Ahmad Firmansyah
NPM: 14016010230073
Program Studi Statistika
ANALISIS SPASIAL TUBERKULOSIS (TBC)
DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
TAHUN 2024
Ahmad Firmansyah
14016010230073
PROGRAM STUDI STATISTIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2025
Tuberkulosis (TBC) masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang signifikan di Indonesia, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Distribusi kasus TBC antar kabupaten/kota di NTB diduga tidak bersifat acak secara geografis, melainkan dipengaruhi oleh karakteristik wilayah serta keterkaitan spasial antar daerah. Oleh karena itu, pendekatan analisis spasial diperlukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai pola penyebaran penyakit ini.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola distribusi spasial kasus TBC di Provinsi NTB tahun 2024, mengidentifikasi keberadaan autokorelasi spasial, serta mengestimasi model ekonometrika spasial yang sesuai. Data yang digunakan merupakan data sekunder berupa data kasus TBC tingkat kabupaten/kota yang digabungkan dengan data spasial batas administrasi wilayah. Metode analisis yang digunakan meliputi analisis deskriptif spasial, uji autokorelasi spasial global menggunakan Moran’s I, analisis autokorelasi spasial lokal (LISA), serta pemodelan regresi non-spasial dan spasial, yaitu Ordinary Least Squares (OLS), Spatial Autoregressive Model (SAR), Spatial Error Model (SEM), dan Spatial Durbin Model (SDM).
Hasil analisis menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif yang signifikan secara global pada distribusi kasus TBC di Provinsi NTB. Model regresi spasial, khususnya Spatial Durbin Model (SDM), memberikan kinerja terbaik dibandingkan model non-spasial dalam menjelaskan variasi kasus TBC antarwilayah. Meskipun demikian, analisis LISA tidak menunjukkan pembentukan klaster lokal yang signifikan, yang mengindikasikan bahwa permasalahan TBC di Provinsi NTB bersifat menyebar dan tidak terlokalisasi secara ekstrem.
Hasil penelitian ini menegaskan pentingnya pendekatan spasial dalam analisis penyakit menular berbasis wilayah serta dapat menjadi dasar pertimbangan bagi perumusan kebijakan pengendalian TBC yang lebih terintegrasi dan berbasis regional di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Kata kunci: tuberkulosis, analisis spasial, autokorelasi spasial, ekonometrika spasial, Provinsi Nusa Tenggara Barat
Penyakit tuberkulosis (TBC) masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia. Indonesia bahkan termasuk dalam daftar negara dengan beban TBC tertinggi di dunia, baik dari sisi jumlah kasus maupun tingkat penularannya (World Health Organization [WHO], 2023). Kondisi ini menunjukkan bahwa upaya pengendalian TBC belum sepenuhnya optimal dan masih menghadapi berbagai tantangan, terutama yang berkaitan dengan faktor lingkungan, sosial, dan wilayah geografis.
Distribusi kasus TBC pada dasarnya tidak terjadi secara acak di ruang. Wilayah-wilayah tertentu cenderung memiliki jumlah kasus yang lebih tinggi dibandingkan wilayah lain akibat adanya kesamaan karakteristik spasial, seperti kepadatan penduduk, kondisi sosial ekonomi, akses terhadap fasilitas kesehatan, serta faktor lingkungan fisik (Anselin, 1988; Waller & Gotway, 2004). Oleh karena itu, pendekatan spasial menjadi penting untuk memahami pola penyebaran penyakit TBC secara lebih komprehensif.
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang masih menghadapi permasalahan TBC. Perbedaan karakteristik antar kabupaten/kota di NTB, baik dari sisi demografi maupun kondisi geografis, berpotensi menimbulkan variasi spasial dalam jumlah kasus TBC. Jika variasi ini tidak diperhitungkan dalam analisis, maka hasil yang diperoleh dapat bersifat bias dan kurang mencerminkan kondisi sebenarnya (LeSage & Pace, 2009).
Pendekatan ekonometrika spasial menawarkan kerangka analisis yang mampu menangkap adanya ketergantungan antarwilayah (spatial dependence) dan heterogenitas spasial. Model-model seperti Spatial Autoregressive Model (SAR) dan Spatial Error Model (SEM) memungkinkan peneliti untuk memasukkan pengaruh wilayah sekitar dalam menjelaskan fenomena yang dikaji (Anselin, 2003). Dengan demikian, analisis spasial tidak hanya menjelaskan hubungan antarvariabel, tetapi juga bagaimana hubungan tersebut dipengaruhi oleh lokasi geografis.
Berdasarkan latar belakang tersebut, analisis spasial terhadap data TBC di Provinsi NTB menjadi relevan untuk dilakukan. Analisis ini diharapkan mampu memberikan gambaran pola penyebaran kasus TBC secara spasial serta mengidentifikasi adanya keterkaitan antarwilayah yang dapat menjadi dasar dalam perumusan kebijakan kesehatan yang lebih tepat sasaran.
Berdasarkan uraian latar belakang, beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Agar penelitian ini lebih terarah, maka batasan penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:
.csv.Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang penyebarannya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sosial, dan geografis. Penyakit ini tidak hanya berkaitan dengan kondisi individu, tetapi juga dipengaruhi oleh karakteristik wilayah tempat individu tersebut tinggal, seperti kepadatan penduduk, kondisi perumahan, mobilitas penduduk, serta akses terhadap layanan kesehatan (World Health Organization [WHO], 2023).
Dalam konteks spasial, kasus TBC cenderung membentuk pola tertentu, di mana wilayah dengan jumlah kasus tinggi sering kali berdekatan dengan wilayah lain yang juga memiliki kasus tinggi. Fenomena ini menunjukkan bahwa penyebaran TBC memiliki dimensi spasial yang kuat dan tidak bersifat acak (Waller & Gotway, 2004). Oleh karena itu, analisis berbasis wilayah menjadi penting untuk memahami dinamika penyebaran penyakit TBC secara lebih mendalam.
Pendekatan spasial memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi wilayah prioritas penanganan, seperti hotspot atau klaster kasus tinggi, yang tidak dapat terdeteksi secara optimal melalui analisis statistik konvensional. Dengan demikian, perspektif spasial menjadi alat yang relevan dalam perumusan kebijakan kesehatan berbasis wilayah.
Dependensi spasial (spatial dependence) mengacu pada kondisi di mana nilai suatu variabel di suatu lokasi dipengaruhi oleh nilai variabel yang sama di lokasi lain yang berdekatan. Prinsip ini sejalan dengan hukum pertama geografi yang menyatakan bahwa “segala sesuatu saling berhubungan, tetapi hal-hal yang berdekatan memiliki hubungan yang lebih kuat” (Tobler, 1970).
Dalam analisis spasial, keberadaan dependensi spasial melanggar asumsi independensi observasi yang umum digunakan dalam model regresi klasik. Jika dependensi spasial diabaikan, maka estimasi parameter yang dihasilkan dapat menjadi tidak efisien atau bahkan bias (Anselin, 1988). Oleh karena itu, penting untuk mendeteksi dan mengakomodasi ketergantungan spasial dalam analisis data wilayah.
Dependensi spasial biasanya dimodelkan melalui matriks pembobot spasial (spatial weights matrix), yang merepresentasikan hubungan ketetanggaan antarwilayah. Matriks ini dapat dibangun berdasarkan kriteria contiguity (berbagi batas wilayah) atau jarak geografis antar lokasi (LeSage & Pace, 2009).
Autokorelasi spasial merupakan ukuran statistik yang digunakan untuk menilai sejauh mana suatu variabel memiliki pola pengelompokan atau penyebaran di ruang. Autokorelasi spasial positif menunjukkan bahwa wilayah dengan nilai tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah bernilai tinggi, begitu pula wilayah bernilai rendah dengan wilayah bernilai rendah. Sebaliknya, autokorelasi spasial negatif menunjukkan pola penyebaran yang cenderung terpisah (Cliff & Ord, 1981).
Salah satu ukuran autokorelasi spasial global yang paling umum digunakan adalah Moran’s I. Statistik Moran’s I digunakan untuk menguji apakah pola distribusi suatu variabel bersifat acak, mengelompok, atau tersebar secara spasial (Anselin, 1995). Nilai Moran’s I yang signifikan secara statistik menunjukkan adanya ketergantungan spasial yang perlu diperhatikan dalam analisis lanjutan.
Selain autokorelasi global, analisis autokorelasi spasial lokal melalui Local Indicators of Spatial Association (LISA) digunakan untuk mengidentifikasi klaster spasial secara lebih spesifik. LISA mampu menunjukkan wilayah yang termasuk dalam klaster High-High, Low-Low, High-Low, dan Low-High, sehingga sangat berguna dalam identifikasi hotspot dan coldspot penyakit (Anselin, 1995).
Ekonometrika spasial merupakan pengembangan dari analisis regresi yang dirancang untuk mengakomodasi ketergantungan spasial dan heterogenitas wilayah. Pendekatan ini menjadi relevan ketika data yang dianalisis memiliki struktur geografis, seperti data kesehatan antar kabupaten atau kota (Anselin, 2003).
Salah satu model yang umum digunakan adalah Spatial Autoregressive Model (SAR), di mana variabel dependen di suatu wilayah dipengaruhi oleh variabel dependen di wilayah sekitarnya. Model ini menangkap efek spillover atau efek limpahan antarwilayah melalui parameter spasial rho (ρ) (LeSage & Pace, 2009).
Selain SAR, Spatial Error Model (SEM) digunakan ketika ketergantungan spasial muncul pada komponen error. Model SEM mengasumsikan bahwa pengaruh spasial berasal dari faktor-faktor yang tidak terobservasi tetapi memiliki pola geografis tertentu, yang direpresentasikan melalui parameter lambda (λ) (Anselin, 1988).
Pemilihan model spasial yang tepat sangat penting karena masing-masing model memiliki implikasi interpretasi yang berbeda. Oleh karena itu, perbandingan antara model non-spasial dan model spasial, serta antar model spasial itu sendiri, menjadi langkah penting dalam analisis ekonometrika spasial.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa pendekatan spasial efektif dalam menganalisis penyebaran penyakit menular, termasuk TBC. Studi-studi sebelumnya menemukan bahwa kasus TBC sering membentuk klaster spasial yang signifikan, terutama di wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi dan akses layanan kesehatan yang terbatas (Osei et al., 2017; Zhang et al., 2020).
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa model regresi spasial memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan regresi konvensional dalam menjelaskan variasi kasus TBC antarwilayah (Moraga, 2019). Hal ini menguatkan pentingnya memasukkan dimensi spasial dalam analisis penyakit berbasis wilayah.
Berdasarkan kajian pustaka tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendekatan spasial dan ekonometrika spasial merupakan metode yang relevan dan tepat untuk menganalisis distribusi kasus TBC di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan analisis spasial. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menganalisis hubungan antarvariabel secara statistik, sedangkan pendekatan spasial digunakan untuk menangkap pola penyebaran dan ketergantungan antarwilayah secara geografis.
Analisis spasial dipilih karena data yang digunakan memiliki dimensi lokasi (kabupaten/kota) sehingga terdapat kemungkinan adanya dependensi spasial antar unit analisis. Oleh karena itu, metode ekonometrika spasial digunakan sebagai alat analisis utama untuk mengakomodasi karakteristik data tersebut.
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
diperoleh dari file berformat .csv dan data spasial
berformat shapefile (.shp). Data non-spasial mencakup
informasi terkait kasus tuberkulosis di Provinsi Nusa Tenggara Barat,
sedangkan data spasial digunakan untuk merepresentasikan batas
administratif kabupaten/kota di wilayah tersebut.
Variabel utama yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: - Jumlah Kasus Baru TBC, sebagai variabel dependen utama - Prevalensi TBC per 100.000 penduduk - Jumlah Penduduk, sebagai variabel pendukung dalam analisis deskriptif
Data spasial dan non-spasial digabungkan menggunakan kunci wilayah yang sama sehingga setiap unit spasial memiliki informasi atribut yang lengkap untuk dianalisis lebih lanjut.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Setiap kabupaten/kota diperlakukan sebagai satu unit spasial yang saling berinteraksi dengan unit lain melalui hubungan ketetanggaan geografis.
Wilayah penelitian mencakup seluruh Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang secara geografis memiliki karakteristik kepulauan dan variasi kondisi sosial ekonomi antarwilayah. Kondisi ini memungkinkan terjadinya perbedaan distribusi kasus TBC secara spasial.
Tahapan analisis dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap sebagai berikut:
Analisis deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran awal mengenai distribusi kasus TBC di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Analisis ini meliputi: - Perhitungan statistik deskriptif (nilai minimum, maksimum, rata-rata, dan simpangan baku) - Visualisasi data dalam bentuk peta tematik untuk melihat pola sebaran kasus TBC antarwilayah
Peta tematik digunakan untuk mengidentifikasi wilayah dengan jumlah kasus tinggi dan rendah secara visual sebelum dilakukan analisis statistik lebih lanjut.
Pembobot spasial dibentuk untuk merepresentasikan hubungan ketetanggaan antar kabupaten/kota. Dalam penelitian ini, pembobot spasial dibangun berdasarkan kriteria contiguity, yaitu wilayah yang berbagi batas administratif dianggap sebagai tetangga.
Matriks pembobot spasial kemudian dinormalisasi sehingga jumlah bobot pada setiap baris bernilai satu. Pembobot spasial ini digunakan dalam seluruh analisis autokorelasi dan pemodelan spasial.
Uji autokorelasi spasial global dilakukan menggunakan statistik Moran’s I. Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah distribusi kasus TBC antar kabupaten/kota menunjukkan pola spasial yang mengelompok, menyebar, atau acak.
Hipotesis yang digunakan dalam uji Moran’s I adalah sebagai berikut: - H₀: Tidak terdapat autokorelasi spasial - H₁: Terdapat autokorelasi spasial
Pengujian dilakukan pada tingkat signifikansi 10 persen (α = 0,10). Jika nilai p-value lebih kecil dari α, maka hipotesis nol ditolak dan dapat disimpulkan bahwa terdapat autokorelasi spasial.
Setelah dilakukan uji global, analisis autokorelasi spasial lokal dilakukan menggunakan Local Indicators of Spatial Association (LISA). Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi klaster spasial secara lokal pada masing-masing kabupaten/kota.
Hasil LISA diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori klaster, yaitu: - High-High (HH) - Low-Low (LL) - High-Low (HL) - Low-High (LH) - Tidak signifikan
Hasil analisis LISA divisualisasikan dalam bentuk peta klaster untuk memudahkan interpretasi spasial.
Sebagai pembanding, dilakukan estimasi model regresi linier klasik (Ordinary Least Squares/OLS). Model ini digunakan sebagai baseline untuk menilai apakah pendekatan spasial memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan pendekatan non-spasial.
Model OLS diestimasi dengan variabel dependen berupa jumlah kasus TBC dan variabel independen yang dipilih berdasarkan ketersediaan data.
Model ekonometrika spasial yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: - Spatial Autoregressive Model (SAR) - Spatial Error Model (SEM)
Model SAR digunakan untuk menangkap pengaruh langsung wilayah sekitar terhadap jumlah kasus TBC di suatu wilayah, sedangkan model SEM digunakan untuk menangkap pengaruh spasial yang berasal dari komponen error.
Estimasi parameter model dilakukan dengan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE).
Evaluasi model dilakukan dengan membandingkan kinerja model OLS, SAR,
dan SEM menggunakan beberapa kriteria, antara lain:
- Nilai Akaike Information Criterion (AIC)
- Nilai log-likelihood
- Koefisien determinasi (R² atau pseudo R²)
Model dengan nilai AIC terendah dan nilai goodness-of-fit terbaik dipilih sebagai model yang paling sesuai untuk menjelaskan fenomena kasus TBC di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Analisis residual dilakukan untuk mengevaluasi kinerja model spasial yang terpilih. Residual model divisualisasikan dalam bentuk peta untuk melihat apakah masih terdapat pola spasial yang tersisa.
Selain itu, dilakukan interpolasi spasial menggunakan metode Inverse Distance Weighting (IDW) untuk memberikan gambaran kontinu mengenai distribusi nilai variabel TBC di wilayah penelitian.
Analisis deskriptif spasial dilakukan sebagai tahap awal untuk memahami pola distribusi kasus tuberkulosis (TBC) di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Visualisasi dalam bentuk peta tematik menunjukkan bahwa distribusi jumlah kasus TBC antar kabupaten/kota di NTB tidak bersifat merata. Beberapa wilayah tampak memiliki jumlah kasus yang relatif tinggi, sementara wilayah lainnya menunjukkan jumlah kasus yang lebih rendah.
Pola pewarnaan pada peta sebaran kasus TBC memperlihatkan kecenderungan pengelompokan wilayah dengan nilai kasus yang serupa. Wilayah dengan jumlah kasus tinggi cenderung berdekatan secara geografis dengan wilayah lain yang juga memiliki kasus tinggi. Sebaliknya, wilayah dengan jumlah kasus rendah umumnya berdekatan dengan wilayah yang memiliki tingkat kasus yang relatif rendah pula. Temuan ini memberikan indikasi awal adanya struktur spasial dalam distribusi kasus TBC di Provinsi NTB.
Secara konseptual, pola ini sejalan dengan karakteristik penyakit menular seperti TBC yang penyebarannya dipengaruhi oleh interaksi antarwilayah, mobilitas penduduk, serta kesamaan kondisi sosial dan lingkungan (Waller & Gotway, 2004). Namun demikian, indikasi visual tersebut perlu dikonfirmasi melalui pengujian statistik spasial yang lebih formal.
Untuk menguji apakah distribusi kasus TBC di Provinsi NTB benar-benar menunjukkan ketergantungan spasial, dilakukan uji autokorelasi spasial global menggunakan statistik Moran’s I. Variabel yang digunakan dalam pengujian ini adalah prevalensi TBC per 100.000 penduduk dengan tingkat signifikansi sebesar 10 persen (α = 0,10).
Hasil pengujian menunjukkan nilai Moran’s I sebesar 0,1655 dengan p-value sebesar 0,0972 dan z-score sebesar 1,2974. Karena nilai p-value lebih kecil dari tingkat signifikansi yang digunakan, maka hipotesis nol yang menyatakan tidak adanya autokorelasi spasial ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat autokorelasi spasial positif yang signifikan dalam distribusi prevalensi TBC antar kabupaten/kota di Provinsi NTB.
Autokorelasi spasial positif ini mengindikasikan bahwa wilayah dengan tingkat prevalensi TBC tinggi cenderung bertetangga dengan wilayah lain yang juga memiliki prevalensi tinggi, demikian pula sebaliknya untuk wilayah dengan prevalensi rendah. Temuan ini memperkuat hasil observasi visual pada peta tematik dan menunjukkan bahwa distribusi TBC di NTB tidak bersifat acak secara spasial.
Keberadaan autokorelasi spasial ini penting secara metodologis karena melanggar asumsi independensi observasi dalam regresi klasik. Oleh karena itu, penggunaan model regresi non-spasial berpotensi menghasilkan estimasi yang kurang efisien atau bias (Anselin, 1988).
Setelah teridentifikasi adanya autokorelasi spasial secara global, analisis dilanjutkan dengan autokorelasi spasial lokal menggunakan Local Indicators of Spatial Association (LISA). Analisis LISA bertujuan untuk mengidentifikasi pola klaster spasial secara lebih spesifik pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi NTB.
Hasil analisis LISA menunjukkan adanya beberapa tipe klaster spasial, yaitu High–High (HH), Low–Low (LL), serta beberapa wilayah yang termasuk dalam kategori tidak signifikan. Klaster High–High mengindikasikan wilayah dengan tingkat prevalensi TBC tinggi yang dikelilingi oleh wilayah lain dengan prevalensi tinggi pula. Wilayah-wilayah ini dapat diinterpretasikan sebagai hotspot TBC yang memerlukan perhatian khusus dalam perumusan kebijakan kesehatan. Sebaliknya, klaster Low–Low menunjukkan wilayah dengan prevalensi TBC rendah yang dikelilingi oleh wilayah lain dengan tingkat prevalensi rendah. Wilayah ini relatif memiliki risiko penularan yang lebih rendah dibandingkan klaster High–High.
Keberadaan klaster spasial lokal ini menegaskan bahwa dinamika penyebaran TBC di Provinsi NTB bersifat heterogen secara geografis. Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa penyakit TBC cenderung membentuk klaster spasial akibat faktor sosial, lingkungan, dan akses layanan kesehatan yang relatif serupa antarwilayah yang berdekatan (Osei et al., 2017; Zhang et al., 2020).
Sebagai pembanding awal, dilakukan estimasi model regresi linier klasik (Ordinary Least Squares/OLS) dengan variabel dependen berupa jumlah kasus baru TBC, serta variabel independen yang mencerminkan karakteristik demografi penduduk. Hasil estimasi OLS menunjukkan nilai koefisien determinasi (R²) sebesar 0,6608 yang mengindikasikan bahwa model mampu menjelaskan sekitar 66 persen variasi jumlah kasus TBC.
Namun demikian, nilai AIC dan log-likelihood yang relatif lebih buruk dibandingkan model spasial mengindikasikan bahwa model OLS belum sepenuhnya mampu menangkap struktur data yang bersifat spasial.
Untuk mengakomodasi ketergantungan spasial yang teridentifikasi sebelumnya, dilakukan estimasi beberapa model ekonometrika spasial, yaitu Spatial Autoregressive Model (SAR), Spatial Error Model (SEM), Spatial Durbin Model (SDM), dan Spatial Autocorrelation Model (SAC).
Berdasarkan hasil perbandingan kinerja model, Spatial Durbin Model (SDM) menunjukkan performa terbaik dengan nilai AIC terendah (152,64), nilai log-likelihood tertinggi (-69,32), serta nilai R² sebesar 0,88. Hal ini menunjukkan bahwa model SDM paling mampu menjelaskan variasi jumlah kasus TBC di Provinsi NTB dibandingkan model lainnya.
Keunggulan model SDM terletak pada kemampuannya untuk menangkap tidak hanya pengaruh langsung variabel independen di suatu wilayah, tetapi juga pengaruh tidak langsung (spillover effect) dari wilayah-wilayah tetangga (LeSage & Pace, 2009). Dengan demikian, model ini memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai dinamika spasial kasus TBC.
Sebagai bagian dari analisis visualisasi spasial lanjutan, dilakukan interpolasi spasial terhadap jumlah kasus baru TBC di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menggunakan tiga metode, yaitu Inverse Distance Weighting (IDW), Kriging (Gaussian), dan Spline (Cubic). Interpolasi ini bertujuan untuk membentuk permukaan kontinu yang merepresentasikan distribusi spasial kasus TBC, termasuk pada wilayah yang tidak memiliki titik pengamatan secara langsung.
Hasil evaluasi interpolasi menggunakan metode cross-validation menunjukkan bahwa metode IDW dan Kriging (Gaussian) memiliki performa yang identik dan sangat baik dengan nilai R² sebesar 0,9289, MAE sebesar 144,52, dan RMSE sebesar 189,98. Nilai R² yang mendekati 1 menunjukkan kemampuan kedua metode dalam menjelaskan variasi data dengan akurasi tinggi, sementara nilai MAE dan RMSE yang relatif rendah mengindikasikan tingkat kesalahan prediksi yang masih dapat diterima.
Metode Spline (Cubic) menunjukkan performa yang lebih baik dibandingkan dua metode lainnya dengan nilai R² sebesar 0,9582, MAE sebesar 129,17, dan RMSE sebesar 152,23. Peningkatan nilai R², serta penurunan MAE dan RMSE menunjukkan bahwa metode Spline mampu menggambarkan perubahan nilai kasus TBC antarwilayah secara lebih bertahap dan mengikuti pola sebaran data dengan lebih baik, sehingga menjadi metode interpolasi yang paling optimal pada data ini.
Secara visual, ketiga peta interpolasi menunjukkan pola spasial yang relatif konsisten dengan kecenderungan intensitas kasus TBC yang lebih tinggi pada wilayah tengah hingga selatan Provinsi NTB. Meskipun demikian, pola yang terbentuk bersifat gradual dan tidak menunjukkan konsentrasi ekstrem pada lokasi tertentu. Metode IDW dan Kriging menghasilkan permukaan interpolasi yang cenderung mengikuti pengaruh titik pengamatan terdekat, sedangkan metode Spline menghasilkan permukaan yang tampak lebih menyatu dan berkesinambungan antarwilayah.
Pola hasil interpolasi ini sejalan dengan temuan analisis LISA yang tidak mengidentifikasi klaster lokal signifikan, menunjukkan bahwa distribusi kasus TBC di Provinsi NTB memiliki kecenderungan spasial yang menyeluruh tanpa pembentukan klaster lokal yang kuat.
Tidak ditemukannya klaster lokal yang signifikan berdasarkan analisis Local Indicators of Spatial Association (LISA) menunjukkan bahwa permasalahan tuberkulosis (TBC) di Provinsi Nusa Tenggara Barat bersifat relatif menyebar dan tidak terlokalisasi secara ekstrem pada wilayah tertentu. Kondisi ini mengindikasikan bahwa meskipun terdapat kecenderungan keterkaitan spasial antarwilayah secara umum, intensitas kasus TBC tidak terkonsentrasi kuat pada satu atau beberapa kabupaten/kota secara individual. Temuan ini memperkuat argumen bahwa pendekatan spasial tetap relevan dalam analisis TBC di Provinsi NTB, namun implementasi kebijakan kesehatan sebaiknya tidak hanya berfokus pada intervensi berbasis hotspot semata, melainkan diarahkan pada penguatan sistem pengendalian TBC secara regional dan terintegrasi.
Secara keseluruhan, hasil analisis menunjukkan bahwa distribusi kasus TBC di Provinsi NTB dipengaruhi oleh faktor spasial yang signifikan, yang tercermin dari adanya autokorelasi spasial positif secara global serta keunggulan model regresi spasial dibandingkan model non-spasial dalam menjelaskan variasi kasus TBC antarwilayah. Namun demikian, tidak signifikannya klaster lokal menunjukkan bahwa ketergantungan spasial tersebut bersifat menyeluruh dan tidak membentuk pola pengelompokan ekstrem pada tingkat lokal.
Temuan ini sejalan dengan pandangan bahwa penyakit menular dapat menunjukkan dependensi spasial global tanpa harus membentuk klaster lokal yang kuat (Waller & Gotway, 2004; Anselin, 1995). Dengan demikian, pendekatan spasial memungkinkan perumusan kebijakan kesehatan yang lebih tepat sasaran karena mempertimbangkan keterkaitan antarwilayah secara geografis, tanpa semata-mata mengandalkan identifikasi wilayah prioritas berdasarkan klaster lokal yang signifikan.
Berdasarkan hasil analisis spasial terhadap kasus tuberkulosis (TBC) di Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2024, dapat disimpulkan bahwa distribusi kasus TBC antar kabupaten/kota tidak bersifat acak secara geografis. Hasil uji Moran’s I menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif yang signifikan, yang mengindikasikan bahwa wilayah dengan tingkat prevalensi TBC tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah lain yang memiliki karakteristik serupa.
Meskipun terdapat ketergantungan spasial secara global, analisis autokorelasi spasial lokal (LISA) tidak menunjukkan pembentukan klaster lokal yang signifikan. Hal ini menandakan bahwa permasalahan TBC di Provinsi NTB bersifat menyebar dan tidak terkonsentrasi secara ekstrem pada wilayah tertentu.
Hasil pemodelan menunjukkan bahwa model regresi spasial memberikan kinerja yang lebih baik dibandingkan model non-spasial. Di antara model yang diuji, Spatial Durbin Model (SDM) merupakan model terbaik dalam menjelaskan variasi kasus TBC antarwilayah, karena mampu menangkap pengaruh langsung dan tidak langsung (spillover effect) antar kabupaten/kota.
Secara keseluruhan, penelitian ini menegaskan pentingnya pendekatan spasial dalam analisis penyakit menular berbasis wilayah, khususnya dalam memahami dinamika penyebaran TBC di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Pemerintah daerah dan instansi kesehatan disarankan untuk menerapkan kebijakan pengendalian TBC secara terintegrasi antarwilayah, mengingat adanya keterkaitan spasial antar kabupaten/kota di Provinsi NTB.
Analisis spasial sebaiknya dimanfaatkan sebagai alat pendukung dalam perencanaan dan evaluasi program kesehatan berbasis wilayah.
Penelitian selanjutnya disarankan untuk memasukkan variabel sosial ekonomi dan menggunakan pendekatan spasio-temporal agar hasil analisis lebih komprehensif.
Anselin, L. (1988). Spatial econometrics: Methods and models. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. https://doi.org/10.1007/978-94-015-7799-1
Anselin, L. (1995). Local indicators of spatial association—LISA. Geographical Analysis, 27(2), 93–115. https://doi.org/10.1111/j.1538-4632.1995.tb00338.x
Anselin, L. (2003). Spatial externalities, spatial multipliers, and spatial econometrics. International Regional Science Review, 26(2), 153–166. https://doi.org/10.1177/0160017602250972
Cliff, A. D., & Ord, J. K. (1981). Spatial processes: Models & applications. London: Pion.
LeSage, J. P., & Pace, R. K. (2009). Introduction to spatial econometrics. Boca Raton, FL: CRC Press. https://doi.org/10.1201/9781420064254
Moraga, P. (2019). Geospatial health data: Modeling and visualization with R-INLA and shiny. Boca Raton, FL: CRC Press. https://doi.org/10.1201/9780429341823
Osei, F. B., Stein, A., & Nyadanu, S. D. (2017). Spatial and temporal heterogeneity of tuberculosis in Ghana. BMC Public Health, 17(1), 1–12. https://doi.org/10.1186/s12889-017-4078-9
Tobler, W. R. (1970). A computer movie simulating urban growth in the Detroit region. Economic Geography, 46(2), 234–240. https://doi.org/10.2307/143141
Waller, L. A., & Gotway, C. A. (2004). Applied spatial statistics for public health data. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons. https://doi.org/10.1002/0471662682
World Health Organization. (2023). Global tuberculosis report 2023. Geneva: World Health Organization.
Zhang, X., Wang, W., & Chen, W. (2020). Spatial epidemiology of tuberculosis in China: A spatial panel data analysis. BMC Infectious Diseases, 20(1), 1–11. https://doi.org/10.1186/s12879-020-05309-1
https://firmans.shinyapps.io/DashboardTBCNTB/