
> BoxCox(Pengangguran$TPT)
> Pengangguran$Bxcx=Pengangguran$TPT^-1
> Pengangguran$Bxcx=bxcx(Pengangguran$TPT, -1)
> Pengangguran$Bxcx
[1] 0.8397436 0.8442368 0.8296422 0.8031496 0.7963340 0.7647059 0.7641509
[8] 0.8141264 0.7596154 0.7566910 0.7481108 0.7674419 0.7512438 0.7613365
[15] 0.7679814 0.7762864 0.7584541 0.7624703 0.7560976 0.7500000 0.7347480
[22] 0.7442455 0.7347480 0.7382199 0.7222222 0.8287671 0.8065764 0.8257840
[29] 0.7920998
> BoxCox(Pengangguran$Bxcx)
>
> Pengangguran$Bxcx1=Pengangguran$Bxcx^-1
> Pengangguran$Bxcx1=bxcx(Pengangguran$Bxcx, -1)
> Pengangguran$Bxcx1
[1] -0.1908397 -0.1845018 -0.2053388 -0.2450980 -0.2557545 -0.3076923
[7] -0.3086420 -0.2283105 -0.3164557 -0.3215434 -0.3367003 -0.3030303
[13] -0.3311258 -0.3134796 -0.3021148 -0.2881844 -0.3184713 -0.3115265
[19] -0.3225806 -0.3333333 -0.3610108 -0.3436426 -0.3610108 -0.3546099
[25] -0.3846154 -0.2066116 -0.2398082 -0.2109705 -0.2624672
> BoxCox(Pengangguran$Bxcx1)
minimum data value <= 0 so -min+0.25 added to all values
>
> Pengangguran$Bxcx2=Pengangguran$Bxcx1^-0.65
> Pengangguran$Bxcx2=bxcx(Pengangguran$Bxcx1, -0.65)
min data value <= 0, 0.25-min(x) added to data
> Pengangguran$Bxcx2
[1] -1.070276 -1.046341 -1.127215 -1.301054 -1.352716 -1.643515 -1.649538
[8] -1.224233 -1.700213 -1.734327 -1.841615 -1.614364 -1.801129 -1.680672
[15] -1.608718 -1.525870 -1.713620 -1.668009 -1.741394 -1.817014 -2.033909
[22] -1.893818 -2.033909 -1.980613 -2.249675 -1.132365 -1.276266 -1.150195
[29] -1.386508
> BoxCox(Pengangguran$Bxcx2)
minimum data value <= 0 so -min+0.25 added to all values
Digunakan fungsi BoxCox
untuk menghitung nilai \(\lambda\) dari nilai TPT pada data Pengangguran sehingga fungsi tersebut memiliki argumen nilai TPT. Kemudian, dilakukan transformasi Box-Cox menggunakan perintah bxcx
dengan memberi pangkat nilai \(\lambda\) yang sudah dihitung sebelumnya pada nilai TPT. Hasil transformasi ini disimpan di dalam data Pengangguran dengan nama kolom Bxcx. Kemudian, menghitung kembali nilai \(\lambda\) yang sudah ditransformasi dengan perintah BoxCox
.
> adf.test(Pengangguran$Bxcx)
Augmented Dickey-Fuller Test
data: Pengangguran$Bxcx
Dickey-Fuller = -0.916, Lag order = 3, p-value = 0.9341
alternative hypothesis: stationary
> adf.test(diff(Pengangguran$Bxcx,lag=1))
Augmented Dickey-Fuller Test
data: diff(Pengangguran$Bxcx, lag = 1)
Dickey-Fuller = -2.6538, Lag order = 3, p-value = 0.3224
alternative hypothesis: stationary
> adf.test(diff(diff(Pengangguran$Bxcx,lag=1)))
Augmented Dickey-Fuller Test
data: diff(diff(Pengangguran$Bxcx, lag = 1))
Dickey-Fuller = -5.4852, Lag order = 2, p-value = 0.01
alternative hypothesis: stationary
Pengujian stasioneritas terhadap rata-rata menggunakan perintah adf.test
yang berargumen data yang sudah ditransformasi Box-Cox. Perintah adf.test
digunakan untuk melakukan uji Augmented Dickey Fuller, yang mana uji tersebut terus dilakukan hingga differencing tertentu agar data stasioner terhadap rata-rata. Differencing yang dilakukan ditunjukkan dengan perintah diff
yang menjadi argumen dari perintah adf.test
. Dalam hal ini, data stasioner terhadap rata-rata saat telah dilakukan differencing sebanyak dua kali, sehingga terdapat penulisan perintah diff
sebanyak dua kali.
> par(mfrow=c(1,1))
> acf(diff(diff(Pengangguran$Bxcx,lag=1)),lag.max = 25)
> pacf(diff(diff(Pengangguran$Bxcx,lag=1)),lag.max = 25)
Pembentukan plot ACF dilakukan dengan menggunakan perintah acf
dengan argumen data transformasi yang dilakukan differencing sebanyak dua kali dan panjang lag maksimum sebanyak 25. Begitu juga dengan pembentukan plot PACF, digunakan perintah pacf
yang memiliki argumen yang sama dengan argumen pada perintah acf
.
> model_1=Arima(Pengangguran$Bxcx, order = c(1,2,1))
> summary(model_1)
Series: Pengangguran$Bxcx
ARIMA(1,2,1)
Coefficients:
ar1 ma1
-0.3712 -0.9024
s.e. 0.1925 0.1219
sigma^2 = 0.0008334: log likelihood = 57.24
AIC=-108.48 AICc=-107.44 BIC=-104.59
Training set error measures:
ME RMSE MAE MPE MAPE MASE
Training set 0.004865851 0.02680426 0.01568641 0.5840362 1.985235 0.8274599
ACF1
Training set -0.06336167
> coeftest(model_1)
z test of coefficients:
Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
ar1 -0.37120 0.19249 -1.9284 0.0538 .
ma1 -0.90242 0.12193 -7.4014 1.347e-13 ***
---
Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
>
> model_2=Arima(Pengangguran$Bxcx, order = c(1,2,0))
> summary(model_2)
Series: Pengangguran$Bxcx
ARIMA(1,2,0)
Coefficients:
ar1
-0.6829
s.e. 0.1364
sigma^2 = 0.001217: log likelihood = 52.49
AIC=-100.98 AICc=-100.48 BIC=-98.39
Training set error measures:
ME RMSE MAE MPE MAPE MASE
Training set -0.0008181661 0.0330293 0.02180007 -0.1320184 2.765843 1.149956
ACF1
Training set -0.1962
> coeftest(model_2)
z test of coefficients:
Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
ar1 -0.68293 0.13637 -5.0078 5.506e-07 ***
---
Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
>
> model_3=Arima(Pengangguran$Bxcx, order = c(0,2,1))
> summary(model_3)
Series: Pengangguran$Bxcx
ARIMA(0,2,1)
Coefficients:
ma1
-1.0000
s.e. 0.1593
sigma^2 = 0.0008748: log likelihood = 55.59
AIC=-107.19 AICc=-106.69 BIC=-104.59
Training set error measures:
ME RMSE MAE MPE MAPE MASE
Training set 0.003758162 0.02800583 0.0178399 0.4426835 2.263305 0.9410569
ACF1
Training set -0.3725523
> coeftest(model_3)
z test of coefficients:
Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
ma1 -1.00000 0.15931 -6.277 3.451e-10 ***
---
Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
Untuk setiap model tentatif, dilakukan analisis deret waktu menggunakan fungsi ARIMA
dengan argumen data yang telah ditransformasi Box-Cox dengan orde p, d, q pada ARIMA(p,d,q) yang sesuai, kemudian analisis tersebut disimpan di dalam variabel model1 hingga model3. Selanjutnya, ditampilkan ringkasan dari hasil analisis dengan fungsi summary
yang memiliki aargumen variabel model yang menyimpan hasil analisis untuk mengetahui besarnya koefisien tiap parameter pada model. Kemudian, dilakukan uji dengan perintah coeftest
untuk mengetahui keberartian tiap parameter pada model dan berargumen variabel model yang menyimpan hasil analisis deret waktu. Jika seluruh parameter signifikan, maka selanjutnya dapat dilakukan uji kesesuaian model.
> checkresiduals(model_1)
Ljung-Box test
data: Residuals from ARIMA(1,2,1)
Q* = 3.4006, df = 4, p-value = 0.4931
Model df: 2. Total lags used: 6
> sf.test(model_1$residuals)
Shapiro-Francia normality test
data: model_1$residuals
W = 0.75674, p-value = 5.149e-05
>
> checkresiduals(model_2)
Ljung-Box test
data: Residuals from ARIMA(1,2,0)
Q* = 6.108, df = 5, p-value = 0.2958
Model df: 1. Total lags used: 6
> sf.test(model_2$residuals)
Shapiro-Francia normality test
data: model_2$residuals
W = 0.8724, p-value = 0.003427
>
> checkresiduals(model_3)
Ljung-Box test
data: Residuals from ARIMA(0,2,1)
Q* = 9.3202, df = 5, p-value = 0.09695
Model df: 1. Total lags used: 6
> sf.test(model_3$residuals)
Shapiro-Francia normality test
data: model_3$residuals
W = 0.81409, p-value = 0.000347
Untuk setiap model tentatif yang seluruh parameternya signifikan, maka perlu dilakukan 3 hal, yaitu:
Uji Ljung-Box untuk pengujian white noise menggunakan perintah checkresiduals
yang berargumen variabel yang menyimpan hasil analisis deret waktu.
Uji Shapira Francia untuk uji normalitas residual dengan menggunakan perintah sf.test
yang berargumen sisaan dari model yang menyimpan hasil analisis deret waktu.
Model terbaik ialah model yang memenuhi seluruh asumsi di atas. Jika terdapat lebih dari 1 model yang memenuhi asumsi, maka perlu dilakukan penghitungan nilai AIC, di mana model terbaik memiliki nilai AIC terkecil. Namun, Jika hanya 1 model yang memenuhi asumsi, maka tidak perlu dilakukan penghitungan nilai AIC.
> peramalan=forecast::forecast(model_1, h=2)
> peramalan
Point Forecast Lo 80 Hi 80 Lo 95 Hi 95
30 0.8077557 0.7707463 0.8447652 0.7511546 0.8643568
31 0.8050968 0.7593428 0.8508508 0.7351222 0.8750715
> plot(peramalan)
> ((peramalan$mean*0.079)+1)^(1/0.079)
Time Series:
Start = 30
End = 31
Frequency = 1
[1] 2.188091 2.182629
Peramalan dua periode ke depan, yaitu nilai Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada bulam Agustus 2022 dan Februari 2023 dilakukan dengan menggunakan perintah forecast
yang berargumen model terbaik yang sudah terpilih, dengan banyaknya periode yang akan diramalkan, dalam hal ini terdapat 2 periode. Kemudian, dibentuk plot data aktual (data Pengangguran) yang ditambahkan dengan data hasil peramalan menggunakan perintah plot
yang berargumen model terbaik. Nilai dari hasil peramalan sebelumnya ialah hasil transformasi Box-Cox sehingga untuk mendapatkan nilai peramalan sesungguhnya transformasi tersebut perlu dikembalikan seperti semula. Diketahui bahwa rumus dari transformasi Box-Cox ialah sebagai berikut.
\[
W = \frac{Y^\lambda-1}{\lambda}
\]
Dengan, \(W\) ialah nilai hasil transformasi. Sehingga, Jika ingin didapatkan Y untuk mendapatkan nilai hasil peramalan, maka Y adalah:
\[
Y = \sqrt[\lambda]{W\lambda+1}
\]
Dengan nilai \(\lambda\) ialah nilai pertama kali yang sudah ditentukan sebelumnya saat melakukan pemeriksaan stasioneritas terhadap ragam.
Plot menunjukkan bahwa selama periode bulan Februari 2008 hingga Februari 2022 terdapat kecenderungan menurun dari 2008 hingga 2010, kemudian berpola acak sebelum tahun 2020, lalu dilanjutkan dengan kecenderungan menaik saat tahun 2020 hingga 2021. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat indikasi ketidakstasioneran pada data sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dan pengujian stasioneritas baik terhadap ragam maupun rata-rata.
Nilai \(\lambda\) yang didapat dengan menggunakan perintah BoxCox
ialah sebesar -1. Nilai tersebut masih jauh dari angka 1 karena suatu data akan dikatakan stasioner Jika nilai \(\lambda\) bernilai mendekati angka 1. Oleh karena itu, diperlukan transformasi Box-Cox sehingga didapat nilai \(\lambda\) sebesar -1. Terus dilakukan tranformasi hingga pada tranformasi ke 3 mendapat nilai Nilai 0,955 nilai tersebut sudah mendekati angka 1 sehingga data sudah dapat dikatakan stasioner terhadap ragam setelah ditransformasi Box-Cox.
Untuk mengidentifikasi data yang stasioner terhadap rata-rata, maka diperlukan uji Augmented Dickey Fuller (ADF). Uji tersebut merupakan uji stasioneritas untuk menentukan adanya akar unit (unit root) pada data deret waktu. Hipotesis uji yang digunakan adalah sebagai berikut.
\(H_0\) : \(\rho\) \(=\) 0 (Data tidak stasioner terhadap rata-rata)
\(H_1\) : \(\rho\) \(\neq\) 0 (Data stasioner terhadap rata-rata)
Kriteria pengujian yang digunakan yaitu:
Jika p-value dari statistik uji bernilai kurang dari alpha (0.05) atau nilai statistik uji Dickey Fuller bernilai lebih besar dari nilai kritis MacKinnon, maka H0 ditolak. Artinya, data telah stasioner terhadap rata-rata.
Jika p-value dari statistik uji bernilai lebih dari alpha (0.05) atau nilai statistik uji Dickey Fuller bernilai lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon, maka H0 diterima. Artinya, data belum stasioner terhadap rata-rata.
Berikut adalah tabel hasil pengujian:
Differencing | p-value | Keputusan |
---|---|---|
Tidak ada | 0.9341 | Terima H0 |
Pertama | 0.3224 | Terima H0 |
Kedua | 0.01 | Tolak H0 |
Berdasarkan hasil di atas, saat data belum dilakukan differencing dan saat dilakukan differencing pertama, kedua p-value masih bernilai lebih besar dari alpha (0.05) sehingga H0 diterima atau data masih belum stasioner terhadap rata-rata. Namun, saat sudah dilakukan differencing kedua, p-value (0.01) bernilai lebih kecil dari alpha (0.05) sehingga H0 ditolak atau data sudah dapat dikatakan stasioner terhadap rata-rata.
Plot ACF menunjukkan orde q pada MA(q) sebesar 1 karena plot tersebut cut-off sampai lag ke-1. Sedangkan, orde p pada AR(p) bernilai 1 karena plot ACF menunjukkan cut-off sampai lag ke-1. Sebelumnya, data telah dilakukan differencing sebanyak 2 kali, sehingga orde p, d, q pada ARIMA(p,d,q) ialah ARIMA(1,2,1). Model tersebut ialah model tentatif, artinya hanya model sementara. Selanjutnya, akan dicari model yang paling sesuai berdasarkan model tentatif dengan menggunakan beberapa nilai orde p dan q
Berdasarkan banyaknya differencing dan orde yang dihasilkan dari plot ACF dan PACF, maka model tentatif yang dibentuk yaitu ARIMA(1,2,1), ARIMA(1,2,0), dan ARIMA(0,2,1). Untuk parameter pada AR(p) dan MA(q) ialah sebagai berikut.
Parameter AR(p):
\(H_0 : \hat{\phi} = 0\)
\(H_1 : \hat{\phi} \neq 0\)
Parameter MA(q):
\(H_0 : \hat{\theta} = 0\)
\(H_1 : \hat{\theta} \neq 0\)
Statistik uji yang digunakan ialah:
Kriteria pengujian yang digunakan untuk kedua parameter tersebut adalah sebagai berikut.
Jika p-value dari statistik uji t bernilai lebih besar dari alpha (0.05), maka H0 diterima. Artinya, parameter tidak berpengaruh signifikan terhadap model.
Jika p-value dari statistik uji t bernilai lebih kecil dari alpha (0.05), maka H0 ditolak. Artinya, parameter berpengaruh signifikan terhadap model.
Di bawah ini adalah hasil pengujian diagnostik pada tiap model.
Parameter | Koefisien | p-value | Keputusan |
---|---|---|---|
\(\phi_1\) | -0.3712 | 0.0538 | Terima H0 |
\(\theta_1\) | -0.9024 | 0.0000 | Tolak H0 |
Parameter | Koefisien | p-value | Keputusan |
---|---|---|---|
\(\phi_1\) | -0.6829 | 0.0000 | Tolak H0 |
Parameter | Koefisien | p-value | Keputusan |
---|---|---|---|
\(\theta_1\) | -1.000 | 0.0000 | Tolak H0 |
Berdasarkan uji diagnostik pada setiap model di atas, maka dipilih model yang seluruh parameternya memiliki p-value kurang dari alpha (0.05). Artinya, parameter tersebut signifikan terhadap model sehingga ARIMA(1,2,1), ARIMA(1,2,0), dan ARIMA(0,2,1) akan dilakukan pengujian kesesuaian model dalam pemenuhan asumsi.
Uji white noise dilakukan dengan menggunakan uji Ljung-Box. Hipotesis uji yang digunakan adalah sebagai berikut.
\(H_0 : \rho_1 = \rho_2 = \dots = \rho_k = 0\) (Residual memenuhi syarat white noise)
\(H_1 :\) Minimal ada satu \(\rho_k \neq 0\), di mana \(k = 1,2,\dots,K\) (Residual tidak memenuhi syarat white noise)
Kriteria pengujiannya yaitu:
Jika p-value dari statistik uji Q bernilai lebih kecil dari alpha (0.05), maka H0 ditolak. Artinya, residual belum memenuhi white noise.
Jika p-value dari statistik uji Q bernilai lebih besar dari alpha (0.05), maka H0 diterima. Artinya, residual telah memenuhi white noise.
Tabel di bawah ini adalah hasil uji white noise dari tiap model yang sudah ditentukan sebelumnya.
Model | p-value | Keputusan |
---|---|---|
ARIMA(1,2,1) | 0.4931 | Terima H0 |
ARIMA(1,2,0) | 0.2958 | Terima H0 |
ARIMA(0,2,1) | 0.0970 | Terima H0 |
Berdasarkan Tabel 8, diketahui bahwa residual pada model ARIMA(1,2,1), ARIMA(1,2,0), dan ARIMA(0,2,1) memenuhi asumsi white noise dikarenakan p-value di tiap model bernilai lebih dari alpha (0.05).
Model yang dipilih ialah model yang memenuhi asumsi white noise sehingga ARIMA(1,2,1), ARIMA(1,2,0), dan ARIMA(0,2,2) akan dilanjutkan dengan melakukan uji normalitas residual.
Untuk menguji normalitas residual, dilakukan menggunakan uji Shapiro Francia. Pada dasarnya, uji Shapiro Wilk merupakan koreksi dari uji Shapiro Wilk dengan menggunakan hipotesis uji:
\(H_0\) : Residual berdistribusi normal
\(H_1\) : Residual tidak berdistribusi normal
Sedangkan, kriteria pengujian yang digunakan yaitu:
Jika p-value dari statistik uji Shaporo Francia bernilai lebih dari alpha (0.05), maka H0 diterima. Artinya, residual data berdistribusi normal.
Jika p-value dari statistik uji Shaporo Francia bernilai kurang dari alpha (0.05), maka H0 ditolak. Artinya, residual data tidak berdistribusi normal.
Dengan menggunakan uji Shapiro Francia, berikut ialah hasil pengujian yang didapatkan.
Model | p-value | Keputusan |
---|---|---|
ARIMA(1,2,1) | 0.00051 | Tolak H0 |
ARIMA(1,2,0) | 0.00342 | Tolak H0 |
ARIMA(0,2,1) | 0.00034 | Tolak H0 |
Berdasarkan Tabel 9 di atas, didapatkan hasil pada ketiga model, p-value bernilai kurang dari alpha (0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga model tersebut memiliki residual yang tidak berdistribusi normal. Tetapi dapat dilanjutkan dengan melihat nilai AIC terkecil yaitu pada ARIMA (1,2,1).
Dengan demikian, telah didapat 1 model terbaik sesuai dengan kasus ini, yaitu ARIMA(1,2,1) dengan model yang dibentuk berdasarkan operator backshift sebagai berikut.
\[
\phi_p(B)(1-B)^dY_t = \theta_q(B)e_t
\]
Di mana \(p\) = 1, \(d\) = 2, dan \(q\) = 0 sehingga:
\[
\begin{aligned}
\phi_1(B)(1-B)^2Y_t = \theta_0(B)e_t
\\
\phi_1(B)(1-B)^2Y_t = e_t
\\
(1-\phi_1B)(B^2-2B+1)Y_t = e_t
\\
(B^2-2B+1-\phi_1B^3+2\phi_1B^2-\phi_1B)Y_t = e_t
\\
Y_{t-2}-2Y_{t-1}+Y_t-\phi_1Y_{t-3}+2\phi_1Y_{t-2}-\phi_1Y_{t-1} = e_t
\\
Y_t = \phi_1Y_{t-3}-2\phi_1Y_{t-2}+\phi_1Y_{t-1}-Y_{t-2}+2Y_{t-1}+e_t
\end{aligned}
\] ## Peramalan
Hasil peramalan yang didapatkan sesuai dengan tabel di bawah ini.
Periode | Tingkat Pengangguran Terbuka |
---|---|
Agustus 2022 | 2.188% |
Februari 2023 | 2.182% |
Berdasarkan Tabel 10 di atas, diketahui bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Jawa Timur untuk periode Agustus 2022 hingga Februari 2023 cenderung menurun. Angka tersebut merupakan angka yang perlu dipertahankan. Namun demikian, kita sebagai masyarakat Indonesia harus selalu waspada dengan segala kemungkinan yang terjadi, terutama dalam aspek perekonomian. Dengan banyaknya lapangan pekerjaan yang merata di seluruh wilayah akan mewujudkan tingkat Pengangguran terbuka yang sangat minim dan tidak akan terjadi fenomena surplus angkatan kerja. Kemudian, generasi muda tentu menjadi penerus bangsa yang dapat memperbaiki perekonomian Indonesia ke depan sehingga diharapkan generasi muda tidak hanya menjadi konsumen yang konsumtif, namun juga mampu membangun perusahaan sendiri guna membuka lapangan pekerjaan.
Badan Pusat Statistik. (2022). Februari 2022: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,83 persen dan Rata-rata upah buruh sebesar 2,89 juta rupiah per bulan. https://www.bps.go.id/pressrelease/2022/05/09/1915/februari-2022--tingkat-Pengangguran-terbuka--tpt--sebesar-5-83-persen.html#:~:text=Tingkat%20Pengangguran%20Terbuka%20(TPT)%20Februari,poin%20dibandingkan%20dengan%20Februari%202021. Tanggal akses: 17 Mei 2022.
Badan Pusat Statistik. (2021). Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Provinsi (Persen), 2005 – 2022. https://www.bps.go.id/indicator/6/543/1/tingkat-Pengangguran-terbuka-menurut-provinsi.html. Tanggal akses: 17 Mei 2022.
Badan Pusat Statistik. (2021). Ekonomi Indonesia Triwulan III 2021 Tumbuh 3,51 Persen (y-on-y). https://www.bps.go.id/pressrelease/2021/11/05/1814/ekonomi-indonesia-triwulan-iii-2021-tumbuh-3-51-persen--y-on-y-.html. Tanggal akses: 17 Mei 2022.
Damayanti, W. A. (2021). Kastrad Beraksi #2: Kondisi Perekonomian Indonesia di Tengah Pandemi Covid-19. Tanggal akses: 17 Mei 2022.
Fikri, Y. T. A. (2021). Analisis Peningkatan Angka Pengangguran akibat Dampak Pandemi Covid 19 di Indonesia. Indonesian Journal of Business Analytics, 1(2), 107-116.
Kementerian Keuangan RI. (2021). Pemerintah Terus Upayakan Pemulihan Ekonomi, Namun Tetap Waspada terhadap Pandemi Covid. https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/pemerintah-terus-upayakan-pemulihan-ekonomi-namun-tetap-waspada-terhadap-pandemi-covid/. Tanggal akses: 17 Mei 2022.
Muttaqin, H. (2020). Mengapa Tingkat Pengangguran Terbuka di Perkotaan Tinggi?. https://iesp.ulm.ac.id/mengapa-tingkat-Pengangguran-terbuka-di-perkotaan-tinggi/. Tanggal akses: 17 Mei 2022.