1 Pendahuluan

Cuplikasi dialog yang sering saya temui.

Saya: Assalamu'alaikum wrwb. Apa kabar?

Mahasiswa: Alaikumsalam wrwb. Kabar baik Pak.

Saya: Bagaimana riset anda? Sudah punya topik?

Mahasiswa 1: Duh belum Pak, kan baru masuk.

Mahasiswa 2: Macet Pak, ide ada Pak tapi masih sebatas angan-angan, susah merumuskannya.

Mahasiswa 3: Iya Pak, entah, ini sudah kejar-kejaran dengan waktu tapi masih saja belum ketemu.

Kalau mahasiswa yang saya temui masih di berada di posisi semester 1, ok bisa dipahami. Masalahnya kadang mahasiswa sudah di tahun kedua, atau tahun terakhir untuk program S2, mereka masih juga belum menemukan topik yang pasti. Tidak hanya di mahasiswa S2, masalah yang sama juga terjadi di mahasiswa S3.

Wah bagaimana bisa selesai ini.

Tulisan (pendek) ini saya susun, salah satunya karena masih banyak mahasiswa yang seperti susah sekali memilih topik riset. Dalam salah satu kuliah saya sering bergurau, “sepertinya lebih mudah memilih dan menentukan suami atau istri ya, dibanding topik riset”. Memang begitulah adanya.

Kebanyakan yang akan saya tulis adalah pengalaman saya sendiri yang sudah menjadi mahasiswa sejak tahun 1994 hingga tahun 2009 saya dinyatakan lulus pendidikan tingkat paling tinggi, S3. Jadi hitung saja, berapa tahun saya menghabiskan usia untuk sekolah. Memang sekarang hanya bisa jadi bahan gurauan kawan-kawan SMA saya.

Dalam tulisan ini ada dua sisi, memilih topik dari sisi mahasiswa dan dari sisi pembimbing. Nah untuk sisi pembimbing saya memilih untuk mengambil contoh dari supervisor saya sendiri, teknik supervisor saya saat magang di University of Sydney, dan teknik yang saya ambil dari beberapa referensi.

Selanjutnya, “Susahnya mencari originalitas”