Ditujukan Untuk Memenuhi Nilai Mata Kuliah Epidemiologi TA. 2025/2026
Dosen Pengampu :
Dr. I Gede Nyoman Mindra Jaya, S. Si., M.Si.
Disusun Oleh :
Rahma Aulia Putri
140610230037
PROGRAM STUDI S1 STATISTIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
Stunting merupakan salah satu permasalahan gizi kronis yang masih menjadi isu kesehatan masyarakat utama di dunia. Stunting mencerminkan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi dalam jangka panjang, terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Anak yang mengalami stunting tidak hanya memiliki tinggi badan di bawah standar usianya, tetapi juga berisiko mengalami gangguan perkembangan kognitif, menurunnya produktivitas di masa dewasa, serta meningkatnya risiko penyakit tidak menular. Secara global, World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa sekitar 149 juta anak balita mengalami stunting pada tahun 2022 yang menunjukkan bahwa permasalahan ini masih jauh dari target penurunan yang ditetapkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) (WHO, 2024).
Di tingkat nasional, Indonesia termasuk dalam kelompok negara dengan beban stunting yang relatif tinggi di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi stunting nasional pada balita memang menunjukkan tren menurun dari 30,8% pada tahun 2018 menjadi 19,8% pada tahun 2024. Pemerintah Indonesia menargetkan penurunan prevalensi stunting hingga 14,2% pada tahun 2029, tetapi pencapaian target tersebut menghadapi tantangan besar akibat ketimpangan sosial ekonomi, kualitas sanitasi lingkungan, serta akses layanan kesehatan yang belum merata antarwilayah.
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia. Data SSGI 2024 menunjukkan bahwa prevalensi stunting di NTT masih berada pada kisaran 37%, jauh di atas rata-rata nasional, dengan peringkat kedua tertinggi setelah Papua Pegunungan. Kondisi ini menempatkan NTT sebagai wilayah prioritas dalam percepatan penurunan stunting. Tingginya angka stunting di NTT tidak terlepas dari berbagai faktor struktural, antara lain tingginya proporsi rumah tangga miskin, keterbatasan akses terhadap pangan bergizi, rendahnya tingkat pendidikan ibu, sanitasi lingkungan yang belum layak, serta keterbatasan fasilitas dan kualitas layanan kesehatan, terutama di wilayah pedesaan dan kepulauan.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa stunting bersifat multifaktorial, di mana faktor lingkungan, faktor ibu dan keluarga, serta faktor biologis anak saling berinteraksi. Kondisi sosial ekonomi yang rendah membatasi kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan bergizi, akses air bersih, sanitasi layak, serta layanan kesehatan ibu dan anak (Wand, H. dkk., 2024). Pendidikan ibu yang rendah juga terbukti berkaitan dengan kurang optimalnya praktik pengasuhan, pemenuhan gizi, dan pemanfaatan layanan kesehatan (Ainin, Q. dkk., 2023). Selain itu, keterbatasan fasilitas kesehatan di tingkat wilayah dapat menghambat upaya promotif dan preventif, seperti pemantauan pertumbuhan, edukasi gizi, dan pencegahan penyakit infeksi, yang berkontribusi langsung terhadap kejadian stunting (Munir, D. dkk., 2025).
Meskipun berbagai studi telah mengkaji faktor risiko stunting, masih diperlukan analisis kuantitatif yang komprehensif dan kontekstual untuk wilayah dengan beban stunting tinggi seperti Nusa Tenggara Timur. Pendekatan regresi berganda menjadi penting karena mampu mengidentifikasi pengaruh masing-masing faktor secara simultan, serta mengontrol variabel perancu yang mungkin terjadi. Dengan menggunakan data tahun 2024, analisis regresi berganda diharapkan dapat memberikan gambaran empiris mengenai faktor-faktor dominan yang memengaruhi stunting balita di Nusa Tenggara Timur, sehingga dapat menjadi dasar perumusan kebijakan dan intervensi yang lebih tepat sasaran dan berbasis bukti.
Berdasarkan latar belakang dan tuntutan analisis epidemiologi, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bagaimana gambaran kejadian stunting pada balita di Provinsi Nusa Tenggara Timur berdasarkan ukuran frekuensi epidemiologi dan distribusi wilayah kabupaten/kota?
Bagaimana karakteristik faktor agent, host, dan environment yang berkaitan dengan kejadian stunting pada balita di Provinsi Nusa Tenggara Timur?
Apakah terdapat variasi spasial kejadian stunting antar kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, serta bagaimana pola sebarannya secara geografis?
Faktor-faktor apa saja yang berhubungan secara signifikan dengan kejadian stunting pada balita di Provinsi Nusa Tenggara Timur?
Seberapa besar pengaruh masing-masing faktor signifiikan terhadap kejadian stunting pada balita di Provinsi Nusa Tenggara Timur?
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kejadian stunting pada balita di Provinsi Nusa Tenggara Timur menggunakan pendekatan epidemiologi dan pemodelan regresi berganda. Adapun tujuan khususnya adalah :
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang perlu diperhatikan dalam interpretasi hasil, yaitu :
Konsep Agent–Host–Environment (A-H-E), atau Trias Epidemiologi, merupakan fondasi penting dalam epidemiologi klasik untuk memahami dan mengendalikan penyakit menular. Teori ini menekankan bahwa timbulnya suatu penyakit bukan disebabkan oleh satu faktor tunggal, melainkan hasil dari interaksi dinamis dan ketidakseimbangan antara tiga komponen utama, yaitu agent, host, dan environment (Mulyani, H. dkk., 2017) Keseimbangan yang terganggu di antara ketiga elemen ini akan menciptakan kondisi yang mendukung penularan dan munculnya penyakit.
Agent adalah faktor yang keberadaannya menjadi penyebab timbulnya penyakit (Rwezaura, H. dkk., 2022). Dalam konteks stunting, agent tidak bersifat tunggal, melainkan berupa kondisi biologis yang secara langsung mengganggu proses pertumbuhan anak. Faktor agen utama yang berperan dalam kejadian stunting di antaranya adalah infeksi berulang dan environmental enteric dysfunction (EED).
Infeksi berulang pada anak, seperti diare, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), dan campak, merupakan faktor agen penting yang berkontribusi terhadap stunting. Infeksi ini dapat mengganggu penyerapan zat gizi, meningkatkan kebutuhan energi tubuh, serta melemahkan sistem imun anak. Kondisi tersebut menyebabkan zat gizi yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan dialihkan untuk melawan infeksi, sehingga meningkatkan risiko terjadinya stunting, terutama pada anak dengan asupan gizi yang tidak adekuat (Lestari et al., 2025).
Selain itu, environmental enteric dysfunction (EED) merupakan kondisi peradangan usus subklinis yang terjadi akibat paparan patogen lingkungan secara kronis, terutama pada wilayah dengan sanitasi yang buruk. EED ditandai dengan gangguan integritas dinding usus dan penurunan kemampuan absorpsi zat gizi. Kondisi ini menyebabkan kegagalan pertumbuhan linear meskipun asupan makanan relatif mencukupi, sehingga EED dipandang sebagai salah satu mekanisme biologis penting yang menghubungkan faktor lingkungan dengan kejadian stunting (Budge et al., 2019).
Host adalah individu atau populasi yang rentan terhadap infeksi, dipengaruhi oleh faktor biologis, perilaku, dan status imun (Khan, M.A & Fatmawati, 2021). Host dalam kejadian stunting adalah balita, yaitu anak usia di bawah lima tahun yang berada pada periode kritis pertumbuhan dan perkembangan. Balita termasuk dalam kelompok usia yang sangat rawan mengalami gangguan gizi dan masalah kesehatan karena sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang optimal, serta kebutuhan nutrisi yang tinggi untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya. Kekurangan zat gizi penting seperti energi, protein, vitamin, dan mineral dapat menyebabkan gizi buruk dan menurunkan imunitas sehingga balita menjadi lebih mudah terserang penyakit (Anggraeni dkk., 2025).
Environment adalah faktor eksternal yang memengaruhi interaksi antara agent dan host, baik berupa fisik, biologis, maupun sosial-ekonomi (Ramadona, A., 2016). Faktor lingkungan yang relevan terhadap stunting pada balita antara lain :
Rumah Tangga Miskin
Kondisi sosial ekonomi yang rendah membatasi kemampuan rumah tangga dalam menyediakan pangan bergizi bagi anak, sehingga meningkatkan risiko kekurangan asupan nutrisi yang berkelanjutan. Selain itu, kemiskinan juga membatasi akses keluarga terhadap air bersih dan sanitasi yang layak, yang dapat meningkatkan risiko penyakit infeksi dan malnutrisi pada balita. Rumah tangga miskin juga cenderung mengalami keterbatasan dalam mengakses layanan kesehatan serta perawatan ibu dan anak. Kondisi ini secara tidak langsung berkontribusi terhadap kejadian stunting melalui jalur kekurangan gizi dan peningkatan paparan penyakit infeksi (Wand et al., 2024).
Pendidikan Ibu Rendah
Tingkat pendidikan ibu merupakan faktor lingkungan sosial yang berperan penting dalam kejadian stunting. Ibu dengan pendidikan rendah memiliki keterbatasan dalam menerima dan memahami informasi terkait gizi, pola asuh, serta pemanfaatan layanan kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa ibu dengan tingkat pendidikan rendah memiliki risiko 4,429 kali lebih besar memiliki balita stunting dibandingkan ibu berpendidikan tinggi. Rendahnya pendidikan ibu berdampak pada praktik pengasuhan yang kurang optimal dan pemenuhan gizi anak yang tidak adekuat, sehingga meningkatkan risiko terjadinya stunting (Ainin dkk., 2023).
Sanitasi Lingkungan Tidak Sehat
Sanitasi lingkungan yang tidak sehat merupakan faktor lingkungan yang berhubungan signifikan dengan kejadian stunting pada balita. Balita yang tinggal di lingkungan dengan sanitasi tidak sehat memiliki risiko sekitar 4,5 kali lebih besar mengalami stunting dibandingkan balita yang tinggal di lingkungan dengan sanitasi sehat. Kondisi sanitasi yang buruk meningkatkan paparan patogen penyebab penyakit infeksi, terutama penyakit diare, yang berdampak pada terganggunya proses penyerapan zat gizi dan memicu terjadinya malnutrisi kronis pada balita (Ainin dkk., 2023).
Fasilitas Kesehatan Terbatas
Ketersediaan dan kualitas fasilitas kesehatan di tingkat wilayah berperan penting dalam pencegahan stunting. Hal ini karena wilayah dengan fasilitas kesehatan yang terbatas, yang tercermin dari Puskesmas yang belum terakreditasi, berpotensi menghambat upaya promotif dan preventif seperti pemantauan pertumbuhan, edukasi gizi, serta pencegahan dan penanganan penyakit infeksi. Penelitian menunjukkan bahwa keberadaan Puskesmas terakreditasi secara signifikan menurunkan peluang stunting pada balita (OR = 0,32), sehingga keterbatasan fasilitas kesehatan meningkatkan risiko terjadinya stunting (Munir dkk., 2025).
Kejadian stunting merupakan hasil dari interaksi kompleks antara agent, host, dan environment. Kondisi lingkungan yang kurang mendukung, seperti kemiskinan, sanitasi tidak sehat, dan keterbatasan fasilitas kesehatan, meningkatkan paparan balita terhadap agen biologis berupa patogen/bakteri/virus yang menyebabkan infeksi maupun environmental enteric dysfunction. Agen-agen tersebut kemudian memengaruhi balita sebagai host melalui gangguan penyerapan zat gizi, peningkatan kebutuhan metabolik, serta penurunan status kesehatan secara umum.
Interaksi yang tidak seimbang antara ketiga komponen ini dalam jangka panjang akan menyebabkan gangguan pertumbuhan linear pada balita dan meningkatkan prevalensi stunting, terutama di wilayah dengan beban sosial ekonomi yang tinggi dan akses layanan kesehatan yang terbatas (Wand dkk., 2024; Ainin dkk., 2023; Budge dkk., 2019; Munir dkk., 2025).
Ukuran epidemiologi merupakan indikator penting dalam kajian kesehatan masyarakat untuk menggambarkan besarnya masalah kesehatan, pola penyebaran penyakit, serta hubungan antara faktor risiko dan kejadian penyakit dalam suatu populasi (Friis & Sellers, 2020). Dalam analisis stunting, ukuran epidemiologi membantu memahami tingkat keparahan masalah dan menjadi dasar perencanaan intervensi kesehatan.
Ukuran frekuensi digunakan untuk menggambarkan seberapa besar dan seberapa luas suatu masalah kesehatan terjadi dalam populasi. Salah satu ukuran frekuensi adalah prevalensi. Prevalensi merupakan proporsi individu dalam suatu populasi yang mengalami suatu kondisi atau penyakit pada waktu tertentu, baik kasus lama maupun kasus baru. Dalam konteks stunting, prevalensi menggambarkan proporsi balita yang mengalami stunting pada periode pengamatan tertentu, dirumuskan dengan :
\[ \text{Prevalensi} = \frac{\text{Jumlah balita stunting (kasus baru dan lama)}}{\text{Jumlah balita pada periode tertentu}} \times 100\% \]
Dalam ukuran frekuensi, terdapat ukuran-ukuran lainnya yang dapat digunakan, di antaranya adalah :
Prevalensi
Prevalensi adalah proporsi individu dalam suatu populasi yang menderita penyakit tertentu pada waktu tertentu, baik kasus lama maupun baru.
\[ \text{Prevalensi} = \frac{\text{Jumlah seluruh kasus baru dan lama}}{\text{Jumlah penduduk pada periode tertentu}} \times 100\% \]
Insidensi
Insidensi adalah proporsi kasus baru suatu penyakit yang muncul dalam populasi berisiko selama periode waktu tertentu.
\[ \text{Insidensi} = \frac{\text{Jumlah kasus baru dalam periode tertentu}}{\text{Jumlah penduduk berisiko}} \times 100\% \]
Case Fatality Rate (CFR)
Case Fatality Rate (CFR) merupakan proporsi individu yang meninggal akibat penyakit tertentu dibandingkan dengan jumlah seluruh kasus penyakit tersebut.
\[ \text{CFR} = \frac{\text{Jumlah kematian akibat penyakit}}{\text{Jumlah kasus penyakit}} \times 100\% \]
Attack Rate
Attack Rate digunakan untuk menggambarkan proporsi individu yang terserang penyakit selama periode wabah atau kejadian luar biasa dalam waktu singkat.
\[ \text{Attack Rate} = \frac{\text{Jumlah kasus baru selama wabah}}{\text{Jumlah populasi berisiko}} \times 100\% \]
Ukuran asosiasi digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan antara faktor risiko spesifik dengan kejadian suatu penyakit. Ukuran yang umum digunakan antara lain Relative Risk (RR), Odds Ratio (OR), dan Attributable Risk (AR). Variabel yang digunakan dalam perhitungan ukuran asosiasi adalah sebagai berikut :
| Simbol | Keterangan |
|---|---|
| a | Jumlah kasus pada kelompok terpapar |
| b | Jumlah tidak sakit pada kelompok terpapar |
| c | Jumlah kasus pada kelompok tidak terpapar |
| d | Jumlah tidak sakit pada kelompok tidak terpapar |
| a + b | Total terpapar |
| c + d | Total tidak terpapar |
Relative Risk (RR)
Relative Risk (RR) merupakan perbandingan risiko penyakit antara
kelompok yang terpapar dan kelompok yang tidak terpapar. RR hanya dapat
dihitung pada studi kohort.
Nilai RR > 1 menunjukkan bahwa paparan meningkatkan risiko penyakit,
sedangkan RR < 1 berarti paparan bersifat protektif.
\[ \text{RR} = \frac{a / (a+b)}{c / (c+d)} \]
Odds Ratio (OR)
Odds Ratio (OR) adalah perbandingan peluang terjadinya penyakit antara kelompok terpapar dan tidak terpapar. Ukuran ini sering digunakan pada studi kasus-kontrol. Nilai OR > 1 menunjukkan peluang penyakit lebih besar pada kelompok terpapar.
\[ \text{OR} = \frac{a/b}{c/d} = \frac{ad}{bc} \]
Attributable Risk (AR) / Risk Difference (RD)
Attributable Risk (AR) menunjukkan selisih risiko penyakit antara kelompok terpapar dan tidak terpapar. Ukuran ini menggambarkan beban absolut risiko yang diatribusikan pada paparan.
\[ \text{AR} = \frac{a}{a+b} - \frac{c}{c+d} \]
Desain studi epidemiologi merupakan rancangan sistematis yang digunakan untuk menyelidiki hubungan antara faktor risiko dan kejadian penyakit dalam populasi. Pemilihan desain studi yang tepat menentukan validitas hasil penelitian dan kekuatan kesimpulan yang dapat ditarik. Secara umum, desain studi epidemiologi dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu studi observasional dan studi eksperimental (Friis & Sellers, 2020; CDC, 2024).
Pada studi observasional, peneliti tidak memberikan intervensi dan hanya mengamati hubungan antara paparan (exposure) dan kejadian penyakit (outcome).
Studi Cross-Sectional
Studi cross-sectional (potong lintang) menilai paparan dan penyakit secara bersamaan pada satu titik waktu tertentu. Tujuannya untuk memperkirakan prevalensi penyakit atau faktor risiko dalam populasi.
Kelebihan utama studi ini adalah cepat, relatif murah, dan cocok untuk menggambarkan situasi kesehatan masyarakat saat ini. Namun, kelemahannya adalah tidak dapat menentukan hubungan sebab-akibat karena tidak diketahui urutan waktu antara paparan dan penyakit.
Studi Case-Control
Studi case-control adalah studi yang membandingkan individu yang menderita penyakit (kasus) dengan individu yang tidak sakit (kontrol) untuk menilai apakah ada perbedaan dalam riwayat paparan. Studi ini efisien untuk penyakit langka dan dapat menilai banyak faktor risiko sekaligus. Kelemahannya adalah rentan terhadap recall bias dan tidak dapat menghitung insidensi langsung.
Studi Kohort
Studi cohort melibatkan pengamatan terhadap sekelompok individu berdasarkan status paparannya dan diikuti dalam waktu tertentu untuk melihat apakah mereka mengembangkan penyakit. Studi ini dapat bersifat prospektif (ke depan) atau retrospektif (ke belakang). Kelebihan utamanya adalah dapat menentukan insidensi dan hubungan sebab-akibat, sedangkan kelemahannya adalah memerlukan waktu lama dan biaya besar.
Studi eksperimental dilakukan dengan memberikan intervensi tertentu kepada kelompok subjek untuk menilai efeknya terhadap kejadian penyakit. Contoh utama adalah Randomized Controlled Trial (RCT), di mana subjek secara acak dibagi menjadi kelompok perlakuan dan kontrol. Desain ini memiliki validitas kausalitas paling tinggi tetapi memerlukan biaya besar dan pertimbangan etika yang ketat.
Penelitian ini menggunakan desain studi observasional dengan pendekatan cross-sectional (potong lintang). Pada desain ini, pengukuran variabel paparan dan variabel kejadian dilakukan secara bersamaan pada satu periode waktu tertentu. Desain cross-sectional dipilih karena penelitian memanfaatkan data sekunder tahun 2024 dan bertujuan untuk menggambarkan distribusi serta hubungan antara faktor risiko dengan kejadian stunting pada balita di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Populasi penelitian mencakup seluruh kabupaten/kota yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2024. Penelitian ini tidak menggunakan teknik sampling karena seluruh unit wilayah yang tersedia dalam data BPS dianalisis (total sampling).
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang digunakan merupakan data agregat tingkat kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2024. Jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif berbentuk numerik, baik dalam satuan jumlah absolut, persentase, maupun rasio.
Variabel penelitian dibagi menjadi variabel dependen dan variabel independen sebagai berikut.
| Kode Variabel | Nama Variabel | Deskripsi | Satuan | Skala |
|---|---|---|---|---|
| Y | Prevalensi Stunting (%) | Persentase balita dengan status tinggi badan menurut umur (TB/U) di bawah -2 standar deviasi berdasarkan standar WHO masing-masing kabupaten/kota tahun 2024. | Persen (%) | Rasio |
Prevalensi stunting, yang menjadi variabel dependen dalam analisis ini, diperoleh dengan menggunakan data berikut :
| Nama Variabel | Deskripsi | Satuan | Skala |
|---|---|---|---|
| Jumlah Balita | Jumlah total balita (usia 0–59 bulan) di masing-masing kabupaten/kota pada tahun 2024 | Jiwa | Rasio |
| Jumlah Balita Stunting | Jumlah balita (usia 0–59 bulan) yang mengalami stunting di masing-masing kabupaten/kota pada tahun 2024 | Jiwa | Rasio |
Variabel independen merepresentasikan faktor agent, host, dan environment yang diasumsikan berhubungan dengan kejadian stunting.
| Kode Variabel | Nama Variabel | Deskripsi | Satuan | Skala |
|---|---|---|---|---|
| X1 | Kemiskinan (%) | Persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di masing-masing kabupaten/kota tahun 2024 | Persen (%) | Rasio |
| X2 | Sanitasi Layak (%) | Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak di masing-masing kabupaten/kota tahun 2024 | Persen (%) | Rasio |
| X3 | Air Minum Layak (%) | Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak di masing-masing kabupaten/kota tahun 2024 | Persen (%) | Rasio |
| X4 | Kepemilikan Jamban (%) | Persentase rumah tangga yang memiliki fasilitas tempat buang air besar sendiri di masing-masing kabupaten/kota tahun 2024 | Persen (%) | Rasio |
| X5 | Rata-Rata Lama Sekolah Perempuan | Rata-rata lama sekolah penduduk perempuan usia ≥15 tahun di masing-masing kabupaten/kota tahun 2024 | Tahun | Rasio |
| X6 | Jumlah Kasus Diare | Jumlah kasus diare yang dilaporkan di masing-masing kabupaten/kota tahun 2024 | Kasus | Rasio |
| X7 | Jumlah Kasus Malaria | Jumlah kasus malaria yang dilaporkan di masing-masing kabupaten/kota tahun 2024 | Kasus | Rasio |
| X8 | Kepadatan Penduduk | Jumlah penduduk per kilometer persegi di masing-masing kabupaten/kota tahun 2024 | Jiwa/km² | Rasio |
| X9 | Jumlah Rumah Sakit | Jumlah rumah sakit yang tersedia di masing-masing kabupaten/kota tahun 2024 | Unit | Rasio |
| X10 | Jumlah Puskesmas | Jumlah puskesmas yang tersedia di masing-masing kabupaten/kota tahun 2024 | Unit | Rasio |
| X11 | Konsumsi Protein per Kapita | Rata-rata konsumsi protein per kapita per hari di masing-masing kabupaten/kota tahun 2024 | Gram/orang/hari | Rasio |
| X12 | Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) | Nilai PDRB atas dasar harga berlaku di masing-masing kabupaten/kota tahun 2024 | Rupiah | Rasio |
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap untuk menggambarkan kejadian stunting balita di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2024 serta mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengannya. Tahapan analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut.
Deskripsi Kasus dan Proses Penyakit Stunting
Identifikasi kasus stunting menggunakan pendekatan Agent–Host–Environment (A-H-E). Deskripsi ini bertujuan untuk memberikan gambaran konseptual mengenai proses terjadinya stunting dan hubungan antar faktor risiko yang relevan dalam konteks Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Statistika Deskriptif
Analisis statistika deskriptif dilakukan untuk menggambarkan karakteristik data pada masing-masing variabel penelitian. Statistika ringkasan yang digunakan meliputi nilai minimum, maksimum, rata-rata, median, dan simpangan baku. Selain itu, visualisasi data juga dilakukan dalam bentuk histogram, boxplot, dan peta sebaran. Statistika deskriptif diterapkan pada seluruh variabel independen, serta pada variabel jumlah balita dan jumlah balita stunting sebagai data pembentuk variabel dependen.
Perhitungan Prevalensi Stunting
Prevalensi stunting dihitung sebagai variabel dependen dengan menggunakan data jumlah balita dan jumlah balita stunting di masing-masing kabupaten/kota tahun 2024. Perhitungan prevalensi dilakukan dengan rumus :
\[ \text{Prevalensi} = \frac{\text{Jumlah balita stunting (kasus baru dan lama)}}{\text{Jumlah balita pada periode tertentu}} \times 100\% \]
Setelah prevalensi stunting diperoleh, dilakukan analisis statistika deskriptif terhadap variabel prevalensi tersebut, meliputi statistika ringkasan, histogram, boxplot, serta peta sebaran prevalensi stunting antar kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Analisis Korelasi Spasial
Analisis korelasi spasial dilakukan untuk mengidentifikasi apakah terdapat pola spasial atau keterkaitan antarwilayah dalam kejadian stunting. Tahap ini bertujuan untuk mengetahui apakah prevalensi stunting di suatu kabupaten/kota dipengaruhi oleh kondisi wilayah sekitarnya, atau terjadi pengelompokan (cluster) secara geografis. Hasil analisis ini digunakan sebagai dasar untuk menilai keberadaan fenomena spasial sebelum dilakukan pemodelan regresi.
Pemodelan
Pemodelan diawali dengan regresi linear berganda menggunakan metode Ordinary Least Squares (OLS) untuk menganalisis pengaruh simultan faktor-faktor risiko terhadap prevalensi stunting. Selanjutnya dilakukan evaluasi independensi residual untuk menilai adanya ketergantungan spasial. Apabila residual bersifat independen, maka model OLS digunakan sebagai model akhir, sedangkan jika residual menunjukkan ketergantungan spasial, analisis dilanjutkan menggunakan regresi spasial agar estimasi parameter lebih akurat dan sesuai dengan karakteristik data wilayah.
Untuk menjelaskan tahapan analisis dengan lebih baik, berikut adalah alur penelitian yang digunakan dalam analisis ini :
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada balita yang ditandai dengan panjang atau tinggi badan menurut umur berada di bawah standar pertumbuhan anak. Berbeda dengan penyakit menular akut, stunting berkembang secara bertahap sebagai akibat dari kekurangan gizi kronis yang terjadi dalam jangka panjang, terutama pada periode awal kehidupan anak. Kondisi ini muncul dari interaksi kompleks antara faktor biologis anak, paparan penyakit, serta lingkungan sosial dan ekonomi tempat anak tumbuh. Untuk memahami lebih lanjut, berikut adalah diagram faktor resiko stunting yang didasari literatur pada BAB II :
Dalam kerangka epidemiologi Agent–Host–Environment (A-H-E), stunting tidak disebabkan secara langsung oleh satu agent tunggal. Agent dalam konteks stunting berupa berbagai patogen lingkungan, seperti bakteri, virus, dan parasit, yang memicu infeksi berulang pada anak. Infeksi seperti diare, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), dan campak meningkatkan kebutuhan energi tubuh, menurunkan nafsu makan, serta mengganggu penyerapan zat gizi pada balita. Selain itu, paparan patogen secara kronis, terutama pada lingkungan dengan sanitasi buruk, dapat menyebabkan environmental enteric dysfunction (EED), yaitu peradangan usus subklinis yang menghambat kemampuan usus dalam menyerap zat gizi secara optimal.
Balita sebagai host berada pada fase pertumbuhan yang sangat cepat dengan kebutuhan gizi yang tinggi dan sistem imun yang belum berkembang sempurna. Kondisi ini menjadikan balita sangat rentan terhadap dampak infeksi berulang dan EED. Pada balita dengan sistem imun yang lemah, zat gizi yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan linear justru dialihkan untuk proses pemulihan dari infeksi. Dalam jangka panjang, kondisi ini menyebabkan gangguan pertumbuhan yang menetap dan berujung pada stunting, terutama apabila asupan gizi tidak mencukupi.
Selain faktor biologis, stunting juga sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sosial dan ekonomi keluarga. Kekurangan asupan gizi pada balita sering kali bukan disebabkan oleh ketidaktahuan semata, tetapi juga oleh keterbatasan kemampuan ekonomi orang tua dalam menyediakan pangan bergizi secara berkelanjutan. Rumah tangga miskin cenderung menghadapi keterbatasan akses terhadap pangan berkualitas, air minum layak, sanitasi sehat, serta layanan kesehatan ibu dan anak. Kondisi ini meningkatkan risiko terjadinya malnutrisi dan paparan penyakit infeksi secara simultan.
Tingkat pendidikan ibu juga berperan penting dalam proses terjadinya stunting. Ibu dengan pendidikan rendah memiliki keterbatasan dalam menerima dan memahami informasi terkait gizi anak, pola asuh, serta pemanfaatan layanan kesehatan. Praktik pengasuhan dan pemenuhan gizi yang kurang optimal ini memperburuk dampak kekurangan gizi dan infeksi pada anak.
Di tingkat wilayah, keterbatasan fasilitas kesehatan turut memperkuat rantai penyebab stunting. Wilayah dengan fasilitas kesehatan yang terbatas, yang tercermin dari Puskesmas yang belum terakreditasi, berpotensi mengalami hambatan dalam pemantauan pertumbuhan, edukasi gizi, serta pencegahan dan penanganan penyakit infeksi. Sebaliknya, keberadaan Puskesmas terakreditasi terbukti menurunkan peluang stunting secara signifikan menunjukkan pentingnya peran layanan kesehatan dalam memutus rantai kejadian stunting.
Faktor-faktor lingkungan yang berperan dalam kejadian stunting berdasarkan tinjauan pustaka dapat dirangkum dalam Tabel berikut.
| Variabel Lingkungan | Kondisi | Mekanisme |
|---|---|---|
| Rumah tangga miskin | Tinggi | Membatasi akses terhadap pangan bergizi, air bersih, sanitasi layak, dan layanan kesehatan ibu-anak. |
| Pendidikan ibu | Rendah | Menurunkan kualitas pola asuh, pemenuhan gizi, dan pemanfaatan layanan kesehatan (OR = 4,429). |
| Sanitasi lingkungan | Tidak sehat | Meningkatkan paparan patogen penyebab infeksi dan EED (risiko ±4,5 kali lebih besar). |
| Fasilitas kesehatan | Terbatas | Menghambat upaya promotif dan preventif gizi serta pengendalian infeksi (OR protektif Puskesmas terakreditasi = 0,32). |
Analisis statistika deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran awal mengenai karakteristik seluruh variabel penelitian pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 2024. Statistik ringkasan yang digunakan meliputi nilai minimum, kuartil pertama (Q1), median, rata-rata (mean), kuartil ketiga (Q3), maksimum, dan simpangan baku.
library(openxlsx)
data <- read.xlsx("C:/Users/DEDEN GUNAWAN/OneDrive/Documents/Bahan Kuliah/Semester 5/Epidemiologi/UAS Epidemiologi/Data.xlsx")
colnames(data) <- c(
"Kabupaten Kota",
"Jumlah Balita",
"Jumlah Stunting",
"Kemiskinan",
"Sanitasi Layak",
"Air Minum Layak",
"Kepemilikan Jamban",
"RLS Perempuan",
"Kematian Balita",
"PDRB",
"Kasus Diare",
"Kasus Malaria",
"Kepadatan Penduduk",
"Jumlah RS",
"Jumlah Puskesmas",
"Konsumsi Protein"
)
# STATISTIKA DESKRIPTIF
data_num <- data[, sapply(data, is.numeric)]
deskriptif <- data.frame(
Min = sapply(data_num, min, na.rm = TRUE),
Q1 = sapply(data_num, quantile, 0.25, na.rm = TRUE),
Median = sapply(data_num, median, na.rm = TRUE),
Mean = sapply(data_num, mean, na.rm = TRUE),
Q3 = sapply(data_num, quantile, 0.75, na.rm = TRUE),
Max = sapply(data_num, max, na.rm = TRUE),
SD = sapply(data_num, sd, na.rm = TRUE)
)
print(deskriptif)
## Min Q1 Median Mean Q3
## Jumlah Balita 6759.00 10803.0000 17088.500 17325.000000 22200.5000
## Jumlah Stunting 673.00 1789.2500 2355.000 2932.136364 3372.5000
## Kemiskinan 8.20 13.8750 21.130 20.138636 25.5600
## Sanitasi Layak 52.51 67.3750 82.770 77.275909 85.8175
## Air Minum Layak 59.59 84.5300 89.940 87.595909 93.8825
## Kepemilikan Jamban 65.82 81.4950 86.515 85.753636 91.7650
## RLS Perempuan 6.38 7.0425 7.595 7.704091 8.0525
## Kematian Balita 8.00 23.7500 37.500 41.090909 53.7500
## PDRB 1527.00 3806.5000 4762.000 6279.454545 6678.5000
## Kasus Diare 0.00 415.2500 931.000 1270.181818 1469.7500
## Kasus Malaria 2.00 17.2500 24.000 403.818182 132.7500
## Kepadatan Penduduk 37.00 101.2500 123.000 268.136364 204.7500
## Jumlah RS 1.00 2.0000 2.500 3.000000 3.0000
## Jumlah Puskesmas 6.00 12.0000 21.500 19.818182 25.7500
## Konsumsi Protein 44.73 51.1475 55.700 54.889091 58.3275
## Max SD
## Jumlah Balita 38291.00 7696.414261
## Jumlah Stunting 9251.00 2003.174702
## Kemiskinan 30.84 6.643102
## Sanitasi Layak 96.98 13.300791
## Air Minum Layak 99.80 9.855747
## Kepemilikan Jamban 95.38 7.567042
## RLS Perempuan 11.51 1.025980
## Kematian Balita 91.00 23.323622
## PDRB 30773.00 5960.124925
## Kasus Diare 4476.00 1318.474972
## Kasus Malaria 5492.00 1175.748177
## Kepadatan Penduduk 2980.00 608.649347
## Jumlah RS 14.00 2.672612
## Jumlah Puskesmas 37.00 8.009734
## Konsumsi Protein 64.10 5.076738
Berdasarkan tabel statistik ringkasan, jumlah balita per kabupaten/kota di NTT memiliki variasi yang cukup besar, dengan nilai minimum sebesar 6.759 balita dan maksimum mencapai 38.291 balita. Jumlah balita stunting juga menunjukkan sebaran yang lebar, dengan rata-rata sekitar 2.932 balita dan nilai maksimum mencapai 9.251 balita. Hal ini mengindikasikan adanya ketimpangan beban stunting antarwilayah.
Dari sisi faktor sosial ekonomi, persentase penduduk miskin memiliki rata-rata sebesar 20,14% dengan rentang antara 8,20% hingga 30,84%. Variabel lingkungan menunjukkan bahwa akses terhadap sanitasi layak, air minum layak, dan kepemilikan jamban relatif tinggi di sebagian besar wilayah, namun masih terdapat daerah dengan capaian yang rendah, tercermin dari nilai minimum yang cukup jauh dari median. Rata-rata lama sekolah perempuan berada pada kisaran 7,70 tahun, menunjukkan masih terbatasnya capaian pendidikan perempuan di beberapa kabupaten/kota.
Variabel kesehatan dan demografi seperti jumlah kematian balita, kasus diare, kasus malaria, dan kepadatan penduduk memperlihatkan sebaran yang sangat tidak merata, dengan nilai maksimum yang jauh lebih besar dibandingkan median. Kondisi ini mengindikasikan adanya wilayah-wilayah tertentu yang menjadi kantong beban masalah kesehatan. Variabel layanan kesehatan (jumlah rumah sakit dan puskesmas) serta konsumsi protein per kapita juga menunjukkan variasi antarwilayah yang cukup besar.
library(ggplot2)
par(
mfrow = c(2, 3),
mar = c(5, 4, 3, 1), # margin diperkecil
oma = c(0, 0, 2, 0) # outer margin kecil
)
for (v in names(data_num)) {
hist(
data_num[[v]],
main = paste(v),
xlab = v,
col = "lightskyblue",
border = "black"
)
}
par(
mfrow = c(2, 3),
mar = c(5, 4, 3, 1), # margin diperkecil
oma = c(0, 0, 2, 0) # outer margin kecil
)
for (v in names(data_num)) {
boxplot(
data_num[[v]],
main = paste(v),
ylab = v,
col = 'plum1'
)
}
Visualisasi histogram dan boxplot digunakan untuk memperkuat temuan statistik ringkasan. Histogram menunjukkan bahwa sebagian besar variabel memiliki distribusi yang menceng ke kanan (right-skewed), terutama pada jumlah stunting, kasus diare, kasus malaria, PDRB, kepadatan penduduk, dan jumlah rumah sakit. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar kabupaten/kota memiliki nilai relatif rendah, sementara hanya sedikit wilayah dengan nilai sangat tinggi. Sementara itu, variabel sanitasi layak, air minum layak, kepemilikan jamban, dan konsumsi protein harian menunjukkan pola menceng ke kiri (left-skewed), yang menandakan mayoritas wilayah telah memiliki capaian cukup tinggi, dengan sebagian kecil daerah tertinggal. Boxplot mengonfirmasi keberadaan pencilan (outlier) pada beberapa variabel, yang mencerminkan adanya ketimpangan kondisi sosial, ekonomi, dan kesehatan antar kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur.
# Load Peta
library(sf)
## Linking to GEOS 3.13.0, GDAL 3.10.1, PROJ 9.5.1; sf_use_s2() is TRUE
library(dplyr)
##
## Attaching package: 'dplyr'
## The following objects are masked from 'package:stats':
##
## filter, lag
## The following objects are masked from 'package:base':
##
## intersect, setdiff, setequal, union
NTT <- readRDS(
"C:/Users/DEDEN GUNAWAN/OneDrive/Documents/Bahan Kuliah/Semester 5/Epidemiologi/UAS Epidemiologi/NTT_final_sf.rds"
)
ntt_no_geom <- st_set_geometry(NTT, NULL)
ntt_merged <- ntt_no_geom %>%
left_join(data, by = c("NAME_2" = "Kabupaten Kota"))
ntt_merged <- st_sf(ntt_merged, geometry = NTT$geometry)
vars_num <- ntt_merged %>%
st_drop_geometry() %>%
select(where(is.numeric)) %>%
names()
# Peta Sebaran
for (v in vars_num) {
p <- ggplot(ntt_merged) +
geom_sf(aes(fill = .data[[v]]), color = "white", linewidth = 0.2) +
scale_fill_viridis_c(option = "C", na.value = "grey90") +
labs(
title = paste("Sebaran", v, "di Nusa Tenggara Timur"),
fill = v
) +
theme_minimal()
print(p)
}
Selain itu, peta sebaran spasial disajikan untuk menggambarkan pola geografis masing-masing variabel. Peta menunjukkan bahwa distribusi jumlah balita, kemiskinan, sanitasi, pendidikan perempuan, kasus penyakit infeksi, serta ketersediaan fasilitas kesehatan tidak merata secara spasial. Beberapa wilayah tampak memiliki konsentrasi nilai tinggi maupun rendah yang berkelompok, mengindikasikan potensi adanya pola spasial. Temuan ini menjadi dasar untuk dilakukan analisis lanjutan berupa uji ketergantungan spasial dan pemodelan regresi, baik non-spasial maupun spasial, pada tahap berikutnya.
Prevalensi stunting digunakan sebagai ukuran epidemiologi utama untuk menggambarkan besarnya masalah stunting balita di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 2024. Prevalensi dihitung sebagai proporsi jumlah balita stunting terhadap jumlah balita, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
prevalensi_ntt <- with(
data,
sum(data$`Jumlah Stunting`, na.rm = TRUE) /
sum(data$`Jumlah Balita`, na.rm = TRUE) * 100
)
prevalensi_ntt
## [1] 16.92431
Berdasarkan perhitungan agregat seluruh kabupaten/kota, prevalensi stunting balita di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2024 sebesar 16,92%. Angka ini menunjukkan bahwa sekitar 17 dari 100 balita di NTT mengalami stunting, yang mengindikasikan bahwa stunting masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang cukup serius di tingkat provinsi.
Namun, jika dibandingkan, nilai prevalensi ini lebih rendah dibandingkan dengan estimasi prevalensi stunting Provinsi Nusa Tenggara Timur berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dilaporkan sebesar 37,0%. Perbedaan nilai tersebut dapat disebabkan salah satunya oleh perbedaan sumber data dan pendekatan pengukuran yang digunakan. Namun, meskipun nilai prevalensi yang diperoleh berbeda, penggunaan data BPS dalam penelitian ini dinilai lebih sesuai untuk keperluan analisis dan kajian faktor wilayah yang memengaruhi variasi prevalensi stunting antar kabupaten/kota.
data <- data %>%
mutate(
`Prevalensi Stunting` =
(`Jumlah Stunting` / `Jumlah Balita`) * 100
)
ntt_merged <- ntt_merged %>%
mutate(
`Prevalensi Stunting` =
(`Jumlah Stunting` / `Jumlah Balita`) * 100
)
data[, c("Kabupaten Kota", "Prevalensi Stunting")]
## Kabupaten Kota Prevalensi Stunting
## 1 Sumba Barat 23.568979
## 2 Sumba Timur 15.131076
## 3 Kupang 13.975645
## 4 Timor Tengah Selatan 24.159724
## 5 Timor Tengah Utara 25.867270
## 6 Belu 13.939286
## 7 Alor 13.063584
## 8 Lembata 7.854809
## 9 Flores Timur 19.991428
## 10 Sikka 19.252710
## 11 Ende 10.547953
## 12 Ngada 9.840111
## 13 Manggarai 11.460612
## 14 Rote Ndao 18.406679
## 15 Manggarai Barat 11.808920
## 16 Sumba Tengah 15.327711
## 17 Sumba Barat Daya 39.241983
## 18 Nagekeo 9.588758
## 19 Manggarai Timur 8.321150
## 20 Sabu Raijua 20.808805
## 21 Malaka 15.392374
## 22 Kota Kupang 18.779947
Pada tingkat kabupaten/kota, prevalensi stunting menunjukkan variasi yang cukup lebar. Prevalensi terendah tercatat di Kabupaten Lembata sebesar 7,85%, sedangkan prevalensi tertinggi terdapat di Kabupaten Sumba Barat Daya yang mencapai 39,24%. Beberapa kabupaten lain, seperti Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, dan Sumba Barat, juga memiliki prevalensi stunting yang relatif lebih tinggi dibandingkan rata-rata provinsi.
prev_desc <- data.frame(
Min = min(data$`Prevalensi Stunting`, na.rm = TRUE),
Q1 = quantile(data$`Prevalensi Stunting`, 0.25, na.rm = TRUE),
Median = median(data$`Prevalensi Stunting`, na.rm = TRUE),
Mean = mean(data$`Prevalensi Stunting`, na.rm = TRUE),
Q3 = quantile(data$`Prevalensi Stunting`, 0.75, na.rm = TRUE),
Max = max(data$`Prevalensi Stunting`, na.rm = TRUE),
SD = sd(data$`Prevalensi Stunting`, na.rm = TRUE)
)
Secara statistik, prevalensi stunting kabupaten/kota di NTT memiliki nilai minimum 7,85% dan maksimum 39,24%, dengan nilai rata-rata sebesar 16,65% dan median 15,23%. Kuartil pertama berada pada 11,55% dan kuartil ketiga pada 19,81%, yang menunjukkan bahwa sebagian besar kabupaten/kota memiliki prevalensi stunting pada kisaran tersebut. Nilai simpangan baku sebesar 7,26% mencerminkan adanya variasi prevalensi yang cukup besar antarwilayah.
par(
mfrow = c(1, 2),
mar = c(5, 4, 4, 2)
)
hist(
data$`Prevalensi Stunting`,
col = "lightskyblue",
border = "black",
main = "Histogram",
xlab = "Prevalensi Stunting (%)"
)
boxplot(
data$`Prevalensi Stunting`,
col = "indianred1",
main = "Boxplot",
ylab = "Prevalensi Stunting (%)"
)
Distribusi prevalensi stunting yang ditunjukkan melalui histogram memperlihatkan pola menceng ke kanan (right-skewed), di mana sebagian besar kabupaten/kota memiliki prevalensi di bawah 20%, namun terdapat beberapa wilayah dengan prevalensi yang sangat tinggi. Boxplot memperkuat temuan ini dengan adanya pencilan pada kabupaten dengan prevalensi stunting yang jauh di atas rata-rata provinsi.
ggplot(ntt_merged) +
geom_sf(
aes(fill = `Prevalensi Stunting`),
color = "white",
linewidth = 0.2
) +
scale_fill_viridis_c(option = "C", na.value = "grey90") +
labs(
title = "Sebaran Prevalensi Stunting di NTT",
fill = "Prevalensi Stunting (%)"
) +
theme_minimal()
Untuk memperkuat interpretasi spasial, peta sebaran prevalensi stunting di Provinsi NTT memperlihatkan adanya pengelompokan wilayah dengan prevalensi tinggi dan rendah. Wilayah dengan prevalensi stunting tinggi tampak terkonsentrasi pada beberapa kabupaten tertentu, sedangkan wilayah lain menunjukkan prevalensi yang relatif lebih rendah. Pola spasial ini mengindikasikan kemungkinan adanya pengaruh faktor lingkungan, sosial ekonomi, serta akses pelayanan kesehatan yang berbeda antar wilayah, sehingga menjadi dasar penting untuk analisis spasial pada tahap selanjutnya
Autokorelasi spasial digunakan untuk mengidentifikasi apakah nilai prevalensi stunting pada suatu kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki keterkaitan dengan nilai di wilayah sekitarnya.
# Pola Ketetanggan
library(spdep)
## Loading required package: spData
## To access larger datasets in this package, install the spDataLarge
## package with: `install.packages('spDataLarge',
## repos='https://nowosad.github.io/drat/', type='source')`
library(sp)
ntt_sp <- as_Spatial(ntt_merged)
ntt_sp <- ntt_sp[match(ntt_merged$NAME_2, ntt_sp$NAME_2), ]
row.names(ntt_sp) <- ntt_sp$NAME_2
CoordJ <- coordinates(ntt_sp)
knn <- knearneigh(CoordJ, k = 2)
W <- knn2nb(knn)
lwB <- nb2listw(W, style = "B", zero.policy = TRUE)
WL <- nb2listw(W, style = "W", zero.policy = TRUE)
# Moran's I
x <- ntt_merged$`Prevalensi Stunting`
x[is.na(x)] <- 0
moran_res <- moran.test(x, WL, zero.policy = TRUE)
moran_summary <- data.frame(
variable = "Prevalensi Stunting",
I = moran_res$estimate[1],
expected = moran_res$estimate[2],
variance = moran_res$estimate[3],
Z = as.numeric(moran_res$statistic),
p_value = moran_res$p.value
)
moran_summary
## variable I expected variance Z
## Moran I statistic Prevalensi Stunting 0.2662718 -0.04761905 0.03050953 1.797053
## p_value
## Moran I statistic 0.03616359
Hasil uji autokorelasi spasial menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur tidak terdistribusi secara acak antar kabupaten/kota. Nilai Moran’s I sebesar 0,266 dengan p-value 0,036 < α (5%) mengindikasikan adanya autokorelasi spasial positif yang signifikan, artinya wilayah dengan prevalensi stunting tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah lain yang juga memiliki prevalensi stunting tinggi, dan demikian pula untuk wilayah dengan prevalensi rendah.
geary_res <- geary.test(x, WL, zero.policy = TRUE)
geary_summary <- data.frame(
variable = "Prevalensi Stunting",
C = geary_res$estimate[1],
expected = geary_res$estimate[2],
Z = as.numeric(geary_res$statistic),
p_value = geary_res$p.value
)
geary_summary
## variable C expected Z p_value
## Geary C statistic Prevalensi Stunting 0.7211808 1 1.409717 0.07931159
Sebaliknya, uji Geary’s C menghasilkan nilai 0,721 dengan p-value 0,079 > α (5%) yang mengindikasikan tidak adanya autokorelasi spasial yang signifikan. Perbedaan hasil ini dapat dipahami karena Moran’s I menangkap pola pengelompokan secara global, sedangkan Geary’s C lebih sensitif terhadap perbedaan tajam antarwilayah yang bertetangga langsung. Pada kasus stunting di NTT, pola yang muncul bukan berupa lonjakan ekstrem antar kabupaten yang berbatasan, melainkan kemiripan kondisi dalam satu kawasan regional, sehingga lebih mudah terdeteksi oleh Moran’s I dibandingkan Geary’s C.
Meskipun stunting bukan penyakit menular, keberadaan autokorelasi spasial ini mencerminkan bahwa faktor-faktor penentunya bersifat spasial dan terdistribusi secara tidak merata. Kabupaten-kabupaten yang berdekatan umumnya memiliki karakteristik sosial ekonomi, kualitas lingkungan, dan akses layanan dasar yang serupa. Dalam konteks NTT, wilayah-wilayah yang relatif tertinggal cenderung terkonsentrasi secara geografis, sehingga risiko stunting pun ikut mengelompok. Dengan kata lain, yang “menular” bukan stuntingnya, melainkan kemiskinan struktural, keterbatasan infrastruktur, dan rendahnya akses layanan kesehatan yang dialami secara bersama oleh wilayah-wilayah bertetangga.
library(spdep)
library(ggplot2)
Gz <- as.numeric(localG(x, listw = lwB, zero.policy = TRUE))
ntt_merged$z_Gistar <- Gz
ntt_merged$hotcold <- factor(
ifelse(Gz >= 1.96, "Hot spot",
ifelse(Gz <= -1.96, "Cold spot", "Not significant")),
levels = c("Hot spot", "Cold spot", "Not significant")
)
ggplot(ntt_merged) +
geom_sf(aes(fill = hotcold), color = "white", linewidth = 0.2) +
scale_fill_manual(values = c(
"Hot spot" = "#b2182b",
"Cold spot" = "#2166ac",
"Not significant" = "grey85"
)) +
labs(
title = "Getis-Ord G* — Prevalensi Stunting",
fill = "Hot / Cold"
) +
theme_minimal()
Pola pengelompokan prevalensi stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur semakin jelas ketika dianalisis menggunakan pendekatan spasial lokal. Hasil Getis–Ord Gi* menunjukkan bahwa Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Tengah merupakan hot spot prevalensi stunting, yang menandakan kedua wilayah tersebut memiliki nilai prevalensi stunting relatif tinggi dan berada dalam suatu kawasan dengan intensitas risiko stunting yang lebih besar dibandingkan wilayah lainnya. Temuan ini mencerminkan adanya konsentrasi masalah stunting di Pulau Sumba, yang secara umum masih menghadapi tantangan struktural seperti tingkat kemiskinan yang tinggi, keterbatasan akses sanitasi dan air minum layak, serta keterbatasan layanan kesehatan ibu dan anak. Kondisi-kondisi tersebut tidak hanya dialami oleh satu kabupaten secara terisolasi, melainkan membentuk karakteristik kawasan yang relatif homogen dalam hal risiko stunting.
local_res <- localmoran(x, WL, zero.policy = TRUE)
colnames(local_res) <- c("Ii","E.Ii","Var.Ii","Z.Ii","P.value")
mean_x <- mean(x, na.rm = TRUE)
mean_lag <- lag.listw(WL, x)
cluster <- rep(NA, length(x))
cluster[x >= mean_x & mean_lag >= mean(mean_lag)] <- "High-High"
cluster[x <= mean_x & mean_lag <= mean(mean_lag)] <- "Low-Low"
cluster[x >= mean_x & mean_lag <= mean(mean_lag)] <- "High-Low"
cluster[x <= mean_x & mean_lag >= mean(mean_lag)] <- "Low-High"
cluster[local_res[, "P.value"] > 0.05] <- "Non-significant"
ntt_merged$cluster <- factor(
cluster,
levels = c("High-High","Low-Low","High-Low","Low-High","Non-significant")
)
ggplot(ntt_merged) +
geom_sf(aes(fill = cluster), color = "white", linewidth = 0.2) +
scale_fill_manual(values = c(
"High-High" = "red",
"Low-Low" = "blue",
"High-Low" = "orange",
"Low-High" = "green",
"Non-significant" = "grey80"
)) +
labs(
title = "Local Moran’s I (LISA) — Prevalensi Stunting",
fill = "Cluster type"
) +
theme_minimal()
Namun, ketika dilihat lebih rinci melalui Local Moran’s I (LISA), pola yang muncul menunjukkan variasi hubungan spasial antarwilayah. Kabupaten Sumba Barat teridentifikasi sebagai klaster High–High, yang berarti prevalensi stunting yang tinggi di wilayah tersebut konsisten dengan prevalensi tinggi pada wilayah-wilayah tetangganya.
Sebaliknya, Kabupaten Sumba Tengah menunjukkan pola Low–High, yaitu wilayah dengan prevalensi stunting relatif lebih rendah dibandingkan wilayah-wilayah di sekitarnya yang memiliki prevalensi lebih tinggi. Meskipun demikian, Sumba Tengah tetap teridentifikasi sebagai hot spot pada analisis Getis–Ord karena berada di dalam kawasan dengan intensitas prevalensi stunting yang tinggi secara keseluruhan. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa meskipun nilai prevalensi stunting di Sumba Tengah lebih rendah dibandingkan tetangganya, wilayah tersebut masih berada dalam lingkungan regional dengan risiko stunting tinggi, sehingga berpotensi terdampak oleh kondisi sosial ekonomi dan lingkungan sekitarnya.
Perbedaan hasil antara Getis–Ord dan LISA ini mencerminkan perbedaan fokus analisis kedua metode. Getis–Ord menekankan pada intensitas nilai dalam suatu kawasan, sehingga mampu mengidentifikasi wilayah yang berada di pusat konsentrasi masalah, sedangkan LISA menilai hubungan langsung antara suatu wilayah dengan wilayah tetangganya. Oleh karena itu, suatu wilayah seperti Sumba Tengah dapat muncul sebagai hot spot secara regional, tetapi tidak membentuk klaster High–High karena nilai prevalensinya relatif lebih rendah dibandingkan wilayah di sekitarnya. Temuan ini menunjukkan bahwa pola spasial stunting di NTT bersifat regional dan bertingkat, dengan variasi risiko antarwilayah yang berdekatan namun tetap dipengaruhi oleh karakteristik kawasan secara keseluruhan.
exclude_vars <- c(
"Jumlah Balita",
"Jumlah Stunting",
"Prevalensi Stunting"
)
num_vars <- sapply(ntt_merged, is.numeric)
num_cols <- setdiff(names(ntt_merged)[num_vars], exclude_vars)
# MORAN'S I
moran_summary <- do.call(rbind,
lapply(num_cols, function(var) {
x <- ntt_merged[[var]]
if(any(is.na(x))) x[is.na(x)] <- 0
res <- moran.test(x, WL, zero.policy = TRUE)
data.frame(
variable = var,
I = res$estimate[1],
expected = res$estimate[2],
variance = res$estimate[3],
Z = as.numeric(res$statistic),
p_value = res$p.value,
stringsAsFactors = FALSE
)
})
)
rownames(moran_summary) <- NULL
moran_summary
## variable I expected variance Z
## 1 Kemiskinan 0.29165764 -0.04761905 0.037600225 1.7496807
## 2 Sanitasi Layak 0.64319874 -0.04761905 0.036750074 3.6035819
## 3 Air Minum Layak 0.40800532 -0.04761905 0.032777648 2.5166223
## 4 Kepemilikan Jamban 0.62661012 -0.04761905 0.034316353 3.6396278
## 5 RLS Perempuan 0.08391137 -0.04761905 0.021371969 0.8997129
## 6 Kematian Balita -0.05822763 -0.04761905 0.035332491 -0.0564378
## 7 PDRB 0.10421726 -0.04761905 0.012118190 1.3792937
## 8 Kasus Diare -0.21646996 -0.04761905 0.034421724 -0.9100958
## 9 Kasus Malaria 0.01295376 -0.04761905 0.005605816 0.8090182
## 10 Kepadatan Penduduk -0.08032423 -0.04761905 0.001240785 -0.9284707
## 11 Jumlah RS -0.21333333 -0.04761905 0.011926715 -1.5173981
## 12 Jumlah Puskesmas 0.21872470 -0.04761905 0.036654584 1.3911641
## 13 Konsumsi Protein 0.02463892 -0.04761905 0.036414190 0.3786609
## 14 z_Gistar 0.83673460 -0.04761905 0.034830304 4.7385704
## p_value
## 1 4.008671e-02
## 2 1.569309e-04
## 3 5.924288e-03
## 4 1.365162e-04
## 5 1.841365e-01
## 6 5.225035e-01
## 7 8.390211e-02
## 8 8.186140e-01
## 9 2.092523e-01
## 10 8.234183e-01
## 11 9.354169e-01
## 12 8.208784e-02
## 13 3.524699e-01
## 14 1.076156e-06
Fenomena spasial yang sama juga tercermin pada beberapa variabel penjelas. Tingkat kemiskinan menunjukkan autokorelasi spasial positif, yang menandakan bahwa wilayah miskin cenderung berdekatan dengan wilayah miskin lainnya. Pola serupa juga terlihat pada variabel sanitasi layak, akses air minum layak, dan kepemilikan jamban, yang mencerminkan pembangunan infrastruktur dasar di NTT masih bersifat kawasan. Ketika suatu wilayah memiliki keterbatasan sanitasi, wilayah sekitarnya sering kali mengalami kondisi yang sama karena berbagi sumber daya, kondisi geografis, dan keterbatasan anggaran pembangunan. Sebaliknya, variabel seperti PDRB, rata-rata lama sekolah perempuan, dan jumlah fasilitas kesehatan tidak menunjukkan autokorelasi spasial yang signifikan, mengindikasikan bahwa faktor-faktor tersebut lebih dipengaruhi oleh kebijakan dan karakteristik lokal masing-masing kabupaten/kota.
Secara keseluruhan, hasil ini menegaskan bahwa prevalensi stunting di NTT dipengaruhi oleh lingkungan struktural yang bersifat spasial, bukan oleh proses penularan biologis. Kabupaten/kota yang berada dalam satu kawasan geografis cenderung berbagi kondisi sosial ekonomi dan lingkungan yang sama, sehingga risiko stunting pun terkonsentrasi secara spasial. Temuan ini menjadi dasar penting untuk mempertimbangkan pendekatan pemodelan yang memperhitungkan ketergantungan spasial, khususnya apabila residual model regresi linier menunjukkan pola spasial yang masih signifikan.
Pemodelan awal dilakukan menggunakan regresi linear berganda (Ordinary Least Squares/OLS) dengan variabel dependen Prevalensi Stunting dan sejumlah variabel sosial, ekonomi, kesehatan, dan lingkungan sebagai prediktor.
ols_model <- lm(`Prevalensi Stunting` ~
`Kemiskinan` +
`Sanitasi Layak` +
`Air Minum Layak` +
`Kepemilikan Jamban` +
`RLS Perempuan` +
`Kematian Balita` +
`PDRB` +
`Kasus Diare` +
`Kasus Malaria` +
`Kepadatan Penduduk` +
`Jumlah RS` +
`Jumlah Puskesmas` +
`Konsumsi Protein`,
data = data
)
summary(ols_model)
##
## Call:
## lm(formula = `Prevalensi Stunting` ~ Kemiskinan + `Sanitasi Layak` +
## `Air Minum Layak` + `Kepemilikan Jamban` + `RLS Perempuan` +
## `Kematian Balita` + PDRB + `Kasus Diare` + `Kasus Malaria` +
## `Kepadatan Penduduk` + `Jumlah RS` + `Jumlah Puskesmas` +
## `Konsumsi Protein`, data = data)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -5.7978 -2.3918 -0.1076 2.1121 9.7405
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
## (Intercept) 50.4005743 38.4534721 1.311 0.2263
## Kemiskinan 0.3007679 0.3796001 0.792 0.4510
## `Sanitasi Layak` 0.3019884 0.1868817 1.616 0.1448
## `Air Minum Layak` -0.2350486 0.2146460 -1.095 0.3054
## `Kepemilikan Jamban` -0.2257357 0.4233565 -0.533 0.6084
## `RLS Perempuan` -4.8569991 2.7862529 -1.743 0.1195
## `Kematian Balita` -0.0614763 0.1206072 -0.510 0.6240
## PDRB 0.0002826 0.0010250 0.276 0.7898
## `Kasus Diare` -0.0025458 0.0026929 -0.945 0.3721
## `Kasus Malaria` 0.0037392 0.0016091 2.324 0.0486 *
## `Kepadatan Penduduk` 0.0073871 0.0104559 0.707 0.4999
## `Jumlah RS` 0.5569289 1.7871050 0.312 0.7633
## `Jumlah Puskesmas` 0.4474694 0.3654936 1.224 0.2557
## `Konsumsi Protein` 0.0761300 0.3092558 0.246 0.8117
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## Residual standard error: 5.662 on 8 degrees of freedom
## Multiple R-squared: 0.7681, Adjusted R-squared: 0.3913
## F-statistic: 2.038 on 13 and 8 DF, p-value: 0.1578
Hasil summary di atas menunjukkan nilai koefisien determinasi (R²) sebesar 0,7681 yang berarti model mampu menjelaskan sekitar 76,81% variasi prevalensi stunting, namun nilai Adjusted R² yang relatif lebih rendah (0,3913) mengindikasikan kemungkinan adanya variabel yang kurang relevan atau masalah multikolinearitas dalam model awal. Oleh karena itu, selanjutnya perlu dilakukan pengujian model regresi untuk memastikan bahwa model sudah baik.
Uji multikolinearitas dilakukan menggunakan Variance Inflation Factor (VIF).
library(car)
## Loading required package: carData
##
## Attaching package: 'car'
## The following object is masked from 'package:dplyr':
##
## recode
vif(ols_model)
## Kemiskinan `Sanitasi Layak` `Air Minum Layak`
## 4.165354 4.047117 2.931446
## `Kepemilikan Jamban` `RLS Perempuan` `Kematian Balita`
## 6.722366 5.352742 5.183179
## PDRB `Kasus Diare` `Kasus Malaria`
## 24.444711 8.257565 2.344638
## `Kepadatan Penduduk` `Jumlah RS` `Jumlah Puskesmas`
## 26.528396 14.942717 5.613752
## `Konsumsi Protein`
## 1.614592
Pada model awal, beberapa variabel menunjukkan nilai VIF yang tinggi (VIF > 10), terutama PDRB, Kepadatan Penduduk, dan Jumlah Rumah Sakit, yang mengindikasikan adanya multikolinearitas kuat antarvariabel independen. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dilakukan penyesuaian model dengan mengeluarkan variabel-variabel yang memiliki VIF sangat tinggi satu persatu sampai seluruh VIF <10.
ols_model <- lm(`Prevalensi Stunting` ~
`Kemiskinan` +
`Sanitasi Layak` +
`Air Minum Layak` +
`Kepemilikan Jamban` +
`RLS Perempuan` +
`Kematian Balita` +
`PDRB` +
`Kasus Diare` +
`Kasus Malaria` +
`Jumlah Puskesmas` +
`Konsumsi Protein`,
data = data
)
vif(ols_model)
## Kemiskinan `Sanitasi Layak` `Air Minum Layak`
## 4.075674 3.716544 2.729159
## `Kepemilikan Jamban` `RLS Perempuan` `Kematian Balita`
## 5.052469 3.982826 3.461546
## PDRB `Kasus Diare` `Kasus Malaria`
## 5.282844 8.058707 2.101381
## `Jumlah Puskesmas` `Konsumsi Protein`
## 2.747624 1.507903
Setelah penanganan, seluruh variabel dalam model memiliki nilai VIF < 10, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat lagi masalah multikolinearitas yang serius dan model layak untuk dianalisis lebih lanjut.
Asumsi normalitas residual diuji menggunakan Uji Kolmogorov–Smirnov dengan pengujian sebagai berikut :
Hipotesis
H₀ : Residual berdistribusi normal
H₁ : Residual tidak berdistribusi normal
Kriteria Uji
Tolak H₀ jika p-value ≤ α (5%)
ks.test(residuals(ols_model), "pnorm", mean = mean(residuals(ols_model)), sd = sd(residuals(ols_model)))
##
## Exact one-sample Kolmogorov-Smirnov test
##
## data: residuals(ols_model)
## D = 0.11608, p-value = 0.8954
## alternative hypothesis: two-sided
Kesimpulan
Hasil uji Kolmogorov–Smirnov menghasilkan p-value sebesar 0,8954 (>
0,05), sehingga H₀ tidak ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa residual model berdistribusi normal sehingga asumsi normalitas
terpenuhi.
Uji homoskedastisitas dilakukan menggunakan Uji Breusch–Pagan dengan pengujian sebagai berikut :
Hipotesis
H₀ : Residual bersifat homoskedastisitas (varians konstan)
H₁ : Residual bersifat heteroskedastisitas (varians tidak konstan)
Kriteria Uji
Tolak H₀ jika p-value ≤ α (5%)
library(lmtest)
## Loading required package: zoo
##
## Attaching package: 'zoo'
## The following objects are masked from 'package:base':
##
## as.Date, as.Date.numeric
bptest(ols_model)
##
## studentized Breusch-Pagan test
##
## data: ols_model
## BP = 6.0819, df = 11, p-value = 0.8678
Kesimpulan
Hasil uji Breusch–Pagan menunjukkan p-value sebesar 0,8678 (> 0,05),
sehingga H₀ tidak ditolak. Artinya, tidak terdapat masalah
heteroskedastisitas dan varians residual dapat dianggap konstan.
Asumsi linearitas diuji menggunakan RESET test (Regression Specification Error Test) dengan pengujian sebagai berikut :
Hipotesis
H₀ : Model telah terspesifikasi dengan benar (hubungan linear)
H₁ : Model tidak terspesifikasi dengan benar (hubungan tidak linear)
Kriteria Uji
Tolak H₀ jika p-value ≤ α (5%)
library(lmtest)
resettest(ols_model)
##
## RESET test
##
## data: ols_model
## RESET = 0.37977, df1 = 2, df2 = 8, p-value = 0.6957
Kesimpulan
Hasil RESET test memberikan p-value sebesar 0,6957 (> 0,05), sehingga
H₀ tidak ditolak. Dengan demikian, hubungan antara variabel independen
dan prevalensi stunting dapat dianggap linear sehingga asumsi
terpenuhi.
Asumsi independensi residual, khususnya dalam konteks spasial, diuji menggunakan Moran’s I pada residual model OLS.
Hipotesis
H₀ : Tidak terdapat autokorelasi spasial pada residual
H₁ : Terdapat autokorelasi spasial pada residual
Kriteria Uji
Tolak H₀ jika p-value ≤ α (5%)
ntt_merged$residual_ols <- residuals(ols_model)
moran_res <- moran.test(
ntt_merged$residual_ols,
WL,
zero.policy = TRUE
)
moran_res
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: ntt_merged$residual_ols
## weights: WL
##
## Moran I statistic standard deviate = 0.95604, p-value = 0.1695
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## 0.12389104 -0.04761905 0.03218274
Kesimpulan
Hasil uji Moran’s I residual menghasilkan p-value sebesar 0,1695 (>
0,05), sehingga H₀ tidak ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa residual
bersifat independen secara spasial (white noise), sehingga
model OLS sudah memadai dan tidak memerlukan regresi spasial
lanjutan.
Pemilihan model terbaik dilakukan dengan membandingkan nilai Akaike Information Criterion (AIC) dari beberapa pendekatan pemilihan model, yaitu metode backward, forward, dan stepwise.
# Backward
model_backward <- step(
ols_model,
direction = "backward",
trace = FALSE
)
# Forward
model_null <- lm(`Prevalensi Stunting` ~ 1, data = data)
model_forward <- step(
model_null,
scope = formula(ols_model),
direction = "forward",
trace = FALSE
)
# Stepwise
model_stepwise <- step(
model_null,
scope = formula(ols_model),
direction = "both",
trace = FALSE
)
# Perbandingan AIC
AIC_comparison <- data.frame(
Model = c("Full", "Backward", "Forward", "Stepwise"),
AIC = c(
AIC(ols_model),
AIC(model_backward),
AIC(model_forward),
AIC(model_stepwise)
)
)
AIC_comparison
## Model AIC
## 1 Full 144.4741
## 2 Backward 139.7556
## 3 Forward 139.8156
## 4 Stepwise 139.8156
Hasil perbandingan menunjukkan bahwa model backward memiliki nilai AIC paling kecil (139,7556), sehingga dipilih sebagai model terbaik karena memberikan keseimbangan terbaik antara goodness-of-fit dan kompleksitas model.
Berdasarkan hasil pemilihan model terbaik menggunakan pendekatan backward selection, diperoleh model regresi linear berganda yang paling optimal untuk menjelaskan variasi prevalensi stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Model ini mempertahankan variabel-variabel yang secara statistik dan substantif relevan, yaitu sanitasi layak, akses air minum layak, kepemilikan jamban, rata-rata lama sekolah (RLS) perempuan, PDRB, jumlah kasus diare, dan jumlah kasus malaria.
Secara matematis, model regresi linear yang digunakan dapat dinyatakan sebagai berikut :
\[ \text{Prevalensi Stunting}_i = 65,22 + 0,18 \text{Sanitasi Layak}_i - 0,17 \text{Air Minum Layak}_i - 0,25 \text{Kepemilikan Jamban}_i - 3,87 \text{RLS Perempuan}_i + 0,0008 \text{PDRB}_i - 0,0016 \text{Kasus Diare}_i + 0,003 \text{Kasus Malaria}_i \]
dengan \(\beta_0\) merupakan intercept, sedangkan \(\beta_j\) \((j = 1, \ldots, 7)\) merupakan koefisien regresi untuk masing-masing variabel penjelas. Koefisien regresi \(\beta_j\) menunjukkan besarnya perubahan prevalensi stunting akibat perubahan satu satuan pada masing-masing variabel independen, dengan asumsi variabel lain konstan. Model tersebut memiliki nilai koefisien determinasi (R²) sebesar 0,7051 yang berarti model mampu menjelaskan sekitar 70,51% variasi prevalensi stunting
Ringkasan hasil estimasi parameter dari model regresi tersebut disajikan melalui output berikut dan menjadi dasar dalam pelaksanaan uji simultan dan uji parsial.
summary(model_backward)
##
## Call:
## lm(formula = `Prevalensi Stunting` ~ `Sanitasi Layak` + `Air Minum Layak` +
## `Kepemilikan Jamban` + `RLS Perempuan` + PDRB + `Kasus Diare` +
## `Kasus Malaria`, data = data)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -4.9256 -2.5065 -0.6027 1.5759 13.2756
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
## (Intercept) 65.2188255 19.1282031 3.410 0.00423 **
## `Sanitasi Layak` 0.1789031 0.1183252 1.512 0.15279
## `Air Minum Layak` -0.1748000 0.1402382 -1.246 0.23305
## `Kepemilikan Jamban` -0.2552185 0.1938692 -1.316 0.20917
## `RLS Perempuan` -3.8749552 1.8147814 -2.135 0.05090 .
## PDRB 0.0008590 0.0003479 2.469 0.02703 *
## `Kasus Diare` -0.0016734 0.0012533 -1.335 0.20311
## `Kasus Malaria` 0.0034419 0.0011424 3.013 0.00931 **
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## Residual standard error: 4.827 on 14 degrees of freedom
## Multiple R-squared: 0.7051, Adjusted R-squared: 0.5576
## F-statistic: 4.781 on 7 and 14 DF, p-value: 0.006249
Uji simultan dilakukan menggunakan uji F untuk mengetahui apakah seluruh variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap prevalensi stunting.
Hipotesis
H₀ : Semua koefisien regresi sama dengan nol
H₁ : Minimal ada satu koefisien regresi yang tidak sama dengan nol
Kriteria Uji
Tolak H₀ jika p-value ≤ α (5%)
Kesimpulan
Hasil uji F pada model terbaik menghasilkan p-value sebesar 0,006249
(< 0,05), sehingga H₀ ditolak. Artinya, variabel-variabel dalam model
secara simultan berpengaruh signifikan terhadap prevalensi stunting.
Uji parsial dilakukan menggunakan uji t untuk menilai pengaruh masing-masing variabel independen terhadap prevalensi stunting.
Hipotesis
H₀ : βᵢ = 0 (variabel ke-i tidak berpengaruh)
H₁ : βᵢ ≠ 0 (variabel ke-i berpengaruh)
Kriteria Uji
Tolak H₀ jika p-value ≤ α (5%)
Kesimpulan
Hasil uji parsial pada model terbaik menunjukkan bahwa Kasus Malaria dan
PDRB berpengaruh signifikan terhadap prevalensi stunting, sedangkan RLS
Perempuan menunjukkan pengaruh yang mendekati signifikan. Variabel
lainnya belum menunjukkan pengaruh signifikan secara statistik pada
taraf 5%. Temuan ini mengindikasikan bahwa faktor ekonomi dan penyakit
infeksi memiliki peran penting dalam menjelaskan variasi prevalensi
stunting antarwilayah di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Berdasarkan pendekatan epidemiologi dan analisis kuantitatif yang telah dilakukan, kejadian stunting pada balita di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor agent, host, dan environment. Stunting tidak disebabkan oleh satu agen biologis tunggal, melainkan dipengaruhi oleh paparan patogen lingkungan yang memicu infeksi berulang, seperti diare dan malaria, serta kondisi environmental enteric dysfunction (EED) akibat sanitasi yang tidak memadai. Balita sebagai host berada pada fase pertumbuhan yang cepat dengan sistem imun yang belum matang, sehingga sangat rentan terhadap dampak infeksi dan kekurangan gizi kronis. Kerentanan ini semakin diperberat oleh faktor lingkungan, khususnya kondisi sosial ekonomi keluarga, rendahnya pendidikan perempuan, keterbatasan akses terhadap pangan bergizi, sanitasi, air minum layak, dan layanan kesehatan. Interaksi faktor-faktor tersebut menyebabkan gangguan pertumbuhan linear yang bersifat kronis dan menetap, sehingga berujung pada kejadian stunting.
Secara epidemiologis, gambaran kejadian stunting di Provinsi NTT menunjukkan bahwa stunting masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang cukup serius. Berdasarkan perhitungan prevalensi agregat, prevalensi stunting balita di tingkat provinsi mencapai 16,92%, yang berarti sekitar satu dari enam balita mengalami stunting. Pada tingkat kabupaten/kota, prevalensi stunting menunjukkan variasi yang cukup besar, dengan nilai terendah sebesar 7,85% dan tertinggi mencapai 39,24%. Variasi prevalensi ini mencerminkan adanya ketimpangan beban stunting antarwilayah, di mana beberapa kabupaten/kota menghadapi risiko stunting yang jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya.
Analisis spasial menunjukkan bahwa kejadian stunting di Provinsi NTT tidak terdistribusi secara acak secara geografis. Uji Moran’s I menghasilkan nilai yang signifikan, yang mengindikasikan adanya autokorelasi spasial positif pada prevalensi stunting. Artinya, kabupaten/kota dengan prevalensi stunting tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah lain yang juga memiliki prevalensi tinggi. Pola ini diperkuat oleh analisis spasial lokal yang mengidentifikasi wilayah hot spot stunting di Pulau Sumba. Meskipun stunting bukan penyakit menular, keberadaan pola spasial ini mencerminkan bahwa faktor-faktor penyebab stunting bersifat spasial dan terdistribusi secara regional. Hal ini diperkuat oleh hasil uji Moran’s I pada beberapa variabel penjelas, seperti kemiskinan, sanitasi layak, akses air minum layak, dan kepemilikan jamban, yang juga menunjukkan autokorelasi spasial signifikan. Dengan demikian, pola spasial stunting di NTT lebih disebabkan oleh pengelompokan kondisi sosial ekonomi, lingkungan, dan infrastruktur dasar yang relatif serupa pada wilayah-wilayah yang berdekatan, bukan oleh proses penularan biologis stunting itu sendiri.
Berdasarkan pemodelan regresi linear berganda, diperoleh model akhir yang mampu menjelaskan variasi prevalensi stunting antar kabupaten/kota di Provinsi NTT, yaitu :
\[ \text{Prevalensi Stunting}_i = 65,22 + 0,18 \text{Sanitasi Layak}_i - 0,17 \text{Air Minum Layak}_i - 0,25 \text{Kepemilikan Jamban}_i - 3,87 \text{RLS Perempuan}_i + 0,0008 \text{PDRB}_i - 0,0016 \text{Kasus Diare}_i + 0,003 \text{Kasus Malaria}_i \]
dengan nilai R² = 0,7051 yang berarti model mampu menjelaskan sekitar 70,51% variasi prevalensi stunting
Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah kasus malaria dan PDRB berhubungan signifikan dengan prevalensi stunting pada taraf signifikansi 5%, sementara rata-rata lama sekolah (RLS) perempuan menunjukkan pengaruh yang mendekati signifikan. Secara kuantitatif, peningkatan satu kasus malaria berkaitan dengan peningkatan prevalensi stunting sebesar sekitar 0,003%, dengan asumsi faktor lain konstan. Adapun peningkatan PDRB sebesar satu satuan berkaitan dengan peningkatan prevalensi stunting sebesar sekitar 0,0008%, yang mencerminkan adanya dinamika pembangunan ekonomi wilayah yang belum sepenuhnya diikuti oleh perbaikan gizi dan kesehatan anak. Sementara itu, peningkatan satu tahun rata-rata lama sekolah perempuan cenderung menurunkan prevalensi stunting sebesar sekitar 3,87%, meskipun pengaruh ini masih berada pada batas signifikansi statistik.
Secara simultan, variabel-variabel dalam model regresi akhir berpengaruh signifikan terhadap prevalensi stunting, dan hasil uji asumsi klasik menunjukkan bahwa model OLS telah memenuhi asumsi normalitas, homoskedastisitas, linearitas, serta independensi residual secara spasial. Dengan demikian, model OLS dinilai sudah memadai untuk menjelaskan hubungan antara faktor risiko dan kejadian stunting pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Berdasarkan hasil penelitian, beberapa saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut.
Pertama, upaya penurunan stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur perlu dilakukan secara terintegrasi dengan memperhatikan interaksi faktor agent, host, dan environment. Intervensi tidak cukup hanya berfokus pada pemberian gizi, tetapi juga harus mencakup pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi, perbaikan sanitasi lingkungan, serta penguatan layanan kesehatan ibu dan anak.
Kedua, pemerintah daerah perlu menerapkan pendekatan berbasis wilayah (area-based approach) dalam penanggulangan stunting, terutama pada kabupaten/kota yang teridentifikasi sebagai wilayah dengan prevalensi tinggi dan hot spot stunting. Pendekatan ini penting mengingat kejadian stunting menunjukkan pola spasial regional yang kuat.
Ketiga, pengendalian penyakit infeksi, khususnya malaria, perlu menjadi prioritas dalam strategi penurunan stunting di wilayah endemis. Program pencegahan dan penanganan malaria diharapkan dapat berkontribusi langsung dalam menurunkan risiko stunting pada balita.
Keempat, peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya melalui peningkatan pendidikan perempuan, perlu terus didorong sebagai investasi jangka panjang dalam pencegahan stunting. Pendidikan perempuan berpotensi memperbaiki pola asuh, pemenuhan gizi anak, dan pemanfaatan layanan kesehatan.
Kelima, penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan data lintas waktu atau data individual/rumah tangga serta mempertimbangkan penerapan model spasial lanjutan apabila ketergantungan spasial residual masih ditemukan. Hal ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai dinamika kejadian stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Agent Based Modeling on Dynamic Spreading Dengue Fever Epidemic | Mulyani | TELKOMNIKA (Telecommunication Computing Electronics and Control). (n.d.). Retrieved December 19, 2025, from https://telkomnika.uad.ac.id/index.php/TELKOMNIKA/article/view/4511
Fact sheets - Malnutrition. (n.d.). Retrieved December 19, 2025, from https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/malnutrition
Khan, M. A., & Fatmawati. (2021). Dengue infection modeling and its optimal control analysis in East Java, Indonesia. Heliyon, 7(1), e06023. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2021.e06023
Principles of Epidemiology in Public Health Practice, Third EditionAn Introduction to Applied Epidemiology and Biostatistics | CDC Archive. (n.d.). Retrieved December 19, 2025, from https://archive.cdc.gov/#/details?url=https://www.cdc.gov/csels/dsepd/ss1978/index.html
Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia 2020-2024 - Badan Pusat Statistik Indonesia. (n.d.). Retrieved December 19, 2025, from https://www.bps.go.id/id/publication/2025/06/10/ca543e942579ced46afd603b/produk-domestik-regional-bruto-kabupaten-kota-di-indonesia-2020-2024.html
Ramadona, A. L., Lazuardi, L., Hii, Y. L., Holmner, Å., Kusnanto, H., & Rocklöv, J. (2016). Prediction of Dengue Outbreaks Based on Disease Surveillance and Meteorological Data. PLOS ONE, 11(3), e0152688. https://doi.org/10.1371/JOURNAL.PONE.0152688
Rata-rata Lama Sekolah (RLS) menurut Jenis Kelamin - Tabel
Statistik - Badan Pusat Statistik Indonesia. (n.d.). Retrieved
December 19, 2025, from https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/NDU5IzI=/rata-rata-lama-sekolah--rls--menurut-jenis-kelamin--tahun-.html
Rata-rataKonsumsi Protein Perkapita Sehari Menurut
Kabupaten/Kota - TabelStatistik -
BadanPusatStatistikProvinsiNusaTenggara Timur. (n.d.).
Retrieved December 19, 2025, from https://ntt.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTAzNyMy/rata-rata-konsumsi-protein-perkapita-sehari-menurut-kabupaten-kota.html
ntt.bps.go.id
Kepadatan Penduduk - Tabel Statistik - Badan Pusat Statistik
Provinsi Nusa Tenggara Timur. (n.d.). Retrieved December 19, 2025,
from https://ntt.bps.go.id/id/statistics-table/2/NTM2IzI=/kepadatan-penduduk.html
ntt.bps.go.id
Jumlah Kasus Penyakit Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Penyakit -
Tabel Statistik - Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara
Timur. (n.d.). Retrieved December 19, 2025, from https://ntt.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTQ4NSMy/jumlah-kasus-penyakit-menurut-kabupaten-kota-dan-jenis-penyakit.html
Jumlah Kematian Bayi dan Balita - Tabel Statistik - Badan Pusat
Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur. (n.d.). Retrieved December
19, 2025, from https://ntt.bps.go.id/id/statistics-table/2/NTgyIzI=/jumlah-kematian-bayi-dan-balita.html
Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka 2025 - Badan Pusat
Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur. (2025, February 28).
Retrieved December 19, 2025, from https://ntt.bps.go.id/id/publication/2025/02/28/0486bf7b20576e8f1faa5384/provinsi-nusa-tenggara-timur-dalam-angka-2025.html
Rwezaura, H., Diagne, M. L., Omame, A., de Espindola, A. L., & Tchuenche, J. M. (2022). Mathematical modeling and optimal control of SARS-CoV-2 and tuberculosis co-infection: a case study of Indonesia. Modeling Earth Systems and Environment 2022 8:4, 8(4), 5493–5520. https://doi.org/10.1007/S40808-022-01430-6
SSGI 2024: Prevalensi Stunting Nasional Turun Menjadi 19,8%. (n.d.). Retrieved December 19, 2025, from https://kemkes.go.id/id/ssgi-2024-prevalensi-stunting-nasional-turun-menjadi-198
Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 - Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan | BKPK Kemenkes. (n.d.). Retrieved December 19, 2025, from https://www.badankebijakan.kemkes.go.id/survei-status-gizi-indonesia-ssgi-2024/
Szklo, M., & Nieto, F. J. (2019). Commuicating Results of Epidemiologic Studies (Chapter 9). Epidemiology: Beyond the Basics, 4th Edition, 411–433. https://www.jblearning.com/catalog
Anggraeni, P. N., Ethicawati, S., Widyastuti, A., Riyana, O., & Alfiyanti, D. (2025). Penyuluhan gizi seimbang pada orang tua balita melalui media barcode interaktif di wilayah kerja Posyandu Mekarsari. Jurnal Pengabdian Masyarakat Kesehatan Terapan (JPMKT), 4(2), 91–98.
Ainin, Q., Ariyanto, Y., Anggun Kinanthi, C., & Kesehatan Masyarakat Universitas Jember Jl Kalimantan Kampus Bumi Tegal NoI, F. (2023). HUBUNGAN PENDIDIKAN IBU, PRAKTIK PENGASUHAN DAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA DI DESA LOKUS STUNTING WILAYAH KERJA PUSKESMAS PARON KABUPATEN NGAWI. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 11(1), 89–95. https://doi.org/10.14710/JKM.V11I1.35848
Budge, S., Parker, A. H., Hutchings, P. T., & Garbutt, C. (2019). Environmental enteric dysfunction and child stunting. Nutrition Reviews, 77(4), 240–253. https://doi.org/10.1093/NUTRIT/NUY068
Lestari, Y., Attamimi, H. R., Kesuma, E. G., & Hajera, H. (2025). A Qualitative Study on Risk Factors Contributing to Stunting in Karang Dima Village, Sumbawa Regency. International Journal Of Health Science, 5(2), 363–370. https://doi.org/10.55606/IJHS.V5I2.5648
Munir, D. A., Hikmayani, N. H., & Sumardiyono, S. (2025). Puskesmas Accreditation Status And Asset Ownership Potentially Lowering Stunting : Multilevel Analysis In Jeneponto and Barru Districts, South Sulawesi. Journal of Health and Nutrition Research, 4(2), 504–517. https://doi.org/10.56303/JHNRESEARCH.V4I2.407
Wand, H., Naidoo, S., Govender, V., Reddy, T., & Moodley, J. (2024). Preventing Stunting in South African Children Under 5: Evaluating the Combined Impacts of Maternal Characteristics and Low Socioeconomic Conditions. Journal of Prevention 2024 45:3, 45(3), 339–355. https://doi.org/10.1007/S10935-024-00766-2
Dashboard : https://rahmauliaputri.shinyapps.io/DashboardAnalisisStuntingdiNTT/
Video : https://www.youtube.com/@rahmaauliaputri8733 dengan judul “Laporan Analisis Epidemiologi Stunting di Nusa Tenggara Timur”
Syntax R Shiny : https://drive.google.com/drive/folders/18hvDszdfzTomqnR3rnJLE1J9ZcBjpEU_?usp=sharing