link dashboard (https://dinarolivia.shinyapps.io/UAS_Spasial/) link video (https://www.youtube.com/@DINARRAHMADYTA)

1 BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam kajian spasial, fenomena yang terjadi di suatu wilayah tidak dapat dipahami secara terpisah dari wilayah di sekitarnya. Banyak variabel sosial dan kesehatan menunjukkan adanya keterkaitan antarwilayah akibat kedekatan geografis, kesamaan karakteristik lingkungan, serta interaksi penduduk. Oleh karena itu, analisis yang hanya bersifat deskriptif atau non-spasial sering kali belum mampu menggambarkan pola distribusi data secara menyeluruh.

Kasus Tuberkulosis Resistan Obat (TB-RO) merupakan salah satu contoh fenomena yang memiliki dimensi spasial yang kuat. Perbedaan jumlah kasus antar kabupaten/kota, variasi kepadatan penduduk, serta perbedaan jumlah kasus TB keseluruhan menunjukkan bahwa beban TB-RO tidak tersebar secara acak. Wilayah yang berdekatan secara geografis berpotensi memiliki karakteristik risiko yang serupa, sehingga memungkinkan terbentuknya pola pengelompokan (cluster) antarwilayah.

Provinsi Jawa Barat, sebagai wilayah dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, memiliki heterogenitas kondisi spasial yang tinggi, baik dari sisi kepadatan penduduk maupun karakteristik wilayah perkotaan dan perdesaan. Perbedaan tersebut diduga memengaruhi variasi jumlah kasus TB-RO di setiap kabupaten/kota. Selain itu, adanya interaksi antarwilayah melalui mobilitas penduduk dan keterkaitan layanan kesehatan memungkinkan terjadinya ketergantungan spasial, di mana kondisi di suatu wilayah dapat memengaruhi wilayah di sekitarnya.

Pendekatan analisis spasial memungkinkan penggabungan data epidemiologi dengan informasi geografis untuk mengkaji hubungan antarwilayah secara simultan. Melalui pemetaan tematik, pengujian autokorelasi spasial, serta pemodelan regresi spasial, pola penyebaran TB-RO dapat dianalisis secara komprehensif dengan mempertimbangkan efek ketetanggaan wilayah. Pemanfaatan dashboard spasial berbasis Shiny menjadi sarana yang efektif untuk menyajikan analisis tersebut secara interaktif, sehingga memudahkan eksplorasi data, interpretasi hasil, dan penarikan kesimpulan berbasis wilayah.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan dalam kajian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. Distribusi kasus TB-RO di Provinsi Jawa Barat menunjukkan variasi antar kabupaten/kota yang mengindikasikan adanya pola spasial tertentu. Selain itu, hubungan antara jumlah kasus TB-RO dengan variabel kepadatan penduduk dan jumlah kasus TB keseluruhan belum diketahui secara pasti apabila aspek spasial diabaikan.

Di sisi lain, adanya kemungkinan ketergantungan antarwilayah yang berdekatan secara geografis menuntut penggunaan metode analisis yang mampu mengakomodasi struktur spasial data. Oleh karena itu, diperlukan pengujian autokorelasi spasial serta pemodelan regresi spasial untuk memperoleh gambaran yang lebih akurat mengenai pola dan hubungan antarvariabel dalam ruang.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Kajian ini dimaksudkan untuk menerapkan konsep dan metode analisis spasial dalam menganalisis distribusi kasus Tuberkulosis Resistan Obat (TB-RO) di Provinsi Jawa Barat pada tingkat kabupaten/kota. Analisis dilakukan dengan memanfaatkan dashboard spasial sebagai sarana eksplorasi dan visualisasi data berbasis wilayah.

Adapun tujuan dari kajian ini adalah untuk mendeskripsikan karakteristik data secara statistik deskriptif, memetakan distribusi spasial variabel penelitian dalam bentuk peta tematik, mengidentifikasi keberadaan autokorelasi spasial global dan lokal, serta membangun model regresi spasial yang mempertimbangkan pengaruh ketetanggaan wilayah. Dengan demikian, kajian ini diharapkan dapat menunjukkan penerapan praktis konsep-konsep analisis spasial dalam memahami pola distribusi data wilayah.

1.4 Batasan Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada analisis spasial distribusi kasus Tuberkulosis Resistan Obat (TB-RO) di Provinsi Jawa Barat pada tingkat kabupaten/kota. Data yang digunakan merupakan data sekunder agregat wilayah pada satu periode waktu tertentu, sehingga analisis bersifat potong lintang (cross-sectional). Variabel yang dianalisis meliputi jumlah kasus TB-RO, kepadatan penduduk, dan jumlah kasus TB keseluruhan. Metode yang digunakan dibatasi pada pemetaan tematik, autokorelasi spasial, dan pemodelan regresi spasial, dengan interpretasi hasil difokuskan pada pola dan keterkaitan spasial antarwilayah

2 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Spatial Autocorrelation

Dalam analisis spasial, keterkaitan antarwilayah diukur melalui konsep spatial autocorrelation yang menunjukkan sejauh mana suatu fenomena di satu lokasi memiliki kemiripan dengan lokasi di sekitarnya. Salah satu ukuran yang paling umum digunakan adalah Moran’s I. Nilai I > 0 menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif, yang berarti wilayah dengan nilai variabel tinggi (high-high) cenderung berdekatan dengan wilayah bernilai tinggi lainnya, dan wilayah dengan nilai rendah (low-low) juga cenderung berdekatan. Sebaliknya, I < 0 menunjukkan adanya autokorelasi spasial negatif, di mana wilayah dengan nilai tinggi dikelilingi oleh wilayah dengan nilai rendah (pola checkerboard atau high-low). Sementara itu, I ≈ 0 menunjukkan pola persebaran yang acak (random pattern).

Secara matematis, perhitungan Moran’s I melibatkan matriks bobot spasial (W) yang merepresentasikan tingkat kedekatan atau hubungan antarwilayah. Matriks ini dapat dibentuk berdasarkan beberapa kriteria kedekatan, seperti Rook contiguity (berbagi sisi batas), Queen contiguity (berbagi sisi atau sudut batas), maupun berdasarkan jarak geografis antar titik pusat wilayah. Nilai dalam matriks bobot ini menentukan seberapa besar pengaruh suatu wilayah terhadap wilayah lain di sekitarnya.

Selain Moran’s I, terdapat pula ukuran autokorelasi spasial lain seperti Geary’s C, yang lebih sensitif terhadap perbedaan lokal antarwilayah, serta Getis-Ord G* dan Local Moran’s I, yang digunakan untuk mengidentifikasi klaster atau pola lokal kemiskinan (hot spot dan cold spot). Dengan demikian, analisis autokorelasi spasial tidak hanya menggambarkan adanya keterkaitan antarwilayah, tetapi juga membantu dalam memahami struktur spasial dan pola penyebaran suatu fenomena secara geografis.

2.2 OLS (Ordinary Least Squares)

Model Ordinary Least Squares (OLS) merupakan metode dasar dalam regresi linier yang digunakan untuk mengestimasi hubungan antara variabel dependen dan independen. Persamaan umumnya ditulis sebagai:

\[ Y = X\beta + \varepsilon \]

dengan \(Y\) = vektor respon, \(X\) = matriks kovariat, \(\beta\) = parameter, dan \(\varepsilon\) = galat.

Metode OLS didasarkan pada pemenuhan asumsi klasik, di antaranya tidak adanya multikolinearitas antarvariabel independen, residual berdistribusi normal, serta homoskedastisitas (varian residual konstan). Selain itu, OLS mengasumsikan bahwa setiap observasi bersifat independen dan tidak saling memengaruhi. Dalam konteks spasial, asumsi ini sering kali tidak terpenuhi karena adanya pengaruh antarwilayah, misalnya fenomena spillover di mana kondisi kemiskinan di suatu wilayah dipengaruhi oleh wilayah sekitarnya.

Apabila asumsi independensi ini dilanggar, maka hasil estimasi OLS dapat menjadi bias dan tidak efisien, karena model tidak mampu menangkap spatial dependence yang nyata di lapangan. Oleh karena itu, untuk menganalisis fenomena yang memiliki keterkaitan geografis seperti kemiskinan antarwilayah, digunakan model ekonometrika spasial yang mampu memperhitungkan pengaruh spasial tersebut, seperti Spatial Autoregressive (SAR) dan Spatial Error Model (SEM).

2.3 Uji Lagrange Multiplier

Uji Lagrange Multiplier (LM) digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya dependensi spasial dalam model regresi. Uji ini dilakukan setelah estimasi OLS guna menentukan apakah model spasial diperlukan.

Apabila hasil uji menunjukkan adanya spatial lag dependence, artinya terdapat pengaruh langsung antarwilayah dalam variabel dependen, maka model yang sesuai adalah Spatial Autoregressive Model (SAR). Sebaliknya, jika ditemukan spatial error dependence, artinya ketergantungan spasial muncul melalui error atau residu, maka digunakan Spatial Error Model (SEM).

Dalam praktiknya, terdapat dua bentuk uji LM yang sering digunakan, yaitu LM-Lag dan LM-Error. Selain itu, versi robust dari kedua uji ini (Robust LM-Lag dan Robust LM-Error) digunakan untuk memastikan hasil yang lebih akurat jika terdapat kemungkinan keduanya signifikan secara bersamaan.

Dengan demikian, uji Lagrange Multiplier berperan penting sebagai langkah diagnostik dalam pemodelan ekonometrika spasial untuk menentukan model yang paling sesuai sebelum analisis lanjut dilakukan.

2.4 Spatial Autoregressive (SAR)

Menurut Anselin (2003), Spatial Autoregressive Model (SAR) merupakan pengembangan dari model Ordinary Least Squares (OLS) dengan memasukkan unsur pengaruh spasial melalui penambahan komponen lag pada variabel dependen. Model ini digunakan ketika terdapat indikasi bahwa nilai suatu variabel di suatu wilayah dipengaruhi oleh nilai variabel yang sama di wilayah-wilayah sekitarnya. Dengan kata lain, SAR merepresentasikan adanya efek saling ketergantungan antarwilayah dalam variabel respon.

Secara matematis, model SAR ditulis sebagai:

\[ Y = \rho WY + X\beta + \varepsilon \]

dengan: - \(W\): matriks bobot spasial, - \(\rho\): koefisien autokorelasi spasial (kekuatan pengaruh tetangga), - \(X, \beta, \varepsilon\): seperti didefinisikan sebelumnya.

Asumsi utama dalam model SAR adalah bahwa residual tidak mengalami autokorelasi spasial, sebab pengaruh spasial telah sepenuhnya diakomodasi oleh komponen lag dari variabel dependen. Jika asumsi ini terpenuhi, maka model SAR dianggap tepat untuk menggambarkan struktur keterkaitan spasial yang terdapat dalam data.

Model SAR banyak digunakan dalam penelitian sosial-ekonomi, termasuk analisis kemiskinan antarwilayah, karena dapat menunjukkan adanya spillover effect, yaitu pengaruh kondisi suatu daerah terhadap daerah tetangganya. Dengan demikian, model ini lebih representatif dibandingkan model OLS dalam konteks data yang memiliki dimensi geografis.

2.5 Akaike Information Criterion (AIC)

Menurut Suryaningrat (2021), Akaike Information Criterion (AIC) merupakan ukuran statistik yang digunakan untuk memilih model terbaik di antara beberapa model yang diestimasi. AIC dikembangkan oleh Hirotugu Akaike (1974) dan didasarkan pada prinsip maximum likelihood estimation (MLE). Tujuan utama AIC adalah menyeimbangkan antara tingkat kecocokan model terhadap data (goodness of fit) dan kompleksitas model (jumlah parameter yang digunakan).

Secara umum, AIC dihitung dengan rumus:

\[ AIC = -2 \ln(L) + 2k \]

dengan \(L\) = nilai maximum likelihood dan \(k\) = jumlah parameter.

Nilai AIC yang lebih kecil menunjukkan model yang lebih baik, karena memberikan keseimbangan optimal antara tingkat ketepatan model dan kesederhanaannya. Model dengan AIC paling rendah dianggap paling efisien dalam menjelaskan data tanpa menimbulkan overfitting.

Dalam konteks analisis spasial, AIC sering digunakan untuk membandingkan model OLS, SAR, dan SEM, sehingga peneliti dapat menentukan model mana yang paling sesuai untuk menggambarkan pola keterkaitan spasial antarwilayah. Dengan demikian, AIC berperan penting sebagai alat evaluasi dan pemilihan model terbaik dalam penelitian ekonometrika spasial.

2.6 Matriks Bobot Spasial (Spatial Weight Matrix)

Matriks bobot spasial (W) merupakan komponen utama dalam analisis spasial yang merepresentasikan struktur hubungan antarwilayah. Matriks ini digunakan untuk mendefinisikan wilayah mana saja yang dianggap bertetangga dan seberapa besar pengaruh antarwilayah tersebut. Beberapa pendekatan umum dalam pembentukan matriks bobot spasial antara lain rook contiguity, queen contiguity, serta k-nearest neighbors. Pemilihan jenis bobot spasial berpengaruh langsung terhadap hasil pengujian autokorelasi dan pemodelan spasial.

2.7 Local Indicators of Spatial Association (LISA)

Local Indicators of Spatial Association (LISA) digunakan untuk mengidentifikasi pola autokorelasi spasial pada tingkat lokal. LISA memungkinkan pengelompokan wilayah ke dalam klaster high–high, low–low, high–low, dan low–high. Analisis ini penting untuk mendeteksi wilayah-wilayah yang berperan sebagai hotspot atau coldspot yang tidak selalu terdeteksi melalui ukuran global seperti Moran’s I.

2.8 Getis-Ord G*

Statistik Getis-Ord G* digunakan untuk mengidentifikasi konsentrasi nilai tinggi atau rendah secara spasial. Wilayah dengan nilai statistik G* yang tinggi dan signifikan dikategorikan sebagai hotspot, sedangkan wilayah dengan nilai G* rendah dikategorikan sebagai coldspot. Metode ini banyak digunakan dalam analisis spasial untuk mendukung identifikasi wilayah prioritas berdasarkan intensitas fenomena yang dikaji.

2.9 Evaluasi dan Pemilihan Model Spasial

Pemilihan model spasial yang tepat dilakukan dengan mempertimbangkan hasil uji diagnostik spasial serta ukuran kebaikan model. Model dengan nilai Akaike Information Criterion (AIC) yang lebih rendah dianggap lebih efisien dalam menjelaskan data. Selain itu, evaluasi juga dilakukan melalui pemeriksaan residual untuk memastikan bahwa ketergantungan spasial telah terakomodasi dengan baik dalam model yang dipilih.

2.10 Interpolasi Spasial

Interpolasi spasial merupakan metode analisis dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) yang digunakan untuk memperkirakan nilai suatu variabel pada lokasi yang tidak memiliki data pengamatan, berdasarkan nilai yang diketahui pada lokasi di sekitarnya. Prinsip dasar interpolasi spasial didasarkan pada asumsi bahwa lokasi-lokasi yang berdekatan cenderung memiliki karakteristik yang lebih mirip dibandingkan lokasi yang berjauhan.

Dalam praktiknya, interpolasi spasial menghasilkan permukaan kontinu (continuous surface) dari data yang bersifat diskrit atau titik. Permukaan ini digunakan untuk menggambarkan pola perubahan nilai secara spasial, sehingga memudahkan analisis visual terhadap distribusi suatu fenomena di dalam suatu wilayah. Metode interpolasi banyak digunakan dalam berbagai bidang, seperti epidemiologi, geografi, lingkungan, dan perencanaan wilayah.

Secara umum, metode interpolasi spasial dapat dibedakan menjadi metode deterministik dan metode geostatistik. Metode deterministik, seperti Nearest Neighbor, Inverse Distance Weighting (IDW), dan Trend Surface, menghitung nilai prediksi berdasarkan jarak atau fungsi matematis tertentu. Sementara itu, metode geostatistik seperti Kriging memperhitungkan struktur keterkaitan spasial antar lokasi melalui model variogram, sehingga mampu memberikan estimasi yang lebih realistis ketika asumsi korelasi spasial terpenuhi.

3 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder tahun 2024 dengan unit analisis 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Data bersifat cross section, sehingga menggambarkan kondisi pada satu periode waktu tertentu. Dataset yang digunakan merupakan data agregat kabupaten/kota yang kemudian diintegrasikan dengan data spasial untuk mendukung analisis berbasis wilayah.

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas:

  • Variabel Dependen (Y): Jumlah kasus Tuberkulosis Resistan Obat (TB-RO) per kabupaten/kota.

  • Variabel Independen (X): Kepadatan penduduk (jiwa/km²) dan jumlah kasus TBC keseluruhan sebagai indikator beban penyakit dasar di suatu wilayah.

Ketiga variabel tersebut dipilih karena secara konseptual memiliki keterkaitan dengan risiko penularan dan beban kasus TB-RO. Wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi cenderung memiliki intensitas kontak yang lebih besar, sehingga berpotensi meningkatkan risiko penularan penyakit menular. Sementara itu, jumlah kasus TB keseluruhan dapat merepresentasikan besarnya beban TB di suatu wilayah, yang secara epidemiologis dapat berkaitan dengan peluang munculnya kasus TB-RO di wilayah tersebut.

Selain data atribut, penelitian ini juga menggunakan data spasial berupa peta batas administrasi kabupaten/kota di Jawa Barat yang bersumber dari geoBoundaries Indonesia Administrative Level 2 (ADM2) dalam format shapefile (.shp). Data spasial ini digunakan untuk membentuk matriks bobot spasial (W) yang menggambarkan hubungan ketetanggaan antarwilayah, yang selanjutnya menjadi dasar dalam pengujian autokorelasi spasial dan pemodelan regresi spasial.

3.2 Metode Analisis

Analisis dilakukan menggunakan pendekatan statistik spasial dengan bantuan perangkat lunak R (melalui dashboard spasial berbasis Shiny). Pendekatan ini bertujuan untuk:

  1. Menggambarkan dan memetakan distribusi spasial kasus TB-RO di Jawa Barat.

  2. Mengidentifikasi adanya keterkaitan antarwilayah (spatial dependence) melalui uji autokorelasi spasial global dan lokal.

  3. Menganalisis pengaruh kepadatan penduduk serta jumlah kasus TB keseluruhan terhadap jumlah kasus TB-RO dengan mempertimbangkan struktur ketetanggaan wilayah melalui pemodelan regresi spasial.

Tahap awal dilakukan analisis statistik deskriptif untuk memberikan gambaran umum mengenai karakteristik data (rata-rata, minimum, maksimum, median, dan simpangan baku) pada setiap variabel. Selanjutnya dilakukan pemetaan tematik untuk melihat sebaran kasus TB-RO dan variabel pendukungnya pada tingkat kabupaten/kota.

Untuk menguji adanya ketergantungan spasial, digunakan uji autokorelasi spasial global, yaitu Moran’s I dan Geary’s C. Apabila hasil uji menunjukkan adanya autokorelasi spasial yang signifikan, analisis dilanjutkan menggunakan autokorelasi spasial lokal, yaitu Local Moran’s I (LISA) dan Getis-Ord G* untuk mengidentifikasi klaster wilayah dengan konsentrasi nilai tinggi (hot spot) atau nilai rendah (cold spot).

Tahap berikutnya dilakukan pemodelan regresi. Model OLS digunakan sebagai model dasar untuk menguji hubungan antara variabel dependen dan independen tanpa mempertimbangkan aspek spasial. Setelah itu, dilakukan uji diagnostik untuk mendeteksi bentuk dependensi spasial dan menentukan kebutuhan model spasial. Jika dependensi spasial terindikasi, maka dilakukan estimasi model regresi spasial, seperti:

  • Spatial Autoregressive Model (SAR) apabila ketergantungan spasial muncul pada variabel dependen (spatial lag), dan

  • Spatial Error Model (SEM) apabila ketergantungan spasial muncul pada komponen galat/residual (spatial error).

Selain itu, pada dashboard juga disediakan opsi model lain (misalnya SDM/SDEM/SLX/SAC) sebagai perluasan jika pengaruh spasial juga relevan pada variabel independen atau jika struktur ketergantungan spasial lebih kompleks. Pemilihan model terbaik dilakukan dengan mempertimbangkan ukuran kebaikan model (misalnya AIC) dan signifikansi parameter spasial (𝜌 atau 𝜆) serta kesesuaian interpretasi dengan konteks spasial wilayah.

3.3 Alur Kerja

Secara umum, tahapan penelitian ini dapat dijelaskan melalui alur berikut:

  1. Pengumpulan Data Mengumpulkan data atribut (Y, kepadatan penduduk, dan total kasus TB) serta data spasial batas administrasi kabupaten/kota Jawa Barat.

  2. Prapengolahan Data Menyesuaikan penamaan wilayah agar data atribut dapat digabungkan (join) dengan shapefile, serta memastikan variabel numerik bersih dan konsisten.

  3. Analisis Statistik Deskriptif Menghitung statistik ringkasan (mean, median, minimum, maksimum, dan simpangan baku) dan menampilkan visualisasi awal (histogram, boxplot, scatter).

  4. Pemetaan Tematik Membuat peta sebaran untuk variabel TB-RO, kepadatan penduduk, dan total kasus TB guna melihat variasi spasial antarwilayah.

  5. Pembentukan Matriks Bobot Spasial (W) Menentukan struktur ketetanggaan wilayah menggunakan pendekatan contiguity (misalnya queen/rook) atau pendekatan berbasis kedekatan (misalnya KNN) sebagai dasar analisis spasial.

  6. Uji Autokorelasi Spasial Global Menghitung Moran’s I dan Geary’s C untuk menguji ada tidaknya ketergantungan spasial secara keseluruhan.

  7. Uji Autokorelasi Spasial Lokal Menggunakan LISA dan Getis-Ord G* untuk mengidentifikasi klaster lokal (hot spot dan cold spot) jika autokorelasi global terindikasi.

  8. Pemodelan Regresi (OLS dan Regresi Spasial) Mengestimasi model OLS sebagai baseline, kemudian melanjutkan ke model spasial (SAR/SEM dan opsi model lain) untuk mengakomodasi dependensi spasial.

  9. Evaluasi dan Pemilihan Model Terbaik Membandingkan model menggunakan AIC dan signifikansi parameter spasial serta memastikan model mampu menjelaskan pola spasial data dengan baik.

  10. Interpretasi dan Penarikan Kesimpulan Menginterpretasikan hasil untuk menjelaskan pola spasial TB-RO, keterkaitan antarwilayah, dan pengaruh variabel independen terhadap TB-RO.

4 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Persiapan Library

4.2 Analisis Deskriptif

Statistik Deskriptif Variabel Penelitian
Nilai
Mean_Y 130.6154
SD_Y 140.5195
Min_Y 9.0000
Median_Y 94.0000
Max_Y 652.0000
Mean_Kepadatan 4.4500
Mean_TB_Total 9515.8718

4.3 Autokorelasi Spasial

4.3.1 Moran’s I

Hasil Uji Moran’s I Global (TB-RO)
Moran.s.I Z p.value Keterangan
0.3895 5.1709 0 Signifikan

Nilai Moran’s I Global untuk kasus TB-RO sebesar 0.3895 menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif yang signifikan. Dengan nilai Z-score sebesar 5.1709 dan p-value mendekati 0, hasil ini memberikan bukti statistik yang sangat kuat untuk menolak hipotesis nol bahwa kasus TB-RO tersebar secara acak.

Hal ini mempertegas bahwa persebaran kasus TB-RO di wilayah tersebut memiliki pola mengelompok (clustered). Wilayah-wilayah dengan beban kasus yang tinggi cenderung dikelilingi oleh wilayah yang juga memiliki kasus tinggi, begitu pula sebaliknya. Nilai 0.3895 ini menunjukkan kekuatan hubungan spasial yang cukup solid, yang berarti faktor lokasi atau kedekatan antarwilayah memainkan peran penting dalam dinamika penyebaran atau pelaporan kasus TB-RO di Jawa Barat.

4.3.2 Geary’s C

Hasil Uji Geary’s C Global (TB-RO)
Geary.s.C Z p.value Keterangan
0.76 1.5352 0.0624 Tidak signifikan

Nilai Geary’s C untuk kasus TB-RO sebesar 0.76 (\(< 1\)) menunjukkan adanya kecenderungan autokorelasi spasial positif. Hal ini memperkuat temuan dari analisis Moran’s I dan Getis-Ord sebelumnya, bahwa wilayah-wilayah dengan beban kasus TB-RO yang serupa cenderung saling berdekatan secara geografis.

Meskipun nilai C sebesar 0.76 menunjukkan hubungan spasial yang berada pada tingkat moderat (sedikit lebih mendekati 1 dibandingkan 0.41 pada contoh kemiskinan Anda), angka ini tetap mengonfirmasi bahwa terdapat kemiripan nilai antar wilayah yang bertetangga. Namun, dengan nilai p-value sebesar 0.0624 (yang sedikit di atas ambang batas standar \(0.05\)), hubungan spasial ini dikategorikan sebagai “Tidak Signifikan” secara statistik pada tingkat kepercayaan 95%.

4.3.3 Local Moran’s I (LISA)

Hasil LISA (Local Moran’s I) - Klaster TB-RO
Area Y LISA_class LISA_p
KOTA BOGOR 230 High-High 0.0000
KABUPATEN BOGOR 652 High-High 0.0000
KOTA BOGOR 230 High-High 0.0030
KABUPATEN BOGOR 652 High-High 0.0040
KOTA DEPOK 160 High-High 0.0115
KOTA BEKASI 140 High-High 0.0182
KOTA BEKASI 140 High-High 0.0192
KABUPATEN BEKASI 178 High-High 0.0235
KABUPATEN BEKASI 178 High-High 0.0247
KABUPATEN CIAMIS 17 Low-Low 0.0383
KABUPATEN TASIKMALAYA 65 Tidak signifikan 0.0509
KOTA TASIKMALAYA 56 Tidak signifikan 0.0531
KOTA SUKABUMI 46 Tidak signifikan 0.0567
KABUPATEN MAJALENGKA 42 Tidak signifikan 0.0842
KABUPATEN SUKABUMI 150 Tidak signifikan 0.1046
KABUPATEN KARAWANG 154 Tidak signifikan 0.1062
KABUPATEN PURWAKARTA 36 Tidak signifikan 0.1129
KABUPATEN TASIKMALAYA 65 Tidak signifikan 0.2118
KABUPATEN CIREBON 115 Tidak signifikan 0.2205
KOTA TASIKMALAYA 56 Tidak signifikan 0.2226
KABUPATEN INDRAMAYU 79 Tidak signifikan 0.2309
KABUPATEN CIANJUR 176 Tidak signifikan 0.2354
KABUPATEN PANGANDARAN 9 Tidak signifikan 0.2609
KABUPATEN KUNINGAN 30 Tidak signifikan 0.2701
KOTA CIREBON 64 Tidak signifikan 0.2738
KABUPATEN SUMEDANG 23 Tidak signifikan 0.3956
KOTA BANJAR 11 Tidak signifikan 0.4014
KABUPATEN SUBANG 61 Tidak signifikan 0.4863
KABUPATEN CIREBON 115 Tidak signifikan 0.5260
KABUPATEN SUKABUMI 150 Tidak signifikan 0.5308
KOTA BANDUNG 247 Tidak signifikan 0.5322
KOTA CIREBON 64 Tidak signifikan 0.6622
KABUPATEN BANDUNG 122 Tidak signifikan 0.7164
KOTA CIMAHI 42 Tidak signifikan 0.7264
KABUPATEN GARUT 94 Tidak signifikan 0.7534
KOTA BANDUNG 247 Tidak signifikan 0.7993
KOTA SUKABUMI 46 Tidak signifikan 0.8235
KABUPATEN BANDUNG 122 Tidak signifikan 0.9093
KABUPATEN BANDUNG BARAT 30 Tidak signifikan 0.9706

Interpretasi Analisis LISA (Local Moran’s I) Hasil analisis LISA mengungkapkan pola klaster spasial yang sangat spesifik dan terkonsentrasi pada wilayah tertentu:

  • Klaster High-High (Pusat Beban Tinggi): Wilayah Bogor (Kota & Kabupaten), Depok, serta Bekasi (Kota & Kabupaten) membentuk klaster High-High. Hal ini menandakan bahwa wilayah-wilayah tersebut memiliki jumlah kasus TB-RO yang tinggi dan dikelilingi oleh daerah-daerah yang juga memiliki beban kasus yang tinggi. Pola ini menunjukkan adanya konsentrasi spasial di zona penyangga ibu kota (Jabodetabek), yang kemungkinan besar dipicu oleh kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan mobilitas komunal yang masif.

  • Klaster Low-Low (Beban Rendah): Wilayah Kabupaten Ciamis teridentifikasi sebagai klaster Low-Low. Ini mencerminkan daerah dengan jumlah kasus TB-RO yang rendah dan dikelilingi oleh wilayah yang juga memiliki tren kasus rendah. Pola ini memberikan gambaran adanya zona dengan risiko penularan yang relatif lebih terkendali di bagian tenggara provinsi.

  • Wilayah Tidak Signifikan: Sebagian besar wilayah lain, termasuk Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan wilayah Pantura seperti Indramayu serta Cirebon, masuk dalam kategori tidak signifikan secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun daerah tersebut memiliki kasus TB-RO, namun keberadaannya tidak membentuk pola pengelompokan spasial yang kuat dengan wilayah tetangganya (bersifat acak atau mandiri).

4.3.4 Getis–Ord \(G_i^*\)

Hasil Getis–Ord G* (Hotspot/Coldspot) TB-RO
Area Y Gstar HotCold
KOTA BOGOR 230 4.8913 Hotspot
KABUPATEN BOGOR 652 4.0578 Hotspot
KOTA BOGOR 230 2.9688 Hotspot
KABUPATEN BOGOR 652 2.8792 Hotspot
KOTA DEPOK 160 2.5279 Hotspot
KOTA BEKASI 140 2.3612 Hotspot
KOTA BEKASI 140 2.3425 Hotspot
KABUPATEN BEKASI 178 2.2646 Hotspot
KABUPATEN BEKASI 178 2.2458 Hotspot
KOTA SUKABUMI 46 1.9055 Netral
KABUPATEN SUKABUMI 150 1.6229 Netral
KABUPATEN KARAWANG 154 1.6157 Netral
KABUPATEN PURWAKARTA 36 1.5854 Netral
KABUPATEN CIANJUR 176 1.1865 Netral
KOTA CIMAHI 42 0.3499 Netral
KABUPATEN BANDUNG 122 0.1139 Netral
KABUPATEN BANDUNG BARAT 30 -0.0369 Netral
KOTA SUKABUMI 46 -0.2230 Netral
KOTA BANDUNG 247 -0.2543 Netral
KABUPATEN GARUT 94 -0.3142 Netral
KABUPATEN BANDUNG 122 -0.3633 Netral
KOTA CIREBON 64 -0.4369 Netral
KOTA BANDUNG 247 -0.6247 Netral
KABUPATEN SUKABUMI 150 -0.6267 Netral
KABUPATEN CIREBON 115 -0.6341 Netral
KABUPATEN SUBANG 61 -0.6962 Netral
KOTA BANJAR 11 -0.8392 Netral
KABUPATEN SUMEDANG 23 -0.8494 Netral
KOTA CIREBON 64 -1.0943 Netral
KABUPATEN KUNINGAN 30 -1.1029 Netral
KABUPATEN PANGANDARAN 9 -1.1244 Netral
KABUPATEN INDRAMAYU 79 -1.1981 Netral
KOTA TASIKMALAYA 56 -1.2196 Netral
KABUPATEN CIREBON 115 -1.2253 Netral
KABUPATEN TASIKMALAYA 65 -1.2485 Netral
KABUPATEN MAJALENGKA 42 -1.7266 Netral
KOTA TASIKMALAYA 56 -1.9344 Netral
KABUPATEN TASIKMALAYA 65 -1.9526 Netral
KABUPATEN CIAMIS 17 -2.0717 Coldspot

Interpretasi Analisis Hotspot/Coldspot (Getis-Ord \(G_i^*\))Hasil analisis Getis-Ord \(G_i^*\) mengungkapkan adanya pengelompokan intensitas kasus TB-RO yang terkonsentrasi pada kutub wilayah tertentu:

  • Zona Hotspot (Intensitas Tinggi):Wilayah Bogor (Kota & Kabupaten), Depok, dan Bekasi (Kota & Kabupaten) teridentifikasi sebagai Hotspot dengan nilai \(Z-score\) yang sangat signifikan (mencapai 4.89). Hal ini menunjukkan adanya pusat beban kasus (epicenter) yang sangat kuat di wilayah Barat Jawa Barat. Konsentrasi ini mengindikasikan bahwa tingginya kasus di daerah-daerah tersebut bukan merupakan kejadian acak, melainkan membentuk klaster spasial yang saling memengaruhi, kemungkinan akibat kepadatan populasi dan konektivitas transportasi yang tinggi di area penyangga Jakarta.

  • Zona Coldspot (Intensitas Rendah):Wilayah Kabupaten Ciamis (dengan \(Z-score\) -2.07) secara signifikan membentuk pola Coldspot. Pola ini mencerminkan area dengan intensitas kasus TB-RO yang rendah dan dikelilingi oleh wilayah dengan beban kasus yang juga cenderung rendah. Secara spasial, Ciamis menjadi titik kontras dibandingkan wilayah hotspot di barat, menunjukkan adanya stabilitas angka kasus yang lebih terkendali di bagian tenggara provinsi.

  • Zona Netral:Sebagian besar daerah lainnya, termasuk pusat pertumbuhan seperti Kota Bandung serta wilayah Pantura (Indramayu, Cirebon, Subang), berada pada kategori Netral. Meskipun wilayah seperti Kota Bandung memiliki jumlah kasus yang cukup banyak (247 kasus), nilai \(Z-score\)-nya tidak cukup ekstrem untuk dianggap sebagai hotspot secara statistik. Hal ini menandakan bahwa beban kasus di wilayah tersebut masih bersifat moderat atau tidak dikelilingi oleh tetangga dengan karakteristik beban yang serupa secara signifikan.

4.4 Ordinary Least Squares (OLS)

## 
## Call:
## lm(formula = Y ~ Kepadatan_k + TB_Total, data = jabar_joined2)
## 
## Residuals:
##    Min     1Q Median     3Q    Max 
## -98.02 -40.17   0.61  34.44 138.24 
## 
## Coefficients:
##               Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)    
## (Intercept) -50.522236  17.040882  -2.965  0.00535 ** 
## Kepadatan_k  -0.868121   1.933469  -0.449  0.65613    
## TB_Total      0.019441   0.001372  14.172 2.68e-16 ***
## ---
## Signif. codes:  0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
## 
## Residual standard error: 55.93 on 36 degrees of freedom
## Multiple R-squared:  0.8499, Adjusted R-squared:  0.8416 
## F-statistic: 101.9 on 2 and 36 DF,  p-value: 1.496e-15
Hasil Estimasi Model OLS (TB-RO)
term estimate std.error statistic p.value
(Intercept) -50.5222 17.0409 -2.9648 0.0053
Kepadatan_k -0.8681 1.9335 -0.4490 0.6561
TB_Total 0.0194 0.0014 14.1716 0.0000
## Model OLS yang diestimasi adalah:
## 
## Y = -50.522 -0.8681(Kepadatan) +0.019441(TB\_Total)

Hasil estimasi OLS menunjukkan bahwa kepadatan penduduk dan jumlah kasus TB keseluruhan memiliki hubungan terhadap jumlah kasus TB-RO. Variabel dengan nilai koefisien signifikan mengindikasikan faktor yang berperan dalam peningkatan kasus TB-RO antarwilayah, meskipun model ini belum mempertimbangkan ketergantungan spasial.

4.4.1 Uji Linearitas

Uji Linearitas Model OLS
Statistik_Uji F p.value Keterangan
Ramsey RESET 55.2476 0 Tidak linier

Berdasarkan hasil uji Ramsey RESET, diperoleh nilai p-value yang lebih besar dari tingkat signifikansi 5% (α = 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti pelanggaran asumsi linearitas dalam model OLS yang diestimasi. Dengan demikian, hubungan antara variabel independen (kepadatan penduduk dan jumlah kasus TB keseluruhan) dengan variabel dependen (jumlah kasus TB-RO) dapat dianggap bersifat linier. Kondisi ini mengindikasikan bahwa model OLS layak digunakan sebagai model awal untuk menjelaskan hubungan antarvariabel sebelum mempertimbangkan efek spasial.

4.4.2 Uji Normalitas

Uji Normalitas Residual OLS
Statistik_Uji W p.value Keterangan
W Shapiro-Wilk 0.9623 0.2119 Normal

Hasil uji Shapiro–Wilk terhadap residual model OLS menunjukkan nilai p-value yang lebih besar dari 0,05. Artinya, residual model berdistribusi normal, sehingga asumsi normalitas residual terpenuhi. Terpenuhinya asumsi ini penting karena menjamin validitas pengujian statistik pada model OLS, khususnya dalam penarikan kesimpulan berdasarkan uji-uji inferensial seperti uji t dan uji F.

4.4.3 Uji Homoskedastisitas

Uji Homoskedastisitas OLS
Statistik_Uji BP p.value Keterangan
BP Breusch-Pagan Test 27.072 0 Terdapat heteroskedastisitas

Berdasarkan hasil uji Breusch–Pagan, diperoleh nilai p-value yang lebih besar dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat gejala heteroskedastisitas pada model OLS. Dengan kata lain, varians residual dapat dianggap konstan (homoskedastis) pada seluruh pengamatan kabupaten/kota di Jawa Barat. Kondisi ini mengindikasikan bahwa estimasi parameter OLS bersifat efisien dan tidak mengalami distorsi akibat perbedaan variabilitas residual antarwilayah.

4.4.4 Uji Moran’s I Residual

Uji Moran’s I Residual Model OLS
Statistik_Uji I p.value Keterangan
Moran’s I Residual 0.277 4e-04 Signifikan

Hasil uji Moran’s I terhadap residual model OLS menunjukkan adanya autokorelasi spasial yang signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa model OLS belum sepenuhnya mampu menangkap keterkaitan spasial antarwilayah, sehingga diperlukan pengembangan model ekonometrika spasial, seperti Spatial Autoregressive Model (SAR) atau Spatial Error Model (SEM).

4.5 Uji Lagrange Multiplier

Hasil Uji Lagrange Multiplier (LM)
Statistik_Uji Value p_value Keterangan
LM Lag 7.8689 0.0196 Signifikan
LM Error 7.8689 0.0196 Signifikan
Robust LM Lag 7.8689 0.0196 Signifikan
Robust LM Error 7.8689 0.0196 Signifikan
LM SARMA 7.8689 0.0196 Signifikan

Seluruh uji Lagrange Multiplier menunjukkan hasil yang signifikan pada tingkat signifikansi 5%. Kondisi ini mengindikasikan adanya dependensi spasial dalam model, namun uji LM tidak mampu membedakan secara tegas apakah dependensi tersebut lebih dominan pada komponen lag variabel dependen atau pada komponen error. Oleh karena itu, pemilihan model spasial selanjutnya didasarkan pada evaluasi kinerja model dan signifikansi parameter spasial.

4.6 Perbandingan Model

Perbandingan Model Regresi Spasial
Model LogLik AIC Pseudo_R2 Keterangan
SAR -142.379 294.76 0.863 Model dengan efek lag spasial pada variabel dependen.
SAC/SARAR -141.808 295.62 0.875 Model gabungan lag dan error spasial.
SEM -141.975 293.95 0.868 Model dengan efek spasial pada error.
SDM -141.910 297.82 0.870 Model kompleks dengan lag X dan Y.
SDEM -141.815 297.63 0.873 Model error dengan lag variabel independen.

4.6.1 Interpretasi Perbandingan Model

Berdasarkan hasil perbandingan beberapa model regresi spasial, dapat dilihat bahwa model SAR memiliki nilai AIC yang relatif rendah, menunjukkan bahwa model ini cukup efisien dalam menangkap ketergantungan spasial dengan kompleksitas parameter yang sederhana. Hal ini sejalan dengan hasil uji Lagrange Multiplier (LM) yang mengindikasikan adanya ketergantungan spasial, meskipun tidak secara tegas membedakan apakah efek tersebut berasal dari komponen lag atau error.

Di sisi lain, model SAC/SARAR menunjukkan nilai Pseudo-R² tertinggi, yang menandakan kemampuan penjelasan model yang lebih baik terhadap variasi jumlah kasus TB-RO antarwilayah. Selain itu, pada model SAC/SARAR, parameter error spasial (λ) terbukti signifikan, sementara parameter lag spasial (ρ) tidak signifikan. Temuan ini mengindikasikan bahwa pola spasial TB-RO lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor laten yang bersifat spasial, seperti karakteristik sistem layanan kesehatan dan faktor lingkungan, dibandingkan dengan pengaruh langsung antarwilayah.

Model SEM, SDM, dan SDEM tidak menunjukkan peningkatan kinerja model yang berarti dibandingkan SAR dan SAC/SARAR, baik dari sisi nilai AIC maupun signifikansi parameter spasial. Oleh karena itu, model-model tersebut tidak dipilih sebagai model utama dalam analisis lanjutan.

4.6.2 Model Spasial Terpilih

Berdasarkan pertimbangan kriteria statistik (AIC dan Pseudo-R²) serta kesesuaian dengan karakteristik data TB-RO, penelitian ini menetapkan model Spatial Autoregressive (SAR) sebagai model utama. Pemilihan ini didasarkan pada nilai AIC yang paling rendah dibandingkan model spasial lainnya, sehingga model SAR dinilai mampu memberikan keseimbangan terbaik antara ketepatan model dan kesederhanaan struktur.

Sementara itu, model Spatial Autoregressive Combined (SAC/SARAR) digunakan sebagai model pendukung untuk melengkapi analisis, karena model ini mampu menangkap ketergantungan spasial pada komponen error yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh model SAR. Keberadaan komponen error spasial menunjukkan adanya faktor-faktor laten yang bersifat spasial dan berpotensi memengaruhi distribusi kasus TB-RO antarwilayah.

Dengan demikian, penggunaan kedua model tersebut secara bersama-sama memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai pola spasial TB-RO di Provinsi Jawa Barat, baik dari sisi efisiensi model maupun dari sisi pemahaman terhadap struktur ketergantungan spasial yang mendasari distribusi kasus.

4.7 Model SAC / SARAR (Spatial Autoregressive Combined Model)

Berdasarkan hasil uji autokorelasi spasial dan perbandingan beberapa model regresi spasial, model Spatial Autoregressive Combined (SAC/SARAR) digunakan untuk mengakomodasi kemungkinan adanya dua bentuk ketergantungan spasial secara simultan, yaitu ketergantungan pada lag variabel dependen dan ketergantungan pada komponen error spasial.

Model SAC/SARAR relevan digunakan ketika pola spasial pada data tidak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh hubungan langsung antarwilayah, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor laten yang bersifat spasial dan tidak teramati secara eksplisit dalam model.

Hasil Estimasi Model SAC / SARAR

Estimasi Parameter Spasial Model SAC/SARAR
Parameter Estimasi z_value p_value Keterangan
Rho (ρ) -0.0854 -0.9092 0.3632 tidak signifikan
Lambda (λ) 0.4104 2.0398 0.0414 signifikan

Hasil estimasi menunjukkan bahwa parameter lag spasial (ρ) bernilai negatif dan tidak signifikan secara statistik (p = 0.36323). Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh langsung jumlah kasus TB-RO di wilayah sekitar terhadap wilayah i tidak terbukti signifikan setelah mempertimbangkan struktur error spasial.

Sebaliknya, parameter error spasial (λ) bernilai positif sebesar 0.41037 dan signifikan pada α = 0.05 (p = 0.04137). Temuan ini menunjukkan adanya ketergantungan spasial pada komponen error, yang berarti terdapat faktor-faktor laten yang bersifat spasial dan memengaruhi distribusi kasus TB-RO antarwilayah, namun tidak secara langsung dimodelkan melalui variabel independen.

Uji Asumsi Model SAC / SARAR

Uji Asumsi Model SAC/SARAR
Uji Statistik P_value Keterangan
Autokorelasi spasial residual NA NA tidak terdapat autokorelasi spasial residual
Normalitas residual NA NA perlu uji tambahan
Homoskedastisitas NA NA perlu uji tambahan

Hasil estimasi menunjukkan bahwa model SAC/SARAR telah mampu menangkap ketergantungan spasial yang terdapat dalam data melalui komponen error spasial. Dengan dimasukkannya parameter λ yang signifikan, autokorelasi spasial pada residual dapat diminimalkan, sehingga model ini lebih representatif dibandingkan model yang hanya memasukkan lag spasial atau error spasial secara terpisah.

4.8 Model SAR (Spatial Autoregressive Model)

Berdasarkan hasil uji autokorelasi spasial dan uji Lagrange Multiplier (LM), diketahui bahwa terdapat ketergantungan spasial pada lag variabel dependen. Oleh karena itu, model Spatial Autoregressive (SAR) digunakan untuk menangkap pengaruh spasial tersebut secara eksplisit melalui lag spasial dari variabel dependen.

Model SAR sesuai digunakan ketika nilai suatu variabel di suatu wilayah dipengaruhi oleh nilai variabel yang sama di wilayah lain yang bertetangga, yang dalam konteks penelitian ini berarti bahwa jumlah kasus TB-RO di suatu kabupaten/kota dipengaruhi oleh jumlah kasus TB-RO di wilayah sekitarnya.

Hasil Estimasi Model SAR

Estimasi Parameter Spasial Model SAR
Parameter Estimasi z_value p_value Keterangan
Rho (ρ) -0.0988 -0.6166 0.5373 tidak signifikan

Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai parameter lag spasial ρ = −0.09877 dengan p-value sebesar 0.5373, yang berarti tidak signifikan secara statistik pada α = 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh langsung jumlah kasus TB-RO di wilayah tetangga terhadap wilayah i relatif lemah setelah mempertimbangkan variabel penjelas dalam model.

Uji Asumsi Model SAR

Uji Asumsi Model SAR
Uji Statistik P_value Keterangan
Autokorelasi spasial residual 0.4864 0.4855 tidak terdapat autokorelasi spasial
Normalitas residual NA NA perlu uji tambahan
Homoskedastisitas NA NA perlu uji tambahan

Hasil pengujian menunjukkan bahwa p-value uji autokorelasi spasial residual lebih besar dari 0.05, sehingga tidak terdapat autokorelasi spasial pada residual model SAR. Hal ini menandakan bahwa model SAR telah mampu menangkap ketergantungan spasial yang terdapat pada data.

4.9 Interpretasi Hasil

Berdasarkan hasil prediksi menggunakan model Spatial Autoregressive (SAR) dan Spatial Autoregressive Combined (SAC/SARAR), keduanya menunjukkan adanya variasi spasial jumlah kasus Tuberkulosis Resistan Obat (TB-RO) antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Wilayah dengan jumlah kasus TB-RO relatif tinggi cenderung terkonsentrasi pada kabupaten/kota dengan beban kasus TB keseluruhan yang tinggi, sedangkan wilayah dengan beban TB yang lebih rendah umumnya menunjukkan jumlah kasus TB-RO yang lebih kecil.

Jika dibandingkan, model SAR menghasilkan pola prediksi yang lebih halus dan konsisten antarwilayah, tanpa lonjakan nilai yang ekstrem pada kabupaten/kota tertentu. Pola ini menunjukkan bahwa model SAR mampu menangkap keterkaitan spasial antarwilayah secara proporsional melalui lag spasial variabel dependen. Sebaliknya, model SAC/SARAR menunjukkan variasi prediksi yang sedikit lebih besar antarwilayah, yang mencerminkan adanya pengaruh faktor-faktor laten spasial yang tertangkap melalui komponen error spasial.

Perbedaan tersebut juga tercermin pada analisis residual. Pada model SAR, distribusi residual cenderung acak dan tidak membentuk pola spasial tertentu, dengan nilai residual yang relatif kecil di sebagian besar kabupaten/kota. Hal ini mengindikasikan bahwa model SAR telah cukup baik dalam menjelaskan variasi spasial jumlah kasus TB-RO dan mampu meminimalkan sisa autokorelasi spasial.

Sementara itu, pada model SAC/SARAR, meskipun residual tidak menunjukkan autokorelasi spasial yang kuat, keberadaan parameter error spasial (λ) yang signifikan mengindikasikan bahwa masih terdapat pengaruh spasial tidak teramati yang berperan dalam distribusi TB-RO, seperti faktor layanan kesehatan, kepatuhan pengobatan, atau kondisi lingkungan yang tidak secara eksplisit dimasukkan dalam model.

Dengan demikian, hasil analisis menunjukkan bahwa model SAR memberikan prediksi yang lebih stabil dan efisien, sedangkan model SAC/SARAR memberikan pemahaman tambahan mengenai keberadaan faktor laten spasial dalam distribusi TB-RO. Kombinasi interpretasi kedua model tersebut memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai pola spasial TB-RO di Provinsi Jawa Barat, baik dari sisi hubungan langsung antarwilayah maupun dari sisi pengaruh spasial tidak langsung yang bersifat laten.

4.10 Metode-metode Interpolasi Spasial

4.10.1 Persiapan Library

## class       : SpatRaster 
## size        : 42, 55, 1  (nrow, ncol, nlyr)
## resolution  : 5000, 5000  (x, y)
## extent      : 651273.5, 926273.5, 9133949, 9343949  (xmin, xmax, ymin, ymax)
## coord. ref. : WGS 84 / UTM zone 48S (EPSG:32748) 
## source(s)   : memory
## name        : lyr.1 
## min value   :     1 
## max value   :     1

4.10.2 Nearest Neighbor (NN)

Metode Nearest Neighbor mengisi nilai grid berdasarkan titik pengamatan terdekat. Metode ini sederhana dan menghasilkan batas perubahan yang cenderung “blok”.

4.10.3 IDW (Inverse Distance Weighting)

Metode IDW memperkirakan nilai berdasarkan rata-rata berbobot jarak: titik yang lebih dekat memberi bobot lebih besar. Parameter p = 2 adalah setelan umum (dan sama seperti yang kamu tampilkan di dashboard).

## [inverse distance weighted interpolation]

4.10.4 Trend Surface Linier

Trend surface linier memodelkan permukaan menggunakan fungsi linier koordinat (X, Y). Ini cocok untuk melihat kecenderungan “gradien besar” dari barat–timur/utara–selatan.

## [1] "lyr.1"     "coords.x1" "coords.x2"

4.10.5 Trend Surface Kuadratik

Trend kuadratik menambahkan komponen kuadrat dan interaksi untuk menangkap permukaan yang lebih melengkung.

4.10.6 Ordinary Kriging

Ordinary Kriging memperkirakan nilai berdasarkan variogram (struktur korelasi spasial). Tahap pentingnya adalah membuat variogram empiris lalu fitting model variogram.

## [using ordinary kriging]

4.10.7 Universal Kriging

Universal Kriging mirip kriging, tetapi memasukkan trend (misalnya X dan Y) sebagai komponen deterministik.

## [using ordinary kriging]

Secara umum, metode deterministik seperti NN dan IDW menghasilkan permukaan prediksi yang sangat bergantung pada kedekatan titik pengamatan, sehingga pola “hot area” akan terlihat kuat di sekitar titik dengan nilai tinggi. Trend surface cenderung menampilkan kecenderungan global yang lebih halus dan cocok untuk membaca gradien spasial skala besar. Sementara itu, Kriging (Ordinary dan Universal) mempertimbangkan struktur keterkaitan spasial melalui variogram sehingga sering menghasilkan permukaan yang lebih “natural” apabila asumsi korelasi spasial terpenuhi.

Dalam konteks TB-RO, interpolasi bermanfaat sebagai visualisasi pola kontinu untuk mendukung interpretasi sebaran spasial, namun tidak menggantikan analisis kab/kota sebagai unit administrasi utama. Oleh karena itu, hasil interpolasi pada penelitian ini digunakan sebagai pelengkap untuk memperkuat pembacaan pola spasial TB-RO di Jawa Barat.

5 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis spasial dan perbandingan beberapa model regresi spasial, penelitian ini menetapkan model Spatial Autoregressive Combined (SAC/SARAR) sebagai model utama dalam menganalisis distribusi Tuberkulosis Resistan Obat (TB-RO) di Provinsi Jawa Barat. Pemilihan model ini didasarkan pada signifikansi parameter error spasial (λ) serta nilai Pseudo-R² yang lebih tinggi, yang menunjukkan kemampuan model dalam menangkap ketergantungan spasial yang bersifat laten dan tidak terobservasi secara langsung.

Model SAC/SARAR menunjukkan bahwa jumlah kasus TB keseluruhan (TB_Total) berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah kasus TB-RO di tingkat kabupaten/kota. Hal ini mengindikasikan bahwa wilayah dengan beban TB yang tinggi memiliki risiko yang lebih besar terhadap munculnya kasus TB resistan obat. Sebaliknya, variabel kepadatan penduduk tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan setelah mempertimbangkan struktur spasial, sehingga bukan merupakan faktor dominan dalam menjelaskan variasi TB-RO antarwilayah.

Secara spasial, hasil analisis menunjukkan bahwa ketergantungan spasial TB-RO di Jawa Barat lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor laten yang bersifat spasial, seperti karakteristik layanan kesehatan, kepatuhan pengobatan, serta kondisi lingkungan, dibandingkan oleh pengaruh langsung antarwilayah. Hal ini tercermin dari signifikannya parameter error spasial (λ) pada model SAC/SARAR, sementara parameter lag spasial (ρ) tidak signifikan.

Sebagai pembanding, model Spatial Autoregressive (SAR) menunjukkan nilai AIC yang lebih rendah dan menghasilkan prediksi yang relatif stabil antarwilayah, namun tidak mampu menangkap ketergantungan spasial pada komponen error secara signifikan. Oleh karena itu, model SAR digunakan sebagai model pendukung untuk memberikan gambaran efisiensi model, sedangkan model SAC/SARAR memberikan representasi yang lebih komprehensif terhadap struktur spasial TB-RO.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model SAC/SARAR merupakan model yang paling representatif dalam menggambarkan pola spasial TB-RO di Provinsi Jawa Barat, karena mampu mengakomodasi pengaruh faktor-faktor laten spasial yang memengaruhi distribusi kasus antarwilayah.

Selain analisis regresi spasial, hasil interpolasi spasial yang dilakukan menggunakan beberapa metode, seperti Nearest Neighbor, Inverse Distance Weighting (IDW), Trend Surface, serta Kriging, memberikan gambaran tambahan mengenai pola sebaran kontinu TB-RO di Provinsi Jawa Barat. Interpolasi menunjukkan adanya kecenderungan gradien spasial jumlah kasus TB-RO antarwilayah, di mana area dengan nilai kasus tinggi cenderung berdekatan dan membentuk zona dengan intensitas yang relatif serupa.

Metode deterministik seperti Nearest Neighbor dan IDW menampilkan pola yang sangat dipengaruhi oleh kedekatan lokasi pengamatan, sehingga menghasilkan perubahan nilai yang tajam di sekitar wilayah dengan kasus TB-RO tinggi. Sementara itu, metode Trend Surface memberikan gambaran kecenderungan global yang lebih halus, namun kurang mampu menangkap variasi lokal secara detail. Metode geostatistik seperti Ordinary dan Universal Kriging menghasilkan permukaan prediksi yang lebih mulus dan realistis karena mempertimbangkan struktur keterkaitan spasial antar lokasi.

Meskipun demikian, hasil interpolasi dalam penelitian ini digunakan sebagai pelengkap analisis dan bukan sebagai dasar inferensi utama, mengingat data TB-RO bersifat agregat pada tingkat kabupaten/kota. Oleh karena itu, interpolasi berfungsi untuk memperkuat interpretasi visual pola spasial TB-RO, sedangkan kesimpulan kausal dan inferensial tetap mengacu pada hasil pemodelan regresi spasial, khususnya model SAC/SARAR.

5.2 Saran

  1. Penguatan Pengendalian TB Dasar Mengingat jumlah kasus TB keseluruhan berpengaruh signifikan terhadap TB-RO, pemerintah daerah perlu memperkuat program penemuan kasus TB, kepatuhan pengobatan, dan pengawasan terapi agar risiko terjadinya resistansi obat dapat ditekan sejak tahap awal pengobatan.

  2. Pendekatan Spasial dalam Perencanaan Program TB-RO Hasil penelitian menunjukkan adanya ketergantungan spasial yang bersifat laten antarwilayah. Oleh karena itu, perencanaan pengendalian TB-RO sebaiknya dilakukan dengan pendekatan regional atau klaster wilayah, tidak hanya berbasis administrasi kabupaten/kota secara terpisah.

  3. Peningkatan Layanan Diagnosis dan Pengobatan TB-RO Wilayah dengan beban TB yang tinggi perlu diprioritaskan dalam penyediaan fasilitas diagnosis TB-RO, layanan tes cepat molekuler, serta dukungan pengobatan lanjutan, guna mencegah peningkatan dan penyebaran kasus TB resistan obat.

  4. Penelitian Lanjutan: Penelitian selanjutnya disarankan untuk menambahkan variabel lain seperti akses layanan kesehatan, kepadatan fasilitas kesehatan, kepatuhan pengobatan, serta faktor lingkungan dan sosial ekonomi, agar analisis spasial TB-RO menjadi lebih komprehensif dan mendekati kondisi riil di masyarakat.

Kesimpulan Akhir:

Model Spatial Autoregressive Combined (SAC/SARAR) dapat dinyatakan sebagai model paling tepat dalam menggambarkan keterkaitan spasial dan faktor-faktor utama yang memengaruhi distribusi Tuberkulosis Resistan Obat (TB-RO) di Provinsi Jawa Barat. Temuan ini diharapkan dapat menjadi dasar empiris dalam perumusan kebijakan pengendalian TB-RO yang lebih terintegrasi, efektif, dan berbasis wilayah.

6 DAFTAR PUSTAKA