0.1 Abstrak

Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang masih menjadi tantangan utama kesehatan masyarakat di Indonesia, dengan Provinsi Jawa Barat sebagai wilayah dengan beban kasus tertinggi pada tahun 2024. Perbedaan karakteristik demografi, sosial ekonomi, dan ketersediaan pelayanan kesehatan antar kabupaten/kota diduga berkontribusi terhadap variasi risiko TBC. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis distribusi spasial dan variasi risiko tuberkulosis di Provinsi Jawa Barat serta mengidentifikasi faktor wilayah yang berasosiasi dengan perbedaan risiko tersebut. Penelitian ini menggunakan desain ekologi potong lintang dengan data sekunder agregat tingkat kabupaten/kota tahun 2024. Analisis dilakukan melalui pemetaan risiko relatif dan pemodelan statistik secara bertahap, meliputi regresi linear berganda, regresi Poisson, regresi Poisson–Gamma (Negative Binomial), serta model pemetaan penyakit Bayesian Besag–York–Mollié (BYM) berbasis Integrated Nested Laplace Approximation (INLA). Hasil analisis menunjukkan bahwa model regresi linear kurang sesuai untuk data TBC, sedangkan model Poisson mengalami overdispersion yang kuat. Regresi Poisson–Gamma mampu mengatasi permasalahan overdispersion, namun belum mempertimbangkan ketergantungan spasial. Model BYM memberikan kinerja terbaik dengan nilai DIC dan WAIC terendah serta mampu menangkap adanya pengelompokan spasial kasus TBC antar wilayah. Setelah memperhitungkan efek spasial, seluruh kovariat wilayah tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap variasi risiko TBC, yang mengindikasikan bahwa faktor lokasi dan kedekatan geografis memiliki peran dominan. Peta risiko relatif posterior mengidentifikasi wilayah dengan risiko TBC yang lebih tinggi secara konsisten dibandingkan rata-rata provinsi. Pendekatan spasial Bayesian terbukti mampu mendukung identifikasi wilayah prioritas dan perencanaan pengendalian TBC berbasis wilayah.


1 BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TBC) masih termasuk penyakit menular yang menjadi tantangan utama dalam kesehatan masyarakat di Indonesia [1]. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis yang terutama menyerang organ paru dan ditularkan melalui droplet atau percikan dahak dari individu yang terinfeksi [2]. Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Indonesia tercatat sebagai salah satu dari lima negara dengan beban kasus TBC tertinggi secara global [3]. Pada tahun 2024, Provinsi Jawa Barat tercatat sebagai wilayah dengan jumlah kasus TBC tertinggi, yaitu mencapai 234.710 kasus [3]. Berbagai faktor, antara lain tingkat kepadatan penduduk, kondisi sosial ekonomi, serta ketersediaan dan akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, berperan dalam memengaruhi pola dan tingkat penyebaran penyakit tersebut [5]. Kondisi tersebut menunjukkan perlunya analisis epidemiologis yang mampu menggambarkan pola sebaran, tingkat prevalensi, dan tingkat keparahan penyakit TBC di Jawa Barat sebagai dasar perencanaan pengendalian yang lebih efektif.

1.2 1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka identifikasi masalah yang dijadikan bahan penelitian yaitu sebagai berikut:

  1. Bagaimana pola distribusi spasial dan tingkat risiko tuberkulosis di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024?
  2. Faktor wilayah apa yang berasosiasi dengan variasi risiko tuberkulosis antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2024?

1.3 1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan distribusi spasial dan variasi risiko tuberkulosis di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 serta mengkaji faktor wilayah yang berkaitan dengan perbedaan risiko antar kabupaten/kota.

1.4 1.4. Manfaat Penelitian

Secara akademis, penelitian ini memberikan kontribusi dalam penerapan konsep dan metode epidemiologi, khususnya dalam analisis data penyakit berbasis wilayah melalui perhitungan ukuran frekuensi serta pemodelan risiko relatif menggunakan pendekatan spasial. Selain itu, penelitian ini memperkaya pemahaman mengenai interpretasi pola distribusi penyakit menular pada tingkat kabupaten/kota.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi pemangku kepentingan dalam mengidentifikasi wilayah dengan tingkat risiko tuberkulosis yang relatif lebih tinggi serta memahami karakteristik wilayah yang berasosiasi dengan variasi risiko tersebut, sehingga dapat mendukung penentuan prioritas dan perencanaan strategi pengendalian tuberkulosis yang lebih terarah dan berbasis data.

1.5 1.5. Batasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional ekologis dengan memanfaatkan data sekunder agregat pada tingkat kabupaten/kota, sehingga memiliki beberapa keterbatasan sebagai berikut:

1.5.1 1. Keterbatasan Data Ekologis dan Agregasi Wilayah

Penelitian ini menggunakan data agregat tingkat kabupaten/kota untuk menganalisis distribusi dan variasi risiko tuberkulosis antarwilayah. Oleh karena itu, hubungan yang diidentifikasi antara karakteristik wilayah dan risiko penyakit hanya berlaku pada tingkat populasi dan tidak dapat diinterpretasikan sebagai hubungan kausal pada tingkat individu. Kondisi ini berpotensi menimbulkan kekeliruan ekologis (ecological fallacy), yaitu perbedaan antara pola hubungan pada tingkat kelompok dan individu.

1.5.2 2. Keterbatasan Temporal

Data kasus tuberkulosis yang digunakan dalam penelitian ini terbatas pada satu periode pengamatan, yaitu tahun 2024. Dengan demikian, analisis yang dilakukan tidak mencerminkan dinamika temporal, tren jangka panjang, maupun variasi musiman kejadian tuberkulosis di Provinsi Jawa Barat.

1.5.3 3. Keterbatasan Ukuran Asosiasi

Analisis kuantitatif dalam penelitian ini difokuskan pada estimasi risiko relatif berbasis wilayah melalui pendekatan pemodelan Poisson dan Poisson–Gamma. Karena keterbatasan desain studi dan ketersediaan data agregat, penelitian ini tidak bertujuan untuk mengestimasi ukuran asosiasi kausal seperti Risk Ratio atau Odds Ratio pada tingkat individu, melainkan untuk mengidentifikasi variasi risiko dan pola spasial penyakit pada tingkat kabupaten/kota.


2 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 2.1. Teori Agent-Host-Environment

Konsep Agent–Host–Environment (A-H-E) atau Trias Epidemiologi adalah fondasi penting dalam epidemiologi klasik untuk memahami dan mengendalikan penyakit menular. Teori ini menekankan bahwa timbulnya suatu penyakit bukan disebabkan oleh satu faktor tunggal, melainkan hasil dari interaksi dinamis dan ketidakseimbangan antara tiga komponen utama [6]. Keseimbangan yang terganggu di antara ketiga elemen ini akan menciptakan kondisi yang mendukung terjadinya penularan dan munculnya penyakit.

Agent merupakan faktor yang kehadirannya menjadi penyebab dalam timbulnya penyakit [7]. Dalam konteks tuberkulosis, agent penyebab penyakit adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis, yaitu bakteri tahan asam yang terutama menyerang paru-paru manusia. Karakteristik bakteri tersebut, termasuk kemampuan bertahan hidup dalam lingkungan tertentu dan resistensi terhadap pengobatan, turut memengaruhi tingkat penularan serta tingkat keparahan penyakit di suatu wilayah [8,9].

Host atau inang adalah individu atau populasi yang rentan terhadap infeksi, dipengaruhi oleh faktor usia, imunitas, riwayat medis, lingkungan tempat tinggal, dan perilaku individu [10]. Dalam konteks tuberkulosis, manusia berperan sebagai host utama. Faktor-faktor pada host yang meningkatkan risiko terinfeksi TBC meliputi status imunitas yang menurun, usia tertentu, kondisi gizi yang buruk, serta adanya penyakit penyerta seperti HIV dan diabetes melitus. Selain itu, perilaku dan kondisi hidup, seperti kepadatan hunian, ventilasi rumah yang buruk, serta keterlambatan dalam mencari pengobatan, turut berkontribusi terhadap peningkatan risiko penularan dan progresivitas penyakit tuberkulosis.

Sementara itu, Environment (lingkungan) adalah faktor eksternal yang mempengaruhi interaksi antara agen dan host, termasuk kondisi fisik, biologis, serta sosial yang berperan dalam proses penularan penyakit [11]. Lingkungan dibagi menjadi fisik, biologis, dan sosial. Dalam penularan tuberkulosis, faktor lingkungan memiliki peran penting karena penyakit ini ditularkan melalui udara. Faktor lingkungan fisik yang berpengaruh meliputi kondisi hunian dengan ventilasi yang buruk, kepadatan tempat tinggal yang tinggi, serta kualitas udara dalam ruangan yang tidak memadai, yang dapat meningkatkan risiko transmisi Mycobacterium tuberculosis [12]. Faktor lingkungan biologis berkaitan dengan keberadaan individu terinfeksi yang berperan sebagai sumber penularan di suatu wilayah.

Sementara itu, faktor lingkungan sosial dan ekonomi, seperti tingkat kepadatan penduduk, kemiskinan, serta keterbatasan akses terhadap fasilitas kesehatan, turut memengaruhi intensitas kontak antarindividu dan keberhasilan deteksi serta pengobatan TBC, sehingga berdampak pada pola penyebaran penyakit di masyarakat [13][14].

Gambar 1. Diagram Trias Epidemiologi

Gambar 1. Diagram Trias Epidemiologi

Hubungan antara Host, Agent, dan Environment sangat krusial dalam penularan berbagai penyakit menular. Ketiganya membentuk suatu interaksi yang saling mempengaruhi dan memperberat satu sama lain [15]. Kondisi ini menciptakan keadaan yang mempermudah agen penyakit, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk masuk dan menyerang tubuh manusia.

2.2 2.2. Ukuran Epidemiologi

Ukuran epidemiologi merupakan indikator vital untuk mengukur skala masalah kesehatan dalam suatu populasi dan menganalisis kaitan antara faktor paparan dengan timbulnya penyakit. Ukuran epidemiologi dibagi menjadi ukuran frekuensi dan ukuran asosiasi.

2.2.1 2.2.1. Ukuran Frekuensi

Terdapat beberapa ukuran frekuensi yang digunakan untuk menilai sejauh mana suatu penyakit terjadi atau menyebar. Ukuran yang sering digunakan antara lain sebagai berikut.

2.2.1.1 Prevalensi

Prevalensi adalah proporsi individu dalam suatu populasi yang menderita penyakit tertentu pada waktu tertentu, baik kasus lama maupun baru. Berikut adalah persamaannya.

\[ Prevalensi = \frac{\text{Jumlah seluruh kasus baru dan lama}}{\text{Jumlah penduduk pada periode tertentu}} \times 100\% \]

2.2.1.2 Insidensi

Insidensi adalah jumlah kasus baru suatu penyakit yang muncul dalam populasi berisiko selama periode waktu tertentu. Berikut adalah persamaannya.

\[ Insidensi = \frac{\text{Jumlah seluruh kasus baru dalam periode tertentu}}{\text{Jumlah penduduk beresiko}} \times 100\% \]

2.2.1.3 Case Fatality Rate

Case Fatality Rate (CFR) adalah proporsi individu yang meninggal akibat penyakit tertentu dibandingkan dengan jumlah seluruh kasus penyakit tersebut. Berikut adalah persamaannya.

\[ CFR = \frac{\text{Jumlah kematian akibat penyakit}}{\text{Jumlah kasus penyakit}} \times 100\% \]

2.2.1.4 Attack Rate

Attack Rate adalah proporsi individu dalam populasi yang terserang penyakit selama periode wabah atau kejadian luar biasa dalam waktu singkat. Berikut adalah persamaannya.

\[ \text{Attack Rate} = \frac{\text{Jumlah kasus baru selama wabah}}{\text{Jumlah populasi yang beresiko}} \times 100\% \]

2.2.2 2.2.2. Ukuran Asosiasi

Selain ukuran frekuensi, digunakan pula ukuran asosiasi seperti Relative Risk (RR), Odds Ratio (OR), dan Attributable Risk (AR). Ukuran ini berfungsi untuk mengukur kekuatan hubungan antara faktor risiko spesifik dengan kejadian suatu penyakit. Untuk variabel yang digunakan dalam perhitungan adalah sebagai berikut: a = jumlah kasus pada kelompok terpapar b = jumlah tidak sakit pada kelompok terpapar c = jumlah kasus pada kelompok tidak terpapar d = jumlah tidak sakit pada kelompok tidak terpapar a + b = total terpapar c + d = total tidak terpapar

2.2.2.1 Relative Risk (RR)

Relative Risk (RR) mengukur seberapa besar risiko seseorang di kelompok terpapar faktor risiko untuk sakit dibandingkan dengan kelompok yang tidak terpapar. RR > 1 menunjukkan paparan meningkatkan risiko penyakit; RR < 1 berarti paparan bersifat protektif. Berikut adalah persamaannya.

\[ RR = \frac{\text{a/(a+b)}}{\text{c/(c+d)}} \]

2.2.2.2 Odds Ratio (OR)

Odds Ratio (OR) adalah perbandingan peluang terjadinya penyakit antara kelompok terpapar dan tidak terpapar, umumnya digunakan pada studi kasus-kontrol. OR > 1 menunjukkan peluang penyakit lebih besar pada kelompok terpapar. Berikut adalah persamaannya.

\[ OR = \frac{\text{ad}}{\text{bc}} \]

2.2.2.3 Attributable Risk (AR)

Attributable Risk (AR) adalah selisih risiko penyakit antara kelompok terpapar dan tidak terpapar yang menunjukkan besarnya risiko tambahan akibat paparan tersebut. Berikut adalah persamaannya.

\[ AR = \frac{a}{a+b} - \frac{c}{c+d} \]

2.3 2.3. Desain Studi Epidemiologi

Studi epidemiologi adalah cara ilmiah untuk mencari tahu apakah ada hubungan antara hal-hal yang dapat menyebabkan sakit (faktor risiko) dengan penyakit itu sendiri di masyarakat. Memilih metode studi yang tepat harus disesuaikan dengan tujuan penelitian, data yang ada, dan juga pertimbangan etika serta biaya. Berikut adalah macam-macam desain studi epidemiologi.

2.3.1 2.3.1. Cross-sectional Study (Studi Potong Lintang)

Studi potong lintang mengamati hubungan antara paparan dan penyakit pada waktu yang sama dalam satu populasi. Desain ini menggambarkan prevalensi penyakit serta distribusi faktor risiko secara bersamaan, sehingga sering digunakan untuk survei kesehatan masyarakat. Karena datanya dikumpulkan pada satu waktu, studi ini tidak dapat memastikan hubungan sebab-akibat (kausalitas), melainkan hanya menunjukkan asosiasi [16].

2.3.2 2.3.2. Case-control Study (Studi Kasus–Kontrol)

Studi kasus kontrol adalah desain studi yang dimulai dengan memilih dua kelompok yaitu kelompok Kasus (orang yang sudah sakit) dan dan kelompok Kontrol (orang yang tidak sakit). Selanjutnya, peneliti akan menelusuri ke belakang (riwayat masa lalu) untuk membandingkan paparan faktor risiko di antara kedua kelompok tersebut, untuk melihat apakah paparan tersebut berhubungan dengan penyakit yang ada [17].

2.3.3 2.3.3. Cohort Study (Studi Kohort)

Studi kohort mengikuti sekelompok individu yang awalnya bebas penyakit dan dibedakan berdasarkan status paparannya. Subjek kemudian diikuti selama periode waktu tertentu untuk melihat siapa yang mengembangkan penyakit [17].

2.3.4 2.3.4. Experimental Study (Studi Eksperimen)

Studi eksperimental melibatkan intervensi langsung oleh peneliti untuk menilai pengaruh suatu perlakuan atau paparan terhadap hasil kesehatan. Subjek dibagi menjadi kelompok perlakuan dan kontrol secara acak (randomisasi) untuk meminimalkan bias. Jenis studi ini merupakan desain paling kuat untuk menguji hubungan kausal karena adanya kontrol terhadap variabel luar [16].

Tabel 1. Perbandingan Desain Studi Epidemiologi
Desain Studi Kelebihan Kekurangan
Cross-sectional Cepat, biaya rendah, cocok untuk prevalensi Tidak bisa menentukan hubungan sebab-akibat
Case-control Efisien untuk penyakit langka, hemat waktu Rentan bias ingatan, tidak cocok untuk mengukur insidensi
Cohort Dapat mengukur insidensi & hubungan sebab-akibat Mahal, butuh waktu lama, risiko kehilangan subjek

3 BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 3.1. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat dan Portal Open Data Jabar dari Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. Unit analisis yang digunakan adalah 27 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat.

3.2 3.2. Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan yaitu terdiri dari sembilan variabel yaitu Jumlah Kasus TBC, Jumlah Penduduk (ribu jiwa), Jumlah Kasus HIV, Jumlah Penderita Diabetes Melitus (orang), Persentase Balita Stunting, Kepadatan Penduduk (jiwa/Km2), Jumlah Penduduk Miskin (ribu jiwa), Jumlah Fasilitas Kesehatan, dan Persentase Keluarga dengan Sanitasi Layak. Masing-masing merupakan data tiap kab/kota pada tahun 2024 di di Provinsi Jawa Barat.

Tabel 2. Variabel Penelitian
Nama Variabel Satuan Deskripsi Sumber Data
Jumlah Kasus TBC Orang Jumlah total kasus Tuberkulosis (TBC) yang dilaporkan di Jawa Barat pada tahun 2024. Open Data Jawa Barat 2024
Jumlah Penduduk Jiwa Jumlah total penduduk di Jawa Barat pada tahun 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat 2024
Jumlah Kasus HIV Orang Jumlah total kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang tercatat di Jawa Barat pada tahun 2024. Open Data Jawa Barat 2024
Jumlah Penderita Diabetes Melitus Orang Jumlah penduduk yang tercatat menderita Diabetes Melitus di Jawa Barat pada tahun 2024. Open Data Jawa Barat 2024
Persentase Balita Stunting Persentase Persentase balita yang mengalami kondisi stunting di Jawa Barat pada tahun 2024. Open Data Jawa Barat 2024
Kepadatan Penduduk Jiwa/km² Jumlah penduduk per satuan luas wilayah di Jawa Barat pada tahun 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat 2024
Jumlah Penduduk Miskin Ribu jiwa Jumlah penduduk yang tergolong miskin di Jawa Barat pada tahun 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat 2024
Jumlah Fasilitas Kesehatan Unit Jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia di Jawa Barat pada tahun 2024. Open Data Jawa Barat 2024
Persentase Keluarga dengan Sanitasi Layak Persentase Persentase keluarga yang memiliki akses terhadap sanitasi yang layak di Jawa Barat pada tahun 2024. Open Data Jawa Barat 2024

3.3 3.3. Metode Analisis

Analisis dilakukan secara deskriptif untuk menggambarkan karakteristik penyakit TBC serta menghitung besaran masalah kesehatan pada wilayah penelitian. Tahapan analisis dijelaskan sebagai berikut.

3.3.1 3.3.1. Deskripsi Kasus dan Proses Penyakit

Tahap awal dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik penyakit TBC berdasarkan pendekatan agent–host–environment. Penjabaran ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai penyebab penyakit, mekanisme penularan, serta faktor lingkungan yang berperan dalam penyebarannya.

3.3.2 3.3.2. Statistika Deskriptif

Data jumlah kasus TBC dianalisis secara deskriptif untuk melihat pola distribusi dan variasi data. Visualisasi dilakukan dalam bentuk boxplot, histogram, tabel ukuran statistik, dan peta sebaran.

3.3.3 3.3.3. Perhitungan Ukuran Epidemiologi

Perhitungan ukuran epidemiologi dalam penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tingkat kejadian tuberkulosis pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Ukuran yang digunakan adalah insidensi, yang dinyatakan dalam bentuk incidence rate per 100.000 penduduk. Perhitungan ini digunakan sebagai dasar deskripsi epidemiologis serta sebagai komponen dalam estimasi risiko relatif pada pemodelan Poisson dan Poisson–Gamma.

3.3.4 3.3.4. Interpretasi Epidemiologis

Hasil analisis kuantitatif dan visual dalam penelitian ini diinterpretasikan untuk menjelaskan variasi dan pola distribusi spasial kejadian tuberkulosis antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Interpretasi difokuskan pada perbedaan tingkat kejadian dan estimasi risiko relatif berbasis wilayah, serta pada identifikasi wilayah dengan tingkat risiko yang relatif lebih tinggi sebagai dasar penentuan wilayah prioritas dalam upaya pengendalian tuberkulosis.

Gambar 2. Diagram Alur Penelitian

Gambar 2. Diagram Alur Penelitian

3.4 3.4. Desain Studi Epidemiologi

Analisis dilakukan secara deskriptif untuk menggambarkan karakteristik penyakit DBD serta menghitung besaran masalah kesehatan pada wilayah penelitian. Tahapan analisis dijelaskan sebagai berikut.

3.4.1 3.4.1. Jenis Desain: Cross-Sectional Study

Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional ekologis, yaitu desain studi observasional yang mengukur outcome dan karakteristik wilayah secara bersamaan pada satu periode waktu tertentu, dengan unit analisis berupa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024. Desain ini digunakan untuk menggambarkan distribusi spasial kejadian tuberkulosis serta variasi risiko antarwilayah, serta untuk mengkaji asosiasi antara karakteristik wilayah seperti kepadatan penduduk, kondisi sosial ekonomi, dan indikator kesehatan. Variabel-variabel tersebut memiliki variasi jumlah kasus tuberkulosis pada tingkat kabupaten/kota.

3.4.2 3.4.2. Variabel Utama

Tabel 3. Variabel Penelitian Studi Cross-Sectional Ekologis TBC
Jenis Variabel Nama Variabel Keterangan
Variabel Dependen (Outcome) Jumlah Kasus TBC (orang) Jumlah kasus tuberkulosis yang tercatat pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2024.
Risiko Relatif TBC (RR) Estimasi risiko relatif kejadian tuberkulosis pada tingkat kabupaten/kota yang diperoleh melalui pemodelan Poisson–Gamma berdasarkan perbandingan antara kasus teramati dan kasus yang diharapkan.
Variabel Independen (Paparan Wilayah) Kepadatan penduduk (jiwa/km²) Menggambarkan tingkat konsentrasi penduduk yang berpotensi meningkatkan intensitas kontak antarindividu dan risiko penularan tuberkulosis.
Jumlah penduduk miskin (ribu jiwa) Mencerminkan kondisi sosial ekonomi wilayah yang berkaitan dengan kerentanan terhadap penyakit dan keterbatasan akses layanan kesehatan.
Jumlah kasus HIV Indikator beban penyakit komorbid pada tingkat wilayah yang berkaitan dengan kerentanan populasi terhadap tuberkulosis secara agregat.
Jumlah kasus diabetes melitus Menggambarkan kondisi kesehatan populasi wilayah yang berasosiasi dengan peningkatan kerentanan terhadap infeksi tuberkulosis.
Jumlah kasus stunting Indikator status gizi populasi yang mencerminkan kerentanan kesehatan masyarakat pada tingkat wilayah.
Jumlah fasilitas kesehatan Menggambarkan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan yang berperan dalam deteksi, pengobatan, dan pelaporan kasus tuberkulosis.
Variabel Perancu (Confounder) Ukuran populasi kabupaten/kota Jumlah penduduk yang digunakan sebagai dasar standardisasi risiko melalui perhitungan expected cases dalam pemodelan Poisson dan Poisson–Gamma.

3.4.3 3.4.3. Populasi dan Sampel

Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh penduduk yang berdomisili di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024. Penelitian ini menggunakan data agregat tingkat kabupaten/kota yang tersedia secara lengkap untuk seluruh wilayah administratif di Provinsi Jawa Barat.Dengan demikian, unit analisis dalam penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat yang berjumlah 27 wilayah.

Sampel yang digunakan adalah seluruh kabupaten/kota karena semua unit wilayah dianalisis dalam periode waktu yang sama.

3.4.4 3.4.4. Cara Sampling

Metode pengambilan sampel dilakukan dengan total sampling, karena seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dimasukkan sebagai unit analisis.

3.4.5 3.4.5. Potensi Bias

Tabel 4. Tabel Jenis Potensi Bias
Jenis Bias Penjelasan
Bias seleksi Risiko bias seleksi relatif kecil karena penelitian ini menggunakan total sampling, di mana seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dianalisis tanpa pengecualian.
Bias informasi (misclassification) Dapat terjadi akibat perbedaan kualitas pencatatan dan pelaporan kasus TBC antar kabupaten/kota, termasuk kemungkinan underreporting kasus TBC yang tidak terdeteksi atau tidak tercatat di fasilitas kesehatan.
Bias ekologis (ecological fallacy) Karena penelitian menggunakan data agregat tingkat wilayah, hubungan yang ditemukan pada tingkat kabupaten/kota tidak dapat diinterpretasikan sebagai hubungan kausal pada tingkat individu.
Bias perancu (confounding) Faktor-faktor seperti kepadatan penduduk, tingkat kemiskinan, dan ketersediaan fasilitas kesehatan dapat saling berkaitan dan memengaruhi jumlah kasus TBC secara bersamaan. Oleh karena itu, analisis regresi dan model Poisson–Gamma digunakan untuk mengendalikan pengaruh perancu tersebut.

3.4.6 3.4.6. Alasan Pemilihan Desain

Desain cross-sectional dipilih karena penelitian ini bertujuan untuk:

  1. Memberikan gambaran epidemiologis penyakit Tuberkulosis (TBC) di seluruh kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024 melalui analisis distribusi kasus dan prevalensi pada satu periode waktu pengamatan.
  2. Mengidentifikasi variasi jumlah kasus dan tingkat risiko relatif antar wilayah menggunakan pendekatan pemetaan penyakit dan analisis regresi, termasuk model Poisson dan Poisson–Gamma.
  3. Menilai hubungan antara faktor demografis, sosial, dan ketersediaan fasilitas kesehatan dengan jumlah kasus TBC pada tingkat wilayah sebagai dasar perumusan kebijakan kesehatan masyarakat dan penelitian lanjutan dengan desain analitik atau longitudinal.

3.5 3.5. Pemodelan Pemetaan Penyakit

Pemodelan pemetaan penyakit dalam penelitian ini diawali dengan analisis regresi berganda untuk mengevaluasi hubungan antara faktor demografis, sosial, dan ketersediaan fasilitas kesehatan terhadap jumlah kasus Tuberkulosis (TBC) pada tingkat kabupaten/kota.

Selanjutnya, pemodelan dilanjutkan menggunakan model Poisson karena jumlah kasus TBC merupakan data hitungan (count data) yang berkaitan dengan besar populasi wilayah, dengan jumlah penduduk digunakan sebagai offset untuk memperoleh estimasi risiko relatif antarwilayah. Mengingat potensi terjadinya overdispersion pada data kasus TBC antar kabupaten/kota, model Poisson–Gamma juga diterapkan sebagai pengembangan untuk menangkap heterogenitas risiko yang tidak teramati.

Pemilihan model ini didasarkan pada kesesuaiannya dengan karakteristik data dan tujuan pemetaan penyakit, sedangkan evaluasi performa model dilakukan melalui pemeriksaan kecocokan model dan stabilitas estimasi parameter.


4 BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 4.1. Deskripsi Kasus & Proses Penyakit

  • Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan terutama menyerang paru-paru, meskipun dapat mengenai organ lain.
  • Penularan TBC terjadi melalui udara (airborne transmission), ketika individu rentan menghirup droplet nuclei yang mengandung bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dikeluarkan oleh penderita TBC aktif saat batuk, bersin, atau berbicara.
  • Berdasarkan tinjauan pustaka dan studi terdahulu, diperoleh faktor-faktor yang memengaruhi kerentanan biologis individu dalam populasi yang dapat meningkatkan risiko terinfeksi atau berkembang menjadi TBC aktif. Meskipun variabel ini diukur secara agregat wilayah, secara konsep epidemiologi tetap dikategorikan sebagai faktor individu (host). Faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut.
Tabel 5. Faktor Individu (Host-related factors)
Variabel Pengaruh ke Individu Pengaruh ke Populasi
Pernah/sedang menderita HIV HIV menurunkan sistem imun sehingga meningkatkan risiko infeksi TBC laten menjadi TBC aktif [13]. Dalam studi ekologis, variabel ini mencerminkan proporsi populasi dengan kerentanan imun yang lebih tinggi.
Pernah/sedang menderita Diabetes melitus Diabetes mellitus berhubungan dengan gangguan respons imun terhadap Mycobacterium tuberculosis [16]. Populasi dengan prevalensi diabetes tinggi cenderung memiliki risiko TBC lebih besar.
Pernah/sedang menderita Stunting Stunting merefleksikan status gizi buruk kronis, yang berkaitan dengan imunitas rendah [17]. Populasi dengan masalah gizi lebih rentan terhadap infeksi dan progresivitas TBC.
  • Berdasarkan tinjauan pustaka dan studi terdahulu, diperoleh faktor-faktor kondisi eksternal yang memengaruhi hubungan host dengan agent yang berkaitan dnegan intensitas kontak, transmisi bakteri, dan akses terhadap layanan kesehatan pada tingkat wilayah sebagai berikut.
Tabel 6. Faktor Lingkungan (Environment-related factors)
Faktor Alasan
Kepadatan Penduduk Faktor lingkungan utama dalam penyebaran penyakit menular respiratorik. Kepadatan tinggi meningkatkan peluang kontak dekat dan penularan TBC melalui droplet udara [12].
Jumlah Penduduk Miskin Mencerminkan kondisi sosial-ekonomi yang berkaitan dengan hunian padat, ventilasi buruk, dan keterbatasan akses layanan kesehatan [18].
Jumlah Fasilitas Kesehatan Mempengaruhi akses diagnosis, pengobatan, dan pelaporan kasus TBC. Wilayah dengan fasilitas lebih banyak cenderung memiliki deteksi kasus yang lebih baik [19].
Jumlah Penduduk Tidak dikategorikan sebagai faktor risiko, melainkan faktor eksposur [12].

4.2 4.2. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif difokuskan pada jumlah kasus TBC dan jumlah penduduk sebagai variabel utama, sedangkan variabel lain dianalisis lebih lanjut dalam tahap pemodelan untuk menilai pengaruhnya terhadap variasi jumlah kasus antarwilayah.

4.2.1 4.2.1. Analisis Deksriptif Jumlah Kasus TBC

Tabel 7. Statistik Deskriptif Jumlah Kasus TBC
Statistik Minimum Kuartil ke-1 Median Rata-rata Kuartil ke-3 Maksimum
Nilai 968 4318 6092 8507 12304 29110
Gambar 3. Histogram Jumlah Kasus TBC

Gambar 3. Histogram Jumlah Kasus TBC

Histogram menunjukkan bahwa distribusi Jumlah Kasus TBC (JK) di Jawa Barat cenderung tidak normal dan bersifat multimodal (memiliki lebih dari satu puncak). Puncak dominan berada pada rentang 4.000 hingga 6.000 kasus, diikuti dengan puncak sekunder pada rentang 12.000 hingga 14.000 kasus.

Secara keseluruhan, distribusi data menunjukkan kemencengan positif (positive skewness). Hal ini terlihat dari ekor distribusi yang memanjang ke arah kanan serta adanya nilai pencilan (outlier) yang mencapai lebih dari 25.000 kasus. Kondisi ini mengindikasikan bahwa sebagian besar wilayah memiliki jumlah kasus yang relatif rendah hingga sedang, namun terdapat beberapa wilayah tertentu dengan jumlah kasus yang sangat tinggi dibandingkan wilayah lainnya.

Gambar 4. Boxplot Jumlah Kasus TBC

Gambar 4. Boxplot Jumlah Kasus TBC

Visualisasi Boxplot secara eksplisit menunjukkan adanya satu outlier (pencilan) ekstrem yang terletak di angka mendekati 30.000 kasus (tepatnya 29.110). Nilai ini berada jauh di luar upper whisker, yang mengindikasikan adanya satu wilayah di Jawa Barat dengan beban kasus TBC yang sangat kontras dibandingkan wilayah lainnya.

Sebagian besar kabupaten/kota (50% data tengah) memiliki jumlah kasus yang terkonsentrasi pada rentang 4.318 hingga 12.304 kasus (Interquartile Range). Garis median yang cenderung mendekati bagian bawah kotak (Q1) serta ekor histogram yang memanjang ke kanan pada Histogram mengonfirmasi bahwa distribusi data bersifat menceng kanan (positively skewed). Hal ini berarti mayoritas wilayah memiliki jumlah kasus di bawah rata-rata, namun ditarik oleh beberapa wilayah dengan angka kasus yang sangat tinggi.

Gambar 5. Peta Sebaran Jumlah Kasus TBC di Jawa Barat (2024)

Gambar 5. Peta Sebaran Jumlah Kasus TBC di Jawa Barat (2024)

Peta sebaran menunjukkan adanya disparitas geografis yang signifikan pada beban kasus TBC di Jawa Barat. Wilayah dengan kategori jumlah kasus Sangat Tinggi (> 12.300 kasus) cenderung terklaster pada kawasan metropolitan dan penyangga industri, mencakup Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, serta wilayah Bandung Raya (Kota dan Kabupaten Bandung).

Konsentrasi kasus pada wilayah-wilayah tersebut mengindikasikan bahwa persebaran TBC di Jawa Barat sangat dipengaruhi oleh faktor kepadatan penduduk dan tingginya aktivitas sosial-ekonomi, yang meningkatkan risiko interaksi antarmanusia dan penularan di lingkungan yang padat.

4.2.1.1 Kluster Kasus Rendah - Kuning (0 - 4300 Kasus)

Wilayah dengan kasus terendah cenderung berada di bagian Timur dan wilayah perbatasan yang memiliki kepadatan penduduk yang lebih rendah atau merupakan wilayah pedesaan/pegunungan.

4.2.1.2 Kluster Kasus Menengah - Oranye Terang (4301 - 6100 Kasus)

Sebagian besar wilayah Jawa Barat berada pada rentang kasus menengah. Ini menunjukkan bahwa TBC adalah masalah yang merata di seluruh provinsi, bukan hanya terbatas pada wilayah tertentu.

4.2.1.3 Kluster Kasus Tinggi - Oranye Gelap (6101 - 12300 Kasus)

Wilayah pada rentang ini merupakan area transisi yang memiliki interaksi sosial-ekonomi cukup tinggi dengan pusat kota, sehingga risiko penularan TBC melalui kontak dekat mulai meningkat.

4.2.1.4 Kluster Kasus Sangat Tinggi - Merah Tua (>12300 Kasus)

Sebaran kasus TBC menunjukkan adanya klaster wilayah dengan Jumlah Kasus (JK) di atas 12300. Kasus tertinggi ini terkonsentrasi di wilayah Jawa Barat bagian Tengah-Utara (Koridor Industri) dan Barat Laut (Bogor-Bekasi). Hal ini mencerminkan kondisi sosial-ekonomi perkotaan yang berkaitan dengan hunian padat dan mobilitas tinggi.

4.2.2 4.2.2. Analisis Deskriptif Jumlah Penduduk

Gambar 6. Histogram Jumlah Penduduk

Gambar 6. Histogram Jumlah Penduduk

Gambar 7. Boxplot Jumlah Penduduk

Gambar 7. Boxplot Jumlah Penduduk

Distribusi populasi di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat menunjukkan disparitas yang cukup besar berdasarkan temuan analisis deskriptif. Terdapat konsentrasi penduduk yang tinggi pada beberapa lokasi utama yang berbanding terbalik dengan jumlah populasi yang relatif jauh lebih kecil di wilayah seperti Kota Banjar atau Kabupaten Pangandaran. Fenomena ini didukung oleh indikator rentang nilai yang lebar (perbedaan maksimum dan minimum) serta kemiringan positif pada kurva distribusi, yang mengonfirmasi adanya wilayah-wilayah dengan kepadatan ekstrem. Kondisi demografi yang timpang ini mencerminkan urbanisasi dan pusat ekonomi yang tidak merata di Jawa Barat. Akibatnya, daerah dengan konsentrasi dan mobilitas penduduk tinggi berpotensi mengalami peningkatan kerentanan terhadap penyebaran penyakit menular, seperti TBC.

Gambar 8. Peta Sebaran Jumlah Penduduk

Gambar 8. Peta Sebaran Jumlah Penduduk

Terdapat 7 kab/kota dengan jumlah penduduk tinggi yaitu: Bogor, Bandung, Bekasi, Kota Sukabumi, Garut, Kota Bekasi, Cianjur.

4.3 4.3. Analisis Ukuran Epidemiologi

Tabel 8. Statistik Epidemiologi Provinsi Jawa Barat tahun 2024
Total Penduduk Total Kasus TBC Prevalensi Total Rata-rata RR
50.345.190 229.683 4.562 1,28

4.3.1 4.3.2. Relative Risk (RR) berdasarkan wilayah

 > summary(data$RR)
   Min. 1st Qu.  Median    Mean 3rd Qu.    Max. 
 0.2695  0.7280  0.8800  1.2809  1.2907  7.4381
Gambar 9. Peta Sebaran Relative Risk TBC

Gambar 9. Peta Sebaran Relative Risk TBC

Relative Risk (RR) menunjukkan tingkat kerentanan suatu wilayah terhadap kasus TBC dibandingkan dengan risiko rata-rata provinsi. Nilai RR yang tinggi (warna merah tua) menandakan bahwa wilayah tersebut memiliki risiko penularan atau beban penyakit yang jauh lebih besar daripada wilayah lainnya.

Jika daerah dengan prevalensi tinggi tetapi RR rendah, hal ini menunjukkan bahwa meskipun jumlah kasus secara absolut terlihat banyak. Namun jika dibandingkan dengan proporsi populasi atau risiko dasar wilayah sekitarnya, tingkat risikonya masih dalam batas rata-rata. Jika daerah dengan prevalensi sedang tetapi RR Tinggi, hal ini menunjukkan adanya kerentanan yang signifikan karena meskipun secara jumlah kasus tidak terlihat yang paling banyak, risiko seseorang untuk tertular TBC di wilayah ini jauh lebih tinggi dari rata-rata. Ini menjadi sinyal adanya faktor risiko lingkungan yang buruk, keterlambatan dalam deteksi dini, atau keterbatasan akses ke layanan kesehatan yang membuat penularan menjadi lebih intensif di wilayah tersebut.

4.4 4.4. Analisis Distribusi TBC

4.4.1 4.4.1. Peta Choropleth Prevalensi per 100.000

> summary(jabar_merged$Prevalensi_1k)
   Min. 1st Qu.  Median    Mean 3rd Qu.    Max. 
  1.229   3.321   4.015   5.844   5.888  33.934
Gambar 10. Peta Choropleth Prevalensi TBC

Gambar 10. Peta Choropleth Prevalensi TBC

Prevalensi TBC menunjukkan proporsi penduduk yang menderita TBC pada masing-masing kabupaten/kota pada tahun tersebut. Warna pada peta menunjukkan perbedaan tingkat beban penyakit antarwilayah. Wilayah dengan prevalensi tinggi mengindikasikan kepadatan kasus TBC lebih besar dibanding jumlah penduduknya. Pola sebaran yang terkelompok (cluster) menandakan adanya autokorelasi spasial positif, yaitu kabupaten dengan prevalensi tinggi cenderung berdekatan dengan kabupaten lain yang juga tinggi.

Terlihat ada 7 kabupaten/kota yang memiliki prevalensi sangat tinggi yaitu Kota Banjar, Kab. Tasikmalaya, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kab. Sukabumi, dan Kota Bogor.

4.4.2 4.4.2. Analisis Global Moran’s I

> moran_result

    Moran I test under randomisation

data:  jabar_merged$Prevalensi_1k  
weights: weights    

Moran I statistic standard deviate = -1.5969, p-value = 0.9449
alternative hypothesis: greater
sample estimates:
Moran I statistic       Expectation          Variance 
     -0.171094749      -0.038461538       0.006898836
 

Hasil perhitungan dari Rstudio diatas dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 9. Hasil Uji Global Moran’s I
Statistik Moran’s I p-value
Nilai -0.171 0.9449

Berdasarkan hasil analisis Global Moran’s I terhadap prevalensi DBD di Jawa Barat tahun 2024 diperoleh nilai Moran’s I sebesar −0.171 dengan p-value sebesar 0.94 (> 0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa distribusi spasial prevalensi DBD antar kabupaten/kota bersifat acak (tidak terdapat autokorelasi spasial yang signifikan).

Pola ini mengindikasikan bahwa variasi tingkat prevalensi TBC di Jawa Barat tahun 2024 lebih dipengaruhi oleh faktor lokal masing-masing wilayah daripada hubungan spasial antarwilayah.

4.4.3 4.4.3. Analisis Cluster Lokal (LISA Map)

Gambar 11. Peta LISA Jumlah Kasus TBC Jawa Barat 2024

Gambar 11. Peta LISA Jumlah Kasus TBC Jawa Barat 2024

Berdasarkan hasil analisis Local Moran’s I (LISA) terhadap jumlah kasus TBC di Provinsi Jawa Barat tahun 2024, ditemukan satu wilayah yang memiliki signifikansi spasial dengan tipe Low–Low. Pola ini menunjukkan adanya wilayah dengan jumlah kasus TBC yang rendah dan dikelilingi oleh wilayah yang juga memiliki beban kasus relatif rendah. Keberadaan klaster Low–Low ini mengindikasikan keberhasilan pengendalian penyakit atau faktor kepadatan penduduk yang lebih rendah di area tersebut dibandingkan wilayah metropolitan sekitarnya.

Sementara itu, sebagian besar kabupaten/kota lainnya di Jawa Barat berada pada kategori Non-Significant. Hal ini menandakan bahwa meskipun terdapat perbedaan jumlah kasus antarwilayah secara visual (seperti yang terlihat pada peta sebaran), namun secara statistik pola tersebut belum membentuk klaster spasial yang signifikan (seperti High–High atau High–Low).

Secara spasial, kondisi ini mencerminkan bahwa penularan TBC di Jawa Barat cenderung tersebar dan dipengaruhi oleh faktor lokal di masing-masing wilayah, seperti kepadatan hunian, kualitas ventilasi perumahan, dan efektivitas deteksi kasus oleh fasilitas kesehatan setempat, alih-alih membentuk ketergantungan spasial yang kuat antarwilayah yang bertetangga.

4.4.4 4.4.4. Analisis Hotspot Getis–Ord Gi*

Gambar 12. Peta Hotspot Kasus TBC (Getis–Ord Gi*) Jawa Barat 2024

Gambar 12. Peta Hotspot Kasus TBC (Getis–Ord Gi*) Jawa Barat 2024

Hasil analisis Getis–Ord \(Gi^*\) menunjukkan adanya pola pengelompokan spasial yang signifikan di Jawa Barat, dengan Kota Sukabumi teridentifikasi sebagai satu-satunya area Hotspot yang paling signifikan secara statistik (\(Z-score > 4\)). Hal ini mengindikasikan bahwa Kota Sukabumi merupakan pusat konsentrasi kasus TBC yang sangat tinggi dibandingkan dengan risiko rata-rata wilayah sekitarnya.

Sementara itu, wilayah di sekitarnya seperti Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Bogor menunjukkan kecenderungan nilai positif (warna oranye muda), namun belum cukup kuat untuk dikategorikan sebagai klaster hotspot yang signifikan secara statistik. Sebagian besar wilayah Jawa Barat lainnya berada pada kategori tidak signifikan (non-significant), yang menunjukkan bahwa distribusi kasus di wilayah tersebut cenderung acak dan tidak membentuk pengelompokan ekstrim (baik tinggi maupun rendah) dalam skala lokal.

4.5 4.5. Modeling Pemetaan

4.5.1 4.5.1. Regresi Linear Berganda

4.5.1.1 Bentuk Umum Model

4.5.1.1.1 Variabel Respon

\(Y_i\) = Prevalensi_1k, yaitu prevalensi TBC per 1.000 penduduk di kabupaten/kota ke-\(i\)

4.5.1.1.2 Variabel Penjelas
  • HIV : jumlah penderita HIV (orang)
  • ST : persentase stunting (%)
  • DB : jumlah penderita diabetes (orang)
  • Sanitasi : persentase keluarga dengan sanitasi layak (%)
  • Faskes : jumlah fasilitas kesehatan (unit)
  • Miskin : jumlah penduduk miskin (ribu jiwa)
  • KP : kepadatan penduduk (jiwa/km²)
4.5.1.1.3 Bentuk Persamaan Regresi

\[ \text{Prevalensi}_{1k,i} = \beta_0 + \beta_1 \text{HIV}_i + \beta_2 \text{ST}_i + \beta_3 \text{DB}_i + \beta_4 \text{Sanitasi}_i + \beta_5 \text{Faskes}_i + \beta_6 \text{Miskin}_i + \beta_7 \text{Kepadatan}_i \] dengan \(𝜀_i\) merupakan galat acak yang diasumsikan berdistribusi normal dengan rataan nol dan varians konstan.

4.5.1.2 Asumsi Model

  1. Linearitas. Hubungan antara masing-masing variabel penjelas dan prevalensi TBC bersifat linear.
  2. Normalitas residual. Residual model berdistribusi normal.
  3. Homoskedastisitas. Varians residual konstan pada seluruh rentang nilai prediksi.
  4. Tidak terdapat multikolinearitas. Hubungan linear antar variabel penjelas tidak kuat, yang ditunjukkan oleh nilai Variance Inflation Factor (VIF) < 10.

4.5.1.3 Pemodelan Analisis Regresi Berganda

4.5.1.3.1 Model Regresi
> summary(model_lm)

Call:
lm(formula = Prevalensi_1k ~ HIV + ST + DB + Sanitasi + Faskes + 
    Miskin + KP, data = jabar_merged)

Residuals:
    Min      1Q  Median      3Q     Max 
-6.1652 -2.5544 -1.7108  0.9932 23.7152 

Coefficients:
              Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
(Intercept) -7.4049230 12.0964367  -0.612    0.548
HIV          0.0023243  0.0112125   0.207    0.838
ST           0.3601374  0.3917980   0.919    0.370
DB          -0.0001919  0.0001470  -1.305    0.207
Sanitasi     0.1044568  0.1146017   0.911    0.373
Faskes       0.0635273  0.1581795   0.402    0.692
Miskin       0.0104651  0.0364971   0.287    0.777
KP           0.0002075  0.0004492   0.462    0.649

 

“Berdasarkan hasil estimasi regresi linear berganda, diperoleh persamaan model sebagai berikut:

\[ \begin{aligned} \widehat{\text{Prevalensi}}_{1k} = & -7.4049 + 0.0023 \, (\text{HIV}) + 0.3601 \, (\text{ST}) \\ & - 0.00019 \, (\text{DB}) + 0.1045 \, (\text{Sanitasi}) + 0.0635 \, (\text{Faskes}) \\ & + 0.0105 \, (\text{Miskin}) + 0.00021 \, (\text{KP}) \end{aligned} \]

Model ini digunakan untuk menggambarkan hubungan global antara faktor risiko dan prevalensi TBC per 1.000 penduduk di Provinsi Jawa Barat.

4.5.1.3.2 Uji Asumsi Regresi Linear
  1. Uji Linearitas
> resettest(model_lm, power = 2:3, type = "fitted")

    RESET test

data:  model_lm
RESET = 4.1642, df1 = 2, df2 = 17, p-value = 0.03374

Karena p-value < alpha (0.05), maka model ini tidak memenuhi asumsi linearitas.

  1. Uji Normalitas Residual
> jarque.bera.test(residuals(model_lm))

    Jarque Bera Test

data:  residuals(model_lm)
X-squared = 153.97, df = 2, p-value < 2.2e-16

Karena p-value < alpha (0.05), maka model ini tidak memenuhi asumsi normalitas.

  1. Uji Homoskedastisitas
> bptest(model_lm)

    studentized Breusch-Pagan test

data:  model_lm
BP = 4.863, df = 7, p-value = 0.6767

Karena p-value > alpha (0.05), maka model ini memenuhi asumsi normalitas.

  1. Uji Multikolinearitas
> # Uji Multikolinearitas
> vif(model_lm)
      HIV        ST        DB  Sanitasi    Faskes    Miskin        KP 
 8.088758  1.524629  4.010534  1.769091 13.208417  7.618261  2.670133 

Berdasarkan nilai Variance Inflation Factor (VIF), sebagian besar variabel penjelas memiliki nilai VIF < 10, yang menunjukkan tidak terdapat multikolinearitas yang serius. Namun, variabel jumlah fasilitas kesehatan (Faskes) memiliki nilai VIF sebesar 13,21, yang mengindikasikan adanya multikolinearitas cukup kuat dengan variabel penjelas lainnya.

4.5.1.4 Evaluasi Model

> summary(model_lm)$r.squared
[1] 0.1669584

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa model regresi linear berganda memiliki nilai koefisien determinasi (R²) sebesar 0,167, yang berarti sekitar 16,7% variasi prevalensi TBC per 1.000 penduduk dapat dijelaskan oleh variabel-variabel dalam model.

> summary(model_lm)$adj.r.squared
[1] -0.1399517

Adjusted R² yang negatif (−0,14) mengindikasikan bahwa kemampuan penjelasan model relatif rendah setelah memperhitungkan jumlah kovariat yang digunakan.

Residual standard error: 6.544 on 19 degrees of freedom
Multiple R-squared:  0.167, Adjusted R-squared:  -0.14 
F-statistic: 0.544 on 7 and 19 DF,  p-value: 0.7907

Hasil uji F simultan menunjukkan bahwa model tidak signifikan secara statistik (p-value = 0,791), sehingga secara keseluruhan model belum mampu menjelaskan variasi prevalensi TBC secara memadai.

> rmse
[1] 5.489385

Nilai RMSE sebesar 5,49 menunjukkan tingkat kesalahan prediksi yang masih cukup besar relatif terhadap rentang nilai prevalensi.

4.5.1.5 Interpretasi

Arah koefisien regresi memberikan gambaran awal hubungan epidemiologis, di mana variabel stunting, sanitasi layak, fasilitas kesehatan, jumlah penduduk miskin, dan kepadatan penduduk memiliki hubungan positif dengan prevalensi TBC, sedangkan jumlah penderita diabetes menunjukkan hubungan negatif.

Temuan ini mengindikasikan bahwa hubungan antara faktor risiko dan prevalensi TBC bersifat kompleks dan kemungkinan lebih tepat dianalisis menggunakan pendekatan pemodelan berbasis jumlah kasus, seperti regresi Poisson dan Poisson–Gamma, yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.

4.5.2 4.5.2. Model Poisson

Bentuk umum model poisson adalah sebagai berikut: \[ JK_i \sim \text{Poisson}(\mu_i) \] dengan: - \(JK_i\) ~ Poisson\((µ_i)\) = jumlah kasus TBC di kabupaten/kota ke-𝑖 - \((µ_i)\) = nilai harapan jumlah kasus TBC

Bentuk umum model sebelum diestimasi adalah sebagai berikut: \[ \log(\mu_i) = \log(JP_i) + \beta_0 + \beta_1 HIV_i + \beta_2 ST_i + \beta_3 DB_i + \beta_4 Sanitasi_i + \beta_5 Faskes_i + \beta_6 Miskin_i + \beta_7 KP_i \]

Model Poisson dengan offset log(JP) kemudian dibangun untuk memodelkan laju kejadian TBC antar kabupaten/kota.

Dari hasil estimasi, didapat persamaan model Poisson sebagai berikut: \[ \log(\mu_i) = \log(JP_i) + \beta_0 + \beta_1 HIV_i + \beta_2 ST_i + \beta_3 DB_i + \beta_4 Sanitasi_i + \beta_5 Faskes_i + \beta_6 Miskin_i + \beta_7 KP_i \]

            Pr(>|z|)    
(Intercept)  < 2e-16 ***
HIV          < 2e-16 ***
ST           < 2e-16 ***
DB           < 2e-16 ***
Sanitasi     < 2e-16 ***
Faskes       < 2e-16 ***
Miskin      4.59e-13 ***
KP           < 2e-16 ***

Seluruh variabel (HIV, ST, DB, Sanitasi, Faskes, Miskin, KP) berpengaruh signifikan terhadap jumlah kasus TBC (p-value < 0,05).

4.5.2.1 Uji Asumsi

  • Asumsi distribusi Poisson: Overdispersion \(E(Y_i) = Var(Y_i)\)
  • Link Log harus sesuai
  • Setiap wilayah/individu diasumsikan independen
  • Offset harus masuk dalam bentuk log

4.5.2.2 Interpretasi

4.5.2.2.1 Koefisien Incididence Rate Ratio (IRR)
> exp(coef(model_pois))
(Intercept)         HIV          ST          DB    Sanitasi      Faskes      Miskin          KP 
0.003862953 1.000188484 0.989590752 0.999986596 0.998265991 1.007436722 1.000445898 1.000022888 
Tabel 10. Interpretasi Nilai Incident Rate Ratio (IRR)
Variabel Nilai IRR Interpretasi
HIV 1.00019 Setiap tambahan 1 penderita HIV meningkatkan laju TBC sekitar 0,019%.
Stunting 0.9896 Kenaikan 1% stunting berkaitan dengan penurunan laju TBC ±1,0%.
Diabetes 1.0 Pengaruh sangat kecil terhadap laju TBC.
Sanitasi 0.9983 Peningkatan 1% sanitasi layak menurunkan laju TBC sekitar 0,17%.
Fasilitas Kesehatan 1.0074 Penambahan 1 faskes meningkatkan laju TBC sekitar 0,74% (indikasi deteksi kasus).
Penduduk Miskin 1.00045 Kenaikan jumlah penduduk miskin meningkatkan laju TBC meskipun kecil.
Kepadatan Penduduk 1.00002 Kepadatan penduduk berasosiasi positif dengan laju TBC.

Penurunan atau peningkatan dilihat dari tanda negatif/positif pada hasil regresi poisson.

4.5.2.2.2 Interval kepercayaan IRR
Tabel 11. Interval Kepercayaan (CI) IRR dan Interpretasi Konsistensi
Variabel Interval Kepercayaan IRR Interpretasi
HIV 1.00015 - 1.00022 Seluruh nilai > 1. Peningkatan jumlah penderita HIV secara konsisten meningkatkan laju kejadian TBC.
Stunting 0.98826 - 0.99093 Seluruh nilai < 1. Peningkatan persentase stunting berkaitan dengan penurunan laju kejadian TBC.
Diabetes 0.999986 - 0.999987 Seluruh nilai < 1. Jumlah penderita diabetes memiliki pengaruh kecil namun signifikan dalam menurunkan laju kejadian TBC.
Sanitasi 0.99787 - 0.99867 Seluruh nilai < 1. Semakin baik cakupan sanitasi, semakin rendah laju kejadian TBC.
Fasilitas Kesehatan 1.00689 - 1.00798 Seluruh nilai > 1. Penambahan fasilitas kesehatan berkaitan dengan peningkatan kasus TBC yang terdeteksi.
Penduduk Miskin 1.00033 - 1.00057 Seluruh nilai > 1. Peningkatan jumlah penduduk miskin meningkatkan laju kejadian TBC.
Kepadatan Penduduk 1.00002 - 1.00002 Seluruh nilai > 1. Wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi memiliki laju kejadian TBC lebih besar.

4.5.2.3 Hasil Uji Asumsi

  1. Uji Overdispersion
> # Rasio deviance
> deviance(model_pois) / df.residual(model_pois)
[1] 2791.089

> # Rasio Pearson Chi-square
> sum(residuals(model_pois, type = "pearson")^2) /
+   df.residual(model_pois)
[1] 4995.069

Dari hasil pengujian, nilai Rasio deviance dieproleh sebesar 2791, niali Rasio Pearson Chi-square diperoleh sebesar 4995. Nilai rasio deviance dan Pearson Chi-square yang jauh lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa varians data jauh melebihi nilai rata-rata, sehingga asumsi equidispersion pada regresi Poisson tidak terpenuhi. Dengan demikian, data mengalami overdispersi yang kuat

4.5.2.4 Evaluasi Model

> # AIC
> AIC(model_pois)
[1] 53333.73

> # Log-likelihood
> logLik(model_pois)
'log Lik.' -26658.87 (df=8)

Dari hasil evaluasi model, diperoleh nilai Negative Log-Likelihood sebesar 26.658. Nilai ini menandakan tingkat ketidaksesuaian model terhadap data. Semakin kecil NLL, semakin baik kecocokan model. Selain itu diperoleh juga nilai AIC sebesar 53.334. Nilai ini digunakan untuk membandingkan kecocokan model dan kompleksitas antar model.

Model regresi Poisson dengan link log dan offset log jumlah penduduk digunakan untuk memodelkan jumlah kasus TBC. Model ini memperkirakan laju kejadian TBC sebagai fungsi dari faktor kesehatan, sosial, dan lingkungan pada tingkat kabupaten/kota. Hasil evaluasi menunjukkan adanya overdispersion, sehingga model Poisson digunakan sebagai pembanding awal sebelum dilakukan pemodelan Poisson–Gamma.

4.5.3 4.5.3. Model Poisson-Gamma

Model regresi Poisson–Gamma (Negative Binomial) dengan link log dan offset log(JP) digunakan untuk memodelkan jumlah kasus TBC (JK) dengan mempertimbangkan heterogenitas antar wilayah.

Asumsi model Poisson-Gamma: 1. Data berupa hitungan (count data) 2. Overdispersion terhadap Poisson 3. Asumsi Poisson–Gamma (heterogenitas tak teramati) 4. Independensi pengamatan: Y saling independen (kecuali dimodelkan sebaliknya) 5. Spesifikasi fungsi mean yang benar : \(log(µ_i) = X_iβ\) 6 Tidak ada excess zero yang ekstrem 7. Tidak ada multikolinearitas serius (jika regresi)

4.5.3.1 Persamaan Umum Model Poisson-Gamma

\[ \log(\lambda_i) = \beta_0 + \sum_{k=1}^{p} \beta_k X_{ik} \]

4.5.3.2 Pemodelan

(Intercept)  -6.690 2.23e-11 ***
HIV           0.633   0.5270    
ST            1.195   0.2320    
DB           -2.375   0.0175 *  
Sanitasi      1.437   0.1507    
Faskes        0.332   0.7395    
Miskin        0.931   0.3520    
KP            1.361   0.1734 

Setelah mengakomodasi overdispersion, hanya variabel Diabetes (DB) yang signifikan (p = 0,0175). Variabel lain tidak signifikan, menunjukkan bahwa signifikansi pada model Poisson sebelumnya sebagian dipengaruhi oleh overdispersion.

4.5.3.3 Koefisien Incididence Rate Ratio (IRR)

> #IRR
> exp(coef(model_pg))
 (Intercept)          HIV           ST 
0.0008190819 1.0006230738 1.0419824320 
          DB     Sanitasi       Faskes 
0.9999693296 1.0145682216 1.0046296352 
      Miskin           KP 
1.0029878621 1.0000537094 

Dari hasil analisis, diperoleh:

Tabel 12. Interpretasi Nilai Incident Rate Ratio (IRR)
Variabel Nilai IRR Interpretasi
HIV 1.0006 Tidak signifikan. Tidak terbukti memengaruhi laju TBC setelah koreksi overdispersion.
Stunting 1.0420 Tidak signifikan. Arah efek positif, tetapi tidak cukup bukti statistik.
Diabetes 0.99997 Signifikan. setiap tambahan penderita diabetes menurunkan laju TBC secara sangat kecil.
Sanitasi 1.0146 Tidak signifikan. Tidak terbukti berpengaruh setelah heterogenitas diperhitungkan.
Fasilitas Kesehatan 1.0046 Tidak signifikan. Efek terdeteksi tidak kuat setelah koreksi dispersi.
Penduduk Miskin 1.0030 Tidak signifikan. Efek sosial melemah setelah overdispersion ditangani.
Kepadatan Penduduk 1.00005 Tidak signifikan. Pengaruh kepadatan tidak konsisten.

4.5.3.4 Interval IRR

Tabel 13. Interpretasi Incidence Rate Ratio (IRR) secara Epidemiologis
Variabel IRR (≈ exp(β)) 95% CI IRR Interpretasi Epidemiologis
HIV ≈ 1.000 (0.9985 – 1.0027) Peningkatan jumlah penderita HIV tidak menunjukkan perubahan yang signifikan terhadap laju kejadian TBC, karena interval kepercayaan mencakup nilai 1.
ST (Stunting) ≈ 1.000 (0.9755 – 1.1162) Persentase stunting tidak berasosiasi signifikan dengan laju kejadian TBC; efek yang ditunjukkan bersifat lemah dan tidak pasti.
DB (Diabetes) ≈ 1.000 (0.9999 – 1.0000) Jumlah penderita diabetes menunjukkan hubungan negatif yang sangat kecil terhadap laju kejadian TBC, namun efek ini tidak signifikan secara statistik.
Sanitasi ≈ 1.000 (0.9918 – 1.0357) Persentase sanitasi layak tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap laju kejadian TBC pada tingkat kabupaten/kota.
Faskes ≈ 1.000 (0.9764 – 1.0343) Jumlah fasilitas kesehatan tidak berhubungan signifikan dengan perubahan laju kejadian TBC; kemungkinan dipengaruhi oleh variasi kualitas dan akses layanan.
Miskin ≈ 1.000 (0.9956 – 1.0101) Jumlah penduduk miskin menunjukkan kecenderungan hubungan positif yang lemah terhadap laju kejadian TBC, namun tidak signifikan secara statistik.
KP (Kepadatan Penduduk) ≈ 1.000 (0.99997 – 1.00014) Kepadatan penduduk tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap laju kejadian TBC dalam model ini.

Berdasarkan hasil estimasi regresi Poisson–Gamma, seluruh variabel penjelas memiliki interval kepercayaan 95% IRR yang mencakup nilai 1, sehingga tidak terdapat faktor risiko yang berasosiasi signifikan dengan laju kejadian TBC pada tingkat kabupaten/kota. Hal ini mengindikasikan bahwa variasi jumlah kasus TBC kemungkinan dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak tercakup dalam model atau oleh heterogenitas wilayah yang bersifat kompleks.

4.5.3.5 Interval IRR

              Theta:  3.029 
          Std. Err.:  0.784 

Hasil analisis menunjukkan Theta = 3,029 (SE = 0,784. Artinya terdapat heterogenitas antar wilayah.

Varians: \[ \text{Var}(JK) = \mu + \frac{\mu^2}{\theta} \] #### Persamaan Model Poisson–Gamma Hasil Estimasi

\[ \begin{aligned} \log(\mu_i) = & \log(E_i) - 7.107 + 0.000623 \, (\text{HIV}_i) + 0.04113 \, (\text{ST}_i) \\ & - 0.00003067 \, (\text{DB}_i) + 0.01446 \, (\text{Sanitasi}_i) + 0.004619 \, (\text{Faskes}_i) \\ & + 0.002983 \, (\text{Miskin}_i) + 0.00005371 \, (\text{KP}_i) \end{aligned} \]

dengan: - \(µ_i\) : rata-rata jumlah kasus TBC di wilayah ke-i - \(E_i\) : expected cases (offset populasi)

4.5.3.6 Overdispersion setelah diperbaiki

> deviance(model_pg) / df.residual(model_pg)
[1] 1.49833
> sum(residuals(model_pg, type = "pearson")^2) /
+  df.residual(model_pg)
[1] 2.003193

Diperoleh Rasio deviance sebesar 1.50, Rasio Pearson sebesar 2.00. Nilai mendekati 1–2 artinya overdispersion berhasil dikendalikan.

4.5.3.7 Evaluasi Model

> # AIC & Log-likelihood
> AIC(model_pois, model_pg)
           df        AIC
model_pois  8 53333.7325
model_pg    9   542.4983
> logLik(model_pois)
'log Lik.' -26658.87 (df=8)
> logLik(model_pg)
'log Lik.' -262.2491 (df=9)

Dari hasil analisis, diperoleh nilai AIC Poisson–Gamma sebesar 542,5 yang mana jauh lebih kecil dari Poisson. Diperoleh juga nilai Log-likelihood sebesar −262,25 yang lebih baik relatif. Hasil ini menunjukkan kecocokan model yang jauh lebih baik.

Model lebih sesuai dibanding Poisson untuk data TBC, namun belum mempertimbangkan ketergantungan spasial sehingga selanjutnya digunakan model Bayesian Disease Mapping (BYM – INLA) untuk memodelkan distribusi spasial TBC dengan mempertimbangkan ketergantungan antar wilayah.

4.5.4 4.5.3. Bayesian Disease Mapping (BYM – INLA)

Model BYM adalah model statistik untuk data area (spasial) untuk memetakan risiko penyakit dengan mempertimbangkan dua jenis efek acak:

  • Efek Spasial Terstruktur: Menangkap kemiripan antara wilayah yang bertetangga.
  • Efek Spasial Tidak Terstruktur: Menangkap keragaman spesifik di setiap wilayah (heterogenitas).

Integrated Nested Laplace Approximations (INLA) adalah sebuah pendekatan komputasi yang digunakan sebagai alternatif dari metode MCMC (Markov Chain Monte Carlo). INLA dirancang khusus untuk model Latent Gaussian, termasuk model spasial BY, dan digunakan dalam analisis ini.

4.5.4.1 Bentuk Umum Model

\[ \log(\mu_i) = \log(E_i) + \beta_0 + \sum_{k=1}^{p} \beta_k X_{ik} + u_i + v_i \]

4.5.4.2 Fixed Effect

Tabel 14. Interval Kepercayaan (CI) IRR dan Interpretasi Konsistensi
Variabel Mean Interval Kepercayaan IRR Interpretasi
Intercept -1.066 -3.500 - 1.367 Nilai dasar log-risiko TBC ketika seluruh kovariat bernilai nol. Tidak signifikan karena interval kepercayaan mencakup nol.
HIV 0.000 -0.002 - 0.003 Tidak terdapat bukti kuat bahwa jumlah penderita HIV berpengaruh terhadap variasi kasus TBC setelah mempertimbangkan efek spasial.
Stunting 0.021 -0.058 - 0.100 Persentase stunting tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap risiko TBC antar wilayah.
Diabetes 0.000 0.000 - 0.000 Tidak terdapat pengaruh yang bermakna dari jumlah penderita diabetes terhadap variasi TBC dalam model spasial.
Sanitasi 0.007 -0.016 - 0.030 Akses sanitasi layak tidak berhubungan signifikan dengan risiko TBC setelah efek spasial diperhitungkan.
Fasilitas Kesehatan 0.005 -0.027 - 0.037 Jumlah fasilitas kesehatan tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah kasus TBC antar wilayah.
Penduduk Miskin 0.002 -0.006 - 0.009 Jumlah penduduk miskin tidak menunjukkan hubungan signifikan dengan variasi kasus TBC.
Kepadatan Penduduk 0.000 0.000 - 0.000 Kepadatan penduduk tidak berpengaruh signifikan dalam model BYM.

Setelah memperhitungkan efek spasial, seluruh kovariat tidak signifikan. Variasi TBC lebih dominan dijelaskan oleh faktor lokasi.

4.5.4.3 Random Effects (Efek Acak Spasial -BYM)

Model hyperparameters:
                                               mean       sd 0.025quant 0.5quant 0.975quant   mode
Precision for region_id (iid component)        2.46    0.767       1.25     2.36       4.24   2.18
Precision for region_id (spatial component) 2203.59 2421.188     145.87  1443.93    8631.79 397.17

Dari analisis, didapatkan nilai rat-rata Precision spatial component sebesar 2203.59 yang mengindikasikan variasi spasial terstruktur sangat kuat. Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan antar wilayah bertetangga (spatial clustering).

Sementara itu diperoleh nilai rata-rata Precision iid component sebesar 2.46 yang menunjukkan variasi acak spesifik wilayah relatif kecil dibandingkan variasi spasial terstruktur.

Dari kedua hasil analilisis diatas, dapat disimpulkan bahwa pola penyebaran TBC di Jawa Barat lebih dipengaruhi oleh kedekatan geografis antar wilayah dibandingkan faktor acak murni.

4.5.4.4 Evaluasi Model

  • DIC (Deviance Information Criterion) diperoleh nilai sebesar 341.03
  • WAIC (Watanabe-Akaike Information Criterion) diperoleh nilai sebesar 332.77
  • Marginal Log-Likelihood diperoleh niali sebesar 330.49

Hasil evaluasi model ini menunjukkan bahwa Model BYM memberikan kecocokan yang lebih baik dibandingkan model non-spasial sebelumnya.

4.5.4.5 Resiko Relatif Posterior

4.5.4.6 Bentuk Persamaan Model Estimator

\[ \begin{equation} \begin{aligned} \log(\mu_i) = & \log(E_i) - 1.066 + 0.000(\text{HIV}_i) + 0.021(\text{ST}_i) + 0.000(\text{DB}_i) \\ & + 0.007(\text{Sanitasi}_i) + 0.005(\text{Faskes}_i) + 0.002(\text{Miskin}_i) + 0.000(\text{KP}_i) + u_i + v_i \end{aligned} \end{equation} \] dengan: - \(µ_i\) = rata-rata jumlah kasus TBC di wilayah ke-𝑖 - \(E_i\) = expected cases - \(u_i\) = rata-rata jumlah kasus TBC di wilayah ke-𝑖 - \(v_i\) = efek acak spasial terstruktur

4.5.5 4.5.4. Pemilihan Model Terbaik

Hasil pemodelan BYM menunjukkan bahwa variasi spasial kasus TBC di Provinsi Jawa Barat lebih dominan dipengaruhi oleh efek spasial dibandingkan faktor risiko individual. Seluruh kovariat tidak menunjukkan pengaruh signifikan setelah memperhitungkan ketergantungan antar wilayah. Model BYM memberikan estimasi risiko relatif yang lebih stabil dan mampu mengidentifikasi wilayah dengan risiko TBC tinggi secara spasial.


5 5. BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 5.1. Kesimpulan

Hasil pemodelan BYM menunjukkan bahwa variasi spasial kasus TBC di Provinsi Jawa Barat lebih dominan dipengaruhi oleh efek spasial dibandingkan faktor risiko individual. Seluruh kovariat tidak menunjukkan pengaruh signifikan setelah memperhitungkan ketergantungan antar wilayah. Model BYM memberikan estimasi risiko relatif yang lebih stabil dan mampu mengidentifikasi wilayah dengan risiko TBC tinggi secara spasial.

5.2 5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan agar analisis epidemiologi penyakit menular berbasis wilayah, khususnya tuberkulosis, mempertimbangkan penggunaan model count yang sesuai serta memasukkan aspek spasial untuk memperoleh estimasi risiko yang lebih akurat.

Pengambil kebijakan di bidang kesehatan dapat memanfaatkan peta risiko relatif hasil model Bayesian BYM sebagai dasar penentuan prioritas wilayah intervensi dan alokasi sumber daya pengendalian TBC.

Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk menggunakan data longitudinal agar dapat mengkaji dinamika temporal dan tren risiko tuberkulosis, serta menambahkan kovariat yang lebih spesifik seperti kepadatan hunian, mobilitas penduduk, dan kualitas layanan kesehatan. Selain itu, pengembangan model spasial yang lebih lanjut, seperti BYM2 atau spatio-temporal models, dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai interaksi ruang dan waktu dalam penyebaran tuberkulosis.

5.3 5.3. Pernyataan Terimakasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Epidemiologi atas arahan dan bimbingan selama proses pembelajaran. Penulis juga mengakui bahwa dalam penyusunan mini project ini, penulis menggunakan bantuan AI tools (ChatGPT, OpenAI) untuk mendukung proses penulisan kode, pembuatan peta spasial, serta penyusunan laporan. Seluruh keputusan, interpretasi, dan kesimpulan dari hasil analisis sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.


6 REFERENSI

[1] World Health Organization. (2023). Global tuberculosis report 2023. WHO. https://www.who.int/teams/global-tuberculosis-programme/tb-reports/global-tuberculosis-report-2023

[2] Kementerian Kesehatan RI. (2024). Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Kemenkes RI. https://repository.kemkes.go.id/book/567

[3] Kementerian Kesehatan RI. (2024). Profil kesehatan Indonesia tahun 2024. Kemenkes RI. https://kemkes.go.id/id/profil-kesehatan-indonesia-2024

[4] Centers for Disease Control and Prevention. (2022). Transmission and causes of tuberculosis. CDC. https://www.cdc.gov/tb/causes/index.html

[5] Lönnroth, K., et al. (2010). Tuberculosis control and elimination 2010-50: cure, care, and social development. Lancet. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(10)60483-7

[6] Mulyani, H., Djatna, T., & Sitanggang, I. (2017). Agent Based Modeling on Dynamic Spreading Dengue Fever Epidemic. TELKOMNIKA. https://doi.org/10.12928/telkomnika.v15i3.4511

[7] Rwezaura, H., et al. (2022). Mathematical modeling and optimal control of SARS-CoV-2 and tuberculosis co-infection: a case study of Indonesia. Modeling Earth Systems and Environment. https://doi.org/10.1007/s40808-022-01430-6

[8] Mohammadnabi, N., et al. (2024). Mycobacterium tuberculosis: The Mechanism of Pathogenicity, Immune Responses, and Diagnostic Challenges. Journal of Clinical Laboratory Analysis. https://doi.org/10.1002/jcla.25122

[9] Gagneux, S. (2018). Ecology and evolution of Mycobacterium tuberculosis. Nature Reviews Microbiology. https://doi.org/10.1038/nrmicro.2018.8

[10] Lönnroth, K., et al. (2009). Drivers of tuberculosis epidemics: the role of risk factors and social determinants. Social Science & Medicine. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2009.03.041

[11] Narasimhan, P., et al. (2013). Risk Factors for Tuberculosis. Pulmonary Medicine. https://doi.org/10.1155/2013/828939

[12] Fahdhienie, F., et al. (2024). Risk factors of pulmonary tuberculosis in Indonesia: A case-control study in a high disease prevalence region. Narra J. https://doi.org/10.52225/narra.v4i2.943

[13] Duarte, R., et al. (2017). Tuberculosis, social determinants and co-morbidities (including HIV). Pulmonology. https://doi.org/10.1016/j.rppnen.2017.11.003

[14] Syed, R., et al. (2024). Understanding tuberculosis transmission and progression: A prospective cohort study of index cases and close contacts in Moldova. PLOS ONE. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0313270

[15] Sholihah, K., Junaedi, M., & Riwati Malika. (2025). Literatur Review: Hubungan Host dan Environment dengan Kejadian Penyakit Menular. Saintekes: Jurnal Sains, Teknologi dan Kesehatan. https://ejournal.litka.ac.id/index.php/saintekes/article/view/374

[16] Silva, D., et al. (2018). Risk factors for tuberculosis: diabetes, smoking, alcohol use, and the use of other drugs. Jornal Brasileiro de Pneumologia. https://doi.org/10.1590/s1806-37562017000000443

[17] Shimeles, E., et al. (2019). Risk factors for tuberculosis: A case–control study in Addis Ababa, Ethiopia. PLoS ONE. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0214235

[18] Uwumuremyi, F., et al. (2025). Prevalence and Risk Factors for Active Tuberculosis in HIV-Negative Individuals. International Journal of Scientific Research and Modern Technology. https://doi.org/10.38124/ijsrmt.v4i2.297