Bab 1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, khususnya sel CD4 yang berperan penting dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi. Infeksi HIV yang berlangsung secara kronis dapat menyebabkan penurunan fungsi sistem imun secara progresif dan berujung pada kondisi Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), yaitu tahap lanjut ketika tubuh menjadi sangat rentan terhadap berbagai infeksi oportunistik. Hingga saat ini, HIV masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan masyarakat yang signifikan baik di tingkat global maupun nasional.

Di Indonesia, upaya pencegahan dan pengendalian HIV telah dilakukan secara berkelanjutan melalui berbagai program kesehatan masyarakat. Namun demikian, penyebaran HIV masih ditemukan di berbagai wilayah dengan karakteristik yang berbeda-beda. Salah satu provinsi yang menghadapi tantangan dalam pengendalian HIV adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Berdasarkan data HIV tahun 2024 yang digunakan dalam penelitian ini, jumlah kasus HIV di NTT tersebar di seluruh kabupaten/kota dengan variasi yang cukup besar antarwilayah. Kota Kupang tercatat sebagai wilayah dengan jumlah kasus tertinggi, sementara beberapa kabupaten lain menunjukkan jumlah kasus yang lebih rendah namun memiliki tingkat prevalensi yang relatif tinggi.

Perbedaan antara jumlah kasus dan prevalensi menunjukkan bahwa beban HIV tidak hanya dipengaruhi oleh banyaknya kasus secara absolut, tetapi juga oleh jumlah penduduk di masing-masing wilayah. Beberapa kabupaten dengan populasi yang lebih kecil, seperti Lembata dan Belu, memiliki nilai prevalensi HIV yang lebih tinggi dibandingkan wilayah lain, meskipun jumlah kasusnya tidak sebesar Kota Kupang. Kondisi ini mengindikasikan adanya risiko relatif yang lebih tinggi pada wilayah-wilayah tertentu, sehingga memerlukan perhatian khusus dalam perencanaan intervensi kesehatan masyarakat.

Analisis epidemiologi berbasis wilayah menjadi sangat penting untuk memahami pola penyebaran HIV secara lebih komprehensif. Graham et al. (2019) menyatakan bahwa pemetaan spasial kasus penyakit menular dapat membantu mengidentifikasi wilayah prioritas, mengungkap ketimpangan distribusi penyakit, serta mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti. Dalam konteks Provinsi Nusa Tenggara Timur, analisis spasial diperlukan untuk menggambarkan sebaran kasus dan prevalensi HIV antar kabupaten/kota secara visual dan informatif. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menyajikan gambaran epidemiologi HIV di Provinsi NTT tahun 2024 melalui pendekatan visualisasi dashboard, sehingga dapat menjadi dasar pertimbangan dalam perumusan strategi pengendalian HIV yang lebih tepat sasaran.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

  1. Bagaimana distribusi spasial jumlah kasus HIV di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2024 berdasarkan kabupaten/kota?

  2. Bagaimana distribusi prevalensi HIV di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2024 berdasarkan kabupaten/kota?

  3. Wilayah manakah yang memiliki jumlah kasus HIV tertinggi dan terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2024?

  4. Wilayah manakah yang memiliki tingkat prevalensi HIV tertinggi dan terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2024?

  5. Bagaimana pemanfaatan visualisasi dashboard epidemiologi dalam menggambarkan perbedaan antara beban kasus dan risiko HIV di Provinsi Nusa Tenggara Timur?

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan analisis epidemiologi HIV di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2024 melalui pendekatan visualisasi dashboard. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk memetakan distribusi spasial jumlah kasus dan prevalensi HIV berdasarkan kabupaten/kota, mengidentifikasi wilayah dengan beban kasus dan tingkat risiko HIV tertinggi, serta memberikan gambaran perbedaan pola distribusi antara indikator jumlah kasus dan prevalensi. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan peran dashboard epidemiologi sebagai alat analisis deskriptif yang mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan program penanggulangan HIV di tingkat daerah.

Bab 2. Tinjauan Pustaka

2.1 Konsep Epidemiologi

Epidemiologi merupakan cabang ilmu kesehatan masyarakat yang mempelajari distribusi dan determinan masalah kesehatan dalam suatu populasi serta penerapan hasil kajian tersebut untuk pengendalian penyakit. Dalam konteks penyakit HIV, epidemiologi berperan penting dalam menggambarkan pola penyebaran penyakit, mengidentifikasi perbedaan risiko antarwilayah, serta menilai besarnya beban penyakit dalam suatu populasi.

Konsep dasar epidemiologi tidak hanya berfokus pada penghitungan jumlah kasus, tetapi juga pada pemahaman mengenai siapa yang terdampak, di mana penyakit terjadi, dan bagaimana distribusinya dalam populasi. Melalui pendekatan ini, data HIV dapat dianalisis secara spasial untuk menggambarkan sebaran kasus dan tingkat prevalensi antar wilayah kabupaten/kota. Pendekatan epidemiologi deskriptif menjadi dasar dalam penelitian ini untuk memberikan gambaran situasi HIV di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2024.

2.2 Model Agent–Host–Environment

Model agent–host–environment atau segitiga epidemiologi menjelaskan bahwa terjadinya suatu penyakit merupakan hasil interaksi antara tiga komponen utama, yaitu agen penyebab penyakit, individu yang rentan, dan lingkungan tempat interaksi tersebut berlangsung.

Agent dalam kasus HIV adalah virus Human Immunodeficiency Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, khususnya sel CD4. Virus ini menyebabkan penurunan fungsi sistem imun secara bertahap sehingga meningkatkan kerentanan terhadap berbagai infeksi oportunistik.

Host merupakan individu atau kelompok populasi yang berisiko terinfeksi HIV. Kerentanan host dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti karakteristik demografis, status kesehatan, serta perilaku berisiko. Meskipun penelitian ini tidak menganalisis faktor individu secara langsung, perbedaan tingkat kasus dan prevalensi antar wilayah dapat mencerminkan variasi karakteristik host pada tingkat populasi.

Environment mencakup kondisi lingkungan sosial dan geografis yang memengaruhi penyebaran HIV, seperti kepadatan penduduk, mobilitas masyarakat, dan akses terhadap layanan kesehatan. Dalam konteks Provinsi Nusa Tenggara Timur, perbedaan kondisi lingkungan antar kabupaten/kota dapat berkontribusi terhadap variasi distribusi kasus dan prevalensi HIV. Model agent–host–environment menjadi kerangka konseptual penting dalam memahami dinamika penyebaran HIV secara spasial.

2.3 Ukuran Epidemiologi dan Ukuran Asosiasi

Ukuran epidemiologi digunakan untuk menggambarkan besarnya kejadian penyakit dalam suatu populasi. Dua ukuran yang relevan dalam penelitian ini adalah jumlah kasus dan prevalensi. Jumlah kasus menunjukkan total individu yang terdiagnosis HIV dalam suatu wilayah, yang mencerminkan beban penyakit secara absolut.

Prevalensi merupakan ukuran yang menggambarkan jumlah kasus HIV dalam suatu populasi pada waktu tertentu yang dinyatakan per jumlah penduduk tertentu, umumnya per 100.000 penduduk. Prevalensi memberikan gambaran tingkat risiko relatif dalam suatu wilayah dan memungkinkan perbandingan yang lebih adil antarwilayah dengan ukuran populasi yang berbeda.

Dalam analisis epidemiologi HIV di Provinsi Nusa Tenggara Timur, penggunaan prevalensi menjadi sangat penting karena beberapa kabupaten dengan jumlah kasus relatif kecil dapat memiliki prevalensi yang tinggi akibat populasi yang lebih sedikit. Oleh karena itu, kombinasi antara jumlah kasus dan prevalensi digunakan untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai beban dan risiko HIV antar kabupaten/kota.

2.4 Desain Studi Epidemiologi

Desain studi epidemiologi merupakan pendekatan metodologis yang digunakan untuk memahami distribusi penyakit dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi, yaitu desain penelitian yang menggunakan unit analisis pada tingkat kelompok atau wilayah, seperti kabupaten/kota, bukan individu.

Pendekatan studi ekologi dipilih karena data yang digunakan bersifat agregat, meliputi jumlah kasus HIV, prevalensi, dan populasi menurut kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2024. Dengan desain ini, analisis spasial dapat dilakukan untuk melihat perbedaan distribusi HIV antarwilayah.

Studi ekologi sangat relevan dalam perencanaan dan evaluasi kebijakan kesehatan masyarakat karena mampu mengidentifikasi wilayah dengan beban dan risiko penyakit yang tinggi, sehingga dapat membantu dalam penentuan prioritas intervensi berbasis wilayah.

2.5 Data Penelitian dalam Konteks Epidemiologi

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang bersifat agregat dan disajikan dalam bentuk jumlah kasus HIV, prevalensi, dan populasi pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2024. Data tersebut menjadi dasar dalam penerapan prinsip epidemiologi deskriptif untuk menggambarkan distribusi penyakit secara spasial.

Data jumlah kasus digunakan untuk menunjukkan besarnya beban HIV pada masing-masing wilayah, sedangkan data populasi digunakan sebagai dasar perhitungan prevalensi. Penggabungan kedua jenis data ini memungkinkan analisis yang lebih akurat dalam membedakan wilayah dengan jumlah kasus tinggi dan wilayah dengan risiko relatif yang lebih besar.

Melalui data agregat ini, penelitian mampu memberikan gambaran epidemiologi HIV yang bersifat makro dan relevan untuk analisis kebijakan kesehatan daerah.

2.6 Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penelitian ini didasarkan pada konsep epidemiologi deskriptif yang menekankan analisis distribusi penyakit menurut tempat. Distribusi spasial HIV dianalisis menggunakan ukuran epidemiologi berupa jumlah kasus dan prevalensi, yang divisualisasikan melalui dashboard epidemiologi.

Model agent–host–environment digunakan sebagai landasan konseptual untuk memahami bahwa variasi distribusi HIV antar wilayah merupakan hasil interaksi antara agen penyebab penyakit, karakteristik populasi, dan kondisi lingkungan. Analisis spasial melalui peta simbol proporsional dan peringkat wilayah digunakan untuk memperjelas pola distribusi tersebut.

Dengan kerangka teori ini, penelitian diharapkan dapat memberikan pemahaman yang sistematis mengenai situasi epidemiologi HIV di Provinsi Nusa Tenggara Timur serta mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti dalam upaya pengendalian HIV di tingkat regional.

Bab 3. Metodologi

3.1 Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi, yaitu desain epidemiologi yang menggunakan unit analisis pada tingkat agregat wilayah seperti kabupaten atau kota, bukan individu. Pendekatan ini sesuai untuk menganalisis distribusi penyakit berdasarkan wilayah karena memungkinkan pengamatan variasi kejadian penyakit antarwilayah dalam satu periode waktu tertentu.

Desain studi ekologi dipilih untuk menggambarkan distribusi kasus HIV di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2024 berdasarkan kabupaten atau kota. Melalui pendekatan ini, penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran pola penyebaran HIV secara spasial yang bermanfaat sebagai dasar perencanaan dan pengambilan kebijakan kesehatan masyarakat di tingkat daerah.

3.2 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta publikasi data resmi pemerintah daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Data digunakan untuk mendukung analisis epidemiologi HIV tahun 2024.

Data disusun dalam satu file kerja yang memuat informasi jumlah kasus HIV per kabupaten atau kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2024. Selain itu, data jumlah penduduk per kabupaten atau kota diperoleh dari publikasi resmi BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur dan digunakan sebagai penyebut dalam perhitungan prevalensi HIV.

Seluruh data yang digunakan bersifat agregat, tidak memuat identitas individu, dan telah melalui proses validasi administratif oleh instansi penyedia sebelum digunakan dalam analisis.

3.3 Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi variabel spasial dan variabel epidemiologis.

Variabel spasial adalah kabupaten atau kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai unit analisis wilayah. Variabel utama dalam penelitian ini adalah jumlah kasus HIV di setiap kabupaten atau kota tahun 2024. Variabel epidemiologis yang digunakan adalah prevalensi HIV, yang dihitung berdasarkan jumlah kasus HIV dan jumlah penduduk pada masing-masing wilayah.

3.4 Metode Analisis

Analisis data dilakukan secara deskriptif dan spasial menggunakan bahasa pemrograman Python serta divisualisasikan melalui dashboard interaktif berbasis Streamlit. Tahapan analisis meliputi analisis spasial, analisis deskriptif, dan perhitungan ukuran epidemiologi.

Analisis spasial dilakukan menggunakan data tahun 2024 untuk menggambarkan sebaran geografis kasus HIV di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Data jumlah kasus digabungkan dengan data batas administrasi kabupaten atau kota, kemudian divisualisasikan dalam bentuk peta simbol proporsional untuk menunjukkan perbedaan besaran kasus antarwilayah.

Analisis deskriptif dilakukan untuk membandingkan jumlah kasus HIV dan nilai prevalensi antar kabupaten atau kota. Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi wilayah dengan jumlah kasus tertinggi serta wilayah dengan prevalensi HIV tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Ukuran epidemiologi yang dihitung dalam penelitian ini adalah prevalensi HIV. Prevalensi dihitung sebagai perbandingan antara jumlah seluruh kasus HIV pada suatu wilayah dengan jumlah penduduk pada wilayah yang sama, kemudian dinyatakan per 100.000 penduduk.

3.5 Alur Kerja Penelitian

Alur kerja penelitian dilakukan secara sistematis, dimulai dari pengumpulan data sekunder HIV tahun 2024 dan data jumlah penduduk dari BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur. Data yang diperoleh kemudian melalui tahap pembersihan untuk memastikan tidak terdapat nilai hilang, duplikasi, atau kesalahan pencatatan.

Tahap selanjutnya adalah pengolahan data menggunakan Python, termasuk penggabungan data kasus HIV dengan data penduduk dan data batas administrasi wilayah. Setelah itu dilakukan analisis spasial untuk memetakan sebaran kasus HIV per kabupaten atau kota serta analisis deskriptif untuk membandingkan jumlah kasus dan prevalensi antarwilayah.

Hasil analisis disajikan dalam bentuk peta, grafik, tabel, dan dashboard interaktif yang disertai interpretasi epidemiologis. Tahap akhir penelitian adalah penarikan kesimpulan berdasarkan hasil analisis serta penyusunan rekomendasi yang relevan bagi pengendalian HIV di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

3.6 Etika dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder agregat yang tidak memuat identitas individu sehingga tidak menimbulkan risiko terhadap privasi. Seluruh analisis dilakukan pada tingkat kabupaten atau kota.

Keterbatasan penelitian ini adalah penggunaan desain studi ekologi yang tidak memungkinkan penarikan kesimpulan sebab-akibat pada tingkat individu. Selain itu, hasil analisis sangat bergantung pada kelengkapan dan akurasi data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik dan instansi terkait.

Bab 4. Hasil dan Pembahasan

Bab ini menyajikan hasil analisis epidemiologi kasus HIV di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2024 berdasarkan data yang divisualisasikan dalam dashboard. Analisis difokuskan pada distribusi spasial jumlah kasus dan prevalensi HIV antar kabupaten atau kota. Hasil analisis selanjutnya dibahas untuk memberikan interpretasi epidemiologis terhadap pola penyebaran HIV di wilayah tersebut.

4.1. Hasil Analisis

Data yang digunakan dalam bab ini merupakan data agregat kasus HIV tahun 2024 di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mencakup jumlah kasus HIV dan jumlah penduduk per kabupaten atau kota. Data tersebut digunakan untuk menghasilkan visualisasi peta sebaran kasus, peringkat wilayah, serta perhitungan prevalensi HIV.

4.1.1. Analisis Spasial Jumlah Kasus HIV

Berdasarkan data HIV tahun 2024, jumlah kasus HIV di Provinsi Nusa Tenggara Timur menunjukkan variasi yang cukup besar antar kabupaten atau kota. Visualisasi peta simbol proporsional pada dashboard menunjukkan bahwa Kota Kupang merupakan wilayah dengan jumlah kasus HIV tertinggi dibandingkan wilayah lainnya. Ukuran simbol yang jauh lebih besar pada Kota Kupang mengindikasikan beban kasus HIV yang paling dominan di tingkat provinsi.

Kabupaten lain seperti Timor Tengah Selatan, Sikka, Alor, dan Belu juga tercatat memiliki jumlah kasus HIV yang relatif lebih tinggi dibandingkan kabupaten lainnya, meskipun jumlahnya masih jauh lebih rendah dibandingkan Kota Kupang. Sebaliknya, beberapa kabupaten dengan jumlah penduduk yang lebih kecil menunjukkan jumlah kasus HIV yang relatif rendah.

Pola sebaran ini menunjukkan bahwa kasus HIV di Provinsi Nusa Tenggara Timur cenderung terkonsentrasi pada wilayah tertentu, khususnya wilayah dengan karakteristik perkotaan atau pusat aktivitas sosial dan ekonomi.

4.1.2. Analisis Spasial Prevalensi Kasus HIV

Selain jumlah kasus absolut, dashboard juga menampilkan prevalensi HIV yang dihitung berdasarkan jumlah kasus dan jumlah penduduk per kabupaten atau kota. Hasil analisis menunjukkan bahwa pola prevalensi HIV tidak selalu sejalan dengan pola jumlah kasus.

Beberapa kabupaten seperti Lembata dan Belu menunjukkan nilai prevalensi HIV yang relatif tinggi meskipun jumlah kasusnya tidak sebesar Kota Kupang. Hal ini disebabkan oleh jumlah penduduk yang lebih kecil, sehingga setiap kasus memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap nilai prevalensi. Sebaliknya, Kota Kupang meskipun memiliki jumlah kasus tertinggi, tidak selalu menempati peringkat tertinggi dalam prevalensi.

Perbedaan antara distribusi jumlah kasus dan prevalensi ini menunjukkan pentingnya penggunaan ukuran epidemiologi relatif dalam menilai tingkat risiko HIV di suatu wilayah.

4.1.3. Peringkat Wilayah Berdasarkan Kasus dan Prevalensi

Hasil peringkat wilayah pada dashboard menunjukkan adanya perbedaan kabupaten atau kota yang menempati posisi teratas berdasarkan jumlah kasus dan berdasarkan prevalensi. Wilayah dengan jumlah kasus tertinggi didominasi oleh daerah dengan populasi besar, sementara wilayah dengan prevalensi tertinggi didominasi oleh daerah dengan populasi lebih kecil.

Peringkat ini membantu mengidentifikasi dua kelompok wilayah, yaitu wilayah dengan beban kasus HIV tinggi dan wilayah dengan tingkat risiko HIV relatif tinggi. Kedua kelompok tersebut memiliki implikasi yang berbeda dalam perencanaan intervensi kesehatan masyarakat.

4.2. Pembahasan dan Interpretasi

Hasil analisis menunjukkan bahwa distribusi HIV di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2024 bersifat tidak merata secara spasial. Konsentrasi jumlah kasus yang tinggi di Kota Kupang menunjukkan bahwa wilayah perkotaan berperan penting dalam beban HIV di tingkat provinsi. Kondisi ini dapat berkaitan dengan tingginya kepadatan penduduk, mobilitas masyarakat, serta akses layanan kesehatan yang lebih baik sehingga deteksi kasus lebih optimal.

Di sisi lain, tingginya prevalensi HIV di beberapa kabupaten dengan jumlah penduduk relatif kecil menegaskan bahwa risiko HIV tidak hanya tercermin dari jumlah kasus absolut. Wilayah dengan prevalensi tinggi memerlukan perhatian khusus karena menunjukkan tingkat risiko yang lebih besar pada populasi setempat, meskipun jumlah kasusnya tidak dominan secara provinsi.

Perbedaan pola antara jumlah kasus dan prevalensi menegaskan pentingnya penggunaan kedua indikator tersebut secara bersamaan dalam analisis epidemiologi. Jumlah kasus memberikan gambaran beban penyakit, sedangkan prevalensi memberikan gambaran risiko relatif dalam populasi. Tanpa mempertimbangkan prevalensi, wilayah dengan risiko tinggi berpotensi terabaikan dalam perencanaan program pengendalian HIV.

Secara keseluruhan, hasil analisis berbasis dashboard ini menunjukkan bahwa pengendalian HIV di Provinsi Nusa Tenggara Timur perlu mempertimbangkan pendekatan berbasis wilayah. Intervensi di wilayah dengan jumlah kasus tinggi dan wilayah dengan prevalensi tinggi sama-sama penting, namun memerlukan strategi yang berbeda sesuai dengan karakteristik masing-masing wilayah.

Bab 5. Kesimpulan

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data HIV tahun 2024 di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang disajikan dalam dashboard, dapat disimpulkan bahwa penyebaran kasus HIV menunjukkan pola spasial yang tidak merata antar kabupaten atau kota. Jumlah kasus HIV terkonsentrasi pada wilayah tertentu, terutama Kota Kupang, yang memiliki jumlah kasus paling tinggi dibandingkan wilayah lainnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa wilayah dengan karakteristik perkotaan dan aktivitas sosial ekonomi yang lebih intens memiliki kontribusi besar terhadap beban kasus HIV di tingkat provinsi.

Selain berdasarkan jumlah kasus absolut, analisis prevalensi HIV menunjukkan bahwa tingkat risiko HIV antar wilayah juga bervariasi. Beberapa kabupaten dengan jumlah penduduk relatif kecil memiliki nilai prevalensi yang cukup tinggi meskipun jumlah kasusnya tidak sebesar wilayah dengan populasi besar. Hal ini menunjukkan bahwa prevalensi merupakan indikator penting untuk menilai tingkat risiko HIV dalam suatu wilayah dan tidak selalu sejalan dengan jumlah kasus absolut.

Perbedaan pola antara jumlah kasus dan prevalensi menegaskan bahwa analisis epidemiologi HIV perlu mempertimbangkan kedua indikator tersebut secara bersamaan. Pendekatan spasial berbasis studi ekologi terbukti efektif untuk menggambarkan distribusi HIV di tingkat kabupaten atau kota serta mengidentifikasi wilayah dengan beban kasus tinggi dan wilayah dengan risiko relatif tinggi. Temuan ini memberikan gambaran awal yang penting dalam memahami situasi HIV di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2024.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, pemerintah daerah dan instansi kesehatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur disarankan untuk menggunakan hasil analisis spasial sebagai dasar penentuan wilayah prioritas dalam program pengendalian HIV. Wilayah dengan jumlah kasus HIV tinggi, seperti Kota Kupang, memerlukan penguatan layanan pencegahan, deteksi, dan penanganan HIV secara berkelanjutan untuk menurunkan beban penyakit.

Selain itu, wilayah dengan prevalensi HIV tinggi meskipun jumlah kasus relatif kecil perlu mendapatkan perhatian khusus karena menunjukkan tingkat risiko yang lebih besar pada populasi setempat. Intervensi berbasis wilayah yang disesuaikan dengan karakteristik masing-masing kabupaten atau kota menjadi penting agar upaya pengendalian HIV dapat lebih efektif dan efisien.

Pengembangan dan pemanfaatan dashboard epidemiologi secara berkelanjutan juga sangat disarankan untuk mendukung pemantauan situasi HIV secara rutin. Dengan data yang terintegrasi dan visualisasi spasial yang informatif, pengambilan keputusan dan perencanaan program kesehatan masyarakat diharapkan dapat dilakukan secara lebih tepat sasaran dalam upaya pengendalian HIV di Provinsi Nusa Tenggara Timur.