Disusun oleh Maulana Hardy Rayyan - 140610230064

Dosen Pengampu : I Gede Nyoman Mindra Jaya, Ph.D

Program Studi Statistika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Padjadjaran

Pendahuluan

Latar Belakang

Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat karena berkontribusi pada kesakitan, kematian, serta kerugian sosial–ekonomi. Indonesia termasuk negara dengan beban TBC tertinggi di dunia, sehingga penguatan surveilans, penemuan kasus, serta keberhasilan pengobatan menjadi prasyarat penting untuk mencapai target eliminasi TBC tahun 2030. Dokumen kebijakan daerah Jawa Tengah juga menegaskan posisi Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah penderita TBC terbesar secara global, serta memuat estimasi beban nasional dan urgensi percepatan pengendalian TBC melalui penguatan layanan dan tata kelola program.

Pulau Jawa menjadi episentrum beban TBC karena kepadatan penduduk dan mobilitas yang tinggi. Untuk tahun 2024, Jawa Tengah termasuk tiga provinsi dengan temuan kasus TBC terbanyak di Indonesia, dengan 107.685 kasus setelah Jawa Barat dan Jawa Timur. Tingginya beban kasus dan kebetuhan percepatan penanggulangan menjadi dasar terbentuknya Rencana Aksi Daerah Penanggulangan TBC Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2024-2029.

Secara epidemiologis, distribusi kasus TBC tidak homogen antar kabupaten/kota, dan dipengaruhi oleh determinan lingkungan maupun sosial, misalnya jumlah fasilitas kesehatan, akses air minum dan sanitasi yang layak, dan juga kepadatan penduduk. Studi-studi di Jawa Tengah menunjukkan pentingnya pendekatan analisis faktor risiko berbasis wilayah untuk mengidentifikasi area rentan penularan dan menyusun prioritas intervensi. Misalnya, penelitian di Kabupaten Kendal menegaskan keterkaitan faktor lingkungan/karakteristik rumah dengan potensi penularan TBC paru, sehingga intervensi tidak cukup hanya klinis tetapi juga berbasis determinan lingkungan.

Rumusan Masalah

  • Bagaimana gambaran secara deskriptif kasus TBC di kabupaten/kota Jawa Tengah tahun 2024

  • Bagaimana pola sebaran spasial jumla kasus TBC di kabupaten/kota Jawa Tengah tahun 2024

  • Bagaimana pengaruh variabel-variabel yang digunakan terhadap kasus TBC di kabupaten/kota Jawa Tengah tahun 2024

Tujuan Penelitian

  • Mengetahui gambar secara deskriptif kasus TBC di kabupaten/kota Jawa Tengah tahun 2024

  • Mengetahui tingkat kejadian dan distribusi kasus TBC antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah

  • Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi jumlah kasus TBC

Tinjauan Pustaka

Dalam epidemiologi penyakit menular, seperti TBC dipengaruhi oleh tiga komponen utama, yaitu agent-host-environment: 

  • Agent penyebab penyakit TBC adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penularan terjadi melalui udara saat penderita batuk, bersin, atau berbicara. Droplet yang mengandung bakteri dapat terhirup oleh orang lain, kemudian menginfeksi jaringan paru-paru.

  • Host adalah individu berisiko terinfeksi. Faktor yang memengaruhi kerentanan seseorang terhadap TBC antara lain status daya tahan tubuh yang lemah serta adanya penyakit penyerta seperti HIV/AIDS atau diabetes melitus. Selain itu, kelompok usia produktif cenderung lebih rentan karena sering berinteraksi di lingkungan padat dan tempat kerja tertutup.

  • Environment berperan penting dalam penularan TBC. Lingkungan dengan kepadatan penduduk tinggi dan akses air minum dan sanitasi layak yang kurang baik akan meningkatkan risiko penyebaran bakteri TBC.

Dalam studi epidemiologi, ukuran asosiasi digunakan untuk mengetahui asosiasi antara faktor risiko dengan kejadian penyakit. Ukuran asosiasi menjelaskan seberapa besar pengaruh suatu variabel bebas terhadap variabel terikat.

Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional. Studi cross-sectional merupakan rancangan penelitian observasional yang dilakukan dengan cara mengamati variabel paparan dan variabel hasil pada waktu yang bersamaan. Tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko dan penyakit tanpa menelusuri urutan waktu kejadian.

Kelebihan desain ini adalah pelaksanaannya relatif cepat dan dapat dilakukan menggunakan data sekunder. Selain itu, desain ini cocok digunakan untuk menggambarkan distribusi penyakit dan faktor risikonya dalam suatu populasi pada periode tertentu. Kelemahannya adalah tidak dapat menentukan hubungan sebab-akibat secara langsung karena waktu paparan dan kejadian penyakit diukur bersamaan.

Dalam penelitian ini, desain cross-sectional digunakan untuk menggambarkan kondisi epidemiologi Tuberkulosis (TBC) di Jawa Barat berdasarkan data kasus per kabupaten/kota. Penelitian ini juga bertujuan untuk menilai hubungan antara faktor-faktor seperti kepadatan penduduk dan kondisi lingkungan dengan tingkat kejadian TBC pada periode tahun pengamatan tertentu.

Ukuran asosiasi dapat digunakan yaitu Prevalence Ratio. Prevalence Ratio merupakan ukuran asosiasi yang membandingkan prevalensi suatu kejadian antara kelompok yang terpapar dengan kelompok yang tidak terpapar. Dengan ukuran asosiasi tersebut dapat memberitahu asosiasi antara paparan dan kejadian pada desain studi cross-sectional

Metodologi

Sumber Data

Data yang digunakan yaitu data sekunder yang bersumber dari Open Data Jawa Tengah dan Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. Data yang digunakan dalam penelitin ini mencakup 35 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah .pada tahun 2024

Variabel Penelitian

Variabel Keterangan
Y Jumlah Kasus TBC
X1 Jumlah Faskes
X2 Persentase Akses Air Minum yang Layak
X3 Persentase Akses Sanitasi yang Layak
X4 Kepadatan Penduduk

Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan desain studi Cross-Sectional dengan pendekatan Regresi Poisson. Jika terdapat overdispersi maka akan menggunakan Regresi Binomial Negatif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari variabel prediktor yang memengaruhi variabel respon. Tahapan yang dilakukan yaitu :

  1. Eksplorasi Data dilakukan dengan analisis statistik deskriptif, mencari korelasi antar variabel, dan membuat peta sebaran

  2. Uji Autokorelasi Spasial dilakukan untuk mengukur ketergantungan spasial dengan :

    • Moran’s I (Global)

    • Local Moran’s I (Lokal)

  3. Menghitung Prevalensi untuk mengetahui proporsi individu yang memiliki penyakit pada waktu tertentu

  4. Menggunakan Model Regresi Terbaik (Poisson vs Binomial Negatif) melihat dispersi yang dihasilkan, jika overdispersi untuk mengatasinya gunakan Regresi Binomial Negatif

  5. Menghitung Prevalence Ratio untuk menilai besarnya asosiasi antara faktor risiko dan kejadian penyakit pada data prevalensi

Alur Kerja Penelitian

  1. Pengumpulan Data
  2. Eksplorasi Data
  3. Uji Autokorelasi Spasial
  4. Menghitung Prevalensi
  5. Memilih Model Regresi Terbaik
  6. Menghitung Prevalence Ratio
  7. Membuat Interpretasi Hasil
  8. Pembuatan Laporan dan Dashboard

Hasil dan Pembahasan

Analisis Deskriptif

Deskriptif Kasus TBC Jumlah Faskes Persentase Akses Air Minum Layak Persentase Akses Sanitasi Layak Kepadatan Penduduk
Mean 2402.257 25.171 95.958 86.567 2108.4
Median 1796 26 96.96 88.26 1219
Minimum 852 5 87.09 52.04 464
Maksimum 6992 40 99.93 98.54 11283

Korelasi Antar Variabel

knitr::include_graphics("korelasitbc.png")

Peta Sebaran Kasus TBC

knitr::include_graphics("petatbcjateng.png")

Berdasarkan peta di atas, jumlah kasus terbanyak cenderung berada di bagian barat dari Jawa Barat dengan kabupaten Bogor sebagai wilayah dengan kasus terbanyak

Uji Autokorelasi Spasial

  • Moran’s I

    Berdasarkan hasil dari uji autokorelasi Moran’s I yang menggunakan matriks bobot spasial dengan queen continguity, didapatkan hasil p-value yang signifikan dan nilai I = 0.45 yang berarti terdapat autokorelasi spasial positif yang signifikan.

  • Local Moran’s I

    knitr::include_graphics("localmorantbcjateng.png")

Prevalensi

Dalam hal ini, prevalensi menjelaskan proporsi individu terkena penyakit TBC di suatu daerah. Untuk hasil prevalensi dapat dilihat di dashboard.

Uji Multikolinearitas

Variabel VIF
X1 1.418
X2 1.416
X3 1.136
X4 1.5

Setelah dilakukan uji multikolinearitas dengan VIF, seluruh variabel X memiliki nilai < 5 dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel independen (X) yang digunakan tidak memiliki sifat multikolinearitas atau hubungan dengan variabel Y

Regresi Poisson

Variabel Koefisien p-value
Intercept -5.758 <0.05
X1 0.00886 <0.05
X2 -0.0111 <0.05
X3 0.00192 <0.05
X4 0.000156 <0.05

Cek Dispersi Regresi Poisson

Setelah dilakukan pengecekan, dispersi yang dihasilkan sebesar 405.32, yang mana jauh dari 1 sehingga digunakanlah Regresi Binomial Negatif untuk mengatasi overdispersi.

Regresi Binomial Negatif

Variabel Koefisien p-value
Intercept -4.636 0.144
X1 -0.05 0.533
X2 -0.021 0.294
X3 0.0037 0.557
X4 0.0002 < 0.05

Interpretasi :

  • Untuk variabel kepadatan penduduk (X4) memiliki hubungan positif dan signifikan dengan jumlah kasus TBC yang mana berarti semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk, semakin tinggi juga jumlah kasus TBC

  • Untuk variabel fasilitas kesehatan (X1), akses air minum yang layak (X2), dan akses sanitasi yang layak (X3) memiliki hubungan yang tidak signifikan

Cek Dispersi Regresi Binomial Negatif

Setelah dilakukan pengecekan, dispersi yang dihasilkan sebesar 1.19 yang mana sudah mendekati 1 nilainya sehingga Regresi Binomial Negatif dengan dispersi ini sudah jauh lebih baik untuk digunakan

Prevalence Ratio dari Model Regresi Terbaik

Variabel Koefisien p-value
Intercept 0.009 1.893
X1 0.995 < 0.05
X2 0.979 < 0.05
X3 1.004 < 0.05
X4 1.0002 < 0.05

Interpretasi :

  • Untuk variabel fasilitas kesehatan (X1), setiap kenaikan 1 unit X1 menghasilkan penurunan kasus TBC sebesar 0.5%
  • Untuk variabel akses air minum layak (X2), setiap kenaikan 1 unit X2 menghasilkan penurunan kasus TBC sebesar 2.1%
  • Untuk variabel akses sanitasi layak (X3), setiap kenaikan 1 unit X3 menghasilkan kenaikan kasus TBC sebesar 0.4%
  • Untuk variabel kepadatan penduduk (X3), setiap kenaikan 1 unit X4 menghasilkan kenaikan kasus TBC sebesar 0.2%

Kesimpulan dan Saran

Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kasus Tuberkulosis (TBC) di Jawa Tengah masih terbilang cukup tinggi. Dari seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Tengah, Kabupaten Banyumas menjadi daerah dengan kasus tertinggi di tahun 2024. Dari faktor-faktor yang diuji, faktor Kepadatan Penduduk menjadi faktor yang signifikan dimana semakin pada penduduk di suatu daerah maka semakin tinggi pula kasus TBC di daerah tersebut.

Untuk model regresi terbaik yang digunakan untuk melihat hubungan antara faktor risiko dan kejadian penyakit TBC yaitu regresi binomial negatif. Pemilihan binomial negatif karena sebagai penanganan model regresi poisson yang menunjukkan overdispersion yang membuat model regresi poisson tersebut tidak reliabel.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada website Badan Pusat Statistik Jawa Tengah dan Open Data Jawa Tengah telah menyediakan data yang relevan dan cocok digunakan dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada I Gede Nyoman Mindra Jaya, Ph.D selaku dosen pengampu mata kuliah Epidemiologi yang telah memberikan bimbingan dan arahan tidak hanya selama proses penyusunan laporan, tetapi juga selama kegiatan perkuliahan berlangsung. Selain itu, penulis juga menggunakan alat bantu berupa program Artificial Intelligence berupa ChatGPT dan Claude AI dalam proses penyusunan laporan ini. AI berperan untuk :

  • Membantu penulisan, penyusunan, dan debugging kode R untuk analisis Epidemiologi seperti Prevalensi, Prevalence Ratio, dan juga pemodelan regresi yang digunakan seperti Regresi Poisson dan Regresi Binomial Negatif

  • Membantu penyusunan kode RShiny untuk pembuatan dashboard epidemiologi yang interaktif

  • Membantu pencarian referensi berupa jurnal / laporan yang relevan dengan topik penelitian

Seluruh proses yang dilakukan mulai dari pencarian data, ide analisis data, interpretasi hasil, serta penarikan kesimpulan merupakan hasil yang dikerjakan secara mandiri oleh penulis.

Lampiran

Daftar Pustaka