Abstrak

HIV masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di Provinsi Jawa Barat dengan distribusi kasus yang bervariasi antar kabupaten/kota. Penelitian ini bertujuan menggambarkan sebaran dan tren kasus HIV tahun 2024 serta menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan variasi jumlah kasus menggunakan pendekatan epidemiologi dan regresi binomial negatif. Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat dan BPS. Hasil analisis menunjukkan bahwa prevalensi HIV cenderung lebih tinggi di wilayah perkotaan dan daerah dengan kepadatan penduduk tinggi. Ukuran asosiasi menunjukkan adanya hubungan positif antara kepadatan penduduk dan paparan HIV. Data jumlah kasus mengalami overdispersi sehingga regresi binomial negatif lebih sesuai dibandingkan regresi Poisson. Pemodelan menunjukkan bahwa jumlah penduduk, kepadatan penduduk, tingkat pengangguran terbuka, dan persentase penduduk miskin berpengaruh positif terhadap jumlah kasus HIV, sedangkan rasio jenis kelamin penduduk berpengaruh negatif. Hasil penelitian ini menegaskan perlunya pengendalian HIV yang lebih terarah berbasis wilayah dan kondisi sosial-ekonomi di Jawa Barat.

Kata kunci: HIV, prevalensi, ukuran asosiasi, regresi binomial negatif, Jawa Barat.

Bab 1: Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan infeksi virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan dapat berkembang menjadi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) jika tidak ditangani dengan terapi yang tepat. Menurut WHO, sekitar 40,8 juta orang di seluruh dunia hidup dengan HIV pada akhir tahun 2024, dan 1,3 juta orang diperkirakan terinfeksi HIV baru sepanjang tahun tersebut. Statistik ini menunjukkan bahwa HIV masih menjadi masalah kesehatan global meskipun upaya pencegahan dan terapi telah berkembang pesat.

Di tingkat nasional, program pengendalian HIV/AIDS menjadi salah satu prioritas kesehatan di Indonesia. Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes), Indonesia menempati peringkat ke-14 dunia dalam jumlah orang dengan HIV (ODHIV) dan peringkat ke-9 untuk infeksi baru HIV. Diperkirakan terdapat sekitar 564.000 ODHIV pada tahun 2025, namun hanya sebagian yang telah mengetahui status infeksinya dan mendapatkan terapi antiretroviral (ARV).

Provinsi Jawa Barat menempati posisi penting dalam konteks epidemi HIV di Indonesia karena merupakan salah satu provinsi dengan jumlah kasus HIV yang relatif tinggi. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat mencatat bahwa pada periode Januari–Mei 2025 terdapat 3.906 kasus baru HIV terdeteksi di wilayah ini, dengan sekitar 66 % di antaranya telah memulai pengobatan ARV. Angka ini menggambarkan kebutuhan yang masih besar untuk penguatan deteksi dini dan peningkatan cakupan layanan kesehatan.

Beban kasus yang tinggi ini berimplikasi pada tantangan program kesehatan masyarakat, terutama dalam hal pencegahan, deteksi dini, dan pengelolaan terapi jangka panjang. Oleh karena itu, diperlukan analisis epidemiologi yang komprehensif, termasuk estimasi ukuran asosiasi dan pemodelan seperti regresi binomial negatif, untuk memahami faktor‑faktor yang memengaruhi variasi jumlah kasus HIV di Jawa Barat pada tahun 2024 dan mendukung perumusan intervensi yang lebih efektif.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, beberapa permasalahan utama yang perlu dijawab melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana distribusi jumlah kasus HIV di Jawa Barat pada tahun 2024 menurut kabupaten/kota, serta tren temporalnya?

  2. Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan variasi jumlah kasus HIV di Jawa Barat, termasuk variabel sosial, demografis, dan ekonomi?

  3. Bagaimana besarnya ukuran asosiasi antara faktor risiko yang diidentifikasi dengan jumlah kasus HIV?

  4. Bagaimana pemodelan regresi binomial negatif dapat digunakan untuk menjelaskan variasi jumlah kasus HIV?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

  1. Mendeskripsikan distribusi dan tren jumlah kasus HIV di Jawa Barat pada tahun 2024.

  2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan variasi jumlah kasus HIV, termasuk faktor sosial, demografis, dan ekonomi.

  3. Mengestimasi ukuran asosiasi antara faktor risiko yang diidentifikasi dengan jumlah kasus HIV.

  4. Membangun model regresi binomial negatif untuk menjelaskan variasi jumlah kasus HIV.

Tujuan-tujuan ini diharapkan dapat memberikan dasar ilmiah bagi strategi pencegahan, deteksi dini, dan pengendalian HIV di wilayah Jawa Barat.

Bab 2: Tinjauan Pustaka

2.1 Konsep Epidemiologi Dasar

Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari frekuensi, pola, dan determinan kejadian kesehatan atau penyakit dalam populasi, sekaligus digunakan untuk mengendalikan dan mencegah masalah kesehatan masyarakat secara efektif. Definisi ini mencakup pendekatan ilmiah untuk memahami mengapa suatu penyakit muncul di kelompok tertentu dan bagaimana faktor risiko memengaruhi distribusi penyakit tersebut. Epidemiologi merupakan ilmu dasar dalam kesehatan masyarakat yang mendasari pengambilan keputusan berbasis bukti, termasuk perencanaan program kesehatan dan evaluasi intervensi kesehatan masyarakat.

Dalam konteks HIV di Jawa Barat, epidemiologi membantu untuk mengidentifikasi pola penyebaran kasus antar kabupaten/kota serta faktor-faktor yang berkontribusi pada kejadian HIV. Informasi ini sangat penting untuk merancang strategi pencegahan yang tepat sasaran, meningkatkan deteksi dini, dan mengevaluasi efektivitas intervensi seperti tes HIV dan terapi antiretroviral dalam menurunkan beban penyakit.

2.2 Agent-Host-Environment

Penyebaran HIV dipengaruhi interaksi antara agent (virus HIV), host (faktor individu seperti rasio jenis kelamin), dan environment (jumlah penduduk, kepadatan penduduk, tingkat pengangguran, dan kemiskinan di kabupaten/kota Jawa Barat). Pemahaman segitiga epidemiologi ini membantu menjelaskan mengapa kasus HIV lebih tinggi di beberapa kabupaten/kota dan faktor determinan yang dapat diintervensi.

Dalam penerapannya, analisis agent–host–environment memungkinkan strategi pencegahan yang tepat sasaran, misalnya edukasi perilaku aman untuk kelompok demografis tertentu, peningkatan akses tes HIV, serta intervensi sosial-ekonomi untuk mengurangi dampak kemiskinan dan pengangguran. Pemahaman ini juga mendukung perencanaan program kesehatan berbasis bukti sesuai karakteristik setiap kabupaten/kota di Jawa Barat.

2.3 Ukuran Epidemiologi

2.3.1 Ukuran Frekuensi (Prevalensi)

Prevalensi merupakan salah satu ukuran frekuensi dalam epidemiologi yang digunakan untuk menggambarkan proporsi individu dalam suatu populasi yang mengalami suatu penyakit atau kondisi kesehatan tertentu pada waktu tertentu. Ukuran ini mencerminkan besarnya masalah kesehatan yang sedang berlangsung di masyarakat karena mencakup seluruh kasus yang ada, baik kasus lama maupun kasus baru, selama individu tersebut masih berada dalam kondisi sakit (Gordis, 2014).

Secara matematis, prevalensi didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah seluruh kasus penyakit dengan jumlah populasi pada waktu pengukuran, yang dirumuskan sebagai berikut:

\[ Prevalensi = \frac{Jumlah\;seluruh\;kasus\;(lama\,+\,baru)}{Jumlah\;populasi} \]

Prevalensi umumnya digunakan dalam epidemiologi deskriptif untuk memberikan gambaran beban penyakit dan sebagai dasar perencanaan serta evaluasi pelayanan kesehatan. Penyakit dengan prevalensi tinggi menunjukkan kebutuhan sumber daya kesehatan yang besar, meskipun tidak selalu memiliki kejadian kasus baru yang tinggi. Oleh karena itu, prevalensi lebih tepat digunakan untuk menilai besarnya masalah kesehatan dibandingkan untuk mengukur risiko terjadinya penyakit (Rothman et al., 2008).

Meskipun bersifat informatif dalam menggambarkan kondisi kesehatan populasi, prevalensi memiliki keterbatasan karena tidak membedakan antara kasus lama dan kasus baru. Dengan demikian, ukuran ini tidak dapat digunakan untuk menilai laju kejadian penyakit dalam suatu populasi, melainkan hanya menunjukkan proporsi penduduk yang terdampak pada suatu waktu tertentu (CDC, 2012).

2.3.2 Ukuran Asosiasi (PR dan POR)

Ukuran asosiasi dalam epidemiologi digunakan untuk menilai hubungan antara paparan dan kejadian penyakit dalam suatu populasi. Pada studi cross-sectional, ukuran asosiasi yang umum digunakan adalah Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR). Kedua ukuran ini membandingkan besarnya prevalensi penyakit antara kelompok terpapar dan tidak terpapar, sehingga memberikan gambaran kekuatan asosiasi antara faktor risiko dan outcome kesehatan (Gordis, 2014).

Perhitungan PR dan POR umumnya didasarkan pada tabel kontingensi 2×2 yang mengklasifikasikan individu berdasarkan status paparan dan status penyakit, sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut.

Penyakit (+) Penyakit (-) Total
Terpapar a b a + b
Tidak Terpapar c d c + d
Total a + c b + d N

Prevalence Ratio (PR) didefinisikan sebagai perbandingan prevalensi penyakit pada kelompok terpapar dengan prevalensi penyakit pada kelompok tidak terpapar. Ukuran ini menggambarkan seberapa besar prevalensi penyakit pada kelompok yang terpapar dibandingkan kelompok referensi, dan dirumuskan sebagai:

\[ PR = \frac{\frac{a}{(a\,+\,b)}}{\frac{c}{(c\,+\,d)}} \]

Nilai PR lebih dari 1 menunjukkan bahwa prevalensi penyakit lebih tinggi pada kelompok terpapar, sedangkan nilai PR kurang dari 1 menunjukkan efek protektif dari paparan tersebut (CDC, 2012).

Selain PR, ukuran asosiasi lain yang sering digunakan adalah Prevalence Odds Ratio (POR), yaitu perbandingan odds penyakit pada kelompok terpapar dengan odds penyakit pada kelompok tidak terpapar. POR dirumuskan sebagai:

\[ POR = \frac{a/b}{c/d} = \frac{ad}{bc} \]

POR banyak digunakan dalam analisis statistik karena memiliki sifat matematis yang memudahkan pemodelan, terutama dalam regresi logistik. Namun, pada studi cross sectional dengan prevalensi penyakit yang tinggi, nilai POR dapat melebih-lebihkan kekuatan asosiasi dibandingkan PR, sehingga interpretasinya perlu dilakukan secara hati-hati (Rothman et al., 2008).

Dalam praktik epidemiologi, PR lebih disarankan sebagai ukuran asosiasi pada studi cross sectional karena lebih mudah dipahami dan langsung merepresentasikan perbandingan prevalensi antar kelompok. Sementara itu, POR umumnya digunakan sebagai alternatif ketika keterbatasan metode analisis mengharuskan penggunaan odds ratio (Gordis, 2014).

2.4 Desain Studi Epidemiologi

Dalam menganalisis kasus HIV di Jawa Barat, desain studi deskriptif digunakan untuk menggambarkan distribusi kasus berdasarkan kabupaten/kota, tren waktu, serta karakteristik demografis seperti rasio jenis kelamin dan kepadatan penduduk. Pendekatan ini membantu memahami siapa yang terpengaruh, di mana kasus lebih banyak, dan kapan puncak kasus terjadi, sehingga menjadi dasar untuk perencanaan intervensi kesehatan masyarakat.

Sementara itu, desain studi analitik digunakan untuk mengidentifikasi hubungan antara faktor risiko (jumlah penduduk, kepadatan, rasio jenis kelamin, TPT, dan kemiskinan) dengan jumlah kasus HIV. Contohnya, penggunaan regresi binomial negatif memungkinkan pemodelan variasi jumlah kasus antar kabupaten/kota secara tepat, terutama ketika data bersifat overdispersi. Desain ini mendukung evaluasi faktor determinan dan perencanaan strategi intervensi berbasis bukti.

2.5 Regresi Binomial Negatif

Regresi binomial negatif adalah metode pemodelan statistik yang digunakan untuk data cacah (count data) yang menunjukkan overdispersi, yaitu varians yang lebih besar daripada rata-rata. Model ini merupakan perluasan dari regresi Poisson dengan menambahkan parameter dispersi \((\theta)\) untuk mengakomodasi variabilitas yang lebih besar dalam data (Hilbe, 2011). Fungsi link yang umum digunakan adalah link log, sehingga model memprediksi log dari nilai harapan variabel dependen sebagai fungsi linear dari variabel independen.

Model regresi binomial negatif memiliki keunggulan dibandingkan regresi Poisson ketika data mengalami overdispersi, karena regresi Poisson mengasumsikan varian sama dengan rata-rata, sehingga estimasi parameter dapat bias jika asumsi ini tidak terpenuhi (Long, 1997). Secara matematis, model regresi binomial negatif dituliskan sebagai:

\[ ln\,(\mu_i) = \beta_0\,+\,\beta_1X_{1i}\,+\,\beta_2X_{2i}\,+\,...\,+\,\beta_pX_{pi}\, \]

dengan \(\mu_i\) sebagai nilai harapan variabel dependen untuk observasi ke-\(i\) dan \(X_1,\,...,\,X_p\) sebagai variabel independen. Parameter \(\beta\) diestimasi menggunakan metode maksimum likelihood (MLE).

Model ini banyak digunakan dalam epidemiologi, kesehatan masyarakat, dan ilmu sosial untuk memodelkan jumlah kejadian, seperti jumlah kasus penyakit, kunjungan pasien, atau insiden perilaku tertentu, terutama ketika data tidak sesuai dengan asumsi Poisson (Cameron & Trivedi, 2013).

Bab 3: Metodologi Penelitian

3.1 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder tingkat kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2024. Variabel yang dianalisis terdiri dari variabel dependen berupa jumlah kasus HIV, serta variabel independen meliputi karakteristik demografi dan sosial-ekonomi tiap kabupaten/kota. Sumber data diambil dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat dan BPS Provinsi Jawa Barat. Variabel-variabel ini akan digunakan untuk menganalisis hubungan antara karakteristik demografi dan sosial-ekonomi dengan distribusi kasus HIV antar kabupaten/kota di Jawa Barat.

Tabel 3.1 Variabel Penelitian

No Variabel Notasi
1 Jumlah Kasus HIV \(Y\)
2 Jumlah Penduduk (Ribu) \(X_{1}\)
3 Kepadatan Penduduk per km2 \(X_{2}\)
4 Rasio Jenis Kelamin Penduduk \(X_{3}\)
5 Tingkat Pengangguran Terbuka \(X_{4}\)
6 Persentase Penduduk Miskin \(X_{5}\)

3.2 Metode Analisis Data

3.2.1 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan untuk menggambarkan sebaran dan tren kasus HIV di Provinsi Jawa Barat. Analisis ini mencakup penyajian jumlah kasus HIV per kabupaten/kota, tren kasus dari tahun ke tahun, serta pemetaan spasial kasus HIV. Hasil analisis deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi wilayah dengan beban kasus yang relatif tinggi.

3.2.2 Perhitungan Ukuran Epidemiologi

Ukuran epidemiologi yang digunakan meliputi ukuran frekuensi dan ukuran asosiasi. Ukuran frekuensi dihitung menggunakan prevalensi HIV per 100.000 penduduk pada tingkat kabupaten/kota dan provinsi untuk menggambarkan besarnya beban HIV di Jawa Barat.

Ukuran asosiasi digunakan untuk menilai hubungan antara kepadatan penduduk dan paparan HIV. Wilayah dikelompokkan menjadi kepadatan tinggi dan kepadatan rendah berdasarkan nilai rata-rata kepadatan penduduk. Hubungan tersebut dianalisis menggunakan tabel kontingensi 2×2, kemudian dihitung nilai Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR).

3.2.3 Analisis Regresi Binomial Negatif

Analisis lanjutan dilakukan menggunakan regresi binomial negatif untuk memodelkan jumlah kasus HIV di Provinsi Jawa Barat. Model ini dipilih karena data berupa data cacah dan menunjukkan adanya overdispersi, yang diperiksa melalui model Poisson awal dan perhitungan statistik dispersi.

Model regresi binomial negatif dibangun dengan variabel dependen berupa jumlah kasus HIV per kabupaten/kota. Variabel independen yang digunakan meliputi jumlah penduduk, kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin penduduk, tingkat pengangguran terbuka, dan persentase penduduk miskin. Evaluasi kesesuaian model dilakukan dengan membandingkan nilai deviance, parameter dispersi, dan Akaike Information Criterion (AIC) antara model Poisson dan model binomial negatif untuk memastikan model yang digunakan telah sesuai.

3.3 Alur Kerja

Alur kerja analisis data dalam penelitian ini disusun secara sistematis untuk memastikan setiap tahapan analisis dilakukan secara terstruktur dan saling berkaitan. Secara umum, alur kerja dimulai dari pengumpulan dan pengolahan data, dilanjutkan dengan analisis deskriptif, perhitungan ukuran epidemiologi, hingga pemodelan regresi dan evaluasi model.

Bab 4: Hasil dan Pembahasan

4.1 Sebaran dan Tren Kasus HIV

Gambaran kasus HIV di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 disajikan untuk memahami pola penyebaran kasus secara wilayah serta perkembangan kasus dari waktu ke waktu. Analisis ini bertujuan mengidentifikasi kabupaten/kota dengan beban kasus yang relatif tinggi dan mendukung perumusan kebijakan serta intervensi kesehatan masyarakat yang lebih tepat sasaran.

Berdasarkan grafik jumlah kasus HIV per kabupaten/kota tahun 2024, terlihat bahwa distribusi kasus tidak merata antar wilayah. Kota Bandung tercatat sebagai wilayah dengan jumlah kasus HIV tertinggi, diikuti oleh Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Karawang. Wilayah-wilayah tersebut merupakan daerah dengan tingkat urbanisasi dan mobilitas penduduk yang tinggi, yang berpotensi meningkatkan risiko penularan HIV. Sebaliknya, beberapa kabupaten/kota seperti Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran menunjukkan jumlah kasus yang relatif lebih rendah dibandingkan wilayah lain.

Selanjutnya, tren total kasus HIV Provinsi Jawa Barat selama periode 2018–2024 menunjukkan fluktuasi dengan kecenderungan meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Setelah mengalami penurunan pada periode 2018–2019 dan relatif stabil hingga 2021, jumlah kasus HIV meningkat tajam mulai tahun 2022 dan terus bertambah hingga tahun 2024. Peningkatan ini dapat mencerminkan kombinasi antara meningkatnya penularan, perbaikan sistem surveilans, serta peningkatan deteksi dan pelaporan kasus HIV di Jawa Barat.

Perubahan kasus HIV per kabupaten/kota dari tahun ke tahun menunjukkan pola yang beragam antar wilayah. Beberapa kabupaten/kota mengalami peningkatan kasus yang cukup signifikan sejak tahun 2022, sementara wilayah lainnya menunjukkan kenaikan yang lebih moderat atau relatif stabil. Pola ini menegaskan bahwa dinamika epidemi HIV tidak bersifat seragam di seluruh Jawa Barat, melainkan dipengaruhi oleh konteks lokal masing-masing wilayah, seperti kepadatan penduduk, kondisi sosial-ekonomi, serta akses terhadap layanan kesehatan dan program pencegahan HIV.

Berdasarkan peta sebaran kasus HIV per kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2024, terlihat bahwa penyebaran kasus secara spasial menunjukkan pola yang tidak merata antar wilayah. Beberapa kabupaten/kota memiliki konsentrasi kasus HIV yang lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya, yang mengindikasikan adanya perbedaan beban epidemi HIV di tingkat lokal. Wilayah dengan intensitas warna lebih gelap mencerminkan jumlah kasus yang lebih besar, sedangkan wilayah dengan warna lebih terang menunjukkan jumlah kasus yang relatif lebih rendah.

Secara keseluruhan, analisis distribusi, tren temporal, dan pemetaan spasial kasus HIV di Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa penyebaran kasus tidak merata antar wilayah dan cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Beban kasus terkonsentrasi pada wilayah tertentu, terutama daerah perkotaan dengan mobilitas penduduk tinggi, sehingga diperlukan pendekatan pengendalian HIV berbasis wilayah yang lebih terarah dan tepat sasaran.

4.2 Ukuran Epidemiologi

4.2.1 Prevalensi Kasus HIV

Prevalensi merupakan salah satu ukuran frekuensi penyakit yang menggambarkan proporsi penduduk yang menderita suatu penyakit pada waktu tertentu. Dalam konteks ini, prevalensi HIV dihitung untuk setiap kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2024 per 100.000 penduduk. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai prevalensi HIV di 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 4.1 Nilai Prevalensi per Kabupaten/Kota

Kabupaten/Kota Prevalensi per 100.000 Penduduk
Kabupaten Bogor 14,62
Kabupaten Sukabumi 11,85
Kabupaten Cianjur 11,33
Kabupaten Bandung 15,93
Kabupaten Garut 12,07
Kabupaten Tasikmalaya 4,37
Kabupaten Ciamis 8,74
Kabupaten Kuningan 11,12
Kabupaten Cirebon 16,75
Kabupaten Majalengka 19,30
Kabupaten Sumedang 16,60
Kabupaten Indramayu 29,94
Kabupaten Subang 23,45
Kabupaten Purwakarta 28,09
Kabupaten Karawang 34,69
Kabupaten Bekasi 27,28
Kabupaten Bandung Barat 8,12
Kabupaten Pangandaran 12,67
Kota Bogor 38,11
Kota Sukabumi 44,57
Kota Bandung 55,38
Kota Cirebon 60,31
Kota Bekasi 31,20
Kota Depok 18,72
Kota Cimahi 24,72
Kota Tasikmalaya 27,97
Kota Banjar 24,31

Berdasarkan tabel prevalensi HIV per 100.000 penduduk tahun 2024, terlihat bahwa prevalensi HIV bervariasi antar kabupaten/kota. Wilayah perkotaan umumnya menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan wilayah kabupaten, dengan Kota Cirebon, Kota Bandung, dan Kota Sukabumi sebagai wilayah dengan prevalensi tertinggi. Sebaliknya, beberapa kabupaten memiliki prevalensi yang relatif lebih rendah, seperti Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Bandung Barat.

Untuk melihat gambaran umum prevalensi secara keseluruhan, dilakukan perhitungan prevalensi untuk Provinsi Jawa Barat dan diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 4.2 Nilai Prevalensi Provinsi Jawa Barat

Provinsi Prevalensi per 100.000 Penduduk
Jawa Barat 21,13

Secara keseluruhan, nilai prevalensi HIV di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 sebesar 21,13 per 100.000 penduduk, yang menunjukkan bahwa beban HIV masih cukup signifikan pada tingkat provinsi. Nilai ini mencerminkan adanya perbedaan prevalensi antar kabupaten/kota, di mana beberapa wilayah memiliki prevalensi jauh di atas prevalensi keseluruhan, sementara wilayah lainnya berada di bawah nilai tersebut. Hal ini menegaskan bahwa permasalahan HIV di Jawa Barat tidak bersifat homogen dan memerlukan upaya pengendalian yang mempertimbangkan variasi kondisi antar wilayah.

4.2.2 Ukuran Asosiasi Berdasarkan Kepadatan Wilayah

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tingkat kepadatan wilayah dengan paparan kasus HIV di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Pengelompokan wilayah didasarkan pada nilai rata-rata kepadatan penduduk. Wilayah dengan kepadatan penduduk di atas rata-rata dikategorikan sebagai kepadatan tinggi, sedangkan yang berada di bawah rata-rata dikategorikan sebagai kepadatan rendah. Hubungan antara kepadatan wilayah dan paparan HIV ditampilkan pada tabel kontingensi 2x2 berikut.

Tabel 4.3 Tabel Kontingensi Kepadatan dan Paparan HIV

Kepadatan\Penyakit HIV (+) HIV (-)
Kepadatan Tinggi 3.770 10.470.530
Kepadatan Rendah 6.868 39.864.032

Berdasarkan tabel tersebut, dilakukan perhitungan Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR) untuk mengukur kekuatan asosiasi antara kepadatan wilayah dan paparan HIV. Hasil perhitungannya disajikan pada tabel berikut.

Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Ukuran Asosiasi

Ukuran Asosiasi Outcome (+) Outcome (-)
Prevalence Ratio (PR) 2,089 0,999
Prevalence Odds Ratio (POR) 2,090 0,478

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai Prevalence Ratio (PR) untuk outcome positif (terpapar HIV) sebesar 2,089. Hal ini berarti bahwa penduduk yang tinggal di wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi memiliki prevalensi paparan HIV sekitar 2,089 kali lebih besar dibandingkan penduduk yang tinggal di wilayah dengan kepadatan rendah.

Sejalan dengan hasil tersebut, nilai Prevalence Odds Ratio (POR) sebesar 2,090 menunjukkan arah asosiasi yang konsisten, yaitu adanya hubungan positif antara kepadatan penduduk dan paparan HIV. Nilai POR yang lebih besar dari 1 mengindikasikan bahwa kepadatan penduduk berasosiasi dengan peningkatan peluang paparan HIV.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kepadatan wilayah berhubungan dengan tingkat paparan HIV, di mana wilayah dengan kepadatan penduduk yang lebih tinggi cenderung memiliki prevalensi paparan HIV yang lebih besar. Kondisi ini secara epidemiologis dapat dikaitkan dengan tingginya mobilitas penduduk dan intensitas interaksi sosial di wilayah padat penduduk, yang berpotensi meningkatkan perilaku berisiko terkait penularan HIV.

4.3 Analisis Regresi Binomial Negatif

4.3.1 Pemeriksaan Overdispersi

Pemeriksaan overdispersi pada penelitian ini dilakukan dengan membangun model Poisson awal (null model) yang hanya memuat intersep, tanpa melibatkan variabel penjelas. Selanjutnya, tingkat overdispersi dievaluasi menggunakan statistik dispersi, yaitu perbandingan antara residual deviance dan derajat bebas residual. Secara umum, nilai statistik dispersi yang mendekati 1 menunjukkan tidak adanya overdispersi, sedangkan nilai yang jauh lebih besar dari 1 mengindikasikan adanya overdispersi pada data.

Hasil pemeriksaan overdispersi disajikan pada Tabel 4.5 berikut.

Tabel 4.5 Hasil Pemeriksaan Overdispersi Model Poisson

Statistik Nilai
Residual Deviance 6183,486
Derajat Bebas Residual 26
Statistik Dispersi 237,826

Berdasarkan Tabel 4.5, diperoleh nilai statistik dispersi sebesar 237,826, yang jauh lebih besar dari 1. Nilai ini menunjukkan bahwa varians jumlah kasus HIV di Jawa Barat jauh lebih besar dibandingkan nilai rata-ratanya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa data mengalami overdispersi yang sangat kuat, sehingga asumsi dasar regresi Poisson tidak terpenuhi.

Oleh karena itu, penggunaan regresi Poisson dinilai tidak tepat untuk memodelkan jumlah kasus HIV pada penelitian ini. Untuk mengatasi permasalahan overdispersi tersebut, digunakan regresi binomial negatif sebagai alternatif model, karena model ini memiliki parameter dispersi tambahan yang mampu mengakomodasi variabilitas data yang lebih besar. Model regresi binomial negatif selanjutnya digunakan dalam analisis untuk memperoleh pendugaan parameter yang lebih andal dan inferensi statistik yang lebih valid.

4.3.2 Pemeriksaan Multikolinearitas

Pemeriksaan multikolinearitas pada penelitian ini dilakukan menggunakan Variance Inflation Factor (VIF). Meskipun model utama yang digunakan adalah regresi binomial negatif, perhitungan VIF dilakukan berdasarkan model regresi linear berganda, karena tujuan utama pengujian ini adalah untuk mengevaluasi hubungan antar variabel independen. Secara umum, nilai VIF kurang dari 5 menunjukkan tidak adanya masalah multikolinearitas yang serius.

Hasil perhitungan nilai VIF untuk masing-masing variabel independen disajikan pada Tabel 4.6 berikut.

Tabel 4.6 Hasil Uji Multikolinearitas Menggunakan VIF

Variabel Independen Nilai VIF
Jumlah Penduduk (Ribu) 2,032
Kepadatan Penduduk per km2 2,564
Rasio Jenis Kelamin Penduduk 2,271
Tingkat Pengangguran Terbuka 1,719
Persentase Penduduk Miskin 2,299

Berdasarkan Tabel 4.6, seluruh variabel independen memiliki nilai VIF kurang dari 5. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat multikolinearitas yang kuat antar variabel penjelas dalam model. Dengan demikian, seluruh variabel independen dapat dipertahankan dan digunakan secara bersamaan dalam pemodelan regresi binomial negatif tanpa menimbulkan permasalahan multikolinearitas yang berarti.

Hasil uji ini mengindikasikan bahwa model regresi binomial negatif yang akan dibangun selanjutnya memiliki struktur variabel penjelas yang stabil, sehingga interpretasi koefisien regresi dapat dilakukan secara lebih andal.

4.3.3 Hasil Pemodelan Regresi Binomial Negatif

Pemodelan jumlah kasus HIV di Jawa Barat dilakukan menggunakan regresi binomial negatif dengan fungsi link log. Model ini digunakan karena mampu menangani data cacah yang mengalami overdispersi serta menghasilkan pendugaan parameter yang lebih andal. Variabel independen yang digunakan dalam pemodelan meliputi jumlah penduduk, kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin penduduk, tingkat pengangguran terbuka, dan persentase penduduk miskin.

Hasil estimasi parameter regresi binomial negatif disajikan pada Tabel 4.7 berikut.

Tabel 4.7 Hasil Estimasi Parameter Regresi Binomial Negatif

Variabel Koefisien \((\beta)\) Std. Error z-value p-value
Intercept 28,200 6,950 4,058 0,00005
\(X_{1}\) 0,000642 0,000081 7,926 <0,001
\(X_{2}\) 0,000050 0,000024 2,092 0,036
\(X_{3}\) -0,257 0,071 -3,617 <0,001
\(X_{4}\) 0,249 0,054 4,604 <0,001
\(X_{5}\) 0,087 0,040 2,170 0,030

Berdasarkan hasil estimasi parameter pada Tabel 4.7, diperoleh bentuk model regresi binomial negatif sebagai berikut: \[ ln\,(\mu_i) = 28,2 + 0,000642\,X_{1i} + 0,00005\,X_{2i} - 0,257\,X_{3i} + 0,249\,X_{4i} + 0,087\,X_{5i} \]

dengan \(\mu_i​\) merupakan nilai harapan jumlah kasus HIV pada kabupaten/kota ke-\(i\), serta \(x_1\) hingga \(x_5\) masing-masing menyatakan jumlah penduduk, kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin penduduk, tingkat pengangguran terbuka, dan persentase penduduk miskin.

Berdasarkan model tersebut, seluruh variabel independen berpengaruh signifikan terhadap jumlah kasus HIV di Jawa Barat pada tingkat signifikansi 5%. Jumlah penduduk memiliki pengaruh positif, yang menunjukkan bahwa wilayah dengan jumlah penduduk yang lebih besar cenderung memiliki jumlah kasus HIV yang lebih tinggi. Kepadatan penduduk juga berpengaruh positif, yang mengindikasikan bahwa daerah dengan tingkat kepadatan yang lebih tinggi memiliki potensi penularan HIV yang lebih besar.

Rasio jenis kelamin penduduk berpengaruh negatif terhadap jumlah kasus HIV, yang menunjukkan bahwa peningkatan rasio jumlah penduduk laki-laki terhadap perempuan cenderung diikuti oleh penurunan jumlah kasus HIV. Tingkat pengangguran terbuka berpengaruh positif dan signifikan, yang mengindikasikan bahwa faktor sosial ekonomi berperan dalam peningkatan jumlah kasus HIV. Selain itu, persentase penduduk miskin juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah kasus HIV, yang menunjukkan bahwa kondisi ekonomi yang kurang baik dapat meningkatkan kerentanan terhadap HIV.

4.3.4 Evaluasi Kesesuaian Model

Evaluasi kesesuaian model dilakukan untuk menilai apakah regresi binomial negatif yang dibangun telah sesuai dalam memodelkan jumlah kasus HIV di Jawa Barat. Evaluasi dilakukan menggunakan beberapa indikator, yaitu perbandingan nilai deviance, parameter dispersi, serta nilai Akaike Information Criterion (AIC).

Ringkasan hasil evaluasi kesesuaian model disajikan pada Tabel 4.8 berikut.

Tabel 4.8 Ringkasan Evaluasi Kesesuaian Model

Indikator Evaluasi Model Poisson Model Binomial Negatif
Null Deviance 6183,486 138,687
Residual Deviance 6183,486 27,472
Parameter Dispersi \((\theta)\) - 8,15
AIC 6387,723 341,249

Berdasarkan Tabel 4.8, terlihat bahwa pada model regresi binomial negatif terjadi penurunan nilai residual deviance yang sangat signifikan dibandingkan null deviance. Penurunan ini menunjukkan bahwa variabel-variabel penjelas yang dimasukkan ke dalam model mampu menjelaskan variasi jumlah kasus HIV secara lebih baik dibandingkan model tanpa variabel independen.

Keberadaan parameter dispersi \(\theta\) pada model binomial negatif juga menunjukkan bahwa model ini mampu mengakomodasi varians data yang lebih besar dari nilai rata-ratanya. Hal ini menegaskan bahwa permasalahan overdispersi yang sebelumnya teridentifikasi pada model Poisson telah berhasil ditangani dengan menggunakan regresi binomial negatif.

Selain itu, nilai AIC pada model regresi binomial negatif jauh lebih kecil dibandingkan model Poisson. Perbedaan nilai AIC yang sangat besar ini menunjukkan bahwa model binomial negatif tidak hanya lebih sesuai secara statistik, tetapi juga lebih efisien dalam menjelaskan data meskipun memiliki jumlah parameter yang lebih banyak. Dengan demikian, regresi binomial negatif dapat dinyatakan sebagai model yang paling tepat untuk digunakan dalam analisis jumlah kasus HIV di Jawa Barat.

Bab 5: Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa distribusi kasus HIV di Provinsi Jawa Barat tidak merata, dengan prevalensi tertinggi terjadi di wilayah perkotaan seperti Kota Cirebon, Kota Bandung, dan Kota Sukabumi. Faktor-faktor seperti kepadatan penduduk, jumlah penduduk, tingkat pengangguran, dan persentase penduduk miskin berpengaruh positif terhadap jumlah kasus HIV, sedangkan rasio jenis kelamin penduduk memiliki pengaruh negatif. Data jumlah kasus HIV mengalami overdispersi, sehingga model regresi binomial negatif lebih tepat digunakan dibandingkan model Poisson. Model ini menunjukkan kesesuaian yang baik dan seluruh variabel independen berpengaruh signifikan terhadap jumlah kasus HIV di Jawa Barat.

5.2 Saran

Berdasarkan temuan tersebut, upaya pencegahan dan deteksi HIV sebaiknya difokuskan pada wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi dan prevalensi kasus yang besar. Intervensi sosial-ekonomi, termasuk pengurangan pengangguran dan kemiskinan, perlu diperkuat untuk menurunkan kerentanan terhadap HIV. Selain itu, pemantauan terus-menerus terhadap tren kasus HIV sangat penting untuk mendukung pengambilan keputusan dan perencanaan intervensi kesehatan berbasis bukti.

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. (2025). Penduduk, laju pertumbuhan penduduk, distribusi persentase penduduk, kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin penduduk menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, 2024 [Tabel Statistik]. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. (2025). Persentase penduduk miskin menurut kabupaten/kota di Jawa Barat [Tabel Statistik]. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. (2025). Tingkat pengangguran terbuka menurut kabupaten/kota – persen [Tabel Statistik]. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat.

Cameron, A. C., & Trivedi, P. K. (2013). Regression Analysis of Count Data (2nd ed.). Cambridge University Press.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2006). Principles of Epidemiology in Public Health Practice: An Introduction to Applied Epidemiology and Biostatistics (3rd ed.) [Self‑Study Course SS1000]. U.S. Department of Health & Human Services.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. (2025). Informasi publik terkait HIV/AIDS di Jawa Barat. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat.

Gordis, L. (2014). Epidemiology (5th ed.). Elsevier Saunders.

Hilbe, J. M. (2011). Negative Binomial Regression (2nd ed.). Cambridge University Press.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2025). Berani Tes, Berani Lindungi Diri: Kemenkes targetkan eliminasi HIV dan IMS tahun 2030. Kementerian Kesehatan RI.

Long, J. S. (1997). Regression Models for Categorical and Limited Dependent Variables. Sage Publications.

Open Data Provinsi Jawa Barat. (2025). Jumlah kasus HIV berdasarkan kabupaten/kota di Jawa Barat [Dataset]. Open Data Jabar.

Rothman, K. J., Greenland, S., & Lash, T. L. (2008). Modern epidemiology (3rd ed.). Lippincott Williams & Wilkins.

World Health Organization (WHO). (2025). Global HIV & AIDS statistics — Fact sheet. WHO.