“Just information and technology is not the key. Application of that knowledge is what makes the difference” – Barack Obama

Point of departure: Peringkat daya saing digital Indonesia

Kita sering mendengar Global Competitiveness Index yang dipublikasikan oleh World Economic Forum. Kita juga sudah akrab dengan publikasi Ease of Doing Business yang diterbitkan oleh World Bank. Namun kita jarang – atau bahkan belum pernah – mendengar World Digital Competitiveness Ranking.

Ya, World Digital Competitiveness Ranking (WDCR) mengukur kapasitas dan kesiapan negara-negara untuk mengadopsi dan mengeksplorasi teknologi digital sebagai pendorong utama transformasi ekonomi dalam bisnis, pemerintahan dan masyarakat luas. Pertama kali dipublikasikan tahun 2017, WDCR menggunakan 3 pilar utama dalam menentukan peringkat; knowledge, technology, dan future readiness.

Gambar 1: Indonesia dalam peringkat daya saing digital global, 2019. Sumber: IMD WDCR 2019, diolah.

Pada laporan WDCR edisi ketiga tahun 2019, Indonesia berada pada peringkat 56 dari 63 negara yang diamati (Gambar 1), naik 6 tingkat dibanding 2018 (peringkat 62). Apakah launching QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) tahun 2019 turut mendongkrak peringkat? Bisa jadi. Yang pasti, laporan itu menulis “Indonesia experienced an important progress from \(62^{nd}\) to \(56^{th}\). This result was driven largely by the technology factor with improvement in executive perceptions about the effectiveness of the regulatory framework and about the availability of capital for technology development” (laporan WDCR 2019). Namun, peringkat Indonesia di Kawasan Asia Pasifik masih tergolong rendah, yakni peringkat 13 dari 14 negara, di bawah Filipina (12), Thailand (10), Malaysia (9) dan Singapura (1) (lihat grafik pada lampiran). Di satu sisi, fakta ini mengisyaratkan bahwa Indonesia masih harus menuntaskan sejumlah pekerjaan rumah agar menjadi lebih kompetitif di era digital. Tetapi di sisi lain, peningkatan peringkat dari tahun 2018 menjadi bukti bahwa Indonesia terus berbenah diri dan berinovasi. Ini harus dilihat sebagai semangat Indonesia untuk terus mendongkrak daya saing digitalnya melalui percepatan transformasi digital.

Definisi transformasi digital

Tidak mudah menemukan definisi baku transformasi digital mengingat bervariasinya sudut pandang. Tak jarang, definisi transformasi digital dinilai sebagai sesuatu yang samar (vague) sehingga kerap menimbulkan kebingungan. Hal ini memotivasi Gregory Vial (2019) untuk melakukan penelitian tentang konsep transformasi digital. Menggunakan teknik semantic decomposition terhadap 282 studi tentang digital transformation, Gregory Vial (2019) membangun definisi konseptual transformasi digital sebagai berikut: “a process that aims to improve an entity by triggering significant changes to its properties through combinations of information, computing, communication, and connectivity technologies”.

Jadi, transformasi digital bukan hanya sekedar mengenalkan berbagai “gadget digital”. Transformasi digital bermakna jauh lebih luas, yakni mengubah budaya dan cara bekerja menuju pemanfaatan data dan teknologi sehingga dapat menghasilkan lebih banyak informasi serta pengambilan keputusan yang lebih cepat guna mencapai tujuan (organisiasi). Ini mengimplikasikan bahwa elemen kunci keberhasilan transformasi digital adalah kesiapan pola pikir dan mentalitas untuk mengadopsi inovasi yang berkelanjutan.

Mengapa perlu transformasi digital?

Alasan untuk melakukan transformasi digital setidaknya dapat dirangkum menjadi 2 kata berikut: competitiveness dan productivity. Mari kita kupas satu per satu. Pertama, competitiveness (daya saing). Bagi hampir semua jenis industri, transformasi digital diperlukan agar perusahaan tetap kompetitif (bahkan beberapa hanya untuk sekedar bertahan) di era digital yang akrab dengan kecepatan perubahan.

Di sektor keuangan, perubahan bahkan terasa jauh lebih cepat. Bagi perbankan misalnya, kehadiran teknologi digital yang memungkinkan branchless banking memaksa mereka untuk cepat menyesuaikan proses bisnis. Fasilitas penunjang seperti kantor cabang dan ATM yang telah berubah dari asset menjadi liability terpaksa dipangkas. Topik seputar zero-ops (mengotomatisasi jenis pekerjaan operasional) pun tak pernah absen dari agenda rapat dewan direksi. Semuanya itu dilakukan agar mereka tetap kompetitif. Selain itu, kehadiran berbagai produk dan inovasi digital di sektor keuangan dan sistem pembayaran juga menimbulkan sejumlah pertanyaan tentang masa depan industri keuangan, termasuk pertanyaan filosofis yang patut direnungkan: “apakah bank dan bank sentral masih diperlukan di masa depan?”


Ilustrasi


Perubahan yang semakin cepat karena kehadiran teknologi tersebut menuntut percepatan proses transformasi digital pada semua organisasi di industri keuangan, termasuk sang regulator, seperti Deutsche Bundesbank contohnya. Pada The \(2^{nd}\) EBF Cloud Banking Conference di Brussels tahun 2019, anggota Executive Board Deutsche Bundesbank, Burkhard Balz menyampaikan 3 alasan mengapa mereka menaruh perhatian besar pada transformasi digital. Pertama, digitalisasi membawa dampak yang luas pada seluruh aspek ekonomi. Kedua, digitalisasi secara fundamental merubah model bisnis industri keuangan yang dapat membawa potensi risiko bagi kestabilan sistem keuangan. Ketiga, digitalisasi memberi dampak langsung pada cara kerja sehari-hari di bank sentral, yang menuntut orang untuk menjadi “lebih digital”. Tak heran, berbagai bank sentral, termasuk Bank Indonesia (BI), kini tengah memacu proses transformasi digital sesuai mandat yang diemban masing-masing lembaga.

Alasan kedua adalah produktivitas, variabel yang sangat menentukan perkembangan ekonomi sebuah negara (Solow, 1953). Pertanyaannya, apa saja faktor yang mempengaruhi produktivitas? Tentu jawabannya sangat beragam dan di luar cakupan artikel ini. Namun, laporan WDCR tahun 2018 memberikan clue pada boks yang berjudul “Digital insights: Is there a link between productivity and digital competitiveness?”. Gambar 2 Figure 6a menunjukkan hubungan positif antara produktivitas tenaga kerja dan peringkat daya saing digital — semakin tinggi peringkat daya saing digital, semakin tinggi tingkat produktivitas sebuah negara. Dari 3 faktor penentu peringkat daya saing digital, produktivitas tenaga kerja memiliki koefisien korelasi tertinggi dengan faktor kesiapan mengadopsi dan mengeksplorasi teknologi digital masa depan (future readiness), termasuk kesiapan untuk mengelola disruptions dari teknologi digital (Figure 6b). Artinya, produktivitas tenaga kerja di suatu negara berkaitan erat dengan kemampuan adaptasi terhadap teknologi baru (laporan WDCR 2018).

Gambar 2: Daya saing digital dan produktivitas. Sumber: IMD WDCR 2018.

Bagi BI, kedua hal tersebut - competitiveness dan productivity - juga secara implisit menjadi tujuan dari program transformasi digital (BI digital), yakni meningkatkan kemampuan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan maupun kelembagaan berbasis digital sehingga lebih efektif, efisien dan berdaya saing dalam melaksanakan mandatnya untuk mencapai stabilitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Lalu bagaimana agar program transformasi digital membuahkan hasil?

Strategi implementasi transformasi digital: Peeking at the best practices

Publikasi hasil penelitian MIT Sloan bekerjasama dengan Deloitte menunjukkan bahwa kunci keberhasilan pelaksanaan transformasi digital terletak pada strategi, bukan teknologi (akses laporan). Laporan tersebut juga menunjukkan perbedaan yang mendasar antara organisasi yang lebih mapan secara digital dengan yang kurang mapan. Organisasi yang lebih mapan berfokus pada strategi pengintegrasian berbagai teknologi digital sebagai dasar untuk mengubah cara bekerja, sedangkan organisasi yang kurang mapan fokus pada pemilihan teknologi secara ad-hoc untuk pemecahan masalah bisnis tertentu (solving discrete business problem with individual digital technology).

Jika strategi lebih penting, lalu apa saja elemen utama yang harus ada di dalamnya? Mari kita “intip” key success factors dari strategi organisasi yang dinilai berhasil melakukan transformasi digital (Gambar 3).

Gambar 3: Faktor kunci keberhasilan strategi transformasi digital. Dihimpun dari berbagai sumber.

Digital Agenda Bank Indonesia 4.0

Lalu bagaimana strategi yang dapat dilakukan dalam implementasi BI digital? Dengan mengacu pada key success factors di atas serta kontekstualisasi pada proses kerja dan nilai-nilai strategis (NNS) BI, berikut usulan 4 strategi kunci implementasi BI digital yang saya rangkum ke dalam “Digital Agenda Bank Indonesia 4.0”.

  1. Menyusun peta jalan (roadmap) transformasi digital dan mengkomunikasikannya secara intensif kepada seluruh pegawai. Roadmap transformasi digital sebaiknya dapat menjawab 4 pertanyaan berikut (dikutip dari berbagai sumber):
  1. Mengapa organisasi perlu transformasi digital?
  2. Kondisi apa (prakondisi) yang perlu dicapai untuk menjamin keberhasilan transformasi?
  3. Apa atau bagian organisasi mana yang perlu mendapat prioritas untuk transformasi?
  4. Bagaimana urutan (sequence) dalam mengeksekusi program dari waktu ke waktu?
  1. Meningkatkan kapasitas digital SDM: groom internal talent or recruit tech-savvy graduate. Mengacu penelitian Solow (1957), penambahan investasi tanpa diikuti dengan peningkatan human capital tidak akan berdampak besar bagi pertumbuhan ekonomi. Jumlah komputer yang banyak, data yang kaya serta akses internet yang cepat tidak akan berdampak signifikan pada peningkatan produktivitas jika penggunanya technology illiterate, tepat seperti kata President Obama. Sebagai langkah awal peningkatan kapasitas digital pegawai, DSDM dan satker perlu memetakan kebutuhan kompetensi digital ke depan, misalnya mengidentifikasi top 5 most required digital competencies and skills. Selanjutnya adalah menentukan kompetensi dan keahlian apa saja yang dapat dipenuhi secara interal dan mana yang harus dengan rekruitmen. Sedapat mungkin pemenuhan dilakukan secara internal, baik melalui pendidikan formal (Program Tugas Belajar - PTB) maupun non-formal seperti kursus. Kesempatan mengikuti kursus sebaiknya dibuka seluas mungkin, terutama yang berupa on-line course, mengingat banyaknya jumlah dan pilihan program yang tersedia, lebih fleksibel dari sisi waktu dan pegawai tidak perlu memenuhi berbagai persyaratan sebagaimana PTB. Tentu strategi ini memerlukan penyesuaian pada ketentuan pengembangan SDM, terutama terkait pilihan topik dan hal-hal teknis lainnya. Bagi yang telah menguasai programing dan pengetahuan data science, peningkatan kapasitas dapat dilakukan dengan mengikuti virtual internship secara gratis di berbagai perusahaan internasional seperti KPMG dan ANZ dengan waktu kerja yang fleksibel (virtual internship KPMG, ANZ). Sesuai dengan NNS “Professionalism” dan “Excellence”, pegawai hendaknya didorong untuk lebih proaktif mengikuti on-line course dan virtual internship seperti ini guna meningkatkan kompetensi dan keahlian di bidang digital secara berkesinambungan.

  2. Membangun dan menghidupkan budaya digital di setiap level organisasi. Seperti yang dibahas sebelumnya, transformasi digital menekankan pentingnya perubahan budaya organisasi, which is tidak mudah untuk diwujudkan. Dalam Digital Transformation Trend Survey 2018 yang dilakukan oleh Jabil, 74% responden menjawab tantangan terbesar dalam transformasi digital adalah merubah budaya organisasi, dan sisanya sebanyak 26% menjawab merubah jenis teknologi. Ini berkaitan erat dengan fakta bahwa pada dasarnya manusia lebih bersifat skeptis terhadap perubahan (akses laporan). Hal tersebut juga saya amati ketika bertugas sebagai Change Agent Coordinator periode 2017-2019 di KPw Provinsi Kalimantan Timur, di mana umumnya pegawai dapat dibedakan ke dalam 3 kelompok, yakni yang mendukung perubahan, yang tidak mendukung perubahan, dan yang tidak keduanya (biasanya kelompok terakhir bias ke kelompok pertama). Karena itu, diperlukan komunikasi persuasif sekaligus komitmen keteladanan dari pimpinan agar pegawai merasa yakin bahwa program transformasi BI digital akan membawa dampak yang lebih baik bagi organinsasi dan seluruh pegawai. Ini sejalan dengan NNS “Trust & Integrity” dan “Public interest”. Selain itu, peran change management juga sangat vital. Berbagai program budaya kerja perlu “ditransformasi” juga, misalnya membuat program “digital learning and sharing” dan menegaskan designation para change agents menjadi Digital Change Agents.

  3. Mendesain eksperimen perubahan sistem dan proses bisnis. Di tahap awal, perlu ruang bagi “keberanian” pegawai atau satker untuk mengeksplorasi cara dan tools yang baru. Tentu saja hal tersebut harus dipagari dengan manajemen risiko. Dalam konteks ini, penerapan regulatory sandbox framework menjadi relevan. Satu contoh doable experiment adalah proses kerja pengolahan data harian harga pangan strategis untuk mendukung analisa dan proyeksi inflasi. Saat ini data sudah berbentuk digital (digitized) yang tersedia di website PIHPS Nasional maupun daerah. Menuju kepada digitalisasi, ekstraksi data dapat dilakukan dengan teknik web-scraping dari website. Selanjutnya, menggunakan bahasa pemrograman, proses pengolahan data mulai dari yang bersifat updating hingga penyusunan laporan dapat dilakukan secara otomatis. Di bidang riset, sebagai implementasi dari NNS “Coordination & Teamwork”, platform jaringan sosial yang dirancang khusus bagi para developer dan peneliti (seperti GitHub) dapat dimanfaatkan untuk mempermudah kolaborasi riset (internal dan eksternal) dan menghasilkan penelitian yang dapat dibuat ulang (reproducible). Pemanfaatan Google Colab juga dapat dioptimalkan untuk kolaborasi riset yang menggunakan scripting language seperti Python atau R sebagai backbone untuk mengolah data yang disimpan pada cloud storage (contoh output). Tentu ada banyak sistem kerja lain yang dapat dijadikan business experiments bahkan menjadi prototype. Yang penting, output dan outcome dari eksperimen penggunaan “cara dan alat baru” tersebut dievaluasi secara komprehensif, baik dari sisi feasibility maupun cost and benefit, untuk mengidentifikasi what’s working and what’s not. Sistem evaluasi ini sangat penting untuk memastikan proses transformasi digital berjalan sesuai roadmap, mengingat business process yang dapat “diupgrade” akan semakin bervariasi seiring peningkatan kapasitas digital pegawai.

To sum up, era digital menuntut organisasi untuk cepat beradaptasi dan melakukan transformasi digital agar tetap kompetitif dan produktif. In kind, tema transformasi “Menjadi bank sentral digital terdepan” harus didukung sepenuhnya untuk memastikan Bank Indonesia tetap relevan dalam era yang cepat berubah. And now digital transformation is the new norm.


Daftar Referensi

Boutetiere, H., Montagner, A., Reich, A. (2018). Unlocking success in digital transformations. McKinsey & Company.

Higgins, M. (2020). Digital Transformation: How To Plan For Success. Forbes Technology Council.

IMD Competitiveness Center (2018). IMD World Digital Competitiveness Ranking 2018.

IMD Competitiveness Center (2019). IMD World Digital Competitiveness Ranking 2019.

Jabil (2018). Trends in Digital Transformation. A survey of technology and business stakeholders in manufacturing companies, January 2018. www.jabil.com

Kane, G.C., Palmer, D., Phillips A.N., Kiron, D., and Buckley, N. (2018). Strategy, not Technology, Drives Digital Transformation. Becoming a digitally mature enterprise. MITSloan Research Report in collaboration with Deloitte University Press.

Geissbauer, R., Vedso, J., Scrauf, S. (2016). Industry 4.0: Building the digital enterprise. PwC 2016 Global Industry 4.0 Survey.

Solow, R. (1957). Technical Change and the Aggregate Production Function. The Review of Economics and Statistics, 39(3), 312-320. doi:10.2307/1926047

Vial, G. (2019). Understanding digital transformation: A review and research agenda. The Journal of Strategic Information Systems 28, 118–144. https://doi.org/10.1016/j.jsis.2019.01.003


Lampiran