Bulan puasa, home alone, gabut, and here I am. Akhirnya maksain ngetik di depan laptop

Selama self-quarantine padahal ga sibuk2 amat. Saya cuma sibuk di malem hari pas online class, sementara pas siang…entahlah. Ngapain ya? Lewat aja kayanya lol. Udah ga kerja juga kan, paling beberapa hari terakhir diseret Bundo ke dapur buat bantuin bikin kue lebaran, tapi selama tiga minggu sebelumnya, ga inget lagi saya udah ngapain aja.

What a Ramadhan to waste. Kalo Bapak tau, saya bisa diceramahin dua jam ini. Nganggur sampe udah lewat puasa wkwk.

Anyway, karena ini cuma buat pemanasan setelah lima bulan ga ngeblog, please do not expect this post to have any objective haha.

Kalo Pemerintah Republik Indonesia aja boleh ga punya kejelasan buat ambil kebijakan selama PSBB, saya yang cuma nulis di blog privat yang ga dibaca orang, boleh dong kalo nulis tanpa tujuan.

But seriously deh. Sejak awal coronavirus ini merebak di Wuhan dan negara-negara tetangga mulai kena (Singapore, Malaysia), saya geregetan banget kenapa Pemerintah sepertinya anteng-anteng aja. Entah bebal, entah denial. Yang jelas, Pemerintah malah ngucurin dana 72 miliar buat influencer Pariwisata. Dana itu diberitakan tanggal 26 Februari di Kompas, dan saat itu Singapore udah memberitakan 93 warganya positif infeksi ncovid, sedangkan Malaysia 22 positif. Agak ke bawah sedikit, Australia yg jauh dari mana-mana pun saat itu sudah mendeteksi 15 orang positif.

Column


data dari humanitydata.org, plotnya saya bikin sendiri. Makanya jele

Italy & Iran was included to visualize neighbor countries stats compared to major epicentrums

Nih, lihat kan apa yang Pemerintah Indonesia lakukan di akhir Februari

https://nasional.kompas.com/read/2020/02/25/20380521/pemerintah-anggarkan-rp-72-miliar-untuk-bayar-influencer-demi-tingkatkan

https://nasional.kompas.com/read/2020/02/26/17094051/heboh-anggaran-rp-72-miliar-untuk-influencer-ini-penjelasan-menteri

I know I KNOW, niat Pemerintah baik. Mereka pengen sektor pariwisata kita tetep jalan. Keeping the governance, stick to plan and budget holder, I know. Kalau budgetnya udah di-tag sama Kementerian Pariwisata, ya harusnya memang dipakai sama mereka.

Tapi dalam kondisi seperti ini?

https://news.detik.com/berita/d-4902550/doakan-indonesia-bebas-corona-menkes-kenapa-malu-andalkan-tuhan

Of course, Pak. Technically Indonesia tanggal segitu memang masih bebas corona, wong testing aja belum ada. Simbah-simbah ustad kampung juga bisa ndek mung ndonga, Pak. Luwih manjur dongane beliau-beliau kuwi, malah

Belum lagi anak-anak FK edgy keblinger itu yang bilang “Kalian kenapa sih pengen banget corona masuk Indonesia?”. Well, good luck aja deh sekarang. Mudah-mudahan masih semangat belajar kedokteran ketika kalian sadar pandemi itu nyata dan nyawa kalian jadi taruhannya.

Okay. Paragraf terakhir abaikan saja, saya masih gemes aja sama komentar anak-anak itu yang bilang orang-orang yang teriak-teriak corona itu lebay. Bukan salah mereka kok kalo mereka bilang ga ada corona di Indonesia. Mereka cuma korban ke pekok-an Bapak-Bapak di atas sana.

Tapi bayangkan dong, kita baru sadar corona masuk Indonesia ketika Pasien 01 inisiatif lapor. INISIATIF. Bayangkan dong kalo beliau cuek aja dan menganggap dirinya cuma flu dan sesak biasa, habis itu jalan-jalan ke mall, tetep kerja seperti biasa?

Singkat cerita kasus positif coronavirus naik, dan akhirnya Pemerintah menginstruksikan buat pekerja untuk work from home, dan aktivitas ekonomi non-essential ditutup. Pusat perbelanjaan close kecuali buat swalayan bahan makanan. PSBB, ceunah.

Hotel & agen travel tutup >>>

Revenue perusahaan nol >>>

Pekerja dirumahkan/diliburkan tanpa gaji >>>

Pekerja ga bisa makan >>>

Pedagang pendapatannya berkurang >>>

Pedagang jadi susah makan juga.

Ini baru dari dua sektor.

Padahal industri se-ganyambung pabrik handphone juga sebenernya kena dampak. Kalau pekerja hotel ga punya uang, mereka ga bisa beli hape dong. Nanti sales oppo ga achieve target, ga jadi dapet bonus deh. Regional head oppo juga kena karena targetnya. Bonus ga cair, gabisa bayar cicilan mobil sama rumah.

Tuh, perusahaan leasing mobil sama bank juga kena kan.

Semua orang susah, I told you.

Nah, di tengah-tengah masyarakat banyak yang lagi kesulitan itu, Pemerintah masih sempat-sempatnya rilis kartu Prakerja. Anggaran 20 triliun mentok buat urusan itu, di saat orang-orang lagi banyak di PHK dan butuh makan sehari-hari.

Ya, ya, saya paham kalau orang-orang memang perlu difasilitasi untuk belajar. Tapi kalau mereka kelaparan dan stress besok ga ada uang buat beli beras dan tabung gas, ya apa gunanya fasilitas belajar? Not to mention those overpriced online classes.

While I might justify for the coding classes, but…kelas wirausaha? Kelas jualan online? You literally could find them in youtube for free.

Atau kalau pengen belajar ilmu yang ndakik-ndakik, cek coursera (https://www.coursera.org/) atau edx (https://www.edx.org/) deh. Gratis tis tis cuma modal kuota. Mendingan arahkan masyarakat buat download atau akses website itu, lalu kucurkan 20T itu buat insentif tenaga medis atau perbanyak BLT.

Pembatasan sih pembatasan, cuma kan ga semua orang bisa bertahan dengan itu, pak. Bantuan sembako Pemerintah paling berapa, sih? Sekali dua kali doang, apa itu cukup untuk satu bulan, satu keluarga 4 anggota? Between those two periods of pembagian sembako, mereka mau ga mau harus tetap keluar cari uang, bagaimanapun juga. Peraturan be damned, some people would rather get jailed for breaking the rules than die not trying to get cashes. They just can’t afford it. Laper, pak.

Same applied to larangan mudik. Those with stable job mungkin bisa survive tanpa mudik, but those with daily allowance and now jobless because their source of income is closed? Ya mending pulang kampung. At least, di kampung harga-harga masih murah. At least, mereka deket emak.

Please don’t let me start with that disharmonized “Enggak Mudik Tetap Asyik” jingle those boomers came up with.

Dan baru dua bulan setelah kasus pertama muncul di Indonesia, Pemerintah sudah mau ngeluarin wacana untuk mulai restart aktivitas ekonomi bertahap.

Teorinya begitu, bertahap. Tapi di saat kondisi Indonesia masih undertesting dan medically understaffed, hal seperti itu cuma bakal bikin situasi makin runyam. Kebayang PSBB baru direlaksasi satu hari, mendadak orang-orang yang pneumonia naik 10.000. Saya ga bilang mereka positif ncovid loh, karena kapasitas testingnya pasti ga sampe segitu , kan?

Teorinya sih, new normal. Ekonomi dilanjutkan dengan tetap menjaga jarak. Tapi itu utopia sih, mimpi. As if orang-orang yang tiap hari naik bis dan kereta bakalan bisa jaga jarak. As if orang-orang yang kerjanya jualan di pasar bakalan bisa nyuruh pembeli untuk bayar cashless dan dari jarak 2 meter.

Even if anak-anak researcher sekarang lagi pada dikejar deadline buat bikin rapid test, ventilator apalah itu yang lokal dan efektif, tapi saya yakin by the time barangnya jadi pun, kalau aktivitas udah kembali (new) normal, dokter dan perawat yang akan handle bakal teriak lagi. What’s the point anyway, kalau ekonomi diresume seminggu habis itu distop lagi karena orang-orangnya sakit semua?

Anyway. Supaya konten postingan ini tidak cuma komplain aja, ada beberapa hal yang bisa saya usulkan (di luar the obvious BLT, please). In case negara lagi kesulitan uang dan birokrasinya mbulet kalau mau realokasi anggaran, saran-saran ini ga butuh banyak uang kok:

  1. Perkara konferensi pers. Beda dengan opini kebanyakan, saya setuju angka ODP-PDP-Positif ga dijabarkan di konpers. Saya personally udah capek juga, data numerik repetitif time series begitu cukup ditaruh di website lah, yang butuh bisa tinggal cek sendiri. Konpers lebih baik fokus ke update-update kualitatif, misalnya berapa banyak APD yang sudah disalurkan. Atau bagaimana progress pengembangan test kit dalam negeri. Atau bantuan apa aja yang sudah diterima Pemerintah Indonesia per hari ini.

  2. Perbaiki kualitas jaringan. Ini mah pake duit swasta kok, orang infrastruktur-infrastruktur mereka sendiri juga. Kemkominfo tinggal kasih SK Menteri. Paling kalau mau, untuk provider swasta yg kesulitan keuangan, Kemkominfo bisa subsidi mereka (atau bikin incentive based deh, biar ga gede duitnya). Daripada anggaran kemkominfo kepake buat ngeblock-ngeblock situs yang ujung-ujungnya bisa diakses pakai VPN, lebih baik buat membantu implementasi work from home. Ga butuh uang lagi kan ini? Cuma realokasi internal kemkominfo aja, kalaupun mereka bantuin?

  3. Perketat aturan work from home. Anulir semua ijin penyimpangan-penyimpangan untuk Perusahaan yang di luar industri yang kritikal, semua harus bisa work from home with any cost. Meeting-meeting internal via online aja lah, paling kalau butuh ketemu customer preferred aja baru face to face.