Disusun oleh:
Fatih Zahrani — 140610230014
Dosen Pengampu:
I Gede Nyoman Mindra Jaya, M.Si., Ph.D.
Mata Kuliah: Epidemiologi
Tahun Ajaran: 2025/2026
Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang masih menjadi tantangan utama kesehatan masyarakat di Indonesia, dengan Provinsi Jawa Barat sebagai wilayah dengan beban kasus tertinggi pada tahun 2024. Perbedaan karakteristik demografi, sosial ekonomi, dan ketersediaan pelayanan kesehatan antar kabupaten/kota diduga berkontribusi terhadap variasi risiko TBC. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis distribusi spasial dan variasi risiko tuberkulosis di Provinsi Jawa Barat serta mengidentifikasi faktor wilayah yang berasosiasi dengan perbedaan risiko tersebut. Penelitian ini menggunakan desain ekologi potong lintang dengan data sekunder agregat tingkat kabupaten/kota tahun 2024. Analisis dilakukan melalui pemetaan risiko relatif dan pemodelan statistik secara bertahap, meliputi regresi linear berganda, regresi Poisson, regresi Poisson–Gamma (Negative Binomial), serta model pemetaan penyakit Bayesian Besag–York–Mollié (BYM) berbasis Integrated Nested Laplace Approximation (INLA). Hasil analisis menunjukkan bahwa model regresi linear kurang sesuai untuk data TBC, sedangkan model Poisson mengalami overdispersion yang kuat. Regresi Poisson–Gamma mampu mengatasi permasalahan overdispersion, namun belum mempertimbangkan ketergantungan spasial. Model BYM memberikan kinerja terbaik dengan nilai DIC dan WAIC terendah serta mampu menangkap adanya pengelompokan spasial kasus TBC antar wilayah. Setelah memperhitungkan efek spasial, seluruh kovariat wilayah tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap variasi risiko TBC, yang mengindikasikan bahwa faktor lokasi dan kedekatan geografis memiliki peran dominan. Peta risiko relatif posterior mengidentifikasi wilayah dengan risiko TBC yang lebih tinggi secara konsisten dibandingkan rata-rata provinsi. Pendekatan spasial Bayesian terbukti mampu mendukung identifikasi wilayah prioritas dan perencanaan pengendalian TBC berbasis wilayah.
Tuberkulosis (TBC) masih termasuk penyakit menular yang menjadi tantangan utama dalam kesehatan masyarakat di Indonesia [1]. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis yang terutama menyerang organ paru dan ditularkan melalui droplet atau percikan dahak dari individu yang terinfeksi [2]. Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Indonesia tercatat sebagai salah satu dari lima negara dengan beban kasus TBC tertinggi secara global [3]. Pada tahun 2024, Provinsi Jawa Barat tercatat sebagai wilayah dengan jumlah kasus TBC tertinggi, yaitu mencapai 234.710 kasus [3]. Berbagai faktor, antara lain tingkat kepadatan penduduk, kondisi sosial ekonomi, serta ketersediaan dan akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, berperan dalam memengaruhi pola dan tingkat penyebaran penyakit tersebut [5]. Kondisi tersebut menunjukkan perlunya analisis epidemiologis yang mampu menggambarkan pola sebaran, tingkat prevalensi, dan tingkat keparahan penyakit TBC di Jawa Barat sebagai dasar perencanaan pengendalian yang lebih efektif.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka identifikasi masalah yang dijadikan bahan penelitian yaitu sebagai berikut:
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan distribusi spasial dan variasi risiko tuberkulosis di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 serta mengkaji faktor wilayah yang berkaitan dengan perbedaan risiko antar kabupaten/kota.
Secara akademis, penelitian ini memberikan kontribusi dalam penerapan konsep dan metode epidemiologi, khususnya dalam analisis data penyakit berbasis wilayah melalui perhitungan ukuran frekuensi serta pemodelan risiko relatif menggunakan pendekatan spasial. Selain itu, penelitian ini memperkaya pemahaman mengenai interpretasi pola distribusi penyakit menular pada tingkat kabupaten/kota.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi pemangku kepentingan dalam mengidentifikasi wilayah dengan tingkat risiko tuberkulosis yang relatif lebih tinggi serta memahami karakteristik wilayah yang berasosiasi dengan variasi risiko tersebut, sehingga dapat mendukung penentuan prioritas dan perencanaan strategi pengendalian tuberkulosis yang lebih terarah dan berbasis data.
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional ekologis dengan memanfaatkan data sekunder agregat pada tingkat kabupaten/kota, sehingga memiliki beberapa keterbatasan sebagai berikut:
Penelitian ini menggunakan data agregat tingkat kabupaten/kota untuk menganalisis distribusi dan variasi risiko tuberkulosis antarwilayah. Oleh karena itu, hubungan yang diidentifikasi antara karakteristik wilayah dan risiko penyakit hanya berlaku pada tingkat populasi dan tidak dapat diinterpretasikan sebagai hubungan kausal pada tingkat individu. Kondisi ini berpotensi menimbulkan kekeliruan ekologis (ecological fallacy), yaitu perbedaan antara pola hubungan pada tingkat kelompok dan individu.
Data kasus tuberkulosis yang digunakan dalam penelitian ini terbatas pada satu periode pengamatan, yaitu tahun 2024. Dengan demikian, analisis yang dilakukan tidak mencerminkan dinamika temporal, tren jangka panjang, maupun variasi musiman kejadian tuberkulosis di Provinsi Jawa Barat.
Analisis kuantitatif dalam penelitian ini difokuskan pada estimasi risiko relatif berbasis wilayah melalui pendekatan pemodelan Poisson dan Poisson–Gamma. Karena keterbatasan desain studi dan ketersediaan data agregat, penelitian ini tidak bertujuan untuk mengestimasi ukuran asosiasi kausal seperti Risk Ratio atau Odds Ratio pada tingkat individu, melainkan untuk mengidentifikasi variasi risiko dan pola spasial penyakit pada tingkat kabupaten/kota.
Konsep Agent–Host–Environment (A-H-E) atau Trias Epidemiologi adalah fondasi penting dalam epidemiologi klasik untuk memahami dan mengendalikan penyakit menular. Teori ini menekankan bahwa timbulnya suatu penyakit bukan disebabkan oleh satu faktor tunggal, melainkan hasil dari interaksi dinamis dan ketidakseimbangan antara tiga komponen utama [6]. Keseimbangan yang terganggu di antara ketiga elemen ini akan menciptakan kondisi yang mendukung terjadinya penularan dan munculnya penyakit.
Agent merupakan faktor yang kehadirannya menjadi penyebab dalam timbulnya penyakit [7]. Dalam konteks tuberkulosis, agent penyebab penyakit adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis, yaitu bakteri tahan asam yang terutama menyerang paru-paru manusia. Karakteristik bakteri tersebut, termasuk kemampuan bertahan hidup dalam lingkungan tertentu dan resistensi terhadap pengobatan, turut memengaruhi tingkat penularan serta tingkat keparahan penyakit di suatu wilayah [8,9].
Host atau inang adalah individu atau populasi yang rentan terhadap infeksi, dipengaruhi oleh faktor usia, imunitas, riwayat medis, lingkungan tempat tinggal, dan perilaku individu [10]. Dalam konteks tuberkulosis, manusia berperan sebagai host utama. Faktor-faktor pada host yang meningkatkan risiko terinfeksi TBC meliputi status imunitas yang menurun, usia tertentu, kondisi gizi yang buruk, serta adanya penyakit penyerta seperti HIV dan diabetes melitus. Selain itu, perilaku dan kondisi hidup, seperti kepadatan hunian, ventilasi rumah yang buruk, serta keterlambatan dalam mencari pengobatan, turut berkontribusi terhadap peningkatan risiko penularan dan progresivitas penyakit tuberkulosis.
Sementara itu, Environment (lingkungan) adalah faktor eksternal yang mempengaruhi interaksi antara agen dan host, termasuk kondisi fisik, biologis, serta sosial yang berperan dalam proses penularan penyakit [11]. Lingkungan dibagi menjadi fisik, biologis, dan sosial. Dalam penularan tuberkulosis, faktor lingkungan memiliki peran penting karena penyakit ini ditularkan melalui udara. Faktor lingkungan fisik yang berpengaruh meliputi kondisi hunian dengan ventilasi yang buruk, kepadatan tempat tinggal yang tinggi, serta kualitas udara dalam ruangan yang tidak memadai, yang dapat meningkatkan risiko transmisi Mycobacterium tuberculosis [12]. Faktor lingkungan biologis berkaitan dengan keberadaan individu terinfeksi yang berperan sebagai sumber penularan di suatu wilayah.
Sementara itu, faktor lingkungan sosial dan ekonomi, seperti tingkat kepadatan penduduk, kemiskinan, serta keterbatasan akses terhadap fasilitas kesehatan, turut memengaruhi intensitas kontak antarindividu dan keberhasilan deteksi serta pengobatan TBC, sehingga berdampak pada pola penyebaran penyakit di masyarakat [13][14].
Gambar 1. Diagram Trias Epidemiologi
Hubungan antara Host, Agent, dan Environment sangat krusial dalam penularan berbagai penyakit menular. Ketiganya membentuk suatu interaksi yang saling mempengaruhi dan memperberat satu sama lain [15]. Kondisi ini menciptakan keadaan yang mempermudah agen penyakit, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk masuk dan menyerang tubuh manusia.
Ukuran epidemiologi merupakan indikator vital untuk mengukur skala masalah kesehatan dalam suatu populasi dan menganalisis kaitan antara faktor paparan dengan timbulnya penyakit. Ukuran epidemiologi dibagi menjadi ukuran frekuensi dan ukuran asosiasi.
Terdapat beberapa ukuran frekuensi yang digunakan untuk menilai sejauh mana suatu penyakit terjadi atau menyebar. Ukuran yang sering digunakan antara lain sebagai berikut.
Prevalensi adalah proporsi individu dalam suatu populasi yang menderita penyakit tertentu pada waktu tertentu, baik kasus lama maupun baru. Berikut adalah persamaannya.
\[ Prevalensi = \frac{\text{Jumlah seluruh kasus baru dan lama}}{\text{Jumlah penduduk pada periode tertentu}} \times 100\% \]
Insidensi adalah jumlah kasus baru suatu penyakit yang muncul dalam populasi berisiko selama periode waktu tertentu. Berikut adalah persamaannya.
\[ Insidensi = \frac{\text{Jumlah seluruh kasus baru dalam periode tertentu}}{\text{Jumlah penduduk beresiko}} \times 100\% \]
Case Fatality Rate (CFR) adalah proporsi individu yang meninggal akibat penyakit tertentu dibandingkan dengan jumlah seluruh kasus penyakit tersebut. Berikut adalah persamaannya.
\[ CFR = \frac{\text{Jumlah kematian akibat penyakit}}{\text{Jumlah kasus penyakit}} \times 100\% \]
Attack Rate adalah proporsi individu dalam populasi yang terserang penyakit selama periode wabah atau kejadian luar biasa dalam waktu singkat. Berikut adalah persamaannya.
\[ \text{Attack Rate} = \frac{\text{Jumlah kasus baru selama wabah}}{\text{Jumlah populasi yang beresiko}} \times 100\% \]
Selain ukuran frekuensi, digunakan pula ukuran asosiasi seperti Relative Risk (RR), Odds Ratio (OR), dan Attributable Risk (AR). Ukuran ini berfungsi untuk mengukur kekuatan hubungan antara faktor risiko spesifik dengan kejadian suatu penyakit. Untuk variabel yang digunakan dalam perhitungan adalah sebagai berikut: a = jumlah kasus pada kelompok terpapar b = jumlah tidak sakit pada kelompok terpapar c = jumlah kasus pada kelompok tidak terpapar d = jumlah tidak sakit pada kelompok tidak terpapar a + b = total terpapar c + d = total tidak terpapar
Relative Risk (RR) mengukur seberapa besar risiko seseorang di kelompok terpapar faktor risiko untuk sakit dibandingkan dengan kelompok yang tidak terpapar. RR > 1 menunjukkan paparan meningkatkan risiko penyakit; RR < 1 berarti paparan bersifat protektif. Berikut adalah persamaannya.
\[ RR = \frac{\text{a/(a+b)}}{\text{c/(c+d)}} \]
Odds Ratio (OR) adalah perbandingan peluang terjadinya penyakit antara kelompok terpapar dan tidak terpapar, umumnya digunakan pada studi kasus-kontrol. OR > 1 menunjukkan peluang penyakit lebih besar pada kelompok terpapar. Berikut adalah persamaannya.
\[ OR = \frac{\text{ad}}{\text{bc}} \]
Attributable Risk (AR) adalah selisih risiko penyakit antara kelompok terpapar dan tidak terpapar yang menunjukkan besarnya risiko tambahan akibat paparan tersebut. Berikut adalah persamaannya.
\[ AR = \frac{a}{a+b} - \frac{c}{c+d} \]
Studi epidemiologi adalah cara ilmiah untuk mencari tahu apakah ada hubungan antara hal-hal yang dapat menyebabkan sakit (faktor risiko) dengan penyakit itu sendiri di masyarakat. Memilih metode studi yang tepat harus disesuaikan dengan tujuan penelitian, data yang ada, dan juga pertimbangan etika serta biaya. Berikut adalah macam-macam desain studi epidemiologi.
Studi potong lintang mengamati hubungan antara paparan dan penyakit pada waktu yang sama dalam satu populasi. Desain ini menggambarkan prevalensi penyakit serta distribusi faktor risiko secara bersamaan, sehingga sering digunakan untuk survei kesehatan masyarakat. Karena datanya dikumpulkan pada satu waktu, studi ini tidak dapat memastikan hubungan sebab-akibat (kausalitas), melainkan hanya menunjukkan asosiasi [16].
Studi kasus kontrol adalah desain studi yang dimulai dengan memilih dua kelompok yaitu kelompok Kasus (orang yang sudah sakit) dan dan kelompok Kontrol (orang yang tidak sakit). Selanjutnya, peneliti akan menelusuri ke belakang (riwayat masa lalu) untuk membandingkan paparan faktor risiko di antara kedua kelompok tersebut, untuk melihat apakah paparan tersebut berhubungan dengan penyakit yang ada [17].
Studi kohort mengikuti sekelompok individu yang awalnya bebas penyakit dan dibedakan berdasarkan status paparannya. Subjek kemudian diikuti selama periode waktu tertentu untuk melihat siapa yang mengembangkan penyakit [17].
Studi eksperimental melibatkan intervensi langsung oleh peneliti untuk menilai pengaruh suatu perlakuan atau paparan terhadap hasil kesehatan. Subjek dibagi menjadi kelompok perlakuan dan kontrol secara acak (randomisasi) untuk meminimalkan bias. Jenis studi ini merupakan desain paling kuat untuk menguji hubungan kausal karena adanya kontrol terhadap variabel luar [16].
| Desain Studi | Kelebihan | Kekurangan |
|---|---|---|
| Cross-sectional | Cepat, biaya rendah, cocok untuk prevalensi | Tidak bisa menentukan hubungan sebab-akibat |
| Case-control | Efisien untuk penyakit langka, hemat waktu | Rentan bias ingatan, tidak cocok untuk mengukur insidensi |
| Cohort | Dapat mengukur insidensi & hubungan sebab-akibat | Mahal, butuh waktu lama, risiko kehilangan subjek |
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat dan Portal Open Data Jabar dari Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. Unit analisis yang digunakan adalah 27 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat.
Variabel yang digunakan yaitu terdiri dari sembilan variabel yaitu Jumlah Kasus TBC, Jumlah Penduduk (ribu jiwa), Jumlah Kasus HIV, Jumlah Penderita Diabetes Melitus (orang), Persentase Balita Stunting, Kepadatan Penduduk (jiwa/Km2), Jumlah Penduduk Miskin (ribu jiwa), Jumlah Fasilitas Kesehatan, dan Persentase Keluarga dengan Sanitasi Layak. Masing-masing merupakan data tiap kab/kota pada tahun 2024 di di Provinsi Jawa Barat.
| Nama Variabel | Satuan | Deskripsi | Sumber Data |
|---|---|---|---|
| Jumlah Kasus TBC | Orang | Jumlah total kasus Tuberkulosis (TBC) yang dilaporkan di Jawa Barat pada tahun 2024. | Open Data Jawa Barat 2024 |
| Jumlah Penduduk | Jiwa | Jumlah total penduduk di Jawa Barat pada tahun 2024. | Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat 2024 |
| Jumlah Kasus HIV | Orang | Jumlah total kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang tercatat di Jawa Barat pada tahun 2024. | Open Data Jawa Barat 2024 |
| Jumlah Penderita Diabetes Melitus | Orang | Jumlah penduduk yang tercatat menderita Diabetes Melitus di Jawa Barat pada tahun 2024. | Open Data Jawa Barat 2024 |
| Persentase Balita Stunting | Persentase | Persentase balita yang mengalami kondisi stunting di Jawa Barat pada tahun 2024. | Open Data Jawa Barat 2024 |
| Kepadatan Penduduk | Jiwa/km² | Jumlah penduduk per satuan luas wilayah di Jawa Barat pada tahun 2024. | Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat 2024 |
| Jumlah Penduduk Miskin | Ribu jiwa | Jumlah penduduk yang tergolong miskin di Jawa Barat pada tahun 2024. | Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat 2024 |
| Jumlah Fasilitas Kesehatan | Unit | Jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia di Jawa Barat pada tahun 2024. | Open Data Jawa Barat 2024 |
| Persentase Keluarga dengan Sanitasi Layak | Persentase | Persentase keluarga yang memiliki akses terhadap sanitasi yang layak di Jawa Barat pada tahun 2024. | Open Data Jawa Barat 2024 |
Analisis dilakukan secara deskriptif untuk menggambarkan karakteristik penyakit TBC serta menghitung besaran masalah kesehatan pada wilayah penelitian. Tahapan analisis dijelaskan sebagai berikut.
Tahap awal dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik penyakit TBC berdasarkan pendekatan agent–host–environment. Penjabaran ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai penyebab penyakit, mekanisme penularan, serta faktor lingkungan yang berperan dalam penyebarannya.
Data jumlah kasus TBC dianalisis secara deskriptif untuk melihat pola distribusi dan variasi data. Visualisasi dilakukan dalam bentuk boxplot, histogram, tabel ukuran statistik, dan peta sebaran.
Perhitungan ukuran epidemiologi dalam penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tingkat kejadian tuberkulosis pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Ukuran yang digunakan adalah insidensi, yang dinyatakan dalam bentuk incidence rate per 100.000 penduduk. Perhitungan ini digunakan sebagai dasar deskripsi epidemiologis serta sebagai komponen dalam estimasi risiko relatif pada pemodelan Poisson dan Poisson–Gamma.
Hasil analisis kuantitatif dan visual dalam penelitian ini diinterpretasikan untuk menjelaskan variasi dan pola distribusi spasial kejadian tuberkulosis antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Interpretasi difokuskan pada perbedaan tingkat kejadian dan estimasi risiko relatif berbasis wilayah, serta pada identifikasi wilayah dengan tingkat risiko yang relatif lebih tinggi sebagai dasar penentuan wilayah prioritas dalam upaya pengendalian tuberkulosis.
Gambar 2. Diagram Alur Penelitian
Analisis dilakukan secara deskriptif untuk menggambarkan karakteristik penyakit DBD serta menghitung besaran masalah kesehatan pada wilayah penelitian. Tahapan analisis dijelaskan sebagai berikut.
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional ekologis, yaitu desain studi observasional yang mengukur outcome dan karakteristik wilayah secara bersamaan pada satu periode waktu tertentu, dengan unit analisis berupa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024. Desain ini digunakan untuk menggambarkan distribusi spasial kejadian tuberkulosis serta variasi risiko antarwilayah, serta untuk mengkaji asosiasi antara karakteristik wilayah seperti kepadatan penduduk, kondisi sosial ekonomi, dan indikator kesehatan. Variabel-variabel tersebut memiliki variasi jumlah kasus tuberkulosis pada tingkat kabupaten/kota.
| Jenis Variabel | Nama Variabel | Keterangan |
|---|---|---|
| Variabel Dependen (Outcome) | Jumlah Kasus TBC (orang) | Jumlah kasus tuberkulosis yang tercatat pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. |
| Risiko Relatif TBC (RR) | Estimasi risiko relatif kejadian tuberkulosis pada tingkat kabupaten/kota yang diperoleh melalui pemodelan Poisson–Gamma berdasarkan perbandingan antara kasus teramati dan kasus yang diharapkan. | |
| Variabel Independen (Paparan Wilayah) | Kepadatan penduduk (jiwa/km²) | Menggambarkan tingkat konsentrasi penduduk yang berpotensi meningkatkan intensitas kontak antarindividu dan risiko penularan tuberkulosis. |
| Jumlah penduduk miskin (ribu jiwa) | Mencerminkan kondisi sosial ekonomi wilayah yang berkaitan dengan kerentanan terhadap penyakit dan keterbatasan akses layanan kesehatan. | |
| Jumlah kasus HIV | Indikator beban penyakit komorbid pada tingkat wilayah yang berkaitan dengan kerentanan populasi terhadap tuberkulosis secara agregat. | |
| Jumlah kasus diabetes melitus | Menggambarkan kondisi kesehatan populasi wilayah yang berasosiasi dengan peningkatan kerentanan terhadap infeksi tuberkulosis. | |
| Jumlah kasus stunting | Indikator status gizi populasi yang mencerminkan kerentanan kesehatan masyarakat pada tingkat wilayah. | |
| Jumlah fasilitas kesehatan | Menggambarkan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan yang berperan dalam deteksi, pengobatan, dan pelaporan kasus tuberkulosis. | |
| Variabel Perancu (Confounder) | Ukuran populasi kabupaten/kota | Jumlah penduduk yang digunakan sebagai dasar standardisasi risiko melalui perhitungan expected cases dalam pemodelan Poisson dan Poisson–Gamma. |
Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh penduduk yang berdomisili di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024. Penelitian ini menggunakan data agregat tingkat kabupaten/kota yang tersedia secara lengkap untuk seluruh wilayah administratif di Provinsi Jawa Barat.Dengan demikian, unit analisis dalam penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat yang berjumlah 27 wilayah.
Sampel yang digunakan adalah seluruh kabupaten/kota karena semua unit wilayah dianalisis dalam periode waktu yang sama.
Metode pengambilan sampel dilakukan dengan total sampling, karena seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dimasukkan sebagai unit analisis.
| Jenis Bias | Penjelasan |
|---|---|
| Bias seleksi | Risiko bias seleksi relatif kecil karena penelitian ini menggunakan total sampling, di mana seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dianalisis tanpa pengecualian. |
| Bias informasi (misclassification) | Dapat terjadi akibat perbedaan kualitas pencatatan dan pelaporan kasus TBC antar kabupaten/kota, termasuk kemungkinan underreporting kasus TBC yang tidak terdeteksi atau tidak tercatat di fasilitas kesehatan. |
| Bias ekologis (ecological fallacy) | Karena penelitian menggunakan data agregat tingkat wilayah, hubungan yang ditemukan pada tingkat kabupaten/kota tidak dapat diinterpretasikan sebagai hubungan kausal pada tingkat individu. |
| Bias perancu (confounding) | Faktor-faktor seperti kepadatan penduduk, tingkat kemiskinan, dan ketersediaan fasilitas kesehatan dapat saling berkaitan dan memengaruhi jumlah kasus TBC secara bersamaan. Oleh karena itu, analisis regresi dan model Poisson–Gamma digunakan untuk mengendalikan pengaruh perancu tersebut. |
Desain cross-sectional dipilih karena penelitian ini bertujuan untuk:
Pemodelan pemetaan penyakit dalam penelitian ini diawali dengan analisis regresi berganda untuk mengevaluasi hubungan antara faktor demografis, sosial, dan ketersediaan fasilitas kesehatan terhadap jumlah kasus Tuberkulosis (TBC) pada tingkat kabupaten/kota.
Selanjutnya, pemodelan dilanjutkan menggunakan model Poisson karena jumlah kasus TBC merupakan data hitungan (count data) yang berkaitan dengan besar populasi wilayah, dengan jumlah penduduk digunakan sebagai offset untuk memperoleh estimasi risiko relatif antarwilayah. Mengingat potensi terjadinya overdispersion pada data kasus TBC antar kabupaten/kota, model Poisson–Gamma juga diterapkan sebagai pengembangan untuk menangkap heterogenitas risiko yang tidak teramati.
Pemilihan model ini didasarkan pada kesesuaiannya dengan karakteristik data dan tujuan pemetaan penyakit, sedangkan evaluasi performa model dilakukan melalui pemeriksaan kecocokan model dan stabilitas estimasi parameter.
| Variabel | Pengaruh ke Individu | Pengaruh ke Populasi |
|---|---|---|
| Pernah/sedang menderita HIV | HIV menurunkan sistem imun sehingga meningkatkan risiko infeksi TBC laten menjadi TBC aktif [13]. | Dalam studi ekologis, variabel ini mencerminkan proporsi populasi dengan kerentanan imun yang lebih tinggi. |
| Pernah/sedang menderita Diabetes melitus | Diabetes mellitus berhubungan dengan gangguan respons imun terhadap Mycobacterium tuberculosis [16]. | Populasi dengan prevalensi diabetes tinggi cenderung memiliki risiko TBC lebih besar. |
| Pernah/sedang menderita Stunting | Stunting merefleksikan status gizi buruk kronis, yang berkaitan dengan imunitas rendah [17]. | Populasi dengan masalah gizi lebih rentan terhadap infeksi dan progresivitas TBC. |
| Faktor | Alasan |
|---|---|
| Kepadatan Penduduk | Faktor lingkungan utama dalam penyebaran penyakit menular respiratorik. Kepadatan tinggi meningkatkan peluang kontak dekat dan penularan TBC melalui droplet udara [12]. |
| Jumlah Penduduk Miskin | Mencerminkan kondisi sosial-ekonomi yang berkaitan dengan hunian padat, ventilasi buruk, dan keterbatasan akses layanan kesehatan [18]. |
| Jumlah Fasilitas Kesehatan | Mempengaruhi akses diagnosis, pengobatan, dan pelaporan kasus TBC. Wilayah dengan fasilitas lebih banyak cenderung memiliki deteksi kasus yang lebih baik [19]. |
| Jumlah Penduduk | Tidak dikategorikan sebagai faktor risiko, melainkan faktor eksposur [12]. |
Analisis deskriptif difokuskan pada jumlah kasus TBC dan jumlah penduduk sebagai variabel utama, sedangkan variabel lain dianalisis lebih lanjut dalam tahap pemodelan untuk menilai pengaruhnya terhadap variasi jumlah kasus antarwilayah.
| Statistik | Minimum | Kuartil ke-1 | Median | Rata-rata | Kuartil ke-3 | Maksimum |
|---|---|---|---|---|---|---|
| Nilai | 968 | 4318 | 6092 | 8507 | 12304 | 29110 |
Gambar 3. Histogram Jumlah Kasus TBC
Histogram menunjukkan bahwa distribusi Jumlah Kasus TBC (JK) di Jawa Barat cenderung tidak normal dan bersifat multimodal (memiliki lebih dari satu puncak). Puncak dominan berada pada rentang 4.000 hingga 6.000 kasus, diikuti dengan puncak sekunder pada rentang 12.000 hingga 14.000 kasus.
Secara keseluruhan, distribusi data menunjukkan kemencengan positif (positive skewness). Hal ini terlihat dari ekor distribusi yang memanjang ke arah kanan serta adanya nilai pencilan (outlier) yang mencapai lebih dari 25.000 kasus. Kondisi ini mengindikasikan bahwa sebagian besar wilayah memiliki jumlah kasus yang relatif rendah hingga sedang, namun terdapat beberapa wilayah tertentu dengan jumlah kasus yang sangat tinggi dibandingkan wilayah lainnya.
Gambar 4. Boxplot Jumlah Kasus TBC
Visualisasi Boxplot secara eksplisit menunjukkan adanya satu outlier (pencilan) ekstrem yang terletak di angka mendekati 30.000 kasus (tepatnya 29.110). Nilai ini berada jauh di luar upper whisker, yang mengindikasikan adanya satu wilayah di Jawa Barat dengan beban kasus TBC yang sangat kontras dibandingkan wilayah lainnya.
Sebagian besar kabupaten/kota (50% data tengah) memiliki jumlah kasus yang terkonsentrasi pada rentang 4.318 hingga 12.304 kasus (Interquartile Range). Garis median yang cenderung mendekati bagian bawah kotak (Q1) serta ekor histogram yang memanjang ke kanan pada Histogram mengonfirmasi bahwa distribusi data bersifat menceng kanan (positively skewed). Hal ini berarti mayoritas wilayah memiliki jumlah kasus di bawah rata-rata, namun ditarik oleh beberapa wilayah dengan angka kasus yang sangat tinggi.
Gambar 5. Peta Sebaran Jumlah Kasus TBC di Jawa Barat (2024)
Peta sebaran menunjukkan adanya disparitas geografis yang signifikan pada beban kasus TBC di Jawa Barat. Wilayah dengan kategori jumlah kasus Sangat Tinggi (> 12.300 kasus) cenderung terklaster pada kawasan metropolitan dan penyangga industri, mencakup Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, serta wilayah Bandung Raya (Kota dan Kabupaten Bandung).
Konsentrasi kasus pada wilayah-wilayah tersebut mengindikasikan bahwa persebaran TBC di Jawa Barat sangat dipengaruhi oleh faktor kepadatan penduduk dan tingginya aktivitas sosial-ekonomi, yang meningkatkan risiko interaksi antarmanusia dan penularan di lingkungan yang padat.
Wilayah dengan kasus terendah cenderung berada di bagian Timur dan wilayah perbatasan yang memiliki kepadatan penduduk yang lebih rendah atau merupakan wilayah pedesaan/pegunungan.
Sebagian besar wilayah Jawa Barat berada pada rentang kasus menengah. Ini menunjukkan bahwa TBC adalah masalah yang merata di seluruh provinsi, bukan hanya terbatas pada wilayah tertentu.
Wilayah pada rentang ini merupakan area transisi yang memiliki interaksi sosial-ekonomi cukup tinggi dengan pusat kota, sehingga risiko penularan TBC melalui kontak dekat mulai meningkat.
Sebaran kasus TBC menunjukkan adanya klaster wilayah dengan Jumlah Kasus (JK) di atas 12300. Kasus tertinggi ini terkonsentrasi di wilayah Jawa Barat bagian Tengah-Utara (Koridor Industri) dan Barat Laut (Bogor-Bekasi). Hal ini mencerminkan kondisi sosial-ekonomi perkotaan yang berkaitan dengan hunian padat dan mobilitas tinggi.
Gambar 6. Histogram Jumlah Penduduk
Gambar 7. Boxplot Jumlah Penduduk
Distribusi populasi di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat menunjukkan disparitas yang cukup besar berdasarkan temuan analisis deskriptif. Terdapat konsentrasi penduduk yang tinggi pada beberapa lokasi utama yang berbanding terbalik dengan jumlah populasi yang relatif jauh lebih kecil di wilayah seperti Kota Banjar atau Kabupaten Pangandaran. Fenomena ini didukung oleh indikator rentang nilai yang lebar (perbedaan maksimum dan minimum) serta kemiringan positif pada kurva distribusi, yang mengonfirmasi adanya wilayah-wilayah dengan kepadatan ekstrem. Kondisi demografi yang timpang ini mencerminkan urbanisasi dan pusat ekonomi yang tidak merata di Jawa Barat. Akibatnya, daerah dengan konsentrasi dan mobilitas penduduk tinggi berpotensi mengalami peningkatan kerentanan terhadap penyebaran penyakit menular, seperti TBC.
Gambar 8. Peta Sebaran Jumlah Penduduk
Terdapat 7 kab/kota dengan jumlah penduduk tinggi yaitu: Bogor, Bandung, Bekasi, Kota Sukabumi, Garut, Kota Bekasi, Cianjur.
| Total Penduduk | Total Kasus TBC | Prevalensi Total | Rata-rata RR |
|---|---|---|---|
| 50.345.190 | 229.683 | 4.562 | 1,28 |
> summary(data$RR)
Min. 1st Qu. Median Mean 3rd Qu. Max.
0.2695 0.7280 0.8800 1.2809 1.2907 7.4381
Gambar 9. Peta Sebaran Relative Risk TBC
Relative Risk (RR) menunjukkan tingkat kerentanan suatu wilayah terhadap kasus TBC dibandingkan dengan risiko rata-rata provinsi. Nilai RR yang tinggi (warna merah tua) menandakan bahwa wilayah tersebut memiliki risiko penularan atau beban penyakit yang jauh lebih besar daripada wilayah lainnya.
Jika daerah dengan prevalensi tinggi tetapi RR rendah, hal ini menunjukkan bahwa meskipun jumlah kasus secara absolut terlihat banyak. Namun jika dibandingkan dengan proporsi populasi atau risiko dasar wilayah sekitarnya, tingkat risikonya masih dalam batas rata-rata. Jika daerah dengan prevalensi sedang tetapi RR Tinggi, hal ini menunjukkan adanya kerentanan yang signifikan karena meskipun secara jumlah kasus tidak terlihat yang paling banyak, risiko seseorang untuk tertular TBC di wilayah ini jauh lebih tinggi dari rata-rata. Ini menjadi sinyal adanya faktor risiko lingkungan yang buruk, keterlambatan dalam deteksi dini, atau keterbatasan akses ke layanan kesehatan yang membuat penularan menjadi lebih intensif di wilayah tersebut.
> summary(jabar_merged$Prevalensi_1k)
Min. 1st Qu. Median Mean 3rd Qu. Max.
1.229 3.321 4.015 5.844 5.888 33.934
Gambar 10. Peta Choropleth Prevalensi TBC
Prevalensi TBC menunjukkan proporsi penduduk yang menderita TBC pada masing-masing kabupaten/kota pada tahun tersebut. Warna pada peta menunjukkan perbedaan tingkat beban penyakit antarwilayah. Wilayah dengan prevalensi tinggi mengindikasikan kepadatan kasus TBC lebih besar dibanding jumlah penduduknya. Pola sebaran yang terkelompok (cluster) menandakan adanya autokorelasi spasial positif, yaitu kabupaten dengan prevalensi tinggi cenderung berdekatan dengan kabupaten lain yang juga tinggi.
Terlihat ada 7 kabupaten/kota yang memiliki prevalensi sangat tinggi yaitu Kota Banjar, Kab. Tasikmalaya, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kab. Sukabumi, dan Kota Bogor.
> moran_result
Moran I test under randomisation
data: jabar_merged$Prevalensi_1k
weights: weights
Moran I statistic standard deviate = -1.5969, p-value = 0.9449
alternative hypothesis: greater
sample estimates:
Moran I statistic Expectation Variance
-0.171094749 -0.038461538 0.006898836
Hasil perhitungan dari Rstudio diatas dapat dilihat dalam tabel berikut.
| Statistik | Moran’s I | p-value |
|---|---|---|
| Nilai | -0.171 | 0.9449 |
Berdasarkan hasil analisis Global Moran’s I terhadap prevalensi DBD di Jawa Barat tahun 2024 diperoleh nilai Moran’s I sebesar −0.171 dengan p-value sebesar 0.94 (> 0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa distribusi spasial prevalensi DBD antar kabupaten/kota bersifat acak (tidak terdapat autokorelasi spasial yang signifikan).
Pola ini mengindikasikan bahwa variasi tingkat prevalensi TBC di Jawa Barat tahun 2024 lebih dipengaruhi oleh faktor lokal masing-masing wilayah daripada hubungan spasial antarwilayah.
Gambar 11. Peta LISA Jumlah Kasus TBC Jawa Barat 2024
Berdasarkan hasil analisis Local Moran’s I (LISA) terhadap jumlah kasus TBC di Provinsi Jawa Barat tahun 2024, ditemukan satu wilayah yang memiliki signifikansi spasial dengan tipe Low–Low. Pola ini menunjukkan adanya wilayah dengan jumlah kasus TBC yang rendah dan dikelilingi oleh wilayah yang juga memiliki beban kasus relatif rendah. Keberadaan klaster Low–Low ini mengindikasikan keberhasilan pengendalian penyakit atau faktor kepadatan penduduk yang lebih rendah di area tersebut dibandingkan wilayah metropolitan sekitarnya.
Sementara itu, sebagian besar kabupaten/kota lainnya di Jawa Barat berada pada kategori Non-Significant. Hal ini menandakan bahwa meskipun terdapat perbedaan jumlah kasus antarwilayah secara visual (seperti yang terlihat pada peta sebaran), namun secara statistik pola tersebut belum membentuk klaster spasial yang signifikan (seperti High–High atau High–Low).
Secara spasial, kondisi ini mencerminkan bahwa penularan TBC di Jawa Barat cenderung tersebar dan dipengaruhi oleh faktor lokal di masing-masing wilayah, seperti kepadatan hunian, kualitas ventilasi perumahan, dan efektivitas deteksi kasus oleh fasilitas kesehatan setempat, alih-alih membentuk ketergantungan spasial yang kuat antarwilayah yang bertetangga.
Gambar 12. Peta Hotspot Kasus TBC (Getis–Ord Gi*) Jawa Barat 2024
Hasil analisis Getis–Ord \(Gi^*\) menunjukkan adanya pola pengelompokan spasial yang signifikan di Jawa Barat, dengan Kota Sukabumi teridentifikasi sebagai satu-satunya area Hotspot yang paling signifikan secara statistik (\(Z-score > 4\)). Hal ini mengindikasikan bahwa Kota Sukabumi merupakan pusat konsentrasi kasus TBC yang sangat tinggi dibandingkan dengan risiko rata-rata wilayah sekitarnya.
Sementara itu, wilayah di sekitarnya seperti Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Bogor menunjukkan kecenderungan nilai positif (warna oranye muda), namun belum cukup kuat untuk dikategorikan sebagai klaster hotspot yang signifikan secara statistik. Sebagian besar wilayah Jawa Barat lainnya berada pada kategori tidak signifikan (non-significant), yang menunjukkan bahwa distribusi kasus di wilayah tersebut cenderung acak dan tidak membentuk pengelompokan ekstrim (baik tinggi maupun rendah) dalam skala lokal.
\(Y_i\) = Prevalensi_1k, yaitu prevalensi TBC per 1.000 penduduk di kabupaten/kota ke-\(i\)
\[ \text{Prevalensi}_{1k,i} = \beta_0 + \beta_1 \text{HIV}_i + \beta_2 \text{ST}_i + \beta_3 \text{DB}_i + \beta_4 \text{Sanitasi}_i + \beta_5 \text{Faskes}_i + \beta_6 \text{Miskin}_i + \beta_7 \text{Kepadatan}_i \] dengan \(𝜀_i\) merupakan galat acak yang diasumsikan berdistribusi normal dengan rataan nol dan varians konstan.
> summary(model_lm)
Call:
lm(formula = Prevalensi_1k ~ HIV + ST + DB + Sanitasi + Faskes +
Miskin + KP, data = jabar_merged)
Residuals:
Min 1Q Median 3Q Max
-6.1652 -2.5544 -1.7108 0.9932 23.7152
Coefficients:
Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
(Intercept) -7.4049230 12.0964367 -0.612 0.548
HIV 0.0023243 0.0112125 0.207 0.838
ST 0.3601374 0.3917980 0.919 0.370
DB -0.0001919 0.0001470 -1.305 0.207
Sanitasi 0.1044568 0.1146017 0.911 0.373
Faskes 0.0635273 0.1581795 0.402 0.692
Miskin 0.0104651 0.0364971 0.287 0.777
KP 0.0002075 0.0004492 0.462 0.649
“Berdasarkan hasil estimasi regresi linear berganda, diperoleh persamaan model sebagai berikut:
\[ \begin{aligned} \widehat{\text{Prevalensi}}_{1k} = & -7.4049 + 0.0023 \, (\text{HIV}) + 0.3601 \, (\text{ST}) \\ & - 0.00019 \, (\text{DB}) + 0.1045 \, (\text{Sanitasi}) + 0.0635 \, (\text{Faskes}) \\ & + 0.0105 \, (\text{Miskin}) + 0.00021 \, (\text{KP}) \end{aligned} \]
Model ini digunakan untuk menggambarkan hubungan global antara faktor risiko dan prevalensi TBC per 1.000 penduduk di Provinsi Jawa Barat.
> resettest(model_lm, power = 2:3, type = "fitted")
RESET test
data: model_lm
RESET = 4.1642, df1 = 2, df2 = 17, p-value = 0.03374
Karena p-value < alpha (0.05), maka model ini tidak memenuhi asumsi linearitas.
> jarque.bera.test(residuals(model_lm))
Jarque Bera Test
data: residuals(model_lm)
X-squared = 153.97, df = 2, p-value < 2.2e-16
Karena p-value < alpha (0.05), maka model ini tidak memenuhi asumsi normalitas.
> bptest(model_lm)
studentized Breusch-Pagan test
data: model_lm
BP = 4.863, df = 7, p-value = 0.6767
Karena p-value > alpha (0.05), maka model ini memenuhi asumsi normalitas.
> # Uji Multikolinearitas
> vif(model_lm)
HIV ST DB Sanitasi Faskes Miskin KP
8.088758 1.524629 4.010534 1.769091 13.208417 7.618261 2.670133
Berdasarkan nilai Variance Inflation Factor (VIF), sebagian besar variabel penjelas memiliki nilai VIF < 10, yang menunjukkan tidak terdapat multikolinearitas yang serius. Namun, variabel jumlah fasilitas kesehatan (Faskes) memiliki nilai VIF sebesar 13,21, yang mengindikasikan adanya multikolinearitas cukup kuat dengan variabel penjelas lainnya.
> summary(model_lm)$r.squared
[1] 0.1669584
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa model regresi linear berganda memiliki nilai koefisien determinasi (R²) sebesar 0,167, yang berarti sekitar 16,7% variasi prevalensi TBC per 1.000 penduduk dapat dijelaskan oleh variabel-variabel dalam model.
> summary(model_lm)$adj.r.squared
[1] -0.1399517
Adjusted R² yang negatif (−0,14) mengindikasikan bahwa kemampuan penjelasan model relatif rendah setelah memperhitungkan jumlah kovariat yang digunakan.
Residual standard error: 6.544 on 19 degrees of freedom
Multiple R-squared: 0.167, Adjusted R-squared: -0.14
F-statistic: 0.544 on 7 and 19 DF, p-value: 0.7907
Hasil uji F simultan menunjukkan bahwa model tidak signifikan secara statistik (p-value = 0,791), sehingga secara keseluruhan model belum mampu menjelaskan variasi prevalensi TBC secara memadai.
> rmse
[1] 5.489385
Nilai RMSE sebesar 5,49 menunjukkan tingkat kesalahan prediksi yang masih cukup besar relatif terhadap rentang nilai prevalensi.
Arah koefisien regresi memberikan gambaran awal hubungan epidemiologis, di mana variabel stunting, sanitasi layak, fasilitas kesehatan, jumlah penduduk miskin, dan kepadatan penduduk memiliki hubungan positif dengan prevalensi TBC, sedangkan jumlah penderita diabetes menunjukkan hubungan negatif.
Temuan ini mengindikasikan bahwa hubungan antara faktor risiko dan prevalensi TBC bersifat kompleks dan kemungkinan lebih tepat dianalisis menggunakan pendekatan pemodelan berbasis jumlah kasus, seperti regresi Poisson dan Poisson–Gamma, yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.
Bentuk umum model poisson adalah sebagai berikut: \[ JK_i \sim \text{Poisson}(\mu_i) \] dengan: - \(JK_i\) ~ Poisson\((µ_i)\) = jumlah kasus TBC di kabupaten/kota ke-𝑖 - \((µ_i)\) = nilai harapan jumlah kasus TBC
Bentuk umum model sebelum diestimasi adalah sebagai berikut: \[ \log(\mu_i) = \log(JP_i) + \beta_0 + \beta_1 HIV_i + \beta_2 ST_i + \beta_3 DB_i + \beta_4 Sanitasi_i + \beta_5 Faskes_i + \beta_6 Miskin_i + \beta_7 KP_i \]
Model Poisson dengan offset log(JP) kemudian dibangun untuk memodelkan laju kejadian TBC antar kabupaten/kota.
Dari hasil estimasi, didapat persamaan model Poisson sebagai berikut: \[ \log(\mu_i) = \log(JP_i) + \beta_0 + \beta_1 HIV_i + \beta_2 ST_i + \beta_3 DB_i + \beta_4 Sanitasi_i + \beta_5 Faskes_i + \beta_6 Miskin_i + \beta_7 KP_i \]
Pr(>|z|)
(Intercept) < 2e-16 ***
HIV < 2e-16 ***
ST < 2e-16 ***
DB < 2e-16 ***
Sanitasi < 2e-16 ***
Faskes < 2e-16 ***
Miskin 4.59e-13 ***
KP < 2e-16 ***
Seluruh variabel (HIV, ST, DB, Sanitasi, Faskes, Miskin, KP) berpengaruh signifikan terhadap jumlah kasus TBC (p-value < 0,05).
> exp(coef(model_pois))
(Intercept) HIV ST DB Sanitasi Faskes Miskin KP
0.003862953 1.000188484 0.989590752 0.999986596 0.998265991 1.007436722 1.000445898 1.000022888
| Variabel | Nilai IRR | Interpretasi |
|---|---|---|
| HIV | 1.00019 | Setiap tambahan 1 penderita HIV meningkatkan laju TBC sekitar 0,019%. |
| Stunting | 0.9896 | Kenaikan 1% stunting berkaitan dengan penurunan laju TBC ±1,0%. |
| Diabetes | 1.0 | Pengaruh sangat kecil terhadap laju TBC. |
| Sanitasi | 0.9983 | Peningkatan 1% sanitasi layak menurunkan laju TBC sekitar 0,17%. |
| Fasilitas Kesehatan | 1.0074 | Penambahan 1 faskes meningkatkan laju TBC sekitar 0,74% (indikasi deteksi kasus). |
| Penduduk Miskin | 1.00045 | Kenaikan jumlah penduduk miskin meningkatkan laju TBC meskipun kecil. |
| Kepadatan Penduduk | 1.00002 | Kepadatan penduduk berasosiasi positif dengan laju TBC. |
Penurunan atau peningkatan dilihat dari tanda negatif/positif pada hasil regresi poisson.
| Variabel | Interval Kepercayaan IRR | Interpretasi |
|---|---|---|
| HIV | 1.00015 - 1.00022 | Seluruh nilai > 1. Peningkatan jumlah penderita HIV secara konsisten meningkatkan laju kejadian TBC. |
| Stunting | 0.98826 - 0.99093 | Seluruh nilai < 1. Peningkatan persentase stunting berkaitan dengan penurunan laju kejadian TBC. |
| Diabetes | 0.999986 - 0.999987 | Seluruh nilai < 1. Jumlah penderita diabetes memiliki pengaruh kecil namun signifikan dalam menurunkan laju kejadian TBC. |
| Sanitasi | 0.99787 - 0.99867 | Seluruh nilai < 1. Semakin baik cakupan sanitasi, semakin rendah laju kejadian TBC. |
| Fasilitas Kesehatan | 1.00689 - 1.00798 | Seluruh nilai > 1. Penambahan fasilitas kesehatan berkaitan dengan peningkatan kasus TBC yang terdeteksi. |
| Penduduk Miskin | 1.00033 - 1.00057 | Seluruh nilai > 1. Peningkatan jumlah penduduk miskin meningkatkan laju kejadian TBC. |
| Kepadatan Penduduk | 1.00002 - 1.00002 | Seluruh nilai > 1. Wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi memiliki laju kejadian TBC lebih besar. |
> # Rasio deviance
> deviance(model_pois) / df.residual(model_pois)
[1] 2791.089
> # Rasio Pearson Chi-square
> sum(residuals(model_pois, type = "pearson")^2) /
+ df.residual(model_pois)
[1] 4995.069
Dari hasil pengujian, nilai Rasio deviance dieproleh sebesar 2791, niali Rasio Pearson Chi-square diperoleh sebesar 4995. Nilai rasio deviance dan Pearson Chi-square yang jauh lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa varians data jauh melebihi nilai rata-rata, sehingga asumsi equidispersion pada regresi Poisson tidak terpenuhi. Dengan demikian, data mengalami overdispersi yang kuat
> # AIC
> AIC(model_pois)
[1] 53333.73
> # Log-likelihood
> logLik(model_pois)
'log Lik.' -26658.87 (df=8)
Dari hasil evaluasi model, diperoleh nilai Negative Log-Likelihood sebesar 26.658. Nilai ini menandakan tingkat ketidaksesuaian model terhadap data. Semakin kecil NLL, semakin baik kecocokan model. Selain itu diperoleh juga nilai AIC sebesar 53.334. Nilai ini digunakan untuk membandingkan kecocokan model dan kompleksitas antar model.
Model regresi Poisson dengan link log dan offset log jumlah penduduk digunakan untuk memodelkan jumlah kasus TBC. Model ini memperkirakan laju kejadian TBC sebagai fungsi dari faktor kesehatan, sosial, dan lingkungan pada tingkat kabupaten/kota. Hasil evaluasi menunjukkan adanya overdispersion, sehingga model Poisson digunakan sebagai pembanding awal sebelum dilakukan pemodelan Poisson–Gamma.
Model regresi Poisson–Gamma (Negative Binomial) dengan link log dan offset log(JP) digunakan untuk memodelkan jumlah kasus TBC (JK) dengan mempertimbangkan heterogenitas antar wilayah.
Asumsi model Poisson-Gamma: 1. Data berupa hitungan (count data) 2. Overdispersion terhadap Poisson 3. Asumsi Poisson–Gamma (heterogenitas tak teramati) 4. Independensi pengamatan: Y saling independen (kecuali dimodelkan sebaliknya) 5. Spesifikasi fungsi mean yang benar : \(log(µ_i) = X_iβ\) 6 Tidak ada excess zero yang ekstrem 7. Tidak ada multikolinearitas serius (jika regresi)
\[ \log(\lambda_i) = \beta_0 + \sum_{k=1}^{p} \beta_k X_{ik} \]
(Intercept) -6.690 2.23e-11 ***
HIV 0.633 0.5270
ST 1.195 0.2320
DB -2.375 0.0175 *
Sanitasi 1.437 0.1507
Faskes 0.332 0.7395
Miskin 0.931 0.3520
KP 1.361 0.1734
Setelah mengakomodasi overdispersion, hanya variabel Diabetes (DB) yang signifikan (p = 0,0175). Variabel lain tidak signifikan, menunjukkan bahwa signifikansi pada model Poisson sebelumnya sebagian dipengaruhi oleh overdispersion.
> #IRR
> exp(coef(model_pg))
(Intercept) HIV ST
0.0008190819 1.0006230738 1.0419824320
DB Sanitasi Faskes
0.9999693296 1.0145682216 1.0046296352
Miskin KP
1.0029878621 1.0000537094
Dari hasil analisis, diperoleh:
| Variabel | Nilai IRR | Interpretasi |
|---|---|---|
| HIV | 1.0006 | Tidak signifikan. Tidak terbukti memengaruhi laju TBC setelah koreksi overdispersion. |
| Stunting | 1.0420 | Tidak signifikan. Arah efek positif, tetapi tidak cukup bukti statistik. |
| Diabetes | 0.99997 | Signifikan. setiap tambahan penderita diabetes menurunkan laju TBC secara sangat kecil. |
| Sanitasi | 1.0146 | Tidak signifikan. Tidak terbukti berpengaruh setelah heterogenitas diperhitungkan. |
| Fasilitas Kesehatan | 1.0046 | Tidak signifikan. Efek terdeteksi tidak kuat setelah koreksi dispersi. |
| Penduduk Miskin | 1.0030 | Tidak signifikan. Efek sosial melemah setelah overdispersion ditangani. |
| Kepadatan Penduduk | 1.00005 | Tidak signifikan. Pengaruh kepadatan tidak konsisten. |
| Variabel | IRR (≈ exp(β)) | 95% CI IRR | Interpretasi Epidemiologis |
|---|---|---|---|
| HIV | ≈ 1.000 | (0.9985 – 1.0027) | Peningkatan jumlah penderita HIV tidak menunjukkan perubahan yang signifikan terhadap laju kejadian TBC, karena interval kepercayaan mencakup nilai 1. |
| ST (Stunting) | ≈ 1.000 | (0.9755 – 1.1162) | Persentase stunting tidak berasosiasi signifikan dengan laju kejadian TBC; efek yang ditunjukkan bersifat lemah dan tidak pasti. |
| DB (Diabetes) | ≈ 1.000 | (0.9999 – 1.0000) | Jumlah penderita diabetes menunjukkan hubungan negatif yang sangat kecil terhadap laju kejadian TBC, namun efek ini tidak signifikan secara statistik. |
| Sanitasi | ≈ 1.000 | (0.9918 – 1.0357) | Persentase sanitasi layak tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap laju kejadian TBC pada tingkat kabupaten/kota. |
| Faskes | ≈ 1.000 | (0.9764 – 1.0343) | Jumlah fasilitas kesehatan tidak berhubungan signifikan dengan perubahan laju kejadian TBC; kemungkinan dipengaruhi oleh variasi kualitas dan akses layanan. |
| Miskin | ≈ 1.000 | (0.9956 – 1.0101) | Jumlah penduduk miskin menunjukkan kecenderungan hubungan positif yang lemah terhadap laju kejadian TBC, namun tidak signifikan secara statistik. |
| KP (Kepadatan Penduduk) | ≈ 1.000 | (0.99997 – 1.00014) | Kepadatan penduduk tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap laju kejadian TBC dalam model ini. |
Berdasarkan hasil estimasi regresi Poisson–Gamma, seluruh variabel penjelas memiliki interval kepercayaan 95% IRR yang mencakup nilai 1, sehingga tidak terdapat faktor risiko yang berasosiasi signifikan dengan laju kejadian TBC pada tingkat kabupaten/kota. Hal ini mengindikasikan bahwa variasi jumlah kasus TBC kemungkinan dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak tercakup dalam model atau oleh heterogenitas wilayah yang bersifat kompleks.
Theta: 3.029
Std. Err.: 0.784
Hasil analisis menunjukkan Theta = 3,029 (SE = 0,784. Artinya terdapat heterogenitas antar wilayah.
Varians: \[ \text{Var}(JK) = \mu + \frac{\mu^2}{\theta} \] #### Persamaan Model Poisson–Gamma Hasil Estimasi
\[ \begin{aligned} \log(\mu_i) = & \log(E_i) - 7.107 + 0.000623 \, (\text{HIV}_i) + 0.04113 \, (\text{ST}_i) \\ & - 0.00003067 \, (\text{DB}_i) + 0.01446 \, (\text{Sanitasi}_i) + 0.004619 \, (\text{Faskes}_i) \\ & + 0.002983 \, (\text{Miskin}_i) + 0.00005371 \, (\text{KP}_i) \end{aligned} \]
dengan: - \(µ_i\) : rata-rata jumlah kasus TBC di wilayah ke-i - \(E_i\) : expected cases (offset populasi)
> deviance(model_pg) / df.residual(model_pg)
[1] 1.49833
> sum(residuals(model_pg, type = "pearson")^2) /
+ df.residual(model_pg)
[1] 2.003193
Diperoleh Rasio deviance sebesar 1.50, Rasio Pearson sebesar 2.00. Nilai mendekati 1–2 artinya overdispersion berhasil dikendalikan.
> # AIC & Log-likelihood
> AIC(model_pois, model_pg)
df AIC
model_pois 8 53333.7325
model_pg 9 542.4983
> logLik(model_pois)
'log Lik.' -26658.87 (df=8)
> logLik(model_pg)
'log Lik.' -262.2491 (df=9)
Dari hasil analisis, diperoleh nilai AIC Poisson–Gamma sebesar 542,5 yang mana jauh lebih kecil dari Poisson. Diperoleh juga nilai Log-likelihood sebesar −262,25 yang lebih baik relatif. Hasil ini menunjukkan kecocokan model yang jauh lebih baik.
Model lebih sesuai dibanding Poisson untuk data TBC, namun belum mempertimbangkan ketergantungan spasial sehingga selanjutnya digunakan model Bayesian Disease Mapping (BYM – INLA) untuk memodelkan distribusi spasial TBC dengan mempertimbangkan ketergantungan antar wilayah.
Model BYM adalah model statistik untuk data area (spasial) untuk memetakan risiko penyakit dengan mempertimbangkan dua jenis efek acak:
Integrated Nested Laplace Approximations (INLA) adalah sebuah pendekatan komputasi yang digunakan sebagai alternatif dari metode MCMC (Markov Chain Monte Carlo). INLA dirancang khusus untuk model Latent Gaussian, termasuk model spasial BY, dan digunakan dalam analisis ini.
\[ \log(\mu_i) = \log(E_i) + \beta_0 + \sum_{k=1}^{p} \beta_k X_{ik} + u_i + v_i \]
| Variabel | Mean | Interval Kepercayaan IRR | Interpretasi |
|---|---|---|---|
| Intercept | -1.066 | -3.500 - 1.367 | Nilai dasar log-risiko TBC ketika seluruh kovariat bernilai nol. Tidak signifikan karena interval kepercayaan mencakup nol. |
| HIV | 0.000 | -0.002 - 0.003 | Tidak terdapat bukti kuat bahwa jumlah penderita HIV berpengaruh terhadap variasi kasus TBC setelah mempertimbangkan efek spasial. |
| Stunting | 0.021 | -0.058 - 0.100 | Persentase stunting tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap risiko TBC antar wilayah. |
| Diabetes | 0.000 | 0.000 - 0.000 | Tidak terdapat pengaruh yang bermakna dari jumlah penderita diabetes terhadap variasi TBC dalam model spasial. |
| Sanitasi | 0.007 | -0.016 - 0.030 | Akses sanitasi layak tidak berhubungan signifikan dengan risiko TBC setelah efek spasial diperhitungkan. |
| Fasilitas Kesehatan | 0.005 | -0.027 - 0.037 | Jumlah fasilitas kesehatan tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah kasus TBC antar wilayah. |
| Penduduk Miskin | 0.002 | -0.006 - 0.009 | Jumlah penduduk miskin tidak menunjukkan hubungan signifikan dengan variasi kasus TBC. |
| Kepadatan Penduduk | 0.000 | 0.000 - 0.000 | Kepadatan penduduk tidak berpengaruh signifikan dalam model BYM. |
Setelah memperhitungkan efek spasial, seluruh kovariat tidak signifikan. Variasi TBC lebih dominan dijelaskan oleh faktor lokasi.
Model hyperparameters:
mean sd 0.025quant 0.5quant 0.975quant mode
Precision for region_id (iid component) 2.46 0.767 1.25 2.36 4.24 2.18
Precision for region_id (spatial component) 2203.59 2421.188 145.87 1443.93 8631.79 397.17
Dari analisis, didapatkan nilai rat-rata Precision spatial component sebesar 2203.59 yang mengindikasikan variasi spasial terstruktur sangat kuat. Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan antar wilayah bertetangga (spatial clustering).
Sementara itu diperoleh nilai rata-rata Precision iid component sebesar 2.46 yang menunjukkan variasi acak spesifik wilayah relatif kecil dibandingkan variasi spasial terstruktur.
Dari kedua hasil analilisis diatas, dapat disimpulkan bahwa pola penyebaran TBC di Jawa Barat lebih dipengaruhi oleh kedekatan geografis antar wilayah dibandingkan faktor acak murni.
Hasil evaluasi model ini menunjukkan bahwa Model BYM memberikan kecocokan yang lebih baik dibandingkan model non-spasial sebelumnya.
\[ \begin{equation} \begin{aligned} \log(\mu_i) = & \log(E_i) - 1.066 + 0.000(\text{HIV}_i) + 0.021(\text{ST}_i) + 0.000(\text{DB}_i) \\ & + 0.007(\text{Sanitasi}_i) + 0.005(\text{Faskes}_i) + 0.002(\text{Miskin}_i) + 0.000(\text{KP}_i) + u_i + v_i \end{aligned} \end{equation} \] dengan: - \(µ_i\) = rata-rata jumlah kasus TBC di wilayah ke-𝑖 - \(E_i\) = expected cases - \(u_i\) = rata-rata jumlah kasus TBC di wilayah ke-𝑖 - \(v_i\) = efek acak spasial terstruktur
Hasil pemodelan BYM menunjukkan bahwa variasi spasial kasus TBC di Provinsi Jawa Barat lebih dominan dipengaruhi oleh efek spasial dibandingkan faktor risiko individual. Seluruh kovariat tidak menunjukkan pengaruh signifikan setelah memperhitungkan ketergantungan antar wilayah. Model BYM memberikan estimasi risiko relatif yang lebih stabil dan mampu mengidentifikasi wilayah dengan risiko TBC tinggi secara spasial.
Hasil pemodelan BYM menunjukkan bahwa variasi spasial kasus TBC di Provinsi Jawa Barat lebih dominan dipengaruhi oleh efek spasial dibandingkan faktor risiko individual. Seluruh kovariat tidak menunjukkan pengaruh signifikan setelah memperhitungkan ketergantungan antar wilayah. Model BYM memberikan estimasi risiko relatif yang lebih stabil dan mampu mengidentifikasi wilayah dengan risiko TBC tinggi secara spasial.
Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan agar analisis epidemiologi penyakit menular berbasis wilayah, khususnya tuberkulosis, mempertimbangkan penggunaan model count yang sesuai serta memasukkan aspek spasial untuk memperoleh estimasi risiko yang lebih akurat.
Pengambil kebijakan di bidang kesehatan dapat memanfaatkan peta risiko relatif hasil model Bayesian BYM sebagai dasar penentuan prioritas wilayah intervensi dan alokasi sumber daya pengendalian TBC.
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk menggunakan data longitudinal agar dapat mengkaji dinamika temporal dan tren risiko tuberkulosis, serta menambahkan kovariat yang lebih spesifik seperti kepadatan hunian, mobilitas penduduk, dan kualitas layanan kesehatan. Selain itu, pengembangan model spasial yang lebih lanjut, seperti BYM2 atau spatio-temporal models, dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai interaksi ruang dan waktu dalam penyebaran tuberkulosis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Epidemiologi atas arahan dan bimbingan selama proses pembelajaran. Penulis juga mengakui bahwa dalam penyusunan mini project ini, penulis menggunakan bantuan AI tools (ChatGPT, OpenAI) untuk mendukung proses penulisan kode, pembuatan peta spasial, serta penyusunan laporan. Seluruh keputusan, interpretasi, dan kesimpulan dari hasil analisis sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
[1] World Health Organization. (2023). Global tuberculosis report 2023. WHO. https://www.who.int/teams/global-tuberculosis-programme/tb-reports/global-tuberculosis-report-2023
[2] Kementerian Kesehatan RI. (2024). Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Kemenkes RI. https://repository.kemkes.go.id/book/567
[3] Kementerian Kesehatan RI. (2024). Profil kesehatan Indonesia tahun 2024. Kemenkes RI. https://kemkes.go.id/id/profil-kesehatan-indonesia-2024
[4] Centers for Disease Control and Prevention. (2022). Transmission and causes of tuberculosis. CDC. https://www.cdc.gov/tb/causes/index.html
[5] Lönnroth, K., et al. (2010). Tuberculosis control and elimination 2010-50: cure, care, and social development. Lancet. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(10)60483-7
[6] Mulyani, H., Djatna, T., & Sitanggang, I. (2017). Agent Based Modeling on Dynamic Spreading Dengue Fever Epidemic. TELKOMNIKA. https://doi.org/10.12928/telkomnika.v15i3.4511
[7] Rwezaura, H., et al. (2022). Mathematical modeling and optimal control of SARS-CoV-2 and tuberculosis co-infection: a case study of Indonesia. Modeling Earth Systems and Environment. https://doi.org/10.1007/s40808-022-01430-6
[8] Mohammadnabi, N., et al. (2024). Mycobacterium tuberculosis: The Mechanism of Pathogenicity, Immune Responses, and Diagnostic Challenges. Journal of Clinical Laboratory Analysis. https://doi.org/10.1002/jcla.25122
[9] Gagneux, S. (2018). Ecology and evolution of Mycobacterium tuberculosis. Nature Reviews Microbiology. https://doi.org/10.1038/nrmicro.2018.8
[10] Lönnroth, K., et al. (2009). Drivers of tuberculosis epidemics: the role of risk factors and social determinants. Social Science & Medicine. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2009.03.041
[11] Narasimhan, P., et al. (2013). Risk Factors for Tuberculosis. Pulmonary Medicine. https://doi.org/10.1155/2013/828939
[12] Fahdhienie, F., et al. (2024). Risk factors of pulmonary tuberculosis in Indonesia: A case-control study in a high disease prevalence region. Narra J. https://doi.org/10.52225/narra.v4i2.943
[13] Duarte, R., et al. (2017). Tuberculosis, social determinants and co-morbidities (including HIV). Pulmonology. https://doi.org/10.1016/j.rppnen.2017.11.003
[14] Syed, R., et al. (2024). Understanding tuberculosis transmission and progression: A prospective cohort study of index cases and close contacts in Moldova. PLOS ONE. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0313270
[15] Sholihah, K., Junaedi, M., & Riwati Malika. (2025). Literatur Review: Hubungan Host dan Environment dengan Kejadian Penyakit Menular. Saintekes: Jurnal Sains, Teknologi dan Kesehatan. https://ejournal.litka.ac.id/index.php/saintekes/article/view/374
[16] Silva, D., et al. (2018). Risk factors for tuberculosis: diabetes, smoking, alcohol use, and the use of other drugs. Jornal Brasileiro de Pneumologia. https://doi.org/10.1590/s1806-37562017000000443
[17] Shimeles, E., et al. (2019). Risk factors for tuberculosis: A case–control study in Addis Ababa, Ethiopia. PLoS ONE. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0214235
[18] Uwumuremyi, F., et al. (2025). Prevalence and Risk Factors for Active Tuberculosis in HIV-Negative Individuals. International Journal of Scientific Research and Modern Technology. https://doi.org/10.38124/ijsrmt.v4i2.297
Dashboard:
https://bit.ly/DashboardEpidem
Syntax Dashboard:
https://rpubs.com/Rani_0014/SyntaxDashboardEpidem
Syntax Analisis:
https://rpubs.com/Rani_0014/SyntaxUASEpidem
Link Video:
https://bit.ly/PresentasiEpidem (Open link in new tab)