Abstrak

Penelitian ini menganalisis hubungan antara faktor sosial ekonomi dan tingkat kriminalitas antarprovinsi di Indonesia dengan mempertimbangkan adanya dependensi dan heterogenitas spasial. Menggunakan data cross-sectional 38 provinsi pada tahun 2024, studi ini mengevaluasi pengaruh Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan ketimpangan pendapatan melalui tahapan pemodelan yang diawali dengan regresi Ordinary Least Squares (OLS). Hasil uji Moran’s I menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif yang signifikan, sehingga pendekatan regresi linear konvensional tidak memadai. Oleh karena itu, analisis dilanjutkan dengan estimasi model ekonometrika spasial, yaitu Spatial Lag Model (SAR), Spatial Error Model (SEM), dan Spatial Durbin Model (SDM). Berdasarkan kriteria evaluasi Akaike Information Criterion (AIC), model Spatial Error Model (SEM) teridentifikasi sebagai model terbaik. Selanjutnya, analisis Local Moran’s I digunakan untuk memetakan pola pengelompokan spasial kriminalitas antarprovinsi.

Untuk melengkapi analisis tersebut, penelitian ini juga menerapkan pendekatan interpolasi spasial menggunakan Ordinary Kriging terhadap residual SEM. Hasil interpolasi menunjukkan adanya variasi spasial lokal yang tidak sepenuhnya tertangkap oleh model ekonometrika spasial, meskipun secara global struktur spasial telah terakomodasi. Pola hasil kriging mengindikasikan bahwa faktor-faktor lokal yang bersifat tidak teramati masih berperan dalam menjelaskan perbedaan tingkat kriminalitas antarwilayah. Secara keseluruhan, temuan penelitian menunjukkan bahwa tingkat kriminalitas tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi internal suatu provinsi, tetapi juga oleh keterkaitan spasial dan dinamika lokal wilayah sekitarnya. Hasil ini mendukung pentingnya perumusan kebijakan pengendalian kriminalitas berbasis wilayah dan sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 16 yang menekankan penguatan keamanan dan ketertiban dengan mempertimbangkan karakteristik spasial regional.

Kata kunci:

Kriminalitas; Ekonometrika Spasial; Spatial Error Model; Ordinary Kriging; Autokorelasi Spasial; Indonesia

BAB 1 - PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Secara global, kriminalitas merupakan salah satu persoalan sosial yang sering meningkat seiring dengan ketimpangan sosial ekonomi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi berperan penting dalam meningkatkan kriminalitas terutama di negara berkembang [1]. Menurut UNODC, negara dengan pertumbuhan penduduk kota yang tinggi cenderung mengalami peningkatan kriminalitas akibat tekanan sosial ekonomi [2]. Fenomena ini juga terjadi di Indonesia yang mana seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk, angka kriminalitas di beberapa wilayah justru mengalami peningkatan. Indonesia merupakan negara dengan populasi besar dan besarnya jumlah penduduk bersandingan dengan meningkatnya risiko penduduk menjadi korban/pelaku kriminalitas. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat risiko kejahatan naik dari sekitar 137 kasus pada tahun 2022 menjadi 214 kasus  per 100.000 penduduk pada tahun 2023 [3]. Penelitian dilakukan dengan menganalisis beberapa faktor yang diduga mempengaruhi, antara lain tingkat pengangguran terbuka, kemiskinan, kualitas pembangunan manusia, hingga ketimpangan pendapatan. Data tahun 2023 menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia mencapai 5.32% [4]. Menurut Raphael pada tahun 2001, tingginya pengangguran diketahui berkorelasi positif dengan kriminal karena keterbatasan akses pekerjaan yang membuat individu aktif dalam kegiatan ilegal [5]. Hal ini menunjukkan pengaruh tingkat pengangguran terhadap kasus kriminalitas di suatu wilayah.  

Indikator selanjutnya yang berpengaruh adalah kemiskinan. Kemiskinan yang bersifat struktural sering dikaitkan dengan resiko kriminalitas, terlebih pada wilayah tekanan ekonomi dan akses sosial [6]. Di Indonesia, persentase penduduk miskin juga masih berada pada angka 9,36% [7]. Angka ini masih bisa dikatakan sangat besar mengingat bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk besar. Selanjutnya, indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mencapai 74,39 namun belum merata di seluruh wilayah [8]. Selain itu, adanya ketimpangan pembangunan daerah juga dapat dirasakan. Hampir pembangunan modern dilaksanakan di Pulau Jawa, sedangkan pulau lainnya masih terbatas. Kondisi ini menjelaskan juga ketimpangan distribusi pendapatan yang tercermin dari Gini Ratio sebesar 0,388 [9]. Berdasarkan penelitian dari Andresen tahun 2014, ketimpangan pendapatan wilayah memberikan pola kriminalitas tidak merata sehingga pendekatan spasial menjadi relevan dalam analisis kesehatan. [10] Meskipun Indonesia mencatat IPM yang cukup tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil beberapa tahun terakhir, fenomena peningkatan kriminalitas tetap menunjukkan adanya paradoks sosial. Kompleksitas permasalahan sosial ekonomi tersebut berpotensi menciptakan tekanan sosial di masyarakat yang kemudian dapat berhubungan dengan munculnya berbagai bentuk kriminalitas di Indonesia. Tingginya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), banyaknya jumlah penduduk miskin, serta ketidakmerataan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menunjukkan bahwa pembangunan belum berjalan dengan merata. Selain itu, kepadatan penduduk yang tinggi di sebuah wilayah, ditambah dengan adanya ketimpangan pendapatan yang tercermin dari nilai Gini Ratio, membuat persoalan sosial di Indonesia menjadi semakin kompleks. Permasalahan ini menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana faktor-faktor sosial ekonomi tersebut berhubungan dengan tingkat kriminalitas di Indonesia, serta apakah terdapat pola spasial tertentu yang menunjukkan adanya pengelompokan wilayah dengan tingkat kriminalitas yang lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia.

Dari permasalahan tersebut, dapat dilihat bahwa kasus kriminal di Indonesia tidak terpisahkan dari kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Tingkat pengangguran yang masih tinggi, masalah kemiskinan yang belum tuntas, ketidakmerataan pembangunan manusia, kepadatan penduduk, dan ketimpangan pendapatan yang cukup lebar, merupakan faktor faktor yang perlu diperhatikan. Dalam kerangka pembangunan global, isu kriminal berkaitan dengan SDG Peace, Justice, and Strong Institution yang menekankan pentingnya pengurangan kekerasan dan menciptakan lingkungan yang aman [11]. Situasi tersebut menunjukkan penelitian ini penting untuk dilakukan agar bisa memahami sejauh mana faktor faktor tersebut benar benar berhubungan dengan tingkat kriminalitas. Dugaan awal dalam penelitian ini adalah bahwa faktor-faktor sosial ekonomi memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap kriminalitas di setiap wilayah di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan untuk menentukan apakah faktor tetangga mempengaruhi kriminalitas di sebuah wilayah. Dengan demikian, penelitian ini akan membahas terkait penyebaran dan identifikasi faktor dominan kriminalitas di Indonesia menggunakan pendekatan analisis spasial. Hal ini didasarkan pada karakteristik geografis Indonesia yang beragam dan sehingga ada kemungkinan terjadinya spatial dependency yang tidak dapat dijelaskan oleh pendekatan OLS. Penelitian ini dimaksudkan untuk memahami bagaimana faktor sosial ekonomi berperan dalam mempengaruhi tingkat kriminalitas provinsi di Indonesia dengan mempertimbangkan variasi spasial antar wilayah. Dengan memanfaatkan pendekatan pemodelan spasial, penelitian ini berupaya memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai distribusi dan determinan kriminalitas, sehingga hasilnya dapat mendukung perumusan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara akademis, praktis, maupun metodologis. Secara akademis, penelitian ini memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam penerapan metode analisis pada bidang sosial. Secara praktis, penelitian ini mampu memberikan informasi bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan berbasis data untuk mengurangi tingkat kriminalitas di Indonesia. Secara metodologis, penelitian ini menunjukkan penerapan model spasial dalam analisis data sosial ekonomi sehingga dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya.

Penelitian ini memiliki batasan masalah yang mencakup penggunaan data cross-sectional tahun 2024 untuk seluruh provinsi di Indonesia sehingga analisis tidak mencerminkan perubahan kriminalitas dari waktu ke waktu. Variabel yang digunakan terbatas pada faktor-faktor sosial ekonomi, yaitu tingkat pengangguran terbuka, tingkat kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan Gini Ratio.

1.2 Identifikasi Masalah

Meskipun Indonesia menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil serta peningkatan capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dalam beberapa tahun terakhir, tingkat kriminalitas di sejumlah wilayah justru mengalami peningkatan. Kondisi ini mencerminkan adanya paradoks sosial, di mana capaian pembangunan secara agregat belum sepenuhnya diikuti oleh perbaikan kondisi sosial di seluruh wilayah. Ketimpangan sosial ekonomi antarprovinsi masih nyata, ditunjukkan oleh variasi tingkat pengangguran terbuka, kemiskinan, kualitas pembangunan manusia, dan ketimpangan pendapatan yang belum merata.

Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa faktor sosial ekonomi berperan penting dalam membentuk pola kriminalitas, khususnya di negara berkembang. Namun demikian, karakteristik geografis Indonesia yang luas dan beragam membuka kemungkinan adanya keterkaitan spasial, di mana tingkat kriminalitas suatu provinsi tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi internal wilayah tersebut, tetapi juga oleh kondisi provinsi di sekitarnya. Pengabaian aspek ketergantungan spasial dalam analisis dapat menyebabkan hasil estimasi yang bias atau tidak efisien apabila hanya menggunakan pendekatan regresi klasik (Ordinary Least Squares).

Selain itu, kajian empiris yang secara komprehensif menganalisis hubungan antara faktor sosial ekonomi dan kriminalitas di Indonesia dengan mempertimbangkan dimensi spasial antarprovinsi masih relatif terbatas. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan analisis spasial untuk memperoleh pemahaman yang lebih akurat mengenai distribusi kriminalitas dan faktor-faktor yang memengaruhinya di Indonesia.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara faktor-faktor sosial ekonomi dan tingkat kriminalitas provinsi di Indonesia dengan mempertimbangkan dimensi spasial antarwilayah. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah untuk:

  1. Menganalisis pola distribusi dan pengelompokan spasial tingkat kriminalitas antarprovinsi di Indonesia.

  2. Mengkaji pengaruh tingkat pengangguran terbuka, tingkat kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan ketimpangan pendapatan (Gini Ratio) terhadap tingkat kriminalitas provinsi di Indonesia.

  3. Menguji keberadaan autokorelasi spasial dalam tingkat kriminalitas antarprovinsi.

  4. Melakukan permodelan interpolasi spasial untuk menggambarkan sebaran kontinu tingkat kriminalitas di Indonesia serta menentukan model ekonometrika spasial yang paling sesuai dalam menjelaskan variasi tingkat kriminalitas dibandingkan dengan model regresi OLS.

1.4 Batasan Penelitian

Untuk menjaga fokus penelitian, batasan penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Unit analisis yang digunakan adalah provinsi di Indonesia.

  2. Variabel yang digunakan meliputi:

    • Y (Tingkat Kriminalitas): Tingkat Kriminalitas per 100.000 penduduk di setiap provinsi.

    • X1 (Jumlah Penduduk Miskin): Jumlah penduduk dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan

    • X2 (Tingkat Pengangguran Terbuka): Persentase angkatan kerja yang belum bekerja

    • X3 (Indeks Pembangunan Manusia): Indeks Komposit kualitas hidup (pendidikan, kesehatan, pendapatan)

    • X4 (Gini Ratio): Ukuran ketimpangan distribusi pendapatan

  3. Data yang digunakan merupakan data cross-section dengan sumber utama dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) dan Badan Pusat Statistik (BPS).

  4. Model spasial yang digunakan mencakup uji autokorelasi spasial (Moran’s I), model ekonometrika spasial, dan model interpolasi.

BAB 2- TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Kriminalitas

Kriminalitas merupakan fenomena sosial yang sering berkaitan erat dengan kondisi ekonomi, sosial dan demografi. Menurut teori sosial dari Shaw tahun 1942, kejahatan lebih banyak muncul pada wilayah yang mengalami ketimpangan sosial, perpindahan penduduk yang tinggi dan lemahnya kontrol sosial [12]. Teori ini diperkuat melalui konsep Economic Deprivation (Becker, 1968) yang menyatakan bahwa keterbatasan ekonomi individu dapat mendorong munculnya perilaku menyimpang sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup [13]. Dalam konteks ini, seseorang cenderung memikirkan manfaat dan resiko. Jika keuntungan dari tindakan kriminal lebih besar dari resiko hukum, maka kejahatan akan lebih dipilih. Hal ini yang menyebabkan bahwa keterbatasan mampu mendorong munculnya tindak kriminalitas. 

Berdasarkan kondisi tersebut, kriminalitas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pengangguran, kemiskinan, ketimpangan pendapatan serta kualitas pembangunan manusia. Variabel ini mencerminkan dimensi sosial ekonomi yang berbeda tapi saling berhubungan dalam mempengaruhi perilaku masyarakat

2.1.2 Kemiskinan

Kemiskinan merupakan faktor sosial ekonomi yang secara konsisten dikaitkan dengan kriminalitas. Kemiskinan yang bersifat struktural tidak hanya mencerminkan keterbatasan pendapatan, tetapi juga keterbatasan akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan jaringan sosial. Kondisi tersebut dapat melemahkan kohesi sosial dan meningkatkan potensi konflik, sehingga menciptakan lingkungan yang kondusif bagi munculnya tindak kriminal. Beberapa studi menemukan bahwa wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi cenderung memiliki tingkat kriminalitas yang lebih besar, terutama pada jenis kejahatan konvensional.

2.1.3 Tingkat Pengangguran Terbuka

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) merupakan gambaran proporsi angkatan kerja yang belum mendapat pekerjaan. Menurut teori Strain (Merton, 1938), tekanan akibat pengangguran dapat memicu perilaku kriminal karena seseorang gagal mencapai impiannya dengan cara yang sah [14]. Hal ini menyebabkan individu tersebut cenderung mencoba berbagai cara bahkan yang ilegal sekalipun. Selanjutnya juga ada variabel seperti kemiskinan yang secara langsung meningkatkan kerentanan tindak kriminal. Dalam masyarakat miskin, kesempatan memperoleh pendidikan dan pekerjaan lebih rendah sehingga resiko terlibat kegiatan ilegal lebih tinggi. Apalagi jika individu tersebut merasakan ketimpangan sosial sehingga peluang individu melakukan kriminalitas akan lebih tinggi. Kedua faktor ini secara konseptual berperan sebagai bentuk tekanan ekonomi yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan

2.1.4 Indeks Pembangunan Manusia

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) digunakan secara luas untuk merepresentasikan kualitas pembangunan manusia melalui dimensi pendidikan, kesehatan, dan standar hidup layak. IPM yang rendah menunjukkan keterbatasan kapasitas manusia dalam mengakses peluang ekonomi dan sosial, yang dalam jangka panjang dapat berkontribusi terhadap meningkatnya kriminalitas. Meskipun demikian, hubungan antara IPM dan kriminalitas tidak selalu linear, karena wilayah dengan IPM tinggi dan aktivitas ekonomi yang intensif juga dapat menarik peluang kejahatan tertentu. Oleh karena itu, analisis empiris diperlukan untuk memahami peran IPM dalam konteks spasial yang berbeda.

2.1.5 Gini Ratio

Gini Ratio merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan dalam suatu wilayah, dengan nilai berkisar antara 0 hingga 1, di mana nilai yang lebih tinggi menunjukkan ketimpangan yang semakin besar. Indikator ini merefleksikan sejauh mana kesejahteraan ekonomi terdistribusi secara merata di dalam masyarakat dan sering digunakan sebagai ukuran ketidaksetaraan ekonomi antarwilayah maupun antarwaktu. Dalam kajian sosial ekonomi, Gini Ratio berperan penting karena ketimpangan pendapatan yang tinggi dapat memengaruhi stabilitas sosial, kualitas pembangunan, serta berbagai permasalahan sosial lainnya.

2.1.5 Autokorelasi Spasial

Autokorelasi spasial menggambarkan hubungan statistik antarwilayah berdasarkan kedekatan geografis, di mana wilayah yang berdekatan cenderung memiliki karakteristik serupa (autokorelasi positif) atau berbeda (autokorelasi negatif) (Cliff & Ord, 1981).

Secara umum, autokorelasi spasial dibagi menjadi dua:

  1. Autokorelasi Global – mengukur pola spasial secara keseluruhan menggunakan indeks Moran’s I dan Geary’s C.
    • Moran’s I mendeteksi arah dan kekuatan hubungan spasial (positif, negatif, atau acak).

    • Geary’s C lebih sensitif terhadap perbedaan lokal antarwilayah; nilai mendekati 0 menunjukkan autokorelasi positif kuat, sedangkan mendekati 2 menunjukkan negatif.

  2. Autokorelasi Lokal (LISA) – mengidentifikasi klaster atau anomali lokal, seperti kelompok nilai tinggi (High-High), rendah (Low-Low), serta pola campuran (High-Low, Low-High).

2.1.6 Model Ordinary Least Squares

Model OLS digunakan sebagai pendekatan dasar sebelum mempertimbangkan komponen spasial. Model ini mengasumsikan bahwa antarobservasi bersifat independen, sehingga hubungan antara variabel dependen dan independen dapat dijelaskan melalui persamaan linear klasik :

\[ y = X\beta + \varepsilon \]

dengan \(y\) adalah vektor variabel dependen (misalnya PDRB per provinsi), \(X\) matriks variabel independen, \(\beta\) parameter yang diestimasi, dan \(\varepsilon\) adalah komponen error yang diasumsikan berdistribusi normal dengan varian homogen dan tanpa autokorelasi spasial. Namun, jika terdapat korelasi spasial antarwilayah, maka model OLS tidak lagi menghasilkan estimasi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator).

2.1.7 Model Ekonometrika Spasial

Model ekonometrika spasial merupakan pengembangan dari regresi linier klasik yang memasukkan unsur ketergantungan antarwilayah. Beberapa model yang umum digunakan antara lain:

  1. Spatial Autoregressive Model (SAR)
    Model SAR mengasumsikan bahwa variabel dependen di suatu wilayah dipengaruhi oleh nilai variabel dependen di wilayah lain yang berdekatan.

  2. Spatial Error Model (SEM)
    Model SEM digunakan ketika hubungan spasial terjadi pada komponen error, bukan pada variabel dependen.

  3. Spatial Durbin Model (SDM)
    Model SDM menggabungkan unsur SAR dan SEM, di mana variabel independen juga dipengaruhi oleh tetangga spasialnya.

BAB 3 - METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan analisis ekonometrika spasial dan interpolasi spasial. Pendekatan ekonometrika spasial digunakan untuk mempertimbangkan adanya keterkaitan antarwilayah (spatial dependence) yang dapat memengaruhi hubungan antara faktor sosial ekonomi dan tingkat kriminalitas provinsi di Indonesia. Melalui pendekatan ini, penelitian mampu menganalisis pengaruh langsung (direct effect) dan pengaruh tidak langsung (indirect effect) yang muncul akibat efek limpahan (spillover effect) antarwilayah. Selain itu, permodelan interpolasi spasial digunakan sebagai pendekatan eksploratif untuk menggambarkan sebaran spasial tingkat kriminalitas secara kontinu, sehingga memberikan visualisasi pola kriminalitas yang lebih komprehensif dan melengkapi hasil analisis ekonometrika spasial.

3.2 Lokasi dan Cakupan Penelitian

Penelitian dilakukan pada seluruh provinsi di Indonesia dengan menggunakan data sekunder dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Cakupan analisis bersifat lintas ruang (cross-sectional), di mana unit analisis adalah provinsi. Data diambil pada tahun yang sama agar hasil perbandingan antarprovinsi valid.

3.3 Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan bersifat kuantitatif sekunder dan diperoleh dari situs resmi BPS melalui tabel statistik berikut:

Tabel 1. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Variabel Keterangan Satuan
Y (Tingkat Kriminalitas) Tingkat Kriminalitas per 100.000 penduduk Rate
X1 (Jumlah Penduduk Miskin) Jumlah penduduk dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan Ribu
X2 (Tingkat Pengangguran Terbuka) Persentase angkatan kerja yang belum bekerja Persentase (%)
X3 (Indeks Pembangunan Manusia) Indeks komposit kualitas hidup (pendidikan, kesehatan, pendapatan) Indeks (0 - 100)
X4 (Gini Ratio) Ukuran ketimpangan distribusi pendapatan Rasio (0-1)

3.4 Metode Analisis Data

Metode analisis dilakukan dalam beberapa tahapan utama sebagai berikut:

  1. Analisis Deskriptif Spasial
    • Menyajikan peta tematik (choropleth map) untuk menggambarkan persebaran Jumlah Penduduk Miskin, TPT, IPM, dan Gini Ratio Terhadap Tingkat Kriminalitas antarprovinsi.
    • Tujuannya untuk melihat adanya pola spasial atau ketimpangan wilayah secara visual.
  2. Uji Autokorelasi Spasial Global dan Lokal
    • Dilakukan menggunakan Moran’s I dan Geary’s C untuk autokorelasi global.

      Moran’s I:

      \[ I = \frac{n}{\sum_i \sum_j w_{ij}} \cdot \frac{\sum_i \sum_j w_{ij}(x_i - \bar{x})(x_j - \bar{x})} {\sum_i (x_i - \bar{x})^2} \]

      Keterangan:

      • \(I > 0\): Autokorelasi positif (wilayah berdekatan memiliki nilai serupa).
      • \(I < 0\): Autokorelasi negatif (wilayah berdekatan memiliki nilai berlawanan).
      • \(I \approx 0\): Tidak ada pola spasial (acak).

      Geary’s C:

      \[ C = \frac{(n-1)}{2\sum_i \sum_j w_{ij}} \cdot \frac{\sum_i \sum_j w_{ij}(x_i - x_j)^2} {\sum_i (x_i - \bar{x})^2} \]

      Keterangan:

      • \(C < 1\): Autokorelasi positif.
      • \(C > 1\): Autokorelasi negatif.
      • \(C \approx 1\): Tidak ada autokorelasi spasial.
    • Untuk autokorelasi local menggunakan LISA

      \[ I_i = (x_i - \bar{x}) \sum_j w_{ij}(x_j - \bar{x}) \]

      Interpretasi:

      • \(I_i > 0\): Klaster serupa (High-High atau Low-Low).
      • \(I_i < 0\): Hubungan berlawanan (High-Low atau Low-High).
    • Matriks pembobot spasial \(W\) dibangun berdasarkan queen contiguity, di mana dua wilayah dianggap bertetangga apabila memiliki batas bersentuhan.

  3. Pemodelan Ekonometrika Spasial
    • Setelah diketahui adanya autokorelasi, model yang diestimasi meliputi:
      • Spatial Lag Model (SAR)

        \[ Y = \rho W Y + X\beta + \varepsilon \]

        Keterangan:

        • \(Y\): Vektor variabel dependen
        • \(X\): Matriks variabel independen
        • \(W\): Matriks bobot spasial
        • \(\rho\): Koefisien autokorelasi spasial pada variabel dependen
        • \(\varepsilon\): Error term
      • Spatial Error Model (SEM)

        \[ Y = X\beta + u, \quad u = \lambda W u + \varepsilon \]

        Keterangan:

        • \(\lambda\): Koefisien autokorelasi spasial pada error
        • \(\varepsilon\): Komponen error acak
        • Ketergantungan spasial dalam error menunjukkan bahwa faktor-faktor yang tidak teramati di suatu wilayah dapat memengaruhi wilayah sekitarnya.
      • Spatial Durbin Model (SDM)

        \[ Y = \rho W Y + X\beta + W X \theta + \varepsilon \]

        Keterangan:

        • \(W X \theta\): Efek spasial dari variabel independen di wilayah sekitar
        • Model ini dapat merepresentasikan spillover effects, di mana perubahan variabel independen di satu wilayah memengaruhi hasil di wilayah lain.
  4. Pemilihan Model Terbaik
    • Dilakukan menggunakan Lagrange Multiplier (LM) test, Likelihood Ratio (LR) test, serta kriteria Akaike Information Criterion (AIC).
    • Model dengan nilai AIC terkecil dan hasil uji yang signifikan akan dipilih sebagai model terbaik.
  5. Interpretasi Efek Langsung dan Tidak Langsung
    • Menggunakan fungsi impacts() untuk memisahkan efek langsung (dalam wilayah) dan efek tidak langsung (spillover) antarwilayah.
  6. Metode Analisis Permodelan Interpolasi Spasial
    • Metode Inverse Distance Weighting (IDW)

      Salah satu metode interpolasi spasial yang umum digunakan adalah Inverse Distance Weighting (IDW). Metode ini mengasumsikan bahwa kontribusi suatu titik pengamatan terhadap estimasi nilai pada lokasi tertentu akan semakin kecil seiring dengan bertambahnya jarak. Estimasi nilai variabel pada lokasi tak teramati \(x_0\) dinyatakan sebagai:

      \[ \hat{Z}(x_0) = \frac{\sum_{i=1}^{n} \frac{Z(x_i)}{d(x_0,x_i)^p}}{\sum_{i=1}^{n} \frac{1}{d(x_0,x_i)^p}} \]

      di mana \(Z(x_i)\) merupakan nilai variabel pada lokasi ke-\(i\), \(d(x_0,x_i)\) adalah jarak antara lokasi estimasi dan lokasi pengamatan ke-\(i\), \(p\) adalah parameter pangkat yang mengontrol tingkat pengaruh jarak, dan \(n\) adalah jumlah titik pengamatan. Nilai parameter \(p\) yang lebih besar akan memberikan bobot yang lebih besar pada titik-titik yang lebih dekat.

    • Metode Kriging

      Selain IDW, metode interpolasi spasial yang lebih lanjut adalah Kriging, yang merupakan metode geostatistik berbasis model. Kriging tidak hanya mempertimbangkan jarak antar lokasi, tetapi juga struktur variabilitas spasial yang direpresentasikan melalui fungsi semivariogram. Estimator Kriging untuk lokasi \(x_0\) dapat dituliskan sebagai:

      \[ \hat{Z}(x_0) = \sum_{i=1}^{n} \lambda_i Z(x_i) \]dengan \(\lambda_i\) merupakan bobot yang ditentukan melalui sistem persamaan semivariogram sehingga menghasilkan estimator tak bias dengan varians minimum. Keunggulan Kriging terletak pada kemampuannya untuk memberikan ukuran ketidakpastian estimasi, meskipun memerlukan asumsi stasioneritas dan proses pemodelan yang lebih kompleks.

      Metode ini dipilih karena mampu menangkap hubungan spasial simultan, serta memberikan pemahaman mendalam mengenai pengaruh pembangunan manusia dan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi lintas wilayah.

3.5 Alur Kerja Penelitian

Alur kerja penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

  1. Pengumpulan Data
    • Mengunduh data PDRB, Industri Mikro dan Kecil (IMK), dan Penanaman Modal Asing (PMA) dari Badan Pusat Statistik (BPS), serta shapefile batas administrasi provinsi di Indonesia.
  2. Pengolahan Data Awal
    • Melakukan pembersihan data (data cleaning), menyesuaikan kode dan nama provinsi, serta menggabungkan data numerik dengan data spasial melalui proses spatial join untuk membentuk spatial dataframe.
  3. Eksplorasi dan Visualisasi Deskriptif
    • Menyajikan peta tematik (choropleth map) dan analisis statistik deskriptif guna mengamati pola persebaran PDRB, IMK, dan PMA antarprovinsi serta mengidentifikasi potensi ketimpangan wilayah.
  4. Uji Autokorelasi Spasial (Moran’s I dan LISA)
    • Menguji adanya keterkaitan spasial global dan lokal antarprovinsi dengan menggunakan Moran’s I dan Local Indicators of Spatial Association (LISA) untuk memastikan relevansi penerapan model spasial.
  5. Estimasi Model Ekonometrika Spasial (SAR, SEM, SDM, SAC, GNS)
    • Melakukan estimasi terhadap model Spatial Autoregressive (SAR), Spatial Error (SEM), dan Spatial Durbin (SDM) guna mengidentifikasi pengaruh Jumlah Penduduk Miskin, TPT, IPM, dan Gini Ratio Terhadap Tingkat Kriminalitas antarprovinsi.
  6. Pemilihan Model Terbaik dan Interpretasi Hasil
    • Membandingkan hasil estimasi model menggunakan Akaike Information Criterion (AIC), serta menginterpretasikan efek langsung (direct effect) dan tidak langsung (spillover effect).
  7. Permodelan Interpolasi Spasial
    • Melakukan interpolasi spasial untuk mengestimasi nilai variabel pada wilayah yang tidak terobservasi secara langsung dengan memanfaatkan informasi dari wilayah sekitar, sehingga pola distribusi dan ketimpangan spasial antarprovinsi dapat dianalisis secara lebih komprehensif.
  8. Penyusunan Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
    • Merumuskan kesimpulan dari hasil analisis serta menyusun rekomendasi kebijakan terkait pengendalian dan pencegahan kriminalitas melalui penguatan kondisi sosial ekonomi dan pengurangan ketimpangan antarwilayah dengan mempertimbangkan keterkaitan spasial antarprovinsi di Indonesia.

BAB 4 - HASIL dan PEMBAHASAN

4.1 Peta Deskriptif

Visualisasi spasial dilakukan untuk menggambarkan pola distribusi tingkat kriminalitas antarprovinsi di Indonesia. Peta tematik (choropleth map) digunakan untuk memperjelas variasi intensitas kriminalitas antarwilayah sehingga perbedaan spasial dapat diamati secara visual. Wilayah dengan gradasi warna yang lebih gelap merepresentasikan tingkat kriminalitas yang relatif lebih tinggi, sedangkan warna yang lebih terang menunjukkan tingkat kriminalitas yang lebih rendah. Visualisasi ini berfungsi sebagai tahap eksplorasi awal untuk mengidentifikasi pola spasial, indikasi klaster, serta potensi ketergantungan spasial yang selanjutnya diuji secara statistik melalui analisis autokorelasi spasial dan pemodelan regresi spasial.

Gambar 1. Pemetaan Tingkat Kriminalitas di Indonesia tahun 2025

Peta persebaran persentase kriminalitas menunjukkan adanya variasi spasial yang cukup jelas antarprovinsi di Indonesia. Tingkat kriminalitas yang relatif tinggi tampak terkonsentrasi pada beberapa wilayah tertentu, terutama di kawasan Indonesia bagian timur, yang ditunjukkan oleh gradasi warna lebih gelap. Sebaliknya, sebagian besar provinsi di wilayah barat dan tengah Indonesia menunjukkan tingkat kriminalitas yang relatif lebih rendah dengan dominasi warna lebih terang. Pola ini mengindikasikan adanya ketimpangan spasial dalam distribusi kriminalitas antarwilayah serta memberikan indikasi awal terhadap kemungkinan adanya autokorelasi spasial positif, yang selanjutnya diuji secara statistik melalui analisis Moran’s I dan pemodelan regresi spasial.

4.3 Uji Autokorelasi Spasial

Uji autokorelasi spasial dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat keterkaitan atau kemiripan nilai tingkat kriminalitas antarprovinsi yang berdekatan secara geografis. Dua statistik utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Moran’s I dan Geary’s C, yang keduanya mengukur sejauh mana distribusi spasial suatu variabel membentuk pola tertentu (acak, mengelompok, atau menyebar).

4.3.1 Uji Global - Moran’s I dan Geary’s C

Tabel 2. Hasil Uji Autokorelasi Spasial

Statistik Uji Nilai Statistik Ekspektasi Variansi Z-Score p-value
Moran’s I 0.8415 −0.0357 0.0233 5.7429 4.653×10⁻⁹
Geary’s C 0.1381 1.0000 0.0387 4.3787 5.969×10⁻⁶

Interpretasi

Nilai Moran’s I sebesar 0.842 (p-value < 0.01) menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif yang sangat signifikan pada distribusi tingkat kriminalitas antarprovinsi. Hasil Geary’s C sebesar 0.138 (p-value < 0.01) memperkuat temuan tersebut dengan mengindikasikan pola pengelompokan spasial yang kuat pada skala lokal, di mana provinsi-provinsi yang bertetangga cenderung memiliki tingkat kriminalitas yang serupa. Dengan demikian, distribusi kriminalitas tidak bersifat acak secara spasial, sehingga penggunaan model ekonometrika spasial menjadi relevan dan diperlukan untuk menganalisis pengaruh faktor-faktor sosioekonomi terhadap tingkat kriminalitas antarwilayah.

4.3.2 Uji Lokal - Local Moran’s I (LISA)*

Setelah diperoleh hasil bahwa PDRB memiliki autokorelasi spasial global yang signifikan, analisis dilanjutkan dengan Local Indicators of Spatial Association (LISA) untuk mengidentifikasi pola spasial lokal. Analisis LISA berguna untuk mengetahui provinsi mana yang termasuk dalam kelompok High-High (HH), Low-Low (LL), High-Low (HL), dan Low-High (LH), berdasarkan nilai PDRB dan tetangga geografisnya.

Tabel 3. Klasifikasi Pola LISA

Kategori Deskripsi Interpretasi Spasial
High–High (HH) Provinsi dengan tingkat kriminalitas tinggi yang dikelilingi oleh provinsi dengan tingkat kriminalitas tinggi Klaster wilayah dengan intensitas kriminalitas tinggi
Low–Low (LL) Provinsi dengan tingkat kriminalitas rendah yang dikelilingi oleh provinsi dengan tingkat kriminalitas rendah Klaster wilayah dengan intensitas kriminalitas rendah
High–Low (HL) Provinsi dengan tingkat kriminalitas tinggi tetapi dikelilingi oleh provinsi dengan tingkat kriminalitas rendah Outlier kriminalitas tinggi
Low–High (LH) Provinsi dengan tingkat kriminalitas rendah tetapi dikelilingi oleh provinsi dengan tingkat kriminalitas tinggi Outlier kriminalitas rendah

Gambar 2. Peta Local Moran’s I

Gambar 2 menunjukkan adanya heterogenitas autokorelasi spasial lokal antarprovinsi di Indonesia. Nilai Local Moran’s I yang tinggi mengindikasikan terbentuknya klaster kriminalitas yang kuat, khususnya di kawasan Indonesia bagian timur, di mana tingkat kriminalitas suatu provinsi dipengaruhi secara signifikan oleh wilayah sekitarnya. Sebaliknya, nilai Local Moran’s I yang rendah atau mendekati nol menunjukkan lemahnya keterkaitan spasial lokal sehingga pola kriminalitas bersifat lebih independen. Temuan ini menegaskan bahwa efek spasial bersifat lokal dan tidak seragam, sehingga analisis kriminalitas antarprovinsi memerlukan pendekatan spasial dan tidak memadai jika hanya menggunakan model non-spasial.

4.4 Estimasi Model Ekonometrika

Analisis ini bertujuan untuk mengestimasi pengaruh faktor-faktor sosial dan ekonomi, khususnya jumlah penduduk miskin, tingkat pengangguran terbuka (TPT), indeks pembangunan manusia (IPM), dan ketimpangan pendapatan (Gini Ratio) terhadap tingkat kriminalitas antarprovinsi di Indonesia dengan mempertimbangkan adanya ketergantungan spasial antarwilayah. Untuk menangkap karakteristik spasial tersebut, analisis ini menggunakan beberapa pendekatan, yaitu model OLS sebagai pembanding awal, serta model ekonometrika spasial SAR (Spatial Autoregressive Model), SEM (Spatial Error Model), dan SDM (Spatial Durbin Model).

4.4.1 Permodelan OLS

Sebelum dilakukan analisis lebih lanjut, terlebih dahulu dilakukan serangkaian uji asumsi klasik untuk memastikan bahwa model regresi OLS memenuhi kriteria sebagai model yang layak. Berikut hasil uji asumsi yang dilakukan :

Tabel 4. Hasil Uji Asumsi Klasik

Uji Asumsi Hasil Keputusan & Kesimpulan
Normalitas Residual (Shapiro–Wilk) W = 0.6391; p-value = 6.464×10⁻⁸ Residual tidak normal
Homoskedastisitas (Breusch–Pagan) BP = 2.5687; p-value = 0.6324 Tidak terdapat heteroskedastisitas.
Multikolinearitas (VIF) Seluruh VIF < 10 Tidak terdapat multikolinearitas.

Pengujian asumsi klasik dilakukan menggunakan model ordinary least squares (OLS) sebagai model awal dan pembanding sebelum estimasi model ekonometrika spasial. Hasil uji Shapiro–Wilk menunjukkan bahwa residual OLS tidak berdistribusi normal. Namun, menurut Anselin (1988) dan LeSage dan Pace (2009), ketidaknormalan residual merupakan kondisi yang umum pada data spasial lintas wilayah dan tidak menjadi pelanggaran krusial ketika OLS hanya digunakan untuk tujuan diagnostik.

Uji Breusch–Pagan menunjukkan tidak adanya heteroskedastisitas, sedangkan uji Variance Inflation Factor (VIF) menunjukkan seluruh nilai berada di bawah batas konvensional. Dengan demikian, model OLS tidak mengalami permasalahan heteroskedastisitas maupun multikolinearitas yang serius. Oleh karena itu, hasil uji asumsi klasik ini tidak menghambat analisis lanjutan dan mendukung penggunaan model ekonometrika spasial sebagai spesifikasi utama.

Tabel 5. Estimasi Model OLS

Variabel Koefisien Std. Error t-value p-value
Intercept 572.7995 596.0410 0.961 0.345
X1 −0.0398 0.0402 −0.991 0.331
X2 −10.5616 35.7782 −0.295 0.770
X3 −2.3709 8.7417 −0.271 0.788
X4 −294.6991 804.7204 −0.366 0.717
Residual standard error: 219.20
Multiple R-squared: 0.0715
Adjusted R-squared: -0.0661
F-statistic: 0.5195, p-value: 0.7221

Hasil estimasi model OLS menunjukkan daya jelas yang rendah dengan nilai Multiple R-squared sebesar 0,071 serta seluruh variabel penjelas tidak signifikan secara statistik. Kondisi ini mengindikasikan bahwa variasi tingkat kriminalitas antar provinsi belum dapat dijelaskan secara memadai oleh model linier klasik. Menurut Anselin (1988), penerapan OLS pada data spasial yang mengandung ketergantungan antarwilayah dapat menghasilkan estimasi yang tidak efisien dan inferensi yang bias.

Selain itu, fenomena kriminalitas bersifat spasial karena kondisi sosial ekonomi suatu wilayah dapat memengaruhi wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu, pengabaian interaksi spasial berpotensi menutupi pengaruh sebenarnya dari variabel penjelas. Mengacu pada LeSage dan Pace (2009), penggunaan model ekonometrika spasial diperlukan untuk menangkap ketergantungan dan efek limpahan antarwilayah, sehingga menghasilkan estimasi yang lebih sesuai dengan karakteristik data kriminalitas.

Pengujian Asumsi Indepedensi Spasial

Menggunakan uji moran’s I pada residual model OLS diperoleh :

Statistik Uji Nilai Ekspektasi Varians p-value Keterangan
Moran’s I 0.8345 −0.0357 0.0235 6.706×10⁻⁹ Terdapat autokorelasi spasial positif yang signifikan pada residual OLS

Hasil uji Moran’s I menunjukkan nilai 0.8345 dengan p-value = 6.706 × 10⁻⁹, yang mengindikasikan adanya autokorelasi spasial positif yang signifikan pada residual model OLS. Hal ini menunjukkan bahwa asumsi independensi residual tidak terpenuhi, sehingga model OLS belum memadai dan analisis perlu dilanjutkan menggunakan model ekonometrika spasial.

4.1.2 Estimasi Model Ekonometrika

Adanya autokorelasi spasial pada residual OLS menunjukkan perlunya pemodelan spasial. Oleh karena itu, pengujian Lagrange Multiplier (LM) dilakukan untuk mengidentifikasi apakah dependensi yang dominan berada pada komponen lag maupun error, sehingga model global yang paling sesuai dapat ditentukan.

Table 6. Perbandingan model ekonometrika

Jenis Uji Statistik Uji p-value AIC Keputusan
LM Lag 33.016 9.14 × 10⁻⁹ 411.32 Tolak H₀
LM Error 40.073 2.45 × 10⁻¹⁰ 404.26 Tolak H₀
Robust LM (residual) 3.157 0.0756 410.81 Terima H₀

Tabel diatas menunjukkan hasil dari pengujian Lagrange Multiplier dan metrik evaluasi Akaike Information Criterion (AIC) dari berbagai model ekonometrika spasial. Dapat dilihat bahwa model Lag dan model Error merupakan model yang signifikan berdasarkan pengujian dengan nilai p-value yang kurang dari taraf signifikansi (5%). Disisi lain model Robust LM bukan model yang signifikan sehingga model ini dapat dieliminasi dari pilihan. Berdasarkan nilai Akaike Information Criterion, Model SEM memberikan spesifikasi yang paling baik, ditandai oleh nilai AIC yang terendah (404,26). Temuan ini menegaskan bahwa variasi kriminalitas lebih dipengaruhi faktor spasial laten daripada perbedaan karakteristik sosial ekonomi antarwilayah.

Tabel 7. Estimasi parameter model SEM

Variabel Koefisien (Estimate) Std. Error z-value p-value
Intercept 542.029 264.056 2.053 0.040
Jumlah Penduduk Miskin (ribu jiwa) -0.009 0.018 -0.538 0.591
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) -22.848 11.042 -2.069 0.039
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) -4.838 3.206 -1.509 0.131
Gini Ratio 355.517 338.924 1.049 0.294
Lambda 0,78818 2,44e-10
AIC : 404,26

Model Spatial Error Model (SEM) menunjukkan bahwa variasi criminal rate antar provinsi dipengaruhi oleh komponen galat. Berdasarkan hasil estimasi , Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) memiliki koefisien -22,85 dengan p-value 0,039 sehingga berpengaruh signifikan terhadap kriminalitas. Sementara itu, jumlah penduduk miskin, Indeks Pembangunan Manusia dan Gini Ratio tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan. Hasil mengindikasikan bahwa hanya TPT yang berkontribusi pada variasi wilayah, dan mungkin ada variabel lain yang signifikan namun tidak masuk ke dalam model. Kemudian juga ada nilai estimasi lambda sebesar 0,78818 dengan p value yang sangat kecil sehingga estimasi ini bernilai signifikan. Dengan ini diperoleh hasil model SEM

\[ Y = 542.03 - 0.009 X_1 - 22.848 X_2 - 4.838 X_3 + 355.517 X_4 + \varepsilon \]

dengan :

\[ \varepsilon = 0.788818 \, W \varepsilon + u \]

Nilai AIC sebesar 404,26 menunjukkan bahwa model SEM lebih baik secara interpretasi dibanding model ekonometrika lainnya. Selanjutnya dilakukan pengujian Moran’s I terhadap residual hasil model Spatial Error Model (SEM). Hal ini dilakukan untuk memeriksa apakah residual masih memiliki autokorelasi spasial dengan harapan bahwa residual bebas dari autokorelasi. 

Table 8. Moran’s I Rasidual Model SEM

Statistik Nilai
Moran’s I -0.166
Z-Statistic -0.721
P-value 0.765

Berdasarkan hasil uji Moran’s I terhadap residual model SEM diperoleh hasil sebesar -0,166 dengan p-value 0,765 yang lebih dari taraf signifikansi yang ditentukan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat autokorelasi spasial pada residual model SEM. Hal ini membuktikan bahwa model mampu menggambarkan pola spasial antar wilayah dengan baik, serta mengonfirmasi adanya pengaruh spasial yang signifikan pada kesalahan model regresi.

4.5 Permodelan Interpolasi

4.5.1 Pemeriksaan Asumsi Dasar Interpolasi Spasial

4.5.1.1 Stasioneritas Proses Spasial

Pengujian stasioneritas spasial dilakukan untuk memastikan bahwa rata-rata dan variansi proses spasial bersifat konstan pada seluruh wilayah pengamatan, sehingga metode interpolasi berbasis variogram, khususnya Ordinary Kriging, dapat diterapkan secara valid. Dalam penelitian ini, stasioneritas dievaluasi melalui analisis pola spasial residual model Spatial Error Model (SEM), karena residual mencerminkan komponen spasial yang tidak terjelaskan oleh variabel penjelas.

Visualisasi residual SEM disajikan dalam bentuk peta spasial dan spatial prediction plot untuk mengidentifikasi keberadaan pola sistematik, tren global, atau klaster residual yang dapat mengindikasikan pelanggaran asumsi stasioneritas.

Gambar 3. Peta Visualisasi Residual SEM

Berdasarkan hasil visualisasi, residual SEM menunjukkan penyebaran yang relatif acak antarprovinsi tanpa pola gradien spasial yang konsisten maupun kecenderungan nilai residual meningkat atau menurun secara sistematis dari satu arah ke arah lainnya. Tidak terlihat adanya klaster residual bernilai tinggi atau rendah yang terorganisasi secara spasial pada skala regional.

Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa komponen spasial yang tersisa setelah pemodelan SEM bersifat stasioner secara lemah, dengan rata-rata mendekati nol dan variansi yang relatif homogen antarwilayah. Dengan demikian, asumsi stasioneritas spasial dapat dianggap terpenuhi, sehingga penggunaan metode interpolasi spasial berbasis Ordinary Kriging pada residual SEM layak dan dapat dipertanggungjawabkan secara metodologis.

4.5.1.2 Keberadaan Tren Global

Uji tren global dilakukan untuk mengevaluasi apakah residual dari model Spatial Error Model (SEM) pada tingkat kriminalitas menunjukkan adanya kecenderungan sistematis mengikuti koordinat geografis. Pengujian ini bertujuan untuk memastikan terpenuhinya asumsi stasioneritas spasial, yang merupakan prasyarat penting dalam penerapan metode interpolasi spasial.

Tabel 8. Tabel Hasil Uji Tren Global Resudual SEM

F-Statistic p-value R-Squared Keputusan
1.901 0.167 0.116 Tidak terdapat tren global

Nilai F-statistic sebesar 1.901 dengan p-value 0.167 menunjukkan bahwa koordinat geografis secara simultan tidak berpengaruh signifikan terhadap residual model SEM tingkat kriminalitas. Nilai R-squared sebesar 0.116 mengindikasikan bahwa hanya sekitar 11.6% variasi residual yang dapat dijelaskan oleh faktor spasial global, sehingga kontribusinya relatif kecil. Dengan demikian, residual SEM tidak membentuk pola tren global yang sistematis dan dapat dianggap memenuhi asumsi stasioneritas spasial. Oleh karena itu, metode Kriging tanpa komponen tren global layak digunakan dalam proses interpolasi spasial residual kriminalitas.

4.5.1.2 Empirical dan Directional Variogram Residual SEM

Setelah dipastikan bahwa residual model Spatial Error Model (SEM) memenuhi asumsi stasioneritas spasial dan tidak menunjukkan adanya tren global, tahap selanjutnya adalah mengevaluasi struktur ketergantungan spasial residual melalui analisis variogram. Variogram empiris digunakan untuk mengidentifikasi pola variasi spasial berdasarkan jarak antar lokasi, sementara variogram berarah (directional variogram) digunakan untuk mendeteksi kemungkinan adanya anisotropi. Hasil visualisasi variogram ini menjadi dasar dalam menilai kekuatan sinyal spasial residual serta kelayakan penerapan metode Ordinary Kriging pada tahap interpolasi.

Gambar 4. Visualisasi Empirical Variogram

Berdasarkan visualisasi empirical variogram residual SEM, terlihat bahwa nilai semivarian relatif tinggi pada jarak yang sangat pendek dan tidak menunjukkan pola kenaikan yang monoton seiring bertambahnya jarak. Titik-titik semivarian cenderung berfluktuasi pada jarak menengah hingga panjang, serta tidak memperlihatkan adanya sill yang terbentuk secara jelas. Pola ini mengindikasikan bahwa struktur ketergantungan spasial yang tersisa pada residual bersifat lemah dan didominasi oleh variasi lokal atau nugget effect yang relatif besar.

Secara teknis, karakteristik variogram tersebut tidak merefleksikan pelanggaran terhadap asumsi stasioneritas global, melainkan menunjukkan lemahnya sinyal spasial pada data residual. Kondisi ini wajar terjadi pada data agregat antarprovinsi yang memiliki jumlah unit spasial terbatas serta jarak antar centroid yang besar dan tidak merata. Selain itu, lemahnya struktur spasial residual juga mencerminkan bahwa model SEM telah berhasil mengakomodasi sebagian besar ketergantungan spasial global pada tingkat kriminalitas. Dengan demikian, meskipun asumsi stasioneritas tidak dilanggar, daya prediktif metode Kriging terhadap residual diperkirakan bersifat terbatas dan lebih mencerminkan variasi lokal dibandingkan pola spasial yang kuat.

Gambar 4. Visualisasi Directional Variogram

Visualisasi directional variogram digunakan untuk mengevaluasi keberadaan anisotropi, yaitu kondisi ketika struktur ketergantungan spasial bergantung pada arah tertentu. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada arah 0°, nilai semivarian relatif rendah dan stabil tanpa lonjakan ekstrem, yang mengindikasikan struktur spasial yang lebih homogen. Sebaliknya, pada arah 45°, variabilitas semivarian meningkat, dengan beberapa nilai yang relatif besar pada jarak menengah. Pola fluktuasi yang lebih kuat juga terlihat pada arah 90°, di mana terdapat titik-titik semivarian dengan nilai yang sangat tinggi. Sementara itu, arah 135° menunjukkan pola yang lebih stabil dibandingkan arah 45° dan 90°.

Perbedaan pola semivarian antar arah tersebut mengindikasikan adanya anisotropi lemah hingga sedang, khususnya pada arah 45° dan 90° yang memperlihatkan tingkat variabilitas spasial yang lebih besar dibandingkan arah lainnya. Namun demikian, pola anisotropi yang muncul tidak bersifat konsisten maupun sistematis, serta tidak menunjukkan perbedaan range yang jelas dan stabil antar arah. Oleh karena itu, anisotropi yang teridentifikasi tidak tergolong kuat dan tidak mewajibkan pemodelan anisotropi secara eksplisit dalam tahap interpolasi. Dengan demikian, penggunaan Ordinary Kriging dengan asumsi isotropi masih dapat diterima secara metodologis dalam konteks penelitian ini.

4.5.2 Ordinary Kriging

4.5.2.1 Peta Prediksi Residual SEM

Peta prediksi hasil Ordinary Kriging menggambarkan distribusi spasial residual SEM tingkat kriminalitas pada wilayah yang tidak memiliki observasi langsung. Pola yang terbentuk menunjukkan variasi residual yang bersifat halus secara spasial, namun tanpa klaster yang sangat kuat dan konsisten. Hal ini sejalan dengan hasil variogram empiris yang mengindikasikan lemahnya sinyal spasial residual.

Gambar 5. Prediksi Residual SEM

Peta prediksi residual SEM hasil Ordinary Kriging menunjukkan variasi spasial yang relatif halus tanpa adanya pola pengelompokan yang kuat dan konsisten. Hasil ini sejalan dengan variogram empiris yang mengindikasikan lemahnya struktur spasial pada residual. Nilai residual positif menunjukkan wilayah dengan tingkat kriminalitas aktual yang lebih tinggi dibandingkan estimasi model SEM, sedangkan residual negatif menunjukkan tingkat kriminalitas yang lebih rendah dari estimasi. Secara keseluruhan, sebaran residual mencerminkan variasi lokal yang belum sepenuhnya dapat dijelaskan oleh variabel sosial ekonomi maupun efek spasial global dalam model SEM.

4.5.2.2 Peta Prediksi Varians

Gambar 6. Varians Prediksi

Peta varians prediksi hasil Ordinary Kriging menunjukkan tingkat ketidakpastian prediksi spasial yang bervariasi di seluruh wilayah kajian. Nilai varians yang lebih rendah umumnya terkonsentrasi di sekitar lokasi observasi, yang mencerminkan tingginya kepercayaan terhadap hasil prediksi pada area dengan kepadatan data yang relatif baik. Sebaliknya, peningkatan varians prediksi pada wilayah yang lebih jauh dari titik observasi mengindikasikan meningkatnya ketidakpastian akibat keterbatasan informasi spasial. Pola ini menegaskan bahwa tingkat keandalan hasil interpolasi sangat dipengaruhi oleh distribusi spasial data dan bukan oleh adanya struktur spasial yang kuat pada residual.

4.5.2.2 Visualisasi Hasil Prediksi

Gambar 7. Ordinary Kriging Residual SEM

Peta varians Ordinary Kriging memperlihatkan tingkat ketidakpastian prediksi yang tidak merata secara spasial, dengan nilai varians relatif rendah pada wilayah tengah yang berdekatan dengan lokasi titik observasi, serta varians yang meningkat tajam menuju bagian tepi wilayah, khususnya di sisi barat dan timur. Pola ini mencerminkan karakteristik dasar kriging, di mana ketidakpastian prediksi akan semakin besar pada area yang jauh dari titik sampel akibat berkurangnya informasi spasial yang tersedia. Tingginya varians pada wilayah pinggiran menunjukkan bahwa hasil prediksi residual SEM di area tersebut kurang andal dan harus diinterpretasikan dengan kehati-hatian, terutama untuk kepentingan inferensi spasial. Sebaliknya, area dengan varians rendah mengindikasikan prediksi yang relatif lebih stabil dan representatif, sehingga lebih layak dijadikan dasar untuk evaluasi pola deviasi model SEM secara spasial.

BAB 5 - KESIMPULAN dan SARAN

5.1 Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kriminalitas antarprovinsi di Indonesia memiliki ketergantungan spasial yang signifikan, sehingga regresi linear konvensional tidak memadai. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa Spatial Error Model (SEM) merupakan model terbaik, yang mengindikasikan adanya pengaruh faktor spasial tak teramati dalam menjelaskan variasi kriminalitas antarwilayah. Dari variabel sosial ekonomi yang dianalisis, hanya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat kriminalitas, sedangkan jumlah penduduk miskin, IPM, dan Gini Ratio tidak signifikan setelah efek spasial diperhitungkan.

Hasil interpolasi spasial menggunakan Ordinary Kriging terhadap residual SEM menunjukkan adanya variasi lokal yang belum sepenuhnya dijelaskan oleh model ekonometrika spasial. Pola interpolasi mengindikasikan perbedaan intensitas residual antarwilayah yang mencerminkan pengaruh faktor lokal spesifik di luar variabel penelitian. Peta varians kriging menunjukkan tingkat ketidakpastian yang lebih tinggi pada wilayah dengan jarak observasi yang relatif jauh, sehingga hasil prediksi pada area tersebut perlu diinterpretasikan secara hati-hati. Secara keseluruhan, kombinasi SEM dan interpolasi spasial mampu memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap pola kriminalitas, baik secara global maupun lokal.

5.3 Saran

Penelitian selanjutnya disarankan menggunakan unit analisis yang lebih rinci, seperti tingkat kabupaten/kota, agar variasi spasial lokal dapat ditangkap dengan lebih baik. Penambahan variabel kontekstual, seperti kepadatan penduduk, tingkat urbanisasi, dan indikator penegakan hukum, juga berpotensi meningkatkan kemampuan model dalam menjelaskan variasi kriminalitas. Selain itu, pengembangan analisis ke arah spatio-temporal dapat digunakan untuk mengkaji dinamika perubahan kriminalitas antarwilayah dari waktu ke waktu.

Daftar Pustaka

  1. Fajnzylber, P., Lederman, D., & Loayza, N. (2002). Inequality and violent crime. Journal of Law and Economics, 45(1), 1–39. https://doi.org/10.1086/338347 

  2. United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). (2023). Global Study on Homicide 2023: Chapter 3 Megatrends and Homicide (United Nations publication, Sales No. E.24.IV.5). Vienna, Austria: UNODC.

  3. Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Statistik Kriminal 2024. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

  4. Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Keadaan Ketenagakerjaan di Indonesia Februari/Agustus 2023. Jakarta: BPS. 

  5. Raphael, S., & Winter-Ebmer, R. (2001). Identifying the effect of unemployment on crime. Journal of Law and Economics, 44(1), 259–283. https://doi.org/10.1086/320275

  6. Bourguignon, F. (2001). Crime as a social cost of poverty and inequality. Review of Income and Wealth, 47(3), 389–405. https://doi.org/10.1111/1475-4991.00030 

  7. Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Profil Kemiskinan di Indonesia Maret/September 2023. Jakarta: BPS

  8. Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Indeks Pembangunan Manusia 2023.

  9. Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Rasio Gini September 2023.

  10. Andresen, M. A. (2014). The geography of crime: Patterns and processes. Journal of Criminal Justice, 42(3), 245–255. https://doi.org/10.1016/j.jcrimjus.2014.03.003 

  11. United Nations. (2015). Transforming our world: The 2030 Agenda for Sustainable Development. https://sdgs.un.org/2030agenda

  12. Shaw, C.R.; McKay, H.D. 1942. Juvenile Delinquency and Urban Areas. University of Chicago Press: Chicago, IL, USA.

  13. Becker, G.S. 1968. Crime and punishment: An economic approach. Journal of Political Economy, 76(2), 169–217. https://doi.org/10.1086/259394 

  14. Merton, R. K. 1938. Social Structure and Anomie. American Sociolyusufogical Review, 3(5), 672–682. 

Lampiran

Youtube Presentation

# ============================================================
# ANALISIS SPASIAL TINGKAT KRIMINALITAS ANTAR PROVINSI INDONESIA
# OLS – EKONOMETRIKA SPASIAL – ORDINARY KRIGING
# ============================================================

# =========================
# 1. SETUP ENVIRONMENT
# =========================
library(sf)
library(sp)
library(dplyr)
library(readxl)
library(spdep)
library(spatialreg)
library(car)
library(tmap)
library(leaflet)
library(DT)
library(ggplot2)
library(performance)
library(lmtest)
library(gstat)

setwd("/Users/ASUS/OneDrive/Dokumen/Metopen")

# =========================
# 2. INPUT DATA
# =========================
data <- read_excel("Data Metopen Trial.xlsx")

# =========================
# 3. MODEL OLS & UJI ASUMSI
# =========================
ols <- lm(
  `Kriminalitas Rate` ~ 
    `Jumlah Penduduk Miskin (Ribu Jiwa)` + TPT + IPM + `Gini Ratio`,
  data = data
)

summary(ols)
shapiro.test(residuals(ols))
bptest(ols)
vif(ols)
dwtest(ols)
resettest(ols)

# =========================
# 4. DATA SPASIAL
# =========================
shp <- st_read("gadm41_IDN_1.shp")

shp$NAME_1 <- tolower(shp$NAME_1)
data$Provinsi <- tolower(trimws(data$Provinsi))

shp_data <- shp %>%
  left_join(data, by = c("NAME_1" = "Provinsi")) %>%
  filter(complete.cases(
    `Kriminalitas Rate`,
    `Jumlah Penduduk Miskin (Ribu Jiwa)`,
    TPT, IPM, `Gini Ratio`
  ))

shp_data <- st_make_valid(shp_data)

# =========================
# 5. PETA DESKRIPTIF
# =========================
ggplot(shp_data) +
  geom_sf(aes(fill = `Kriminalitas Rate`), color = "white", size = 0.3) +
  scale_fill_distiller(palette = "YlOrRd") +
  theme_minimal() +
  labs(title = "Persebaran Tingkat Kriminalitas Antar Provinsi")

# =========================
# 6. AUTOKORELASI SPASIAL
# =========================
nb <- poly2nb(shp_data, queen = TRUE)
lw <- nb2listw(nb, style = "W", zero.policy = TRUE)

moran.test(shp_data$`Kriminalitas Rate`, lw, zero.policy = TRUE)
geary.test(shp_data$`Kriminalitas Rate`, lw, zero.policy = TRUE)

# =========================
# 7. MODEL EKONOMETRIKA SPASIAL
# =========================
sar <- lagsarlm(
  `Kriminalitas Rate` ~ 
    `Jumlah Penduduk Miskin (Ribu Jiwa)` + TPT + IPM + `Gini Ratio`,
  data = shp_data, listw = lw, zero.policy = TRUE
)

sem <- errorsarlm(
  `Kriminalitas Rate` ~ 
    `Jumlah Penduduk Miskin (Ribu Jiwa)` + TPT + IPM + `Gini Ratio`,
  data = shp_data, listw = lw, zero.policy = TRUE
)

sdm <- lagsarlm(
  `Kriminalitas Rate` ~ 
    `Jumlah Penduduk Miskin (Ribu Jiwa)` + TPT + IPM + `Gini Ratio`,
  data = shp_data, listw = lw, type = "mixed", zero.policy = TRUE
)

summary(sar)
summary(sem)
summary(sdm)

# =========================
# 8. DIAGNOSTIK RESIDUAL SEM
# =========================
shp_data$resid_sem <- residuals(sem)
moran.test(shp_data$resid_sem, lw, zero.policy = TRUE)

tm_shape(shp_data) +
  tm_polygons("resid_sem", palette = "-RdBu", title = "Residual SEM") +
  tm_layout(legend.outside = TRUE)

# =========================
# 9. UJI TREN GLOBAL
# =========================
coords <- st_coordinates(st_centroid(shp_data))
trend_test <- lm(shp_data$resid_sem ~ coords[,1] + coords[,2])
summary(trend_test)

# =========================
# 10. VARIOGRAM
# =========================
shp_sp <- as(st_centroid(shp_data), "Spatial")

vgm_emp <- variogram(resid_sem ~ 1, shp_sp)
plot(vgm_emp)

vgm_dir <- variogram(resid_sem ~ 1, shp_sp, alpha = c(0,45,90,135))
plot(vgm_dir)

# =========================
# 11. ORDINARY KRIGING
# =========================
vgm_model <- vgm(
  psill  = var(shp_sp$resid_sem),
  model  = "Sph",
  range  = max(vgm_emp$dist) * 0.5,
  nugget = 0
)

ok <- gstat(resid_sem ~ 1, data = shp_sp, model = vgm_model)

bbox <- st_bbox(shp_sp)

grid <- expand.grid(
  x = seq(bbox["xmin"], bbox["xmax"], length.out = 200),
  y = seq(bbox["ymin"], bbox["ymax"], length.out = 200)
)

coordinates(grid) <- ~x+y
proj4string(grid) <- proj4string(shp_sp)

kriged <- predict(ok, grid)
kr_df <- as.data.frame(kriged)

# =========================
# 12. VISUALISASI KRIGING
# =========================
coords_obs <- coordinates(shp_sp)
obs_df <- data.frame(x = coords_obs[,1], y = coords_obs[,2])

ggplot(kr_df, aes(x, y, fill = var1.pred)) +
  geom_raster(interpolate = TRUE) +
  geom_contour(aes(z = var1.pred), color = "white") +
  geom_point(data = obs_df, aes(x, y), size = 1.5) +
  coord_equal() +
  theme_minimal() +
  labs(title = "Ordinary Kriging – Prediksi Residual SEM",
       fill = "Residual̂")

ggplot(kr_df, aes(x, y, fill = var1.var)) +
  geom_raster(interpolate = TRUE) +
  geom_contour(aes(z = var1.var), color = "white") +
  geom_point(data = obs_df, aes(x, y), size = 1.5) +
  coord_equal() +
  theme_minimal() +
  labs(title = "Ordinary Kriging – Varians Prediksi",
       fill = "Varian")