Fernando Christian (140610230055)
Epidemiologi - S1 Statistika FMIPA Unpad
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular infeksi yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Penularannya sangat dipengaruhi oleh interaksi antara agen penyakit, manusia sebagai inang, serta kondisi lingkungan yang mendukung perkembangbiakan vektor tersebut. Penyakit ini hingga kini masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pada minggu ke-43 tahun 2024 dilaporkan terdapat 210.644 kasus dengan 1.239 kematian akibat DBD yang terjadi di 259 kabupaten/kota pada 32 provinsi di Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa DBD masih menjadi tantangan besar dalam upaya pengendalian penyakit menular di Indonesia.
Provinsi Jawa Tengah termasuk salah satu wilayah dengan risiko tinggi terhadap penyebaran DBD karena memiliki jumlah penduduk yang besar dan kepadatan yang tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Jawa Tengah merupakan provinsi terpadat kelima di Indonesia dengan tingkat kepadatan mencapai 1.113 jiwa per km². Kondisi ini diperparah oleh faktor lingkungan dan perilaku masyarakat yang dapat mendukung perkembangbiakan nyamuk penular dengue. Berdasarkan data Open Data Jabar, jumlah kasus DBD di Jawa Tengah mengalami peningkatan signifikan, yaitu dari 6.133 kasus pada tahun 2023 menjadi 17.028 kasus pada tahun 2024, atau terjadi peningkatan sekitar 277,65%. Lonjakan ini mengindikasikan bahwa penyakit DBD masih menjadi ancaman nyata bagi kesehatan masyarakat di Jawa Tengah.
Peningkatan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu 2023 hingga 2024 menunjukkan bahwa permasalahan penyakit ini tidak hanya bersifat medis, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor kependudukan dan lingkungan. Tingginya kepadatan penduduk di berbagai kabupaten/kota berpotensi meningkatkan intensitas kontak antara manusia dan vektor penular DBD. Kondisi ini dapat mempercepat proses penularan virus dengue, terutama di wilayah dengan permukiman padat dan sanitasi lingkungan yang kurang memadai.
Selain kepadatan penduduk, sanitasi lingkungan merupakan faktor penting dalam pengendalian DBD. Persentase rumah tangga dengan sanitasi layak mencerminkan kualitas lingkungan tempat tinggal masyarakat, termasuk ketersediaan sarana pembuangan limbah dan pengelolaan air bersih. Lingkungan dengan sanitasi yang kurang baik dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes, sehingga meningkatkan risiko penularan DBD. Oleh karena itu, perbedaan kondisi sanitasi antar kabupaten/kota di Jawa Tengah diduga turut memengaruhi variasi prevalensi kasus DBD.
Pendekatan analisis regresi panel dipandang tepat untuk mengkaji permasalahan ini karena mampu mengombinasikan dimensi waktu dan wilayah secara simultan. Dengan menggunakan data kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2023 dan 2024, analisis regresi panel memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi pengaruh kepadatan penduduk dan sanitasi terhadap prevalensi DBD secara lebih komprehensif. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris yang dapat dimanfaatkan sebagai dasar perumusan kebijakan pengendalian dan pencegahan DBD di tingkat daerah.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Penelitian ini bertujuan untuk:
Agar penelitian ini lebih terfokus, batasan penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:
Secara epidemiologis, muncul dan menyebarnya suatu penyakit menular dapat dijelaskan melalui model segitiga epidemiologi (epidemiologic triangle) yang terdiri dari tiga unsur utama, yaitu agen (agent) sebagai penyebab penyakit, inang (host) sebagai individu yang rentan terhadap infeksi, serta lingkungan (environment) yang berperan dalam mendukung proses penularan. Ketiga faktor tersebut saling berinteraksi dan berkontribusi dalam menentukan timbulnya serta luasnya penyebaran penyakit di suatu populasi.
Dalam konteks penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), hubungan antara agen, host, dan lingkungan dapat digambarkan secara konseptual melalui model segitiga epidemiologi DBD, sebagaimana ditunjukkan pada gambar berikut.

Agent : Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus dan famili Flaviviridae. Virus ini memiliki empat serotipe utama, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Penularan terjadi melalui gigitan nyamuk betina Aedes aegypti yang telah terinfeksi virus tersebut. Setelah mengalami masa inkubasi ekstrinsik selama sekitar 8–10 hari, nyamuk menjadi infektif dan mampu menularkan virus sepanjang sisa hidupnya. Infeksi virus dengue dapat menimbulkan berbagai gejala klinis, mulai dari demam ringan hingga dengue shock syndrome (DSS) yang berpotensi mengancam jiwa.
Host : Manusia merupakan inang utama bagi virus dengue. Tingkat kerentanan seseorang terhadap infeksi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti usia, jenis kelamin, status kekebalan tubuh, dan pola perilaku. Anak-anak dan remaja cenderung lebih mudah mengalami infeksi berat, sedangkan individu yang pernah terinfeksi oleh serotipe virus dengue lain berisiko mengalami infeksi sekunder yang lebih parah akibat mekanisme antibody-dependent enhancement. Selain itu, perilaku hidup seperti tidak menggunakan pelindung terhadap gigitan nyamuk, tidak menerapkan gerakan 3M Plus, serta rendahnya kesadaran menjaga kebersihan lingkungan, juga berkontribusi terhadap meningkatnya risiko penularan DBD.
Enviroment : Lingkungan memegang peranan penting dalam rantai penularan penyakit DBD. Nyamuk Aedes aegypti umumnya berkembang biak di wadah berisi air bersih, seperti bak mandi, vas bunga, kaleng, botol, maupun talang air yang tergenang. Kondisi iklim seperti suhu hangat antara 27–32°C, kelembapan tinggi, serta curah hujan yang meningkat, dapat mempercepat siklus hidup nyamuk dan meningkatkan kepadatan populasinya. Selain itu, faktor sosial dan lingkungan permukiman—termasuk kepadatan penduduk, proses urbanisasi, dan kurangnya upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN)—juga berkontribusi terhadap meningkatnya risiko penyebaran penyakit DBD.
Teori epidemiologi menyatakan bahwa kepadatan penduduk mempengaruhi transmisi penyakit melalui beberapa mekanisme.
Teori Kontak (Contact Theory) menjelaskan bahwa penularan penyakit bergantung pada frekuensi interaksi antar individu. Semakin tinggi kepadatan penduduk, semakin sering kontak terjadi, sehingga mempercepat penyebaran penyakit. Konsep ini diukur dengan angka reproduksi dasar (R₀) yang menentukan apakah suatu wabah akan menyebar atau mereda.
Teori Kepadatan-Kritikal (Critical Density Theory) menyatakan adanya ambang batas kepadatan penduduk. Di bawah ambang ini, penyakit sulit bertahan dan akan punah secara alami. Di atas ambang ini, transmisi menjadi berkelanjutan dan dapat memicu wabah. Ambang batas ini bervariasi tergantung karakteristik penyakit, vektor, dan populasi setempat.
Kedua teori ini menjelaskan mengapa daerah padat penduduk seperti perkotaan di Jawa Tengah lebih rentan terhadap penularan DBD, sekaligus memberikan dasar ilmiah untuk strategi pengendalian yang efektif.
Sanitasi lingkungan merupakan determinan penting dalam pengendalian vektor DBD. Kerangka teoritis berdasarkan Social-Ecological Model menjelaskan interaksi multi-level yang mempengaruhi efektivitas sanitasi dalam pencegahan DBD. Model ini mengidentifikasi berbagai sistem yang saling berhubungan, mulai dari level individu hingga level kebijakan yang lebih luas.
Pada level individu, sanitasi dipengaruhi oleh pengetahuan dan perilaku masyarakat. Level rumah tangga mencakup pengelolaan lingkungan sekitar rumah. Level komunitas melibatkan infrastruktur sanitasi publik dan norma sosial. Sedangkan level kebijakan menentukan standar dan regulasi sanitasi yang berlaku.
Implementasi sanitasi yang efektif memerlukan pendekatan terintegrasi yang mempertimbangkan interaksi antar level tersebut. Program sanitasi yang hanya berfokus pada satu level cenderung kurang optimal dalam mengendalikan perkembangbiakan vektor DBD.
Data panel merupakan gabungan antara data cross-section dan data time series, yaitu data yang mengamati beberapa unit individu (seperti individu, perusahaan, wilayah, atau negara) dalam beberapa periode waktu tertentu. Dengan menggunakan data panel, peneliti dapat mengamati dinamika perubahan suatu variabel baik antar individu maupun antar waktu.
Secara umum, struktur data panel dapat dinyatakan sebagai: - \(i = 1, 2, \dots, N\) menunjukkan unit individu - \(t = 1, 2, \dots, T\) menunjukkan periode waktu
Keunggulan data panel antara lain mampu mengurangi bias akibat variabel yang tidak teramati (unobserved heterogeneity), meningkatkan jumlah observasi sehingga efisiensi estimasi lebih tinggi, serta memungkinkan analisis dinamika perilaku antar waktu.
Regresi data panel merupakan metode analisis yang digunakan untuk memodelkan hubungan antara variabel dependen dengan satu atau lebih variabel independen menggunakan data panel. Model regresi panel secara umum dapat dituliskan sebagai:
\[ y_{it} = \alpha + \beta_1 x_{1it} + \beta_2 x_{2it} + \cdots + \beta_k x_{kit} + \varepsilon_{it} \]
dengan : - \(y_{it}\) : variabel dependen unit ke-\(i\) pada waktu ke-\(t\) - \(x_{kit}\) : variabel independen ke-\(k\) unit ke-\(i\) pada waktu ke-\(t\) - \(\alpha\) : konstanta - \(\beta_k\) : koefisien regresi - \(\varepsilon_{it}\) : error term
Terdapat tiga pendekatan utama dalam regresi data panel, yaitu Common Effect Model, Fixed Effect Model, dan Random Effect Model.
Common Effect Model, atau Pooled Least Squares, mengasumsikan bahwa data panel dapat diperlakukan seperti data gabungan tanpa memperhatikan perbedaan individu maupun waktu. Model ini mengasumsikan intercept dan slope yang sama untuk seluruh unit dan periode waktu.
Model CEM dirumuskan sebagai:
\[ y_{it} = \alpha + \beta_1 x_{1it} + \beta_2 x_{2it} + \cdots + \beta_k x_{kit} + \varepsilon_{it} \]
Pendekatan ini paling sederhana, namun kurang mampu menangkap heterogenitas antar individu.
Fixed Effect Model mengasumsikan adanya perbedaan karakteristik antar individu yang bersifat tetap (time-invariant) dan dapat memengaruhi variabel dependen. Perbedaan ini dimodelkan melalui perbedaan intercept untuk setiap individu.
Model FEM dapat dituliskan sebagai:
\[ y_{it} = \alpha_i + \beta_1 x_{1it} + \beta_2 x_{2it} + \cdots + \beta_k x_{kit} + \varepsilon_{it} \]
dengan \(\alpha_i\) merupakan intercept khusus untuk unit ke-\(i\).
Model ini efektif untuk mengontrol variabel laten yang tidak berubah sepanjang waktu namun berbeda antar individu.
Random Effect Model mengasumsikan bahwa perbedaan antar individu bersifat acak dan merupakan bagian dari error term. Intercept dinyatakan sebagai:
\[ \alpha_i = \alpha + u_i \]
sehingga model REM menjadi:
\[ y_{it} = \alpha + \beta_1 x_{1it} + \beta_2 x_{2it} + \cdots + \beta_k x_{kit} + u_i + \varepsilon_{it} \]
dengan : - \(u_i\) : error individu - \(\varepsilon_{it}\) : error idiosinkratik
REM lebih efisien dibanding FEM jika asumsi ketidakberkorelasi antara \(u_i\) dan variabel independen terpenuhi.
Pemilihan model terbaik dalam regresi data panel dilakukan melalui beberapa uji statistik, yaitu:
Uji Chow digunakan untuk memilih antara Common Effect Model dan Fixed Effect Model. Hipotesisnya adalah:
Jika nilai p-value < \(\alpha\), maka \(H_0\) ditolak dan FEM dipilih.
Uji Hausman digunakan untuk menentukan pilihan antara Fixed Effect Model dan Random Effect Model. Hipotesisnya:
Apabila p-value < \(\alpha\), maka \(H_0\) ditolak sehingga FEM lebih sesuai.
Uji Lagrange Multiplier digunakan untuk memilih antara Common Effect Model dan Random Effect Model. Jika hasil uji signifikan, maka Random Effect Model lebih tepat dibandingkan Common Effect Model.
Penelitian ini menggunakan pendekatan regresi panel, karena data kasus dan populasi dikumpulkan dalam dua periode (tahun 2023 dan 2024) dan terdiri dari beberapa objek peneltian (kabupaten/kota di jawa tengah). Desain ini cocok untuk menggambarkan distribusi penyakit berdasarkan waktu dan lokasi dengan menelusuri hubungan sebab-akibat.
Berbagai penelitian sebelumnya telah menegaskan pentingnya analisis spasial dalam memahami distribusi dan tingkat keparahan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia, khususnya melalui indikator prevalensi dan case fatality rate (CFR).
Faridah, L., Mindra Jaya, I. G. N., Putra, R. E., &
Fauziah, N. (2021). Spatial and temporal analysis
of hospitalized dengue patients in Bandung: demographics and
risk. Tropical Medicine and Health,
49(1), 63.
Studi ini menganalisis distribusi spasial dan temporal pasien DBD di
Kota Bandung dan menemukan bahwa kepadatan penduduk dan curah hujan
berkontribusi terhadap variasi prevalensi kasus. https://tropmedhealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s41182-021-00329-9
Shafira, A. D. (2019). Pemodelan Kasus DBD di
Provinsi Jawa Timur dengan Metode Data Panel.
Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian DBD
di beberapa kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur menggunakan regresi data
panel (2014–2017). Penelitian menguji model CEM, FEM, dan REM serta
menemukan bahwa model Fixed Effect paling tepat dengan variabel
berpengaruh seperti kemiskinan, kepadatan penduduk dan curah hujan. UNAIR
E-Journal+1
https://e-journal.unair.ac.id/JBK/article/view/13312
Boleng, O. A., Ginting, K. B., & Ariyanto, A. (2022).
Analisis Regresi Data Panel untuk Kasus Demam Berdarah Dengue di
Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Penelitian ini menentukan model regresi data panel yang tepat untuk
kasus DBD di Provinsi Nusa Tenggara Timur (2016–2020). Hasil menunjukkan
bahwa model Random Effect paling sesuai, dengan variabel kepadatan
penduduk dan curah hujan berpengaruh signifikan terhadap tingkat kasus
DBD. E-Journal
Undana+1
https://ejurnal.undana.ac.id/index.php/JD/article/view/8286
Danarwindu, G. A., & Fadhlurrahman, M. G. (2025).
Statistical Perspective of Dengue Hemorrhagic Fever in West Java:
Insights from Two-Way RE Model.
Penelitian ini menggunakan regresi panel dua arah untuk mengidentifikasi
pengaruh faktor sosial-demografis dan sanitasi terhadap kasus DBD di
West Java. Analisis menunjukkan model Random Effect dapat menangkap
variasi data panel secara efektif. Journal
Portal
https://journal.uii.ac.id/ENTHUSIASTIC/article/view/36203
Nurhamidah, R. (2023). Identifikasi Faktor yang
Berpengaruh terhadap Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota
Bandung Menggunakan Regresi Spasial Data Panel.
Penelitian ini mengaplikasikan regresi spasial data panel untuk
mengidentifikasi faktor-faktor risiko DBD di tingkat kecamatan, termasuk
kepadatan penduduk serta sanitasi wilayah, dengan pendekatan Fixed
Effect Model. Unpad
Repository
https://repository.unpad.ac.id/handle/kandaga/140610190051
Aristia, V. (2021). Analisis Regresi Spasial Data
Panel untuk Pemodelan Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kota
Depok.
Penelitian ini menerapkan model regresi spasial data panel dengan
pendekatan Spatial Autoregressive Fixed Effect Model untuk melihat
pengaruh faktor risiko seperti PHBS, jamban sehat dan kepadatan penduduk
terhadap IR (Incidence Rate) kasus DBD di Kota Depok (2015–2019). Unpad
Repository+1
https://repository.unpad.ac.id/handle/kandaga/140610170035
Data bersumber dari website resmi bps jawa tengah yang dapat diakses pada web https//:jateng.bps.go.id. Data terdiri dari tiga variabel yang bersifat kuantitatif dengan menggunakan data pada tahun 2023 dan 2024 yang terdiri dari 35 objek pengamatan. Tiga variebel merupakan indikator penyebaran penyakit demam berdarah dengue dan 35 objek pengamatan merupakan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Sebelum dihimpun, data dilakukan pra-pemrosesan terlebih dahulu terkait missing values. Berdasarkan hasil pra-pemrosesan data, tidak terdapat missing values sehingga data dapat diinput untuk dilakukan analisis lebih lanjut.
Dalam penelitian ini digunakan tiga variabel utama yang berkaitan dengan penyebaran kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2023 dan 2024.
Untuk memberikan penjelasan dan batasan untuk setiap variabel dibutuhkan definisi operasional variabel. Definisi operasional variabel berfungsi untuk memberikan batasan yang jelas mengenai makna setiap variabel yang digunakan dalam penelitian ini, sehingga pengukuran dapat dilakukan secara objektif dan konsisten. Adapun definisi operasional dari tiap variabel adalah sebagai berikut :
| Nama Variabel | Definisi | Satuan | Sumber Data |
|---|---|---|---|
| Kepadatan Penduduk | Variabel ini menunjukkan jumlah penduduk pada1 km^2 yang tercatat selama tahun 2023 dan 2024 di masing-masing kabupaten/kota. | Jiwa/km^2 | BPS Jawa Tengah |
| Persentase Rumah Tangga yang Mendapat Akses Sanitasi Layak | Variabel ini menunjukkan persentase rumah tangga yang mendapat akses sanitasi layak di setiap kabupaten/kota pada tahun 2023 dan 2024. | Persen (%) | BPS Jawa Tengah |
| Prevalensi DBD | Variabel ini menunjukkan jumlah kasus DBD per 100.000 penduduk di setiap kabupaten/kota pada tahun 2023 dan 2024. | Penderita/100.000 Penduduk | BPS Jawa Tengah |
Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan untuk melihat hubungan pengaruh kepadatan penduduk dan akses sanitasi terhadapat prevalensi DBD di tiap kabupaten/kota di Jawa Tengah pada tahun 2023 dan 2024. Metode yang digunakan adalah regresi panel.
Pada penelitian ini, alur kerja yang digunakan adalah sebagai berikut :
Data merupakan data sekunder yang dihimpun dari sumber BPS Jawa Tengah, untuk variabel yang dihimpun adalah nama kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, kepadatan penduduk di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2023 dan 2024, persentase rumah tangga yang mendapat akses sanitasi layak di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2023 dan 2024, dan prevalensi DBD di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2023 dan 2024.
Data dilakukan analisis awal untuk melihat apakah terdapat data hilang atau data duplikat. Setelah dilakukan pra-pemrosesan, tidak terdapat data hilang atau data duplikat.
Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui gambaran umum mengenai data penelitian. Dihitung statistik deskriptif dari data tersebut seperti mean, median, dan modus. Dilihat pula distibusi data dengan varians dan visualisasi sederhana dari data.
Tahap perhitungan dan analisis dilakukan dengan menghitung indikator epidemiologi berupa prevalensi DBD pada masing-masing kabupaten/kota dan periode pengamatan, yang selanjutnya digunakan sebagai variabel dependen dalam analisis regresi data panel. Analisis dilakukan untuk mengidentifikasi pengaruh kepadatan penduduk dan persentase rumah tangga dengan akses sanitasi layak terhadap prevalensi DBD menggunakan pendekatan regresi data panel, yang meliputi Common Effect Model, Fixed Effect Model, dan Random Effect Model. Pemilihan model terbaik dilakukan melalui uji Chow, uji Hausman, dan uji Lagrange Multiplier. Hasil estimasi model yang terpilih kemudian diinterpretasikan berdasarkan nilai koefisien regresi dan signifikansi statistik untuk memperoleh gambaran hubungan antar variabel serta implikasi epidemiologisnya.
Tahap akhir penelitian adalah penarikan kesimpulan berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan. Kesimpulan difokuskan pada faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap prevalensi DBD di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2023 dan 2024. Berdasarkan kesimpulan tersebut, disusun rekomendasi yang diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dan pihak terkait dalam upaya pengendalian dan pencegahan DBD, khususnya melalui pengelolaan kepadatan penduduk dan peningkatan akses sanitasi layak.
Bab ini menyajikan hasil analisis regresi panel untuk mengkaji pengaruh kepadatan penduduk dan sanitasi terhadap prevalensi kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2023–2024. Data yang digunakan merupakan data panel seimbang (balanced panel) yang terdiri dari 35 kabupaten/kota sebagai unit individu dan dua periode waktu, sehingga total observasi yang dianalisis sebanyak 70 observasi.
Pendekatan regresi panel dipilih untuk menangkap variasi antar wilayah dan antar waktu secara simultan, sehingga diharapkan mampu memberikan gambaran empiris yang lebih komprehensif dibandingkan analisis data cross-section atau time series semata.
Pemilihan model regresi panel dilakukan melalui Uji Hausman untuk menentukan apakah model Fixed Effects (FE) atau Random Effects (RE) yang lebih sesuai digunakan. Hasil Uji Hausman menunjukkan nilai statistik chi-square sebesar 8,8135 dengan nilai p-value sebesar 0,01219.
Nilai p-value yang lebih kecil dari tingkat signifikansi 5 persen (α = 0,05) menyebabkan hipotesis nol ditolak. Dengan demikian, model Random Effects dinyatakan tidak konsisten dan model yang lebih tepat digunakan adalah model Fixed Effects. Hasil ini mengindikasikan adanya korelasi antara efek individu (karakteristik spesifik kabupaten/kota) dengan variabel independen dalam model.
Model regresi panel dengan pendekatan Fixed Effects digunakan untuk mengestimasi pengaruh kepadatan penduduk dan sanitasi terhadap prevalensi kasus DBD. Ringkasan hasil estimasi model ditunjukkan sebagai berikut:
Model yang diestimasi dapat dituliskan secara matematis sebagai berikut:
\[ Prevalensi_{it} = \alpha_i + \beta_1 Kepadatan_{it} + \beta_2 Sanitasi_{it} + \varepsilon_{it} \]
Hasil estimasi koefisien menunjukkan bahwa variabel kepadatan penduduk dan sanitasi memiliki koefisien positif terhadap prevalensi kasus DBD.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa kepadatan penduduk memiliki koefisien sebesar 0,3399 dengan nilai p-value sebesar 0,0923. Nilai ini signifikan pada tingkat signifikansi 10 persen, namun tidak signifikan pada tingkat 5 persen.
Koefisien positif tersebut mengindikasikan bahwa peningkatan kepadatan penduduk cenderung diikuti oleh peningkatan prevalensi kasus DBD. Secara substantif, kondisi wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi berpotensi meningkatkan intensitas kontak antara manusia dan vektor penular DBD, sehingga memperbesar peluang terjadinya penularan virus dengue. Namun, tingkat signifikansi yang relatif lemah menunjukkan bahwa pengaruh kepadatan penduduk tidak bersifat dominan dan kemungkinan dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model.
Variabel sanitasi memiliki koefisien sebesar 3,9609 dengan nilai p-value sebesar 0,0244, yang berarti signifikan pada tingkat signifikansi 5 persen. Koefisien positif ini menunjukkan bahwa perubahan pada variabel sanitasi berkorelasi secara signifikan dengan prevalensi kasus DBD.
Hasil ini mengindikasikan bahwa perbedaan kondisi sanitasi antar kabupaten/kota berperan penting dalam menjelaskan variasi prevalensi DBD. Sanitasi yang kurang optimal dapat menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangbiakan nyamuk Aedes, seperti genangan air dan pengelolaan limbah yang tidak memadai, sehingga meningkatkan risiko penularan DBD.
Uji signifikansi simultan menunjukkan nilai statistik F sebesar 4,69166 dengan nilai p-value sebesar 0,0161. Nilai p-value yang lebih kecil dari 0,05 menunjukkan bahwa secara simultan variabel kepadatan penduduk dan sanitasi berpengaruh signifikan terhadap prevalensi kasus DBD di Provinsi Jawa Tengah.
Hasil ini menegaskan bahwa meskipun secara parsial kepadatan penduduk hanya signifikan pada tingkat 10 persen, kedua variabel secara bersama-sama memiliki kontribusi yang bermakna dalam menjelaskan variasi prevalensi DBD.
Nilai koefisien determinasi (R-squared) sebesar 0,22139 menunjukkan bahwa sekitar 22,14 persen variasi prevalensi kasus DBD dapat dijelaskan oleh variabel kepadatan penduduk dan sanitasi dalam model. Nilai Adjusted R-squared yang relatif rendah mencerminkan keterbatasan model dalam menangkap seluruh faktor yang memengaruhi prevalensi DBD.
Hal ini wajar mengingat penyebaran DBD dipengaruhi oleh berbagai faktor lain seperti curah hujan, suhu, kelembapan, mobilitas penduduk, serta faktor sosial ekonomi yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini.
Uji heteroskedastisitas menggunakan uji Breusch-Pagan menghasilkan nilai p-value sebesar 0,4254. Nilai ini lebih besar dari tingkat signifikansi 5 persen, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat indikasi heteroskedastisitas dalam model.
Dengan demikian, asumsi homoskedastisitas pada model regresi panel Fixed Effects terpenuhi, dan hasil estimasi koefisien dapat dianggap reliabel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi kasus DBD di Provinsi Jawa Tengah dipengaruhi oleh faktor kepadatan penduduk dan sanitasi, baik secara parsial maupun simultan. Temuan ini memperkuat pandangan bahwa permasalahan DBD tidak hanya bersifat medis, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi demografis dan lingkungan.
Signifikansi variabel sanitasi menunjukkan bahwa perbaikan kualitas lingkungan dan akses sanitasi layak memiliki peran strategis dalam upaya pengendalian DBD. Sementara itu, pengaruh kepadatan penduduk yang relatif lemah mengindikasikan bahwa tingginya jumlah penduduk perlu diimbangi dengan pengelolaan lingkungan dan perilaku hidup bersih untuk menekan risiko penularan DBD.
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menegaskan pentingnya pendekatan lintas sektor dalam pengendalian DBD, khususnya melalui kebijakan peningkatan kualitas sanitasi dan pengelolaan lingkungan di tingkat kabupaten/kota.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, antara lain periode pengamatan yang relatif pendek serta terbatasnya variabel independen yang digunakan. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya disarankan untuk memasukkan variabel iklim dan sosial ekonomi serta menggunakan rentang waktu yang lebih panjang guna memperoleh hasil yang lebih komprehensif.
Berdasarkan hasil analisis regresi data panel terhadap prevalensi Demam Berdarah Dengue (DBD) di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2023 dan 2024, dapat disimpulkan bahwa pendekatan regresi data panel dengan Fixed Effects Model merupakan model yang paling sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini. Pemilihan model tersebut didasarkan pada hasil uji Hausman yang menunjukkan adanya korelasi antara efek individu kabupaten/kota dengan variabel independen dalam model.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel kepadatan penduduk dan persentase rumah tangga dengan akses sanitasi layak belum berpengaruh secara signifikan terhadap prevalensi DBD pada periode pengamatan. Temuan ini mengindikasikan bahwa variasi prevalensi DBD antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah lebih dipengaruhi oleh faktor lain di luar variabel yang dianalisis, termasuk karakteristik wilayah yang bersifat tetap dan tidak teramati, serta faktor lingkungan dan perilaku masyarakat.
Selain itu, hasil uji diagnostik menunjukkan bahwa model regresi panel yang digunakan telah memenuhi asumsi homoskedastisitas, sehingga hasil estimasi dapat dianggap valid dan dapat diinterpretasikan secara statistik.
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, beberapa saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
Bagi Pemerintah Daerah, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan pengendalian DBD dengan pendekatan yang lebih spesifik wilayah. Kebijakan yang dirancang perlu mempertimbangkan karakteristik lokal masing-masing kabupaten/kota, serta mengintegrasikan faktor lingkungan, iklim, dan efektivitas program pengendalian vektor.
Bagi Penelitian Selanjutnya, disarankan untuk menambahkan variabel lain yang relevan, seperti curah hujan, suhu udara, kelembapan, kepadatan hunian, dan indikator perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), serta memperpanjang periode pengamatan agar variasi data antar waktu dapat ditangkap dengan lebih baik.
Dari Segi Metodologi, penelitian selanjutnya dapat mempertimbangkan penggunaan pendekatan regresi panel nonlinier, regresi panel spasial, atau model count data panel untuk menangkap karakteristik data kasus DBD yang bersifat spasial dan berbasis kejadian.
Dari Segi Data, peningkatan kualitas dan ketersediaan data kesehatan pada tingkat kabupaten/kota secara berkala sangat diperlukan agar analisis epidemiologi dapat dilakukan secara lebih komprehensif dan akurat.
Dengan adanya penelitian lanjutan dan pengembangan kebijakan berbasis data yang lebih komprehensif, diharapkan upaya pengendalian dan pencegahan DBD di Provinsi Jawa Tengah dapat dilakukan secara lebih efektif dan berkelanjutan.
Link Dashboard : https://fernando2612.shinyapps.io/Epidemiologi_Fernando/
Link YouTube : https://youtu.be/-ZQCkMffxtU