Disusun oleh: Nafalla Afftanur Rismawanti (140610230044)
Dosen Pengampu: I Gede Nyoman Mindra Jaya, M.Si., Ph.D.
Stunting merupakan masalah gizi kronis yang masih menjadi tantangan utama kesehatan masyarakat di Indonesia, termasuk di Provinsi Aceh. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan distribusi prevalensi stunting pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Aceh, menganalisis pola spasial kejadian stunting, mengidentifikasi wilayah berisiko tinggi dan rendah, serta mengevaluasi hubungan antara prevalensi stunting dengan faktor sosial ekonomi dan lingkungan melalui pemodelan statistik.
Penelitian ini menggunakan data sekunder tahun pengamatan terbaru yang mencakup 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Analisis dilakukan melalui pendekatan deskriptif, analisis spasial global dan lokal (Moran’s I, Geary’s C, Local Indicators of Spatial Association/LISA, dan Getis–Ord Gi*), serta pemodelan regresi linear berganda (Ordinary Least Squares/OLS). Variabel independen yang digunakan meliputi kepadatan penduduk, Angka Partisipasi Murni (APM) SMA, cakupan ASI eksklusif, akses sanitasi layak, dan persentase penduduk miskin.
Hasil analisis menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Provinsi Aceh sebesar 28,51%, yang berada di atas ambang batas masalah kesehatan masyarakat menurut World Health Organization. Prevalensi stunting antar kabupaten/kota menunjukkan variasi yang cukup besar, dengan nilai tertinggi mencapai 36,7% dan terendah sebesar 15,6%. Analisis autokorelasi spasial global tidak menunjukkan adanya pola pengelompokan spasial yang signifikan, namun analisis spasial lokal mengidentifikasi Kabupaten Simeulue sebagai wilayah dengan pola spasial lokal yang menyimpang.
Hasil pemodelan OLS menunjukkan bahwa seluruh variabel independen memiliki koefisien bernilai negatif, yang mengindikasikan bahwa perbaikan kondisi pendidikan, kesehatan, dan lingkungan cenderung berkaitan dengan penurunan prevalensi stunting. Namun, secara parsial variabel-variabel tersebut belum signifikan pada tingkat signifikansi 5%. Model mampu menjelaskan sekitar 25,67% variasi prevalensi stunting antar wilayah dan memenuhi seluruh asumsi klasik regresi linear, serta tidak menunjukkan autokorelasi spasial pada residual.
Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa stunting di Provinsi Aceh merupakan permasalahan gizi kronis yang bersifat luas dan heterogen antar wilayah, dengan dinamika spasial yang lebih bersifat lokal dibandingkan global. Temuan ini menegaskan pentingnya intervensi penurunan stunting yang terintegrasi, kontekstual, dan berbasis wilayah untuk meningkatkan efektivitas kebijakan kesehatan masyarakat di Provinsi Aceh.
Kata kunci: stunting, prevalensi, analisis spasial, Getis–Ord Gi*, LISA, regresi linear, Provinsi Aceh
Stunting merupakan salah satu permasalahan gizi kronis yang hingga saat ini masih menjadi tantangan utama kesehatan masyarakat, khususnya di negara berpendapatan rendah dan menengah. Kondisi ini ditandai dengan terhambatnya pertumbuhan linear anak akibat kekurangan gizi yang berlangsung lama, terutama pada periode 1.000 hari pertama kehidupan. Dampak stunting tidak hanya terbatas pada tinggi badan anak yang lebih pendek dari standar usianya, tetapi juga berkaitan dengan gangguan perkembangan kognitif, peningkatan risiko penyakit tidak menular di usia dewasa, serta penurunan produktivitas ekonomi jangka panjang. Oleh karena itu, stunting dipandang sebagai indikator penting kualitas sumber daya manusia dan keberhasilan pembangunan kesehatan suatu negara (World Health Organization [WHO], 2020).
Secara global, stunting masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang signifikan. Laporan bersama WHO dan UNICEF menunjukkan bahwa meskipun terjadi penurunan prevalensi stunting dalam dua dekade terakhir, jumlah anak balita yang mengalami stunting masih sangat besar, terutama di negara berkembang (WHO & UNICEF, 2021). Kondisi ini menegaskan bahwa intervensi gizi dan kesehatan ibu dan anak perlu dilakukan secara berkelanjutan dan berbasis bukti ilmiah.
Indonesia termasuk dalam negara dengan prevalensi stunting yang relatif tinggi di kawasan Asia Tenggara. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa meskipun terdapat tren penurunan prevalensi stunting secara nasional, beban stunting masih tersebar tidak merata antarwilayah (Beal et al., 2018). Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia juga menunjukkan bahwa stunting masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di sejumlah provinsi, sehingga memerlukan pendekatan penanganan yang lebih terfokus dan berbasis wilayah (Kementerian Kesehatan RI, 2022).
Provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi yang secara konsisten mencatat prevalensi stunting di atas rata-rata nasional. Beberapa kabupaten/kota di Aceh menunjukkan tingkat stunting yang relatif tinggi dan cenderung persisten dari tahun ke tahun. Kondisi ini mencerminkan adanya tantangan struktural yang kompleks, seperti tingkat kemiskinan yang masih tinggi, keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan ibu dan anak, serta kualitas sanitasi dan lingkungan tempat tinggal yang belum merata. Selain itu, karakteristik geografis Aceh yang terdiri dari wilayah daratan luas, daerah terpencil, dan wilayah kepulauan turut memengaruhi efektivitas dan pemerataan intervensi gizi dan kesehatan.
Secara epidemiologis, stunting merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor agent, host, dan environment. Faktor agent mencakup penyebab langsung berupa defisiensi zat gizi makro dan mikronutrien, serta infeksi berulang seperti diare dan infeksi saluran pernapasan akut yang mengganggu penyerapan nutrisi. Faktor host meliputi kerentanan individu anak dan ibu, seperti usia anak pada periode 6–23 bulan, berat badan lahir rendah, tidak mendapatkan ASI eksklusif, serta kondisi gizi dan kesehatan ibu selama kehamilan. Sementara itu, faktor environment mencakup kondisi sosial ekonomi, sanitasi dan akses air minum yang tidak layak, serta keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan. Kerangka konseptual ini sejalan dengan kerangka determinan gizi ibu dan anak yang dikembangkan oleh UNICEF (2019) dan digunakan secara luas dalam kajian epidemiologi stunting.
Meskipun stunting merupakan masalah nasional, distribusinya tidak bersifat homogen secara geografis. Penelitian menunjukkan bahwa prevalensi stunting sering kali membentuk pola ketimpangan spasial, di mana wilayah dengan kondisi sosial ekonomi dan lingkungan yang kurang menguntungkan cenderung memiliki risiko stunting yang lebih tinggi (Kim et al., 2021). Variasi prevalensi antar kabupaten/kota di Provinsi Aceh mengindikasikan adanya kemungkinan pengelompokan wilayah (spatial clustering) yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan sosial ekonomi setempat. Oleh karena itu, pendekatan epidemiologi yang dikombinasikan dengan analisis spasial menjadi penting untuk memahami pola distribusi stunting secara lebih komprehensif.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis epidemiologi deskriptif terhadap kejadian stunting di Provinsi Aceh. Analisis difokuskan pada penggambaran proses penyakit berdasarkan kerangka agent–host–environment, penghitungan ukuran epidemiologi yang relevan, serta pemetaan distribusi spasial prevalensi stunting antar kabupaten/kota. Selain itu, penelitian ini juga mengkaji adanya autokorelasi spasial dan ketergantungan antarwilayah dalam kejadian stunting menggunakan pendekatan analisis spasial. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran epidemiologis yang komprehensif serta menjadi dasar bagi perumusan intervensi penurunan stunting yang lebih tepat sasaran dan berbasis wilayah di Provinsi Aceh.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana distribusi prevalensi stunting pada anak balita di setiap kabupaten/kota di Provinsi Aceh
Bagaimana gambaran ukuran epidemiologi kejadian stunting di Provinsi Aceh berdasarkan data yang tersedia?
Apakah terdapat pola spasial atau autokorelasi spasial dalam distribusi prevalensi stunting antar kabupaten/kota di Provinsi Aceh?
Wilayah kabupaten/kota mana saja di Provinsi Aceh yang berpotensi membentuk klaster wilayah berisiko tinggi (hotspot) dan wilayah berisiko rendah (coldspot) stunting?
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Mendeskripsikan distribusi prevalensi stunting pada anak balita di setiap kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
Menggambarkan ukuran epidemiologi kejadian stunting di Provinsi Aceh berdasarkan data yang tersedia.
Menganalisis pola spasial dan keberadaan autokorelasi spasial dalam distribusi prevalensi stunting antar kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
Mengidentifikasi wilayah kabupaten/kota yang berpotensi membentuk klaster berisiko tinggi (hotspot) dan klaster berisiko rendah (coldspot) stunting di Provinsi Aceh.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut:
Manfaat Akademis
Penelitian ini berkontribusi dalam penerapan dan penguatan konsep-konsep
dasar epidemiologi, khususnya dalam penggambaran proses penyakit
berdasarkan kerangka agent–host–environment, penghitungan ukuran
epidemiologi, serta analisis deskriptif dan visualisasi spasial kejadian
stunting. Melalui penelitian ini, diharapkan pemahaman teoritis dan
keterampilan analitis mahasiswa dalam melakukan kajian epidemiologi
berbasis data, terutama pada masalah gizi kronis, dapat semakin
berkembang.
Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
awal mengenai distribusi dan pola spasial jumlah kasus stunting di
Provinsi Aceh, termasuk identifikasi wilayah-wilayah yang berpotensi
memiliki risiko stunting lebih tinggi. Temuan ini dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi pemangku kepentingan, seperti Dinas Kesehatan Provinsi
Aceh dan pihak terkait lainnya, dalam menetapkan wilayah prioritas serta
merancang intervensi penurunan stunting yang lebih tepat sasaran dan
berbasis wilayah.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang perlu diperhatikan dalam proses interpretasi hasil agar kesimpulan yang diperoleh dapat dipahami dalam konteks yang tepat. Adapun keterbatasan penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:
Keterbatasan Data Sekunder dan Sifat Ekologis
Penelitian ini sepenuhnya menggunakan data sekunder yang bersumber dari instansi resmi, dengan unit analisis berupa data agregat tingkat kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Konsekuensinya, penelitian ini bersifat ekologi, di mana analisis dilakukan pada tingkat wilayah, bukan individu. Oleh karena itu, hasil penelitian hanya mampu menggambarkan pola distribusi jumlah kasus stunting antar wilayah tanpa dapat menyimpulkan hubungan sebab-akibat pada tingkat individu. Potensi terjadinya ecological fallacy, yaitu kesalahan dalam menggeneralisasi temuan pada tingkat wilayah ke tingkat individu, menjadi salah satu bias yang perlu diperhatikan dalam penafsiran hasil.
Keterbatasan Temporal
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data stunting pada satu periode pengamatan tertentu, sehingga analisis yang dilakukan bersifat potret sesaat (cross-sectional snapshot). Keterbatasan ini membatasi kemampuan penelitian dalam menggambarkan dinamika kejadian stunting dalam jangka panjang, termasuk perubahan tren antar waktu. Selain itu, faktor temporal yang berpotensi memengaruhi kejadian stunting, seperti perubahan kondisi sosial ekonomi atau keberlanjutan program intervensi gizi, tidak dapat dianalisis secara komprehensif dalam penelitian ini.
Keterbatasan Analisis Asosiasi
Sifat data yang agregat dan deskriptif membatasi analisis pada penggambaran ukuran epidemiologi kejadian stunting, seperti jumlah kasus dan distribusi spasial antar wilayah. Ukuran asosiasi epidemiologis, seperti Risk Ratio dan Odds Ratio, tidak dapat dihitung karena penelitian ini tidak menggunakan data individu maupun informasi paparan risiko secara langsung. Dengan demikian, hasil penelitian ini berfungsi sebagai gambaran awal (baseline information) dan tidak dimaksudkan untuk menguji hubungan kausal antara faktor risiko dan kejadian stunting.
Keterbatasan Pemodelan Spasial
Meskipun penelitian ini menerapkan analisis spasial untuk mengidentifikasi pola distribusi dan ketergantungan antar wilayah, hasil pemodelan sangat bergantung pada pemilihan matriks bobot spasial dan ketersediaan data. Karakteristik geografis Provinsi Aceh yang mencakup wilayah daratan dan kepulauan berpotensi memengaruhi struktur ketetanggaan antar wilayah. Oleh karena itu, hasil analisis spasial perlu ditafsirkan secara hati-hati sebagai pendekatan eksploratif yang bertujuan mengidentifikasi pola umum, bukan sebagai representasi hubungan kausal spasial yang bersifat definitif.
Desain Studi Epidemiologi yang Bersifat Simulatif
Rancangan studi epidemiologi yang disusun dalam penelitian ini bersifat konseptual dan simulatif, karena tidak didukung oleh pengumpulan data primer. Desain studi digunakan sebagai ilustrasi metodologis untuk menunjukkan bagaimana pendekatan epidemiologi dapat diterapkan dalam kajian stunting berbasis wilayah. Dengan demikian, rancangan ini tidak dimaksudkan untuk merepresentasikan kondisi empiris secara langsung, melainkan sebagai rekomendasi awal bagi penelitian lanjutan yang bersifat analitik dengan data primer yang lebih rinci.
Konsep Agent–Host–Environment (A-H-E) atau Epidemiologic Triad merupakan kerangka dasar dalam epidemiologi untuk memahami terjadinya suatu masalah kesehatan sebagai hasil interaksi dinamis antara agen penyebab (agent), individu atau populasi yang rentan (host), serta faktor lingkungan fisik dan sosial ekonomi (environment). Dalam konteks masalah gizi kronis seperti stunting, pendekatan A-H-E relevan untuk menjelaskan bahwa stunting tidak disebabkan oleh satu faktor tunggal, melainkan merupakan hasil akumulasi dan interaksi berbagai faktor biologis, perilaku, dan struktural dalam jangka panjang (Mulyani et al., 2017).
Stunting didefinisikan sebagai kondisi gagal tumbuh pada anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang yang berlangsung sejak periode awal kehidupan, khususnya pada 1.000 hari pertama kehidupan. Kondisi ini berkembang secara perlahan dan dipengaruhi oleh determinan multidimensi, sehingga penggunaan kerangka A-H-E menjadi penting untuk memahami kompleksitas penyebab stunting secara komprehensif.
Dalam konteks stunting, agent tidak merujuk pada mikroorganisme tunggal sebagaimana pada penyakit menular, melainkan pada penyebab langsung (immediate causes) yang secara biologis menghambat pertumbuhan linear anak. Agen utama stunting adalah defisiensi zat gizi makro dan mikronutrien, khususnya kekurangan energi, protein, serta mikronutrien esensial seperti zat besi (Fe), seng (Zn), dan kalsium (Ca). Defisiensi gizi tersebut menghambat pembentukan jaringan tubuh dan pertumbuhan tulang, terutama pada periode usia 6–24 bulan yang merupakan fase kebutuhan gizi tinggi (Hidayati et al., 2023; Ramayani et al., 2021).
Selain defisiensi gizi, infeksi berulang, terutama diare dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), merupakan agen penting dalam terjadinya stunting. Infeksi menyebabkan gangguan penyerapan nutrisi, kehilangan energi, serta peningkatan kebutuhan metabolik tubuh, sehingga memperburuk status gizi anak dan mempercepat terjadinya stunting. Berbagai studi di Indonesia, termasuk di wilayah Aceh, menunjukkan bahwa anak dengan riwayat infeksi berulang memiliki risiko stunting yang lebih tinggi secara signifikan (Ramayani et al., 2021; Hidayati et al., 2023).
Host dalam kerangka A-H-E merujuk pada individu yang rentan terhadap terjadinya stunting, yaitu anak dan ibu, dengan kerentanan yang dipengaruhi oleh faktor biologis dan kondisi kesehatan. Salah satu faktor host yang paling penting adalah usia anak 6–23 atau 6–24 bulan, yang dikenal sebagai window of opportunity pertumbuhan. Pada periode ini, anak mengalami transisi dari ASI eksklusif ke makanan pendamping ASI (MP-ASI), sehingga sangat rentan terhadap kekurangan asupan gizi dan paparan infeksi (Hidayati et al., 2023).
Jenis kelamin juga berperan dalam kerentanan stunting, di mana anak laki-laki dilaporkan memiliki risiko stunting lebih tinggi dibandingkan perempuan. Perbedaan ini diduga berkaitan dengan kebutuhan energi yang lebih besar serta kerentanan biologis terhadap stres metabolik dan infeksi (Sari et al., 2019).
Faktor host lainnya yang berperan penting adalah berat badan lahir rendah (BBLR) dan panjang lahir pendek. BBLR mencerminkan kondisi gizi dan kesehatan ibu selama kehamilan, dan anak dengan BBLR memiliki cadangan nutrisi terbatas serta risiko gangguan pertumbuhan jangka panjang (Putri et al., 2020; Fitriani et al., 2022).
Selain itu, tidak mendapatkan ASI eksklusif meningkatkan risiko stunting karena bayi kehilangan sumber nutrisi optimal serta perlindungan imunologis terhadap infeksi. Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa anak yang tidak memperoleh ASI eksklusif memiliki peluang stunting yang lebih tinggi dibandingkan anak yang mendapatkan ASI eksklusif (Ramayani et al., 2021; Nurhasanah et al., 2022).
Kondisi status gizi dan kesehatan ibu, seperti anemia, kekurangan energi kronis (KEK), dan tinggi badan ibu yang pendek, juga berkontribusi signifikan terhadap stunting. Ibu dengan kondisi tersebut berisiko melahirkan bayi dengan pertumbuhan intrauterin terhambat, yang kemudian berlanjut menjadi stunting pada masa balita (Hidayati et al., 2023; Berhe et al., 2019).
Komponen environment mencakup faktor eksternal yang memengaruhi interaksi antara agent dan host, baik lingkungan fisik maupun sosial ekonomi. Salah satu faktor lingkungan yang dominan adalah sanitasi dan akses air minum yang tidak layak. Lingkungan dengan sanitasi buruk meningkatkan paparan patogen enterik yang menyebabkan infeksi berulang dan gangguan penyerapan nutrisi, sehingga mempercepat terjadinya stunting (Ramayani et al., 2021; Yusran et al., 2022).
Selain itu, kondisi sosial ekonomi rendah berperan sebagai determinan struktural stunting. Kemiskinan membatasi akses keluarga terhadap pangan bergizi, sanitasi layak, dan layanan kesehatan, sehingga memperkuat siklus malnutrisi kronis. Analisis multilevel di Indonesia menunjukkan bahwa anak yang tinggal di rumah tangga dengan status sosial ekonomi rendah memiliki risiko stunting yang lebih tinggi, baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan (Suryanto et al., 2024).
Faktor lingkungan lainnya adalah akses dan cakupan layanan kesehatan, termasuk pelayanan antenatal care (ANC), program pemberian makanan tambahan (PMT), serta kepesertaan jaminan kesehatan. Layanan kesehatan yang memadai berperan sebagai faktor protektif terhadap stunting melalui deteksi dini masalah gizi dan intervensi yang tepat waktu (Utami et al., 2023).
Stunting di Provinsi Aceh merupakan hasil interaksi kompleks antara penyebab langsung berupa defisiensi gizi dan infeksi, kerentanan individu anak dan ibu, serta kondisi lingkungan fisik dan sosial ekonomi. Lingkungan dengan sanitasi buruk dan kemiskinan meningkatkan risiko infeksi dan kekurangan gizi, yang kemudian berdampak lebih besar pada anak dengan kerentanan biologis tertentu, seperti usia dini, BBLR, atau tidak mendapatkan ASI eksklusif. Distribusi faktor lingkungan yang tidak merata secara geografis berpotensi menjelaskan adanya variasi dan pengelompokan jumlah kasus stunting antar kabupaten/kota di Aceh.
Dengan demikian, kerangka Agent–Host–Environment menjadi dasar konseptual yang kuat untuk dikombinasikan dengan analisis spasial dalam penelitian ini guna memahami pola distribusi stunting dan mendukung perumusan strategi intervensi kesehatan masyarakat berbasis wilayah
Ukuran epidemiologi merupakan indikator vital untuk mengukur skala masalah kesehatan dalam suatu populasi dan menganalisis kaitan antara faktor paparan dengan timbulnya penyakit. Ukuran epidemiologi dibagi menjadi dua, yaitu ukuran frekuensi dan ukuran asosiasi.
Ukuran frekuensi digunakan untuk menilai sejauh mana suatu penyakit terjadi atau menyebar dalam populasi. Beberapa ukuran yang umum digunakan antara lain sebagai berikut.
Prevalensi
Prevalensi adalah proporsi individu dalam suatu populasi yang menderita penyakit tertentu pada waktu tertentu, baik kasus lama maupun baru.
\[
\text{Prevalensi} = \frac{\text{Jumlah seluruh kasus baru dan
lama}}{\text{Jumlah penduduk pada periode tertentu}} \times 100\%
\]
Insidensi
Insidensi adalah proporsi kasus baru suatu penyakit yang muncul dalam populasi berisiko selama periode waktu tertentu.
\[ \text{Insidensi} = \frac{\text{Jumlah kasus baru dalam periode tertentu}}{\text{Jumlah penduduk berisiko}} \times 100\% \]
Case Fatality Rate (CFR)
Case Fatality Rate (CFR) merupakan proporsi individu yang meninggal akibat penyakit tertentu dibandingkan dengan jumlah seluruh kasus penyakit tersebut.
\[ \text{CFR} = \frac{\text{Jumlah kematian akibat penyakit}}{\text{Jumlah kasus penyakit}} \times 100\% \]
Attack Rate
Attack Rate digunakan untuk menggambarkan proporsi individu yang terserang penyakit selama periode wabah atau kejadian luar biasa dalam waktu singkat.
\[ \text{Attack Rate} = \frac{\text{Jumlah kasus baru selama wabah}}{\text{Jumlah populasi berisiko}} \times 100\% \]
Selain ukuran frekuensi, ukuran asosiasi digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan antara faktor risiko spesifik dengan kejadian suatu penyakit. Ukuran yang umum digunakan antara lain Relative Risk (RR), Odds Ratio (OR), dan Attributable Risk (AR). Variabel yang digunakan dalam perhitungan ukuran asosiasi adalah sebagai berikut :
| Simbol | Keterangan |
|---|---|
| a | Jumlah kasus pada kelompok terpapar |
| b | Jumlah tidak sakit pada kelompok terpapar |
| c | Jumlah kasus pada kelompok tidak terpapar |
| d | Jumlah tidak sakit pada kelompok tidak terpapar |
| a + b | Total terpapar |
| c + d | Total tidak terpapar |
Relative Risk (RR)
Relative Risk (RR) merupakan perbandingan risiko penyakit antara
kelompok yang terpapar dan kelompok yang tidak terpapar. RR hanya dapat
dihitung pada studi kohort.
Nilai RR > 1 menunjukkan bahwa paparan meningkatkan risiko penyakit,
sedangkan RR < 1 berarti paparan bersifat protektif.
\[ \text{RR} = \frac{a / (a+b)}{c / (c+d)} \]
Odds Ratio (OR)
Odds Ratio (OR) adalah perbandingan peluang terjadinya penyakit antara kelompok terpapar dan tidak terpapar. Ukuran ini sering digunakan pada studi kasus-kontrol. Nilai OR > 1 menunjukkan peluang penyakit lebih besar pada kelompok terpapar.
\[ \text{OR} = \frac{a/b}{c/d} = \frac{ad}{bc} \]
Attributable Risk (AR) / Risk Difference (RD)
Attributable Risk (AR) menunjukkan selisih risiko penyakit antara kelompok terpapar dan tidak terpapar. Ukuran ini menggambarkan beban absolut risiko yang diatribusikan pada paparan.
\[ \text{AR} = \frac{a}{a+b} - \frac{c}{c+d} \]
Desain studi epidemiologi merupakan rancangan sistematis yang digunakan untuk menyelidiki hubungan antara faktor risiko dan kejadian penyakit dalam populasi. Pemilihan desain studi yang tepat menentukan validitas hasil penelitian dan kekuatan kesimpulan yang dapat ditarik. Secara umum, desain studi epidemiologi dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu studi observasional dan studi eksperimental (Friis & Sellers, 2020; CDC, 2024).
Pada studi observasional, peneliti tidak memberikan intervensi dan hanya mengamati hubungan antara paparan (exposure) dan kejadian penyakit (outcome).
Studi Cross-Sectional
Studi cross-sectional (potong lintang) menilai paparan dan penyakit secara bersamaan pada satu titik waktu tertentu. Tujuannya untuk memperkirakan jumlah kasus penyakit atau faktor risiko dalam populasi.
Kelebihan utama studi ini adalah cepat, relatif murah, dan cocok
untuk menggambarkan situasi kesehatan masyarakat saat ini. Namun,
kelemahannya adalah tidak dapat menentukan hubungan sebab-akibat karena
tidak diketahui urutan waktu antara paparan dan penyakit.
Studi Case-Control
Studi case-control adalah studi yang membandingkan individu yang menderita penyakit (kasus) dengan individu yang tidak sakit (kontrol) untuk menilai apakah ada perbedaan dalam riwayat paparan. Studi ini efisien untuk penyakit langka dan dapat menilai banyak faktor risiko sekaligus. Kelemahannya adalah rentan terhadap recall bias dan tidak dapat menghitung insidensi langsung.
Studi Kohort
Studi cohort melibatkan pengamatan terhadap sekelompok individu berdasarkan status paparannya dan diikuti dalam waktu tertentu untuk melihat apakah mereka mengembangkan penyakit. Studi ini dapat bersifat prospektif (ke depan) atau retrospektif (ke belakang). Kelebihan utamanya adalah dapat menentukan insidensi dan hubungan sebab-akibat, sedangkan kelemahannya adalah memerlukan waktu lama dan biaya besar.
Studi eksperimental dilakukan dengan memberikan intervensi tertentu
kepada kelompok subjek untuk menilai efeknya terhadap kejadian
penyakit.
Contoh utama adalah Randomized Controlled Trial (RCT), di mana subjek
secara acak dibagi menjadi kelompok perlakuan dan kontrol. Desain ini
memiliki validitas kausalitas paling tinggi tetapi memerlukan biaya
besar dan pertimbangan etika yang ketat.
Pemilihan desain studi bergantung pada tujuan penelitian, ketersediaan data, waktu, dan sumber daya. Dalam konteks penelitian deskriptif DBD di Jawa Barat, desain studi cross-sectional paling relevan karena :
Menggunakan data agregat kabupaten/kota (sekunder),
Fokus pada distribusi dan hubungan spasial,
Belum melibatkan pengumpulan data individu.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi resmi pemerintah, baik di tingkat nasional maupun provinsi. Seluruh data dikumpulkan untuk tahun 2024 dan dianalisis pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Aceh, sehingga bersifat agregat wilayah. Pemanfaatan data sekunder dilakukan untuk mendukung analisis epidemiologi deskriptif dan spasial terhadap kejadian stunting di Provinsi Aceh.
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Data Jumlah Kasus Stunting
Data jumlah kasus stunting balita diperoleh dari publikasi Statistik
Kesehatan Provinsi Aceh 2024 yang diterbitkan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) Provinsi Aceh. Data ini menyajikan informasi jumlah
kasus stunting menurut kabupaten/kota dan menjadi variabel utama
(variabel dependen) dalam analisis epidemiologi dan spasial.
Sumber:
Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh. (2025). Statistik Kesehatan
Provinsi Aceh 2024.
https://aceh.bps.go.id/id/publication/2025/02/18/86fad2868987ccf701722d5e/statistik-kesehatan-provinsi-aceh-2024.html
Data Angka Partisipasi Murni (APM)
Pendidikan
Data Angka Partisipasi Murni (APM) digunakan sebagai indikator
pendidikan yang mencerminkan aspek sosial ekonomi dan kualitas sumber
daya manusia. Data ini diperoleh dari publikasi Statistik Pendidikan
Provinsi Aceh 2024 yang diterbitkan oleh BPS Provinsi Aceh.
Sumber:
Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh. (2025). Statistik Pendidikan
Provinsi Aceh 2024.
https://aceh.bps.go.id/id/publication/2025/05/26/40c6996681a18ecab2fcd2cc/statistik-pendidikan-provinsi-aceh-2024.html
Data Akses Sanitasi Layak
Data persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak
digunakan sebagai indikator lingkungan fisik yang berhubungan dengan
risiko infeksi dan status gizi anak. Data ini diperoleh dari portal
Open Data Aceh yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi
Aceh.
Sumber:
Pemerintah Provinsi Aceh. Persentase Rumah Tangga yang Memiliki
Akses terhadap Sanitasi Layak. https://data.acehprov.go.id/id/dataset/persentase-rumah-tangga-yang-memiliki-akses-terhadap-sanitasi-layak/resource/a06a78ce-03f4-4c63-a186-99758fc1a4bc
Data Kemiskinan
Data persentase penduduk miskin digunakan untuk merepresentasikan
kondisi sosial ekonomi wilayah yang berperan sebagai determinan
struktural stunting. Data ini diperoleh dari Open Data Aceh dan
disajikan menurut kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
Sumber:
Pemerintah Provinsi Aceh. Persentase Penduduk Miskin Provinsi
Aceh.
Data Cakupan ASI Eksklusif
ata cakupan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif digunakan sebagai
indikator faktor host dan layanan kesehatan yang berperan protektif
terhadap stunting. Data diperoleh dari Open Data Aceh dan
disajikan dalam bentuk persentase per kabupaten/kota.
Sumber:
Pemerintah Provinsi Aceh. Cakupan Bayi Diberi ASI
Eksklusif.
https://data.acehprov.go.id/id/dataset/cakupan-bayi-diberi-asi-eksklusi
Data Kependudukan
Data kependudukan digunakan untuk mendukung analisis konteks wilayah dan
variabel kontrol, meliputi jumlah penduduk dan kepadatan penduduk
menurut kabupaten/kota. Data ini diperoleh dari tabel statistik
kependudukan yang dipublikasikan oleh BPS Provinsi Aceh.
Sumber:
Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh. Penduduk, Laju Pertumbuhan
Penduduk, Distribusi Persentase Penduduk, Kepadatan Penduduk, dan Rasio
Jenis Kelamin menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh.
https://aceh.bps.go.id/id/statistics-table/3/V1ZSbFRUY3lTbFpEYTNsVWNGcDZjek53YkhsNFFUMDkjMw==/penduduk--laju-pertumbuhan-penduduk--distribusi-persentase-penduduk-kepadatan-penduduk--rasio-jenis-kelamin-penduduk-menurut-kabupaten-kota-di-provinsi-aceh--2021.html
Data Batas Administrasi Wilayah
Data spasial berupa batas administrasi kabupaten/kota di Provinsi Aceh
digunakan untuk keperluan pemetaan dan analisis spasial. Data ini
diperoleh dari Global Administrative Areas (GADM) yang kemudian
disesuaikan dan diproses menggunakan perangkat lunak R.
Sumber:
Global Administrative Areas (GADM). Indonesia Administrative
Level
Unit analisis dalam penelitian ini mencakup 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh, yaitu: Simeulue, Aceh Singkil, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Barat, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Barat Daya, Gayo Lues, Aceh Tamiang, Nagan Raya, Aceh Jaya, Bener Meriah, Pidie Jaya, Kota Banda Aceh, Kota Sabang, Kota Langsa, Kota Lhokseumawe, dan Kota Subulussalam.
Variabel penelitian dalam studi ini dipilih untuk merepresentasikan faktor host dan environment dalam kerangka Agent–Host–Environment (AHE) yang relevan terhadap kejadian stunting. Pemilihan variabel didasarkan pada ketersediaan data sekunder tingkat kabupaten/kota di Provinsi Aceh serta didukung oleh temuan empiris dalam literatur epidemiologi gizi.
Jumlah Kasus Stunting (Y)
Jumlah kasus stunting didefinisikan sebagai persentase balita dengan
tinggi badan menurut umur (TB/U) berada di bawah −2 standar deviasi dari
median standar pertumbuhan WHO. Variabel ini digunakan sebagai indikator
utama masalah gizi kronis pada anak dan dianalisis pada tingkat
kabupaten/kota di Provinsi Aceh (WHO, 2018).
Jumlah penduduk menggambarkan skala populasi suatu wilayah dan digunakan sebagai variabel kontekstual dalam analisis spasial. Wilayah dengan populasi besar cenderung menghadapi tekanan yang lebih tinggi terhadap ketersediaan layanan kesehatan, pangan, dan infrastruktur dasar. Kondisi tersebut berpotensi memengaruhi kualitas layanan gizi ibu dan anak, yang secara tidak langsung berkaitan dengan jumlah kasus stunting (UNICEF, 2020; WHO, 2023).
Kepadatan penduduk merepresentasikan tingkat konsentrasi penduduk per satuan luas wilayah. Kepadatan yang tinggi sering dikaitkan dengan kondisi lingkungan yang kurang sehat, keterbatasan sanitasi, dan meningkatnya risiko penyakit infeksi. Infeksi berulang, khususnya infeksi saluran cerna, dapat mengganggu penyerapan nutrisi dan berkontribusi terhadap terjadinya stunting (Humphrey, 2009; Mbuya & Humphrey, 2016).
Angka Partisipasi Murni SMA digunakan sebagai proksi tingkat pendidikan masyarakat. Pendidikan yang lebih tinggi berhubungan dengan peningkatan literasi kesehatan, pengetahuan gizi, serta praktik pengasuhan anak yang lebih baik. Berbagai studi menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orang tua, terutama ibu, berperan penting dalam pencegahan stunting (Victora et al., 2010; UNICEF, 2021).
Cakupan ASI eksklusif mencerminkan proporsi bayi yang memperoleh ASI saja selama enam bulan pertama kehidupan. ASI eksklusif menyediakan zat gizi optimal dan perlindungan imunologis terhadap infeksi. Tidak terpenuhinya ASI eksklusif meningkatkan risiko infeksi dan gangguan pertumbuhan linear pada anak (World Health Organization, 2020; Wicaksono et al., 2021).
Persentase rumah tangga dengan akses sanitasi layak digunakan sebagai indikator lingkungan fisik. Sanitasi yang buruk meningkatkan paparan patogen enterik yang menyebabkan diare dan infeksi kronis. Kondisi tersebut dapat menghambat penyerapan nutrisi dan berkontribusi terhadap gangguan pertumbuhan anak (Humphrey, 2009; WASH factors associated with stunting among under-fives, 2022).
Persentase penduduk miskin merepresentasikan kondisi sosial ekonomi wilayah. Kemiskinan membatasi akses terhadap pangan bergizi, layanan kesehatan, dan lingkungan hidup yang sehat, sehingga menjadi determinan struktural utama stunting di negara berkembang, termasuk Indonesia (Black et al., 2013; Hidayat et al., 2024).
| Kode | Variabel | Jenis Variabel | Skala | Satuan / Indikator | Rujukan Utama |
|---|---|---|---|---|---|
| Y | Jumlah Kasus Stunting | Dependen | Rasio | Persentase balita stunting (%) | WHO (2018) |
| X₁ | Jumlah Penduduk | Independen | Rasio | Jumlah penduduk (jiwa) | UNICEF (2020); WHO (2023) |
| X₂ | Kepadatan Penduduk | Independen | Rasio | Jiwa per km² | Humphrey (2009); Mbuya & Humphrey (2016) |
| X₃ | Angka Partisipasi Murni SMA | Independen | Rasio | Persentase APM SMA (%) | Victora et al. (2010); UNICEF (2021) |
| X₄ | Cakupan ASI Eksklusif | Independen | Rasio | Persentase bayi ASI eksklusif (%) | WHO (2020); Wicaksono et al. (2021) |
| X₅ | Akses Sanitasi Layak | Independen | Rasio | Persentase rumah tangga (%) | Humphrey (2009); WASH factors (2022) |
| X₆ | Persentase Penduduk Miskin | Independen | Rasio | Persentase penduduk miskin (%) | Black et al. (2013); Hidayat et al. (2024) |
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan pendekatan epidemiologi, spasial, dan pemodelan eksploratif, dengan tujuan untuk menggambarkan karakteristik penyebaran stunting di Provinsi Aceh serta memahami pola spasial yang muncul antar kabupaten/kota. Pendekatan ini tidak bertujuan untuk menguji hubungan kausal, melainkan difokuskan pada penggambaran pola, variasi, dan distribusi jumlah kasus stunting berbasis wilayah.
Tahapan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi beberapa langkah berikut:
Deskripsi Kasus dan Proses Penyakit
Pada tahap awal dilakukan identifikasi karakteristik stunting sebagai
masalah gizi kronis menggunakan pendekatan
Agent–Host–Environment (AHE). Kerangka ini digunakan
untuk memahami mekanisme terjadinya stunting dan faktor-faktor risiko
yang berperan pada tingkat individu dan lingkungan.
Statistika Deskriptif
Analisis statistika deskriptif dilakukan untuk mengeksplorasi pola
distribusi jumlah kasus stunting dan karakteristik variabel sosial
ekonomi antar kabupaten/kota. Analisis meliputi nilai rata-rata, median,
minimum, maksimum, dan simpangan baku, serta visualisasi menggunakan
histogram, boxplot, dan peta tematik (choropleth map).
Perhitungan Ukuran Epidemiologi
Ukuran epidemiologi yang digunakan adalah prevalensi
stunting, yang dihitung sebagai persentase balita stunting
terhadap total balita pada masing-masing kabupaten/kota, baik pada
tingkat provinsi maupun wilayah administratif yang lebih kecil.
Analisis Spasial
Analisis spasial dilakukan untuk mengidentifikasi pola pengelompokan
wilayah berdasarkan jumlah kasus stunting. Uji autokorelasi spasial
global digunakan untuk menilai apakah distribusi stunting bersifat acak
atau membentuk pola spasial tertentu. Selanjutnya, analisis autokorelasi
spasial lokal digunakan untuk mengidentifikasi klaster wilayah dengan
jumlah kasus stunting tinggi (hot spot) dan rendah (cold spot).
Pemodelan Spasial
Untuk memperdalam pemahaman mengenai variasi jumlah kasus stunting antar
wilayah, dilakukan pemodelan regresi spasial. Pemodelan
diawali dengan regresi linear sebagai model dasar untuk menggambarkan
hubungan antara jumlah kasus stunting dan variabel sosial ekonomi serta
lingkungan.
Selanjutnya, dilakukan pengujian autokorelasi spasial pada residual model regresi. Keberadaan autokorelasi spasial pada residual mengindikasikan bahwa model non-spasial belum sepenuhnya menangkap struktur ketergantungan antar wilayah. Oleh karena itu, digunakan pendekatan model spasial untuk mengakomodasi ketergantungan tersebut, sehingga pola spasial jumlah kasus stunting dapat dijelaskan dengan lebih baik.
Interpretasi Epidemiologis
Tahap akhir berupa penafsiran hasil analisis deskriptif, spasial, dan
pemodelan dalam konteks epidemiologi gizi dan kerangka AHE. Interpretasi
difokuskan pada identifikasi wilayah berisiko tinggi, pemahaman pola
pengelompokan spasial, serta implikasi hasil bagi perencanaan intervensi
penurunan stunting berbasis wilayah.
library(DiagrammeR)
## Warning: package 'DiagrammeR' was built under R version 4.5.1
grViz("
digraph Alur_Penelitian_Stunting {
graph [rankdir = TB, bgcolor = white, splines = ortho,
nodesep = 0.9, ranksep = 1.2]
node [shape = box, style = 'filled,rounded',
fontname = 'Arial', fontsize = 11,
width = 3, height = 0.9]
# =========================
# WARNA UTAMA (ALUR INTI)
# =========================
node [fillcolor = '#E3F2FD']
DATA [label = 'Data Sekunder\\n(Stunting, Sosial Ekonomi,\\nLingkungan & Spasial)']
AHE [label = 'Deskripsi Kasus &\\nProses Penyakit\\n(Kerangka AHE)']
DESKRIP [label = 'Statistika Deskriptif']
EPI [label = 'Ukuran Epidemiologi\\n(Prevalensi Stunting)']
SPATIAL [label = 'Analisis Spasial']
MODEL [label = 'Pemodelan Spasial']
INT [label = 'Interpretasi\\nEpidemiologis']
# =========================
# CABANG STATISTIKA DESKRIPTIF
# =========================
node [fillcolor = '#FFF9C4']
HIST [label = 'Histogram']
BOX [label = 'Boxplot']
MAP1 [label = 'Peta Sebaran\\nPrevalensi Stunting']
# =========================
# CABANG ANALISIS SPASIAL
# =========================
node [fillcolor = '#FFE0B2']
GLOBAL [label = 'Autokorelasi Spasial Global\\n(Moran I, Geary C)']
LOCAL [label = 'Autokorelasi Spasial Lokal\\n(LISA)']
HOTSPOT [label = 'Hotspot & Coldspot\\n(Getis–Ord Gi*)']
# =========================
# CABANG PEMODELAN SPASIAL
# =========================
node [fillcolor = '#F8BBD0']
OLS [label = 'Regresi Linear (OLS)']
RESID [label = 'Uji Autokorelasi\\nSpasial Residual']
SAR [label = 'Model Regresi Spasial\\n(SDM / SDEM / SAC)']
# =========================
# ALUR UTAMA
# =========================
DATA -> AHE -> DESKRIP -> EPI -> SPATIAL -> MODEL -> INT
# =========================
# CABANG DETAIL
# =========================
DESKRIP -> HIST
DESKRIP -> BOX
DESKRIP -> MAP1
SPATIAL -> GLOBAL
SPATIAL -> LOCAL
SPATIAL -> HOTSPOT
MODEL -> OLS
OLS -> RESID
RESID -> SAR
}
")
Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (cross-sectional study), yaitu desain observasional yang mengukur outcome dan faktor-faktor terkait pada satu periode waktu tertentu. Dalam konteks penelitian ini, desain cross-sectional digunakan untuk menggambarkan jumlah kasus stunting pada balita serta karakteristik faktor sosial ekonomi dan lingkungan di setiap kabupaten/kota di Provinsi Aceh pada tahun 2024.
Pemilihan desain ini didasarkan pada tujuan utama penelitian, yaitu untuk:
Menyajikan gambaran distribusi stunting antar kabupaten/kota di Provinsi Aceh pada satu periode waktu tertentu
Mengidentifikasi variasi spasial jumlah kasus stunting dan faktor lingkungan serta sosial ekonomi yang menyertainya.
Menjadi dasar perancangan studi analitik lanjutan, khususnya penelitian epidemiologi analitik berbasis individu atau longitudinal untuk menguji hubungan kausal.
Desain cross-sectional bersifat efisien dari segi waktu dan sumber daya, serta sesuai untuk penelitian yang menggunakan data sekunder agregat wilayah. Namun demikian, desain ini tidak memungkinkan penarikan kesimpulan sebab–akibat secara langsung, sehingga hasil penelitian lebih ditujukan untuk deskripsi pola dan perumusan hipotesis awal.
Variabel penelitian dalam desain studi epidemiologi simulatif ini terdiri atas variabel dependen dan variabel independen yang merepresentasikan faktor host dan environment dalam kerangka Agent–Host–Environment (AHE).
Variabel Dependen (Outcome):
jumlah kasus Stunting (%): Proporsi balita dengan status stunting terhadap total balita pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
Variabel Independen (Paparan):
Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang berada di Provinsi Aceh pada tahun 2024.
Unit analisis penelitian adalah wilayah administratif kabupaten/kota di Provinsi Aceh, yang berjumlah 23 wilayah, terdiri dari kabupaten dan kota.
Sampel penelitian mencakup seluruh kabupaten/kota di Provinsi Aceh yang memiliki data lengkap dan relevan terhadap variabel penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pendekatan total sampling pada tingkat wilayah.
Teknik sampling yang digunakan adalah total sampling, yaitu seluruh kabupaten/kota di Provinsi Aceh dimasukkan sebagai unit analisis. Pendekatan ini dipilih karena:
Jumlah unit analisis relatif terbatas dan seluruh wilayah memiliki data sekunder yang tersedia.
Total sampling memungkinkan pengamatan variasi geografis secara menyeluruh.
Pendekatan ini mendukung analisis spasial untuk mengidentifikasi pola pengelompokan wilayah dengan jumlah kasus stunting tinggi dan rendah.
Dengan demikian, hasil analisis diharapkan dapat merepresentasikan kondisi epidemiologis stunting di Provinsi Aceh secara komprehensif pada tingkat wilayah.
Beberapa potensi bias yang perlu diperhatikan dalam desain studi epidemiologi simulatif ini antara lain:
Bias Ekologis (Ecological Fallacy)
Karena unit analisis adalah wilayah, hasil penelitian tidak dapat
digunakan untuk menyimpulkan hubungan pada tingkat individu. Hubungan
yang diamati mencerminkan karakteristik wilayah, bukan perilaku atau
kondisi individu.
Bias Informasi
Bias ini dapat terjadi akibat perbedaan metode pengumpulan, pencatatan,
atau pelaporan data stunting dan indikator sosial ekonomi antar
kabupaten/kota.
Bias Perancu (Confounding)
Faktor sosial ekonomi, lingkungan, dan demografi dapat saling
berinteraksi dan memengaruhi jumlah kasus stunting. Oleh karena itu,
hasil analisis perlu ditafsirkan secara hati-hati dalam kerangka AHE dan
tidak dimaknai sebagai hubungan kausal langsung.
Keterbatasan Temporal
Data yang digunakan bersifat potong lintang (satu tahun), sehingga tidak
mampu menangkap dinamika perubahan jumlah kasus stunting dari waktu ke
waktu.
Faktor yang Memengaruhi Kerentanan Host (Anak dan Ibu)
Kelompok host dalam konteks stunting adalah anak balita dan ibu, khususnya pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Kerentanan anak terhadap stunting dipengaruhi oleh faktor biologis, pola asuh, serta kondisi kesehatan ibu. Tabel berikut menyajikan beberapa variabel host yang berperan dalam meningkatkan risiko terjadinya stunting.
| Variabel | Kondisi | Alasan / Mekanisme |
|---|---|---|
| Usia anak | 6–23 bulan | Periode transisi MP-ASI dengan kebutuhan gizi tinggi; ketidaktepatan pemberian makanan meningkatkan risiko kekurangan gizi dan infeksi berulang (window of opportunity). |
| Jenis kelamin | Laki-laki | Anak laki-laki memiliki kebutuhan energi lebih tinggi dan dilaporkan lebih rentan secara biologis terhadap gangguan pertumbuhan dibandingkan perempuan. |
| Berat Badan Lahir | BBLR / panjang lahir pendek | Mencerminkan gangguan pertumbuhan intrauterin; cadangan nutrisi rendah meningkatkan risiko gagal tumbuh jangka panjang. |
| ASI eksklusif | Tidak diberikan | Kehilangan sumber nutrisi optimal dan perlindungan imunologis, sehingga meningkatkan risiko infeksi dan gangguan pertumbuhan. |
| Status gizi ibu | Anemia, KEK, tinggi badan ibu pendek | Kondisi gizi ibu yang buruk selama kehamilan meningkatkan risiko pertumbuhan janin terhambat yang berlanjut menjadi stunting pada anak. |
Sumber: Wicaksono et al. (2021); Ramadhan et al. (2020); Rahmawati et al. (2019); Berhe et al. (2019).
Faktor Eksternal yang Memengaruhi Interaksi antara Agent dan Host (Environment)
Lingkungan fisik dan sosial ekonomi memiliki peran penting dalam memperkuat atau memperlemah risiko terjadinya stunting. Kondisi lingkungan yang tidak mendukung dapat meningkatkan paparan infeksi, membatasi akses pangan bergizi, dan menghambat pemanfaatan layanan kesehatan. Tabel berikut merangkum faktor lingkungan utama yang berkaitan dengan kejadian stunting di Provinsi Aceh.
| Variabel | Kondisi | Alasan / Mekanisme |
|---|---|---|
| Akses sanitasi | Tidak layak | Sanitasi buruk meningkatkan paparan patogen enterik yang menyebabkan infeksi diare berulang dan gangguan penyerapan nutrisi. |
| Akses air minum | Tidak aman | Air minum yang tidak layak meningkatkan risiko penyakit infeksi yang berkontribusi terhadap malnutrisi kronis. |
| Kondisi sosial ekonomi | Kemiskinan tinggi | Keterbatasan daya beli pangan bergizi, lingkungan hidup sehat, dan layanan kesehatan memperkuat risiko stunting. |
| Akses layanan kesehatan | Rendah | Cakupan ANC, PMT, dan intervensi gizi yang rendah menyebabkan keterlambatan deteksi dan penanganan masalah gizi ibu dan anak. |
| Lingkungan permukiman | Kurang sehat | Kepadatan dan kualitas lingkungan yang buruk meningkatkan risiko infeksi dan memperburuk status gizi anak. |
Sumber: Prendergast & Humphrey (2014); Wicaksono et al. (2021); Rahman et al. (2023).
Untuk memperjelas hubungan kausal antar komponen tersebut, digunakan kerangka Agent–Host–Environment (AHE) sebagai representasi konseptual mekanisme terjadinya stunting. Diagram AHE berikut menggambarkan bagaimana faktor penyebab langsung (agent), kerentanan individu (host), dan kondisi lingkungan (environment) berinteraksi dan bermuara pada kejadian stunting di Provinsi Aceh.
library(DiagrammeR)
grViz("
digraph AHE_Stunting {
graph [rankdir = TB, bgcolor = white, splines = ortho,
nodesep = 0.9, ranksep = 1.2]
node [shape = box, style = 'filled,rounded',
fontname = 'Arial', fontsize = 11,
width = 3, height = 0.9]
edge [color = '#555555', penwidth = 1.8,
fontname = 'Arial', fontsize = 10]
# =======================
# AGENT
# =======================
subgraph cluster_agent {
label = 'AGENT\\n(Penyebab Langsung)'
style = filled
color = '#E3F2FD'
fontname = 'Arial Bold'
fontsize = 13
AG1 [label = 'Defisiensi Energi\\n& Protein']
AG2 [label = 'Defisiensi Mikronutrien\\n(Fe, Zn, Ca)']
AG3 [label = 'Infeksi Berulang\\n(Diare & ISPA)']
}
# =======================
# HOST
# =======================
subgraph cluster_host {
label = 'HOST\\n(Kerentanan Anak & Ibu)'
style = filled
color = '#FFF3E0'
fontname = 'Arial Bold'
fontsize = 13
H1 [label = 'Usia Anak\\n6–23 Bulan']
H2 [label = 'Jenis Kelamin\\nLaki-laki']
H3 [label = 'BBLR /\\nPanjang Lahir Pendek']
H4 [label = 'Tidak Mendapat\\nASI Eksklusif']
H5 [label = 'Status Gizi Ibu\\n(Anemia / KEK / TB Pendek)']
}
# =======================
# ENVIRONMENT
# =======================
subgraph cluster_env {
label = 'ENVIRONMENT\\n(Lingkungan & Sosial Ekonomi)'
style = filled
color = '#E8F5E9'
fontname = 'Arial Bold'
fontsize = 13
E1 [label = 'Sanitasi & Air Minum\\nTidak Layak']
E2 [label = 'Kemiskinan\\n& Kerawanan Pangan']
E3 [label = 'Akses Layanan\\nKesehatan Rendah']
}
# =======================
# OUTCOME
# =======================
STUNT [label = 'STUNTING\\n(Gagal Tumbuh Kronis)',
shape = ellipse,
fillcolor = '#D32F2F',
fontcolor = white,
fontsize = 12,
penwidth = 3]
# =======================
# ALUR KAUSAL
# =======================
AG1 -> STUNT [label = 'asupan tidak adekuat']
AG2 -> STUNT [label = 'hambatan pertumbuhan tulang']
AG3 -> STUNT [label = 'malabsorpsi &\\npeningkatan kebutuhan energi']
H1 -> STUNT [label = 'fase rentan\\n(window of opportunity)']
H2 -> STUNT [label = 'kerentanan biologis']
H3 -> STUNT [label = 'cadangan nutrisi rendah']
H4 -> STUNT [label = 'risiko infeksi meningkat']
H5 -> STUNT [label = 'gangguan pertumbuhan janin']
E1 -> AG3 [label = 'paparan patogen enterik']
E2 -> AG1 [label = 'akses pangan terbatas']
E2 -> H5 [label = 'kualitas gizi ibu rendah']
E3 -> H4 [label = 'dukungan laktasi rendah']
E3 -> H5 [label = 'deteksi dini kehamilan rendah']
}
")
Analisis statistika deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran umum mengenai karakteristik data jumlah kasus stunting dan variabel-variabel penjelas pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Analisis ini bertujuan untuk memahami kecenderungan pusat, variasi, serta rentang nilai masing-masing variabel, sehingga dapat menggambarkan heterogenitas kondisi gizi dan sosial ekonomi antar wilayah.
Berdasarkan hasil ringkasan statistik deskriptif terhadap 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh, diperoleh hasil sebagai berikut.
# -------------------------- MASUKKAN PLOT SPASIAL -----------------------------
library(spdep)
## Warning: package 'spdep' was built under R version 4.5.1
## Loading required package: spData
## Warning: package 'spData' was built under R version 4.5.1
## To access larger datasets in this package, install the spDataLarge
## package with: `install.packages('spDataLarge',
## repos='https://nowosad.github.io/drat/', type='source')`
## Loading required package: sf
## Warning: package 'sf' was built under R version 4.5.1
## Linking to GEOS 3.13.1, GDAL 3.11.0, PROJ 9.6.0; sf_use_s2() is TRUE
library(sp)
## Warning: package 'sp' was built under R version 4.5.1
library(sf)
library(ggplot2)
## Warning: package 'ggplot2' was built under R version 4.5.1
library(dplyr)
## Warning: package 'dplyr' was built under R version 4.5.1
##
## Attaching package: 'dplyr'
## The following objects are masked from 'package:stats':
##
## filter, lag
## The following objects are masked from 'package:base':
##
## intersect, setdiff, setequal, union
library(openxlsx)
## Warning: package 'openxlsx' was built under R version 4.5.1
# shapefile Aceh
Aceh <- readRDS("E:/SMT 5/Epidemologi/UAS/gadm36_IDN_2_sp.rds")
Aceh_sf <- st_as_sf(Aceh)
Aceh_sf <- Aceh_sf %>%
dplyr::filter(NAME_1 == "Aceh")
Aceh_sf <- st_zm(Aceh_sf, drop = TRUE, what = "ZM")
# ------------------------------- MASUKKAN DATA --------------------------------
data <- read.xlsx("E:/SMT 5/Epidemologi/UAS/DATA UAS EPIDEM.xlsx")
head(data)
## Kabupaten/Kota Stunting Jumlah.Penduduk Kepadatan.Penduduk APM.SMA
## 1 Simeulue 25.5 98.6 48 74.35
## 2 Aceh Singkil 34.2 135.7 62 71.97
## 3 Aceh Selatan 34.2 242 63 72.16
## 4 Aceh Tenggara 30.9 234.4 55 76.26
## 5 Aceh Timur 36.7 443.6 71 53.51
## 6 Aceh Tengah 31.4 226.7 53 73.01
## ASI.eksklusif Sanitasi.rumah.tangga Persentase.Penduduk.Miskin
## 1 98.00 76.51 17.69
## 2 94.86 63.22 45827
## 3 90.65 77.96 45700
## 4 95.09 64.01 11.99
## 5 93.57 73.59 13.26
## 6 93.91 86.34 14.27
# Cek nama kabupaten/kota
print("Nama di data:")
## [1] "Nama di data:"
print(data$`Kabupaten/Kota`)
## [1] "Simeulue" "Aceh Singkil" "Aceh Selatan"
## [4] "Aceh Tenggara" "Aceh Timur" "Aceh Tengah"
## [7] "Aceh Barat" "Aceh Besar" "Pidie"
## [10] "Bireuen" "Aceh Utara" "Aceh Barat Daya"
## [13] "Gayo Lues" "Aceh Tamiang" "Nagan Raya"
## [16] "Aceh Jaya" "Bener Meriah" "Pidie Jaya"
## [19] "Kota Banda Aceh" "Kota Sabang" "Kota Langsa"
## [22] "Kota Lhokseumawe" "Kota Subulussalam"
print("\nNama di shapefile:")
## [1] "\nNama di shapefile:"
print(Aceh_sf$NAME_2)
## [1] "Aceh Barat" "Aceh Barat Daya" "Aceh Besar" "Aceh Jaya"
## [5] "Aceh Selatan" "Aceh Singkil" "Aceh Tamiang" "Aceh Tengah"
## [9] "Aceh Tenggara" "Aceh Timur" "Aceh Utara" "Banda Aceh"
## [13] "Bener Meriah" "Bireuen" "Gayo Lues" "Langsa"
## [17] "Lhokseumawe" "Nagan Raya" "Pidie" "Pidie Jaya"
## [21] "Sabang" "Simeulue" "Subulussalam"
# Cek perbedaan nama
setdiff(data$`Kabupaten/Kota`, Aceh_sf$NAME_2)
## [1] "Kota Banda Aceh" "Kota Sabang" "Kota Langsa"
## [4] "Kota Lhokseumawe" "Kota Subulussalam"
# Standardisasi nama kabupaten/kota
data <- data %>%
mutate(`Kabupaten/Kota` = gsub("^Kota ", "", `Kabupaten/Kota`)) %>%
mutate(`Kabupaten/Kota` = gsub("^Kabupaten ", "", `Kabupaten/Kota`))
# Cek lagi setelah standardisasi
setdiff(data$`Kabupaten/Kota`, Aceh_sf$NAME_2)
## character(0)
# Merged data
aceh_merged <- Aceh_sf %>%
left_join(data, by = c("NAME_2" = "Kabupaten/Kota"))
aceh_merged <- aceh_merged %>%
mutate(
Stunting = as.numeric(Stunting),
Jumlah.Penduduk = as.numeric(Jumlah.Penduduk),
Kepadatan.Penduduk = as.numeric(Kepadatan.Penduduk),
APM.SMA = as.numeric(APM.SMA),
ASI.eksklusif = as.numeric(ASI.eksklusif),
Sanitasi.rumah.tangga = as.numeric(Sanitasi.rumah.tangga),
Persentase.Penduduk.Miskin = as.numeric(Persentase.Penduduk.Miskin)
)
# --------------------------- ANALISIS DESKRIPTIF ------------------------------
# Statistik deskriptif untuk semua variabel numerik
summary(data)
## Kabupaten/Kota Stunting Jumlah.Penduduk Kepadatan.Penduduk
## Length:23 Min. :15.60 Length:23 Min. : 19.0
## Class :character 1st Qu.:24.60 Class :character 1st Qu.: 58.5
## Mode :character Median :30.90 Mode :character Median : 107.0
## Mean :28.51 Mean : 361.7
## 3rd Qu.:32.70 3rd Qu.: 176.5
## Max. :36.70 Max. :4319.0
## APM.SMA ASI.eksklusif Sanitasi.rumah.tangga
## Min. :53.51 Length:23 Length:23
## 1st Qu.:70.20 Class :character Class :character
## Median :73.01 Mode :character Mode :character
## Mean :72.37
## 3rd Qu.:76.02
## Max. :83.78
## Persentase.Penduduk.Miskin
## Length:23
## Class :character
## Mode :character
##
##
##
Jumlah Kasus Stunting
Jumlah kasus stunting di Provinsi Aceh menunjukkan variasi yang cukup lebar antar wilayah. Nilai jumlah kasus stunting minimum tercatat sebesar 15,60%, sedangkan nilai maksimum mencapai 36,70%. Nilai rata-rata (mean) jumlah kasus stunting sebesar 28,51% dengan median 30,90%. Kondisi ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah kabupaten/kota memiliki jumlah kasus stunting di atas rata-rata provinsi.
Kuartil pertama (Q1) sebesar 24,60% dan kuartil ketiga (Q3) sebesar 32,70% mengindikasikan bahwa sekitar 50% wilayah di Aceh memiliki jumlah kasus stunting dalam rentang tersebut. Rentang nilai yang cukup besar antara minimum dan maksimum mencerminkan adanya perbedaan kondisi gizi anak yang signifikan antar kabupaten/kota.
Karakteristik Kependudukan
Kepadatan penduduk antar kabupaten/kota di Provinsi Aceh menunjukkan ketimpangan yang sangat tinggi. Nilai kepadatan penduduk minimum sebesar 19 jiwa/km², sementara nilai maksimum mencapai 4.319 jiwa/km², yang umumnya berasal dari wilayah perkotaan. Nilai rata-rata kepadatan penduduk sebesar 361,7 jiwa/km², dengan median 107 jiwa/km², menunjukkan distribusi yang sangat menceng ke kanan (right-skewed). Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar wilayah memiliki kepadatan penduduk relatif rendah, namun terdapat beberapa wilayah dengan kepadatan sangat tinggi yang secara signifikan menaikkan nilai rata-rata.
Tingkat Pendidikan (APM SMA)
Angka Partisipasi Murni (APM) SMA sebagai proksi tingkat pendidikan menunjukkan variasi yang lebih moderat dibandingkan variabel kependudukan. Nilai APM SMA berkisar antara 53,51% hingga 83,78%, dengan nilai rata-rata sebesar 72,37% dan median 73,01%. Nilai kuartil pertama (Q1) sebesar 70,20% dan kuartil ketiga (Q3) sebesar 76,02% menunjukkan bahwa sebagian besar kabupaten/kota di Aceh memiliki tingkat partisipasi pendidikan menengah yang relatif seragam, meskipun masih terdapat beberapa wilayah dengan capaian yang jauh lebih rendah.
Variabel Lingkungan dan Sosial Ekonomi
Variabel cakupan ASI eksklusif, akses sanitasi layak, dan persentase penduduk miskin juga menunjukkan variasi antar wilayah, meskipun secara umum distribusinya tidak se-ekstrem kepadatan penduduk. Perbedaan ini mencerminkan ketimpangan kondisi lingkungan dan sosial ekonomi antar kabupaten/kota yang berpotensi berkontribusi terhadap variasi jumlah kasus stunting di Provinsi Aceh.
# Sebarannya - Stunting
hist(data$Stunting,
col = "skyblue", border = "white",
main = "Distribusi Jumlah Kasus Stunting di Aceh",
xlab = "Jumlah Kasus Stunting (%)")
# Boxplot untuk deteksi outlier
boxplot(data$Stunting,
main = "Boxplot Jumlah Kasus Stunting",
col = "lightgreen")
Histogram di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar kabupaten/kota memiliki jumlah kasus stunting pada kisaran 25–35%, dengan konsentrasi tertinggi berada di sekitar nilai rata-rata provinsi. Namun, masih terdapat beberapa wilayah dengan jumlah kasus yang jauh lebih rendah maupun lebih tinggi dibandingkan nilai tengah, yang menunjukkan heterogenitas kondisi gizi balita di Aceh.
Selanjutnya, boxplot digunakan untuk mengidentifikasi sebaran data dan potensi nilai ekstrem. Boxplot memperlihatkan bahwa sebagian besar data berada dalam rentang interkuartil yang cukup lebar, menandakan variasi jumlah kasus stunting yang nyata antarwilayah. Tidak terlihat outlier ekstrem yang sangat menyimpang, namun whisker bawah yang cukup panjang mengindikasikan adanya beberapa kabupaten/kota dengan jumlah kasus stunting yang jauh lebih rendah dibandingkan wilayah lainnya.
Selain itu, peta sebaran jumlah kasus stunting di Provinsi Aceh menyajikan gambaran visual mengenai distribusi spasial masalah gizi kronis pada tingkat kabupaten/kota. Peta tematik tersebut memperlihatkan adanya variasi jumlah kasus stunting yang cukup jelas antarwilayah, di mana beberapa kabupaten/kota menunjukkan jumlah kasus yang relatif tinggi, sementara wilayah lainnya berada pada tingkat yang lebih rendah.
ggplot(aceh_merged) +
geom_sf(aes(fill = Stunting)) +
scale_fill_viridis_c(option = "C", direction = -1) +
labs(title = "Sebaran Jumlah Kasus Stunting di Aceh",
fill = "Stunting (%)") +
theme_minimal()
Wilayah dengan jumlah kasus stunting tinggi ditandai dengan warna yang lebih gelap pada peta, yang mengindikasikan proporsi balita stunting yang lebih besar dibandingkan rata-rata provinsi. Sebaliknya, wilayah dengan warna lebih terang merepresentasikan kabupaten/kota dengan jumlah kasus stunting yang relatif lebih rendah. Pola visual ini menunjukkan bahwa permasalahan stunting di Aceh tidak tersebar secara merata, melainkan cenderung terakumulasi pada wilayah-wilayah tertentu.
Perbedaan tingkat jumlah kasus antar kabupaten/kota tersebut mengindikasikan adanya pengaruh faktor lingkungan dan sosial ekonomi yang bervariasi secara geografis. Kondisi ini memberikan indikasi awal mengenai potensi terbentuknya pengelompokan wilayah (cluster) jumlah kasus stunting, yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan hanya melalui statistik deskriptif non-spasial.
Oleh karena itu, analisis spasial diperlukan untuk menilai apakah pola sebaran jumlah kasus stunting tersebut bersifat acak atau menunjukkan adanya autokorelasi spasial yang signifikan antarwilayah. Analisis ini menjadi langkah lanjutan yang penting untuk mengidentifikasi wilayah dengan risiko stunting tinggi (hot spot) dan rendah (cold spot) secara lebih objektif, yang selanjutnya dibahas pada subbab berikutnya.
Analisis autokorelasi spasial global dilakukan untuk menilai apakah distribusi jumlah kasus stunting antar kabupaten/kota di Provinsi Aceh menunjukkan pola spasial tertentu atau tersebar secara acak. Pada tahap ini digunakan dua ukuran autokorelasi spasial global, yaitu Moran’s I dan Geary’s C, dengan matriks bobot spasial berbasis ketetanggaan wilayah (queen contiguity).
# ------------------------- PLOT JARINGAN TETANGGA -----------------------------
# Ubah ke format Spatial untuk fungsi spdep
aceh_sp <- as_Spatial(aceh_merged)
row.names(aceh_sp) <- aceh_sp$NAME_2
# Ambil koordinat centroid
CoordA <- coordinates(aceh_sp)
# Bangun ketetanggaan kNN
W <- knn2nb(knearneigh(CoordA, k = 4))
# Listw (tetap pakai nama WL)
WL <- nb2listw(W, style = "W", zero.policy = TRUE)
# Cek (HARUS tidak ada wilayah tanpa tetangga)
which(card(W) == 0)
## integer(0)
plot(aceh_sp, axes = TRUE, col = "gray90",
main = "Jaringan Ketetanggaan k-Nearest Neighbors (k = 4)")
text(CoordA[,1], CoordA[,2],
labels = row.names(aceh_sp),
col = "black", cex = 0.6, pos = 1.5)
points(CoordA[,1], CoordA[,2], pch = 19, cex = 0.7, col = "blue")
plot.nb(W, CoordA, add = TRUE, col = "red", lwd = 1.5)
# -----------Moran's I-----------
Global_Moran <- moran.test(
aceh_merged$Stunting,
WL,
zero.policy = TRUE
)
Global_Moran
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: aceh_merged$Stunting
## weights: WL
##
## Moran I statistic standard deviate = -0.0324, p-value = 0.5129
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## -0.04941800 -0.04545455 0.01496445
# -----------Geary's C-----------
Global_Geary <- geary.test(
aceh_merged$Stunting,
WL,
zero.policy = TRUE
)
Global_Geary
##
## Geary C test under randomisation
##
## data: aceh_merged$Stunting
## weights: WL
##
## Geary C statistic standard deviate = 0.21287, p-value = 0.4157
## alternative hypothesis: Expectation greater than statistic
## sample estimates:
## Geary C statistic Expectation Variance
## 0.9723082 1.0000000 0.0169223
Hasil uji Moran’s I menunjukkan nilai statistik sebesar −0,0494 dengan nilai harapan sebesar −0,0455 dan nilai p-value sebesar 0,5129. Nilai p-value yang lebih besar dari tingkat signifikansi 5% (α = 0,05) mengindikasikan bahwa tidak terdapat autokorelasi spasial global yang signifikan pada jumlah kasus stunting di Provinsi Aceh. Dengan demikian, hipotesis nol yang menyatakan bahwa distribusi jumlah kasus stunting bersifat acak secara spasial tidak dapat ditolak.
Hasil ini diperkuat oleh uji Geary’s C, yang menghasilkan nilai statistik sebesar 0,9723 dengan nilai harapan sebesar 1,0000 dan p-value sebesar 0,4157. Nilai Geary’s C yang mendekati satu serta p-value yang tidak signifikan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan lokal yang kuat antarwilayah bertetangga dalam hal jumlah kasus stunting pada skala global.
Secara keseluruhan, kedua uji autokorelasi spasial global tersebut memberikan kesimpulan yang konsisten, yaitu tidak ditemukannya pola pengelompokan spasial global yang signifikan pada jumlah kasus stunting antar kabupaten/kota di Provinsi Aceh tahun 2024. Artinya, wilayah dengan jumlah kasus stunting tinggi tidak secara sistematis dikelilingi oleh wilayah dengan jumlah kasus tinggi lainnya, begitu pula sebaliknya.
Meskipun demikian, hasil autokorelasi spasial global yang tidak signifikan tidak menutup kemungkinan adanya variasi atau klaster lokal pada skala yang lebih kecil. Oleh karena itu, analisis dilanjutkan dengan autokorelasi spasial lokal (Local Indicators of Spatial Association / LISA) untuk mengidentifikasi pola pengelompokan lokal (hot spot dan cold spot) yang mungkin tidak terdeteksi pada analisis global.
Analisis autokorelasi spasial lokal menggunakan Local Indicators of Spatial Association (LISA) dilakukan untuk mengidentifikasi adanya pola pengelompokan jumlah kasus stunting pada tingkat wilayah yang lebih kecil (kabupaten/kota), yang mungkin tidak terdeteksi melalui analisis autokorelasi spasial global. LISA memungkinkan identifikasi klaster lokal berupa wilayah dengan nilai jumlah kasus yang serupa maupun wilayah yang bersifat menyimpang terhadap lingkungan sekitarnya.
# -----------LISA (Local Moran's I)---------------
Local_Moran <- localmoran(aceh_merged$Stunting, WL, zero.policy = TRUE)
colnames(Local_Moran) <- c("Ii", "E.Ii", "Var.Ii", "Z.Ii", "P.value")
aceh_merged$Ii <- Local_Moran[, "Ii"]
aceh_merged$Z.Ii <- Local_Moran[, "Z.Ii"]
aceh_merged$P.value <- Local_Moran[, "P.value"]
# Klasifikasi Klaster LISA
mean_var <- mean(aceh_merged$Stunting, na.rm = TRUE)
mean_lag <- lag.listw(WL, aceh_merged$Stunting)
aceh_merged$cluster <- NA
aceh_merged$cluster[aceh_merged$Stunting >= mean_var & mean_lag <= mean(mean_lag)] <- "High-Low"
aceh_merged$cluster[aceh_merged$Stunting <= mean_var & mean_lag >= mean(mean_lag)] <- "Low-High"
aceh_merged$cluster[aceh_merged$P.value > 0.05] <- "Non-signifikan"
# Visualisasi LISA
ggplot(aceh_merged) +
geom_sf(aes(fill = cluster)) +
scale_fill_manual(values = c(
"High-High" = "red",
"Low-Low" = "blue",
"High-Low" = "orange",
"Low-High" = "green",
"Non-signifikan" = "grey80"
)) +
labs(
title = "Peta Klaster Autokorelasi Lokal (LISA) - Stunting",
subtitle = "Variabel: Jumlah Kasus Stunting di Aceh",
fill = "Tipe Klaster"
) +
theme_minimal()
Berdasarkan hasil analisis LISA terhadap jumlah kasus stunting di Provinsi Aceh, sebagian besar kabupaten/kota berada dalam kategori non-signifikan, yang ditunjukkan oleh warna abu-abu pada peta. Temuan ini konsisten dengan hasil uji autokorelasi spasial global (Moran’s I dan Geary’s C) yang menunjukkan tidak adanya pola pengelompokan spasial secara menyeluruh di tingkat provinsi.
Namun demikian, peta LISA mengidentifikasi adanya satu wilayah yang termasuk dalam klaster Low–High, yaitu Kabupaten Simeulue. Klaster ini menggambarkan wilayah dengan jumlah kasus stunting relatif lebih rendah dibandingkan rata-rata provinsi, tetapi dikelilingi oleh wilayah-wilayah tetangga dengan jumlah kasus yang lebih tinggi.
Keberadaan Kabupaten Simeulue sebagai klaster Low–High mengindikasikan adanya ketidakhomogenan kondisi stunting pada skala lokal, di mana capaian gizi anak di wilayah tersebut relatif lebih baik dibandingkan kabupaten/kota sekitarnya. Kondisi ini berpotensi dipengaruhi oleh faktor-faktor protektif lokal, seperti pola intervensi gizi, karakteristik sosial ekonomi, atau akses layanan kesehatan yang relatif lebih baik dibandingkan wilayah lain di sekitarnya.
Tidak ditemukannya klaster High–High (hot spot) maupun Low–Low (cold spot) menunjukkan bahwa jumlah kasus stunting di Provinsi Aceh belum membentuk konsentrasi spasial lokal yang kuat, melainkan tersebar secara heterogen antar wilayah. Dengan demikian, permasalahan stunting di Aceh bersifat lintas wilayah dan tidak terlokalisasi secara spasial pada satu kawasan tertentu.
Analisis Getis–Ord Gi* dilakukan untuk mengidentifikasi wilayah yang membentuk hot spot (konsentrasi nilai tinggi) dan cold spot (konsentrasi nilai rendah) jumlah kasus stunting secara lokal, berdasarkan nilai z-score statistik Gi*. Berbeda dengan LISA yang mengklasifikasikan hubungan nilai suatu wilayah dengan nilai wilayah sekitarnya, metode Getis–Ord Gi* secara spesifik menyoroti konsentrasi spasial nilai ekstrem pada suatu kawasan.
# -----------Getis-Ord General G-----------
Global_Getis <- globalG.test(
aceh_merged$Stunting,
WL,
zero.policy = TRUE
)
## Warning in globalG.test(aceh_merged$Stunting, WL, zero.policy = TRUE): Binary
## weights recommended (especially for distance bands)
Global_Getis
##
## Getis-Ord global G statistic
##
## data: aceh_merged$Stunting
## weights: WL
##
## standard deviate = 0.62971, p-value = 0.2644
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Global G statistic Expectation Variance
## 4.603740e-02 4.545455e-02 8.567221e-07
# Persiapan untuk Getis-Ord lokal
row.names(aceh_sp) <- aceh_sp$NAME_2
aceh_merged <- aceh_merged[match(row.names(aceh_sp), aceh_merged$NAME_2), ]
lwB <- nb2listw(W, style = "B", zero.policy = TRUE)
lwW <- nb2listw(W, style = "W", zero.policy = TRUE)
Wb_mat <- listw2mat(lwB)
x_raw <- aceh_merged$Stunting
na_idx <- is.na(x_raw)
if(any(na_idx)) {
message(sum(na_idx), " observasi memiliki NA pada variabel Stunting")
}
x_for_calc <- x_raw
x_for_calc[is.na(x_for_calc)] <- 0
sum_x <- sum(x_for_calc)
num_G <- as.numeric(Wb_mat %*% x_for_calc)
den_G <- (sum_x - x_for_calc)
G_raw <- num_G / den_G
Wb_star <- Wb_mat
diag(Wb_star) <- 1
num_Gs <- as.numeric(Wb_star %*% x_for_calc)
den_Gs <- sum_x
G_star_raw <- num_Gs / den_Gs
Gz <- as.numeric(spdep::localG(x_for_calc, listw = lwW, zero.policy = TRUE))
aceh_G <- dplyr::mutate(
aceh_merged,
G_raw = G_raw,
G_star_raw = G_star_raw,
z_Gistar = Gz,
hotcold = dplyr::case_when(
z_Gistar >= 1.96 ~ "Hot spot (p<=0.05)",
z_Gistar <= -1.96 ~ "Cold spot (p<=0.05)",
TRUE ~ "Not significant"
)
)
# Cek ringkasan
summary(dplyr::select(aceh_G, G_raw, G_star_raw, z_Gistar))
## G_raw G_star_raw z_Gistar geometry
## Min. :0.1534 Min. :0.1822 Min. :-1.6871 MULTIPOLYGON :23
## 1st Qu.:0.1748 1st Qu.:0.2007 1st Qu.:-0.4167 epsg:NA : 0
## Median :0.1853 Median :0.2226 Median : 0.2043 +proj=long...: 0
## Mean :0.1842 Mean :0.2196 Mean : 0.1309
## 3rd Qu.:0.1956 3rd Qu.:0.2325 3rd Qu.: 0.7932
## Max. :0.2170 Max. :0.2475 Max. : 2.0452
table(aceh_G$hotcold, useNA = "ifany")
##
## Hot spot (p<=0.05) Not significant
## 1 22
# Peta Getis-Ord
library(viridis)
## Warning: package 'viridis' was built under R version 4.5.1
## Loading required package: viridisLite
p1 <- ggplot(aceh_G) +
geom_sf(aes(fill = G_star_raw), color = "white", size = 0.2) +
scale_fill_viridis_c(option = "C", na.value = "grey90") +
labs(title = "Raw Getis–Ord G* (proporsi massa tetangga)",
subtitle = "Variabel: Stunting",
fill = "G*_raw") +
theme_minimal()
aceh_G$hotcold <- factor(aceh_G$hotcold,
levels = c("Hot spot (p<=0.05)", "Cold spot (p<=0.05)", "Not significant"))
p2 <- ggplot(aceh_G) +
geom_sf(aes(fill = hotcold), color = "white", size = 0.2) +
scale_fill_manual(values = c("Hot spot (p<=0.05)" = "#b2182b",
"Cold spot (p<=0.05)" = "#2166ac",
"Not significant" = "grey85"),
na.value = "grey90") +
labs(title = "Getis–Ord Gi* — Hot/Cold Spots Stunting",
subtitle = "z(G*_i) berdasarkan localG (alpha = 0.05)",
fill = NULL) +
theme_minimal()
print(p1)
print(p2)
Berdasarkan hasil analisis Getis–Ord Gi* terhadap jumlah kasus stunting di Provinsi Aceh dengan tingkat signifikansi α = 0,05, hanya satu wilayah yang teridentifikasi sebagai hot spot, yaitu Kabupaten Simeulue. Wilayah ini ditunjukkan dengan warna merah pada peta, yang mengindikasikan bahwa Kabupaten Simeulue memiliki nilai jumlah kasus stunting yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan wilayah-wilayah tetangganya, serta membentuk konsentrasi lokal yang bermakna secara statistik.
Sebaliknya, sebagian besar kabupaten/kota lainnya berada dalam kategori tidak signifikan, yang menunjukkan tidak adanya pengelompokan spasial yang kuat pada wilayah tersebut. Selain itu, tidak ditemukan cold spot yang signifikan, sehingga tidak terdapat kawasan dengan jumlah kasus stunting rendah yang terkonsentrasi secara spasial di Provinsi Aceh.
Temuan hot spot di Kabupaten Simeulue sejalan dengan hasil analisis LISA yang sebelumnya mengidentifikasi wilayah ini sebagai spatial outlier. Secara geografis, Kabupaten Simeulue merupakan wilayah kepulauan yang terpisah dari daratan utama Aceh, sehingga memiliki struktur ketetanggaan spasial yang terbatas. Kondisi ini dapat memperkuat nilai statistik Gi*, terutama apabila wilayah tersebut memiliki jumlah kasus stunting yang relatif tinggi dibandingkan wilayah referensinya.
Secara epidemiologis, keberadaan Kabupaten Simeulue sebagai hot spot menunjukkan bahwa permasalahan stunting di Aceh tidak sepenuhnya tersebar merata, melainkan terdapat wilayah tertentu yang memerlukan perhatian dan intervensi prioritas. Namun demikian, karena hasil autokorelasi spasial global tidak signifikan, temuan hot spot ini perlu ditafsirkan sebagai fenomena lokal, bukan sebagai pola umum pada tingkat provinsi.
Dengan demikian, analisis Getis–Ord Gi* memberikan informasi pelengkap yang penting dalam memahami dinamika spasial stunting di Provinsi Aceh.
Ukuran epidemiologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah prevalensi stunting, yang menggambarkan proporsi balita yang mengalami stunting terhadap total balita pada suatu wilayah dan periode tertentu. Prevalensi dihitung pada tingkat provinsi sebagai gambaran umum besaran masalah gizi kronis di Provinsi Aceh tahun pengamatan.
# Prevalensi rata-rata Provinsi Aceh (%)
prevalensi_aceh <- mean(aceh_merged$Stunting, na.rm = TRUE)
prevalensi_aceh
## [1] 28.51304
# ---------------------------- KLASIFIKASI PREVALENSI ----------------------------
breaks_prev <- c(0, 20, 30, 40, Inf)
labels_prev <- c("<20% (Rendah)",
"20–29% (Sedang)",
"30–39% (Tinggi)",
"≥40% (Sangat Tinggi)")
aceh_merged$Kategori_Prev <- cut(
aceh_merged$Stunting,
breaks = breaks_prev,
labels = labels_prev,
right = FALSE,
include.lowest = TRUE
)
library(ggplot2)
library(viridis)
ggplot(aceh_merged) +
geom_sf(aes(fill = Kategori_Prev), color = "white", size = 0.25) +
scale_fill_manual(
values = c("<20% (Rendah)" = "#ffffb2",
"20–29% (Sedang)" = "#fecc5c",
"30–39% (Tinggi)" = "#fd8d3c",
"≥40% (Sangat Tinggi)" = "#e31a1c"),
drop = FALSE
) +
labs(
title = "Sebaran Prevalensi Stunting di Provinsi Aceh",
subtitle = paste0("Rata-rata provinsi: ",
round(prevalensi_aceh, 2), "%"),
fill = "Kategori Prevalensi"
) +
theme_minimal() +
theme(
axis.text = element_blank(),
axis.ticks = element_blank(),
panel.grid = element_blank(),
plot.title = element_text(size = 14, face = "bold", hjust = 0.5),
plot.subtitle = element_text(hjust = 0.5)
)
Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai prevalensi stunting Provinsi Aceh sebesar: 28,51 %.
Nilai tersebut menunjukkan bahwa sekitar 28 hingga 29 dari setiap 100 balita di Provinsi Aceh mengalami stunting. Secara epidemiologis, angka ini tergolong tinggi dan masih berada di atas ambang batas yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO), yang menyatakan bahwa prevalensi stunting ≥20% merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius.
Peta sebaran prevalensi stunting memperlihatkan bahwa sebagian besar kabupaten/kota di Aceh berada pada kategori prevalensi sedang (20–29%) hingga tinggi (30–39%), dengan hanya sedikit wilayah yang berada pada kategori rendah (<20%). Kondisi ini mengindikasikan bahwa stunting bukan merupakan masalah yang terlokalisasi pada satu wilayah tertentu, melainkan permasalahan gizi kronis yang bersifat luas dan sistemik di tingkat provinsi.
Dari sudut pandang epidemiologi gizi, prevalensi yang relatif tinggi ini mencerminkan adanya paparan faktor risiko yang berlangsung lama, seperti kekurangan asupan gizi, infeksi berulang, serta kondisi lingkungan dan sosial ekonomi yang kurang mendukung. Temuan ini sejalan dengan kerangka Agent–Host–Environment (AHE) yang telah dibahas sebelumnya, di mana ketidakseimbangan antar ketiga komponen tersebut berkontribusi terhadap terhambatnya pertumbuhan linear anak.
Dengan demikian, nilai prevalensi stunting sebesar 28,51% menegaskan bahwa stunting di Provinsi Aceh masih merupakan masalah kesehatan masyarakat prioritas yang memerlukan intervensi berkelanjutan dan berbasis wilayah. Hasil ukuran epidemiologi ini juga menjadi dasar penting dalam menginterpretasikan temuan analisis spasial dan pemodelan pada subbab sebelumnya, khususnya dalam mengidentifikasi wilayah-wilayah yang memerlukan perhatian lebih lanjut dalam upaya penurunan stunting.
library(dplyr)
# Tabel prevalensi per kabupaten/kota
tabel_prevalensi <- aceh_merged %>%
st_drop_geometry() %>% # buang geometri supaya jadi data frame
select(`Kabupaten/Kota` = NAME_2,
Prevalensi_Stunting = Stunting,
Kategori_Prev) %>%
arrange(desc(Prevalensi_Stunting))
# Lihat tabel
tabel_prevalensi
## Kabupaten/Kota Prevalensi_Stunting Kategori_Prev
## 1 Aceh Timur 36.7 30–39% (Tinggi)
## 2 Aceh Barat Daya 36.2 30–39% (Tinggi)
## 3 Nagan Raya 35.5 30–39% (Tinggi)
## 4 Aceh Selatan 34.2 30–39% (Tinggi)
## 5 Aceh Singkil 34.2 30–39% (Tinggi)
## 6 Bener Meriah 32.8 30–39% (Tinggi)
## 7 Pidie 32.6 30–39% (Tinggi)
## 8 Aceh Besar 32.3 30–39% (Tinggi)
## 9 Pidie Jaya 31.6 30–39% (Tinggi)
## 10 Aceh Tengah 31.4 30–39% (Tinggi)
## 11 Aceh Jaya 31.0 30–39% (Tinggi)
## 12 Aceh Tenggara 30.9 30–39% (Tinggi)
## 13 Subulussalam 27.5 20–29% (Sedang)
## 14 Aceh Tamiang 27.4 20–29% (Sedang)
## 15 Bireuen 27.1 20–29% (Sedang)
## 16 Aceh Barat 25.6 20–29% (Sedang)
## 17 Simeulue 25.5 20–29% (Sedang)
## 18 Banda Aceh 23.7 20–29% (Sedang)
## 19 Sabang 23.4 20–29% (Sedang)
## 20 Lhokseumawe 20.8 20–29% (Sedang)
## 21 Gayo Lues 20.6 20–29% (Sedang)
## 22 Aceh Utara 19.2 <20% (Rendah)
## 23 Langsa 15.6 <20% (Rendah)
Tabel prevalensi stunting per kabupaten/kota menunjukkan adanya variasi yang cukup lebar antarwilayah, dengan nilai prevalensi berkisar antara 15,6% hingga 36,7%.
Kabupaten dengan prevalensi stunting tertinggi adalah:
Aceh Timur (36,7%)
Aceh Barat Daya (36,2%)
Nagan Raya (35,5%)
Aceh Selatan dan Aceh Singkil (masing-masing 34,2%)
Wilayah-wilayah tersebut berada pada kategori prevalensi tinggi (30–39%), yang mengindikasikan tingginya beban stunting dan perlunya perhatian khusus dalam intervensi gizi dan kesehatan masyarakat.
Sementara itu, kabupaten/kota dengan prevalensi relatif rendah antara lain:
Langsa (15,6%)
Aceh Utara (19,2%)
Gayo Lues (20,6%)
Kota-kota besar seperti Banda Aceh (23,7%), Sabang (23,4%), dan Lhokseumawe (20,8%) cenderung memiliki prevalensi lebih rendah dibandingkan kabupaten lain, yang dapat dikaitkan dengan akses layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur yang relatif lebih baik.
Secara umum, wilayah dengan prevalensi stunting tinggi didominasi oleh kabupaten non-perkotaan, yang umumnya memiliki tantangan lebih besar dalam hal kondisi sosial ekonomi, akses sanitasi, serta pemerataan layanan kesehatan dan intervensi gizi. Sebaliknya, wilayah perkotaan menunjukkan prevalensi yang lebih rendah dan relatif homogen.
Perbedaan prevalensi antar kabupaten/kota ini menegaskan bahwa stunting di Provinsi Aceh tidak terdistribusi secara merata, melainkan menunjukkan variasi spasial yang signifikan secara epidemiologis. Temuan ini menjadi dasar penting untuk melanjutkan analisis pada subbab analisis spasial, guna mengidentifikasi apakah variasi tersebut membentuk pola pengelompokan wilayah (cluster) dan bagaimana keterkaitannya dengan faktor lingkungan dan sosial ekonomi.
Pemodelan awal dilakukan menggunakan regresi linear berganda (Ordinary Least Squares/OLS) untuk menganalisis hubungan antara jumlah kasus stunting (diwakili oleh prevalensi stunting) dengan faktor sosial ekonomi dan lingkungan pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Aceh
# ---------------------------------- MODEL OLS ---------------------------------
ols_model <- lm(Stunting ~
Kepadatan.Penduduk +
APM.SMA +
ASI.eksklusif +
Sanitasi.rumah.tangga +
Persentase.Penduduk.Miskin,
data = aceh_merged
)
summary(ols_model)
##
## Call:
## lm(formula = Stunting ~ Kepadatan.Penduduk + APM.SMA + ASI.eksklusif +
## Sanitasi.rumah.tangga + Persentase.Penduduk.Miskin, data = aceh_merged)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -10.8002 -2.5770 0.5542 2.6047 6.8107
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
## (Intercept) 1.003e+02 3.754e+01 2.673 0.016 *
## Kepadatan.Penduduk -1.657e-03 1.352e-03 -1.226 0.237
## APM.SMA -2.972e-01 2.009e-01 -1.480 0.157
## ASI.eksklusif -4.010e-01 4.311e-01 -0.930 0.365
## Sanitasi.rumah.tangga -1.326e-01 9.692e-02 -1.368 0.189
## Persentase.Penduduk.Miskin -9.010e-05 5.533e-05 -1.628 0.122
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## Residual standard error: 5.085 on 17 degrees of freedom
## Multiple R-squared: 0.4257, Adjusted R-squared: 0.2567
## F-statistic: 2.52 on 5 and 17 DF, p-value: 0.06991
Hasil Estimasi Model
Hasil estimasi model regresi linear menunjukkan bahwa seluruh variabel independen yang digunakan, yaitu kepadatan penduduk, Angka Partisipasi Murni SMA (APM SMA), cakupan ASI eksklusif, akses sanitasi layak, dan persentase penduduk miskin, memiliki koefisien bernilai negatif. Secara substantif, arah hubungan ini mengindikasikan bahwa perbaikan kondisi pendidikan, kesehatan ibu dan anak, serta lingkungan dan sosial ekonomi cenderung berkaitan dengan penurunan prevalensi stunting pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
Meskipun demikian, secara parsial tidak terdapat variabel independen yang signifikan pada tingkat signifikansi 5%, sedangkan konstanta model signifikan secara statistik. Ketidaksignifikanan parsial ini menunjukkan bahwa pengaruh masing-masing variabel belum cukup kuat apabila diuji secara individual, yang dapat dipengaruhi oleh keterbatasan jumlah unit analisis dan tingginya heterogenitas karakteristik antar wilayah.
Nilai Adjusted R-squared sebesar 0,2567 menunjukkan bahwa sekitar 25,67% variasi prevalensi stunting antar kabupaten/kota dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model. Sementara itu, sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak tercakup dalam data sekunder, seperti kualitas pola asuh, kecukupan dan keragaman MP-ASI, status kesehatan ibu selama kehamilan, serta faktor sosial budaya yang bervariasi antar wilayah.
Uji simultan (F-test) menghasilkan p-value sebesar 0,0699, yang mengindikasikan bahwa secara bersama-sama variabel independen dalam model signifikan pada tingkat signifikansi 10%. Hasil ini menunjukkan adanya hubungan kolektif yang cukup berarti antara faktor lingkungan, pendidikan, kesehatan, dan sosial ekonomi dengan prevalensi stunting, meskipun hubungan tersebut belum sepenuhnya kuat pada taraf signifikansi 5%.
Kondisi ini dinilai wajar mengingat ukuran sampel yang relatif kecil (23 kabupaten/kota) serta sifat data yang bersifat agregat wilayah (ecological data). Oleh karena itu, hasil pemodelan ini lebih tepat dipahami sebagai pendekatan eksplorasi struktural hubungan spasial dan kontekstual, bukan sebagai bukti kausal individual. Temuan ini tetap memberikan dasar empiris yang penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor prioritas dalam perencanaan intervensi penurunan stunting berbasis wilayah di Provinsi Aceh.
# Uji Multikolinearitas
library(car)
## Warning: package 'car' was built under R version 4.5.1
## Loading required package: carData
## Warning: package 'carData' was built under R version 4.5.1
##
## Attaching package: 'car'
## The following object is masked from 'package:dplyr':
##
## recode
vif(ols_model)
## Kepadatan.Penduduk APM.SMA
## 1.255986 1.482071
## ASI.eksklusif Sanitasi.rumah.tangga
## 1.583769 1.357504
## Persentase.Penduduk.Miskin
## 1.100098
# Uji Normalitas Residual
shapiro.test(residuals(ols_model))
##
## Shapiro-Wilk normality test
##
## data: residuals(ols_model)
## W = 0.96016, p-value = 0.4667
# Uji Homoskedastisitas
library(lmtest)
## Loading required package: zoo
##
## Attaching package: 'zoo'
## The following objects are masked from 'package:base':
##
## as.Date, as.Date.numeric
bptest(ols_model)
##
## studentized Breusch-Pagan test
##
## data: ols_model
## BP = 1.7738, df = 5, p-value = 0.8795
# Uji Linearitas
resettest(ols_model)
##
## RESET test
##
## data: ols_model
## RESET = 1.0009, df1 = 2, df2 = 15, p-value = 0.3908
# Uji Autokorelasi Spasial Residual
aceh_merged$residual_ols <- residuals(ols_model)
moran_res <- moran.test(
aceh_merged$residual_ols,
WL,
zero.policy = TRUE
)
moran_res
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: aceh_merged$residual_ols
## weights: WL
##
## Moran I statistic standard deviate = 1.2052, p-value = 0.1141
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## 0.09964983 -0.04545455 0.01449515
Untuk memastikan validitas dan kelayakan model regresi linear (OLS), dilakukan serangkaian uji asumsi klasik yang meliputi uji multikolinearitas, normalitas residual, homoskedastisitas, dan linearitas model.
a. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas dilakukan menggunakan Variance Inflation Factor (VIF). Hasil pengujian menunjukkan bahwa seluruh variabel independen memiliki nilai VIF yang relatif rendah, dengan nilai tertinggi sebesar 1,583 pada variabel cakupan ASI eksklusif. Seluruh nilai VIF berada di bawah batas 5, bahkan < 2, sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat masalah multikolinearitas antar variabel independen dalam model.
b. Uji Normalitas Residual
Uji normalitas residual dilakukan menggunakan Shapiro–Wilk test. Hasil pengujian menghasilkan nilai statistik W = 0,960 dengan p-value = 0,4667. Karena p-value lebih besar dari 0,05, maka residual model dapat dianggap berdistribusi normal, sehingga asumsi normalitas residual terpenuhi.
c. Uji Homoskedastisitas
Uji homoskedastisitas dilakukan menggunakan studentized Breusch–Pagan test. Hasil uji menunjukkan nilai p-value = 0,8795, yang mengindikasikan bahwa tidak terdapat heteroskedastisitas pada residual model. Dengan demikian, varians residual dapat dianggap konstan pada seluruh rentang nilai prediktor.
d. Uji Linearitas Model
Uji linearitas dilakukan menggunakan RESET test. Hasil pengujian menghasilkan nilai p-value = 0,3908, yang menunjukkan bahwa tidak terdapat kesalahan spesifikasi model. Dengan demikian, bentuk hubungan linear antara variabel independen dan variabel dependen sudah memadai.
Kesimpulan Uji Asumsi OLS
Berdasarkan seluruh uji asumsi klasik yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa model OLS telah memenuhi asumsi dasar regresi linear, sehingga layak digunakan sebagai model dasar (baseline model) dalam analisis sebelum mempertimbangkan pemodelan spasial lanjutan.
Meskipun analisis spasial sebelumnya menunjukkan pola pengelompokan wilayah tertentu, keberadaan ketergantungan spasial dalam pemodelan perlu diuji secara eksplisit melalui uji Moran’s I terhadap residual model OLS.
Hasil uji Moran’s I terhadap residual model OLS menunjukkan nilai Moran’s I sebesar 0,0996 dengan p-value = 0,1141. Nilai p-value yang lebih besar dari 0,05 menunjukkan bahwa tidak terdapat autokorelasi spasial yang signifikan pada residual model.
Temuan ini mengindikasikan bahwa setelah memasukkan variabel kepadatan penduduk, tingkat pendidikan (APM SMA), cakupan ASI eksklusif, akses sanitasi layak, dan persentase penduduk miskin ke dalam model, pola ketergantungan spasial antar wilayah tidak lagi tersisa secara signifikan. Dengan demikian, model OLS telah mampu menangkap sebagian besar variasi spasial yang terdapat dalam data prevalensi stunting di Provinsi Aceh.
Berdasarkan hasil estimasi regresi linear berganda (OLS), model prevalensi stunting di Provinsi Aceh dapat dituliskan secara matematis sebagai berikut:
\[ \hat{Stunting}_i= 100.3 - 0.00166\,(\text{Kepadatan Penduduk}_i) - 0.297\,(\text{APM SMA}_i) - 0.401\,(\text{ASI Eksklusif}_i) - 0.133\,(\text{Sanitasi Layak}_i) - 0.00009\,(\text{Penduduk Miskin}_i) \]
Interpretasi berikut dilakukan secara parsial (ceteris paribus), yaitu dengan mengasumsikan variabel lain dalam model bernilai konstan.
Kepadatan Penduduk
Koefisien kepadatan penduduk bernilai −0,00166, yang menunjukkan bahwa peningkatan kepadatan penduduk sebesar 1 jiwa/km² berkaitan dengan penurunan prevalensi stunting sebesar 0,00166 poin persentase, dengan asumsi variabel lain konstan. Arah hubungan negatif ini mengindikasikan bahwa wilayah dengan kepadatan lebih tinggi cenderung memiliki prevalensi stunting yang lebih rendah, yang secara substantif dapat berkaitan dengan akses layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur yang relatif lebih baik di wilayah padat. Namun, hubungan ini tidak signifikan secara statistik, sehingga temuan perlu ditafsirkan secara hati-hati.
Angka Partisipasi Murni SMA (APM SMA)
Koefisien APM SMA sebesar −0,297 menunjukkan bahwa peningkatan APM SMA sebesar 1 poin persentase berkaitan dengan penurunan prevalensi stunting sebesar 0,297 poin persentase, dengan asumsi variabel lain tetap. Arah negatif ini konsisten dengan teori epidemiologi gizi, di mana tingkat pendidikan yang lebih baik berkaitan dengan pengetahuan gizi, pola asuh, dan pemanfaatan layanan kesehatan yang lebih optimal. Namun demikian, pengaruh ini belum signifikan secara statistik pada taraf 5%.
Cakupan ASI Eksklusif
Koefisien cakupan ASI eksklusif sebesar −0,401 menunjukkan bahwa peningkatan cakupan ASI eksklusif sebesar 1 poin persentase berkaitan dengan penurunan prevalensi stunting sebesar 0,401 poin persentase, dengan asumsi variabel lain konstan. Temuan ini sejalan dengan bukti epidemiologis bahwa ASI eksklusif berperan sebagai faktor protektif terhadap stunting, baik melalui pemenuhan gizi optimal maupun perlindungan terhadap infeksi. Meskipun demikian, hubungan ini juga belum signifikan secara statistik, yang kemungkinan dipengaruhi oleh ukuran sampel wilayah yang terbatas.
Akses Sanitasi Layak
Koefisien akses sanitasi layak bernilai −0,133, yang berarti bahwa peningkatan proporsi rumah tangga dengan sanitasi layak sebesar 1 poin persentase berkaitan dengan penurunan prevalensi stunting sebesar 0,133 poin persentase, dengan asumsi faktor lain konstan. Arah hubungan ini mencerminkan peran sanitasi sebagai faktor lingkungan yang mengurangi paparan patogen enterik dan infeksi berulang. Namun, efek ini belum signifikan secara statistik pada tingkat signifikansi 5%.
Persentase Penduduk Miskin
Koefisien persentase penduduk miskin sebesar −0,00009 menunjukkan hubungan negatif yang sangat kecil antara kemiskinan dan prevalensi stunting dalam model ini. Arah hubungan ini tidak sesuai dengan ekspektasi teoritis, yang umumnya menunjukkan hubungan positif antara kemiskinan dan stunting. Hal ini mengindikasikan bahwa pada tingkat agregat wilayah, pengaruh kemiskinan kemungkinan dimediasi atau tertutupi oleh variabel lain, atau tidak tertangkap secara optimal oleh model OLS. Selain itu, variabel ini juga tidak signifikan secara statistik.
Berdasarkan hasil analisis epidemiologi deskriptif, spasial, dan pemodelan yang telah dilakukan terhadap data stunting di Provinsi Aceh tahun pengamatan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Distribusi prevalensi stunting antar kabupaten/kota di Provinsi
Aceh menunjukkan variasi yang cukup besar.
Nilai prevalensi stunting berkisar antara 15,6% hingga 36,7%, dengan
rata-rata provinsi sebesar 28,51%. Sebagian besar wilayah berada pada
kategori prevalensi sedang (20–29%) hingga tinggi (30–39%), yang
menunjukkan bahwa stunting masih merupakan masalah gizi kronis yang
serius dan meluas di Provinsi Aceh.
Secara epidemiologis, prevalensi stunting Provinsi Aceh berada di
atas ambang batas masalah kesehatan masyarakat.
Nilai prevalensi sebesar 28,51% melampaui ambang batas yang ditetapkan
oleh World Health Organization (WHO), yaitu ≥20%, sehingga stunting di
Aceh dapat dikategorikan sebagai masalah kesehatan masyarakat prioritas
yang memerlukan intervensi berkelanjutan.
Analisis spasial global tidak menunjukkan adanya autokorelasi
spasial yang signifikan.
Hasil uji Moran’s I dan Geary’s C mengindikasikan bahwa distribusi
prevalensi stunting antar kabupaten/kota di Provinsi Aceh bersifat acak
secara spasial pada skala global. Artinya, wilayah dengan prevalensi
stunting tinggi tidak secara sistematis dikelilingi oleh wilayah dengan
prevalensi tinggi lainnya.
Meskipun tidak ditemukan pola spasial global, analisis spasial
lokal mengidentifikasi variasi pada skala wilayah tertentu.
Analisis LISA dan Getis–Ord Gi* mengidentifikasi Kabupaten Simeulue
sebagai wilayah yang membentuk pola spasial lokal yang menyimpang
dibandingkan wilayah sekitarnya. Temuan ini menunjukkan bahwa
permasalahan stunting di Aceh dapat muncul sebagai fenomena lokal dan
kontekstual, meskipun tidak membentuk klaster luas pada tingkat
provinsi.
Pemodelan regresi linear (OLS) menunjukkan arah hubungan yang
konsisten dengan teori epidemiologi gizi, namun belum signifikan secara
statistik.
Seluruh variabel independen—kepadatan penduduk, APM SMA, cakupan ASI
eksklusif, akses sanitasi layak, dan persentase penduduk miskin—memiliki
koefisien bernilai negatif, yang mengindikasikan bahwa perbaikan kondisi
pendidikan, kesehatan, dan lingkungan cenderung berkaitan dengan
penurunan prevalensi stunting. Namun, secara parsial variabel-variabel
tersebut belum signifikan pada taraf 5%.
Model OLS mampu menjelaskan sebagian variasi stunting, namun
belum sepenuhnya komprehensif.
Nilai Adjusted R-squared sebesar 25,67% menunjukkan bahwa sekitar
seperempat variasi prevalensi stunting antar wilayah dapat dijelaskan
oleh variabel dalam model, sementara sisanya dipengaruhi oleh faktor
lain yang tidak tercakup dalam data sekunder, seperti pola asuh,
kualitas MP-ASI, status kesehatan ibu, dan faktor sosial
budaya.
Hasil uji asumsi menunjukkan bahwa model OLS layak digunakan
sebagai model dasar.
Tidak ditemukan pelanggaran asumsi multikolinearitas, normalitas
residual, homoskedastisitas, maupun spesifikasi model. Selain itu, uji
Moran’s I pada residual menunjukkan tidak adanya autokorelasi spasial
yang signifikan, sehingga model OLS dinilai cukup memadai sebagai
baseline sebelum mempertimbangkan pemodelan spasial lanjutan.
Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa stunting di Provinsi Aceh merupakan permasalahan gizi kronis yang bersifat luas, heterogen antar wilayah, dan dipengaruhi oleh faktor kontekstual yang kompleks, sehingga memerlukan pendekatan intervensi yang terintegrasi dan berbasis wilayah.
Berdasarkan hasil dan kesimpulan penelitian, beberapa saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
Pemerintah daerah Provinsi Aceh perlu mempertahankan dan memperkuat intervensi penurunan stunting secara lintas sektor, khususnya pada wilayah dengan prevalensi tinggi seperti Aceh Timur, Aceh Barat Daya, dan Nagan Raya.
Upaya perbaikan gizi ibu dan anak pada periode 1.000 HPK perlu menjadi fokus utama, terutama melalui peningkatan cakupan ASI eksklusif, kualitas MP-ASI, dan layanan kesehatan ibu.
Intervensi berbasis wilayah (area-based intervention) perlu diprioritaskan pada kabupaten/kota dengan prevalensi tinggi, meskipun tidak terbentuk klaster spasial yang kuat pada tingkat provinsi.
Penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan data individu atau rumah tangga agar dapat menghindari potensi ecological fallacy dan memungkinkan pengujian hubungan kausal secara lebih kuat.
Penggunaan data longitudinal atau panel dianjurkan untuk menangkap dinamika temporal stunting dan mengevaluasi dampak kebijakan secara lebih akurat.
Variabel tambahan seperti pola asuh, keragaman MP-ASI, status kesehatan ibu, dan faktor budaya lokal perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan daya jelaskan model.
3. Pengembangan Analisis Spasial
Analisis lanjutan dapat menggunakan model regresi spasial (SAR, SEM, atau SDM) untuk mengevaluasi kemungkinan ketergantungan spasial yang lebih kompleks, terutama jika dikombinasikan dengan data yang lebih rinci.
Pendekatan spasial multiskala dapat diterapkan untuk memahami perbedaan pola stunting antara wilayah daratan dan kepulauan di Aceh.
Beal, T., Tumilowicz, A., Sutrisna, A., Izwardy, D., & Neufeld, L. M. (2018). Stunting, wasting, and underweight in Indonesia: Prevalence trends and associated risk factors. Maternal & Child Nutrition, 14(4), e12695. https://doi.org/10.1111/mcn.12695
Kim, R., Mejía-Guevara, I., Corsi, D. J., Aguayo, V. M., & Subramanian, S. V. (2021). Spatial inequality and determinants of stunting among children under five years in low- and middle-income countries. International Journal of Health Geographics, 20(1), 37. https://doi.org/10.1186/s12942-021-00278-4
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2022). Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022. Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2023). Strategi nasional percepatan penurunan stunting. Kemenkes RI.
UNICEF. (2019). Conceptual framework on the determinants of maternal and child nutrition. UNICEF.
World Health Organization. (2020). WHO guideline: Recommendations on the prevention and management of stunting. WHO.
World Health Organization & UNICEF. (2021). Levels and trends in child malnutrition. WHO.
Berhe, K., Seid, O., Gebremariam, Y., Berhe, A., & Etsay, N. (2019). Risk factors of stunting of children aged 6 to 24 months in Mekelle City, Ethiopia. PLOS ONE, 14(6), e0217736. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0217736
Fitriani, A., et al. (2022). The relationship of low birth weight with stunting incidents in Aceh in 2022. International Journal of Medical Sciences and Developmental Health, 10(6). https://doi.org/10.55640/ijmsdh-10-06-04
Hidayati, N., et al. (2023). Determinants of stunting in Samadua sub-district, South Aceh district. AcTion: Aceh Nutrition Journal, 9(4). https://doi.org/10.30867/action.v9i4.1865
Mulyani, H., et al. (2017). Konsep dasar epidemiologi penyakit. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
Nurhasanah, N., et al. (2022). Determinant factors of stunting in children 2–5 years in West Aceh District. AcTion: Aceh Nutrition Journal, 8(4). https://doi.org/10.30867/action.v8i4.1008
Ramayani, O. R., et al. (2021). Risk factors of stunting in Indonesian children aged 1 to 60 months. Paediatrica Indonesiana, 61(1), 12–19. https://doi.org/10.14238/pi61.1.2021.12-9
Sari, M., et al. (2019). The dominant factors associated with stunting among two years children in five provinces in Indonesia. AcTion: Aceh Nutrition Journal, 9(1). https://doi.org/10.30867/action.v9i1.1557
Suryanto, T., et al. (2024). Examining determinants of stunting in urban and rural Indonesia: A multilevel analysis. BMC Public Health, 24. https://doi.org/10.1186/s12889-024-18824-z
Utami, D., et al. (2023). The coverage of indicators of sensitive and specific intervention programs and prevalence of stunting under-five children. Journal of Public Health Research, 12. https://doi.org/10.1177/02601060231164664
Yusran, S., et al. (2022). Water, sanitation, and hygiene (WASH) factors associated with stunting among under-fives. AcTion: Aceh Nutrition Journal, 9(3). https://doi.org/10.30867/action.v9i3.2022
Black, R. E., Victora, C. G., Walker, S. P., Bhutta, Z. A., Christian, P., de Onis, M., … Uauy, R. (2013). Maternal and child undernutrition and overweight in low-income and middle-income countries. The Lancet, 382(9890), 427–451. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(13)60937-X
Humphrey, J. H. (2009). Child undernutrition, tropical enteropathy, toilets, and handwashing. The Lancet, 374(9694), 1032–1035. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(09)60950-8
Mbuya, M. N. N., & Humphrey, J. H. (2016). Preventing environmental enteric dysfunction through improved water, sanitation and hygiene: An opportunity for stunting reduction. Maternal & Child Nutrition, 12(S1), 106–120. https://doi.org/10.1111/mcn.12220
Victora, C. G., Adair, L., Fall, C., Hallal, P. C., Martorell, R., Richter, L., & Sachdev, H. S. (2010). Maternal and child undernutrition: Consequences for adult health and human capital. The Lancet, 371(9609), 340–357. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(07)61692-4
Wicaksono, R. A., Arto, K. S., Mutiara, E., Deliana, M., Lubis, M., & Batubara, J. R. L. (2021). Risk factors of stunting in Indonesian children aged 1 to 60 months. Paediatrica Indonesiana, 61(1), 12–19. https://doi.org/10.14238/pi61.1.2021.12-9
World Health Organization. (2018). Reducing stunting in children: Equity considerations for achieving the Global Nutrition Targets 2025. WHO Press.
World Health Organization. (2020). Infant and young child feeding. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/infant-and-young-child-feeding
World Health Organization. (2023). Malnutrition. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/malnutrition
UNICEF. (2020). Conceptual framework on maternal and child nutrition. UNICEF.
UNICEF. (2021). Fed to fail? The crisis of children’s diets in early life. UNICEF.
Hidayat, M. S., et al. (2024). Examining determinants of stunting in urban and rural Indonesia: A multilevel analysis. BMC Public Health, 24, 18824. https://doi.org/10.1186/s12889-024-18824-z
WASH factors associated with stunting among under-fives. (2022). Asia Pacific Journal of Public Health. https://doi.org/10.30867/action.v9i3.2022