Profil penulis (ORCID | GOOGLE SCHOLAR)
Artikel ini berisi lima fragmen pemikiran saya tentang kultur/budaya akademik yang pernah saya tulis secara acak dan tidak berurutan di blog saya pada bulan September 2018. Awalnya semua ini saya tulis sebagai pengingat untuk diri sendiri, tetapi kemudian saya berpikir sepertinya pengingat ini juga penting untuk orang lain.
Five well it’s six FORGOTTEN academic culture
Sekarang dengan berbagai keriuhan riset dan publikasi, maka saya mencoba menggabungkannya menjadi satu tulisan. Mungkin saja ada pembaca yang membutuhkannya. Seluruh gambar ilustrasi yang ada dalam tulisan ini adalah buatan saya sendiri, tetapi pembaca dibolehkan menyebarluaskannya (double click untuk melihat gambar secara utuh).
New magnetic pole
Ini mungkin terdengar klise. Anda pasti berpikir, kalau saya bekerja di bidang akademik, bukankah berarti setiap hari saya menyebarkan ilmu pengetahuan?
Benar.
Tetapi menurut saya itu adalah tugas memberikan kuliah.
Menyebarkan ilmu pengetahuan yang saya maksud berarti luas. Seluas ilmu pengatahuan dan seluas berbagai bentuk media diseminasi yang sekarang tersedia, diminta atau tidak.
Ini akan sangat berkaitan dengan proses komunikasi sains. Ada lima yang yang dibutuhkan untuk memperluas jangkauan riset kita:
- to define objectives,
- map potential target audience(s),
- target messages,
- define mode of communication/engagement, and
- create a dissemination plan.
Mau tidak mau, kalau kita memang berniat (saya tebalkan niat
di sini) menyebarluaskan hasil riset seluas mungkin (melewati batas atau tanpa batas), maka kita perlu memikirkan lima hal tersebut di atas.
Komunikasi sains sangat penting baik untuk bidang ilmu yang berdekatan dengan manusia seperti bencana atau kesehatan masyarakat/kedokteran, juga untuk bidang ilmu yang sekilas seperti jauh dari kehidupan manusia normal, seperti astronomi, material nano, atau fisika energi tinggi.
Jadi tanpa batas
di sini bisa berarti menjelaskan hal-hal rumit seperti Lubang Hitam atau Partikel Higgs Bosson ke anak-anak TK, atau menjelaskan perubahan iklim ke para pedangang asongan.
Komunikasi sains harus mampu menjangkau seluruh kalangan masyarakat, karena itu kreativitas dan inovasi sangat dibutuhkan.
Komunikasi sains mendekatkan sains dengan masyarakat. Jadi sebenarnya kalau jumlah sitasi adalah yang anda kejar, maka jangan malas untuk melakukan apa yang saya sampaikan di atas.
Openness creates engagement
Ini juga seperti klise. Semua peneliti juga kalau bicara pasti berdasarkan data.
Betul sekali.
Pasti itu yang terjadi. Bagaimana kita, sebagai peneliti, bisa menyimpulkan sesuatu tetapi tanpa data.
Pernyataan saya di atas juga punya arti luas. Contoh: ada berapa banyak pesan Whatsapp yang sebenarnya kabar bohong (hoax atau fake news) tapi disebarkan oleh para dosen dan peneliti. Ada berapa banyak berita di suatu situs berita daring yang disebarkan ulang oleh para peneliti tanpa mengonfirmasi isinya.
Setiap saat kita mendengar istilah data driven
, big data
dan sejenisnya, tetapi di sisi yang lain peneliti sendiri sering melupakan data ketika berbicara tentang suatu hal. Ini kenapa sejak awal saya tulis bahwa artikel ini adalah sebagai pengingat untuk diri saya sendiri.
Jadi yang saya maksud adalah bagaimana di setiap pemikiran, pernyataan, langkah dan upaya seorang peneliti, selalu ada data yang melandasinya.
Masalah berita bohong dan disinformasi ini sudah sangat berat, sampai UNESCO sendiri harus turun tangan, selain lembaga lainnya tentunya.
Ini juga pasti diartikan sangat klise, karena seorang peneliti melakukan itu semua.
Betul.
Semua peneliti pasti akan melaksanakan itu. Tapi hanya dalam lingkup yang sempit, yaitu dilakukan dalam sebuah kegiatan yang diberi label penelitian.
Yang saya maksud adalah memperluas terminologi penelitian.
Bahwa seorang peneliti akan membawa serta kebiasaan mengonfirmasi, menguji, dan mempertanyakan, dalam kehidupan sehari-hari. Kalau ini terjadi, maka setiap argumentasi yang dikemukakan oleh seorang peneliti baik dalam sebuah artikel ilmiah maupun pada setiap pernyataan lisannya adalah argumentasi yang kuat, yang telah menjalani iterasi.
Masih ingatkah kita nasihat kita kepada para murid atau mahasiswa untuk selalu bertanya? Memang ada banyak yang bilang bahwa kalau terlalu banyak bertanya, maka pekerjaan tidak akan selesai. Bahkan ada juga yang menyampaikan bahwa banyak bertanya adalah salah satu cara untuk menunda pekerjaan.
Sampai level tertentu saya setuju itu, tapi pada banyak level yang lain, kita jadi meninggalkan budaya bertanya karena dua pernyataan di atas. Akibatnya runyam, salah satunya adalah bagaimana cara kita menilai kinerja riset saat ini. Itu terjadi karena kita makin sedikit bertanya.
Ini juga saya artikan luas. Secara umum pasti orang akan melakukan itu. Menilai isinya manis atau tidak, dan bukan melihat dari kulitnya untuk menilai apakah isinya manis atau tidak. Satu-satunya cara untuk menilai buah manis atau tidak adalah dengan cara mencicipinya. Tidak ada cara lain.
Analogi ini saya perluas untuk melihat kualitas dari sebuah makalah ilmiah. Satu-satunya cara adalah dengan cara membacanya, yang kemudian dilanjutkan dengan mengonfirmasi, menguji, dan mempertanyakan. Sebuah makalah bukan dinilai dari di mana makalah itu diterbitkan, karena sehebat-hebatnya sebuah jurnal ilmiah, itu adalah selapis kulit luar saja.