1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pandemi Covid-19 sudah mewabah sejak Maret 2020 di Indonesia. Pandemi tersebut berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan, salah satunya adalah aspek perekonomian. Pada triwulan I 2020, perekonomian Indonesia meningkat hanya sebesar 2,97%, padahal pada triwulan I 2019, perekonomian Indonesia mencapai angka pertumbuhan sebesar 5,07%. Dilanjutkan dengan tingkat pertumbuhan perekonomian pada triwulan II tahun 2020 yang menurun cukup pesat sebesar -5,32%. Hal tersebut adalah penurunan perekonomian yang paling buruk sejak terjadinya resesi ekonomi pada tahun 1999 silam (Damayanti, 2021). Bahkan, tidak hanya Indonesia yang mengalami krisis perekonomian sejak pandemi Covid-19. Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan Indonesia, dalam kesempatannya di acara Seminar Nasional ISEI Tahun 2021 menyebutkan bahwa dunia pun mengalami pertumbuhan perekonomian negatif yang sangat dahsyat yaitu sebesar -3,2%. Di samping itu, pertumbuhan perdagangan internasional yang biasanya menyentuh angka puluhan persen tiap tahunnya, pada tahun 2020 turun drastis menjadi -8,3%. Hal tersebut tidak lain dikarenakan oleh kebijakan setiap negara yang melakukan pembatasan atau restriksi mobilisasi penduduk maupun logistik antarnegara.
Namun, berita baik di tahun 2021 adalah perekonomian Indonesia yang sudah terindikasi semakin pulih dan dapat lolos dari resesi ekonomi yang terjadi. Badan Pusat Statistik (2021) menyebutkan bahwa pada triwulan III 2021, perekonomian Indonesia meningkat sebesar 3,24% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya dan meningkat sebesar 3,51% berdasarkan triwulan III tahun sebelumnya. Restriksi mobilisasi akibat Covid-19 dalam wilayah antarnegara pun sudah mulai berkurang sehingga meningkatkan fleksibilitas tiap negara dalam melangsungkan kegiatan perekonomian. Dilanjutkan pada triwulan I tahun 2022, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05%, dengan sektor Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan memegang peranan penting dengan memberikan sumbangsih sebesar 15,79% terhadap pertumbuhan tersebut. Di tahun ini, kelompok provinsi di Pulau Jawa mendominasi struktur ekonomi Indonesia pada triwulan I dengan peranan sebesar 57,78%, dengan kinerja ekonomi yang mengalami pertumbuhan sebesar 5,07% disbanding triwulan I tahun 2021.
Wilayah di Pulau Jawa, terutama di kawasan ibukota merupakan wilayah yang menjadi idaman seluruh penduduk dalam mencari mata pencaharian yang layak. Sebenarnya, terjadinya krisis ekonomi sejak pandemi, terlebih pada tahun 2021 dikarenakan oleh angka pengangguran yang semakin meningkat. Menurut Indayani dan Hartono (2020), pengangguran ialah angkatan kerja yang belum berkesempatan untuk bekerja, sedangkan angkatan kerja adalah orang dengan usia 15 hingga 60 tahun yang sudah pantas dan ingin untuk bekerja. Tentunya, tidak semua orang berkeinginan untuk menganggur. Pengangguran dapat terjadi, terutama di masa pandemi, dikarenakan oleh banyaknya PHK pada perusahaan yang ditempati. Banyak perusahaan yang kurang mampu dalam memberi upah yang sesuai kepada tenaga kerjanya di masa seperti ini sehingga mengharuskan para pemegang tanggung jawab perusahaan mengurangi banyaknya tenaga kerja. Namun demikian, Badan Pusat Statistik (2022) mengungkapkan bahwa tingkat pengangguran pada Februari 2022 mencapai 5,83% yang lebih rendah daripada Feburari 2021 yaitu sebesat 6,26%. Hal tersebut merupakan sesuatu yang harus dipertahankan karena jumlah pengangguran pada Februari 2021 sebesar 8,75 juta, pada Februari tahun ini turun menjadi 8,4 juta.
DKI Jakarta sebagai provinsi ibukota Indonesia adalah lokasi tujuan favorit penduduk Indonesia mencari mata pencaharian. Menurut data yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (2022), tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Bulan Februari 2022 tertinggi adalah Provinsi Banten dengan TPT sebesar 8,53%, diikuti dengan Provinsi Jawa Barat dengan angka TPT mencapai 8,35%, disusul oleh Provinsi Kep. Riau dengan angka TPS sebesar 8,02%, dan peringkat keempat diduduki oleh Provinsi DKI Jakarta dengan TPT sebesar 8%. DKI Jakarta sebagai provinsi yang terbilang sangat maju dibandingkan dengan provinsi lainnya, ternyata masih berada di dalam lima peringkat teratas TPT tertinggi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya migrasi penduduk desa ke kota guna mendapatkan pekerjaan dan berakibat pada terjadinya surplus tenaga kerja. Surplus tenaga kerja berarti bahwa terlalu banyaknya angkatan kerja yang berada di suatu wilayah, namun tidak adanya ketersediaan yang cukup untuk memberikan pekerjaan kepada seluruh angkatan kerja (Todaro & Smith, 2012).
Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi tingkat pengangguran terbuka di Provinsi DKI Jakarta di 2 semester ke depan. DKI Jakarta dipilih sebagai wilayah yang dipilih untuk meramalkan angka tersebut karena DKI Jakarta merupakan ‘wajah’ bagi Negara Indonesia, mengingat ibukota Indonesia berada di DKI Jakarta. Pada periode sebelumnya, tingkat pengangguran terbuka DKI Jakarta mengalami peningkatan yang sangat drastis pada Agustus 2020 yaitu sebesar 10,95%. Namun, di Februari 2022, angka tersebut sudah menurun hingga mencapai 8%. Hasil peramalan yang didapat akan menentukan indikasi pulih atau tidaknya perekonomian Indonesia dan kebijakan yang perlu diambil dalam meningkatkan perekonomian Indonesia di periode selanjutnya.
1.2 Model ARIMA
Model ARIMA berbeda dengan kebanyakan model peramalan lainnya karena dalam metode ini tidak ada pola tertentu dari data periode sebelumnya (Wiwin dan Manuharawati, 2018). Terdapat beberapa model ARIMA yaitu:
Model AR
Model AR memiliki orde p dengan model sebagai berikut.
\[ Z_t = \mu+\phi_1Z_{t-1}+\phi_2Z_{t-2}+\dots+\phi_pZ_{t-p}+e_t \tag{1} \]
Keterangan:
\(\mu\) = Nilai konstan
\(\phi_k\) = Parameter model AR ke-k, di mana k = 1,2,…,p
\(e_t\) = Residual ke-tModel MA
Model MA memiliki orde q dengan rumusan model sebagai berikut.
\[ Z_t = \mu+\theta_1e_{t-1}+\theta_2e_{t-2}+\dots+\theta_qe_{t-q}+e_t \tag{2} \]
Keterangan:
\(\theta_i\) = Parameter model MA ke-i, di mana i = 1,2,…,qModel ARMA
Model ARMA merupakan gabungan dari model AR dan MA dengan model sebagai berikut.
\[ Z_t = \mu+\phi_1Z_{t-1}+\dots+\phi_pZ_{t-p}+e_t+\theta_1e_{t-1}+\dots+\theta_qe_{t-q} \tag{3} \]
Sedangkan, model ARIMA perlu melibatkan differencing dengan rumus:
\[ (1-B\phi_1-\dots-B^p\phi_p)(1-B)^dZ_t = \mu+(1-B\theta_1-\dots-B^q\theta_q)e_t \tag{4} \]
1.3 Tahapan Penentuan Model
1.3.1 Identifikasi Data Deret Waktu
Identifikasi data deret waktu dapat dilakukan melalui pembentukan plot data dan pemeriksana atau pengujian stasioneritas ragam dan rata-rata pada data. Apabila data tidak stasioner terhadap ragam, maka perlu dilakukan transformasi, sedangkan bila data tidak stasioner terhadap rata-rata, maka perlu dilakukan differencing.
1.3.1.1 Plot Data
Identifikasi dengan membentuk plot pada data dilakukan untuk mengetahui adanya trend, musiman, dan lain sebagainya pada data. Melalui grafik yang dibentuk, stasioneritas suatu data dapat diketahui indikasinya. Namun demikian, perlu dilakukan uji stasioneritas karena identifikasi data dengan plot hanya merupakan analisis pendahuluan.
1.3.1.2 Pemeriksaan Stasioneritas terhadap Ragam
Stasioneritas terhadap ragam dapat dilakukan dengan menentukan nilai lambda (\(\lambda\)) pada Box-Cox. Apabila nilai \(\lambda\) bernilai jauh dari angka 1, maka data dikatakan belum stasioner terhadap ragam. Maka, langkah selanjutnya adalah melakukan transformasi Box-Cox hingga nilai \(\lambda\) bernilai mendekati angka 1. Bila nilai tersebut sudah berada di sekitar angka 1, maka data sudah dikatakan stasioner terhadap ragam.
1.3.1.3 Pengujian Stasioneritas terhadap Rata-rata
Untuk mengidentifikasi data yang stasioner terhadap rata-rata, maka diperlukan uji Augmented Dickey Fuller (ADF). Uji tersebut merupakan uji stasioneritas untuk menentukan adanya akar unit (unit root) pada data deret waktu. Hipotesis uji yang digunakan adalah sebagai berikut.
\(H_0\) : \(\rho\) \(=\) 0
\(H_1\) : \(\rho\) \(\neq\) 0
Dengan statistik uji: \[
ADF = \frac {\rho} {SE(\rho)} \tag{5}
\] Keterangan:
\(\rho\) = Nilai autokorelasi
\(SE(\rho)\) = Kesalahan dari \(\rho\)
Kriteria pengujian yang digunakan yaitu:
Apabila nilai-p dari statistik uji bernilai kurang dari alpha (0.05) atau nilai statistik uji Dickey Fuller bernilai lebih besar dari nilai kritis MacKinnon, maka H0 ditolak. Artinya, data telah stasioner terhadap rata-rata.
Apabila nilai-p dari statistik uji bernilai lebih dari alpha (0.05) atau nilai statistik uji Dickey Fuller bernilai lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon, maka H0 diterima. Artinya, data belum stasioner terhadap rata-rata.
Karena syarat pembentukan model ARIMA salah satunya ialah data bersifat stasioner terhadap rata-rata, maka apabila H0 diterima, perlu dilakukan differencing atau pembedaan sampai H0 ditolak, yang berarti data telah stasioner terhadap rata-rata.
1.3.1.4 Plot ACF dan PACF
Apabila data telah stasioner terhadap ragam dan rata-rata, maka langkah selanjutnya ialah membentuk plot ACF dan PACF. Plot tersebut digunakan untuk menentukan model tentative. Adapun model yang dibentuk berdasarkan pola dari plot ACF dan PACF sesuai dengan tabel di bawah ini.
| Tipe Model | Pola ACF | Pola PACF |
|---|---|---|
| AR(p) | Menurun secara eksponensial menuju nol | Signifikan pada lag ke-p |
| MA(q) | Signifikan pada lag ke-q | Menurun secara eksponensial menuju nol |
| ARMA(p, q) | Menurun secara eksponensial menuju nol | Menurun secara eksponensial menuju nol |
| AR(p) atau MA(q) | Signifikan pada lag ke-q | Signifikan pada lag ke-p |
1.3.2 Uji Diagnostik Model
Model ARIMA yang baik yaitu model yang dapat menggambatkan suatu kejadian model bila penaksiran parameternya signifikan tidak samadengan nol (Aswi dan Sukarna, 2006). Hipotesis yang digunakan dalam pengujian signifikansi parameter yaitu:
Parameter AR(p):
\(H_0 : \hat{\phi} = 0\)
\(H_1 : \hat{\phi} \neq 0\)
Statistik uji yang digunakan ialah: \[ t = \frac{\hat{\phi}}{SE(\hat{\phi})} \tag{6} \]Parameter MA(q):
\(H_0 : \hat{\theta} = 0\)
\(H_1 : \hat{\theta} \neq 0\)
Statistik uji yang digunakan ialah: \[ t = \frac{\hat{\theta}}{SE(\hat{\theta})} \tag{7} \]
Kriteria pengujian yang digunakan untuk kedua parameter tersebut adalah sebagai berikut.
Apabila nilai-p dari statistik uji t bernilai lebih besar dari alpha (0.05), maka H0 diterima. Artinya, parameter tidak berpengaruh signifikan terhadap model.
Apabila nilai-p dari statistik uji t bernilai lebih kecil dari alpha (0.05), maka H0 ditolak. Artinya, parameter berpengaruh signifikan terhadap model.
1.3.3 Uji Kesesuaian Model
1.3.3.1 Uji White Noise
Uji white noise dilakukan dengan menggunakan uji Ljung-Box. Hipotesis uji yang digunakan adalah sebagai berikut.
\(H_0 : \rho_1 = \rho_2 = \dots = \rho_k = 0\) (Residual memenuhi syarat white noise)
\(H_1 :\) Minimal ada satu \(\rho_k \neq 0\), di mana \(k = 1,2,\dots,K\) (Residual tidak memenuhi syarat white noise)
Statistik uji yang digunakan yaitu:
\[
Q = n(n+2) \sum_{k=1}^{K} \frac{\hat{\rho_k}^2}{n-k} \tag{8}
\]
Dengan:
\[
\rho_k = \frac{\sum_{i=1}^{n-k}(Z_t-\mu)(Z_{t+k}-\mu)}{\sum_{i=1}^{n}(Z_t-\mu)^2} \tag{9}
\]
Keterangan:
\(n\) = Banyaknya data
\(k\) = Lag waktu
\(K\) = Maksimal lag waktu
\(\hat{\rho_k}\) = Nilai estimasi ACF lag ke-k
\(\rho_k\) = Koefisien ACF
\(Z_t\) = Nilai data pada pengamatan ke-t
\(Z_{t+k}\) = Nilai data pada pengamatan ke-t+k
\(\mu\) = Rata-rata nilai data pengamatan
Kriteria pengujiannya yaitu:
Apabila nilai-p dari statistik uji Q bernilai lebih kecil dari alpha (0.05), maka H0 ditolak. Artinya, residual belum memenuhi white noise.
Apabila nilai-p dari statistik uji Q bernilai lebih besar dari alpha (0.05), maka H0 diterima. Artinya, residual telah memenuhi white noise.
1.3.3.2 Uji Normalitas Residual
Untuk menguji normalitas residual, dilakukan menggunakan uji Shapiro Francia. Pada dasarnya, uji Shapiro Wilk merupakan koreksi dari uji Shapiro Wilk dengan menggunakan hipotesis uji:
\(H_0\) : Residual berdistribusi normal
\(H_1\) : Residual tidak berdistribusi normal
Sedangkan, kriteria pengujian yang digunakan yaitu:
Apabila nilai-p dari statistik uji Shaporo Francia bernilai lebih dari alpha (0.05), maka H0 diterima. Artinya, residual data berdistribusi normal.
Apabila nilai-p dari statistik uji Shaporo Francia bernilai kurang dari alpha (0.05), maka H0 ditolak. Artinya, residual data tidak berdistribusi normal.
1.3.4 Pemilihan Model Terbaik
Apabila model telah memenuhi seluruh uji di atas dan terdapat lebih dari satu model, maka akan dipilih model terbaik dengan menggunakan nilai Akaike Information Criterion (AIC). Semakin kecil nilai AIC, maka akan semakin baik model.
1.4 Data
Data yang digunakan ialah data persemester Tingkat Pengangguran Terbuka di DKI Jakarta sebanyak 35 periode, dimulai dari bulan Februari 2005 hingga Februari 2022. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik, dengan tampilan data sebagai berikut.
> library(knitr)
> library(readxl)
> pengangguran <- read_excel("C:/Users/LENOVO/Downloads/data pengangguran bindo dki.xlsx")
> kable(pengangguran, caption="Data Tingkat Pengangguran Terbuka di DKI Jakarta (dalam Persentase)")| Periode | TPT |
|---|---|
| 2005-02-01 | 14.73 |
| 2005-08-01 | 15.77 |
| 2006-02-01 | 14.31 |
| 2006-08-01 | 11.40 |
| 2007-02-01 | 13.27 |
| 2007-08-01 | 12.57 |
| 2008-02-01 | 11.06 |
| 2008-08-01 | 12.16 |
| 2009-02-01 | 11.99 |
| 2009-08-01 | 12.15 |
| 2010-02-01 | 11.32 |
| 2010-08-01 | 11.05 |
| 2011-02-01 | 10.86 |
| 2011-08-01 | 11.69 |
| 2012-02-01 | 10.60 |
| 2012-08-01 | 9.67 |
| 2013-02-01 | 9.64 |
| 2013-08-01 | 8.63 |
| 2014-02-01 | 9.84 |
| 2014-08-01 | 8.47 |
| 2015-02-01 | 8.36 |
| 2015-08-01 | 7.23 |
| 2016-02-01 | 5.77 |
| 2016-08-01 | 6.12 |
| 2017-02-01 | 5.36 |
| 2017-08-01 | 7.14 |
| 2018-02-01 | 5.73 |
| 2018-08-01 | 6.65 |
| 2019-02-01 | 5.50 |
| 2019-08-01 | 6.54 |
| 2020-02-01 | 5.15 |
| 2020-08-01 | 10.95 |
| 2021-02-01 | 8.51 |
| 2021-08-01 | 8.50 |
| 2022-02-01 | 8.00 |
2 SOURCE CODE
2.1 Library yang Dibutuhkan
> # Library
> library(tseries)
> library(forecast)
> library(nortest)
> library(lmtest)
> library(FitAR)
> library(stats)
> library(EnvStats)
> library(ggplot2)
> library(readxl)2.2 Memanggil Data
> pengangguran <- read_excel("C:/Users/LENOVO/Downloads/data pengangguran bindo dki.xlsx")
> View(pengangguran)Data yang digunakan berada di dalam folder C dengan file bernama “data pengangguran bindo dki” yang memiliki format xlsx. Oleh karena itu, digunakan perintah read_excel untuk mampu membaca file tersebut dengan argumen file path dari file Excel yang akan digunakan. Data disimpan dalam variabel yang bernama pengangguran.
2.3 Identifikasi Data dengan Plot
> ggplot(pengangguran, aes(Periode, TPT))+
+ geom_line() +
+ geom_point(size = 1.2) +
+ theme_minimal() +
+ labs(title = "Tingkat Pengangguran Terbuka di DKI Jakarta", y="TPT") Gambar di atas merupakan grafik yang menunjukkan besarnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di setiap periode mulai dari bulan Februari 2005 hingga Februari 2022 persemester. Digunakan fungsi ggplot dengan berargumen pengangguran sebagai variabel yang menyimpan data yang digunakan. Fungsi tersebut juga ditambahkan dengan fitur grafik garis dengan fungsi geom_line, terdapat tanda titik di tiap titik periode dan TPT yang berpasangan dengan fungsi geom_point yang berargumen ukuran dari besarnya titik tersebut, dan theme_minimal sebagai tema dari grafik yang ditunjukkan. Grafik yang ditampilkan berjudul “Tingkat Pengangguran Terbuka di DKI Jakarta” dan sumbu-y bernama “TPT” yang ditunjukkan dari argumen pada fungsi labs
2.4 Uji Stasioneritas terhadap Ragam
> BoxCox(pengangguran$TPT)> pengangguran$Bxcx=pengangguran$TPT^(0.573)
> pengangguran$Bxcx=bxcx(pengangguran$TPT, 0.573)
> pengangguran$Bxcx
[1] 6.406074 6.731033 6.272076 5.292841 5.932840 5.698082 5.171788 5.557985
[9] 5.499305 5.554543 5.264498 5.168204 5.099837 5.394880 5.005450 4.659440
[17] 4.648047 4.255190 4.723716 4.191191 4.146892 3.676451 3.019100 3.182609
[25] 2.822071 3.637676 3.000146 3.422795 2.890050 3.373638 2.718663 5.132285
[33] 4.207239 4.203230 4.000142
> BoxCox(pengangguran$Bxcx)Digunakan fungsi BoxCox untuk menghitung nilai \(\lambda\) dari nilai TPT pada data pengangguran sehingga fungsi tersebut memiliki argumen nilai TPT. Kemudian, dilakukan transformasi Box-Cox menggunakan perintah bxcx dengan memberi pangkat nilai \(\lambda\) yang sudah dihitung sebelumnya pada nilai TPT. Hasil transformasi ini disimpan di dalam data pengangguran dengan nama kolom Bxcx. Kemudian, menghitung kembali nilai \(\lambda\) yang sudah ditransformasi dengan perintah BoxCox.
2.5 Uji Stasioneritas terhadap Rata-rata
> adf.test(pengangguran$Bxcx)
Augmented Dickey-Fuller Test
data: pengangguran$Bxcx
Dickey-Fuller = -0.57472, Lag order = 3, p-value = 0.9711
alternative hypothesis: stationary
> adf.test(diff(pengangguran$Bxcx,lag=1))
Augmented Dickey-Fuller Test
data: diff(pengangguran$Bxcx, lag = 1)
Dickey-Fuller = -2.8314, Lag order = 3, p-value = 0.2509
alternative hypothesis: stationary
> adf.test(diff(diff(pengangguran$Bxcx,lag=1)))
Augmented Dickey-Fuller Test
data: diff(diff(pengangguran$Bxcx, lag = 1))
Dickey-Fuller = -4.1954, Lag order = 3, p-value = 0.01442
alternative hypothesis: stationaryPengujian stasioneritas terhadap rata-rata menggunakan perintah adf.test yang berargumen data yang sudah ditransformasi Box-Cox. Perintah adf.test digunakan untuk melakukan uji Augmented Dickey Fuller, yang mana uji tersebut terus dilakukan hingga differencing tertentu agar data stasioner terhadap rata-rata. Differencing yang dilakukan ditunjukkan dengan perintah diff yang menjadi argumen dari perintah adf.test. Dalam hal ini, data stasioner terhadap rata-rata saat telah dilakukan differencing sebanyak dua kali, sehingga terdapat penulisan perintah diff sebanyak dua kali.
2.6 Pembentukan Plot ACF dan PACF
> par(mfrow=c(1,1))
> acf(diff(diff(pengangguran$Bxcx,lag=1)),lag.max = 25)> pacf(diff(diff(pengangguran$Bxcx,lag=1)),lag.max = 25)Pembentukan plot ACF dilakukan dengan menggunakan perintah acf dengan argumen data transformasi yang dilakukan differencing sebanyak dua kali dan panjang lag maksimum sebanyak 25. Begitu juga dengan pembentukan plot PACF, digunakan perintah pacf yang memiliki argumen yang sama dengan argumen pada perintah acf.
2.7 Uji Diagnostik Model
> model1=Arima(pengangguran$Bxcx, order = c(1,2,2))
> summary(model1)
Series: pengangguran$Bxcx
ARIMA(1,2,2)
Coefficients:
ar1 ma1 ma2
-0.4992 -0.9530 0.0139
s.e. 0.3924 0.4657 0.5079
sigma^2 estimated as 0.324: log likelihood=-28.26
AIC=64.52 AICc=65.95 BIC=70.51
Training set error measures:
ME RMSE MAE MPE MAPE MASE
Training set 0.06960539 0.5270085 0.3454523 1.069109 7.753431 0.7654805
ACF1
Training set -0.0243812
> coeftest(model1)
z test of coefficients:
Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
ar1 -0.499156 0.392390 -1.2721 0.20334
ma1 -0.953026 0.465724 -2.0463 0.04072 *
ma2 0.013884 0.507871 0.0273 0.97819
---
Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
>
> model2=Arima(pengangguran$Bxcx, order = c(1,2,1))
> summary(model2)
Series: pengangguran$Bxcx
ARIMA(1,2,1)
Coefficients:
ar1 ma1
-0.5090 -0.9408
s.e. 0.1513 0.1308
sigma^2 estimated as 0.3134: log likelihood=-28.26
AIC=62.52 AICc=63.35 BIC=67.01
Training set error measures:
ME RMSE MAE MPE MAPE MASE
Training set 0.06921515 0.5268278 0.3451947 1.062242 7.744124 0.7649097
ACF1
Training set -0.02642162
> coeftest(model2)
z test of coefficients:
Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
ar1 -0.50899 0.15134 -3.3631 0.0007706 ***
ma1 -0.94082 0.13082 -7.1917 6.401e-13 ***
---
Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
>
> model3=Arima(pengangguran$Bxcx, order = c(1,2,0))
> summary(model3)
Series: pengangguran$Bxcx
ARIMA(1,2,0)
Coefficients:
ar1
-0.7421
s.e. 0.1095
sigma^2 estimated as 0.5186: log likelihood=-35.88
AIC=75.76 AICc=76.16 BIC=78.76
Training set error measures:
ME RMSE MAE MPE MAPE MASE
Training set -0.0148205 0.6885571 0.504091 -0.8472275 11.39442 1.117005
ACF1
Training set -0.2767555
> coeftest(model3)
z test of coefficients:
Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
ar1 -0.74212 0.10950 -6.7776 1.222e-11 ***
---
Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
>
> model4=Arima(pengangguran$Bxcx, order = c(0,2,2), method='ML')
> summary(model4)
Series: pengangguran$Bxcx
ARIMA(0,2,2)
Coefficients:
ma1 ma2
-1.6224 0.8452
s.e. 0.2296 0.2432
sigma^2 estimated as 0.3091: log likelihood=-28.41
AIC=62.83 AICc=63.66 BIC=67.32
Training set error measures:
ME RMSE MAE MPE MAPE MASE
Training set 0.04081783 0.5232704 0.3835225 0.5721428 9.008103 0.8498394
ACF1
Training set 0.03236065
> coeftest(model4)
z test of coefficients:
Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
ma1 -1.62237 0.22963 -7.0651 1.605e-12 ***
ma2 0.84518 0.24323 3.4748 0.0005112 ***
---
Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
>
> model5=Arima(pengangguran$Bxcx, order = c(0,2,1))
> summary(model5)
Series: pengangguran$Bxcx
ARIMA(0,2,1)
Coefficients:
ma1
-1.0000
s.e. 0.0915
sigma^2 estimated as 0.4015: log likelihood=-33.02
AIC=70.05 AICc=70.45 BIC=73.04
Training set error measures:
ME RMSE MAE MPE MAPE MASE
Training set 0.03012182 0.6058758 0.4155038 -0.00169358 9.862518 0.920706
ACF1
Training set -0.5035496
> coeftest(model5)
z test of coefficients:
Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
ma1 -1.000000 0.091544 -10.924 < 2.2e-16 ***
---
Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1Untuk setiap model tentatif, dilakukan analisis deret waktu dengan fungsi Arima yang berargumen data yang telah ditransformasi Box-Cox dengan orde p, d, q pada ARIMA(p,d,q) yang sesuai, kemudian analisis tersebut disimpan di dalam variabel model1 hingga model5. Setelah itu, dilakukan pemanggilan ringkasan hasil analisis dengan fungsi summary yang berargumen variabel model yang menyimpan hasil analisis untuk mengetahui besarnya koefisien tiap parameter pada model. Selanjutnya, untuk mengetahui keberartian tiap parameter pada model, maka dilakukan uji dengan perintah coeftest yang berargumen variabel model yang menyimpan hasil analisis deret waktu. Apabila seluruh parameter signifikan, maka selanjutnya dapat dilakukan uji kesesuaian model.
2.8 Uji Kesesuaian Model
> checkresiduals(model2)
Ljung-Box test
data: Residuals from ARIMA(1,2,1)
Q* = 2.2014, df = 5, p-value = 0.8206
Model df: 2. Total lags used: 7
> sf.test(model2$residuals)
Shapiro-Francia normality test
data: model2$residuals
W = 0.8219, p-value = 0.0001524
>
> checkresiduals(model3)
Ljung-Box test
data: Residuals from ARIMA(1,2,0)
Q* = 7.4092, df = 6, p-value = 0.2847
Model df: 1. Total lags used: 7
> sf.test(model3$residuals)
Shapiro-Francia normality test
data: model3$residuals
W = 0.94389, p-value = 0.07001
>
> checkresiduals(model4)
Ljung-Box test
data: Residuals from ARIMA(0,2,2)
Q* = 5.7158, df = 5, p-value = 0.3349
Model df: 2. Total lags used: 7
> sf.test(model4$residuals)
Shapiro-Francia normality test
data: model4$residuals
W = 0.92757, p-value = 0.02573
>
> checkresiduals(model5)
Ljung-Box test
data: Residuals from ARIMA(0,2,1)
Q* = 19.136, df = 6, p-value = 0.003941
Model df: 1. Total lags used: 7
> sf.test(model5$residuals)
Shapiro-Francia normality test
data: model5$residuals
W = 0.83367, p-value = 0.0002463
Untuk setiap model tentatif yang seluruh parameternya signifikan, maka perlu dilakukan 3 hal, yaitu:
Uji Ljung-Box untuk pengujian white noise menggunakan perintah
checkresidualsyang berargumen variabel yang menyimpan hasil analisis deret waktu.Uji Shapira Francia untuk uji normalitas residual dengan menggunakan perintah
sf.testyang berargumen sisaan dari model yang menyimpan hasil analisis deret waktu.
Model terbaik ialah model yang memenuhi seluruh asumsi di atas. Apabila terdapat lebih dari 1 model yang memenuhi asumsi, maka perlu dilakukan penghitungan nilai AIC, di mana model terbaik memiliki nilai AIC terkecil. Namun, apabila hanya 1 model yang memenuhi asumsi, maka tidak perlu dilakukan penghitungan nilai AIC.
2.9 Peramalan
> fmodel3=forecast::forecast(model3, h=2)
> fmodel3
Point Forecast Lo 80 Hi 80 Lo 95 Hi 95
36 3.944794 3.021936 4.867653 2.533404 5.356184
37 3.779805 2.296824 5.262787 1.511781 6.047830
> plot(fmodel3)> ((fmodel3$mean*0.573)+1)^(1/0.573)
Time Series:
Start = 36
End = 37
Frequency = 1
[1] 7.865984 7.472242Peramalan dua periode ke depan, yaitu nilai Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada bulam Agustus 2022 dan Februari 2023 dilakukan dengan menggunakan perintah forecast yang berargumen model terbaik yang sudah terpilih, dengan banyaknya periode yang akan diramalkan, dalam hal ini terdapat 2 periode. Kemudian, dibentuk plot data aktual (data pengangguran) yang ditambahkan dengan data hasil peramalan menggunakan perintah plot yang berargumen model terbaik. Nilai dari hasil peramalan sebelumnya ialah hasil transformasi Box-Cox sehingga untuk mendapatkan nilai peramalan sesungguhnya transformasi tersebut perlu dikembalikan seperti semula. Diketahui bahwa rumus dari transformasi Box-Cox ialah sebagai berikut.
\[
W = \frac{Y^\lambda-1}{\lambda}
\]
Dengan, \(W\) ialah nilai hasil transformasi. Sehingga, apabila ingin didapatkan Y untuk mendapatkan nilai hasil peramalan, maka Y adalah:
\[
Y = \sqrt[\lambda]{W\lambda+1}
\]
Dengan nilai \(\lambda\) ialah nilai pertama kali yang sudah ditentukan sebelumnya saat melakukan pemeriksaan stasioneritas terhadap ragam.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Identifikasi Data dengan Plot
Plot menunjukkan bahwa selama periode bulan Februari 2005 hingga Februari 2022 terdapat kecenderungan menurun 2005 hingga 2016, kemudian berpola acak sebelum tahun 2020, lalu dilanjutkan dengan kecenderungan menaik saat tahun 2020 hingga 2021. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat indikasi ketidakstasioneran pada data sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dan pengujian stasioneritas baik terhadap ragam maupun rata-rata.
3.2 Pemeriksaan Stasioneritas terhadap Ragam
Nilai \(\lambda\) yang didapat dengan menggunakan perintah BoxCox ialah sebesar 0.573. Nilai tersebut masih jauh dari angka 1 karena suatu data akan dikatakan stasioner apabila nilai \(\lambda\) bernilai mendekati angka 1. Oleh karena itu, diperlukan transformasi Box-Cox sehingga didapat nilai \(\lambda\) sebesar 0.944. Nilai tersebut sudah mendekati angka 1 sehingga data sudah dapat dikatakan stasioner terhadap ragam setelah ditransformasi Box-Cox.
3.3 Uji Stasioneritas terhadap Rata-rata
Untuk mengidentifikasi data yang stasioner terhadap rata-rata, maka diperlukan uji Augmented Dickey Fuller (ADF). Uji tersebut merupakan uji stasioneritas untuk menentukan adanya akar unit (unit root) pada data deret waktu. Hipotesis uji yang digunakan adalah sebagai berikut.
\(H_0\) : \(\rho\) \(=\) 0 (Data tidak stasioner terhadap rata-rata)
\(H_1\) : \(\rho\) \(\neq\) 0 (Data stasioner terhadap rata-rata)
Kriteria pengujian yang digunakan yaitu:
Apabila nilai-p dari statistik uji bernilai kurang dari alpha (0.05) atau nilai statistik uji Dickey Fuller bernilai lebih besar dari nilai kritis MacKinnon, maka H0 ditolak. Artinya, data telah stasioner terhadap rata-rata.
Apabila nilai-p dari statistik uji bernilai lebih dari alpha (0.05) atau nilai statistik uji Dickey Fuller bernilai lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon, maka H0 diterima. Artinya, data belum stasioner terhadap rata-rata.
Berikut adalah tabel hasil pengujian:
| Differencing | Nilai-p | Keputusan |
|---|---|---|
| Tidak ada | 0.9723 | Terima H0 |
| Pertama | 0.248 | Terima H0 |
| Kedua | 0.01445 | Tolak H0 |
Berdasarkan hasil di atas, saat data belum dilakukan differencing dan saat dilakukan differencing pertama, kedua nilai-p masih bernilai lebih besar dari alpha (0.05) sehingga H0 diterima atau data masih belum stasioner terhadap rata-rata. Namun, saat sudah dilakukan differencing kedua, nilai-p (0.01445) bernilai lebih kecil dari alpha (0.05) sehingga H0 ditolak atau data sudah dapat dikatakan stasioner terhadap rata-rata.
3.4 Plot ACF dan PACF
Plot ACF menunjukkan orde q pada MA(q) sebesar 2 karena plot tersebut cut-off sampai lag ke-2. Sedangkan, orde p pada AR(p) bernilai 1 karena plot ACF menunjukkan cut-off sampai lag ke-1. Sebelumnya, data telah dilakukan differencing sebanyak 2 kali, sehingga orde p, d, q pada ARIMA(p,d,q) ialah ARIMA(1,2,2). Model tersebut ialah model tentatif, artinya hanya model sementara. Selanjutnya, akan dicari model yang paling sesuai berdasarkan model tentatif dengan menggunakan beberapa nilai orde p dan q dengan nilai p maksimal 1 dan nilai q maksimal sebesar 2.
3.5 Uji Diagostik Model
Berdasarkan banyaknya differencing dan orde yang dihasilkan dari plot ACF dan PACF, maka model tentatif yang dibentuk yaitu ARIMA(1,2,2), ARIMA(1,2,1), ARIMA(1,2,0), ARIMA(0,2,2), dan ARIMA(0,2,1). Untuk parameter pada AR(p) dan MA(q) ialah sebagai berikut.
Parameter AR(p):
\(H_0 : \hat{\phi} = 0\)
\(H_1 : \hat{\phi} \neq 0\)Parameter MA(q):
\(H_0 : \hat{\theta} = 0\)
\(H_1 : \hat{\theta} \neq 0\)
Statistik uji yang digunakan ialah:
Kriteria pengujian yang digunakan untuk kedua parameter tersebut adalah sebagai berikut.
Apabila nilai-p dari statistik uji t bernilai lebih besar dari alpha (0.05), maka H0 diterima. Artinya, parameter tidak berpengaruh signifikan terhadap model.
Apabila nilai-p dari statistik uji t bernilai lebih kecil dari alpha (0.05), maka H0 ditolak. Artinya, parameter berpengaruh signifikan terhadap model.
Di bawah ini adalah hasil pengujian diagnostik pada tiap model.
| Parameter | Koefisien | Nilai-p | Keputusan |
|---|---|---|---|
| \(\phi_1\) | -0.499 | 0.203 | Terima H0 |
| \(\theta_1\) | -0.953 | 0.041 | Tolak H0 |
| \(\theta_2\) | 0.014 | 0.978 | Terima H0 |
| Parameter | Koefisien | Nilai-p | Keputusan |
|---|---|---|---|
| \(\phi_1\) | -0.509 | 0.000 | Tolak H0 |
| \(\theta_1\) | -0.941 | 0.000 | Tolak H0 |
| Parameter | Koefisien | Nilai-p | Keputusan |
|---|---|---|---|
| \(\phi_1\) | -0.742 | 0.000 | Tolak H0 |
| Parameter | Koefisien | Nilai-p | Keterangan |
|---|---|---|---|
| \(\theta_1\) | -1.622 | 0.000 | Tolak H0 |
| \(\theta_2\) | 0.845 | 0.000 | Tolak H0 |
| Parameter | Koefisien | Nilai-p | Keputusan |
|---|---|---|---|
| \(\theta_1\) | -1.000 | 0.000 | Tolak H0 |
Berdasarkan uji diagnostik pada setiap model di atas, maka dipilih model yang seluruh parameternya memiliki nilai-p kurang dari alpha (0.05). Artinya, parameter tersebut signifikan terhadap model sehingga ARIMA(1,2,1), ARIMA(1,2,0), ARIMA(0,2,2), dan ARIMA(0,2,1) akan dilakukan pengujian kesesuaian model dalam pemenuhan asumsi.
3.6 Uji Kesesuaian Model
3.6.1 Uji White Noise
Uji white noise dilakukan dengan menggunakan uji Ljung-Box. Hipotesis uji yang digunakan adalah sebagai berikut.
\(H_0 : \rho_1 = \rho_2 = \dots = \rho_k = 0\) (Residual memenuhi syarat white noise)
\(H_1 :\) Minimal ada satu \(\rho_k \neq 0\), di mana \(k = 1,2,\dots,K\) (Residual tidak memenuhi syarat white noise)
Kriteria pengujiannya yaitu:
Apabila nilai-p dari statistik uji Q bernilai lebih kecil dari alpha (0.05), maka H0 ditolak. Artinya, residual belum memenuhi white noise.
Apabila nilai-p dari statistik uji Q bernilai lebih besar dari alpha (0.05), maka H0 diterima. Artinya, residual telah memenuhi white noise.
Tabel di bawah ini adalah hasil uji white noise dari tiap model yang sudah ditentukan sebelumnya.
| Model | Nilai-p | Keputusan |
|---|---|---|
| ARIMA(1,2,1) | 0.821 | Terima H0 |
| ARIMA(1,2,0) | 0.285 | Terima H0 |
| ARIMA(0,2,2) | 0.335 | Terima H0 |
| ARIMA(0,2,1) | 0.004 | Tolak H0 |
Berdasarkan Tabel 8, diketahui bahwa residual pada model ARIMA(1,2,1), ARIMA(1,2,0), dan ARIMA(0,2,2) memenuhi asumsi white noise dikarenakan nilai-p di tiap model bernilai lebih dari alpha (0.05). Sedangkan, residual model ARIMA(0,2,1) tidak memenuhi syarat white noise karena nilai-p (0.004) bernilai lebih kecil dari alpha (0.05).
Model yang dipilih ialah model yang memenuhi asumsi white noise sehingga ARIMA(1,2,1), ARIMA(1,2,0), dan ARIMA(0,2,2) akan dilanjutkan dengan melakukan uji normalitas residual.
3.6.2 Uji Normalitas Residual
Untuk menguji normalitas residual, dilakukan menggunakan uji Shapiro Francia. Pada dasarnya, uji Shapiro Wilk merupakan koreksi dari uji Shapiro Wilk dengan menggunakan hipotesis uji:
\(H_0\) : Residual berdistribusi normal
\(H_1\) : Residual tidak berdistribusi normal
Sedangkan, kriteria pengujian yang digunakan yaitu:
Apabila nilai-p dari statistik uji Shaporo Francia bernilai lebih dari alpha (0.05), maka H0 diterima. Artinya, residual data berdistribusi normal.
Apabila nilai-p dari statistik uji Shaporo Francia bernilai kurang dari alpha (0.05), maka H0 ditolak. Artinya, residual data tidak berdistribusi normal.
Dengan menggunakan uji Shapiro Francia, berikut ialah hasil pengujian yang didapatkan.
| Model | Nilai-p | Keputusan |
|---|---|---|
| ARIMA(1,2,1) | 0.000 | Tolak H0 |
| ARIMA(1,2,0) | 0.070 | Terima H0 |
| ARIMA(0,2,2) | 0.026 | Tolak H0 |
| ARIMA(0,2,1) | 0.000 | Tolak H0 |
Berdasarkan Tabel 9 di atas, didapat model ARIMA(1,2,0) memiliki nilai-p (0.070) yang bernilai lebih dari alpha (0.05) sehingga residual pada model tersebut berdistribusi normal. Sedangkan, pada ketiga model lainnya, nilai-p bernilai kurang dari alpha (0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga model tersebut memiliki residual yang tidak berdistribusi normal.
3.7 Model ARIMA
Dengan demikian, telah didapat 1 model terbaik sesuai dengan kasus ini, yaitu ARIMA(1,2,0) dengan model yang dibentuk berdasarkan operator backshift sebagai berikut.
\[
\phi_p(B)(1-B)^dY_t = \theta_q(B)e_t
\]
Di mana \(p\) = 1, \(d\) = 2, dan \(q\) = 0 sehingga:
\[
\begin{aligned}
\phi_1(B)(1-B)^2Y_t = \theta_0(B)e_t
\\
\phi_1(B)(1-B)^2Y_t = e_t
\\
(1-\phi_1B)(B^2-2B+1)Y_t = e_t
\\
(B^2-2B+1-\phi_1B^3+2\phi_1B^2-\phi_1B)Y_t = e_t
\\
Y_{t-2}-2Y_{t-1}+Y_t-\phi_1Y_{t-3}+2\phi_1Y_{t-2}-\phi_1Y_{t-1} = e_t
\\
Y_t = \phi_1Y_{t-3}-2\phi_1Y_{t-2}+\phi_1Y_{t-1}-Y_{t-2}+2Y_{t-1}+e_t
\end{aligned}
\]
Diketahui bahwa nilai \(\phi_1\) = -0.742, maka:
\[ Y_t = -0.742Y_{t-3}+1.484Y_{t-2}-0.742Y_{t-1}-Y_{t-2}+2Y_{t-1}+e_t \]
3.8 Peramalan
Hasil peramalan yang didapatkan sesuai dengan tabel di bawah ini.
| Periode | Tingkat Pengangguran Terbuka |
|---|---|
| Agustus 2022 | 7.866% |
| Februari 2023 | 7.472% |
Berdasarkan Tabel 10 di atas, diketahui bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka di DKI Jakarta untuk periode Agustus 2022 hingga Februari 2023 cenderung menurun. Angka tersebut merupakan angka yang perlu dipertahankan. Namun demikian, kita sebagai masyarakat Indonesia harus selalu waspada dengan segala kemungkinan yang terjadi, terutama dalam aspek perekonomian. Dengan banyaknya lapangan pekerjaan yang merata di seluruh wilayah akan mewujudkan tingkat pengangguran terbuka yang sangat minim dan tidak akan terjadi fenomena surplus angkatan kerja. Kemudian, generasi muda tentu menjadi penerus bangsa yang dapat memperbaiki perekonomian Indonesia ke depan sehingga diharapkan generasi muda tidak hanya menjadi konsumen yang konsumtif, namun juga mampu membangun perusahaan sendiri guna membuka lapangan pekerjaan.
4 DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. (2022). Februari 2022: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,83 persen dan Rata-rata upah buruh sebesar 2,89 juta rupiah per bulan. https://www.bps.go.id/pressrelease/2022/05/09/1915/februari-2022--tingkat-pengangguran-terbuka--tpt--sebesar-5-83-persen.html#:~:text=Tingkat%20Pengangguran%20Terbuka%20(TPT)%20Februari,poin%20dibandingkan%20dengan%20Februari%202021. Tanggal akses: 17 Mei 2022.
Badan Pusat Statistik. (2021). Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Provinsi (Persen), 2005 – 2022. https://www.bps.go.id/indicator/6/543/1/tingkat-pengangguran-terbuka-menurut-provinsi.html. Tanggal akses: 17 Mei 2022.
Badan Pusat Statistik. (2021). Ekonomi Indonesia Triwulan III 2021 Tumbuh 3,51 Persen (y-on-y). https://www.bps.go.id/pressrelease/2021/11/05/1814/ekonomi-indonesia-triwulan-iii-2021-tumbuh-3-51-persen--y-on-y-.html. Tanggal akses: 17 Mei 2022.
Damayanti, W. A. (2021). Kastrad Beraksi #2: Kondisi Perekonomian Indonesia di Tengah Pandemi Covid-19. Tanggal akses: 17 Mei 2022.
Fikri, Y. T. A. (2021). Analisis Peningkatan Angka Pengangguran akibat Dampak Pandemi Covid 19 di Indonesia. Indonesian Journal of Business Analytics, 1(2), 107-116.
Kementerian Keuangan RI. (2021). Pemerintah Terus Upayakan Pemulihan Ekonomi, Namun Tetap Waspada terhadap Pandemi Covid. https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/pemerintah-terus-upayakan-pemulihan-ekonomi-namun-tetap-waspada-terhadap-pandemi-covid/. Tanggal akses: 17 Mei 2022.
Muttaqin, H. (2020). Mengapa Tingkat Pengangguran Terbuka di Perkotaan Tinggi?. https://iesp.ulm.ac.id/mengapa-tingkat-pengangguran-terbuka-di-perkotaan-tinggi/. Tanggal akses: 17 Mei 2022.