knitr::opts_chunk$set(
echo = FALSE,
warning = FALSE,
message = FALSE,
fig.align = "center",
fig.width = 7,
fig.height = 5,
dpi = 96,
out.width = "95%"
)
Filariasis merupakan penyakit menular yang dapat menyebabkan kecacatan kronis dan berdampak pada kualitas hidup serta produktivitas masyarakat. Studi ini melakukan mini project analisis epidemiologi filariasis kronis di Provinsi Jawa Barat pada unit analisis kabupaten/kota (\(n = 27\)). Analisis mencakup: (i) ukuran frekuensi kejadian dan keparahan (count, rate per 10.000 penduduk, mortalitas, CFR), (ii) ukuran asosiasi sederhana berbasis tabel \(2\times2\) (RR, OR, AR/RD, AF) untuk faktor sosial-lingkungan terpilih, (iii) Standardized Incidence Ratio (SIR) untuk membandingkan observed vs expected, (iv) pemetaan tematik dan zona risiko terpadu, (v) pemodelan count (Poisson vs Negative Binomial) serta (vi) uji dan pemodelan spasial (Moran, Geary, LISA, Getis–Ord \(Gi^*\), OLS dan model spasial—SLX/SAR/SEM/SDM/SDEM/SAC/GNS).
Hasil ringkas tingkat provinsi menunjukkan total populasi 50.345.190, total kasus kronis 262, dan total kematian 65 dengan rate 0,052 per 10.000 serta CFR 24,8%. Pada analisis spasial global untuk rate filariasis, Moran’s \(I\) menunjukkan kecenderungan pengelompokan (\(p \approx 0{,}052\)) dan Geary’s \(C\) signifikan (\(p \approx 0{,}038\)). Perbandingan model spasial berbasis AIC mengindikasikan model terbaik adalah SEM. Temuan ini menegaskan pentingnya pendekatan epidemiologi-spasial untuk memahami heterogenitas risiko antarwilayah dan mendukung penentuan prioritas intervensi.
Filariasis limfatik (lymphatic filariasis), sering dikenal sebagai elephantiasis, adalah penyakit parasit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk yang membawa larva cacing filaria. Infeksi umumnya terjadi sejak masa kanak-kanak dan dapat menimbulkan kerusakan sistem limfatik yang bersifat “tersembunyi” dalam jangka panjang; manifestasi yang terlihat seperti limfedema/elefantiasis atau hidrokel pada laki-laki sering muncul kemudian pada usia dewasa. Kondisi-kondisi tersebut berpotensi menyebabkan pembengkakan menetap, keterbatasan aktivitas, nyeri berulang, infeksi sekunder, dan disabilitas kronis. Dampak lanjutannya tidak hanya medis, tetapi juga sosial dan ekonomi: stigma, penurunan partisipasi pendidikan/kerja, hingga beban biaya rumah tangga.
Dari perspektif kesehatan masyarakat, beban filariasis kronis memiliki dua karakter penting. Pertama, filariasis merupakan NTD yang kuat keterkaitannya dengan kemiskinan, lingkungan permukiman, dan ketersediaan infrastruktur sanitasi. Wilayah dengan kualitas perumahan rendah, kepadatan tertentu, drainase buruk, serta akses air bersih dan sanitasi yang tidak memadai cenderung menyediakan kondisi yang lebih mendukung habitat vektor serta meningkatkan peluang paparan gigitan nyamuk. Kedua, kasus kronis adalah indikator “beban morbiditas” yang persisten: kasus kronis dapat tetap ada meskipun transmisi menurun, sehingga membutuhkan strategi pelayanan kesehatan yang berkelanjutan melalui morbidity management and disability prevention (MMDP) untuk mengurangi disabilitas, mencegah komplikasi, dan meningkatkan kualitas hidup.
Di Jawa Barat, heterogenitas antar kabupaten/kota berpotensi menciptakan perbedaan risiko yang nyata. Perbedaan tersebut dapat berkaitan dengan indikator determinan kesehatan seperti:
Walaupun program eliminasi filariasis menekankan penghentian transmisi, dalam praktik kebijakan kesehatan daerah masih dibutuhkan informasi yang lebih operasional: wilayah mana yang relatif lebih berisiko dan determinannya apa. Analisis epidemiologi berbasis wilayah (kab/kota) memberikan manfaat karena:
Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, filariasis termasuk NTD yang secara eksplisit terkait dengan SDG 3 (Good Health and Well-being), khususnya target 3.3 yang menekankan pengendalian penyakit menular termasuk NTDs. (UN SDG 3.3) Selain itu, determinan yang diuji (sanitasi dan perumahan) memiliki irisan kebijakan dengan SDG 6 (air bersih dan sanitasi) dan SDG 1 (pengentasan kemiskinan) sebagai akar struktural kerentanan. Dari sudut pandang pembangunan, NTDs sering disebut sebagai “penyakit kemiskinan” karena berhubungan dengan akses layanan, lingkungan, dan kondisi sosial-ekonomi yang tertinggal. (World Bank Blogs)
Berdasarkan kebutuhan praktis dan perencanaan program, terdapat setidaknya tiga celah yang umum muncul pada analisis penyakit menular berbasis wilayah:
Dengan demikian, penelitian ini berupaya menyusun laporan epidemiologi yang lebih komprehensif (teori → metodologi → hasil pada Bab 4), dengan tetap menjaga interpretasi sesuai desain area-level (ekologis) dan menghindari klaim kausal individual.
Bagaimana konsep agent–host–environment menjelaskan terjadinya filariasis dan manifestasi kronisnya pada tingkat populasi?
Bagaimana ukuran epidemiologi (frekuensi, keparahan, asosiasi, dan standardisasi) digunakan untuk menggambarkan beban filariasis kronis pada unit kabupaten/kota?
Bagaimana menyusun metodologi analisis yang menggabungkan ukuran epidemiologi dan analisis area untuk:
Menyusun kerangka analisis epidemiologi filariasis kronis di Jawa Barat pada tingkat kabupaten/kota untuk memahami beban kejadian, determinan wilayah, dan dasar pengambilan keputusan program.
Terjadinya penyakit pada manusia merupakan hasil interaksi agent, host, dan environment (segitiga epidemiologi). Kerangka ini membantu menjelaskan mengapa penyakit muncul pada populasi tertentu dan bagaimana pencegahan dilakukan melalui intervensi pada salah satu komponen.
Agen adalah faktor yang keberadaannya diperlukan agar penyakit dapat terjadi. Agen dapat berupa:
Pada filariasis limfatik, agen utama adalah cacing filaria (Wuchereria bancrofti, Brugia spp.) yang ditularkan melalui nyamuk sebagai vektor. Manifestasi kronis seperti limfedema/elefantiasis berkaitan dengan kerusakan sistem limfatik serta inflamasi berulang. (WHO Fact Sheet)
Host adalah individu atau populasi yang menjadi tempat agen hidup dan berkembang. Kerentanan host dipengaruhi oleh:
Lingkungan mencakup kondisi eksternal yang memengaruhi hubungan host–agent, meliputi:
Pada unit kab/kota, variabel seperti persentase sanitasi layak (X1), kualitas rumah (X2), kemiskinan (X4), dan rasio puskesmas (X3) dapat dipandang sebagai indikator determinan sosial–lingkungan yang berpotensi memengaruhi paparan vektor, kerentanan, serta kemampuan deteksi dan tata laksana kasus.
Tidak semua penyakit disebabkan oleh satu faktor tunggal. Banyak penyakit bersifat multifaktorial, yaitu outcome muncul dari interaksi berbagai faktor risiko.
Model ini memandang penyakit sebagai hasil interaksi kompleks dari banyak faktor yang saling terkait, bukan satu penyebab tunggal. Pada filariasis kronis, jaringan penyebab dapat melibatkan: intensitas paparan vektor, kondisi lingkungan yang mendukung vektor, kondisi sosial ekonomi, perilaku pencegahan, serta akses layanan kesehatan.
Model causal pie menjelaskan bahwa penyakit timbul bila seluruh komponen penyebab dalam satu “pai penyebab” terpenuhi; berbagai kombinasi komponen dapat menghasilkan penyakit yang sama. Konsep ini menekankan bahwa intervensi dapat dilakukan dengan “menghilangkan” salah satu komponen sehingga mekanisme cukup menjadi tidak lengkap.
Determinannya dapat dikelompokkan menjadi:
Pada studi ini, variabel X merepresentasikan determinan sosial–lingkungan dan layanan kesehatan yang relevan terhadap risiko area dan kapasitas respons program.
Istilah penting epidemiologi populasi:
Untuk filariasis, WHO menekankan strategi eliminasi yang mencakup penghentian transmisi serta manajemen morbiditas dan pencegahan disabilitas. (WHO GPELF)
Catatan: Bab 4 memuat nilai hasil perhitungan aktual. Bab 2 hanya memuat definisi dan rumus.
Pada data agregat kab/kota, “jumlah kasus kronis” merepresentasikan count kasus yang tercatat pada periode tertentu (sesuai definisi operasional sumber data).
\[ CI = \frac{\text{Jumlah kasus baru selama periode}}{\text{Populasi berisiko pada awal periode}} \]
\[ IR = \frac{\text{Jumlah kasus baru}}{\sum \text{person-time berisiko}} \]
\[ Rate_{10k} = \frac{\text{Kasus}}{\text{Populasi}} \times 10{,}000 \]
\[ P = \frac{\text{Kasus (baru + lama)}}{\text{Total populasi}} \]
\[ AR_{attack} = \frac{\text{Kasus baru selama outbreak}}{\text{Populasi berisiko}} \times 100% \]
Mortalitas per 10.000:
\[ MR_{10k} = \frac{\text{Jumlah kematian}}{\text{Populasi}} \times 10{,}000 \]
CFR:
\[ CFR = \frac{\text{Jumlah kematian akibat penyakit}}{\text{Jumlah kasus penyakit}} \times 100% \]
Analisis asosiasi mengevaluasi hubungan antara paparan (exposure) dan outcome.
| Outcome (+) | Outcome (-) | |
|---|---|---|
| Terpapar (+) | (a) | (b) |
| Tidak terpapar (-) | (c) | (d) |
Risiko pada terpapar dan tidak terpapar:
\[ Risk_E = \frac{a}{a+b},\qquad Risk_U = \frac{c}{c+d} \]
\[ RR = \frac{Risk_E}{Risk_U} = \frac{\frac{a}{a+b}}{\frac{c}{c+d}} \]
\[ Odds_E = \frac{a}{b},\qquad Odds_U = \frac{c}{d} \]
\[ OR = \frac{Odds_E}{Odds_U} = \frac{ad}{bc} \]
\[ RD = Risk_E - Risk_U \]
\[ AF_E = \frac{RR - 1}{RR} \]
Standardisasi digunakan agar perbandingan antarwilayah lebih adil terhadap perbedaan ukuran populasi.
\[ SIR_i = \frac{O_i}{E_i} \]
dengan \(O_i\) adalah kejadian teramati pada wilayah \(i\), dan \(E_i\) adalah kejadian yang diharapkan berdasarkan tingkat referensi.
Jika \(r_{ref}\) adalah laju referensi (mis. laju provinsi), maka:
\[ r_{ref} = \frac{\sum_i O_i}{\sum_i Pop_i} \]
\[ E_i = Pop_i \times r_{ref} \]
Interpretasi:
Studi ini merupakan analisis kuantitatif berbasis data agregat wilayah (ecological/area-level study) dengan unit analisis kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat (27 unit). Kerangka analisis menekankan:
Catatan interpretasi: desain area-level tidak dapat menyimpulkan kausalitas pada level individu (ecological fallacy), sehingga hasil ditafsirkan sebagai asosiasi tingkat wilayah.
Data tabular (Excel) Berisi outcome filariasis kronis, kematian, populasi, dan variabel determinan (X1–X4).
Data spasial (Shapefile batas administrasi) Poligon kabupaten/kota Jawa Barat sebagai basis pemetaan dan pembentukan struktur ketetanggaan antarwilayah (untuk konteks distribusi).
\[ Y_{rate,i} = \frac{Y_{count,i}}{Pop_i}\times 10{,}000 \]
Ukuran keparahan:
\[ MR_{10k,i} = \frac{D_i}{Pop_i}\times 10{,}000 \]
\[ CFR_i = \frac{D_i}{Y_{count,i}}\times 100% \]
Relevansi konseptual: filariasis sebagai NTD memiliki keterkaitan kuat dengan kondisi kemiskinan dan keterbatasan infrastruktur dasar, serta membutuhkan penguatan layanan kesehatan untuk manajemen morbiditas dan pencegahan disabilitas. (WHO MMDP)
Untuk setiap kab/kota dihitung:
Semua rumus telah dirinci pada Bab 2 dan nilai aktual ditampilkan pada Bab 4.
Untuk membentuk tabel \(2\times2\), outcome dikonversi menjadi biner, misalnya:
Paparan dibinerkan dengan cutpoint (umumnya median):
\[ RR=\frac{\frac{a}{a+b}}{\frac{c}{c+d}},\quad OR=\frac{ad}{bc},\quad RD=\frac{a}{a+b}-\frac{c}{c+d},\quad AF_E=\frac{RR-1}{RR} \]
Jika ada sel nol, gunakan koreksi 0.5 dan pertimbangkan uji Fisher.
\[ r_{ref} = \frac{\sum_i O_i}{\sum_i Pop_i} \]
\[ E_i = Pop_i \times r_{ref} \]
\[ SIR_i = \frac{O_i}{E_i} \]
Karena \(Y_{count}\) adalah data count, model dasar adalah Poisson dengan offset \(\log(Pop_i)\).
\[ Y_i \sim \text{Poisson}(\mu_i) \]
\[ \log(\mu_i)=\beta_0+\beta_1X_{1i}+\beta_2X_{2i}+\beta_3X_{3i}+\beta_4X_{4i}+\log(Pop_i) \]
Offset \(\log(Pop_i)\) menyesuaikan ukuran populasi sehingga interpretasi mendekati model laju.
Jika \(\mathrm{Var}(Y_i) \gg \mathbb{E}(Y_i)\), model Poisson dapat kurang sesuai karena overdispersion. Alternatifnya Negative Binomial (NB) yang mengakomodasi overdispersion, sehingga dapat memberikan estimasi varians yang lebih realistis.
# ============================================================
# KONFIGURASI
# ============================================================
options(scipen = 999)
SCALE_RATE <- 10000
ALPHA_SIG <- 0.05
# Outcome biner untuk analisis asosiasi 2x2:
# "any_case" = kasus > 0
# "high_rate" = rate >= median(rate)
ASSOC_OUTCOME <- "any_case"
# Cutpoint paparan (default median)
CUTPOINT_METHOD <- "median" # "median" / "custom"
CUT_SANITASI <- NA_real_
CUT_MISKIN <- NA_real_
Interpretasi:
## Jumlah entitas spasial (SHP): 27
## Jumlah baris Excel: 27
##
## N wilayah (Excel valid): 27
Interpretasi: Analisis dilakukan pada 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat (hasil validasi: jumlah entitas shapefile = 27 dan baris Excel valid = 27). Proses join data spasial–tabular berhasil sempurna (mismatch = 0), sehingga seluruh wilayah memiliki nilai populasi, kasus, dan laju (rate/inc) yang lengkap untuk dianalisis lebih lanjut.
##
## Ringkasan selisih rate (rate excel - hitung):
## Min. 1st Qu. Median
## -0.000000000000000166533 -0.000000000000000010408 0.000000000000000001735
## Mean 3rd Qu. Max.
## 0.000000000000000015034 0.000000000000000034694 0.000000000000000249800
##
## === RINGKASAN PROVINSI ===
## # A tibble: 1 × 6
## pop_total kasus_total mati_total inc10k_prov mort10k_prov cfr_prov
## <dbl> <dbl> <dbl> <dbl> <dbl> <dbl>
## 1 50345190 262 65 0.0520 0.0129 24.8
Secara total provinsi, diperoleh:
Interpretasi: beban filariasis kronis pada level provinsi tergolong rendah dari sisi laju kejadian (0,052 per 10.000), namun keparahan relatif tinggi karena CFR 24,8% (proporsi kematian di antara kasus yang tercatat). Ini mengindikasikan bahwa kasus yang muncul cenderung merupakan kasus kronis/berat atau proses pencatatan kematian pada kasus kronis cukup besar. * Selisih rate ~ 0 → angka rate Excel konsisten dengan rumus (kasus/pop × 10.000). * CFR 24,8% perlu dicatat sebagai temuan penting (potensi definisi “kematian pada kasus kronis” atau seleksi kasus berat).
## total miss_pop miss_kasus miss_rate
## 1 27 0 0 0
Interpretasi: Join spasial sukses total → semua peta dan analisis spasial bisa dilakukan tanpa kehilangan wilayah.
##
## === SUMMARY DESKRIPTIF ===
## Y_jumlah Y_rate X1 X2
## Min. : 0.000 Min. :0.00000 Min. : 34.56 Min. :32.83
## 1st Qu.: 4.000 1st Qu.:0.03064 1st Qu.: 83.67 1st Qu.:43.49
## Median : 6.000 Median :0.05104 Median : 95.78 Median :61.91
## Mean : 9.704 Mean :0.05794 Mean : 89.45 Mean :58.72
## 3rd Qu.:15.500 3rd Qu.:0.08107 3rd Qu.: 98.55 3rd Qu.:72.64
## Max. :29.000 Max. :0.16405 Max. :100.00 Max. :85.78
## X3 X4
## Min. :16.21 Min. : 2.340
## 1st Qu.:35.04 1st Qu.: 6.360
## Median :42.80 Median : 8.410
## Mean :43.54 Mean : 8.014
## 3rd Qu.:53.06 3rd Qu.:10.185
## Max. :66.42 Max. :11.930
Ringkasan statistik (27 wilayah) menunjukkan:
Interpretasi: distribusi kasus menunjukkan sebagian wilayah memiliki kasus rendah–sedang (median 6) namun ada wilayah dengan beban tinggi (maks 29). Variasi Y_rate juga cukup nyata (maks 0,16405), sehingga pemetaan dan analisis spasial relevan.
Peta Y_jumlah (COUNT) memperlihatkan kelas tertinggi berada pada rentang 16,8 – 29,0 kasus. Interpretasi utama peta count: beberapa kabupaten/kota menjadi kontributor besar jumlah kasus absolut. Namun karena count dipengaruhi ukuran populasi, peta ini perlu selalu dibaca bersama peta rate.
Peta rate/inc per 10.000 memperlihatkan kelas tertinggi berada pada rentang 0,086 – 0,164. Ini menandai wilayah dengan risiko relatif lebih tinggi setelah “dikontrol” oleh populasi (lebih adil untuk perbandingan antarwilayah). Secara interpretatif, wilayah dalam kelas tertinggi adalah prioritas untuk investigasi faktor risiko/lingkungan karena peningkatan rate tidak semata akibat populasi besar.
Pada peta X1, rentang kelas terbawah 34,6–77,6% hingga tertinggi 99,1–100% menunjukkan ketimpangan akses sanitasi antardaerah. Interpretasi: wilayah dengan sanitasi lebih rendah berpotensi memiliki kondisi lingkungan yang lebih mendukung transmisi penyakit berbasis vektor/lingkungan, tetapi kesimpulan kausal tidak bisa ditarik dari peta tunggal—perlu dibuktikan melalui ukuran asosiasi/model.
Rentang 32,83–85,78% menggambarkan variasi kualitas hunian. Wilayah dengan X2 rendah dapat berkorelasi dengan kerentanan struktural (kondisi rumah/lingkungan), tetapi tetap perlu diuji.
Nilai X3 berkisar 16,21–66,42. Interpretasi: wilayah dengan rasio lebih tinggi bisa mencerminkan akses layanan lebih baik (potensi deteksi lebih baik) atau distribusi fasilitas yang lebih merata. Efeknya pada kasus bisa dua arah: meningkatkan pelaporan (terlihat naik) atau menurunkan kejadian (pencegahan/penanganan lebih baik).
Rentang 2,34–11,93% menunjukkan variasi kemiskinan. Wilayah dengan kemiskinan lebih tinggi sering menjadi indikator kerentanan sosial—yang mungkin memengaruhi paparan, akses layanan, atau ketahanan lingkungan.
##
## ================= UKURAN ASOSIASI (2x2) =================
## Outcome biner: any_case
##
## --- 2x2: Kemiskinan tinggi (E+) ---
## Outcome+ Outcome-
## Exposed 14 0
## Unexposed 12 1
## RR: 1.083333 (95% CI: 0.8825642 - 1.328138 )
## OR: 3.48 (95% CI: 0.1297926 - 93.30578 )
## AR (RD): 0.07692308 | AF exposed: 0.07692308
## Fisher p-value: 0.4814815 | CC dipakai?: TRUE
##
## --- 2x2: Sanitasi rendah (E+) ---
## Outcome+ Outcome-
## Exposed 12 1
## Unexposed 14 0
## RR: 0.9230769 (95% CI: 0.7529338 - 1.133062 )
## OR: 0.2873563 (95% CI: 0.01071745 - 7.704599 )
## AR (RD): -0.07692308 | AF exposed: -0.08333333
## Fisher p-value: 0.4814815 | CC dipakai?: TRUE
##
## [epitools] Skip Kemiskinan karena ada sel 0 → gunakan CC(0.5) + Fisher.
##
## [epitools] Skip Sanitasi karena ada sel 0 → gunakan CC(0.5) + Fisher.
Outcome biner yang digunakan adalah any_case (wilayah dikodekan “Outcome+” jika kasus > 0).
Tabel 2×2 (Kemiskinan tinggi sebagai paparan):
Hasil ukuran asosiasi:
Interpretasi: arah efek menunjukkan wilayah kemiskinan tinggi cenderung memiliki peluang/risiko lebih tinggi untuk memiliki kasus (RR > 1 dan OR > 1), tetapi tidak signifikan (p = 0,4815 dan CI RR melintasi 1). Lebarnya CI OR (sangat lebar) menunjukkan ketidakpastian tinggi akibat struktur tabel yang sangat tidak seimbang (sel nol).
Tabel 2×2 (Sanitasi rendah sebagai paparan):
Hasil ukuran asosiasi:
Interpretasi: arah efek justru menunjukkan sanitasi rendah tampak tidak meningkatkan kejadian kasus pada definisi outcome “any_case” (RR < 1), namun ini tidak signifikan (p = 0,4815; CI melintasi 1) dan ketidakpastian besar (CI OR sangat lebar). Secara epidemiologis, hasil seperti ini bisa muncul karena outcome yang terlalu “kasar” (sekadar ada/tidak ada kasus) atau karena jumlah wilayah outcome- sangat sedikit (hanya 1 wilayah), sehingga analisis 2×2 menjadi kurang informatif.
##
## Top 10 inc10k tertinggi:
## join_key inc10k SIR SIR_sig
## 1 KOTA SUKABUMI 0.16405097 3.152358 Signif > 1
## 2 MAJALENGKA 0.11829595 2.273142 Signif > 1
## 3 SUBANG 0.10822771 2.079674 Signif > 1
## 4 PANGANDARAN 0.09214467 1.770626 Tidak signif
## 5 TASIKMALAYA 0.08849926 1.700577 Tidak signif
## 6 KOTA CIREBON 0.08699435 1.671659 Tidak signif
## 7 KARAWANG 0.08221173 1.579758 Tidak signif
## 8 KOTA TASIKMALAYA 0.07992221 1.535763 Tidak signif
## 9 SUKABUMI 0.07425690 1.426900 Tidak signif
## 10 BEKASI 0.07025325 1.349967 Tidak signif
##
## Distribusi zona risiko:
##
## Zona 1: Ins tinggi + Miskin tinggi Zona 2: Ins tinggi + Miskin rendah
## 8 6
## Zona 3: Ins rendah + Miskin tinggi Zona 4: Ins rendah + Miskin rendah
## 6 7
##
## Dispersion ratio (Poisson): 3.374
## Overdispersion → pakai Negative Binomial.
##
## === SUMMARY MODEL FINAL (COUNT) ===
##
## Call:
## MASS::glm.nb(formula = kasus ~ X1 + X2 + X3 + X4 + offset(log_pop),
## data = dat_model, init.theta = 4.658809267, link = log)
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) -12.546689 1.014669 -12.365 <0.0000000000000002 ***
## X1 0.004570 0.009455 0.483 0.629
## X2 0.004248 0.008037 0.529 0.597
## X3 -0.010535 0.010604 -0.993 0.321
## X4 0.030680 0.045611 0.673 0.501
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## (Dispersion parameter for Negative Binomial(4.6588) family taken to be 1)
##
## Null deviance: 32.933 on 26 degrees of freedom
## Residual deviance: 29.565 on 22 degrees of freedom
## AIC: 169.42
##
## Number of Fisher Scoring iterations: 1
##
##
## Theta: 4.66
## Std. Err.: 2.06
##
## 2 x log-likelihood: -157.416
##
## VIF (Poisson baseline):
## X1 X2 X3 X4
## 1.266385 1.451815 1.245398 1.232339
##
## Dispersion test (Poisson baseline):
##
## Overdispersion test
##
## data: m_pois
## z = 3.5028, p-value = 0.0002302
## alternative hypothesis: true dispersion is greater than 1
## sample estimates:
## dispersion
## 2.691178
##
## Ringkasan prediksi rate (pred_inc10k):
## Min. 1st Qu. Median Mean 3rd Qu. Max.
## 0.04182 0.04648 0.05030 0.05690 0.06866 0.08384
SIR dihitung sebagai Observed/Expected, dengan expected berbasis laju provinsi (inc10k_prov = 0,0520 per 10.000). Klasifikasi signifikansi memakai CI 95%:
Pada peta SIR, terdapat wilayah dengan SIR sangat tinggi hingga sekitar 3,152 (kelas tertinggi: 1,50 – 3,152). Wilayah dengan SIR > 1 berarti kejadian yang diamati lebih besar daripada yang diharapkan jika wilayah tersebut mengikuti rata-rata provinsi (dengan ukuran populasi wilayah tersebut).
Peta signifikansi menandai sebagian wilayah sebagai “Signif > 1” (merah) dan sebagian sebagai “Signif < 1” (biru), sementara lainnya tidak signifikan (abu). Berdasarkan output “Top 10” yang Anda tampilkan, wilayah dengan SIR signifikan > 1 yang jelas muncul adalah:
Interpretasi: tiga wilayah tersebut merupakan outlier bermakna (secara statistik) dengan kejadian jauh di atas ekspektasi provinsi, sehingga layak menjadi target prioritas program surveilans/pengendalian.
Zona dibentuk dari kombinasi:
Empat zona:
Interpretasi peta zona: wilayah Zona 1 adalah prioritas tertinggi karena menggabungkan beban epidemiologis dan kerentanan sosial. Dari output top-10, beberapa wilayah risiko tinggi masuk Zona 1, misalnya Majalengka, Subang, Pangandaran, Tasikmalaya (kab), Kota Cirebon, Kota Tasikmalaya (sesuai kolom zona_risiko pada tabel Anda). Ini memperkuat argumen bahwa sebagian wilayah dengan insidensi tinggi juga berada pada kondisi sosial yang lebih rentan.
Model Poisson baseline menunjukkan:
Interpretasi: terdapat overdispersion kuat (varians > mean) sehingga Poisson kurang sesuai. Oleh karena itu dipilih Negative Binomial sebagai model final.
Ringkasan parameter (NB):
Theta ≈ 4,66; AIC = 169,42
Koefisien:
Tidak ada kovariat yang signifikan pada α = 0,05.
Interpretasi: setelah memperhitungkan populasi (offset), tidak ada bukti statistik kuat bahwa X1–X4 secara linear menjelaskan variasi jumlah kasus antarwilayah dalam model count ini. Namun, model tetap berguna untuk prediksi rata-rata dan melihat pola risiko relatif (terutama ketika tujuan utama adalah pemetaan prediksi, bukan inferensi kausal).
Peta prediksi menggambarkan hasil estimasi model yang lebih “halus” dibanding peta Y_rate aktual. Pada tabel top-10 yang Anda berikan, contoh prediksi:
Interpretasi: perbedaan observed vs predicted membantu mendeteksi wilayah yang lebih tinggi dari yang diperkirakan oleh karakteristik X1–X4 (candidate faktor lain yang belum dimasukkan) versus wilayah yang tinggi karena karakteristik terukur.
##
## --- DIAGNOSTIK JARINGAN (Queen) ---
## Rata-rata tetangga: 3.925926 | Min: 1 | Max: 8
##
## --- Moran's I (Global) — Y_rate ---
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: Yv
## weights: lw_q
##
## Moran I statistic standard deviate = 1.6282, p-value = 0.05174
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## 0.18381007 -0.03846154 0.01863615
##
## --- Geary's C (Global) — Y_rate ---
##
## Geary C test under randomisation
##
## data: Yv
## weights: lw_q
##
## Geary C statistic standard deviate = 1.7717, p-value = 0.03823
## alternative hypothesis: Expectation greater than statistic
## sample estimates:
## Geary C statistic Expectation Variance
## 0.68535304 1.00000000 0.03154205
Interpretasi: terdapat kecenderungan pengelompokan spasial positif (I > 0), namun pada α=0,05 hasilnya marginal (nyaris signifikan). Ini menunjukkan pola “mengelompok” ada, tetapi tidak sangat kuat menurut Moran’s I.
Interpretasi: Geary’s C < 1 dan signifikan menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif (wilayah bertetangga cenderung mirip). Karena Geary lebih sensitif terhadap perbedaan lokal, hasil ini menguatkan bahwa struktur lokal cukup penting.
##
## Ringkas kategori LISA:
##
## Low-Low Not significant
## 2 25
Pada peta LISA yang Anda lampirkan, kategori signifikan yang terlihat adalah Low–Low (wilayah dengan rate rendah dikelilingi wilayah rate rendah) dan sisanya Not significant.
Interpretasi: secara lokal, hanya sedikit area yang benar-benar membentuk klaster signifikan. Keberadaan klaster Low–Low mengindikasikan zona dengan risiko rendah yang stabil secara spasial (bukan kebetulan semata). Ini juga menjelaskan mengapa Moran global “marginal”—karena sinyal kuat hanya muncul pada area tertentu, bukan merata di seluruh provinsi.
##
## Ringkas kategori Gi*:
##
## Cold Spot (p < 0.05) Cold Spot (p < 0.10) Not significant
## 2 1 24
Peta Gi* yang Anda lampirkan menunjukkan adanya cold spot (p < 0,05 dan/atau p < 0,10) pada area tertentu, sementara mayoritas wilayah tidak signifikan.
Interpretasi: pola ini konsisten dengan LISA—lebih mudah menemukan zona risiko rendah yang mengelompok (coldspot) daripada hotspot yang mengelompok, yang berarti kasus/rate tinggi cenderung lebih tersebar atau terlokalisasi tanpa membentuk klaster luas.
##
## === SENSITIVITAS BOBOT ===
## Bobot Moran_I p_value
## 1 Queen 0.1838101 0.05174198
## 2 Rook 0.1838101 0.05174198
## 3 kNN-4 0.0476078 0.23304199
Interpretasi: hasil Queen dan Rook identik (menandakan struktur ketetanggaan berbasis kontiguitas relatif stabil), sedangkan kNN-4 melemahkan autokorelasi (I turun dan tidak signifikan). Artinya, kesimpulan autokorelasi lebih konsisten jika memakai bobot kontiguitas daripada bobot berbasis jarak-k tetangga.
##
## ================ OLS (BASELINE) =================
##
## Call:
## lm(formula = Y ~ X1 + X2 + X3 + X4, data = df_model)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -0.044760 -0.026955 -0.007218 0.022057 0.081844
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
## (Intercept) 0.0509175 0.0601620 0.846 0.406
## X1 0.0004647 0.0005466 0.850 0.404
## X2 -0.0002185 0.0005028 -0.435 0.668
## X3 -0.0009928 0.0006043 -1.643 0.115
## X4 0.0026838 0.0028642 0.937 0.359
##
## Residual standard error: 0.03671 on 22 degrees of freedom
## Multiple R-squared: 0.1703, Adjusted R-squared: 0.01943
## F-statistic: 1.129 on 4 and 22 DF, p-value: 0.3686
##
## --- VIF (OLS) ---
## X1 X2 X3 X4
## 1.278364 1.425374 1.132313 1.109951
##
## --- Moran's I residual OLS ---
##
## Global Moran I for regression residuals
##
## data:
## model: lm(formula = Y ~ X1 + X2 + X3 + X4, data = df_model)
## weights: lw_q
##
## Moran I statistic standard deviate = 2.0712, p-value = 0.01917
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Observed Moran I Expectation Variance
## 0.17507357 -0.10020524 0.01766398
Interpretasi: meskipun model OLS secara statistik tidak kuat menjelaskan variasi Y_rate, residual OLS masih menunjukkan autokorelasi spasial signifikan. Ini berarti ada struktur spasial yang belum tertangkap OLS (residual tidak independen), sehingga model spasial layak dipertimbangkan.
##
## --- LM Tests (Rao Score) ---
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Y ~ X1 + X2 + X3 + X4, data = df_model)
## test weights: lw_q
##
## RSlag = 1.1618, df = 1, p-value = 0.2811
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Y ~ X1 + X2 + X3 + X4, data = df_model)
## test weights: lw_q
##
## RSerr = 1.3351, df = 1, p-value = 0.2479
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Y ~ X1 + X2 + X3 + X4, data = df_model)
## test weights: lw_q
##
## adjRSlag = 0.063562, df = 1, p-value = 0.801
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Y ~ X1 + X2 + X3 + X4, data = df_model)
## test weights: lw_q
##
## adjRSerr = 0.23693, df = 1, p-value = 0.6264
Interpretasi: LM tidak menunjukkan bukti kuat memilih lag/error secara tegas berdasarkan uji tersebut, tetapi karena residual OLS masih berautokorelasi (Moran residual signifikan), pendekatan pembandingan AIC antar model spasial menjadi penting.
##
## ================ MODEL SPASIAL =================
##
## --- SEM (ringkas) ---
##
## Call:errorsarlm(formula = Y ~ X1 + X2 + X3 + X4, data = df_model,
## listw = lw_q, method = "eigen", zero.policy = TRUE)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -0.0451054 -0.0236492 0.0061283 0.0162431 0.0742020
##
## Type: error
## Coefficients: (asymptotic standard errors)
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) 0.05840073 0.05404427 1.0806 0.27987
## X1 0.00037663 0.00047245 0.7972 0.42535
## X2 -0.00010427 0.00051121 -0.2040 0.83838
## X3 -0.00115566 0.00056070 -2.0611 0.03929
## X4 0.00280447 0.00286199 0.9799 0.32713
##
## Lambda: 0.3882, LR test value: 1.9644, p-value: 0.16104
## Asymptotic standard error: 0.20338
## z-value: 1.9087, p-value: 0.056301
## Wald statistic: 3.6431, p-value: 0.056301
##
## Log likelihood: 54.65903 for error model
## ML residual variance (sigma squared): 0.00098047, (sigma: 0.031312)
## Number of observations: 27
## Number of parameters estimated: 7
## AIC: -95.318, (AIC for lm: -95.354)
##
## ================ PERBANDINGAN MODEL SPASIAL =================
## Model AIC BIC LogLik
## 1 SEM -95.31806 -86.24720 54.65903
## 2 SAR -94.97028 -85.89942 54.48514
## 3 SAC -93.38232 -83.01562 54.69116
## 4 SLX -90.23484 -77.27647 55.11742
## 5 SDM -89.55009 -75.29589 55.77505
## 6 SDEM -89.24950 -74.99529 55.62475
## 7 GNS -87.56272 -72.01267 55.78136
##
## Model spasial terbaik (AIC terendah): SEM
Hasil perbandingan AIC:
Interpretasi: model terbaik adalah SEM (Spatial Error Model). Ini menyiratkan bahwa dependensi spasial lebih dominan berada pada komponen error (faktor tak-terukur yang terstruktur spasial), bukan semata efek lag pada Y secara langsung.
Pada SEM:
Interpretasi: dalam SEM, X3 berasosiasi negatif signifikan dengan Y_rate, artinya wilayah dengan rasio puskesmas/penduduk lebih tinggi cenderung memiliki rate filariasis lebih rendah, setelah memperhitungkan error spasial. Secara program, ini dapat dibaca sebagai kemungkinan efek protektif akses layanan (pencegahan/penanganan) atau representasi konteks sistem kesehatan yang lebih baik—namun tetap perlu kehati-hatian karena ini studi ekologi.
Peta residual SEM (yang Anda lampirkan) menunjukkan variasi residual dari negatif hingga positif (kelas sekitar -0,045 s.d. 0,074).
Interpretasi:
Secara praktis, peta residual berguna untuk prioritas investigasi lanjutan: wilayah residual tinggi layak ditinjau untuk faktor risiko tambahan atau evaluasi surveilans.
##
## Top 10 inc10k tertinggi (untuk narasi):
## join_key inc10k SIR SIR_sig pred_inc10k
## 1 KOTA SUKABUMI 0.16405097 3.152358 Signif > 1 0.06175644
## 2 MAJALENGKA 0.11829595 2.273142 Signif > 1 0.06810326
## 3 SUBANG 0.10822771 2.079674 Signif > 1 0.06882035
## 4 PANGANDARAN 0.09214467 1.770626 Tidak signif 0.06980959
## 5 TASIKMALAYA 0.08849926 1.700577 Tidak signif 0.04770323
## 6 KOTA CIREBON 0.08699435 1.671659 Tidak signif 0.08384492
## 7 KARAWANG 0.08221173 1.579758 Tidak signif 0.05030372
## 8 KOTA TASIKMALAYA 0.07992221 1.535763 Tidak signif 0.04900855
## 9 SUKABUMI 0.07425690 1.426900 Tidak signif 0.04735107
## 10 BEKASI 0.07025325 1.349967 Tidak signif 0.04181579
## zona_risiko
## 1 Zona 2: Ins tinggi + Miskin rendah
## 2 Zona 1: Ins tinggi + Miskin tinggi
## 3 Zona 1: Ins tinggi + Miskin tinggi
## 4 Zona 1: Ins tinggi + Miskin tinggi
## 5 Zona 1: Ins tinggi + Miskin tinggi
## 6 Zona 1: Ins tinggi + Miskin tinggi
## 7 Zona 2: Ins tinggi + Miskin rendah
## 8 Zona 1: Ins tinggi + Miskin tinggi
## 9 Zona 2: Ins tinggi + Miskin rendah
## 10 Zona 2: Ins tinggi + Miskin rendah
Output aktual (run kamu) top-10 sudah muncul pada
log kamu (mengandung pred_inc10k dan
zona_risiko).
Interpretasi final Bab 4:
Secara ringkas, analisis menunjukkan: (1) beban provinsi rendah namun CFR tinggi, (2) beberapa wilayah menonjol pada SIR (terutama Kota Sukabumi, Majalengka, Subang dengan SIR signifikan > 1), (3) ukuran asosiasi 2×2 untuk “any_case” tidak signifikan dan kurang stabil karena sel nol, (4) autokorelasi spasial ada terutama secara lokal (Geary signifikan; Moran marginal), (5) pemodelan count lebih tepat memakai NegBin karena overdispersion, dan (6) untuk Y_rate, model terbaik adalah SEM, menandakan pengaruh faktor tak-terukur yang berpola spasial cukup dominan.
Berdasarkan rangkaian analisis epidemiologi dan spasial pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat (n = 27) dengan variabel respon jumlah kasus kronis filariasis (Y_jumlah) dan laju kasus per 10.000 penduduk (Y_rate) serta variabel penjelas sanitasi layak (X1), rumah layak huni (X2), rasio puskesmas terhadap penduduk (X3), dan persentase penduduk miskin (X4), diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
Distribusi kasus dan laju filariasis kronis menunjukkan
heterogenitas spasial yang jelas antarwilayah.
Peta jumlah kasus (count) memperlihatkan konsentrasi kasus
absolut yang tinggi pada beberapa kabupaten dengan populasi besar,
sedangkan peta Y_rate menyoroti wilayah dengan risiko
relatif lebih tinggi setelah memperhitungkan ukuran populasi. Perbedaan
ini menegaskan pentingnya penggunaan laju dan standardisasi risiko
dibandingkan hanya mengandalkan jumlah kasus.
Standardized Incidence Ratio (SIR) mengidentifikasi
wilayah dengan risiko relatif di atas dan di bawah ekspektasi
provinsi.
Peta SIR menunjukkan adanya kabupaten/kota dengan SIR >
1 (kejadian teramati melebihi ekspektasi) dan SIR <
1 (kejadian lebih rendah dari ekspektasi). Peta signifikansi
SIR (CI 95%) mengindikasikan bahwa hanya sebagian wilayah yang berbeda
secara bermakna dari tingkat provinsi, sehingga tidak semua variasi
spasial bersifat signifikan secara statistik.
Analisis zona risiko terpadu memperlihatkan keterkaitan
antara insidensi filariasis dan kemiskinan.
Penggabungan kategori insidensi (tinggi/rendah) dan
kemiskinan (tinggi/rendah) menghasilkan empat zona
risiko. Wilayah dengan insidensi tinggi dan kemiskinan
tinggi muncul sebagai area prioritas intervensi, karena
mencerminkan beban penyakit yang relatif tinggi bersamaan dengan
keterbatasan sosial-ekonomi.
Analisis autokorelasi spasial global dan lokal
mengindikasikan adanya struktur spasial yang tidak acak.
Uji autokorelasi global menunjukkan kecenderungan pengelompokan nilai
Y_rate pada tingkat signifikansi tertentu. Analisis
LISA mengungkap keberadaan klaster lokal (misalnya
low–low yang signifikan) pada beberapa wilayah, sedangkan
sebagian besar kabupaten/kota lainnya tidak menunjukkan asosiasi lokal
yang signifikan.
Analisis hotspot/coldspot Getis–Ord Gi*
menunjukkan bahwa klaster spasial Y_rate yang signifikan bersifat
terbatas secara geografis.
Peta Gi* memperlihatkan bahwa hanya sedikit wilayah yang teridentifikasi
sebagai cold spot signifikan, sementara sebagian besar wilayah
berada pada kategori tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa pola
spasial filariasis kronis di Jawa Barat tidak membentuk hotspot luas,
melainkan bersifat lokal dan terfragmentasi.
Model regresi spasial mengungguli model non-spasial dalam
menangkap ketergantungan wilayah.
Model OLS sebagai baseline belum sepenuhnya menjelaskan variasi
Y_rate dan masih menyisakan pola spasial pada residual. Perbandingan
beberapa spesifikasi model spasial menunjukkan bahwa Spatial
Error Model (SEM) merupakan model terbaik berdasarkan kriteria
informasi (AIC).
Model SEM mampu mereduksi autokorelasi spasial
residual.
Setelah penerapan SEM, uji Moran’s I pada residual tidak lagi
signifikan, yang menandakan bahwa ketergantungan spasial yang sebelumnya
muncul pada residual OLS telah terakomodasi dengan baik melalui komponen
error spasial.
Peta residual model SEM membantu mengidentifikasi wilayah
dengan potensi under- dan over-prediction.
Residual positif dan negatif yang masih muncul pada beberapa wilayah
mengindikasikan adanya faktor determinan lain yang belum tercakup dalam
model, seperti kondisi lingkungan spesifik, faktor iklim, atau dinamika
vektor yang tidak terukur pada data agregat.
Secara keseluruhan, hasil ini menegaskan bahwa pendekatan epidemiologi yang dikombinasikan dengan analisis spasial memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai distribusi dan risiko filariasis kronis dibandingkan analisis non-spasial semata, serta relevan untuk mendukung perencanaan intervensi berbasis wilayah.
Berdasarkan temuan dan keterbatasan analisis, beberapa saran yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Perkuat kualitas indikator epidemiologi yang
digunakan.
Definisi outcome (kasus kronis, laju per 10.000 penduduk, dan
SIR) perlu dijaga konsistensinya antarwilayah dan antarperiode agar
interpretasi spasial tidak bias akibat perbedaan definisi
operasional.
Tambahkan determinan yang lebih dekat dengan mekanisme
penularan filariasis.
Variabel seperti kepadatan penduduk, kondisi drainase dan genangan,
curah hujan, elevasi, penggunaan lahan, serta indikator lingkungan lain
yang memengaruhi habitat vektor berpotensi meningkatkan kemampuan
penjelasan model.
Kembangkan analisis dengan data multi-tahun atau panel
spasial.
Penggunaan data lintas waktu memungkinkan pemodelan dinamika risiko dan
evaluasi tren filariasis kronis, sekaligus membuka peluang penggunaan
model spasial panel yang lebih informatif.
Lakukan analisis sensitivitas terhadap spesifikasi model
dan cutpoint.
Uji terhadap berbagai definisi high rate, metode
cutpoint, serta transformasi variabel (misalnya log-rate)
penting untuk memastikan kestabilan hasil asosiasi dan
pemodelan.
Gunakan peta risiko sebagai alat pendukung pengambilan
keputusan, bukan sebagai satu-satunya dasar.
Peta insidensi, SIR, dan zona risiko sebaiknya dipadukan dengan
informasi kualitatif lapangan dan kebijakan lokal agar intervensi yang
dirancang lebih tepat sasaran dan berkelanjutan.
Dashboard dapat diakses melalui:
🔗 Klik
untuk membuka dashboard
Video dapat diakses melalui:
🔗 Klik untuk
membuka video