Abstract

Abstrak. Tuberkulosis (TBC) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia. Penelitian ini bertujuan menggambarkan beban TBC antarprovinsi serta menganalisis asosiasi kepadatan penduduk dan determinan perilaku, sosial ekonomi, dan lingkungan terhadap jumlah kasus TBC tahun 2024. Penelitian menggunakan desain cross-sectional berbasis data agregat provinsi. Ukuran frekuensi dihitung sebagai rate per 100.000 penduduk, sedangkan asosiasi kepadatan dianalisis menggunakan Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR).Pemodelan jumlah kasus dilakukan menggunakan regresi binomial negatif dan hasil diinterpretasikan menggunakan Incidence Rate Ratio (IRR). Hasil menunjukkan rate nasional 388 per 100.000 penduduk (0,388%) dengan variasi antarprovinsi yang sangat besar; nilai tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2.864 per 100.000) dan terendah di Jawa Tengah (20 per 100.000). Analisis asosiasi menunjukkan wilayah dengan kepadatan tinggi memiliki prevalensi lebih rendah dibanding kepadatan rendah (PR=0,909; POR=0,908). Pada pemodelan binomial negatif, indeks kualitas udara (X5) berasosiasi signifikan dengan jumlah kasus (IRR=0,85; p<0,001), sedangkan variabel merokok, kemiskinan, sanitasi, dan kepadatan tidak signifikan. Temuan ini menegaskan adanya heterogenitas beban TBC antarprovinsi dan menunjukkan bahwa faktor lingkungan terutama kualitas udara berkaitan dengan variasi jumlah kasus pada tingkat provinsi.

Kata kunci: tuberkulosis, epidemiologi wilayah, regresi binomial negatif, IRR, prevalensi.

I. PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan masih menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia. Pada tahun 2023, diperkirakan terdapat 10,8 juta kasus baru TBC secara global. Penularan TBC terjadi melalui droplet udara saat penderita batuk, bersin, atau berbicara, sehingga paparan dalam jumlah kecil pun dapat menyebabkan infeksi. Tingginya beban TBC menunjukkan bahwa penyakit ini masih menjadi tantangan serius dalam kesehatan masyarakat global (WHO, 2023).

Indonesia menempati peringkat kedua dengan jumlah kasus TBC tertinggi di dunia, dengan kontribusi sekitar 10% dari total kasus global. Laporan Global Tuberculosis Report menegaskan bahwa determinan sosial, ekonomi, dan lingkungan memiliki peran penting dalam mempertahankan tingginya transmisi TBC di negara berkembang, termasuk Indonesia (WHO, 2023). Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan TBC tidak hanya bersifat medis, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi sosial dan lingkungan masyarakat.

Perilaku merokok merupakan salah satu faktor risiko utama TBC karena dapat menurunkan sistem imun saluran pernapasan dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis. Berbagai studi menunjukkan bahwa prevalensi merokok, khususnya pada kelompok usia produktif, berkorelasi positif dengan peningkatan risiko dan keparahan TBC (Bates et al., 2007; Lönnroth et al., 2008). Oleh karena itu, persentase penduduk usia 15–24 tahun yang merokok digunakan sebagai indikator perilaku berisiko dalam penelitian ini.

Selain faktor perilaku, kondisi sosial ekonomi dan lingkungan turut berperan dalam kejadian TBC. Kemiskinan berkaitan dengan keterbatasan akses layanan kesehatan dan kondisi hunian yang kurang layak, sementara sanitasi buruk dan kualitas udara yang rendah dapat meningkatkan risiko penyakit saluran pernapasan, termasuk TBC (Lönnroth et al., 2010; Prüss-Ustün et al., 2019; Smith et al., 2014). Kepadatan penduduk juga meningkatkan potensi penularan melalui intensitas kontak yang lebih tinggi, terutama di wilayah perkotaan (Narain et al., 2006).

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor perilaku, sosial ekonomi, dan lingkungan terhadap jumlah kasus tuberkulosis di Indonesia menggunakan pendekatan regresi binomial negatif. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara persentase penduduk usia 15–24 tahun yang merokok, persentase penduduk miskin, persentase rumah tangga dengan akses sanitasi layak, kepadatan penduduk, dan indeks kualitas udara terhadap jumlah kasus TBC di Indonesia.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara ilmiah dan praktis. Secara ilmiah, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian epidemiologi kuantitatif dengan penerapan model regresi binomial negatif dalam analisis determinan TBC berbasis data cacahan. Secara praktis, temuan penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan bagi pemerintah dan pemangku kebijakan dalam merancang strategi pengendalian TBC yang lebih terarah, khususnya melalui intervensi pada faktor perilaku berisiko, pengurangan kemiskinan, serta perbaikan kualitas lingkungan dan sanitasi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis (TBC)

Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, umumnya menyerang paru-paru tetapi dapat mengenai organ lain. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat global karena penularannya melalui udara dan potensi tinggi untuk komplikasi dan kematian bila tidak ditangani. Faktor risiko meliputi kondisi lingkungan seperti kepadatan penduduk, ventilasi buruk, kontak erat dengan penderita aktif, status imun rendah (misalnya HIV/AIDS), kondisi gizi buruk, dan kebersihan lingkungan yang kurang. Pemahaman aspek epidemiologi TBC termasuk distribusi, determinan, dan pola penyebarannya menjadi dasar penting bagi strategi pencegahan dan pengendalian penyakit di tingkat populasi.

2.1 Agent-Host-Environment

Dalam konsep epidemiologi, terjadinya suatu penyakit merupakan hasil interaksi dinamis antara agent, host, dan environment. Agent adalah faktor penyebab penyakit, yang dapat berupa agen biologis (bakteri, virus, jamur), kimia (racun, polutan, asap rokok), fisik (radiasi, suhu ekstrem, trauma), maupun sosial (stres, perilaku berisiko). Agent penyebab tuberkulosis adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis, yaitu bakteri aerob berbentuk basil yang menyerang terutama paru-paru, namun juga dapat menginfeksi organ lain (TBC ekstraparu). Bakteri ini ditularkan melalui droplet udara yang dihasilkan saat penderita TBC aktif batuk, bersin, atau berbicara. Daya tahan bakteri di udara tertutup serta virulensi bakteri berperan penting dalam proses penularan dan infeksi.

Host adalah manusia yang terpapar bakteri Mycobacterium tuberculosis. Kerentanan host terhadap infeksi TBC dipengaruhi oleh berbagai faktor individu dan sosial ekonomi. Dalam penelitian ini, faktor host yang relevan meliputi perilaku merokok, yang dapat menurunkan imunitas saluran pernapasan dan meningkatkan risiko infeksi dan status sosial ekonomi, yang direpresentasikan oleh persentase penduduk miskin, berkaitan dengan keterbatasan akses layanan kesehatan, gizi, dan kondisi hunian. Faktor-faktor tersebut dapat meningkatkan risiko infeksi maupun progresi penyakit dari infeksi laten menjadi TBC aktif.

Sementara itu, Environment mencakup kondisi lingkungan fisik dan sosial yang memengaruhi peluang penularan TBC. Faktor lingkungan yang dikaji dalam penelitian ini meliputi akses terhadap sanitasi layak, yang mencerminkan kualitas higiene dan kesehatan lingkungan rumah tangga, kepadatan penduduk, yang meningkatkan intensitas kontak antarindividu dan peluang transmisi droplet dan kualitas udara, yang berpengaruh terhadap kesehatan paru dan kerentanan terhadap penyakit saluran pernapasan.

Gambar 1. Pendekatan systems epidemiology pada tuberkulosis yang mengintegrasikan demografi, ekologi, dan biologi sistem. Sumber: Diadaptasi dari Koch (1882) dan Riis (1902).

Ketiga komponen tersebut saling berhubungan membentuk segitiga epidemiologi, di mana perubahan pada salah satu unsur dapat memengaruhi peluang terjadinya penyakit. Dalam konteks TBC, tingginya interaksi manusia di wilayah padat penduduk (environment) mempermudah penularan bakteri Mycobacterium tuberculosis (agent) kepada individu yang rentan (host), sehingga memperkuat penyebaran penyakit.

2.2 Ukuran Frekuensi

Ukuran frekuensi dalam epidemiologi digunakan untuk menggambarkan besarnya beban penyakit dalam populasi. Salah satu ukuran penting adalah prevalensi, yang menunjukkan proporsi individu dalam populasi yang memiliki penyakit pada satu titik waktu atau periode tertentu. Rumus yang umum digunakan adalah:

\[ P = \dfrac{\text{Jumlah Kasus Penyakit}}{\text{Populasi}} \times 100\% \]

Ukuran ini sangat berguna untuk melakukan perbandingan antarwilayah atau antarperiode, serta membantu dalam penentuan prioritas intervensi kesehatan masyarakat. Dalam konteks penelitian ini, prevalensi TBC di Provinsi Jawa Barat digunakan untuk menggambarkan proporsi penduduk yang menderita TBC pada tahun 2024.

2.3 Ukuran Asosiasi

Ukuran asosiasi digunakan untuk menilai kekuatan hubungan antara paparan (exposure) dan outcome (penyakit) dalam studi observasional. Dalam studi potong lintang (cross-sectional) dua ukuran yang sering digunakan adalah Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR). Rumusnya dapat dinyatakan sebagai berikut:

\[PR = \dfrac{\frac{a}{a+b}}{\frac{c}{c+d}}\]

\[POR = \dfrac{a \times d}{b \times c}\]

Di mana dalam tabel kontingensi 2×2:

  • a = jumlah paparan & penyakit

  • b = jumlah paparan & tanpa penyakit

  • c = jumlah tidak paparan & penyakit

  • d = jumlah tidak paparan & tanpa penyakit

Nilai PR atau POR > 1 menunjukkan adanya asosiasi positif antara paparan dan penyakit, sedangkan nilai < 1 menunjukkan potensi efek pelindung (protective). Namun, penting dicatat bahwa dalam desain cross-sectional, asosiasi tidak sama dengan kausalitas karena urutan waktu paparan dan outcome tidak dapat dipastikan.

2.4 Desain Penelitian

Desain studi cross-sectional merupakan desain penelitian epidemiologi observasional yang mengukur status pajanan (paparan) dan status penyakit pada waktu yang sama dalam suatu populasi tertentu. Desain ini bertujuan untuk menggambarkan distribusi penyakit serta hubungan antara faktor risiko dan kejadian penyakit pada satu titik waktu (Gordis, 2014; Rothman et al., 2021). Studi cross-sectional banyak digunakan dalam penelitian kesehatan masyarakat karena relatif efisien, terutama untuk analisis berbasis data survei atau data agregat wilayah.

Dalam studi cross-sectional, beberapa potensi bias dapat terjadi, seperti bias seleksi, apabila data yang digunakan tidak merepresentasikan populasi sasaran secara akurat, serta bias informasi, yang dapat muncul akibat kesalahan pengukuran variabel pajanan atau outcome. Selain itu, hubungan yang diamati dapat dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diukur secara langsung.

Confounding terjadi ketika hubungan antara pajanan dan outcome dipengaruhi oleh variabel lain yang berhubungan dengan keduanya. Dalam konteks penelitian tuberkulosis, faktor seperti usia, kepadatan hunian, atau akses layanan kesehatan berpotensi menjadi variabel perancu. Oleh karena itu, penggunaan analisis multivariat, seperti regresi binomial negatif, diperlukan untuk mengendalikan pengaruh confounding dan memperoleh estimasi hubungan yang lebih valid (Gordis, 2014; Hilbe, 2011).

2.5 Regresi Binomial Negatif

Regresi binomial negatif merupakan metode regresi yang digunakan untuk menganalisis data cacahan (count data) ketika asumsi equidispersi pada model Poisson tidak terpenuhi. Pada model Poisson, varians diasumsikan sama dengan nilai rataan, sedangkan pada banyak kasus epidemiologi, khususnya data jumlah penyakit, varians sering kali lebih besar daripada rataan (overdispersi). Kondisi ini dapat menyebabkan estimasi standar error pada model Poisson menjadi bias dan inferensi statistik menjadi tidak valid.

Regresi binomial negatif mengatasi permasalahan tersebut dengan menambahkan parameter dispersi yang memungkinkan varians lebih besar daripada rataan.Model ini banyak digunakan dalam penelitian epidemiologi untuk menganalisis jumlah kasus penyakit antarwilayah atau antarperiode waktu karena mampu memberikan estimasi yang lebih stabil dan inferensi yang lebih andal dibandingkan regresi Poisson pada data yang mengalami overdispersi.

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang mencakup 38 observasi, mewakili seluruh provinsi di Indonesia. Variabel respon (Y) dalam penelitian ini adalah jumlah kasus tuberkulosis (TBC) yang terdeteksi pada masing-masing provinsi dalam periode satu tahun terakhir. Variabel prediktor terdiri atas lima indikator yang secara teoritis dan empiris berkaitan dengan penyebaran TBC, yaitu persentase penduduk usia 15–24 tahun yang merokok dalam sebulan terakhir, persentase penduduk miskin, persentase rumah tangga dengan akses sanitasi layak, kepadatan penduduk, dan indeks kualitas udara.

Seluruh variabel prediktor telah dilakukan standardisasi dengan nilai rataan nol (mean = 0) dan simpangan baku satu (standard deviation = 1) sebelum proses pemodelan. Standardisasi ini bertujuan untuk meningkatkan stabilitas numerik dan memudahkan interpretasi relatif antarvariabel pada tahap estimasi model regresi binomial negatif. Data variabel independen diperoleh dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS RI) yang bersumber dari publikasi Statistik Indonesia 2025. Khusus untuk variabel Indeks Kualitas Udara, data diperoleh dari Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sementara itu, data variabel dependen berupa jumlah kasus TBC diperoleh dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) melalui publikasi statistik kesehatan.

3.2 Analisis Frekuensi

Analisis frekuensi dilakukan untuk menggambarkan besarnya beban penyakit Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat melalui ukuran prevalensi. Ukuran ini menunjukkan proporsi individu dalam populasi yang menderita penyakit pada satu waktu tertentu, sehingga dapat mencerminkan tingkat penyebaran penyakit dalam populasi (Hennekens & Buring, 1987). Pada penelitian ini, prevalensi dihitung berdasarkan jumlah kasus TBC yang tercatat pada tahun 2024 dibandingkan dengan total populasi pada kabupaten atau kota yang bersangkutan. Prevalensi kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat dihitung untuk mengetahui proporsi penduduk yang menderita TBC dalam suatu periode tertentu. Rumus yang digunakan adalah:

\[ P = \dfrac{\text{Kasus TBC (baru + lama)}}{\text{Populasi}} \times 100\% \]

Berdasarkan data tahun 2024, jumlah kasus TBC (baru dan lama) tercatat sebanyak 224.798 kasus dari total populasi 50.345.190 jiwa, sehingga diperoleh nilai prevalensi sebesar 0,45%. Penghitungan ini bertujuan untuk menggambarkan distribusi beban penyakit TBC serta mendukung penetapan wilayah prioritas intervensi kesehatan masyarakat.

3.3 Analisis Asosiasi

Analisis asosiasi dilakukan untuk menilai hubungan antara kepadatan penduduk sebagai faktor paparan dengan kejadian Tuberkulosis (TBC) sebagai outcome. Dua ukuran asosiasi yang digunakan adalah Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR). Prevalence Ratio (PR) digunakan untuk membandingkan proporsi penderita TBC antara kelompok dengan kepadatan penduduk tinggi dan rendah. PR lebih mudah dipahami secara intuitif karena menunjukkan seberapa besar prevalensi penyakit pada kelompok terpapar dibandingkan dengan kelompok tidak terpapar. Perhitungan Prevalence Ratio (PR) dilakukan sebagai berikut: \[ PR = \dfrac{a/(a+b)}{c/(c+d)} \]

Sementara itu, Prevalence Odds Ratio (POR) digunakan untuk menilai perbandingan odds (peluang) terjadinya penyakit antara kedua kelompok. POR memiliki keunggulan dalam situasi ketika hubungan sebab-akibat antara variabel belum jelas, karena nilai odds tetap konsisten meskipun posisi variabel dalam tabel kontingensi berubah. Prevalence Odds Ratio (POR) dihitung sebagai berikut: \[ POR = \dfrac{a \times d}{b \times c} \] Di mana a dan c adalah jumlah kasus TBC di wilayah berkepadatan tinggi dan berkepadatan rendah, sedangkan b dan d adalah jumlah individu tanpa penyakit pada masing-masing wilayah. Nilai PR dan POR > 1 menunjukkan bahwa wilayah berkepadatan tinggi meningkatkan risiko penyakit, sedangkan nilai < 1 menunjukkan efek protektif. Analisis ini memberikan gambaran awal mengenai potensi hubungan antara kepadatan penduduk dan risiko TBC, meskipun desain cross-sectional tidak dapat memastikan hubungan sebab-akibat (Hennekens & Buring, 1987).

3.4 Pengujian Overdispersi

Pengujian overdispersi dilakukan untuk mengevaluasi kesesuaian asumsi equidispersi pada model Poisson, yaitu varians sama dengan rataan. Indikator overdispersi diperiksa menggunakan rasio dispersi berbasis deviance dan residu Pearson, yang dirumuskan sebagai berikut: \[ \text{Dispersion}_{\text{Deviance}} = \frac{D}{df} \]

\[ \text{Dispersion}_{\text{Pearson}} = \frac{\chi^2_P}{df} \]

dengan D menyatakan deviance model Poisson, χP2​ menyatakan statistik Pearson Chi-square, dan df adalah derajat bebas residual.

Berdasarkan hasil estimasi model Poisson, diperoleh nilai rasio dispersi sebesar:

ϕD=23143, ϕP=28257

Nilai rasio dispersi yang jauh lebih besar dari satu menunjukkan adanya overdispersi yang sangat kuat pada data jumlah kasus tuberkulosis. Oleh karena itu, asumsi equidispersi pada model Poisson tidak terpenuhi, sehingga analisis selanjutnya dilakukan menggunakan regresi binomial negatif yang mampu mengakomodasi varians data yang lebih besar daripada rataan.

3.5 Regresi Binomial Negatif

Karena variabel dependen berupa data cacahan dan hasil pengujian menunjukkan adanya overdispersi, maka model yang digunakan adalah regresi binomial negatif. Model ini merupakan pengembangan dari regresi Poisson dengan menambahkan parameter dispersi untuk mengakomodasi varians yang lebih besar dari rataan.

Secara umum, model regresi binomial negatif dinyatakan sebagai berikut:

\[Yi∼NegBin(μi,α) \]

dengan nilai harapan dan varians: \[ E(Yi)=μi\mathbb{} \] \[ Var(Yi​)=μi​+αμi2​ \]

di mana α>0 merupakan parameter dispersi.

Hubungan antara nilai harapan μi dan variabel independen dimodelkan menggunakan fungsi taut logaritmik:

\[log(\mu_i) = \beta_0 + \beta_1 X_{1i} + \beta_2 X_{2i} + \beta_3 X_{3i} + \beta_4 X_{4i} + \beta_5 X_{5i} \] Estimasi parameter 𝛽 dan parameter dispersi 𝛼 dilakukan menggunakan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE). Fungsi likelihood untuk model binomial negatif dinyatakan sebagai:

\[ L(β,α)=i=1∏n​Γ(α−1)yi​!Γ(yi​+α−1)​(α−1+μi​α−1​)α−1(α−1+μi​μi​​)yi​ \] Nilai parameter diperoleh dengan memaksimalkan fungsi likelihood tersebut. Selanjutnya, koefisien regresi binomial negatif diinterpretasikan dalam bentuk Incidence Rate Ratio (IRR), yang diperoleh melalui transformasi eksponensial terhadap koefisien regresi: \[ IRRj​=exp(βj) \] Nilai IRRj>1 menunjukkan bahwa peningkatan variabel Xj berasosiasi dengan peningkatan jumlah kasus TBC, sedangkan IRRj<1 menunjukkan asosiasi penurunan jumlah kasus

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Prevalensi Kasus Tuberkulosis

Prevalensi merupakan salah satu ukuran frekuensi penyakit yang menggambarkan proporsi penduduk yang menderita suatu penyakit pada waktu tertentu. Dalam konteks ini, prevalensi TBC dihitung untuk setiap provinsi di Indonesia tahun 2024 per 100.000 penduduk. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai prevalensi TBC seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.1 berikut.

Tabel 1. Prevalensi Kasus Tuberkulosis per Provinsi di Indonesia Tahun 2024.

Provinsi Prevalensi (%)
DI Yogyakarta 2.864
Kep. Bangka Belitung 2.044
Gorontalo 1.766
Sulawesi Tenggara 1.631
Kalimantan Utara 1.055
Jambi 1.019
Banten 0.939
Papua 0.72
Kalimantan Tengah 0.684
Sulawesi Barat 0.671
DKI Jakarta 0.659
Sulawesi Utara 0.56
Kep. Riau 0.551
Papua Barat 0.482
Maluku 0.478
Sumatera Utara 0.477
Jawa Barat 0.466
Kalimantan Timur 0.459
Sumatera Barat 0.43
Kalimantan Selatan 0.42
Maluku Utara 0.362
Riau 0.347
Aceh 0.332
Bengkulu 0.239
Bali 0.224
Sulawesi Selatan 0.152
Lampung 0.146
Nusa Tenggara Barat 0.123
Jawa Timur 0.121
Kalimantan Barat 0.114
Sulawesi Tengah 0.113
Nusa Tenggara Timur 0.0895
Sumatera Selatan 0.0879
Jawa Tengah 0.02

Tabel 2. Prevalensi Kasus Tuberkulosis Indonesia Tahun 2024

Negara Prevalensi (%)
Indonesia 0.388

Berdasarkan hasil tersebut, diperoleh bahwa dari 34 provinsi yang dianalisis, rate TBC nasional sebesar 388 per 100.000 penduduk, yang setara dengan 0,00388% populasi. Secara spasial, rate TBC tertinggi ditemukan di DI Yogyakarta, yaitu sebesar 2.864 per 100.000 penduduk atau sekitar 2.864%, yang jauh melampaui rata-rata nasional. Sebaliknya, rate terendah tercatat di Jawa Tengah sebesar 20 per 100.000 penduduk atau sekitar 0.02%. Perbedaan yang sangat mencolok antara nilai minimum dan maksimum ini mencerminkan adanya heterogenitas epidemiologis yang kuat antarprovinsi, yang kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan kondisi demografis, lingkungan, serta variasi dalam sistem deteksi dan pelaporan kasus TBC di masing-masing wilayah.

Provinsi-provinsi dengan populasi relatif kecil cenderung menunjukkan nilai rate yang lebih tinggi, sementara provinsi dengan populasi besar seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan DKI Jakarta memiliki jumlah kasus absolut yang tinggi namun rate yang relatif lebih rendah. Hal ini menegaskan pentingnya penggunaan indikator berbasis rate dibandingkan jumlah kasus absolut dalam analisis epidemiologi wilayah.

Untuk memperjelas variasi antarprovinsi, distribusi rate TBC divisualisasikan menggunakan diagram batang.

Gambar 2. Distribusi Rate Tuberkulosis per 100.000 Penduduk Menurut Provinsi

Distribusi pada Gambar 2 menunjukkan adanya heterogenitas yang tinggi antarprovinsi dalam hal beban tuberkulosis (TBC). Terlihat bahwa sebagian kecil provinsi memiliki rate TBC yang sangat tinggi, jauh melampaui rata-rata nasional, sementara sebagian besar provinsi lainnya berada pada tingkat yang relatif lebih rendah. Pola ini mengindikasikan bahwa distribusi kasus TBC di Indonesia tidak merata, melainkan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu yang berperan sebagai hotspot epidemiologis.

4.2 Analisis Asosiasi Berdasarkan Kepadatan Wilayah

Analisis asosiasi dilakukan untuk menilai hubungan antara kepadatan penduduk sebagai faktor paparan dengan kejadian tuberkulosis (TBC) sebagai outcome menggunakan ukuran Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR). Kepadatan penduduk dikategorikan menjadi dua kelompok berdasarkan nilai median sebesar 103,5 jiwa/km², yaitu kelompok kepadatan tinggi (≥ median) dan kepadatan rendah (< median). Hubungan antara kepadatan wilayah dan paparan TBC ditampilkan pada tabel kontingensi 2x2 berikut.

Tabel 3. Tabel Kontingensi 2x2

Kepadatan/Paparan Terpapar Tidak Terpapar
Kepadatan Tinggi 858.839 225.018.961
Kepadatan Rendah 233.159 55.492.941

Tabel kontingensi 2×2 tersebut menunjukkan distribusi jumlah kasus dan non-kasus TBC pada kelompok kepadatan penduduk tinggi dan rendah. Berdasarkan tabel kontingensi 2x2 tersebut, dilakukan perhitungan Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR) untuk mengukur kekuatan asosiasi antara kepadatan wilayah dan paparan TBC. Hasil perhitungannya disajikan pada tabel berikut.

Tabel 4. Hasil Prevalence Ratio dan Prevalence Odds Ratio berdasarkan Kepadatan Penduduk

Variabel Paparan PR CI 95% PR POR CI 95% POR
Kepadatan penduduk (High ≥ median vs Low < median) 0,909 0,905 – 0,913 0,908 0,908 – 0,913

Nilai Prevalence Ratio (PR) sebesar 0,91 dengan interval kepercayaan 95% 0,905–0,913 menunjukkan bahwa prevalensi TBC pada provinsi dengan kepadatan penduduk tinggi sekitar 9% lebih rendah dibandingkan provinsi dengan kepadatan penduduk rendah. Dengan kata lain, pada tingkat provinsi, wilayah yang lebih padat penduduk justru menunjukkan prevalensi TBC yang relatif lebih kecil dibandingkan wilayah dengan kepadatan yang lebih rendah. Hasil yang searah juga ditunjukkan oleh nilai Prevalence Odds Ratio (POR) sebesar 0,91 dengan interval kepercayaan 95% 0,908–0,913, yang mengindikasikan bahwa odds kejadian TBC pada wilayah berkepadatan tinggi lebih rendah dibandingkan wilayah berkepadatan rendah. Karena seluruh interval kepercayaan baik pada PR maupun POR tidak melintasi nilai satu, maka asosiasi yang diamati bersifat signifikan secara statistik.

Temuan ini menunjukkan adanya asosiasi negatif antara kepadatan penduduk dan kejadian TBC pada tingkat provinsi. Hasil tersebut tampak berbeda dengan asumsi epidemiologi klasik yang menyatakan bahwa kepadatan penduduk cenderung meningkatkan risiko penularan penyakit menular melalui peningkatan intensitas kontak antarindividu. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh karakteristik data yang bersifat agregat wilayah, di mana provinsi dengan kepadatan tinggi umumnya memiliki infrastruktur kesehatan yang lebih baik, akses layanan kesehatan yang lebih luas, serta sistem deteksi dan pelaporan kasus yang lebih optimal dibandingkan wilayah dengan kepadatan rendah. Selain itu, provinsi dengan kepadatan rendah sering kali mencakup wilayah geografis yang luas dengan keterbatasan akses layanan kesehatan, sehingga potensi keterlambatan diagnosis dan pelaporan kasus dapat memengaruhi pola prevalensi yang diamati.

Oleh karena itu, meskipun hasil analisis menunjukkan asosiasi yang signifikan secara statistik, interpretasi hubungan antara kepadatan wilayah dan kejadian TBC perlu dilakukan secara hati-hati. Mengingat desain penelitian bersifat cross-sectional dan menggunakan data agregat tingkat provinsi, hasil ini tidak dapat diinterpretasikan sebagai hubungan sebab-akibat pada tingkat individu, serta berpotensi dipengaruhi oleh ecological fallacy dan faktor perancu lain yang tidak terukur.

4.3 Regresi Negatif Binomial

Pemodelan jumlah kasus tuberkulosis (TBC) antarprovinsi di Indonesia dilakukan menggunakan regresi binomial negatif dengan variabel respon berupa jumlah kasus TBC dan lima variabel prediktor, yaitu persentase penduduk usia 15–24 tahun yang merokok X1, persentase penduduk miskin X2, persentase rumah tangga dengan akses sanitasi layak X3, kepadatan penduduk X4, dan indeks kualitas udara X5. Pemilihan regresi binomial negatif didasarkan pada karakteristik data berupa data cacahan yang menunjukkan variasi yang sangat besar antarprovinsi, sehingga model ini lebih sesuai untuk menangani varians yang tidak sebanding dengan rataan.

Hasil estimasi parameter model regresi binomial negatif disajikan pada Tabel 5, yang memuat koefisien regresi dan Incidence Rate Ratio (IRR) untuk masing-masing variabel prediktor.

Tabel 5. Hasil Estimasi Regresi Binomial Negatif Kasus TBC Antarprovinsi

Variabel Koefisien (β) IRR p-value
Intersep 25,10 8,32 × 10¹⁰ < 0,001
X₁ Merokok usia 15–24 tahun 0,0435 1,04 0,222
X₂ Penduduk miskin −0,0372 0,96 0,245
X₃ Sanitasi layak −0,0074 0,99 0,585
X₄ Kepadatan penduduk −0,0001 1,00 0,129
X₅ Indeks kualitas udara −0,1620 0,85 < 0,001

Interpretasi model dilakukan menggunakan Incidence Rate Ratio (IRR), yang didefinisikan sebagai di mana nilai IRR menggambarkan perubahan relatif pada rata-rata jumlah kasus TBC akibat peningkatan satu unit variabel prediktor, dengan asumsi variabel lain tetap konstan. Nilai IRR lebih besar dari satu menunjukkan peningkatan jumlah kasus, sedangkan nilai IRR kurang dari satu menunjukkan penurunan jumlah kasus. Berdasarkan hasil estimasi, model regresi binomial negatif akhir dapat dituliskan sebagai berikut:

\[ log(μi​)=25.10+0.0435X1i​−0.0372X2i​−0.0074X3i​−0.000106X4i​−0.162X5i​. \]

Berdasarkan hasil pemodelan, variabel indeks kualitas udara X5 menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah kasus TBC. Nilai IRR sebesar 0,85 mengindikasikan bahwa setiap peningkatan satu unit indeks kualitas udara berasosiasi dengan penurunan rata-rata jumlah kasus TBC sekitar 15%, dengan asumsi faktor lain tetap. Temuan ini sejalan dengan konsep epidemiologi lingkungan, di mana kualitas udara yang lebih baik berperan dalam menjaga fungsi saluran pernapasan dan menurunkan kerentanan terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis. Dengan demikian, faktor lingkungan muncul sebagai determinan penting dalam variasi jumlah kasus TBC antarprovinsi.

Variabel persentase penduduk usia 15–24 tahun yang merokok X1 memiliki IRR sedikit di atas satu, yang menunjukkan kecenderungan bahwa peningkatan prevalensi merokok berasosiasi dengan peningkatan jumlah kasus TBC. Meskipun pengaruhnya tidak signifikan secara statistik, arah hubungan ini tetap konsisten dengan teori epidemiologi yang menyatakan bahwa merokok dapat menurunkan daya tahan saluran pernapasan dan meningkatkan risiko infeksi TBC.

Sebaliknya, variabel persentase penduduk miskin X2 dan persentase rumah tangga dengan akses sanitasi layak X3 menunjukkan nilai IRR yang mendekati satu dengan arah hubungan negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan kondisi sosial ekonomi dan sanitasi cenderung berkaitan dengan penurunan jumlah kasus TBC, meskipun pengaruhnya belum cukup kuat untuk terdeteksi secara signifikan pada tingkat provinsi. Ketidaksignifikanan ini kemungkinan dipengaruhi oleh penggunaan data agregat wilayah, yang dapat menyamarkan variasi risiko pada tingkat individu.

Variabel kepadatan penduduk X4 menunjukkan nilai IRR yang sangat mendekati satu, yang mengindikasikan bahwa perubahan satu unit kepadatan penduduk (jiwa/km²) hanya memberikan perubahan yang sangat kecil terhadap jumlah kasus TBC. Hal ini dapat disebabkan oleh skala pengukuran variabel kepadatan yang besar, sehingga efek epidemiologisnya tidak langsung terlihat pada perubahan satu unit kepadatan.

Secara keseluruhan, hasil pemodelan menunjukkan bahwa faktor lingkungan, khususnya kualitas udara, memiliki peran yang paling konsisten dalam menjelaskan variasi jumlah kasus TBC antarprovinsi di Indonesia. Sementara itu, faktor perilaku, sosial ekonomi, dan kepadatan penduduk menunjukkan arah hubungan yang sejalan dengan teori epidemiologi, namun belum sepenuhnya tercermin sebagai pengaruh yang kuat pada tingkat agregat provinsi. Mengingat desain penelitian bersifat cross-sectional dan menggunakan data agregat wilayah, hasil ini perlu ditafsirkan sebagai hubungan asosiasi dan bukan hubungan sebab-akibat pada tingkat individu.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan analisis epidemiologi tahun 2024 pada tingkat provinsi, beban TBC di Indonesia menunjukkan heterogenitas yang sangat tinggi antarwilayah. Secara nasional, rate TBC tercatat 388 per 100.000 penduduk, namun rentang antarprovinsi sangat lebar, dengan DI Yogyakarta sebagai provinsi dengan rate tertinggi dan Jawa Tengah sebagai yang terendah. Hasil ini menegaskan bahwa penggunaan indikator berbasis rate lebih informatif dibanding jumlah kasus absolut untuk membandingkan beban penyakit antarwilayah.

Analisis asosiasi menggunakan kategorisasi kepadatan berdasarkan median 103,5 jiwa/km² menunjukkan bahwa provinsi dengan kepadatan tinggi memiliki prevalensi TBC yang lebih rendah dibanding kepadatan rendah (PR=0,909; POR=0,908) dan asosiasi ini signifikan secara statistik. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa pada data agregat provinsi, pola hubungan kepadatan dan TBC dapat dipengaruhi oleh perbedaan konteks wilayah seperti akses layanan kesehatan, kapasitas deteksi, dan sistem pelaporan kasus, sehingga interpretasinya perlu hati-hati mengingat potensi ecological fallacy.

Pada pemodelan regresi binomial negatif, hanya indeks kualitas udara (X5) yang menunjukkan asosiasi signifikan terhadap jumlah kasus TBC (IRR=0,85; p<0,001), yang mengindikasikan bahwa peningkatan indeks kualitas udara berkaitan dengan penurunan rata-rata jumlah kasus. Variabel merokok usia 15–24 tahun, kemiskinan, sanitasi layak, dan kepadatan penduduk menunjukkan arah hubungan yang relevan secara teori, namun tidak signifikan pada tingkat provinsi. Secara keseluruhan, hasil penelitian mendukung pentingnya mempertimbangkan faktor lingkungan dalam variasi beban TBC antarprovinsi, dengan keterbatasan bahwa desain cross-sectional tidak dapat memastikan hubungan sebab-akibat.

Berdasarkan hasil penelitian, disarankan agar upaya pengendalian tuberkulosis di Indonesia dilakukan secara lebih terarah berbasis wilayah, dengan memprioritaskan provinsi-provinsi yang memiliki rate TBC tinggi. Mengingat hasil pemodelan menunjukkan peran signifikan faktor lingkungan, khususnya kualitas udara, maka diperlukan penguatan kebijakan lintas sektor yang mendukung perbaikan kualitas lingkungan, termasuk pengendalian pencemaran udara dan perlindungan kesehatan pernapasan sebagai bagian dari strategi pengendalian TBC.

Selain itu, penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan unit analisis yang lebih rinci, seperti tingkat kabupaten/kota atau data deret waktu, guna menangkap variasi spasial dan temporal secara lebih akurat. Penambahan variabel yang merepresentasikan akses layanan kesehatan, kepadatan hunian, serta intensitas skrining TBC juga diharapkan dapat meningkatkan validitas analisis dan memperdalam pemahaman mengenai determinan tuberkulosis di Indonesia.

Referensi

Bates, M. N., Khalakdina, A., Pai, M., Chang, L., Lessa, F., & Smith, K. R. (2007). Risk of tuberculosis from exposure to tobacco smoke: A systematic review and meta-analysis. Archives of Internal Medicine, 167(4), 335–342. https://doi.org/10.1001/archinte.167.4.335

Fenner, L., Egger, M., & Gagneux, S. (2009). Annie Darwin’s death, the evolution of tuberculosis and the need for systems epidemiology. International Journal of Epidemiology, 38(6), 1425–1428. https://doi.org/10.1093/ije/dyp367

Gordis, L. (2014). Epidemiology (5th ed.). Elsevier Saunders.

Lönnroth, K., Jaramillo, E., Williams, B. G., Dye, C., & Raviglione, M. (2009). Drivers of tuberculosis epidemics: The role of risk factors and social determinants. Social Science & Medicine, 68(12), 2240–2246. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2009.03.041

Lönnroth, K., Castro, K. G., Chakaya, J. M., Chauhan, L. S., Floyd, K., Glaziou, P., & Raviglione, M. C. (2010). Tuberculosis control and elimination 2010–50: Cure, care, and social development. The Lancet, 375(9728), 1814–1829. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(10)60483-7

Narain, R., Nair, S. S., Rao, G. R., & Chandrasekhar, P. (2006). Distribution of tuberculosis in relation to density of population. Indian Journal of Tuberculosis, 53(3), 151–157.

Prüss-Ustün, A., Wolf, J., Bartram, J., Clasen, T., Cumming, O., Freeman, M. C., … Johnston, R. (2019). Burden of disease from inadequate water, sanitation and hygiene for selected adverse health outcomes: An updated analysis with a focus on low- and middle-income countries. International Journal of Hygiene and Environmental Health, 222(5), 765–777. https://doi.org/10.1016/j.ijheh.2019.05.004

Rothman, K. J., Greenland, S., & Lash, T. L. (2021). Modern epidemiology (4th ed.). Wolters Kluwer.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2023). Profil kesehatan Indonesia tahun 2022. Kementerian Kesehatan RI.Smith, K. R., Bruce, N., Balakrishnan, K., Adair-Rohani, H., Balmes, J., Chafe, Z., … Pope, D. (2014). Millions dead: How do we know and what does it mean? Methods used in the comparative risk assessment of household air pollution. Annual Review of Public Health, 35, 185–206. https://doi.org/10.1146/annurev-publhealth-032013-182356

World Health Organization. (2023). Global tuberculosis report 2023. WHO.