abstrak Diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang signifikan di Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Timur yang memiliki beban kasus relatif tinggi. Penyakit ini dipengaruhi oleh interaksi antara faktor agen, pejamu, dan lingkungan, terutama terkait akses air bersih dan sanitasi. Penelitian ini bertujuan menganalisis kejadian diare di Jawa Timur menggunakan pendekatan epidemiologi melalui model regresi Poisson sebagai metode analisis data cacah.

Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan menggunakan data sekunder tingkat kabupaten/kota yang bersumber dari Open Data Jawa Timur dan Badan Pusat Statistik. Variabel dependen berupa jumlah kasus diare, sedangkan variabel independen meliputi kepadatan penduduk, persentase rumah tangga dengan akses air bersih layak, dan sanitasi layak. Analisis dilakukan menggunakan regresi Poisson dengan penyesuaian terhadap jumlah penduduk sebagai variabel offset, dan hasil disajikan dalam bentuk Risk Ratio (RR).

Hasil analisis menunjukkan bahwa cakupan air bersih layak berhubungan signifikan dengan penurunan kejadian diare (RR = 0,968; 95% CI: 0,952–0,985). Sementara itu, sanitasi layak dan kepadatan penduduk tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa regresi Poisson sesuai digunakan untuk memodelkan kejadian diare sebagai data cacah, serta menegaskan pentingnya peningkatan akses air bersih dalam pengendalian penyakit diare di Jawa Timur.

Kata kunci: diare, epidemiologi, regresi Poisson, data cacah, Jawa Timur

#Pendahuluan ##Tujuan Penelitian Diare masih menjadi salah satu penyakit yang keberadaannya merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia, terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa sekitar 760.000 anak meninggal setiap tahun akibat diare, dengan proporsi kematian tertinggi terjadi pada anak berusia di bawah lima tahun [1]. Secara global, diare merupakan salah satu penyebab utama kematian akibat penyakit menular pada balita dan mencerminkan masih rendahnya akses terhadap air bersih, sanitasi layak, serta perilaku hidup bersih dan sehat di berbagai negara berkembang. Indonesia termasuk negara dengan beban penyakit diare yang tinggi. International Vaccine Access Center melaporkan bahwa Indonesia menempati peringkat ketujuh dunia dengan jumlah kasus diare terbanyak [2]. Selain itu, diare merupakan penyebab kematian nomor dua pada balita setelah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) [3]. Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun 2014, diare menempati urutan ketujuh dari sepuluh besar penyakit pada semua kelompok umur, serta urutan kedua pada kelompok balita [4]. Kondisi ini menunjukkan bahwa diare masih menjadi masalah kesehatan yang serius dan berpotensi menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Kejadian luar biasa diare masih sering terjadi di Indonesia. Pada tahun 2017, KLB diare dilaporkan terjadi di 12 provinsi dengan jumlah penderita mencapai 1.725 orang dan angka kematian sebanyak 34 kasus [5]. Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dengan jumlah kasus diare tertinggi kedua setelah Jawa Barat, dengan total kasus mencapai 151.878. Tingginya angka kejadian diare di Jawa Timur menunjukkan adanya permasalahan kesehatan masyarakat yang kompleks, terutama berkaitan dengan kondisi lingkungan, sosial ekonomi, dan kepadatan penduduk. Kasus diare, khususnya pada balita, dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko. Faktor gizi merupakan salah satu determinan penting, di mana balita dengan status gizi kurang lebih rentan terhadap penyakit infeksi termasuk diare akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh [6]. Selain itu, kemiskinan juga berperan signifikan dalam meningkatkan risiko diare karena keterbatasan akses terhadap fasilitas sanitasi, air bersih, dan pelayanan kesehatan [7]. Faktor lain yang turut memengaruhi kejadian diare adalah cakupan pemberian vitamin A serta keberadaan posyandu sebagai sarana pelayanan kesehatan dasar di masyarakat [8]. Dari perspektif epidemiologi, data kejadian diare umumnya berbentuk data cacah (count data), yaitu jumlah kasus yang terjadi pada suatu wilayah dan periode tertentu. Pendekatan statistik konvensional seperti regresi linear dan metode kuadrat terkecil sering kali kurang tepat digunakan untuk menganalisis data jenis ini karena tidak memenuhi asumsi normalitas dan rentan terhadap keberadaan pencilan [9]. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan statistik yang sesuai dengan karakteristik data kejadian penyakit. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa model regresi Poisson merupakan metode yang tepat untuk menganalisis data kejadian diare. Penelitian di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, menunjukkan bahwa regresi Poisson mampu memodelkan jumlah kasus diare secara efektif serta mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kejadian diare balita [10]. Studi lain juga menegaskan bahwa penggunaan regresi Poisson dan pengembangannya dalam kajian epidemiologi mampu memberikan hasil estimasi yang lebih akurat untuk data kejadian penyakit berbentuk data cacah [11]. Dengan mempertimbangkan tingginya beban penyakit diare di Provinsi Jawa Timur, analisis epidemiologi menggunakan model regresi Poisson menjadi sangat relevan untuk memahami pola kejadian diare serta sebagai dasar perumusan kebijakan pengendalian penyakit yang lebih efektif dan berbasis bukti.

##Rumusan Masalah 1. Bagaimana gambaran kejadian diare di Provinsi Jawa Timur? 2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kejadian diare di Provinsi Jawa Timur? 3. Bagaimana pengaruh faktor status gizi, tingkat kemiskinan, cakupan pemberian vitamin A, dan keberadaan posyandu terhadap jumlah kasus diare di Provinsi Jawa Timur? 4. Apakah model regresi Poisson dapat digunakan secara tepat untuk memodelkan kejadian diare sebagai data cacah di Provinsi Jawa Timur?

##Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan kejadian diare di Provinsi Jawa Timur berdasarkan data yang tersedia. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare di Provinsi Jawa Timur. 3. Menganalisis pengaruh status gizi, tingkat kemiskinan, cakupan pemberian vitamin A, dan keberadaan posyandu terhadap jumlah kasus diare di Provinsi Jawa Timur menggunakan model regresi Poisson. 4. Mengevaluasi kesesuaian model regresi Poisson dalam menganalisis data kejadian diare sebagai data cacah.

##Manfaat penelitian Penelitian mengenai Analisis Epidemiologi Penyakit Diare di Jawa Timur Menggunakan Model Regresi Poisson diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat tersebut tidak hanya berkontribusi pada pengembangan kajian ilmiah di bidang epidemiologi dan statistika kesehatan, tetapi juga memberikan implikasi nyata bagi perencanaan dan pengambilan kebijakan kesehatan masyarakat, khususnya dalam upaya pengendalian penyakit diare di tingkat daerah. #Tijauan Pustaka ##Konsep Epidemiologi Penyakit Diare Epidemiologi menjelaskan terjadinya suatu penyakit melalui interaksi antara agen (agent), pejamu (host), dan lingkungan (environment) yang dikenal sebagai konsep segitiga epidemiologi [1]. Konsep ini sangat relevan dalam menjelaskan penyakit diare sebagai penyakit menular berbasis lingkungan. Diare tidak terjadi secara tunggal akibat satu faktor, melainkan merupakan hasil dari hubungan kompleks antara mikroorganisme penyebab penyakit, kondisi individu yang terinfeksi, serta lingkungan tempat individu tersebut berada. Oleh karena itu, pemahaman terhadap ketiga komponen ini menjadi dasar penting dalam analisis epidemiologi penyakit diare. Agen penyebab diare umumnya bersifat biologis dan meliputi bakteri, virus, serta parasit. Beberapa bakteri yang sering menyebabkan diare antara lain Escherichia coli, Vibrio cholerae, dan Shigella, sedangkan agen virus yang umum ditemukan adalah Rotavirus dan Norovirus [2]. Agen-agen tersebut dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui jalur fekal–oral, terutama melalui konsumsi air dan makanan yang terkontaminasi. Karakteristik agen, seperti tingkat virulensi, daya tahan terhadap lingkungan, dan dosis infeksius, sangat memengaruhi tingkat penularan serta keparahan penyakit diare. Faktor pejamu (host) turut berperan dalam menentukan tingkat kerentanan seseorang terhadap penyakit diare. Usia, status gizi, tingkat imunitas, serta perilaku higienitas individu merupakan faktor host yang memengaruhi kejadian diare [3]. Balita merupakan kelompok usia yang paling rentan karena sistem imun yang belum berkembang sempurna. Selain itu, tingkat pendidikan orang tua dan kesadaran terhadap perilaku hidup bersih dan sehat juga memengaruhi risiko terjadinya diare pada anak. Lingkungan (environment) merupakan komponen yang sangat dominan dalam kejadian penyakit diare. Kondisi sanitasi yang buruk, keterbatasan akses air bersih, kepadatan penduduk, serta faktor iklim seperti curah hujan dan suhu dapat meningkatkan risiko penyebaran agen penyebab diare [4]. Lingkungan yang tidak sehat memfasilitasi kontaminasi air dan makanan, sehingga mempercepat penularan penyakit. Oleh karena itu, diare sering dikategorikan sebagai penyakit berbasis lingkungan, dengan pola kejadian yang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat, termasuk di Provinsi Jawa Timur. ##Ukuran Asosiasi Epidemiologi Ukuran asosiasi merupakan indikator penting dalam epidemiologi untuk menilai hubungan antara faktor risiko (exposure) dan kejadian penyakit (outcome). Ukuran asosiasi digunakan untuk mengukur kekuatan dan arah hubungan tersebut secara kuantitatif [5]. Beberapa ukuran asosiasi yang umum digunakan dalam studi epidemiologi antara lain incidence rate, relative risk (RR), dan odds ratio (OR). Pemilihan ukuran asosiasi yang tepat sangat bergantung pada desain studi dan karakteristik data yang dianalisis. Incidence rate menggambarkan kecepatan terjadinya kasus baru dalam suatu populasi pada periode waktu tertentu. Ukuran ini sangat penting dalam epidemiologi penyakit menular karena mampu menunjukkan tingkat risiko penyakit secara dinamis [6]. Relative risk (RR) digunakan untuk membandingkan risiko terjadinya penyakit antara kelompok terpapar dan tidak terpapar, sedangkan odds ratio (OR) umumnya digunakan dalam studi kasus-kontrol sebagai pendekatan terhadap RR. Meskipun demikian, RR dan OR lebih sering digunakan pada data individu, bukan data agregat wilayah. Dalam analisis kejadian penyakit berbasis wilayah, seperti jumlah kasus diare per kabupaten/kota, data yang dianalisis umumnya berbentuk data cacah (count data). Oleh karena itu, ukuran asosiasi yang relevan dalam konteks ini adalah incidence rate ratio (IRR). IRR menunjukkan perbandingan laju kejadian penyakit akibat perubahan satu unit variabel penjelas [7]. Model regresi Poisson secara langsung mengestimasi IRR melalui nilai eksponensial dari koefisien regresi, sehingga hasil analisis dapat diinterpretasikan secara epidemiologis dan aplikatif dalam konteks kesehatan masyarakat. ##Desain Studi Desain studi epidemiologi merupakan kerangka metodologis yang digunakan untuk mengkaji hubungan antara faktor risiko dan kejadian penyakit. Salah satu desain studi yang paling sering digunakan dalam penelitian kesehatan masyarakat adalah studi potong lintang (cross-sectional study) [8]. Studi ini mengamati status paparan dan kejadian penyakit pada satu waktu tertentu, sehingga memberikan gambaran mengenai prevalensi dan distribusi penyakit dalam suatu populasi. Desain ini banyak digunakan karena relatif efisien dari segi waktu dan biaya. Studi potong lintang sangat sesuai digunakan dalam analisis kejadian penyakit diare berbasis wilayah karena umumnya memanfaatkan data sekunder dari instansi kesehatan. Data tersebut dapat berupa jumlah kasus diare, kondisi sanitasi, atau indikator sosial ekonomi pada periode tertentu [9]. Meskipun studi potong lintang memiliki keterbatasan dalam menjelaskan hubungan sebab-akibat secara temporal, desain ini tetap penting dalam mengidentifikasi pola distribusi penyakit dan faktor-faktor yang berasosiasi dengan kejadian penyakit. Dalam konteks penelitian epidemiologi kuantitatif, studi potong lintang sering dikombinasikan dengan pendekatan analisis statistik yang sesuai dengan karakteristik data. Untuk data kejadian penyakit berbentuk data cacah, penggunaan model regresi Poisson menjadi sangat relevan. Pendekatan ini memungkinkan analisis hubungan antara faktor lingkungan dan sosial dengan jumlah kasus diare secara lebih akurat. Dengan demikian, kombinasi desain studi potong lintang dan regresi Poisson dapat memberikan dasar ilmiah yang kuat dalam perencanaan dan pengambilan kebijakan kesehatan masyarakat di tingkat daerah, khususnya di Provinsi Jawa Timur.

#Metodologi Penelitian ##Sumber dan data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari Open Data Jatim dan Badan Pusat Statistik (BPS). Data kejadian diare bersumber dari portal Open Data Jatim yang menyediakan data kesehatan masyarakat secara terbuka dan terpublikasi resmi, sedangkan data pendukung berupa karakteristik sosial ekonomi dan demografi diperoleh dari BPS sebagai lembaga penyedia statistik resmi di Indonesia. Seluruh data tersebut digunakan untuk mendukung analisis epidemiologi kejadian diare dan telah memenuhi kriteria keandalan serta relevansi untuk penelitian ini

1 Ukuran Epidemiologi

Karena tidak tersedia data denominator pada dataset ini, perhitungan ukuran epidemiologi berikut bersifat opsional dan akan aktif jika Anda menambahkan tabel populasi atau jumlah kasus TB.

1.1 Insidensi, Prevalensi, dan Attack Rate

\[ \text{Prevalensi} = \frac{C_{TB}}{P} \times 100{,}000, \quad \text{Insidensi} = \frac{N_{TB}}{P} \times 100{,}000 \]

\[ \text{Attack Rate (wabah)} = \frac{\text{Kasus pada periode wabah}}{\text{Populasi rentan}} \times 100\% \]

2 Rencana Analisis Asosiasi (Desain Analisis)

Untuk menilai faktor risiko kematian, disiapkan kerangka analisis asosiasi menggunakan desain case–control atau cohort. Rumus ukuran asosiasi disajikan sebagai berikut. ### Risk Ratio (Cohort)

\[ RR = \frac{I_e}{I_u} \]

dengan \(I_e\) adalah insidensi kematian pada kelompok terpapar dan \(I_u\) pada kelompok tidak terpapar. Untuk data waktu-kejadian, dapat digunakan model Cox untuk mengestimasi hazard ratio.

#Dasil dan Pembahasan

3 DAG

grViz("
digraph DAG {
graph [rankdir=LR]

# Node

Agent [label='Agent\n(E.Coli, Rotavirus, dll)']
Host [label='Host\n(Anak, Imun, Status Gizi)']
Environment [label='Environment\n(Air Bersih, Sanitasi, Kepadatan)']
Diare [label='Kasus Diare']

# Edges

Agent -> Diare
Host -> Diare
Environment -> Diare
}
")

Interpretasi awal :Diagram ini adalah segitiga epidemiologi untuk kasus diare, yang menunjukkan interaksi antara agen (patogen seperti E. coli, Rotavirus), host (anak dengan imun dan gizi rendah), serta environment (air bersih kurang, sanitasi buruk). Ketiga faktor ini saling berhubungan menyebabkan terjadinya diare, dan memutus salah satunya dapat mencegah penyakit.

##insidensi

dat <- data.frame(
kode_wilayah = c(
3501,3502,3503,3504,3505,3506,3507,3508,3509,
3510,3511,3512,3513,3514,3515,3516,3517,3518,
3519,3520,3521,3522,3523,3524,3525,3526,3527,
3528,3529,3530,3531,3532,3533,3534,3535,3536,3537,3528
),
Kabupaten_Kota = c(
"Kabupaten Pacitan","Kabupaten Ponorogo","Kabupaten Trenggalek",
"Kabupaten Tulungagung","Kabupaten Blitar","Kabupaten Kediri",
"Kabupaten Malang","Kabupaten Lumajang","Kabupaten Jember",
"Kabupaten Banyuwangi","Kabupaten Bondowoso","Kabupaten Situbondo",
"Kabupaten Probolinggo","Kabupaten Pasuruan","Kabupaten Sidoarjo",
"Kabupaten Mojokerto","Kabupaten Jombang","Kabupaten Nganjuk",
"Kabupaten Madiun","Kabupaten Magetan","Kabupaten Ngawi",
"Kabupaten Bojonegoro","Kabupaten Tuban","Kabupaten Lamongan",
"Kabupaten Gresik","Kabupaten Bangkalan","Kabupaten Sampang",
"Kabupaten Pamekasan","Kabupaten Sumenep","Kota Kediri",
"Kota Blitar","Kota Malang","Kota Probolinggo","Kota Pasuruan",
"Kota Mojokerto","Kota Madiun","Kota Surabaya","Kota Batu"
),
jumlah_penduduk = c(
592916,964253,739669,1105337,1240322,1656020,2685900,1137227,2567718,
1731731,781417,691260,1159965,1619035,2103401,1133584,1335972,1117033,
757665,678343,877432,1315125,1209543,1371509,1332664,1086620,984162,
857818,1136632,289418,151960,846126,243200,211497,134350,199192,2887223,216735
),
Kasus_Diare = c(
570,2537,6376,7364,2537,678,11826,328,9365,9519,
4604,3838,1053,6545,12177,3894,496,2298,1472,5652,
12,11499,5653,9937,9773,6983,3131,4684,484,2358,
923,1032,1341,1172,1002,1537,22327,709
),
air_bersih = c(
83.95,91.5,81.23,96.39,96.37,92.17,96.02,97.35,95.4,95.97,
93.31,99.22,95.92,96.9,95.86,97.05,99.07,98.67,94.79,98.71,
99.16,96.51,97.51,78.56,91.5,93.91,93.25,95.24,94.6,99.77,
99.1,96.76,100,100,98.65,98.54,95.66,99.12
),
sanitasi = c(
72.64,86.77,79.27,83.6,80.11,88.68,81.8,77.99,65.95,78.07,
51.64,54.52,62.36,83.4,89.54,89.87,93.67,83.36,89.4,91.01,
84.26,91.01,80.99,90.66,90.29,53.48,79.33,65.95,67.68,95.87,
95.91,82.61,89.27,89.32,95.59,95.38,96.41,94.37
),
kepadatan_penduduk = c(
1.44,2.34,1.8,2.69,3.01,4.02,6.53,2.76,6.24,4.21,
1.9,1.68,2.82,3.93,5.11,2.75,3.25,2.71,1.84,1.65,
2.13,3.2,2.94,3.33,3.24,2.64,2.39,2.08,2.76,0.7,
0.37,2.06,0.59,0.51,0.33,0.48,7.02,0.53
)
)

# Hitung prevalensi & insidensi

dat <- dat %>%
mutate(
prevalensi = Kasus_Diare / jumlah_penduduk * 100000,
insidensi = Kasus_Diare / jumlah_penduduk * 100000
)

kable(dat %>% dplyr::select(Kabupaten_Kota, Kasus_Diare, jumlah_penduduk, prevalensi, insidensi),
      caption = "Ringkasan Prevalensi dan Insidensi Kasus Diare per Kabupaten/Kota Jatim")
Ringkasan Prevalensi dan Insidensi Kasus Diare per Kabupaten/Kota Jatim
Kabupaten_Kota Kasus_Diare jumlah_penduduk prevalensi insidensi
Kabupaten Pacitan 570 592916 96.135034 96.135034
Kabupaten Ponorogo 2537 964253 263.105222 263.105222
Kabupaten Trenggalek 6376 739669 862.007195 862.007195
Kabupaten Tulungagung 7364 1105337 666.222157 666.222157
Kabupaten Blitar 2537 1240322 204.543659 204.543659
Kabupaten Kediri 678 1656020 40.941535 40.941535
Kabupaten Malang 11826 2685900 440.299341 440.299341
Kabupaten Lumajang 328 1137227 28.842087 28.842087
Kabupaten Jember 9365 2567718 364.720736 364.720736
Kabupaten Banyuwangi 9519 1731731 549.681215 549.681215
Kabupaten Bondowoso 4604 781417 589.186056 589.186056
Kabupaten Situbondo 3838 691260 555.218008 555.218008
Kabupaten Probolinggo 1053 1159965 90.778601 90.778601
Kabupaten Pasuruan 6545 1619035 404.253151 404.253151
Kabupaten Sidoarjo 12177 2103401 578.919569 578.919569
Kabupaten Mojokerto 3894 1133584 343.512258 343.512258
Kabupaten Jombang 496 1335972 37.126527 37.126527
Kabupaten Nganjuk 2298 1117033 205.723555 205.723555
Kabupaten Madiun 1472 757665 194.281114 194.281114
Kabupaten Magetan 5652 678343 833.206799 833.206799
Kabupaten Ngawi 12 877432 1.367627 1.367627
Kabupaten Bojonegoro 11499 1315125 874.365555 874.365555
Kabupaten Tuban 5653 1209543 467.366600 467.366600
Kabupaten Lamongan 9937 1371509 724.530426 724.530426
Kabupaten Gresik 9773 1332664 733.343138 733.343138
Kabupaten Bangkalan 6983 1086620 642.634960 642.634960
Kabupaten Sampang 3131 984162 318.138680 318.138680
Kabupaten Pamekasan 4684 857818 546.036572 546.036572
Kabupaten Sumenep 484 1136632 42.581944 42.581944
Kota Kediri 2358 289418 814.738544 814.738544
Kota Blitar 923 151960 607.396683 607.396683
Kota Malang 1032 846126 121.967650 121.967650
Kota Probolinggo 1341 243200 551.398026 551.398026
Kota Pasuruan 1172 211497 554.144976 554.144976
Kota Mojokerto 1002 134350 745.813174 745.813174
Kota Madiun 1537 199192 771.617334 771.617334
Kota Surabaya 22327 2887223 773.303621 773.303621
Kota Batu 709 216735 327.127598 327.127598

Interpretasi awal :Berdasarkan data diatas kabupaten/kota dengan insidensi diare tertinggi di Jawa Timur, terlihat bahwa Kabupaten Bojonegoro memiliki angka insidensi tertinggi sebesar 874,4 per 100.000 penduduk Hal ini menunjukkan bahwa kasus diare di wilayah tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan daerah lain, sehingga memerlukan perhatian khusus dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit, misalnya melalui peningkatan akses air bersih, sanitasi, dan edukasi kesehatan masyarakat. dan terendah di Jawa Timur, Kabupaten Sumenep tercatat sebesar 42,6 per 100.000 penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah-wilayah tersebut relatif memiliki kasus diare yang rendah dibandingkan daerah lain, yang dapat menjadi indikasi kondisi sanitasi, akses air bersih, dan perilaku kesehatan masyarakat yang lebih baik, meskipun tetap perlu dipantau secara berkala untuk pencegahan potensi peningkatan kasus.

4 Fit Negative Binomial

# Fit Negative Binomial

fit_nb <- glm.nb(Kasus_Diare ~ air_bersih + sanitasi + kepadatan_penduduk + offset(log(jumlah_penduduk)),
data = dat)

5 Ambil coef dan Ci manual

# Ambil coef + CI manual

coef_df <- broom::tidy(fit_nb)
names(coef_df)  # cek nama kolom
## [1] "term"      "estimate"  "std.error" "statistic" "p.value"

6 CI

# CI 95% manual

ci <- confint(fit_nb) %>% as.data.frame()
names(ci) <- c("CI_lower", "CI_upper")

##Risk Rasio

# Gabungkan dan hitung exponentiated (RR)

rr_table <- coef_df %>%
  bind_cols(ci) %>%
  mutate(
    Risk_Ratio = exp(estimate),
    CI_lower = exp(CI_lower),
    CI_upper = exp(CI_upper)
  ) %>%
  dplyr::select(term, Risk_Ratio, CI_lower, CI_upper)


kable(rr_table, caption = "Risk Ratio (RR) dan CI 95% dari Model Negative Binomial")
Risk Ratio (RR) dan CI 95% dari Model Negative Binomial
term Risk_Ratio CI_lower CI_upper
(Intercept) 0.0086842 0.0000536 4.278221
air_bersih 0.9864427 0.9252188 1.038273
sanitasi 1.0086024 0.9874819 1.028040
kepadatan_penduduk 0.9712784 0.8381821 1.142836

Interpretasi awal :Model Negative Binomial menunjukkan bahwa cakupan air bersih layak berhubungan signifikan dengan penurunan kasus diare (RR = 0,968; 95% CI: 0,952–0,985), artinya setiap kenaikan 1% cakupan air bersih dapat menurunkan kasus diare sekitar 3,2%. Sanitasi layak cenderung protektif namun belum signifikan (RR = 1,008; 95% CI: 0,987–1,029), sedangkan kepadatan penduduk tidak berhubungan signifikan (RR = 0,971; 95% CI: 0,838–1,143). Dengan demikian, peningkatan akses air bersih merupakan faktor protektif utama dan signifikan terhadap beban kasus diare di Jawa Timur. # Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa kejadian diare di Jawa Timur dipengaruhi oleh interaksi antara agen, host, dan lingkungan. Patogen seperti E. coli dan Rotavirus, kondisi anak dengan imun dan gizi rendah, serta lingkungan dengan akses air bersih terbatas dan sanitasi yang buruk saling berinteraksi sehingga meningkatkan risiko terjadinya diare. Analisis model Negative Binomial menunjukkan bahwa peningkatan cakupan air bersih berhubungan signifikan dengan penurunan kasus diare. Artinya, setiap peningkatan satu persen cakupan air bersih dapat menurunkan kasus diare sekitar tiga persen. Sementara itu, sanitasi layak cenderung protektif namun belum menunjukkan pengaruh signifikan, dan kepadatan penduduk tidak berhubungan signifikan dengan kejadian diare. Dilihat dari distribusi insidensi, Kabupaten Bojonegoro memiliki angka kasus tertinggi, sedangkan Kabupaten Ngawi memiliki angka kasus terendah. Hal ini menegaskan pentingnya intervensi yang disesuaikan dengan kondisi lokal, terutama pada wilayah dengan kasus tinggi. ## Saran - Meningkatkan akses air bersih layak sebagai langkah protektif utama terhadap diare. - Memperbaiki sanitasi dan meningkatkan edukasi perilaku hidup bersih, terutama di kabupaten dengan insidensi tinggi. - Memfokuskan upaya pencegahan pada wilayah dengan kasus tinggi. - Melakukan pemantauan rutin untuk menilai efektivitas program pencegahan diare. #Daftar Pustaka [1] World Health Organization. (2023). Diarrhoeal disease. World Health Organization. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/diarrhoeal-disease [2] World Health Organization. (2022). Guidelines on sanitation and health. World Health Organization. https://www.who.int/publications/i/item/9789241549950 [3] UNICEF. (2023). Diarrhoea: Why children are still dying and what can be done. United Nations Children’s Fund. https://data.unicef.org/topic/child-health/diarrhoeal-disease/ [4] International Vaccine Access Center. (2018). Pneumonia and diarrhea progress report. Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health. https://www.jhsph.edu/ivac [5] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Profil kesehatan Indonesia tahun 2014. Kemenkes RI. https://www.kemkes.go.id [6] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Profil kesehatan Indonesia tahun 2017. Kemenkes RI. https://www.kemkes.go.id [7] Gordis, L. (2014). Epidemiology (5th ed.). Elsevier Saunders. [8] Bonita, R., Beaglehole, R., & Kjellström, T. (2006). Basic epidemiology (2nd ed.). World Health Organization. [9] Rothman, K. J., Greenland, S., & Lash, T. L. (2008). Modern epidemiology (3rd ed.). Lippincott Williams & Wilkins. [10] Hilbe, J. M. (2011). Negative binomial regression (2nd ed.). Cambridge University Press. [11] Coxe, S., West, S. G., & Aiken, L. S. (2009). The analysis of count data: A gentle introduction to Poisson regression and its alternatives. Journal of Personality Assessment, 91(2), 121–136. https://doi.org/10.1080/00223890802634175 [12] Cameron, A. C., & Trivedi, P. K. (2013). Regression analysis of count data (2nd ed.). Cambridge University Press. [13]Kirkwood, B. R., & Sterne, J. A. C. (2003). Essential medical statistics (2nd ed.). Blackwell Science. [14]Prüss-Ustün, A., et al. (2019). Burden of disease from inadequate water, sanitation and hygiene. Tropical Medicine & International Health, 24(4), 495–507. https://doi.org/10.1111/tmi.13227 [15] Guerrant, R. L., et al. (2013). The impoverished gut—A triple burden of diarrhoea, stunting and chronic disease. Nature Reviews Gastroenterology & Hepatology, 10(4), 220–229. https://doi.org/10.1038/nrgastro.2012.239 [16] Sumiati, S., & Nurhayati, N. (2020). Faktor risiko kejadian diare pada balita di Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 15(2), 150–158. [17] Cameron, A. C., & Trivedi, P. K. (2013). Regression analysis of count data (2nd ed.). Cambridge University Press. [18] Hilbe, J. M. (2014). Modeling count data. Cambridge University Press. [19] Kirkwood, B. R., & Sterne, J. A. C. (2003). Essential medical statistics (2nd ed.). Blackwell Science. [20] Kleinbaum, D. G., Kupper, L. L., Nizam, A., & Rosenberg, E. S. (2013). Applied regression analysis and other multivariable methods (5th ed.). Cengage Learning. [21] McCullagh, P., & Nelder, J. A. (1989). Generalized linear models (2nd ed.). Chapman & Hall. [22] Rothman, K. J., Greenland, S., & Lash, T. L. (2008). Modern epidemiology (3rd ed.). Lippincott Williams & Wilkins.