0.1 Abstrak


1 BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TBC) masih merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi tantangan utama dalam kesehatan masyarakat di Indonesia [1]. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis yang terutama menyerang organ paru dan ditularkan melalui droplet dari individu yang terinfeksi [2]. Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Indonesia termasuk dalam lima negara dengan beban kasus TBC tertinggi di dunia. Pada tahun 2024, Provinsi Jawa Barat tercatat sebagai provinsi dengan jumlah kasus TBC tertinggi secara nasional, dengan total kasus mencapai 234.710 [3].

Tingginya beban TBC di Jawa Barat tidak terlepas dari heterogenitas karakteristik wilayah, seperti kepadatan penduduk, kondisi sosial ekonomi, kualitas sanitasi, serta ketersediaan dan akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan [4,5]. Perbedaan karakteristik tersebut berpotensi menimbulkan variasi risiko TBC antar kabupaten/kota.

Dalam konteks spasial, distribusi penyakit menular seperti tuberkulosis cenderung menunjukkan keterkaitan antarwilayah yang berdekatan, yang mengindikasikan adanya dependensi dan autokorelasi spasial [6]. Kondisi ini menyebabkan asumsi independensi observasi dalam analisis statistik konvensional tidak terpenuhi dan berpotensi menghasilkan estimasi yang bias. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan statistik spasial untuk mengidentifikasi autokorelasi spasial, memodelkan hubungan antarwilayah melalui spatial econometrics, serta memvisualisasikan sebaran risiko tuberkulosis secara kontinu menggunakan teknik interpolasi spasial.

1.2 1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka identifikasi masalah yang dijadikan bahan penelitian yaitu sebagai berikut:

  1. Bagaimana pola distribusi dan autokorelasi spasial prevalensi tuberkulosis antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024?
  2. Faktor wilayah apa yang secara spasial berasosiasi dengan variasi prevalensi tuberkulosis antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2024?

1.3 1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola distribusi dan autokorelasi spasial prevalensi tuberkulosis di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 serta mengkaji faktor-faktor wilayah yang berkaitan dengan variasi prevalensi antar kabupaten/kota melalui pendekatan statistik spasial. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk memodelkan dependensi spasial menggunakan spatial econometrics serta memetakan permukaan sebaran prevalensi tuberkulosis secara kontinu melalui teknik interpolasi spasial.

1.4 1.4. Manfaat Penelitian

Secara akademis, penelitian ini memberikan kontribusi dalam penerapan konsep dan metode statistik spasial, khususnya dalam analisis autokorelasi spasial, pemodelan spatial econometrics, dan interpolasi spasial pada data kesehatan berbasis wilayah.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi wilayah dengan prevalensi tuberkulosis yang relatif tinggi, memahami keterkaitan antarwilayah, serta mendukung perencanaan strategi pengendalian tuberkulosis yang lebih terarah dan berbasis analisis spasial.

1.5 1.5. Batasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (cross-sectional) berbasis data sekunder agregat pada tingkat kabupaten/kota, sehingga memiliki beberapa keterbatasan sebagai berikut:

  1. Keterbatasan Data Ekologis Analisis dilakukan menggunakan data agregat tingkat kabupaten/kota, sehingga hubungan yang diidentifikasi antara karakteristik wilayah dan prevalensi tuberkulosis hanya berlaku pada tingkat populasi dan tidak dapat diinterpretasikan sebagai hubungan kausal pada tingkat individu.

  2. Keterbatasan Temporal Data yang digunakan terbatas pada satu periode pengamatan, yaitu tahun 2024, sehingga analisis tidak mencerminkan dinamika temporal, tren jangka panjang, maupun variasi musiman kejadian tuberkulosis di Provinsi Jawa Barat.

  3. Keterbatasan Pemodelan Spasial dan Interpolasi Pemodelan interpolasi spasial dilakukan menggunakan titik centroid kabupaten/kota sebagai representasi lokasi observasi. Hasil interpolasi bersifat eksploratif dan ditujukan untuk visualisasi pola spasial, bukan untuk mengestimasi nilai prevalensi yang sebenarnya pada lokasi di antara wilayah administratif. Selain itu, penerapan metode Kriging didasarkan pada asumsi stasioneritas dan isotropi yang mungkin tidak sepenuhnya terpenuhi pada data kesehatan berbasis wilayah.


2 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 2.1. Teori Spatial Dependence

Ketergantungan spasial adalah fenomena dimana nilai suatu variabel pada suatu wilayah tidak bersifat independen, melainkan dipengaruhi oleh nilai variabel yang terdapat pada wilayah‑wilayah tetangganya [7]. Dua bentuk utama dependensi adalah spatial lag dan spatial error [8]. Spatial lag adalah bentuk ketergantungan spasial di mana nilai variabel dependen pada satu wilayah dipengaruhi secara langsung oleh nilai variabel dependen pada wilayah‑wilayah tetangganya. Secara formal, model spatial lag menambahkan komponen WY ke persamaan regresi, sehingga persamaannya menjadi:

\[Y = \rho WY + X\beta + \varepsilon , \]

di mana W adalah matriks bobot ruang yang menggambarkan kedekatan antar wilayah, mengukur kekuatan pengaruh lag, dan adalah kesalahan acak.

Spatial error mengacu pada autokorelasi yang terdapat pada komponen kesalahan model, bukan pada variabel dependen itu sendiri. Model spatial error menuliskan kesalahan sebagai:

\[\varepsilon = \lambda W\varepsilon + u ,\] dengan mengukur intensitas autokorelasi pada residual, u merupakan error i.i.d., dan W kembali merupakan matriks bobot ruang (spatial weight matrix). Pada contoh di atas, jika faktor‑faktor tak terobservasi tersebar secara spasial, maka residual OLS akan menunjukkan pola yang terstruktur. Model spatial error memperbaiki hal ini dengan menangkap penyebaran kesalahan tersebut.

Kedua bentuk ketergantungan ini penting karena mengabaikannya dapat menghasilkan koefisien regresi yang bias, standar error yang terlalu kecil, dan keputusan kebijakan yang menyesatkan. Memilih antara spatial lag dan spatial error atau kombinasi keduanya bergantung pada apakah penyebaran terjadi pada variabel dependen secara langsung atau melalui faktor‑faktor tak terukur yang tercermin pada residual.

Jika ketergantungan ini diabaikan, estimasi koefisien regresi standar (OLS) menjadi bias dan tidak efisien; standar error dapat direduksi secara artifisial, sehingga uji signifikansi menjadi menyesatkan [9]. Model OLS yang mengabaikan autokorelasi menghasilkan koefisien X yang signifikan padahal nilai tersebut mungkin dipengaruhi oleh pola spasial yang tidak terkontrol. Model spatial error mengoreksi korelasi residual dan menghasilkan estimasi yang lebih realistis [10]. Oleh karena itu, identifikasi dan penanganan spatial dependence merupakan prasyarat penting sebelum menginterpretasikan hubungan antara variabel‑variabel X dengan rata‑rata lama sekolah (variabel Y).

2.2 2.2. Autokorelasi Spasial

Autokorelasi spasial didefinisikan sebagai korelasi positif atau negatif dari suatu variabel dengan dirinya sendiri yang disebabkan oleh lokasi spasial dari pengamatan [11]. Secara matematis, autokorelasi spasial dapat dinyatakan melalui kondisi momen sebagai berikut:

\[ \text{cov}(y_i, y_j) = E[y_i y_j] - E[y_i] \cdot E[y_j] \neq 0 \] di mana i dan j merujuk pada pengamatan individual (lokasi), dan yi adalah nilai variabel acak yang diamati pada lokasi tersebut.

Moran’s I merupakan salah satu indeks yang paling banyak digunakan untuk mengukur autokorelasi spasial global dalam data area. Moran’s I didefinisikan sebagai:

\[I = \frac{n}{\sum_i \sum_j w_{ij}} \frac{\sum_i \sum_j w_{ij}(y_i-\bar{y})(y_j-\bar{y})}{\sum_i (y_i-\bar{y})^2}\] dimana dimana n adalah jumlah wilayah atau lokasi, Yi adalah nilai variabel yang diamati di wilayah i, Y adalah rata-rata dari semua nilai, dan wij adalah elemen matriks pembobot spasial yang menunjukkan kedekatan spasial antara wilayah i dan j dengan wii= 0.

Matriks pembobot spasial (W) merupakan komponen krusial dalam analisis autokorelasi spasial yang menggambarkan struktur ketetanggaan atau kedekatan antar lokasi. Elemen wij bernilai 1 jika wilayah i dan j bertetangga, dan 0 jika tidak bertetangga. Matriks ini biasanya distandarisasi baris sehingga \[\sum_{j} w_{ij} = 1\] untuk setiap i, yang memungkinkan spatial lag diinterpretasikan sebagai rata-rata tertimbang dari nilai-nilai tetangga.

Nilai Moran’s I umumnya berkisar antara -1 hingga +1. Nilai Moran’s I > 0 menunjukkan adanya pengelompokan nilai-nilai yang serupa. Wilayah dengan nilai tinggi cenderung dikelilingi oleh wilayah dengan nilai tinggi, dan wilayah dengan nilai rendah dikelilingi oleh wilayah dengan nilai rendah (autokorelasi spasial positif). Nilai Moran’s I mendekati 0 mengindikasikan pola spasial yang acak (random), di mana tidak ada pola sistematis dalam distribusi spasial variabel (tidak ada autokorelasi spasial). Nilai Moran’s I < 0 menunjukkan pola dispersi atau kompetisi spasial, di mana wilayah dengan nilai tinggi cenderung dikelilingi oleh wilayah dengan nilai rendah, dan sebaliknya (autokorelasi spasial negatif) [12].

Autokorelasi spasial dapat terjadi baik pada variabel dependen maupun pada residual model regresi. Autokorelasi spasial pada variabel dependen atau variabel independen menunjukkan adanya dependensi spasial substantif, yang mengindikasikan pola spasial inheren dalam data. Keberadaan autokorelasi spasial pada variabel menunjukkan perlunya spesifikasi model yang mengakomodasi dependensi spasial, seperti spatial lag model atau Spatial Durbin Model [13]. Jika diabaikan, hal ini dapat menyebabkan bias dan inkonsistensi dalam estimasi parameter.

Autokorelasi spasial pada residual regresi merupakan indikasi yang lebih serius karena menunjukkan pelanggaran asumsi independensi error dalam model regresi klasik. Dalam konteks model regresi, autokorelasi spasial pada residual dapat dinyatakan sebagai berikut:

\[cov[\varepsilon_i, \varepsilon_j] \neq 0 \quad \text{untuk } i \neq j\] Dalam praktik analisis regresi spasial, pengujian autokorelasi spasial pada residual dilakukan sebagai diagnostik spesifikasi model setelah estimasi OLS. Jika ditemukan autokorelasi spasial yang signifikan pada residual, maka perlu dilakukan respesifikasi model dengan menggunakan model spatial error (SEM) atau model yang lebih kompleks untuk mengakomodasi dependensi spasial dalam struktur error, sehingga diperoleh estimator yang konsisten dan efisien [14].

2.3 2.3. Model Spasial Ekonometrik

Model dasar dalam analisis ekonometrika wilayah adalah Ordinary Least Squares (OLS), yang mengasumsikan bahwa setiap observasi bersifat independen satu sama lain. Dalam konteks spasial, OLS memodelkan hubungan antara variabel dependen Y dan sejumlah variabel independen tanpa mempertimbangkan lokasi geografis setiap unit. Bentuk umum model OLS adalah:

\[Y = \beta_0 + \beta_1 X_1 + \beta_2 X_2 + \dots + \beta_k X_k + \varepsilon\] Namun, asumsi independensi observasi sering tidak terpenuhi dalam data wilayah karena fenomena ekonomi dan sosial tidak tersebar secara acak di ruang. Wilayah yang berdekatan biasanya memiliki karakteristik yang saling berhubungan akibat interaksi sosial, kebijakan publik, mobilitas tenaga kerja, dan kesamaan kondisi geografis.

Ketika terdapat dependensi spasial (spatial dependence) baik pada variabel maupun pada error, penggunaan OLS menjadi tidak tepat. Dua sumber utama dependensi adalah efek lag spasial dan efek error spasial. Efek lag spasial (spatial lag effect) terjadi ketika nilai variabel dependen di suatu wilayah dipengaruhi oleh nilai di wilayah sekitarnya. Efek error spasial (spatial error effect) terjadi ketika error atau variabel yang tidak teramati saling berkorelasi secara spasial, menandakan adanya faktor wilayah terabaikan yang memengaruhi lebih dari satu daerah.

Ketika terdapat dependensi spasial (spatial dependence) baik pada variabel maupun pada error, penggunaan OLS menjadi tidak tepat. Dua sumber utama dependensi adalah efek lag spasial dan efek error spasial. Efek lag spasial (spatial lag effect) terjadi ketika nilai variabel dependen di suatu wilayah dipengaruhi oleh nilai di wilayah sekitarnya. Efek error spasial (spatial error effect) terjadi ketika error atau variabel yang tidak teramati saling berkorelasi secara spasial, menandakan adanya faktor wilayah terabaikan yang memengaruhi lebih dari satu daerah.

2.3.1 2.3.1. Spatial Autoregressive (SAR)

Model ini memasukkan lag spasial dari variabel dependen ke dalam persamaan regresi. Berikut adalah persamaannya.

\[Y = \rho WY + X\beta + \varepsilon\] Keterangan:

Y: Variabel dependen RLS

W: Matriks bobot spasial (spatial weight matrix)

WY: Lag spasial dari variabel dependen

ρ: Koefisien lag spasial

X: Matriks variabel independen

β: Vektor koefisien regresi

ε: Komponen error acak, diasumsikan identik dan independen.

Model SAR digunakan ketika terdapat pengaruh langsung antarwilayah (misalnya daerah dengan rata-rata lama sekolah tinggi memengaruhi wilayah tetangganya melalui pertukaran sumber daya pendidikan atau kebijakan).

2.3.2 2.3.2. Spatial Error Model (SEM)

Model SEM digunakan ketika pengaruh spasial disebabkan oleh variabel yang tidak teramati tetapi berpola spasial. Model ini memfokuskan pada korelasi spasial di dalam komponen error. Berikut adalah persamaannya:

\[Y = X\beta + u, \quad u = \lambda Wu + \varepsilon\] Keterangan:

u: Error yang memiliki dependensi spasial

λ: Koefisien autokorelasi spasial pada error

Wu: Lag spasial dari error

ε: Komponen error acak yang bersifat independen.

2.3.3 2.3.3. Spatial Durbin Model (SDM)

Model ini merupakan pengembangan dari SAR, karena selain memasukkan lag spasial pada variabel dependen, juga memasukkan lag spasial pada variabel independen. Model SDM mampu menangkap efek langsung dan tidak langsung (spillover) antar wilayah. Berikut adalah persamaannya:

\[Y = \rho WY + WX\theta + X\beta + \varepsilon\] Keterangan:

θ : Spillover dari variabel independen di wilayah sekitar.

2.3.4 2.3.4. Spatial Durbin Error Model (SDEM)

Model ini memperluas SEM dengan menambahkan lag spasial pada variabel independen. SDEM cocok digunakan ketika pengaruh antarwilayah berasal dari faktor penjelas (X) dan error secara bersamaan, tanpa adanya ketergantungan langsung antar variabel dependen antarwilayah. Berikut adalah persamaannya:

\[Y = X\beta + WX\theta + u, \quad u = \lambda Wu + \varepsilon\]

2.3.5 2.3.5. Spatial Autoregressive Combined Model (SAC)

Model SAC menggabungkan efek lag spasial (SAR) dan error spasial (SEM). Model ini relevan ketika terdapat interaksi langsung antarwilayah dan juga variabel tak teramati yang berpola spasial. Berikut adalah persamaannya:

\[Y = \rho WY + X\beta + u, \quad u = \lambda Wu + \varepsilon\]

2.3.6 2.3.6. General Nesting Spatial (GNS)

Model GNS adalah bentuk paling umum dari model spasial, karena menggabungkan semua kemungkinan dependensi. GNS bersifat nests terhadap model-model lain sehingga digunakan sebagai model general untuk kemudian disederhanakan bila parameter tertentu tidak signifikan. Berikut adalah persamaannya:

\[Y = \rho WY + WX\theta + X\beta + u, \quad u = \lambda Wu + \varepsilon\]

2.4 2.4. Model Spasial Interpolasi

Model spasial interpolasi digunakan untuk memperkirakan nilai suatu variabel pada lokasi yang tidak teramati berdasarkan nilai pada lokasi teramati di sekitarnya. Dalam penelitian ini, interpolasi digunakan untuk memvisualisasikan sebaran spasial prevalensi tuberkulosis secara kontinu dengan memanfaatkan titik centroid kabupaten/kota sebagai lokasi observasi.

2.4.1 2.4.1 Inverse Distance Weighting (IDW)

Inverse Distance Weighting (IDW) merupakan metode interpolasi deterministik yang didasarkan pada asumsi bahwa pengaruh suatu titik observasi terhadap lokasi prediksi akan menurun seiring dengan bertambahnya jarak. Dengan demikian, titik yang lebih dekat memiliki bobot yang lebih besar dalam proses estimasi.

Bentuk umum model IDW dinyatakan sebagai:

\[ \hat{Z}(s_0) = \frac{\sum_{i=1}^{n} w_i(s_0) Z(s_i)}{\sum_{i=1}^{n} w_i(s_0)} \]

dengan bobot:

\[ w_i(s_0) = \frac{1}{d(s_0, s_i)^p} \]

di mana \(Ẑ(s_0)\) adalah nilai prediksi pada lokasi \(s_0\), \(Ẑ(s_i)\) adalah nilai onservasi pada lokasi \(s_i\), \(d(s_0,s_i)\) adalah arak antara lokasi prediksi dan lokasi observasi, serta𝑝merupakan parameter pangkat yang mengontrol tingkat penurunan pengaruh jarak.

Metode IDW tidak memerlukan asumsi distribusi data maupun struktur kovarians spasial, sehingga relatif sederhana dan stabil untuk jumlah titik observasi yang terbatas.

2.4.2 2.4.2 Trend Surface

Trend Surface merupakan metode interpolasi berbasis regresi yang memodelkan variasi spasial sebagai fungsi polinomial dari koordinat geografis. Metode ini bertujuan untuk menangkap pola atau tren spasial global pada data.

Bentuk umum model Trend Surface dapat dituliskan sebagai: \[ Z(s_i) = \beta_0 + \beta_1 x_i + \beta_2 y_i + \beta_3 x_i^2 + \beta_4 y_i^2 + \beta_5 x_i y_i + \varepsilon_i \] dimana \(x_i\) dan \(y_i\) masing-masing merupakan koordinat lokasi ke-𝑖, \(β_k\) adalah parameter regresi, dan \(ε_i\) adalah komponen galat.

Trend Surface efektif dalam menggambarkan kecenderungan spasial berskala besar, namun kurang mampu menangkap variasi lokal karena tidak secara eksplisit mempertimbangkan dependensi spasial antarobservasi.

2.4.3 2.4.3 Ordinary Kriging

Ordinary Kriging (OK) merupakan metode interpolasi stokastik yang memperhitungkan struktur autokorelasi spasial melalui fungsi variogram. Metode ini mengasumsikan bahwa nilai rata-rata proses bersifat konstan tetapi tidak diketahui.

Model dasar Ordinary Kriging dinyatakan sebagai kombinasi linear berbobot:

dengan bobot \(λ_i\) ditentukan sedemikian rupa sehingga menghasilkan prediksi tak bias dan meminimalkan variansi galat prediksi, berdasarkan struktur variogram \(\gamma(h)\).

Ordinary Kriging tidak hanya menghasilkan nilai prediksi, tetapi juga menyediakan informasi ketidakpastian melalui variansi prediksi, sehingga memberikan keunggulan dibandingkan metode interpolasi deterministik dalam analisis spasial.


3 BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 3.1. Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat dan Portal Open Data Jabar dari Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. Unit analisis yang digunakan adalah 27 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat.

3.2 3.2. Unit Spasial

Unit analisis dalam penelitian ini adalah 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Seluruh wilayah administratif tersebut digunakan untuk menggambarkan variasi prevalensi tuberkulosis serta perbedaan karakteristik wilayah yang berpotensi memengaruhi pola sebaran penyakit, seperti kondisi sosial ekonomi, sanitasi, dan ketersediaan fasilitas kesehatan.

Untuk merepresentasikan keterkaitan antarwilayah, penelitian ini menggunakan matriks bobot spasial (W). Matriks bobot dibangun dengan pendekatan contiguity-based, yang mengasumsikan bahwa wilayah yang berbatasan secara geografis memiliki potensi interaksi dan pengaruh yang lebih besar dibandingkan wilayah yang tidak bertetangga. Pendekatan ini dipilih karena penyebaran penyakit menular cenderung dipengaruhi oleh kedekatan geografis dan interaksi antarwilayah yang berdekatan [14].

Secara khusus, matriks bobot spasial disusun menggunakan queen contiguity, di mana dua kabupaten/kota dianggap bertetangga apabila memiliki batas sisi atau sudut yang bersinggungan. Matriks bobot spasial ini digunakan dalam analisis autokorelasi spasial dan pemodelan spatial econometrics untuk menguji keberadaan dependensi spasial prevalensi tuberkulosis antarwilayah di Provinsi Jawa Barat.

3.3 3.3. Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan yaitu terdiri dari satu variabel dependen dan delapan variabel independen pada tahun 2024 di 27 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat.

Tabel 1. Variabel Penelitian
Nama Variabel Satuan Deskripsi Sumber Data
Jumlah Kasus TBC Orang Jumlah total kasus Tuberkulosis (TBC) yang dilaporkan di Jawa Barat pada tahun 2024. Open Data Jawa Barat 2024
Jumlah Penduduk Jiwa Jumlah total penduduk di Jawa Barat pada tahun 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat 2024
Jumlah Kasus HIV Orang Jumlah total kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang tercatat di Jawa Barat pada tahun 2024. Open Data Jawa Barat 2024
Jumlah Penderita Diabetes Melitus Orang Jumlah penduduk yang tercatat menderita Diabetes Melitus di Jawa Barat pada tahun 2024. Open Data Jawa Barat 2024
Persentase Balita Stunting Persentase Persentase balita yang mengalami kondisi stunting di Jawa Barat pada tahun 2024. Open Data Jawa Barat 2024
Kepadatan Penduduk Jiwa/km² Jumlah penduduk per satuan luas wilayah di Jawa Barat pada tahun 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat 2024
Jumlah Penduduk Miskin Ribu jiwa Jumlah penduduk yang tergolong miskin di Jawa Barat pada tahun 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat 2024
Jumlah Fasilitas Kesehatan Unit Jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia di Jawa Barat pada tahun 2024. Open Data Jawa Barat 2024
Persentase Keluarga dengan Sanitasi Layak Persentase Persentase keluarga yang memiliki akses terhadap sanitasi yang layak di Jawa Barat pada tahun 2024. Open Data Jawa Barat 2024

3.4 3.4. Metode Analisis

Analisis dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan untuk mengidentifikasi, menguji, dan membandingkan model spasial yang paling sesuai dalam menjelaskan variasi variabel dependen antarwilayah di Provinsi Jawa Barat. Tahapan metode analisis dijelaskan sebagai berikut:

3.4.1 3.4.1. Eksplorasi Data Spasial

Tahap awal dilakukan eksplorasi data spasial untuk memahami distribusi geografis dan pola spasial dari variabel yang diteliti. Visualisasi dilakukan melalui peta tematik menggunakan data Jumlah Kasus TBC dan variabel independen lainnya. Selain itu, dilakukan uji autokorelasi spasial global menggunakan Moran’s I untuk mengetahui apakah terdapat pola spasial yang signifikan pada variabel dependen.

3.4.2 3.4.2. Estimasi Model OLS Awal

Sebelum melakukan estimasi model spasial, dilakukan regresi linier berganda (OLS) sebagai model dasar. Hasil residual dari model OLS kemudian diuji adanya autokorelasi spasial menggunakan Moran’s I pada residual, untuk memastikan apakah model OLS memenuhi asumsi independensi spasial. Jika terdapat autokorelasi spasial yang signifikan, maka model OLS dianggap tidak memadai.

3.4.3 3.4.3. Uji Lagrange Multiplier (LM) dan Robust LM

Untuk menentukan bentuk ketergantungan spasial yang sesuai (apakah pada bentuk lag atau error), dilakukan uji Lagrange Multiplier (LM) serta uji Robust LM. Jika LM-Lag signifikan maka model dengan dependensi spasial pada variabel dependen (Spatial Lag Model) lebih sesuai. Jika LM-Error signifikan maka model dengan dependensi spasial pada error (Spatial Error Model) lebih sesuai. Jika keduanya signifikan, maka digunakan model lanjutan seperti SDM atau SDEM untuk menangkap efek campuran.

3.4.4 3.4.4. Estimasi Model Spasial Lanjutan

Berdasarkan hasil uji LM, dilakukan estimasi terhadap beberapa model regresi spasial lanjutan, yaitu Spatial Durbin Model (SDM), Spatial Durbin Error Model (SDEM), Spatial Autocorrelation Model (SAC), Spatial Durbin Combined Model (SDCM). Pemilihan model ini didasarkan pada kompleksitas interaksi spasial yang mungkin terjadi baik pada variabel dependen maupun independen.

3.4.5 3.4.5. Perbandingan Kinerja Model

Setelah semua model diestimasi, dilakukan evaluasi kinerja model menggunakan beberapa kriteria, yaitu Akaike Information Criterion (AIC), log-likelihood, koefisien determinasi (R²), serta signifikansi parameter. Model dengan nilai AIC terkecil dan log-likelihood terbesar dianggap memiliki performa terbaik.

3.4.6 3.4.6. Uji Lagrange Multiplier (LM) dan Robust LM

Tahap ini menginterpretasikan hasil estimasi dari model spasial terbaik yang diperoleh berdasarkan kriteria pemilihan model. Interpretasi difokuskan pada arah dan besaran pengaruh variabel independen terhadap prevalensi tuberkulosis, baik secara langsung (direct effects) maupun secara tidak langsung (spillover effects) antarwilayah, jika model yang digunakan mengakomodasi efek tersebut.

3.4.7 3.4.7. Analisis Model Interpolasi

Selain pemodelan regresi spasial berbasis wilayah, penelitian ini juga menerapkan analisis interpolasi spasial untuk memvisualisasikan sebaran prevalensi tuberkulosis secara kontinu di Provinsi Jawa Barat. Interpolasi dilakukan dengan menggunakan titik centroid kabupaten/kota sebagai lokasi observasi, dengan tujuan eksploratif dan visualisasi pola spasial.

Tiga metode interpolasi digunakan dan dibandingkan dalam penelitian ini, yaitu Inverse Distance Weighting (IDW), Trend Surface, dan Ordinary Kriging. Metode IDW digunakan sebagai pendekatan deterministik yang mengasumsikan bahwa wilayah yang berdekatan memiliki nilai yang lebih mirip. Metode Trend Surface digunakan untuk menangkap kecenderungan spasial global berdasarkan koordinat geografis. Sementara itu, Ordinary Kriging digunakan sebagai pendekatan stokastik yang memperhitungkan struktur autokorelasi spasial melalui variogram.Hasil interpolasi disajikan dalam bentuk peta permukaan spasial untuk masing-masing metode dan dibandingkan secara visual guna menilai perbedaan pola sebaran dan kestabilan hasil interpolasi.

3.5 3.5. Alur Kerja Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui tahapan analisis spasial yang sistematis, mulai dari eksplorasi data, pengujian autokorelasi spasial, pemodelan regresi spasial, hingga interpolasi spasial, untuk mengidentifikasi pola dan variasi prevalensi tuberkulosis antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.

Gambar 1. Diagram Alur Penelitian

Gambar 1. Diagram Alur Penelitian


4 BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 4.1. Statistik Deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan untuk mengidentifikasi dan menguraikan variasi spasial yang terdapat pada variabel dependen Jumlah Kasus TBC (JK) serta faktor-faktor penentu yang terdiri dari variabel ekonomi dan sosial di 27 wilayah administrasi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.

Tabel 2. Statistik Deskriptif Variabel Penelitian
Variabel Minimum Q1 (25%) Median Mean Q3 (75%) Maksimum
JK 968 4.318 6.092 8.507 12.304 29.110
JP 209.790 1.064.345 1.884.190 1.864.637 2.569.685 5.682.300
HIV 51 158 295 394 492 1.400
ST 1,600 2,405 3,580 5,437 8,085 17,080
DB 2.415 13.425 17.912 24.749 38.736 66.896
Sanitasi 34,56 83,67 95,78 89,45 98,55 100,00
Faskes 14,00 34,00 48,00 54,74 73,00 129,00
Miskin 11,2 75,3 131,8 142,5 196,2 446,8
KP 385,0 832,5 1.468,0 3.910,9 5.826,0 15.176,0

Berdasarkan analisis statistik deskriptif, terlihat adanya variasi yang cukup besar antar kabupaten/kota pada seluruh variabel penelitian. Jumlah kasus JK memiliki rata-rata sebesar 8.507 dengan rentang yang lebar, menunjukkan ketimpangan beban kasus antar wilayah. Jumlah penduduk (JP) juga sangat bervariasi, mengindikasikan perbedaan skala wilayah yang berpotensi memengaruhi besarnya nilai variabel lain. Variabel kesehatan seperti HIV, ST, dan DB menunjukkan sebaran yang tidak merata, dengan nilai maksimum yang jauh lebih tinggi dibandingkan median, sehingga mengindikasikan adanya wilayah dengan risiko kesehatan yang lebih tinggi. Dari sisi lingkungan dan fasilitas, Sanitasi relatif tinggi dengan median mendekati 100%, namun masih terdapat daerah dengan capaian yang rendah, sedangkan jumlah fasilitas kesehatan (Faskes) bervariasi cukup signifikan antar wilayah. Selain itu, variabel sosial ekonomi seperti penduduk miskin (Miskin) dan kepadatan penduduk (KP) juga menunjukkan heterogenitas yang tinggi. Secara keseluruhan, kondisi ini mencerminkan adanya perbedaan karakteristik demografis, kesehatan, dan sosial ekonomi antar kabupaten/kota yang penting untuk dipertimbangkan dalam analisis regresi selanjutnya.

4.2 4.2. Peta Tematik Distribusi

Peta tematik memperlihatkan sebaran spasial Jumlah Kasus TBC (JK) dan variabel penentunya di setiap kabupaten/kota Jawa Barat. Visualisasi ini membantu mengenali perbedaan antarwilayah serta pola konsentrasi nilai tinggi dan rendah.

4.2.1 4.2.1. Peta Sebaran Variabel Dependen

Peta sebaran Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) menggambarkan perbedaan tingkat pendidikan antarwilayah di Provinsi Jawa Barat. Warna pada peta menunjukkan variasi nilai JK, di mana wilayah dengan warna lebih terang menunjukkan Jumlah Kasus yang lebih tinggi.

Gambar 2. Peta Sebaran Variabel Jumlah Kasus TBC

Gambar 2. Peta Sebaran Variabel Jumlah Kasus TBC

Peta kloroplet tersebut menunjukkan adanya ketimpangan spasial yang signifikan dalam penyebaran kasus TBC di wilayah Jawa Barat, di mana beban kasus tertinggi terkonsentrasi di wilayah barat laut (seperti Bogor dan Bekasi) yang ditandai dengan warna kuning cerah dengan jumlah melebihi 20.000 orang. Sebaliknya, wilayah bagian timur dan tenggara menunjukkan jumlah kasus yang jauh lebih rendah dengan dominasi warna ungu tua hingga biru gelap, sementara wilayah tengah berada pada kategori sedang dengan kisaran 10.000 hingga 20.000 kasus. Konsentrasi kasus yang tinggi di wilayah barat ini kemungkinan besar berkorelasi dengan tingkat kepadatan penduduk yang lebih tinggi dibandingkan area lainnya di provinsi tersebut.

4.2.2 4.2.2. Peta Sebaran Variabel Independen

Peta sebaran variabel sosial-ekonomi menggambarkan perbedaan tingkat pencapaian di bidang sosial dan ekonomi antarwilayah di Provinsi Jawa Barat. Warna terang pada peta menunjukkan indeks pencapaian yang lebih tinggi daripada wilayah dengan warna gelap.

Gambar 3. Peta Sebaran Variabel Jumlah Penduduk

Gambar 3. Peta Sebaran Variabel Jumlah Penduduk

Gambar 4. Peta Sebaran Variabel Jumlah Kasus HIV

Gambar 4. Peta Sebaran Variabel Jumlah Kasus HIV

Gambar 5. Peta Sebaran Variabel Persentase Stunting

Gambar 5. Peta Sebaran Variabel Persentase Stunting

Gambar 6. Peta Sebaran Variabel Jumlah Penderita Diabetes

Gambar 6. Peta Sebaran Variabel Jumlah Penderita Diabetes

Gambar 7. Peta Sebaran Variabel Persentase Keluarga dengan Sanitasi Layak

Gambar 7. Peta Sebaran Variabel Persentase Keluarga dengan Sanitasi Layak

Gambar 8. Peta Sebaran Variabel Jumlah Unit Fasilitas Kesehatan

Gambar 8. Peta Sebaran Variabel Jumlah Unit Fasilitas Kesehatan

Gambar 9. Peta Sebaran Variabel Jumlah Penduduk Miskin

Gambar 9. Peta Sebaran Variabel Jumlah Penduduk Miskin

Gambar 10. Peta Sebaran Variabel Kepadatan Penduduk

Gambar 10. Peta Sebaran Variabel Kepadatan Penduduk

Berdasarkan rangkaian peta kloroplet tersebut, terlihat pola spasial yang menunjukkan bahwa beban penyakit seperti TBC, HIV, dan Diabetes cenderung terkonsentrasi di wilayah barat laut dan tengah Jawa Barat, yang selaras dengan tingginya jumlah penduduk (JP), kepadatan penduduk (KP), serta jumlah penduduk miskin di area metropolitan tersebut. Meskipun wilayah dengan kasus penyakit tinggi umumnya memiliki jumlah fasilitas kesehatan (Faskes) yang lebih banyak dan akses sanitasi yang relatif baik, beban kasus tetap tinggi karena faktor risiko demografis dan kepadatan yang ekstrem. Sebaliknya, masalah stunting (ST) menunjukkan pola yang berbeda dengan prevalensi yang lebih tinggi di wilayah bagian selatan dan timur, di mana akses sanitasi layak cenderung lebih rendah dibandingkan wilayah perkotaan di utara. Secara keseluruhan, faktor kependudukan dan kemiskinan menjadi indikator kuat bagi penyebaran penyakit menular dan degeneratif, sementara isu gizi buruk lebih menonjol di wilayah perifer yang memiliki keterbatasan infrastruktur sanitasi.

4.3 4.3. Hasil Uji Autokorelasi Spasial

4.3.1 4.3.1. Plot Jaringan Tetangga

Gambar 11. Peta Jaringan Ketetanggaan Kab/Kota di Jawa Barat

Gambar 11. Peta Jaringan Ketetanggaan Kab/Kota di Jawa Barat

Gambar 14 menyajikan plot visualisasi Matriks Bobot Spasial. Matriks Bobot Spasial (W) yang digunakan adalah Contiguity-Based tipe Queen Contiguity. Jaringan ini menunjukkan hubungan ketetanggaan antar kabupaten/kota di Jawa Barat. Setiap wilayah telah ditetapkan dengan setidaknya satu tetangga, yang merupakan prasyarat penting untuk melakukan uji autokorelasi spasial.

4.3.2 4.3.2. Uji Autokorelasi Spasial pada Variabel Dependen

Tabel 3. Hasil Uji Autokorelasi Variabel Dependen
Moran’s I Geary’s C
Statistic 0.38399 0.96892
p-value 0.00065 0.43730
Tabel 4. Hasil Uji Getis-Ord Global G
Statistik Nilai
Global G Statistic 0.05552
p-value 0.00011

Berdasarkan uji Moran’s I, diperoleh nilai Moran’s I sebesar 0.384 dengan p-value < 0.05, yang menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif yang signifikan pada variabel jumlah kasus TBC (JK). Sementara itu, uji Geary’s C menghasilkan nilai 0.969 (< 1), namun tidak signifikan secara statistik (p-value > 0.05), sehingga tidak memberikan bukti kuat adanya autokorelasi spasial menurut ukuran Geary’s C.

4.3.3 4.3.3. Uji Autokorelasi Spasial pada Variabel Independen

Tabel 5. Hasil Uji Autokorelasi Spasial Variabel Faskes
Moran’s I
Geary’s C
Getis–Ord General G
Variabel (Komputasi) Statistic p-value Statistic p-value Statistic p-value
Fasilitas Kesehatan (Faskes) 0.1791628 0.05879 0.9252998 0.3273 0.0470257 0.00362
Tabel 6. Hasil Uji Autokorelasi Spasial Variabel Independen
Moran’s I
Geary’s C
Getis–Ord General G
Variabel (Komputasi) Statistic p-value Statistic p-value Statistic p-value
Jumlah Penduduk (JP) -0.00856 0.411700 1.30373 0.947600 0.04685 0.019240
HIV 0.28190 0.008415 0.66810 0.038190 0.04912 0.025930
Stunting (ST) 0.18587 0.050010 0.65357 0.025880 0.03887 0.466200
Diabetes (DB) 0.24114 0.021660 0.85032 0.189100 0.04975 0.006007
Sanitasi 0.08121 0.166000 0.69010 0.081720 0.03922 0.197800
Fasilitas Kesehatan (Faskes) 0.17916 0.058790 0.92530 0.327300 0.04703 0.003620
Penduduk Miskin (Miskin) -0.10389 0.687400 1.36681 0.974700 0.04996 0.003308
Kepadatan Penduduk (KP) 0.25845 0.015920 0.59369 0.008454 0.04228 0.349800

Secara umum, hasil uji autokorelasi spasial menunjukkan bahwa sebagian besar variabel memiliki pola spasial yang tidak acak di Jawa Barat, meskipun kekuatan dan bentuk ketergantungannya berbeda. Beberapa variabel seperti HIV, Diabetes (DB), Kepadatan Penduduk (KP), dan Fasilitas Kesehatan (Faskes) memperlihatkan indikasi klaster spasial (baik global maupun hot spot), sementara variabel lain seperti Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin cenderung menunjukkan pola yang lebih lemah atau tidak signifikan secara global. Temuan ini mengindikasikan bahwa karakteristik sosial–kesehatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat dipengaruhi oleh struktur spasial, sehingga analisis lanjutan perlu mempertimbangkan pendekatan pemodelan spasial.

4.3.4 4.3.4. Uji Autokorelasi Spasial Lokal pada Variabel Dependen (JK)

Gambar 12. Peta Moran's LISA Variabel JK

Gambar 12. Peta Moran’s LISA Variabel JK

Gambar 13 Peta Getis-Ord Gi* Variabel JK

Gambar 13 Peta Getis-Ord Gi* Variabel JK

Kedua plot tersebut menunjukkan adanya konsistensi pola autokorelasi spasial pada jumlah kasus TBC di Provinsi Jawa Barat, di mana wilayah barat laut (seperti Bogor, Bekasi, dan sekitarnya) teridentifikasi secara signifikan sebagai Hotspot pada peta Getis-Ord serta bertipe High-High pada peta LISA, yang berarti wilayah dengan kasus tinggi bertetangga dengan wilayah berbeban tinggi pula. Sebaliknya, wilayah bagian tenggara secara konsisten menunjukkan pola Coldspot dan klaster Low-Low, yang menandakan area dengan jumlah kasus rendah yang saling berkelompok.

Di luar wilayah tersebut, sebagian besar wilayah Jawa Barat masuk dalam kategori tidak signifikan, namun peta LISA memberikan informasi tambahan berupa adanya satu wilayah bertipe Low-High (warna hijau) di area barat, yang mengindikasikan sebuah anomali spasial di mana suatu daerah dengan kasus rendah justru dikelilingi oleh wilayah-wilayah dengan beban TBC yang tinggi.

4.4 4.4. Hasil Estimasi Model OLS

Tahap inisial penelitian melibatkan penggunaan model Regresi Linier Berganda (Metode OLS) sebagai pendekatan dasar untuk mengukur sejauh mana variabel-variabel penentu memengaruhi Jumlah Kasus TBC (JK). Model estimasi OLS yang diperoleh dirumuskan sebagai berikut:

\[ \begin{aligned} JK_{i} = & 2368 + 0.0005013 \, JP_{i} + 2.195 \, HIV_{i} - 181.9 \, ST_{i} \\ & - 0.08767 \, DB_{i} - 48.94 \, Sanitasi_{i} + 139.9 \, Faskes_{i} \\ & + 21.98 \, Miskin_{i} + 0.2768 \, KP_{i} + \varepsilon_{i} \end{aligned} \]


Residual standard error: 2217 on 18 degrees of freedom
Multiple R-squared:  0.9127,    Adjusted R-squared:  0.8738 
F-statistic: 23.51 on 8 and 18 DF,  p-value: 5.095e-08

Model OLS ini menghasilkan nilai koefisien determinasi R²= 0,9127. Dapat disimpulkan sekitar 91,27% variasi Jumlah Kasus TBC dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen yang digunakan dalam model, sementara sisanya sebesar 8,73% dijelaskan oleh faktor lain di luar model.

4.4.1 4.4.1. Uji Asumsi Klasik

Setelah koefisien estimasi \(\hat{\beta}\) dan nilai residual model diperoleh, dilakukan pengujian asumsi klasik terhadap residual. Tujuannya adalah untuk memvalidasi kelayakan koefisien \(\hat{\beta}\) dan memastikan model memenuhi persyaratan statistik inferensial.

4.4.1.1 Uji Multikolinearitas

Tabel 7. Hasil Uji Multikolinearitas (VIF)
Variabel VIF
JP 3.132
HIV 8.097
ST 1.536
DB 4.042
Sanitasi 1.804
Faskes 13.727
Miskin 8.200
KP 2.727

Tidak terdapat masalah multikolinearitas serius pada sebagian besar variabel (VIF < 10). Namun, Faskes menunjukkan indikasi multikolinearitas tinggi (VIF ≈ 13,7), sementara HIV dan Miskin berada pada batas waspada (VIF ≈ 8). Secara umum model masih layak, tetapi interpretasi koefisien Faskes perlu kehati-hatian.

4.4.1.2 Uji Normalitas Residual

Tabel 8. Hasil Uji Normalitas (Shapiro-Wilk)
Statistik Uji Nilai Statistik p-value Keterangan
W 0.94793 0.1909 Residual model regresi OLS tidak memenuhi asumsi normalitas karena p-value < 0.05

4.4.1.3 Uji Homoskedastisitas

Tabel 9. Hasil Uji Heteroskedastisitas (Breusch-Pagan)
Statistik Uji Nilai Statistik df p-value Keterangan
BP 13.307 8 0.102 Tidak terdapat heteroskedastisitas (p > 0.05)

4.4.1.4 Uji Linearitas

Tabel 10. Hasil Uji Linearitas (RESET Test)
Statistik Uji Nilai Statistik df1 df2 p-value Keterangan
RESET 3.0695 2 16 0.0744 Model bersifat linear (p > 0.05)

Karena diperoleh p-value > 0.05, berarti bentuk fungsional model sudah memadai dan tidak ada variabel yang hilang atau bentuk non-linear yang tidak diperhitungkan.

4.4.2 4.4.2. Uji Autokorelasi Spasial pada Residual

Tabel 11. Hasil Uji Autokorelasi Spasial (Moran’s I Test)
Moran’s I Statistic p-value Keterangan
0.18141 0.05794 Tidak terdapat autokorelasi spasial yang signifikan (p < 0.05)

Tidak terdapat autokorelasi spasial yang signifikan pada residual model OLS pada taraf signifikansi 5%. Hal ini ditunjukkan oleh nilai p-value Moran’s I sebesar 0,05794 (> 0,05).

Namun, karena nilainya sangat mendekati 0,05 dan Moran’s I bernilai positif (0,181), terdapat indikasi lemah autokorelasi spasial positif, sehingga model spasial tetap layak dipertimbangkan sebagai analisis lanjutan (justifikasi eksploratif).

4.5 4.5. Perbandingan Model

Meskipun uji Moran’s I pada residual model OLS tidak menunjukkan autokorelasi spasial yang signifikan pada taraf signifikansi 5%, nilai statistik yang mendekati batas signifikansi mengindikasikan adanya potensi ketergantungan spasial yang lemah. Oleh karena itu, sebagai langkah eksploratif dan untuk memastikan bentuk dependensi spasial yang paling sesuai, dilakukan pengujian Lagrange Multiplier (LM) untuk membandingkan kemungkinan spesifikasi model Spatial Lag Model (SLM) dan Spatial Error Model (SEM).

4.5.1 4.5.1. Hasil Uji LM dan Pemilihan Model

Berdasarkan hasil uji LM, diperoleh nilai sebagai berikut:

Tabel 12. Hasil Uji Lagrange Multiplier (LM Test)
Jenis Uji Statistik p-value Keterangan
LM Error (RSerr) 1.433 0.231 Tidak Signifikan
LM Lag (RSlag) 6.056 0.013 Signifikan
Robust LM Error (adjRSerr) 0.134 0.714 Tidak Signifikan
Robust LM Lag (adjRSlag) 4.757 0.029 Signifikan
LM SARMA 6.190 0.045 Signifikan

Hasil uji Lagrange Multiplier (LM) menunjukkan adanya dependensi spasial yang signifikan dalam bentuk spatial lag pada data Jumlah Kasus Tuberkulosis (JK) antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Hal ini ditunjukkan oleh nilai p-value yang signifikan pada uji LM Lag (p = 0.0139) dan Robust LM Lag (p = 0.0292), sementara uji LM Error dan Robust LM Error tidak menunjukkan signifikansi statistik (p > 0.05).

Temuan ini mengindikasikan bahwa nilai JK di suatu wilayah dipengaruhi secara langsung oleh nilai JK di wilayah-wilayah tetangganya, sehingga ketergantungan spasial lebih dominan terjadi melalui mekanisme spillover pada variabel dependen, bukan melalui korelasi spasial pada error. Signifikansi pada uji LM SARMA (p = 0.0453) menguatkan adanya struktur spasial dalam data, namun dominasi uji Robust LM Lag menunjukkan bahwa pendekatan Spatial Lag Model (SLM) merupakan model yang paling sesuai sebagai model spasial lanjutan.

Berdasarkan hasil tersebut, model OLS dinilai belum memadai karena tidak mampu menangkap pengaruh spasial antarwilayah. Oleh karena itu, analisis dilanjutkan dengan estimasi Spatial Lag Model (SLM) untuk memperoleh estimasi parameter yang lebih konsisten dan interpretasi yang lebih tepat terhadap pola penyebaran TBC di Provinsi Jawa Barat.

4.5.2 4.5.2. Estimasi dan Perbandingan Model Spasial Lanjutan

Berdasarkan hasil uji LM dan Robust LM pada subbab sebelumnya, beberapa model spasial lanjutan dipertimbangkan untuk menangkap adanya ketergantungan spasial pada data Jumlah Kasus TBC (JK) antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Model yang digunakan dalam analisis ini meliputi Spatial Lag Model (SLM), Spatial Error Model (SEM), dan Spatial Durbin Model (SDM).

## Warning: package 'dplyr' was built under R version 4.3.3
Tabel 13. Perbandingan Koefisien dan Signifikansi Model Spasial
Variabel SLM β p-value SEM β p-value SAC β p-value
Intercept -142.47 0.966 -235.81 0.947 -220.69 0.953
JP 0.000516 0.267 0.000226 0.557 0.000508 0.293
HIV 3.615 0.212 4.490 0.153 3.681 0.246
ST -67.17 0.547 -8.43 0.937 -63.30 0.635
DB -0.087 0.019 -0.070 0.065 -0.086 0.028
Sanitasi -37.65 0.212 -22.61 0.494 -36.77 0.291
Faskes 112.51 0.008 96.84 0.030 111.51 0.017
Miskin 25.13 0.009 27.88 0.011 25.32 0.015
KP 0.193 0.106 0.249 0.066 0.195 0.112

Dari analisis, variabel yang konsisten signifikan di semua model adalah DB (arah negatif), Faskes (arah positif), dan Miskin (arah positif). Variabel JP, HIV, ST, Sanitasi, dan KP tidak signifikan secara statistik.

Model SLM menunjukkan efek ketergantungan spasial melalui ρ signifikan. Model SEM menangkap efek error spasial (λ signifikan). Sementara model SAC tidak menunjukkan kombinasi lag–error yang kuat (λ tidak signifikan).

4.6 4.6. Interpretasi Hasil Model Terbaik

Tabel 14. Hasil Uji Lagrange Multiplier (LM Test)
Parameter SLM SEM SAC
ρ (Spatial Lag) 0.159 (p = 0.018) NaN 0.157 (p = 0.068)
λ (Spatial Error) NaN 0.455 (p = 0.032) 0.020 (p = 0.956)
Log Likelihood -238.3 -239.32 -238.3
AIC 498.6 500.64 500.6

Model terbaik secara statistik: SLM (AIC terendah dan LL tertinggi).

4.7 4.7. Analisis Spasial Interpolasi

Analisis interpolasi spasial dilakukan untuk membentuk permukaan spasial kontinu prevalensi TBC (Rate_1k) di Provinsi Jawa Barat berdasarkan data diskrit tingkat kabupaten/kota. Pendekatan ini bertujuan untuk menggambarkan variasi spasial prevalensi TBC secara lebih halus serta mendukung eksplorasi pola spasial yang tidak dapat ditangkap hanya melalui data agregat wilayah.

Pemilihan IDW, Trend Surface, dan Ordinary Kriging sebagai metode interpolasi spasial dapat dijustifikasi secara ilmiah karena ketiganya merepresentasikan pendekatan yang berbeda namun saling melengkapi dalam memodelkan fenomena spasial.

IDW dipilih sebagai metode interpolasi deterministik berbasis jarak yang paling sederhana dan intuitif. Dalam konteks data prevalensi atau jumlah kasus penyakit), IDW relevan untuk melihat bagaimana intensitas kasus menurun seiring bertambahnya jarak dari pusat kejadian.

Trend surface dipilih untuk menangkap pola global (global trend) dalam data spasial. Trend surface tidak ditujukan untuk akurasi lokal yang tinggi, tetapi untuk memahami struktur spasial makro dari fenomena yang dikaji.

Ordinary Kriging dipilih sebagai metode interpolasi dengan pendekatan statistik berbasis dependensi spasial. Ordinary Kriging dipilih dibandingkan Simple atau Universal Kriging karena rata-rata populasi tidak diketahui dan diasumsikan konstan secara lokal, sesuai dengan karakteristik data lintas wilayah administratif.

Interpolasi spasial dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan data agregat tingkat kabupaten/kota, sehingga hasil yang diperoleh merupakan estimasi spasial dan bukan pengukuran langsung di tingkat individu. Oleh karena itu, hasil interpolasi digunakan sebagai alat eksploratif untuk memahami pola spasial prevalensi TBC.

4.7.1 4.7.1 Transformasi Data Area menjadi Titik (Centroid)

Data spasial awal berupa poligon batas administrasi kabupaten/kota ditransformasikan menjadi titik centroid. Setiap centroid digunakan sebagai representasi lokasi spasial dari kabupaten/kota yang bersangkutan. Proses ini menghasilkan satu titik untuk setiap wilayah dengan atribut prevalensi TBC yang diasumsikan mewakili kondisi wilayah secara keseluruhan. Transformasi ini diperlukan karena metode interpolasi spasial bekerja pada data bertipe titik. Diperoleh 27 titik centroid yang mewakili masing-masing kabupaten/kota di Jawa Barat.

Gambar 14. Peta Centroid

Gambar 14. Peta Centroid

4.7.2 4.7.2 Penyusunan Grid Prediksi

Untuk membentuk permukaan kontinu, dibuat grid prediksi reguler yang mencakup seluruh wilayah Provinsi Jawa Barat dengan ukuran sel tertentu. Grid ini berfungsi sebagai lokasi estimasi nilai prevalensi TBC hasil interpolasi. Selanjutnya, objek grid dan centroid dikonversi ke dalam format Spatial agar kompatibel dengan paket gstat yang digunakan pada tahapan interpolasi.

4.7.3 4.7.3 Interpolasi Inverse Distance Weighting (IDW)

Metode Inverse Distance Weighting (IDW) diterapkan sebagai pendekatan interpolasi deterministik. Interpolasi dilakukan dengan mengasumsikan bahwa kontribusi suatu titik pengamatan terhadap lokasi prediksi berbanding terbalik dengan jaraknya. Parameter pangkat jarak ditetapkan sebesar 2 (idp = 2). Hasil interpolasi berupa estimasi nilai prevalensi TBC pada setiap titik grid prediksi, yang kemudian divisualisasikan dalam bentuk peta permukaan spasial.

Gambar 15. Plot IDW

Gambar 15. Plot IDW

Peta interpolasi IDW menunjukkan adanya konsentrasi prevalensi TBC yang tinggi pada wilayah tertentu, yang ditandai dengan gradasi warna terang di sekitar titik pusat pengamatan. Nilai prevalensi cenderung menurun secara tajam seiring bertambahnya jarak dari wilayah dengan kasus tinggi, mencerminkan karakteristik utama metode IDW yang sangat dipengaruhi oleh kedekatan spasial. Pola yang terbentuk bersifat lokal dan menghasilkan transisi nilai yang relatif abrupt di sekitar titik data.

4.7.4 4.7.4 Interpolasi Trend Surface

Interpolasi Trend Surface dilakukan menggunakan pendekatan regresi polinomial dua dimensi. Model dibangun dengan menjadikan koordinat geografis (x dan y) centroid sebagai variabel bebas dan prevalensi TBC sebagai variabel terikat. Model ini bertujuan untuk menangkap pola tren spasial global prevalensi TBC di wilayah studi. Nilai hasil prediksi dari model regresi kemudian dihitung pada setiap titik grid prediksi sehingga menghasilkan permukaan tren spasial.

Gambar 16. Plot Trend Surface

Gambar 16. Plot Trend Surface

Peta interpolasi Trend Surface menunjukkan adanya pola tren spasial global prevalensi TBC di wilayah studi, yang ditandai dengan perubahan nilai yang bertahap dan sistematis dari satu bagian wilayah ke bagian lainnya. Pola yang terbentuk relatif halus dan simetris, mencerminkan kecenderungan umum distribusi spasial prevalensi TBC tanpa menonjolkan variasi lokal yang tajam. Hasil ini mengindikasikan bahwa metode Trend Surface lebih efektif dalam menangkap arah dan gradien spasial berskala besar, namun kurang sensitif terhadap klaster lokal dengan nilai prevalensi ekstrem.

4.7.5 4.7.5 Interpolasi Ordinary Kriging

Interpolasi Ordinary Kriging dilakukan melalui beberapa tahapan. Pertama, dibentuk variogram empiris untuk menggambarkan hubungan antara semivarians dan jarak antar titik centroid. Selanjutnya, variogram empiris difitting menggunakan model variogram teoritis berbentuk spherical.

Meskipun proses fitting menghasilkan peringatan terkait konvergensi, model variogram tetap digunakan sebagai dasar estimasi. Tahap akhir dilakukan interpolasi Ordinary Kriging untuk menghasilkan estimasi nilai prevalensi TBC pada grid prediksi dengan mempertimbangkan struktur ketergantungan spasial antar lokasi.

Gambar 17. Plot Ordinary Kriging

Gambar 17. Plot Ordinary Kriging

Peta interpolasi Ordinary Kriging menampilkan pola sebaran prevalensi TBC yang lebih halus dan kontinu dibandingkan metode IDW. Area dengan prevalensi tinggi masih teridentifikasi pada wilayah yang sama, namun dengan gradasi spasial yang lebih gradual, karena metode ini mempertimbangkan struktur autokorelasi spasial melalui variogram. Hasil ini mencerminkan estimasi yang lebih stabil secara statistik dalam menggambarkan variasi spasial prevalensi TBC.

4.7.6 4.7.6 Perbandingan Metode Interpolasi

Ketiga metode interpolasi yang digunakan (IDW, Trend Surface, dan Ordinary Kriging) menghasilkan permukaan spasial prevalensi TBC dengan karakteristik yang berbeda. IDW menekankan pengaruh kedekatan lokasi, Trend Surface menangkap kecenderungan spasial berskala besar, sedangkan Ordinary Kriging menggabungkan informasi jarak dan struktur autokorelasi spasial melalui variogram. Perbandingan ini memberikan gambaran komprehensif mengenai variasi spasial prevalensi TBC di Jawa Barat dari berbagai pendekatan metodologis.Berikut adalah indikator pemilihan model interpolasi terbaik:

4.7.7 4.7.6. Model Interpolasi Terbaik

Tabel 15. Perbandingan Akurasi Model (Error Measure)
Model ME MAE RMSE
IDW -0.0092 3.9975 6.8955
Trend Surface 0.1994 4.2841 6.9297
Ordinary Kriging 0.0070 3.4662 6.2800

Dari hasil evaluasi, Ordinary Kriging memberikan akurasi tertinggi dan estimasi paling stabil dibandingkan IDW dan Trend Surface pada data ini.

Hal ini karena Ordinary Kriging memiliki RMSE paling kecil (6.28) yang menunjukkan kesalahan prediksi keseluruhan paling rendah. Nilai MAE yang diperoleh paling kecil (3.47) diantara model lain menunjukkan kesalahan absolut rata-rata paling kecil. Selain itu nilai ME model ini mendekati nol (0.007) yang menunjukkan hasil yang hampir tidak bias.


5 BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis spasial terhadap jumlah kasus TBC di 27 kabupaten/kota di Jawa Barat, ditemukan adanya perbedaan yang cukup besar antarwilayah. Hasil uji Moran’s I dan peta LISA menunjukkan adanya pola klaster wilayah dengan jumlah kasus tinggi maupun rendah, yang mengindikasikan adanya ketergantungan dan efek spillover antarwilayah. Analisis awal menggunakan model OLS menunjukkan adanya autokorelasi spasial pada residual, sehingga asumsi independensi tidak terpenuhi. Oleh karena itu, penggunaan model regresi spasial diperlukan untuk menangkap pola ketergantungan spasial secara lebih akurat.

Dari beberapa model regresi spasial yang diuji, Spatial Lag Model (SLM) merupakan model terbaik berdasarkan nilai AIC terendah dan log-likelihood tertinggi. Model ini mampu merepresentasikan ketergantungan spasial melalui mekanisme lag pada variabel dependen. Hasil estimasi menunjukkan bahwa jumlah kasus diabetes berpengaruh negatif, jumlah fasilitas kesehatan berpengaruh positif, dan jumlah penduduk miskin berpengaruh positif terhadap jumlah kasus TBC. Temuan ini menegaskan pentingnya pemerataan fasilitas kesehatan untuk meningkatkan deteksi kasus TBC, serta perbaikan kondisi ekonomi masyarakat guna mengurangi risiko penularan yang berkaitan dengan lingkungan tempat tinggal dan keterbatasan penerapan pola hidup bersih dan sehat.

Selain pemodelan regresi spasial, dilakukan pula analisis interpolasi spasial untuk memetakan sebaran tingkat kejadian TBC di wilayah yang tidak teramati secara langsung. Berdasarkan hasil validasi silang, Ordinary Kriging menunjukkan kinerja terbaik dibandingkan metode IDW dan Trend Surface, dengan nilai RMSE dan MAE paling rendah serta bias yang mendekati nol. Hal ini menunjukkan bahwa Ordinary Kriging mampu memberikan estimasi spasial yang paling akurat dan stabil, sehingga sesuai digunakan untuk memetakan pola risiko TBC secara kontinu di wilayah Jawa Barat.

5.2 5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan agar pemerintah daerah dan pemangku kepentingan terkait meningkatkan perhatian pada wilayah dengan klaster kasus TBC tinggi melalui penguatan sistem surveilans dan pemerataan fasilitas kesehatan, khususnya di daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Upaya pencegahan dan pengendalian TBC perlu diintegrasikan dengan program penanggulangan penyakit penyerta seperti diabetes serta peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Selain itu, penggunaan pendekatan spasial, baik melalui regresi spasial maupun interpolasi, terbukti memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai pola penyebaran TBC, sehingga disarankan untuk dijadikan dasar dalam perencanaan kebijakan kesehatan berbasis wilayah.

Untuk penelitian selanjutnya, disarankan menggunakan data panel spasial agar dinamika penyebaran TBC antarwaktu dan antarwilayah dapat dianalisis secara lebih mendalam. Selain itu, penggunaan resolusi wilayah yang lebih rinci (misalnya tingkat kecamatan atau desa) berpotensi mengungkap heterogenitas spasial yang tidak tertangkap pada level kabupaten/kota, sehingga dapat meningkatkan ketepatan estimasi dan relevansi kebijakan kesehatan berbasis wilayah.

5.3 5.3. Pernyataan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Statistik Spasial atas arahan dan bimbingan selama proses pembelajaran. Penulis juga mengakui bahwa dalam penyusunan mini project ini, penulis menggunakan bantuan AI tools (ChatGPT, OpenAI) untuk mendukung proses penulisan kode, pembuatan peta spasial, serta penyusunan kerangka laporan. Seluruh keputusan, interpretasi, dan kesimpulan dari hasil analisis sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.


6 REFERENSI

[1] World Health Organization. (2023). Global tuberculosis report 2023. WHO. Diakses dari https://www.who.int/teams/global-tuberculosis-programme/tb-reports/global-tuberculosis-report-2023

[2] Kementerian Kesehatan RI. (2024). Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Kemenkes RI. https://repository.kemkes.go.id/book/567

[3] Kementerian Kesehatan RI. (2024). Profil kesehatan Indonesia tahun 2024. Kemenkes RI. https://kemkes.go.id/id/profil-kesehatan-indonesia-2024

[4] Centers for Disease Control and Prevention. (2022). Transmission and causes of tuberculosis. CDC. https://www.cdc.gov/tb/causes/index.html

[5] Lönnroth, K., et al. (2010). Tuberculosis control and elimination 2010-50: cure, care, and social development. Lancet. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(10)60483-7

[6] Fahdhienie, F., et al. (2024). Risk factors of pulmonary tuberculosis in Indonesia: A case-control study in a high disease prevalence region. Narra J. https://doi.org/10.52225/narra.v4i2.943

[7] Wijuna, I. K. A. C., Noviyanti, N. K., & Savitri, K. S. Y. (2022). Spatial Regression and Spatial Autocorrelation Analysis of the Determinants of Poverty in Indonesia.

[8] Novitasari, M., & Iskandar, D. A. (2022). Spatial spillover impact of sectoral government expenditure on poverty alleviation in South Kalimantan Province. The Journal of Indonesia Sustainable Development Planning, 3(3), 207–221.

[9] Mar’ah, Z., Nabila, A., & Ruslan, R. (2025). Penerapan Spatial Error Model (SEM) Dalam Menganalisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Stunting Balita Di Indonesia. EKSPONENSIAL, 16(1), 41–43.

[10] Eryando, T., et al. (2022). Spatial analysis of stunting determinants in 514 Indonesian districts/cities: Implications for intervention and setting of priority. Geospatial Health, 17(1).

[11] Simatauw, A., Sediyono, E., & Prasetyo, S. Y. J. (2019). Autokorelasi Spasial Untuk Analisis Pola Pengawasan Kawasan Lindung Di Kota Ambon Maluku. Teknika, 8(1), 36–43.

[12] Harmes, H., Juanda, B., Rustiadi, E., & Burhan, B. (2017). Pemetaan efek spasial pada data kemiskinan Kota Bengkulu. Journal of Regional and Rural Development Planning (Jurnal Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan), 1(2), 192–201.

[13] Habibuddin, E. (2021). Spatial Regression in the Number of COVID-19 Cases in Bandung City. STATMAT: Jurnal Statistika dan Matematika. https://doi.org/10.32493/sm.v3i2.12557

[14] Anselin, L. (1988). Spatial Econometrics: Methods and Models. https://doi.org/10.1007/978-94-015-7799-1


7 LAMPIRAN

Link Syntax Analisis:

https://rpubs.com/Rani_0014/Syntax_Spasial_UAS

Link Syntax Dashboard:

https://rpubs.com/Rani_0014/DashboardUASSpasial

Link Dashboard:

https://bit.ly/DashboardSpasial

Link Video Presentasi:

https://bit.ly/PresentasiSpasial_Statistik (Open link in new tab)