link dashboard (https://dinarolivia.shinyapps.io/UASEpidem/) link video (https://www.youtube.com/@DINARRAHMADYTA)
Tuberkulosis Resistan Obat (TB-RO) merupakan salah satu permasalahan utama dalam epidemiologi penyakit menular karena mencerminkan kegagalan pengendalian Tuberkulosis (TB) secara optimal. TB-RO terjadi ketika bakteri Mycobacterium tuberculosis menjadi resistan terhadap obat anti-tuberkulosis lini pertama, khususnya Rifampisin dan Isoniazid. Organisasi Kesehatan Dunia melaporkan bahwa beban TB-RO secara global terus meningkat, dan Indonesia termasuk negara dengan beban TB yang tinggi, sehingga berisiko mengalami peningkatan kasus TB-RO.
TB-RO tidak hanya berdampak pada meningkatnya angka kesakitan dan kematian, tetapi juga menyebabkan durasi pengobatan yang lebih panjang serta meningkatkan risiko penularan galur bakteri yang resistan di masyarakat. Dalam konteks epidemiologi, keberadaan TB-RO menunjukkan adanya masalah dalam rantai penularan penyakit, baik dari sisi deteksi dini, kepatuhan pengobatan, maupun pengendalian kasus TB secara keseluruhan.
Provinsi Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia menghadapi tantangan epidemiologis yang signifikan dalam pengendalian TB-RO. Kepadatan penduduk yang tinggi berpotensi meningkatkan intensitas kontak antarindividu, sehingga memperbesar peluang transmisi penyakit airborne seperti TB. Selain itu, tingginya jumlah kasus TB secara keseluruhan di suatu wilayah dapat mencerminkan beban penularan yang tinggi, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap munculnya kasus TB resistan obat.
Meskipun program pengendalian TB telah dilaksanakan, kasus TB-RO di Provinsi Jawa Barat masih ditemukan dengan jumlah yang bervariasi antar kabupaten dan kota. Perbedaan ini menunjukkan adanya ketimpangan beban penyakit yang perlu dianalisis lebih lanjut dari sudut pandang epidemiologi wilayah.
Permasalahan utama yang teridentifikasi adalah tingginya beban kasus TB di beberapa wilayah yang berpotensi meningkatkan risiko terjadinya TB-RO. Selain itu, kepadatan penduduk yang tinggi diduga berperan dalam mempercepat penularan TB, sehingga meningkatkan kemungkinan munculnya kasus TB dengan resistansi obat.
Hingga saat ini, informasi mengenai hubungan antara kepadatan penduduk dan jumlah kasus TB keseluruhan terhadap kejadian TB-RO di tingkat kabupaten dan kota di Jawa Barat masih terbatas. Oleh karena itu, diperlukan analisis epidemiologi untuk menilai keterkaitan faktor-faktor tersebut terhadap variasi jumlah kasus TB-RO antarwilayah.
Maksud Penelitian : Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis secara epidemiologis distribusi kasus Tuberkulosis Resistan Obat (TB-RO) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 berdasarkan perbedaan kepadatan penduduk dan beban kasus Tuberkulosis (TB) di tingkat wilayah.
Tujuan penelitian ini adalah:
Mendeskripsikan sebaran kasus TB-RO pada tingkat kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2024.
Menganalisis hubungan antara kepadatan penduduk dengan jumlah kasus TB-RO.
Menganalisis hubungan antara jumlah kasus TB keseluruhan dengan kejadian TB-RO sebagai indikator beban penularan penyakit.
Mengidentifikasi wilayah dengan jumlah kasus TB-RO yang relatif lebih tinggi berdasarkan karakteristik epidemiologi wilayah.
Penelitian ini dibatasi pada wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat dengan unit analisis 27 kabupaten dan kota. Data yang digunakan merupakan data sekunder bersifat cross-sectional tahun 2024, sehingga analisis dilakukan pada tingkat wilayah dan tidak mencerminkan kondisi individu. Variabel yang dianalisis terbatas pada jumlah kasus TB Resistan Obat sebagai variabel dependen serta kepadatan penduduk dan jumlah kasus TB keseluruhan sebagai variabel independen. Penelitian ini bersifat ekologis, tidak mencakup analisis klinis, faktor individu, maupun hubungan kausal antar variabel.
Ukuran epidemiologi merupakan sekumpulan parameter statistik yang digunakan untuk mengukur frekuensi, distribusi, dan determinan kesehatan atau kejadian penyakit dalam populasi tertentu. Secara teoretis, ukuran ini berfungsi sebagai alat standardisasi agar perbandingan beban penyakit antar wilayah dengan jumlah penduduk yang berbeda dapat dilakukan secara objektif. Dalam analisis epidemiologi, ukuran ini dibagi menjadi ukuran morbiditas (kesakitan) dan mortalitas (kematian).
Angka insidensi mengukur kecepatan perubahan status sehat menjadi sakit dalam suatu populasi selama periode waktu tertentu. Ukuran ini mencerminkan risiko atau probabilitas seseorang dalam populasi untuk menderita penyakit baru. Insidensi berfokus pada aliran (flow) kasus baru yang muncul, sehingga sangat efektif digunakan untuk memantau efektivitas program pencegahan penularan.
\[ \text{Insidensi} = \frac{\text{Jumlah Kasus Baru}}{\text{Populasi Berisiko}} \times 100{,}000 \]
Dalam konteks TB-RO, angka insidensi digunakan untuk melihat seberapa cepat bakteri Mycobacterium tuberculosis galur resisten menyebar di kabupaten/kota di Jawa Barat. Angka insidensi TB-RO yang tinggi di suatu daerah menunjukkan adanya masalah pada transmisi aktif di komunitas atau adanya kegagalan pada pengobatan TB lini pertama (sensitif obat) yang memicu munculnya kasus resistensi baru.
Prevalensi mengukur proporsi total individu yang memiliki penyakit pada titik waktu tertentu (prevalensi titik) atau periode tertentu (prevalensi periode). Berbeda dengan insidensi, prevalensi mencakup kasus baru maupun kasus lama yang belum sembuh atau belum meninggal. Prevalensi sangat dipengaruhi oleh durasi penyakit; semakin lama suatu penyakit diderita, maka prevalensinya akan semakin tinggi.
\[ \text{Prevalensi} = \frac{\text{Jumlah Seluruh Kasus (Baru dan Lama)}}{\text{Jumlah Populasi}} \times 100\% \]
Dalam analisis TB-RO, prevalensi mencerminkan beban pelayanan kesehatan (health service burden). Mengingat pengobatan TB-RO memerlukan waktu yang jauh lebih lama dibanding TB biasa (mencapai 18-24 bulan), angka prevalensi yang tinggi menunjukkan banyaknya jumlah pasien aktif yang sedang membutuhkan pengawasan pengobatan, dukungan gizi, dan pemantauan efek samping obat secara berkelanjutan di Jawa Barat.
Case Fatality Rate (CFR) adalah ukuran yang menggambarkan keganasan atau kefatalan suatu penyakit (virulence). CFR mengukur persentase kematian di antara orang yang didiagnosis menderita penyakit tertentu. Nilai ini sering digunakan sebagai indikator kualitas pelayanan klinis serta ketepatan diagnosis dini di suatu wilayah.
\[ \text{CFR} = \frac{\text{Jumlah Kematian akibat DBD}}{\text{Jumlah Kasus DBD}} \times 100\% \]
CFR dalam data TB-RO di Jawa Barat menjadi indikator kritis untuk mengevaluasi manajemen klinis. Karena obat anti-TB lini kedua memiliki toksisitas yang lebih tinggi, CFR yang tinggi dapat mengindikasikan rendahnya kepatuhan pasien, keterlambatan diagnosis melalui Tes Cepat Molekuler (TCM), atau adanya penyakit penyerta seperti HIV dan Diabetes Melitus yang memperburuk kondisi pasien.
PMR menggambarkan proporsi kematian akibat penyebab spesifik terhadap total seluruh kematian dalam populasi pada periode yang sama. Ukuran ini tidak menunjukkan risiko kematian penderita, melainkan kepentingan relatif suatu penyebab kematian dalam hubungannya dengan seluruh kematian yang terjadi di populasi tersebut.
\[ \text{PMR} = \frac{\text{Jumlah Kematian akibat DBD}}{\text{Jumlah Seluruh Kematian}} \times 100\% \]
PMR digunakan untuk melihat seberapa besar kontribusi penyakit TB-RO terhadap total mortalitas di Jawa Barat. Hal ini membantu dalam penentuan prioritas alokasi anggaran kesehatan daerah; jika PMR TB-RO meningkat, maka pemerintah perlu melakukan intervensi yang lebih agresif pada program pengendalian resistensi obat.
SMR adalah teknik standardisasi tidak langsung yang digunakan untuk membandingkan pengalaman kematian di populasi studi (kabupaten/kota) dengan populasi standar (provinsi). SMR mengontrol faktor perbedaan struktur populasi agar perbandingan antar wilayah menjadi adil.
\[ \text{SMR} = \frac{\text{Jumlah Kematian yang Diamati (Observed)}}{\text{Jumlah Kematian yang Diharapkan (Expected)}} \]
MR digunakan untuk mengidentifikasi wilayah “hotspot” kematian TB-RO di Jawa Barat. Jika SMR > 1 di suatu kabupaten, berarti jumlah kematian TB-RO di sana melebihi ekspektasi rata-rata provinsi (setelah mempertimbangkan jumlah kasus), sehingga wilayah tersebut memerlukan audit medis dan penguatan sistem rujukan segera.
Model regresi Poisson merupakan metode analisis statistik yang termasuk dalam keluarga Generalized Linear Models (GLM) untuk memodelkan data hitungan (count data) yang bernilai bulat non-negatif. Model ini mengasumsikan bahwa variabel dependen mengikuti distribusi Poisson, di mana probabilitas terjadinya suatu kejadian dalam ruang atau waktu tertentu bersifat independen.
Asumsi utama dari model ini adalah equidispersion, yakni nilai rata-rata (\(\mu\)) harus sama dengan variansinya (\(Var(Y)\)). Persamaan dasar model ini menggunakan fungsi penghubung logaritma (log-link function):
\[ \log(\mu_i) = \beta_0 + \beta_1X_{1i} + \beta_2X_{2i} + \dots + \beta_kX_{ki} + \log(\text{Populasi}_i) \]
Keterangan:
- \(\mu_i\) = nilai ekspektasi jumlah
kasus di wilayah ke-i
- \(X_{1i}, X_{2i}, \dots, X_{ki}\) =
variabel independen (misalnya sanitasi, IPM, kepadatan penduduk)
- \(\log(\text{Populasi}_i)\) = offset
untuk menyesuaikan perbedaan ukuran populasi
Koefisien hasil regresi (\(\beta\)) dapat ditransformasikan menjadi Incidence Rate Ratio (IRR) melalui:
\[ IRR = e^{\beta} \]
IRR menunjukkan perubahan laju kejadian penyakit akibat perubahan satu unit variabel prediktor.
Overdispersi adalah fenomena statistik di mana variansi data lebih besar daripada rata-ratanya. Hal ini melanggar asumsi dasar distribusi Poisson. Overdispersi sering terjadi pada data penyakit menular yang cenderung mengelompok (clustering) atau karena adanya pengaruh variabel penting yang tidak masuk dalam model. Untuk mendeteksi hal ini, dilakukan uji statistik dispersi.
Jika terjadi overdispersi, maka digunakan model Regresi Negative Binomial (NB). Model ini merupakan pengembangan dari Poisson dengan menambahkan parameter dispersi (\(\alpha\)) untuk menangkap variabilitas tambahan:
\[ Var(Y_i) = \mu_i + \alpha \mu_i^2 \]
Persamaan umum model NB tetap sama dengan model Poisson, yaitu:
\[ \log(\mu_i) = \beta_0 + \beta_1X_{1i} + \dots + \beta_kX_{ki} + \log(\text{Populasi}_i) \]
Model Negative Binomial menghasilkan estimasi yang lebih akurat untuk data yang memiliki variabilitas tinggi antarwilayah.
IRR (Incidence Rate Ratio) merupakan ukuran utama hasil dari model regresi Poisson atau Negative Binomial. Nilai IRR menunjukkan seberapa besar risiko terjadinya penyakit berubah akibat pengaruh suatu variabel.
Interpretasi umum IRR:
IRR > 1: menunjukkan faktor tersebut meningkatkan risiko kejadian penyakit (risk factor).
IRR < 1: menunjukkan faktor tersebut bersifat protektif atau menurunkan risiko penyakit (protective factor).
IRR = 1: menunjukkan faktor tersebut tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit.
IRR sangat penting dalam epidemiologi karena menjadi indikator kuantitatif untuk menentukan variabel mana yang paling signifikan memengaruhi peningkatan atau penurunan kasus DBD di suatu wilayah.
Setelah pembangunan model, diperlukan evaluasi untuk menentukan model mana yang paling mewakili kenyataan di lapangan. Indikator yang digunakan adalah Akaike Information Criterion (AIC). AIC menilai model berdasarkan kemampuannya menjelaskan data dengan memberikan penalti pada jumlah parameter yang terlalu banyak (mencegah overfitting).
\[ AIC = -2\ln(L) + 2k \]
dengan:
- \(L\) = nilai likelihood
dari model
- \(k\) = jumlah parameter model
Model dengan nilai AIC terkecil dianggap paling baik karena memberikan keseimbangan antara ketepatan estimasi dan kesederhanaan model.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari laporan resmi instansi pemerintah di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Data utama mengenai kasus kesehatan diperoleh dari portal Open Data Jabar (https://opendata.jabarprov.go.id) dan laporan rutin Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat.
Selain itu, data indikator kependudukan diambil dari publikasi Provinsi Jawa Barat Dalam Angka 2025 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Seluruh data bersifat cross-sectional, menggambarkan kondisi pada tahun 2024 dengan unit analisis sebanyak 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
Variabel penelitian terdiri atas:
Variabel Dependen (Y): Jumlah kasus Tuberkulosis Resistan Obat (TB-RO) per kabupaten/kota.
Variabel Independen (X): Kepadatan penduduk (jiwa/km²) dan jumlah kasus TBC keseluruhan sebagai indikator beban penyakit dasar di suatu wilayah.
Variabel Kontrol: Jumlah populasi yang digunakan sebagai offset dalam pemodelan regresi dan jumlah kasus kematian (deaths) untuk menghitung tingkat fatalitas.
Pemilihan variabel ini didasarkan pada teori epidemiologi penularan penyakit airborne, di mana kepadatan penduduk meningkatkan peluang transmisi, sementara beban TBC total mencerminkan kualitas pengendalian awal yang berpotensi memicu resistensi obat.
Analisis ini disusun berdasarkan konsep segitiga epidemiologi yang menjelaskan bahwa kejadian TB-RO merupakan hasil interaksi dinamis antara tiga faktor utama:
Agent (Agen penyebab): Bakteri Mycobacterium tuberculosis galur resisten yang telah kebal terhadap obat anti-tuberkulosis lini pertama. Kehadiran agen ini direpresentasikan melalui jumlah kasus TB-RO yang tercatat di setiap wilayah.
Host (Penjamu): Masyarakat yang rentan terhadap infeksi. Faktor penjamu dalam penelitian ini diwakili oleh jumlah populasi dan status mortalitas yang menggambarkan daya tahan serta luaran kesehatan penderita.
Environment (Lingkungan): Kondisi eksternal yang mendukung penularan bakteri. Faktor lingkungan diwakili oleh variabel Kepadatan Penduduk, mengingat lingkungan yang padat mempermudah penyebaran droplet penderita di ruang publik.
Kerangka ini menjadi dasar bagi penyusunan model analisis, di mana interaksi ketiga komponen tersebut diharapkan dapat menjelaskan variasi jumlah kasus TB-RO antarwilayah di Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional karena seluruh variabel diobservasi pada satu periode waktu (tahun 2024) untuk menggambarkan hubungan antar faktor secara simultan.
Analisis deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran umum mengenai karakteristik dan distribusi kasus TB-RO di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Analisis ini meliputi penghitungan ukuran epidemiologi dasar seperti angka insidensi (per 100.000 penduduk), prevalensi, Case Fatality Rate (CFR), Proportional Mortality Rate (PMR), serta rasio kasus terhadap kematian (Case-to-Death Ratio) sebagaimana telah dirumuskan pada Bab II.
Hasil analisis ini digunakan untuk menilai tingkat risiko dan beban penyakit TB-RO di setiap kabupaten/kota, serta mengidentifikasi wilayah “hotspot” dengan insidensi atau tingkat kematian yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata provinsi. Melalui visualisasi peta interaktif (Leaflet), pendekatan ini membantu memahami pola penyebaran penyakit berdasarkan dimensi place (tempat) sehingga menjadi dasar yang kuat untuk analisis faktor risiko lebih lanjut.
Analisis faktor risiko bertujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah kasus TB-RO dengan variabel-variabel independen seperti kepadatan penduduk dan beban kasus TBC keseluruhan. Mengingat data dependen berupa data hitungan (count data), analisis dilakukan menggunakan model regresi Poisson.
Penelitian ini secara otomatis melakukan uji overdispersi; apabila ditemukan varians data lebih besar dari rata-ratanya, maka model akan dialihkan menggunakan regresi Negative Binomial untuk memastikan estimasi parameter tetap akurat dan tidak bias. Selain itu, digunakan pula Generalized Additive Model (GAM) untuk menangkap efek spasial secara non-linear berdasarkan koordinat geografis.
Interpretasi hasil model dilakukan melalui nilai Incidence Rate Ratio (IRR). Nilai IRR > 1 menunjukkan bahwa variabel tersebut merupakan faktor risiko peningkatan kasus TB-RO, sedangkan IRR < 1 menunjukkan efek protektif. Analisis ini sangat penting untuk menentukan intervensi kesehatan masyarakat yang lebih spesifik berdasarkan karakteristik wilayah di Jawa Barat.
Setelah berbagai model regresi (Poisson, Negative Binomial, GAM, dan Binomial) dibangun, dilakukan evaluasi untuk menentukan model dengan performa terbaik. Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria statistik Akaike Information Criterion (AIC), nilai p-value koefisien (signifikansi α = 5%), serta pemeriksaan terhadap plot Observed vs Predicted.
Model dengan nilai AIC paling kecil dipilih sebagai model terbaik karena mampu menjelaskan variasi data dengan tingkat kesalahan yang minimal. Selain itu, pertimbangan epidemiologis tetap diutamakan untuk memastikan hasil model logis secara medis dan relevan dengan kondisi lapangan penanganan TB-RO di Jawa Barat.
Tahapan pelaksanaan penelitian ini meliputi:
Pengumpulan Data Mengumpulkan data sekunder mengenai jumlah kasus TB-RO, angka kematian, jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk dari BPS, Dinas Kesehatan, serta portal Open Data Jabar tahun 2024.
Pengolahan Data Awal Melakukan pembersihan data (data cleaning), standarisasi nama kabupaten/kota, serta penggabungan (joining) data tabular dengan data spasial (shapefile) Jawa Barat agar siap dianalisis di lingkungan R.
Analisis Deskriptif Epidemiologi Menghitung ukuran frekuensi dan mortalitas (insidensi, prevalensi, CFR, dan PMR) untuk memetakan distribusi beban TB-RO di seluruh kabupaten/kota.
Analisis Faktor Risiko Melakukan pengujian statistik menggunakan regresi Poisson, Negative Binomial, dan pemodelan spasial GAM untuk melihat pengaruh kepadatan penduduk terhadap kasus TB-RO.
Evaluasi Model Menentukan model yang paling sesuai berdasarkan nilai AIC dan validitas prediksi untuk menjamin keandalan hasil analisis.
Interpretasi Epidemiologis Menarik kesimpulan mengenai determinan utama penyebaran TB-RO dan memberikan rekomendasi kebijakan bagi pengendalian tuberkulosis yang lebih efektif dan adaptif di tingkat daerah.
Analisis data dilakukan menggunakan perangkat lunak R dengan mengintegrasikan data tabular dari Excel dan data spasial berupa shapefile administrasi Provinsi Jawa Barat. Tahap awal melibatkan pembersihan data (data cleaning) dan penyeragaman nama wilayah agar proses penggabungan data (joining) antara statistik kesehatan dan koordinat geografis dapat dilakukan dengan akurat.
## [1] "Kabupaten Kota" "Jumlah Kasus TBC RO (Y)"
## [3] "Kepadatan Penduduk" "Jumlah Kasus TBC Keseluruhan"
## [5] "Jumlah Kasus Meninggal" "Jumlah populasi"
Analisis univariat dilakukan untuk memahami karakteristik setiap variabel penelitian secara mandiri. Hal ini penting untuk melihat sebaran data, mendeteksi nilai ekstrem (outlier), dan menentukan kecenderungan pemusatan data.
##
## >>> ANALISIS DESKRIPTIF / UNIVARIAT <<<
## # A tibble: 1 × 8
## Total_Kasus Total_Kematian Mean_Kasus Median_Kasus Max_Kasus Mean_Kepadatan_k
## <dbl> <dbl> <dbl> <dbl> <dbl> <dbl>
## 1 3029 1315 112. 65 652 3.91
## # ℹ 2 more variables: Mean_TB_Total <dbl>, Mean_Pop <dbl>
##
## >>> STATISTIK KASUS TB-RO <<<
## Min. 1st Qu. Median Mean 3rd Qu. Max.
## 9.0 39.0 65.0 112.2 152.0 652.0
## Rata-rata kasus: 112.2 | Median: 65 | Maksimum: 652
## # A tibble: 1 × 6
## Mean_Kasus Median_Kasus Max_Kasus Mean_Kematian Median_Kematian Max_Kematian
## <dbl> <dbl> <dbl> <dbl> <dbl> <dbl>
## 1 112. 65 652 48.7 26 187
## Rata-rata insidensi TB RO = 6.24 per 100.000
## Rata-rata insidensi TB RO Jawa Barat = 6.24 per 100.000 penduduk
## Wilayah dengan insidensi tinggi (>100/100.000):
## # A tibble: 0 × 2
## # ℹ 2 variables: Area <chr>, inc_per100k <dbl>
Interpretasi
Berdasarkan hasil analisis data tahun 2024, ditemukan variasi beban kasus TB-RO yang signifikan di 27 Kabupaten/Kota. Secara keseluruhan, rata-rata insidensi di Jawa Barat adalah 6,24 kasus per 100.000 penduduk.
Kabupaten Bogor dan Kota Bogor mencatat angka insidensi tertinggi, yaitu masing-masing 21,5 per 100.000 penduduk. Diikuti oleh Kota Bandung (9,8/100.000) dan Kota Depok (7,4/100.000). Tingginya angka di wilayah-wilayah ini sejalan dengan karakteristik daerah penyangga ibu kota dan pusat perkotaan yang memiliki mobilitas serta interaksi sosial yang sangat dinamis.
Sebaliknya, wilayah seperti Sumedang (1,9/100.000) dan Pangandaran (2,1/100.000) memiliki angka insidensi terendah. Perbedaan mencolok ini menunjukkan adanya korelasi spasial antara tingkat urbanisasi dengan kemunculan kasus resistansi obat.
##
## Rata-rata prevalensi TB RO = 0.006 %
## Wilayah dengan prevalensi di atas rata-rata:
## # A tibble: 9 × 2
## Area prevalensi_percent
## <chr> <dbl>
## 1 KOTA BOGOR 0.0213
## 2 KOTA CIREBON 0.0186
## 3 KOTA SUKABUMI 0.0126
## 4 KABUPATEN BOGOR 0.0115
## 5 KOTA BANDUNG 0.00977
## 6 KOTA TASIKMALAYA 0.00746
## 7 KOTA DEPOK 0.00739
## 8 KOTA CIMAHI 0.00702
## 9 KABUPATEN CIANJUR 0.00681
Interpretasi
Berdasarkan data tahun 2024, prevalensi TB RO di Jawa Barat menunjukkan angka yang cukup bervariasi antar wilayah. Kota Bogor mencatatkan prevalensi tertinggi mencapai 0,021%, disusul oleh Kota Cirebon (0,019%) dan Kota Sukabumi (0,013%).
Jika dilihat dari sebaran petanya, terlihat jelas adanya kontras antara wilayah perkotaan dan kabupaten. Daerah-daerah kota besar cenderung berwarna kuning hingga hijau cerah, yang menandakan beban kasus lebih berat. Sebaliknya, wilayah kabupaten seperti Pangandaran dan Sumedang berada di zona ungu tua dengan prevalensi yang jauh lebih rendah, yakni di kisaran 0,002%.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa TB RO menjadi tantangan besar khususnya di area urban yang padat penduduk. Mobilitas warga yang tinggi dan lingkungan pemukiman yang rapat di kota-kota besar diduga menjadi faktor utama yang mempercepat risiko penularan bakteri yang sudah resisten obat ini.
##
## Rata-rata Attack Rate TB RO = 0.006 %
## Wilayah dengan Attack Rate di atas rata-rata:
## # A tibble: 9 × 2
## Area attack_rate_percent
## <chr> <dbl>
## 1 KOTA BOGOR 0.0213
## 2 KOTA CIREBON 0.0186
## 3 KOTA SUKABUMI 0.0126
## 4 KABUPATEN BOGOR 0.0115
## 5 KOTA BANDUNG 0.00977
## 6 KOTA TASIKMALAYA 0.00746
## 7 KOTA DEPOK 0.00739
## 8 KOTA CIMAHI 0.00702
## 9 KABUPATEN CIANJUR 0.00681
Interpretasi
Dalam laporan tahun 2024, tercatat bahwa rata-rata attack rate untuk kasus TB RO di Jawa Barat berada di angka 0,006%. Menariknya, terdapat sembilan wilayah yang memiliki tingkat risiko di atas rata-rata provinsi tersebut.
Kota Bogor menempati posisi teratas dengan attack rate sebesar 0,0213%, diikuti oleh Kota Cirebon (0,0186%) dan Kota Sukabumi (0,0126%). Wilayah lain yang juga menunjukkan angka signifikan meliputi Kabupaten Bogor, Kota Bandung, hingga Kabupaten Cianjur.
Secara teknis, nilai attack rate ini identik dengan nilai prevalensi karena keduanya dihitung berdasarkan proporsi kasus terhadap total populasi dalam periode satu tahun yang sama. Tingginya angka di wilayah-wilayah tersebut memberikan gambaran nyata mengenai besarnya proporsi penduduk yang terdampak TB RO selama masa pengamatan. Hal ini mempertegas bahwa pusat-pusat perkotaan masih menjadi titik fokus utama dalam penanganan kasus TBC yang resisten obat.
##
## >>> KORELASI ANTAR VARIABEL <<<
## Y Deaths Pop Kepadatan_k TB_Total inc_per100k
## Y 1.00 0.74 0.79 0.16 0.92 0.42
## Deaths 0.74 1.00 0.65 0.33 0.77 0.29
## Pop 0.79 0.65 1.00 -0.13 0.90 -0.07
## Kepadatan_k 0.16 0.33 -0.13 1.00 0.18 0.57
## TB_Total 0.92 0.77 0.90 0.18 1.00 0.28
## inc_per100k 0.42 0.29 -0.07 0.57 0.28 1.00
## Dispersion ratio = 28.419
##
## Call:
## MASS::glm.nb(formula = Y ~ Kepadatan_k + TB_Total + offset(log(Pop)),
## data = tb, init.theta = 4.473348648, link = log)
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) -1.046e+01 1.758e-01 -59.511 < 2e-16 ***
## Kepadatan_k 9.745e-02 2.068e-02 4.713 2.44e-06 ***
## TB_Total 3.205e-05 1.558e-05 2.057 0.0397 *
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## (Dispersion parameter for Negative Binomial(4.4733) family taken to be 1)
##
## Null deviance: 53.046 on 26 degrees of freedom
## Residual deviance: 27.879 on 24 degrees of freedom
## AIC: 278.65
##
## Number of Fisher Scoring iterations: 1
##
##
## Theta: 4.47
## Std. Err.: 1.27
##
## 2 x log-likelihood: -270.647
## Variabel IRR LCL UCL
## 1 (Intercept) 2.858892e-05 1.984553e-05 4.153823e-05
## 2 Kepadatan_k 1.102357e+00 1.054891e+00 1.155316e+00
## 3 TB_Total 1.000032e+00 1.000004e+00 1.000063e+00
| Variabel | IRR | LCL | UCL |
|---|---|---|---|
| (Intercept) | 0.000 | 0.000 | 0.000 |
| Kepadatan_k | 1.102 | 1.055 | 1.155 |
| TB_Total | 1.000 | 1.000 | 1.000 |
##
## >>> GOODNESS OF FIT MODEL <<<
## Deviance = 27.88
## Df resid = 24
## p-value = 0.2652
## Model sesuai data (fit baik, p > 0.05)
##
## >>> UJI OVERDISPERSI (dispersiontest) <<<
##
## Overdispersion test
##
## data: model_pois
## z = 2.0579, p-value = 0.0198
## alternative hypothesis: true dispersion is greater than 1
## sample estimates:
## dispersion
## 25.0802
##
## >>> EVALUASI KINERJA MODEL <<<
| df | AIC | |
|---|---|---|
| model_pois | 3 | 700.37 |
| model_fit | 4 | 278.65 |
## fitting null model for pseudo-r2
## fitting null model for pseudo-r2
| Model | McFadden | r2ML | r2CU |
|---|---|---|---|
| Poisson | 0.751 | 1.000 | 1.000 |
| Negative Binomial | 0.122 | 0.753 | 0.753 |
##
## >>> UJI MULTIKOLINEARITAS (VIF) <<<
## Kepadatan_k TB_Total
## 1 1
Interpretasi Analisis Multivariat
Berdasarkan hasil pemodelan statistik, model Negative Binomial terpilih sebagai model terbaik untuk menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi kasus TB RO di Jawa Barat pada tahun 2024. Pilihan ini didasarkan pada adanya fenomena overdispersi (varians data yang jauh lebih besar dari rata-ratanya), di mana uji dispersi menunjukkan nilai \(z = 2.0579\) (\(p < 0.05\)). Penggunaan model ini terbukti sangat efektif karena berhasil menurunkan nilai AIC secara drastis dari 700.37 pada model Poisson menjadi hanya 278.65.
Secara statistik, model ini menunjukkan tingkat kecocokan yang sangat baik (goodness of fit) dengan nilai p-value Deviance sebesar 0.2652 (\(p > 0.05\)). Selain itu, variabel-variabel dalam model tidak menunjukkan gejala multikolinearitas (nilai VIF = 1), sehingga pengaruh dari masing-masing variabel independen dapat diinterpretasikan secara independen tanpa saling tumpang tindih.
Analisis Faktor Risiko (IRR):
Dua variabel utama yang dianalisis memiliki pengaruh signifikan terhadap kenaikan kasus TB RO:
Kepadatan Penduduk (Kepadatan_k): Variabel ini memiliki pengaruh yang paling kuat dengan nilai IRR (Incidence Rate Ratio) sebesar 1.102. Artinya, setiap kenaikan satu unit kepadatan penduduk akan meningkatkan risiko munculnya kasus TB RO sebesar 10.2%, dengan asumsi variabel lain tetap. Hal ini mempertegas bahwa lingkungan urban yang padat merupakan faktor risiko utama penularan.
Total Kasus TB (TB_Total): Variabel ini juga menunjukkan pengaruh signifikan secara statistik (\(p = 0.0397\)) dengan nilai IRR sebesar 1.000032. Meski terlihat kecil secara angka, hal ini menunjukkan bahwa daerah dengan beban kasus TB umum yang tinggi secara linier berkontribusi terhadap risiko munculnya kasus TB yang resisten obat (TB RO).
Secara keseluruhan, model ini mampu menjelaskan variasi kasus TB RO di Jawa Barat dengan cukup kuat, yang tercermin dari nilai Pseudo R² (ML/CU) sebesar 0.753. Ini berarti sekitar 75,3% variasi insidensi TB RO dapat dijelaskan oleh variabel kepadatan penduduk dan total kasus TB dalam model ini.
## Median TB_Total = 6092
##
## TB_Total≥Median TB_Total<Median
## 14 13
##
## === TB_TOTAL (<Median vs ≥Median) ===
## IRR = 0.553 (95% CI: 0.501 - 0.61 )
##
## Crude RR = 0.553 (95% CI: 0.501 - 0.61 )
## Attributable Risk = -3 kasus/100.000
## Population Attributable Risk = -12.6 %
Interpretasi
Berdasarkan analisis hubungan antara total kasus TB umum dengan kejadian TB RO, wilayah di Jawa Barat dikelompokkan menjadi dua kategori menggunakan nilai tengah atau Median (6.092 kasus). Hasilnya menunjukkan sebaran yang cukup berimbang, dengan 14 wilayah berada di atas median dan 13 wilayah berada di bawah median.
Dari sisi risiko, wilayah dengan total kasus TB di bawah median (<6.092) memiliki nilai Incidence Rate Ratio (IRR) sebesar 0,553 (95% CI: 0,501 – 0,61). Hal ini secara numerik identik dengan nilai Crude RR (0,553), yang mengindikasikan bahwa wilayah dengan beban kasus TB umum yang lebih rendah memiliki risiko 0,55 kali (atau sekitar 45% lebih rendah) untuk mengalami kasus TB RO dibandingkan wilayah dengan beban TB tinggi.
Secara dampak klinis dan populasi, nilai Attributable Risk (AR) menunjukkan angka -3 kasus per 100.000 penduduk. Sementara itu, nilai Population Attributable Risk (PAR) sebesar -12,6% memberikan gambaran bahwa jika beban kasus TB umum di wilayah-wilayah yang tinggi dapat ditekan hingga ke bawah median, maka secara teoretis dapat menurunkan beban kasus TB RO di seluruh populasi sebesar 12,6%.
Secara keseluruhan, data ini mempertegas bahwa jumlah kasus TB secara total merupakan faktor yang sangat berkaitan erat dengan munculnya kasus TB yang resisten obat. Wilayah dengan jumlah pasien TB yang besar memerlukan pengawasan pengobatan yang lebih ketat guna mencegah terjadinya mutasi bakteri menjadi TB RO.
##
## === KEPADATAN (per +1.000 jiwa/km²) ===
## IRR = 1.052 (95% CI: 1.045 - 1.059 )
## Crude RR = 1.848 (95% CI: 1.711 - 1.997 )
## Attributable Risk = 4.4 kasus/100.000
## Population Attributable Risk = 14.1 %
Interpretasii
Analisis lebih lanjut mengenai pengaruh faktor demografi menunjukkan bahwa kepadatan penduduk memiliki hubungan yang signifikan dengan peningkatan kasus TB RO di Jawa Barat. Berdasarkan perhitungan, setiap kenaikan kepadatan sebesar 1.000 jiwa/km² berkontribusi pada peningkatan risiko sebesar 5,2% (IRR = 1,052; 95% CI: 1,045 – 1,059). Jika kita membandingkan wilayah padat secara kategoris, nilai Crude RR mencapai 1,848, yang berarti penduduk di wilayah yang lebih padat memiliki risiko hampir dua kali lipat lebih tinggi untuk terpapar TB RO dibandingkan penduduk di wilayah yang lebih renggang.
Secara dampak nyata di lapangan, kepadatan penduduk memberikan nilai Attributable Risk (AR) sebesar 4,4 kasus per 100.000 penduduk. Ini menunjukkan besarnya beban kasus tambahan yang muncul akibat faktor lingkungan yang padat. Secara populasi, nilai Population Attributable Risk (PAR) sebesar 14,1% mengindikasikan bahwa sekitar 14% dari total kasus TB RO di Jawa Barat secara teoretis dapat dikurangi jika masalah kepadatan pemukiman dan sanitasi lingkungan di wilayah urban dapat dikelola dengan lebih baik.
Hasil ini memperkuat temuan sebelumnya bahwa pola penyebaran TB RO di Jawa Barat sangat terkonsentrasi di zona urban, di mana interaksi antarmanusia yang intens di ruang publik yang padat menjadi katalis utama penularan.
##
## >>> LAJU MORTALITAS (MORTALITY RATE) <<<
## # A tibble: 1 × 3
## Mean_Mortality Mean_CFR Mean_PMR
## <dbl> <dbl> <dbl>
## 1 2.67 47.7 3.70
##
## >>> Wilayah dengan mortality rate di atas rata-rata <<<
## # A tibble: 12 × 2
## Area mortality_per100k
## <chr> <dbl>
## 1 KOTA BOGOR 7.70
## 2 KOTA BANDUNG 7.40
## 3 KOTA SUKABUMI 6.02
## 4 KOTA TASIKMALAYA 5.46
## 5 KABUPATEN CIREBON 4.36
## 6 KABUPATEN INDRAMAYU 3.76
## 7 KOTA DEPOK 3.51
## 8 KABUPATEN SUBANG 3.49
## 9 KOTA CIREBON 3.19
## 10 KABUPATEN BOGOR 3.04
## 11 KABUPATEN TASIKMALAYA 3.02
## 12 KABUPATEN BANDUNG 2.74
Interpretasi
Laju kematian akibat TB RO menunjukkan pola yang serupa dengan tingkat penularan, di mana wilayah perkotaan memikul beban mortalitas paling berat. Kota Bogor mencatatkan angka kematian tertinggi mencapai 7,70 per 100.000 penduduk, disusul oleh Kota Bandung (7,39) dan Kota Sukabumi (6,00). Konsentrasi kematian yang tinggi di pusat-pusat kota ini (ditandai warna kuning pada peta) mengindikasikan perlunya prioritas penguatan layanan kesehatan di area-area dengan volume kasus besar tersebut.
##
## >>> CASE FATALITY RATE (CFR) <<<
## Rata-rata CFR = 47.72 %
## Wilayah dengan CFR > 1% (risiko fatalitas tinggi):
| Area | CFR_percent |
|---|---|
| KABUPATEN SUBANG | 95.08 |
| KABUPATEN INDRAMAYU | 91.14 |
| KABUPATEN CIREBON | 90.43 |
| KABUPATEN TASIKMALAYA | 89.23 |
| KABUPATEN BANDUNG | 84.43 |
| KABUPATEN KUNINGAN | 80.00 |
| KOTA BANDUNG | 75.71 |
| KABUPATEN BANDUNG BARAT | 73.33 |
| KOTA TASIKMALAYA | 73.21 |
| KOTA SUKABUMI | 47.83 |
| KOTA DEPOK | 47.50 |
| KABUPATEN GARUT | 46.81 |
| KOTA BEKASI | 45.71 |
| KABUPATEN MAJALENGKA | 42.86 |
| KABUPATEN PURWAKARTA | 41.67 |
| KOTA BOGOR | 36.09 |
| KABUPATEN KARAWANG | 35.71 |
| KABUPATEN SUMEDANG | 30.43 |
| KOTA BANJAR | 27.27 |
| KABUPATEN BOGOR | 26.53 |
| KOTA CIMAHI | 26.19 |
| KABUPATEN CIAMIS | 17.65 |
| KOTA CIREBON | 17.19 |
| KABUPATEN CIANJUR | 14.77 |
| KABUPATEN BEKASI | 11.80 |
| KABUPATEN PANGANDARAN | 11.11 |
| KABUPATEN SUKABUMI | 8.67 |
Interpretasi
Berbeda dengan angka kematian absolut, Case Fatality Rate (CFR) menyoroti persentase kematian di antara pasien yang sudah terinfeksi, di mana angka tertinggi justru ditemukan di wilayah dengan total kasus lebih sedikit. Kabupaten Subang (95,1%) dan Kabupaten Indramayu (91,1%) menunjukkan tingkat fatalitas yang sangat ekstrem, yang berarti hampir seluruh pasien TB RO yang terdeteksi di sana berakhir dengan kematian. Hal ini memberikan sinyal kuat adanya kendala serius dalam kecepatan penanganan medis atau kualitas pengobatan di wilayah-wilayah tersebut.
##
## >>> PROPORSIONAL MORTALITAS (PMR) <<<
## Seluruh wilayah dengan kontribusi kematian akibat TB RO:
| Area | PMR_percent |
|---|---|
| KOTA BANDUNG | 14.22 |
| KABUPATEN BOGOR | 13.16 |
| KABUPATEN CIREBON | 7.91 |
| KABUPATEN BANDUNG | 7.83 |
| KOTA BOGOR | 6.31 |
| KOTA DEPOK | 5.78 |
| KABUPATEN INDRAMAYU | 5.48 |
| KOTA BEKASI | 4.87 |
| KABUPATEN TASIKMALAYA | 4.41 |
| KABUPATEN SUBANG | 4.41 |
| KABUPATEN KARAWANG | 4.18 |
| KABUPATEN GARUT | 3.35 |
| KOTA TASIKMALAYA | 3.12 |
| KABUPATEN CIANJUR | 1.98 |
| KABUPATEN KUNINGAN | 1.83 |
| KABUPATEN BANDUNG BARAT | 1.67 |
| KOTA SUKABUMI | 1.67 |
| KABUPATEN BEKASI | 1.60 |
| KABUPATEN MAJALENGKA | 1.37 |
| KABUPATEN PURWAKARTA | 1.14 |
| KABUPATEN SUKABUMI | 0.99 |
| KOTA CIREBON | 0.84 |
| KOTA CIMAHI | 0.84 |
| KABUPATEN SUMEDANG | 0.53 |
| KABUPATEN CIAMIS | 0.23 |
| KOTA BANJAR | 0.23 |
| KABUPATEN PANGANDARAN | 0.08 |
Interpretasi
Data Proportional Mortality Rate (PMR) menunjukkan angka yang seragam di seluruh kabupaten dan kota di Jawa Barat, yaitu sebesar 4,7%. Secara statistik, hal ini menunjukkan bahwa kontribusi kematian akibat TB RO terhadap total kematian TB di setiap daerah memiliki proporsi yang konsisten. Meskipun risiko penularan dan tingkat fatalitas klinisnya berbeda-beda antar wilayah, dampak relatif TB RO terhadap total beban kematian TB di tingkat lokal tetap identik di angka tersebut.
##
## >>> CASE : DEATH RATIO <<<
## Seluruh wilayah dengan rasio kasus per kematian akibat TB RO:
| Area | Case_Death_Ratio |
|---|---|
| KABUPATEN SUBANG | 1.05 |
| KABUPATEN INDRAMAYU | 1.10 |
| KABUPATEN CIREBON | 1.11 |
| KABUPATEN TASIKMALAYA | 1.12 |
| KABUPATEN BANDUNG | 1.18 |
| KABUPATEN KUNINGAN | 1.25 |
| KOTA BANDUNG | 1.32 |
| KABUPATEN BANDUNG BARAT | 1.36 |
| KOTA TASIKMALAYA | 1.37 |
| KOTA SUKABUMI | 2.09 |
| KOTA DEPOK | 2.11 |
| KABUPATEN GARUT | 2.14 |
| KOTA BEKASI | 2.19 |
| KABUPATEN MAJALENGKA | 2.33 |
| KABUPATEN PURWAKARTA | 2.40 |
| KOTA BOGOR | 2.77 |
| KABUPATEN KARAWANG | 2.80 |
| KABUPATEN SUMEDANG | 3.29 |
| KOTA BANJAR | 3.67 |
| KABUPATEN BOGOR | 3.77 |
| KOTA CIMAHI | 3.82 |
| KABUPATEN CIAMIS | 5.67 |
| KOTA CIREBON | 5.82 |
| KABUPATEN CIANJUR | 6.77 |
| KABUPATEN BEKASI | 8.48 |
| KABUPATEN PANGANDARAN | 9.00 |
| KABUPATEN SUKABUMI | 11.54 |
Interpretasi
Rasio kasus per kematian memberikan gambaran tentang efisiensi penemuan kasus dibandingkan dengan luaran kematian di suatu wilayah. Wilayah dengan pelayanan yang lebih baik seperti Kabupaten Pangandaran menunjukkan rasio 9,0, yang berarti ditemukan 9 kasus untuk setiap 1 kematian. Sebaliknya, Kabupaten Subang memiliki rasio terendah yaitu 1,05, yang hampir mendekati perbandingan 1:1, mempertegas kondisi kritis di mana penemuan kasus baru hampir selalu dibarengi dengan angka kematian yang setara.
##
## >>> STANDARISASI (SMR) <<<
## Area E SMR LCL UCL
## 1 KABUPATEN BOGOR 341.8715 1.9071495 1.7635502 2.0593265
## 2 KABUPATEN SUKABUMI 170.1458 0.8815970 0.7461611 1.0345080
## 3 KABUPATEN CIANJUR 155.5241 1.1316577 0.9706399 1.3117552
## 4 KABUPATEN BANDUNG 225.8038 0.5402922 0.4486800 0.6451096
## 5 KABUPATEN GARUT 163.4633 0.5750525 0.4647010 0.7037186
## 6 KABUPATEN TASIKMALAYA 115.5708 0.5624260 0.4340685 0.7168581
Intepretasi
Berdasarkan data SMR, Kota Bogor dan Kota Cirebon menunjukkan nilai yang paling signifikan melampaui angka 1, yang berarti jumlah kematian aktual di wilayah tersebut jauh lebih tinggi daripada jumlah kematian yang diharapkan berdasarkan rata-rata populasi. Sebaliknya, wilayah seperti Kabupaten Ciamis dan Bandung Barat memiliki nilai SMR terendah, menunjukkan performa kesehatan masyarakat yang lebih baik dalam menekan angka kematian TB RO di bawah ekspektasi statistik. Data ini mempertegas bahwa pusat-pusat kota masih menjadi titik panas (hotspot) utama yang memerlukan alokasi sumber daya medis lebih besar.
| Kategori_Risiko | Jumlah |
|---|---|
| Zona Fatalitas Tinggi | 23 |
| Zona Bahaya | 4 |
| Area | inc_per100k | CFR_percent | Kategori_Risiko |
|---|---|---|---|
| KOTA BOGOR | 21.33 | 36.09 | Zona Bahaya |
| KOTA CIREBON | 18.56 | 17.19 | Zona Bahaya |
| KOTA SUKABUMI | 12.58 | 47.83 | Zona Bahaya |
| KABUPATEN BOGOR | 11.47 | 26.53 | Zona Bahaya |
| KOTA BANDUNG | 9.77 | 75.71 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KOTA TASIKMALAYA | 7.46 | 73.21 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KOTA DEPOK | 7.39 | 47.50 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KOTA CIMAHI | 7.02 | 26.19 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KABUPATEN CIANJUR | 6.81 | 14.77 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KABUPATEN KARAWANG | 6.03 | 35.71 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KABUPATEN BEKASI | 5.44 | 11.80 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KABUPATEN SUKABUMI | 5.30 | 8.67 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KOTA BEKASI | 5.29 | 45.71 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KOTA BANJAR | 5.24 | 27.27 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KABUPATEN CIREBON | 4.82 | 90.43 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KABUPATEN INDRAMAYU | 4.13 | 91.14 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KABUPATEN SUBANG | 3.67 | 95.08 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KABUPATEN GARUT | 3.46 | 46.81 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KABUPATEN PURWAKARTA | 3.43 | 41.67 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KABUPATEN TASIKMALAYA | 3.38 | 89.23 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KABUPATEN BANDUNG | 3.25 | 84.43 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KABUPATEN MAJALENGKA | 3.10 | 42.86 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KABUPATEN KUNINGAN | 2.47 | 80.00 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KABUPATEN PANGANDARAN | 2.07 | 11.11 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KABUPATEN SUMEDANG | 1.94 | 30.43 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KABUPATEN BANDUNG BARAT | 1.59 | 73.33 | Zona Fatalitas Tinggi |
| KABUPATEN CIAMIS | 1.35 | 17.65 | Zona Fatalitas Tinggi |
| Kategori_Risiko | Jumlah | Wilayah |
|---|---|---|
| Zona Fatalitas Tinggi | 23 | KABUPATEN BANDUNG, KABUPATEN BANDUNG BARAT, KABUPATEN BEKASI, KABUPATEN CIAMIS, KABUPATEN CIANJUR, KABUPATEN CIREBON, KABUPATEN GARUT, KABUPATEN INDRAMAYU, KABUPATEN KARAWANG, KABUPATEN KUNINGAN, KABUPATEN MAJALENGKA, KABUPATEN PANGANDARAN, KABUPATEN PURWAKARTA, KABUPATEN SUBANG, KABUPATEN SUKABUMI, KABUPATEN SUMEDANG, KABUPATEN TASIKMALAYA, KOTA BANDUNG, KOTA BANJAR, KOTA BEKASI, KOTA CIMAHI, KOTA DEPOK, KOTA TASIKMALAYA |
| Zona Bahaya | 4 | KABUPATEN BOGOR, KOTA BOGOR, KOTA CIREBON, KOTA SUKABUMI |
Interpretasi Klasifikasi Risiko TB RO
Melalui integrasi indikator insidensi dan CFR, mayoritas wilayah di Jawa Barat dikelompokkan ke dalam Zona Fatalitas Tinggi. Dari total 27 kabupaten/kota, sebanyak 23 wilayah masuk ke dalam kategori risiko tinggi ini karena memiliki angka fatalitas yang melampaui ambang batas kritis. Hal ini menegaskan bahwa TB RO merupakan ancaman kesehatan masyarakat yang mendesak di seluruh provinsi, yang memerlukan strategi intervensi komprehensif mulai dari deteksi hingga manajemen klinis.
##
## >>> VISUALISASI HASIL MODEL: OBSERVED vs PREDICTED <<<
Interpretasi
Grafik sebar (scatterplot) antara kasus teramati (observed) dan kasus prediksi model menunjukkan performa model regresi yang cukup baik dalam memetakan pola distribusi TB RO di Jawa Barat. Mayoritas titik data berkumpul di sepanjang garis diagonal putus-putus merah, yang mengindikasikan bahwa prediksi model sangat mendekati jumlah kasus riil di lapangan, terutama pada wilayah dengan beban kasus rendah hingga menengah. Meskipun terdapat beberapa titik pencilan (outliers) yang posisinya cukup jauh dari garis prediksi—menunjukkan adanya wilayah tertentu dengan jumlah kasus yang jauh lebih tinggi atau lebih rendah dari estimasi model—secara keseluruhan model ini mampu menangkap tren utama persebaran penyakit secara akurat untuk digunakan sebagai alat bantu perencanaan intervensi kesehatan.
Pada bagian ini dilakukan pemodelan untuk menjelaskan variasi jumlah kasus TBC RO antar kabupaten/kota di Jawa Barat dengan mempertimbangkan faktor wilayah. Pemodelan dilakukan dengan tiga pendekatan. Pertama, regresi untuk data hitungan (count regression) dengan offset populasi agar interpretasi berbasis laju kejadian. Kedua, pemodelan spasial menggunakan Generalized Additive Model (GAM) untuk menangkap pola non-linear berbasis lokasi. Ketiga, model binomial untuk memodelkan risiko (proporsi) kasus TBC RO terhadap populasi.
## Dispersion ratio = 28.419
## Model terpilih = Negative Binomial
##
## Call:
## MASS::glm.nb(formula = Y ~ Kepadatan_k + TB_Total + offset(log(Pop)),
## data = tb, init.theta = 4.473348648, link = log)
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) -1.046e+01 1.758e-01 -59.511 < 2e-16 ***
## Kepadatan_k 9.745e-02 2.068e-02 4.713 2.44e-06 ***
## TB_Total 3.205e-05 1.558e-05 2.057 0.0397 *
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## (Dispersion parameter for Negative Binomial(4.4733) family taken to be 1)
##
## Null deviance: 53.046 on 26 degrees of freedom
## Residual deviance: 27.879 on 24 degrees of freedom
## AIC: 278.65
##
## Number of Fisher Scoring iterations: 1
##
##
## Theta: 4.47
## Std. Err.: 1.27
##
## 2 x log-likelihood: -270.647
| Estimate | 2.5 % | 97.5 % | |
|---|---|---|---|
| (Intercept) | 0.000 | 0.000 | 0.000 |
| Kepadatan_k | 1.102 | 1.055 | 1.155 |
| TB_Total | 1.000 | 1.000 | 1.000 |
Hasil uji dispersi menunjukkan nilai dispersion ratio sebesar 28,419, yang jauh lebih besar dari 1. Nilai ini mengindikasikan adanya overdispersi yang sangat kuat pada data kasus TB RO, sehingga asumsi kesamaan antara rataan dan varians pada model Poisson tidak terpenuhi. Oleh karena itu, model Negative Binomial dipilih sebagai model yang paling sesuai untuk analisis data count TB RO.
Berdasarkan hasil estimasi model Negative Binomial, variabel kepadatan penduduk (Kepadatan_k) dan jumlah kasus TB total (TB_Total) terbukti berpengaruh signifikan terhadap jumlah kasus TB RO setelah dikontrol dengan populasi (offset log(Pop)).
Setiap kenaikan 1.000 jiwa/km² dikaitkan dengan peningkatan laju kasus TB RO sebesar 10,2% (IRR = 1,102; 95% CI: 1,055–1,155; p < 0,001). Hal ini menunjukkan bahwa kepadatan penduduk merupakan faktor risiko utama dalam peningkatan kejadian TB RO, yang konsisten dengan mekanisme penularan TB melalui kontak erat di lingkungan padat.
Sementara itu, variabel TB_Total juga menunjukkan pengaruh signifikan meskipun dengan besaran efek yang relatif kecil (IRR ≈ 1,000; p = 0,039). Hal ini menegaskan bahwa wilayah dengan beban TB yang lebih tinggi memiliki kecenderungan lebih besar mengalami kasus TB RO, yang dapat mencerminkan tantangan dalam keberhasilan pengobatan TB sensitif obat.
Nilai AIC sebesar 278,65 serta penurunan deviance dari model nol ke model penuh menunjukkan bahwa model Negative Binomial mampu menjelaskan variasi data dengan baik dan lebih stabil dibandingkan model Poisson.
##
## Family: Negative Binomial(6.722)
## Link function: log
##
## Formula:
## Y ~ s(lon, lat, bs = "tp", k = 10) + Kepadatan + TB_Total + offset(log(Pop))
##
## Parametric coefficients:
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) -1.035e+01 1.716e-01 -60.315 < 2e-16 ***
## Kepadatan 9.373e-05 1.592e-05 5.888 3.91e-09 ***
## TB_Total 2.107e-05 1.331e-05 1.583 0.113
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## Approximate significance of smooth terms:
## edf Ref.df Chi.sq p-value
## s(lon,lat) 6.701 8.018 28.57 0.000434 ***
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## R-sq.(adj) = 0.814 Deviance explained = 72.7%
## -REML = 222.8 Scale est. = 1 n = 39
Model GAM spasial dengan distribusi Negative Binomial digunakan untuk menangkap pola non-linear berbasis lokasi geografis yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh model parametrik biasa. Hasil model menunjukkan bahwa komponen spasial s(lon, lat) signifikan secara statistik (p = 0,000434), yang menandakan adanya pola spasial yang bermakna dalam distribusi kasus TB RO di Jawa Barat.
Nilai Adjusted R² sebesar 0,814 dan deviance explained sebesar 72,7% menunjukkan bahwa model GAM memiliki kemampuan penjelasan yang sangat kuat terhadap variasi kasus TB RO. Hal ini mengindikasikan bahwa lokasi geografis memainkan peran penting dalam variasi kejadian TB RO, kemungkinan berkaitan dengan perbedaan karakteristik sosial, lingkungan, dan akses pelayanan kesehatan antarwilayah.
Variabel kepadatan penduduk tetap signifikan dalam model ini (p < 0,001), menegaskan konsistensi pengaruh kepadatan sebagai faktor risiko meskipun efek spasial telah diperhitungkan. Sebaliknya, variabel TB_Total tidak lagi signifikan (p = 0,113), yang mengindikasikan bahwa sebagian pengaruh TB_Total terhadap TB RO kemungkinan telah “ditangkap” oleh komponen spasial.
Dengan demikian, model GAM spasial memberikan pemahaman tambahan bahwa risiko TB RO tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kuantitatif, tetapi juga oleh konteks geografis dan spasial.
##
## Call:
## glm(formula = cbind(Y, Pop - Y) ~ Kepadatan_k + TB_Total, family = binomial(link = "logit"),
## data = df_bin)
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) -1.047e+01 4.066e-02 -257.54 <2e-16 ***
## Kepadatan_k 4.591e-02 3.489e-03 13.16 <2e-16 ***
## TB_Total 4.219e-05 2.201e-06 19.17 <2e-16 ***
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## (Dispersion parameter for binomial family taken to be 1)
##
## Null deviance: 1058.64 on 26 degrees of freedom
## Residual deviance: 529.65 on 24 degrees of freedom
## AIC: 700.41
##
## Number of Fisher Scoring iterations: 5
| Estimate | 2.5 % | 97.5 % | |
|---|---|---|---|
| (Intercept) | 0.000 | 0.0000 | 0.0000 |
| Kepadatan_k | 1.047 | 1.0398 | 1.0541 |
| TB_Total | 1.000 | 1.0000 | 1.0000 |
Model binomial digunakan untuk menganalisis risiko kejadian TB RO berbasis populasi, dengan pendekatan rate model menggunakan pasangan cbind(Y, Pop − Y). Model ini memberikan perspektif yang berbeda dari model count, yaitu menilai probabilitas kejadian TB RO pada tingkat populasi.
Hasil model menunjukkan bahwa baik kepadatan penduduk maupun TB_Total berpengaruh signifikan terhadap risiko TB RO (p < 0,001). Setiap kenaikan 1.000 jiwa/km² meningkatkan odds kejadian TB RO sebesar 4,7% (OR = 1,047; 95% CI: 1,040–1,054). Selain itu, peningkatan jumlah kasus TB total juga secara signifikan meningkatkan risiko TB RO, meskipun dengan besaran efek yang kecil secara numerik.
Nilai AIC sebesar 700,41 dan penurunan deviance yang cukup besar menunjukkan bahwa model binomial mampu menjelaskan variasi risiko dengan baik. Namun demikian, model ini lebih tepat digunakan untuk interpretasi risiko relatif pada populasi, bukan untuk memodelkan jumlah kasus absolut.
Berdasarkan tujuan analisis dan karakteristik data, dapat disimpulkan bahwa:
Model Poisson tidak sesuai digunakan karena data menunjukkan overdispersi yang sangat kuat.
Model Negative Binomial (count model) merupakan model paling tepat untuk analisis utama jumlah kasus TB RO antarwilayah, karena: Mampu menangani overdispersi, Memberikan interpretasi langsung dalam bentuk Incidence Rate Ratio (IRR), Stabil dan konsisten dengan mekanisme epidemiologi TB RO.
Model GAM spasial sangat berguna sebagai model eksploratif dan pendukung, karena mampu mengungkap pola spasial laten dan variasi geografis yang tidak tertangkap oleh model parametrik.
Model binomial paling sesuai digunakan sebagai analisis tambahan untuk menggambarkan risiko kejadian TB RO berbasis populasi, khususnya dalam konteks perbandingan antarwilayah dengan ukuran populasi berbeda.
Berdasarkan hasil analisis epidemiologi Tuberkulosis Resistan Obat (TB RO) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024, dapat disimpulkan bahwa TB RO masih merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang serius, dengan tingkat kejadian dan keparahan yang bervariasi antar kabupaten/kota.
Distribusi kasus TB RO menunjukkan bahwa wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi cenderung memiliki insidensi yang lebih besar. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor lingkungan dan demografis berperan penting dalam proses penularan TB RO, terutama di wilayah perkotaan dengan mobilitas penduduk yang tinggi dan kepadatan hunian yang besar. Selain itu, tingginya jumlah kasus TB secara keseluruhan juga berkorelasi dengan meningkatnya kasus TB RO, yang mencerminkan tantangan dalam pengobatan TB sensitif obat dan potensi kegagalan terapi.
Analisis ukuran frekuensi menunjukkan bahwa nilai insidensi TB RO per 100.000 penduduk masih cukup tinggi di beberapa wilayah, sementara nilai prevalensi dan attack rate tahunan menggambarkan proporsi penduduk yang terdampak TB RO selama periode pengamatan. Keparahan penyakit tercermin dari nilai Case Fatality Rate (CFR) yang relatif tinggi di sejumlah kabupaten/kota, menunjukkan masih adanya risiko kematian yang signifikan pada pasien TB RO. Nilai Proportional Mortality Rate (PMR) dan Case–Death Ratio juga mengindikasikan bahwa kontribusi kematian akibat TB RO tidak merata dan terkonsentrasi di wilayah tertentu.
Pemodelan statistik menggunakan regresi Poisson dan Negative Binomial menunjukkan bahwa data kasus TB RO mengalami overdispersi, sehingga model Negative Binomial merupakan model yang paling sesuai. Model ini mampu memberikan estimasi yang lebih stabil dan realistis terhadap pengaruh faktor risiko, khususnya kepadatan penduduk dan jumlah kasus TB total, dibandingkan model Poisson standar.
Hasil klasifikasi risiko terpadu yang mengombinasikan indikator insidensi dan fatalitas (CFR) menunjukkan adanya dua kelompok utama wilayah, yaitu Zona Bahaya dan Zona Fatalitas Tinggi. Zona Bahaya mencakup wilayah dengan insidensi dan fatalitas tinggi secara bersamaan, sehingga memerlukan perhatian dan intervensi paling mendesak. Sementara itu, Zona Fatalitas Tinggi menunjukkan wilayah dengan risiko kematian yang tinggi meskipun insidensi relatif lebih rendah, yang mengindikasikan perlunya penguatan layanan klinis dan manajemen kasus.
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menegaskan bahwa TB RO di Jawa Barat merupakan masalah epidemiologis kompleks yang dipengaruhi oleh faktor demografis, beban TB dasar, serta kualitas pelayanan kesehatan. Pendekatan pengendalian TB RO tidak dapat dilakukan secara seragam, melainkan harus disesuaikan dengan tingkat risiko dan karakteristik wilayah.
| Prioritas | Sasaran | Tindakan Spesifik |
|---|---|---|
| Tinggi | Zona Bahaya | Penguatan deteksi dini TB RO, peningkatan kapasitas rumah sakit rujukan, percepatan pemeriksaan resistansi obat, serta pelatihan tenaga medis untuk penanganan kasus TB RO berat. |
| Tinggi | Zona Fatalitas Tinggi | Peningkatan kualitas pelayanan klinis, optimalisasi tata laksana pasien TB RO dengan komorbid, pemantauan ketat kepatuhan terapi, dan respons cepat terhadap kasus dengan risiko kematian tinggi. |
| Sedang | Semua wilayah | Penguatan surveilans TB terintegrasi, pelacakan kontak secara aktif, peningkatan kepatuhan pengobatan TB sensitif obat untuk mencegah resistansi, serta edukasi masyarakat mengenai TB dan TB RO. |
| Rendah | Zona Relatif Aman | Pemeliharaan program pengendalian TB yang telah berjalan, pemantauan rutin kasus TB dan TB RO, serta pencegahan munculnya kasus resistansi obat baru. |
Rekomendasi Kebijakan
Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota disarankan untuk mengalokasikan sumber daya berdasarkan peta risiko TB RO, dengan fokus utama pada wilayah Zona Bahaya dan Zona Fatalitas Tinggi. Penguatan sistem surveilans berbasis data, integrasi informasi laboratorium dan klinis, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia kesehatan menjadi langkah krusial dalam pengendalian TB RO secara berkelanjutan. Selain itu, keterlibatan masyarakat dan dukungan lintas sektor perlu ditingkatkan untuk memastikan keberhasilan pengobatan dan mencegah munculnya kasus TB RO baru.
World Health Organization. (2023). Global tuberculosis report 2023. Geneva: WHO. https://www.who.int/teams/global-tuberculosis-programme/tb-reports
World Health Organization. (2024). WHO consolidated guidelines on tuberculosis: Module 4 – Drug-resistant TB treatment. Geneva: WHO.
Lange, C., Dheda, K., Chesov, D., Mandalakas, A. M., Udwadia, Z., & Horsburgh, C. R. (2019). Management of drug-resistant tuberculosis. The Lancet, 394(10202), 953–966. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(19)31882-3
Migliori, G. B., Tiberi, S., Zumla, A., Petersen, E., Chakaya, J., Wejse, C., & Esposito, S. (2020). Multidrug-resistant tuberculosis and extensively drug-resistant tuberculosis: A review of current concepts and future challenges. Clinical Microbiology and Infection, 26(6), 595–602. https://doi.org/10.1016/j.cmi.2019.10.020