ANALISIS EPIDEMIOLOGI HIV
DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
TAHUN 2024

Ahmad Firmansyah
14016010230073

PROGRAM STUDI STATISTIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN

2025

1 Abstrak

Human Immunodeficiency Virus (HIV) masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Dinamika penularan HIV dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti perilaku berisiko, kondisi sosial ekonomi, mobilitas penduduk, serta akses terhadap layanan kesehatan. Oleh karena itu, analisis epidemiologi berbasis data wilayah menjadi penting untuk memahami pola kejadian HIV dan mendukung perencanaan intervensi kesehatan masyarakat yang efektif.

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan situasi epidemiologi HIV di Provinsi NTB tahun 2024, menganalisis distribusi spasial kasus HIV antar kabupaten/kota, mengkaji tren temporal kasus HIV dalam periode 2020–2024, serta menghitung dan menginterpretasikan ukuran epidemiologi utama. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Satu Data NTB, yang mencakup data jumlah kasus HIV dan jumlah penduduk.

Metode analisis yang digunakan meliputi analisis epidemiologi deskriptif, perhitungan ukuran epidemiologi seperti prevalensi, insidensi, attack rate, dan attributable risk, analisis tren temporal, serta visualisasi data dalam bentuk grafik dan peta sebaran kasus. Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah kasus HIV di Provinsi NTB cenderung meningkat dalam lima tahun terakhir, dengan distribusi kasus yang tidak merata antar wilayah. Wilayah perkotaan, khususnya Kota Mataram, menunjukkan jumlah kasus dan tingkat risiko yang lebih tinggi dibandingkan kabupaten lainnya.

Temuan ini mengindikasikan bahwa epidemi HIV di Provinsi NTB bersifat terkonsentrasi secara geografis dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan serta sosial setempat. Oleh karena itu, upaya pengendalian HIV perlu dilakukan secara terarah dan berbasis wilayah, dengan fokus pada peningkatan skrining, edukasi kesehatan masyarakat, serta penguatan sistem surveilans dan pelaporan kasus HIV di tingkat daerah.

Kata kunci: HIV, epidemiologi, distribusi spasial, tren temporal, Provinsi Nusa Tenggara Barat

2 BAB I - PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus (HIV) masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan masyarakat yang signifikan, baik di tingkat global maupun nasional. HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan, apabila tidak ditangani dengan baik, dapat berkembang menjadi Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) yang meningkatkan risiko kematian akibat infeksi oportunistik (UNAIDS, 2023). Meskipun perkembangan terapi antiretroviral (ARV) telah berhasil menurunkan angka kematian dan meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV, laju penularan HIV di berbagai wilayah masih menunjukkan dinamika yang perlu mendapat perhatian serius.

Dalam perspektif epidemiologi, HIV termasuk penyakit menular dengan pola penyebaran yang dipengaruhi oleh interaksi antara agen penyakit, pejamu, dan lingkungan. Faktor perilaku, kondisi sosial ekonomi, mobilitas penduduk, serta akses terhadap layanan kesehatan memiliki peran penting dalam dinamika penularan HIV (Gordis, 2014).

Di Indonesia, epidemi HIV bersifat terkonsentrasi, dengan variasi kasus yang cukup besar antar provinsi dan kabupaten/kota. Faktor sosial, perilaku berisiko, mobilitas penduduk, serta akses terhadap layanan kesehatan berperan penting dalam pola penyebaran HIV (Kementerian Kesehatan RI, 2022). Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai salah satu wilayah dengan karakteristik geografis dan sosial yang beragam juga menghadapi permasalahan HIV yang perlu dianalisis secara komprehensif. Analisis berbasis data diperlukan untuk memahami distribusi kasus HIV dan mendukung perencanaan intervensi kesehatan masyarakat yang tepat sasaran. Hasil analisis diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai situasi HIV di NTB serta menjadi dasar pertimbangan dalam upaya pencegahan dan pengendalian HIV di tingkat daerah.

2.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana gambaran epidemiologi HIV di Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2024?
  2. Bagaimana distribusi spasial kasus HIV antar kabupaten/kota di Provinsi NTB?
  3. Bagaimana tren temporal kasus HIV dalam periode 2020–2024?
  4. Bagaimana ukuran epidemiologi seperti prevalensi, insidensi, attack rate, dan attributable risk menggambarkan tingkat risiko HIV di NTB?

2.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

  1. Mendeskripsikan gambaran epidemiologi HIV di Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2024.
  2. Menganalisis distribusi spasial kasus HIV berdasarkan wilayah kabupaten/kota.
  3. Mengkaji tren temporal kasus HIV dalam lima tahun terakhir.
  4. Menghitung dan menginterpretasikan ukuran epidemiologi sebagai dasar perencanaan kesehatan masyarakat.

3 BAB II - TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Konsep Epidemiologi HIV

Epidemiologi merupakan ilmu yang mempelajari distribusi dan determinan kejadian penyakit dalam populasi serta penerapannya untuk pengendalian masalah kesehatan (Gordis, 2014). Dalam konteks HIV, epidemiologi berperan penting dalam memahami pola penularan dan kelompok populasi yang berisiko.

HIV ditularkan melalui kontak dengan cairan tubuh tertentu dan penyebarannya sangat dipengaruhi oleh faktor perilaku serta lingkungan sosial. Oleh karena itu, pendekatan epidemiologi digunakan untuk menganalisis data HIV pada berbagai tingkat wilayah (UNAIDS, 2023).

3.2 Pendekatan Agent–Host–Environment

Pendekatan agent–host–environment digunakan untuk menjelaskan terjadinya penyakit menular. Agen dalam epidemi HIV adalah virus HIV, host adalah manusia dengan berbagai karakteristik demografi dan perilaku, sedangkan lingkungan mencakup faktor sosial, budaya, dan sistem kesehatan (CDC, 2020).

Interaksi ketiga komponen tersebut menentukan tingkat risiko penularan HIV dalam suatu populasi.

3.3 Epidemiologi Deskriptif

Epidemiologi deskriptif menggambarkan kejadian penyakit berdasarkan orang, tempat, dan waktu (Friis & Sellers, 2021). Pendekatan ini penting untuk mengidentifikasi wilayah dengan beban kasus HIV yang tinggi serta pola perubahan kasus dari waktu ke waktu.

3.4 Ukuran Epidemiologi

Ukuran epidemiologi yang umum digunakan dalam studi HIV meliputi prevalensi, insidensi, attack rate, dan ukuran asosiasi seperti risk ratio dan attributable risk (Gerstman, 2013). Ukuran-ukuran ini digunakan untuk menggambarkan tingkat kejadian dan risiko HIV dalam populasi.

3.5 Desain Studi

Penelitian ini menggunakan desain studi observasional potong lintang (cross-sectional) yang mengamati kejadian HIV pada satu periode waktu tertentu tanpa intervensi terhadap subjek penelitian (Setia, 2016).

4 BAB III - METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif observasional dengan desain potong lintang dan pendekatan epidemiologi deskriptif serta analitik.

4.2 Sumber Data

Data yang digunakan merupakan data sekunder dari laman BPS Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Satu Data NTB yang memuat data kasus HIV dan jumlah penduduk di Provinsi NTB tahun 2024.

4.3 Unit Analisis

Unit analisis adalah kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan populasi penduduk sebagai populasi penelitian.

4.4 Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan meliputi:

  • Jumlah kasus HIV
  • Jumlah penduduk
  • Prevalensi
  • Insidensi
  • Attack rate
  • Attributable risk

4.5 Metode Analisis

Analisis dilakukan melalui:

  1. Analisis deskriptif
  2. Perhitungan ukuran epidemiologi
  3. Analisis tren temporal
  4. Visualisasi data dan peta sebaran

5 BAB IV - HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Umum Kasus HIV

Berdasarkan hasil analisis data HIV tahun 2024, tercatat total 195 kasus HIV di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Jika dirata-ratakan pada seluruh kabupaten/kota, jumlah kasus HIV adalah 19,5 kasus per wilayah. Nilai ini menunjukkan bahwa beban HIV di NTB tidak terdistribusi secara merata, melainkan terkonsentrasi pada wilayah tertentu.

Prevalensi HIV di Provinsi NTB tahun 2024 tercatat sebesar 3,39 per 100.000 penduduk. Angka ini menggambarkan proporsi penduduk yang hidup dengan HIV pada periode pengamatan. Secara epidemiologis, prevalensi mencerminkan beban penyakit yang harus ditanggung sistem kesehatan, baik dari sisi pelayanan medis maupun upaya pencegahan lanjutan.

5.2 Distribusi Spasial

Peta sebaran kasus HIV menunjukkan adanya variasi geografis yang cukup jelas antar kabupaten/kota di NTB. Wilayah dengan intensitas warna lebih gelap pada peta menunjukkan jumlah kasus HIV yang lebih tinggi dibandingkan wilayah lain.

Kota Mataram tercatat sebagai wilayah dengan jumlah kasus HIV tertinggi, yaitu 70 kasus. Kondisi ini dapat dikaitkan dengan karakteristik wilayah perkotaan, seperti kepadatan penduduk yang lebih tinggi, mobilitas penduduk yang besar, serta akses layanan kesehatan yang lebih baik sehingga deteksi kasus HIV cenderung lebih optimal.

Sebaliknya, beberapa kabupaten menunjukkan jumlah kasus yang relatif rendah. Namun, rendahnya jumlah kasus tidak selalu mencerminkan rendahnya risiko penularan, melainkan juga dapat dipengaruhi oleh keterbatasan akses pemeriksaan HIV dan pelaporan kasus.

Dari sudut pandang epidemiologi, pola spasial ini menegaskan bahwa HIV merupakan penyakit yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan sosial, bukan semata-mata faktor biologis.

5.3 Tren Temporal

Analisis tren temporal menunjukkan adanya peningkatan konsisten jumlah kasus HIV dalam lima tahun terakhir. Jumlah kasus meningkat dari 96 kasus pada tahun 2020 menjadi 195 kasus pada tahun 2024.

Pola peningkatan ini mengindikasikan dua kemungkinan utama. Pertama, dapat terjadi peningkatan nyata dalam penularan HIV di masyarakat. Kedua, peningkatan tersebut juga dapat mencerminkan perbaikan dalam sistem surveilans, pelaporan, dan cakupan pemeriksaan HIV.

Dari perspektif epidemiologi deskriptif, tren yang terus meningkat ini menjadi sinyal penting bahwa HIV masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian serius dan intervensi berkelanjutan.

5.4 Ukuran Epidemiologi

5.4.1 Prevalensi dan Insidensi

Prevalensi HIV di NTB tahun 2024 sebesar 3,39 per 100.000 penduduk. Nilai prevalensi yang sebanding dengan nilai insidensi pada periode ini menunjukkan bahwa sebagian besar kasus yang tercatat merupakan kasus baru, bukan akumulasi kasus lama yang tidak tertangani.

Insidensi yang berada pada angka yang sama menegaskan bahwa penularan HIV masih berlangsung aktif di masyarakat. Hal ini menunjukkan perlunya penguatan program pencegahan primer dan deteksi dini.

5.4.2 Attack Rate

Attack rate rata-rata di Provinsi NTB tercatat sebesar 4,29 per 100.000 penduduk. Attack rate digunakan untuk menggambarkan risiko kejadian HIV dalam populasi selama periode tertentu.

Wilayah dengan attack rate tertinggi adalah Kota Mataram, dengan nilai 15,15 per 100.000 penduduk, yang jauh melampaui rata-rata provinsi. Perbedaan ini menunjukkan adanya heterogenitas risiko antar wilayah.

5.4.3 Attributable Risk dan Attributable Risk Percent

Nilai Attributable Risk (AR) sebesar 10,86 per 100.000 penduduk menunjukkan adanya kelebihan risiko kejadian HIV di wilayah dengan kasus tertinggi dibandingkan wilayah referensi.

Sementara itu, nilai AR% sebesar 71,7% mengindikasikan bahwa sekitar 71,7% risiko HIV di wilayah tertinggi dapat dikaitkan dengan faktor lokal spesifik, seperti kondisi sosial, perilaku berisiko, kepadatan penduduk, dan dinamika mobilitas.

Secara epidemiologis, temuan ini penting karena menunjukkan bahwa intervensi yang terarah pada faktor lokal berpotensi memberikan dampak signifikan dalam menurunkan kejadian HIV.

5.5 Implikasi Epidemiologis

Hasil analisis menunjukkan bahwa epidemi HIV di Provinsi NTB bersifat terkonsentrasi secara geografis dan menunjukkan tren peningkatan dari waktu ke waktu. Wilayah perkotaan, khususnya Kota Mataram, memiliki risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah lain.

Temuan ini mendukung pendekatan agent–host–environment, di mana faktor lingkungan perkotaan dan sosial berperan penting dalam dinamika penularan HIV. Oleh karena itu, strategi pengendalian HIV perlu disesuaikan dengan karakteristik masing-masing wilayah.

Intervensi yang direkomendasikan meliputi peningkatan skrining HIV di wilayah berisiko tinggi, penguatan edukasi kesehatan masyarakat, serta pengurangan stigma untuk meningkatkan cakupan deteksi dini.

6 BAB V - KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data HIV tahun 2024 di Provinsi Nusa Tenggara Barat, dapat disimpulkan bahwa HIV masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius. Jumlah kasus HIV menunjukkan kecenderungan meningkat dalam lima tahun terakhir, dengan total 195 kasus pada tahun 2024. Peningkatan ini mengindikasikan bahwa penularan HIV masih berlangsung aktif di masyarakat, meskipun sebagian peningkatan juga dapat dipengaruhi oleh perbaikan sistem pelaporan dan deteksi kasus.

Distribusi kasus HIV di NTB tidak merata antar wilayah. Kota Mataram tercatat sebagai wilayah dengan jumlah kasus dan attack rate tertinggi, yaitu 70 kasus dengan attack rate sebesar 15,15 per 100.000 penduduk. Temuan ini menunjukkan adanya konsentrasi risiko di wilayah tertentu, khususnya wilayah perkotaan dengan mobilitas penduduk yang tinggi.

Nilai prevalensi dan insidensi HIV yang relatif sebanding menunjukkan bahwa sebagian besar kasus yang teridentifikasi merupakan kasus baru. Selain itu, nilai attributable risk dan attributable risk percent yang tinggi mengindikasikan bahwa sebagian besar risiko HIV di wilayah dengan kasus tertinggi dapat dikaitkan dengan faktor-faktor lokal spesifik. Secara epidemiologis, hal ini menegaskan pentingnya pendekatan berbasis wilayah dalam upaya pengendalian HIV.

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, beberapa saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:

  1. Bagi Dinas Kesehatan dan Pemangku Kebijakan
    Perlu dilakukan penguatan program pencegahan dan pengendalian HIV yang lebih terfokus pada wilayah dengan risiko tinggi, khususnya Kota Mataram. Strategi ini dapat mencakup peningkatan cakupan skrining HIV, penguatan layanan konseling dan tes sukarela, serta integrasi layanan HIV dengan fasilitas kesehatan primer.

  2. Bagi Program Kesehatan Masyarakat
    Edukasi dan promosi kesehatan terkait HIV perlu ditingkatkan, terutama pada kelompok populasi berisiko. Upaya pengurangan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA juga penting untuk meningkatkan kesediaan masyarakat dalam melakukan pemeriksaan dan pengobatan.

  3. Bagi Penelitian Selanjutnya
    Penelitian lanjutan disarankan untuk menggunakan data individu atau desain longitudinal agar dapat mengidentifikasi faktor risiko secara lebih spesifik dan menganalisis hubungan sebab-akibat. Analisis spasial lanjutan dan pemodelan statistik yang lebih kompleks juga dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pola penyebaran HIV.

  4. Bagi Sistem Informasi Kesehatan
    Perlu dilakukan peningkatan kualitas dan konsistensi pelaporan data HIV antar wilayah agar hasil analisis epidemiologi dapat digunakan secara lebih akurat sebagai dasar perencanaan dan evaluasi program kesehatan.

7 DAFTAR PUSTAKA

Centers for Disease Control and Prevention. (2020). Principles of epidemiology in public health practice (4th ed.). U.S. Department of Health and Human Services.

Friis, R. H., & Sellers, T. A. (2021). Epidemiology for public health practice (6th ed.). Jones & Bartlett Learning.

Gerstman, B. B. (2013). Epidemiology kept simple: An introduction to traditional and modern epidemiology (3rd ed.). Wiley-Blackwell.

Gordis, L. (2014). Epidemiology (5th ed.). Elsevier Saunders.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2022). Profil kesehatan Indonesia 2021. Kementerian Kesehatan RI.

Setia, M. S. (2016). Methodology series module 3: Cross-sectional studies. Indian Journal of Dermatology, 61(3), 261–264. https://doi.org/10.4103/0019-5154.182410

UNAIDS. (2023). Global HIV & AIDS statistics — Fact sheet. Joint United Nations Programme on HIV/AIDS.

World Health Organization. (2022). Consolidated guidelines on HIV, viral hepatitis and STI prevention, diagnosis, treatment and care. World Health Organization.