1 ABSTRAK

Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Provinsi Jawa Barat dan berpotensi menimbulkan dampak sosial, ekonomi, serta kerusakan infrastruktur yang signifikan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola spasial kejadian tanah longsor di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 dengan menggunakan pendekatan statistik spasial dan spatial econometrics. Data yang digunakan berupa jumlah kejadian longsor per kabupaten/kota serta variabel penjelas yang meliputi kepadatan penduduk, panjang jaringan jalan, kondisi rumah layak huni, dan ketahanan bangunan.

Analisis dilakukan melalui statistik deskriptif, visualisasi peta tematik, serta pengujian autokorelasi spasial global menggunakan indeks Moran’s I dan Geary’s C, dan autokorelasi spasial lokal menggunakan Local Indicators of Spatial Association (LISA). Selanjutnya, dilakukan pemodelan regresi menggunakan Ordinary Least Squares (OLS) dan model regresi spasial, yaitu Spatial Lag Model (SAR), Spatial Error Model (SEM), dan Spatial Durbin Model (SDM). Pemilihan model terbaik dilakukan berdasarkan nilai Akaike Information Criterion (AIC). Selain itu, interpolasi spasial metode Inverse Distance Weighting (IDW) digunakan untuk memperoleh gambaran kontinu distribusi potensi kejadian tanah longsor.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian tanah longsor di Jawa Barat memiliki pola spasial yang tidak acak, meskipun tingkat autokorelasi global tergolong lemah. Variabel kepadatan penduduk dan kondisi rumah layak huni menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah kejadian longsor pada beberapa model spasial. Berdasarkan kriteria AIC, Spatial Durbin Model (SDM) merupakan model terbaik dalam menjelaskan fenomena kejadian tanah longsor. Hasil interpolasi IDW memperlihatkan adanya wilayah dengan potensi kejadian longsor yang relatif tinggi yang terkelompok secara spasial. Temuan ini diharapkan dapat menjadi dasar pendukung dalam perencanaan mitigasi dan pengurangan risiko bencana tanah longsor di Provinsi Jawa Barat.

2 PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang

Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki tingkat kerawanan bencana tanah longsor yang tinggi. Kondisi geografis Jawa Barat yang didominasi oleh wilayah perbukitan dan pegunungan, dikombinasikan dengan curah hujan yang tinggi, menjadikan wilayah ini rentan terhadap terjadinya pergerakan massa tanah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat bahwa tanah longsor secara konsisten menjadi salah satu jenis bencana dengan frekuensi kejadian tertinggi di Jawa Barat dalam beberapa tahun terakhir (BNPB, 2024). Pada tahun 2024, kejadian tanah longsor tercatat terjadi di hampir seluruh kabupaten/kota di provinsi ini, dengan intensitas yang bervariasi antar wilayah.

Tanah longsor merupakan fenomena alam yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor alam maupun faktor aktivitas manusia. Faktor alam yang berperan antara lain kemiringan lereng, kondisi geologi, jenis tanah, dan curah hujan, sementara faktor antropogenik mencakup perubahan penggunaan lahan, pembangunan infrastruktur, serta kepadatan penduduk (Varnes, 1978; Highland & Bobrowsky, 2008). Interaksi antara faktor-faktor tersebut menyebabkan risiko tanah longsor tidak tersebar secara merata, melainkan cenderung membentuk pola spasial tertentu di wilayah-wilayah dengan karakteristik lingkungan yang serupa.

Dalam analisis statistik konvensional, asumsi independensi antar pengamatan sering kali digunakan. Namun, pada data spasial, asumsi ini sering kali tidak terpenuhi karena adanya ketergantungan antar wilayah yang berdekatan secara geografis. Prinsip ini dikenal sebagai spatial dependence, yang menyatakan bahwa suatu fenomena di suatu lokasi cenderung dipengaruhi oleh kondisi di lokasi sekitarnya (Tobler, 1970). Oleh karena itu, analisis terhadap kejadian tanah longsor memerlukan pendekatan statistik yang mampu menangkap ketergantungan spasial tersebut.

Pendekatan analisis spasial memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi pola penyebaran kejadian tanah longsor, menguji keberadaan autokorelasi spasial, serta mengkaji hubungan antara variabel respon dengan variabel penjelas secara lebih komprehensif. Metode autokorelasi spasial seperti Moran’s I, Geary’s C, dan Local Indicators of Spatial Association (LISA) dapat digunakan untuk mendeteksi adanya pengelompokan spasial kejadian longsor (Anselin, 1995). Selain itu, model spatial econometrics seperti Spatial Lag Model (SAR), Spatial Error Model (SEM), dan Spatial Durbin Model (SDM) memungkinkan estimasi hubungan antar variabel dengan mempertimbangkan struktur ketergantungan spasial secara eksplisit (Anselin, 1988).

Berdasarkan latar belakang tersebut, analisis spasial terhadap kasus tanah longsor di Jawa Barat pada tahun 2024 menjadi penting untuk dilakukan. Hasil analisis diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pola spasial kejadian tanah longsor, mengidentifikasi wilayah-wilayah yang memiliki keterkaitan spasial yang kuat, serta memberikan dasar ilmiah bagi perencanaan mitigasi dan pengurangan risiko bencana yang lebih efektif di tingkat wilayah administratif.

2.2 Identifikasi Masalah

Kejadian tanah longsor di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024 menunjukkan tingkat kejadian yang relatif tinggi dan tersebar di berbagai kabupaten/kota. Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, sejumlah wilayah seperti Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Garut dilaporkan mengalami kejadian tanah longsor berulang yang mengakibatkan kerusakan infrastruktur, korban jiwa, serta gangguan aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat (BNPB, 2024). Kejadian tersebut umumnya terjadi pada wilayah dengan curah hujan tinggi dan kondisi topografi berbukit hingga pegunungan, yang merupakan karakteristik dominan di sebagian besar wilayah Jawa Barat.

Sebagai contoh, pada awal tahun 2024, tanah longsor terjadi di Kabupaten Bogor akibat hujan dengan intensitas tinggi yang menyebabkan runtuhnya lereng dan menutup akses jalan utama antar kecamatan. Kejadian serupa juga dilaporkan di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bandung, di mana longsor terjadi di wilayah dengan kepadatan penduduk yang relatif tinggi dan dekat dengan jaringan jalan utama (BNPB, 2024). Pola kejadian ini mengindikasikan bahwa tanah longsor tidak hanya dipengaruhi oleh faktor alam semata, tetapi juga oleh aktivitas manusia dan karakteristik spasial wilayah di sekitarnya.

Variasi jumlah kejadian tanah longsor antar kabupaten/kota tersebut menunjukkan bahwa risiko longsor tidak tersebar secara acak, melainkan cenderung membentuk pola spasial tertentu. Kabupaten/kota yang berdekatan secara geografis sering kali mengalami kejadian tanah longsor dalam periode waktu yang berdekatan pula. Fenomena ini mengindikasikan adanya ketergantungan spasial (spatial dependence), di mana kondisi suatu wilayah dipengaruhi oleh kondisi wilayah di sekitarnya (Tobler, 1970). Oleh karena itu, pendekatan statistik konvensional yang mengasumsikan independensi antar wilayah menjadi kurang memadai untuk menganalisis kejadian tanah longsor.

Selain itu, jumlah kejadian tanah longsor diduga dipengaruhi oleh berbagai faktor wilayah seperti kepadatan penduduk, panjang jaringan jalan, kondisi perumahan, serta tingkat ketahanan bangunan. Faktor-faktor tersebut berpotensi memperbesar dampak kejadian longsor, terutama di wilayah dengan pembangunan infrastruktur yang intensif pada daerah rawan bencana. Pengaruh faktor-faktor tersebut juga dapat bersifat spasial, di mana kondisi suatu wilayah dapat memberikan efek limpahan (spatial spillover effects) terhadap wilayah tetangganya (Anselin, 1988; Anselin, 1995).

Berdasarkan kondisi tersebut, permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah kejadian tanah longsor di Jawa Barat tahun 2024 menunjukkan adanya autokorelasi spasial antar kabupaten/kota?
2. Bagaimana pola autokorelasi spasial kejadian tanah longsor secara global dan lokal di Jawa Barat?
3. Sejauh mana faktor kepadatan penduduk, panjang jalan, kondisi perumahan, dan ketahanan bangunan memengaruhi jumlah kejadian tanah longsor ketika ketergantungan spasial diperhitungkan?
4. Model spatial econometrics manakah yang paling sesuai dalam menjelaskan pola kejadian tanah longsor di Jawa Barat tahun 2024?

2.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola spasial kejadian tanah longsor di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024 dengan menggunakan pendekatan statistik spasial dan spatial econometrics. Melalui analisis ini, diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai keterkaitan spasial antar wilayah serta faktor-faktor yang memengaruhi jumlah kejadian tanah longsor secara spasial.

Lebih lanjut, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi pola penyebaran kejadian tanah longsor di Jawa Barat tahun 2024 melalui eksplorasi data spasial dan peta tematik.
2. Menguji keberadaan autokorelasi spasial kejadian tanah longsor antar kabupaten/kota di Jawa Barat secara global dan lokal menggunakan indeks Moran’s I, Geary’s C, dan Local Indicators of Spatial Association (LISA).
3. Menganalisis pengaruh faktor kepadatan penduduk, panjang jaringan jalan, kondisi perumahan, dan ketahanan bangunan terhadap jumlah kejadian tanah longsor dengan mempertimbangkan ketergantungan spasial antar wilayah.
4. Membandingkan kinerja beberapa model spatial econometrics, yaitu Ordinary Least Squares (OLS), Spatial Lag Model (SAR), Spatial Error Model (SEM), dan Spatial Durbin Model (SDM), dalam menjelaskan pola kejadian tanah longsor.
5. Menentukan model spatial econometrics terbaik berdasarkan kriteria statistik dan interpretasi substantif hasil model.
6. Melakukan pemodelan interpolasi spasial untuk memperoleh gambaran kontinu mengenai distribusi potensi kejadian tanah longsor di wilayah Jawa Barat.

2.4 Batasan Penelitian

Agar penelitian ini memiliki ruang lingkup yang jelas dan terfokus, maka ditetapkan beberapa batasan penelitian sebagai berikut :

  1. Batasan Wilayah
    Wilayah penelitian dibatasi pada seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Unit analisis yang digunakan adalah wilayah administratif tingkat kabupaten/kota, sehingga analisis spasial dilakukan berdasarkan batas wilayah administratif tersebut.

  2. Batasan Waktu
    Penelitian ini menggunakan data kejadian tanah longsor yang terjadi pada tahun 2024. Dengan demikian, hasil analisis hanya merepresentasikan kondisi dan pola kejadian tanah longsor pada periode tersebut.

  3. Batasan Data
    Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data spasial berupa shapefile batas administrasi kabupaten/kota di Jawa Barat serta data atribut yang mencakup jumlah kejadian tanah longsor dan variabel penjelas terkait kondisi wilayah. Data yang tidak memiliki nilai pada variabel respon diasumsikan bernilai nol sesuai dengan ketersediaan data yang ada.

  4. Batasan Variabel
    Variabel respon dalam penelitian ini adalah jumlah kejadian tanah longsor pada masing-masing kabupaten/kota. Variabel penjelas yang digunakan dibatasi pada kepadatan penduduk, panjang jaringan jalan, jumlah rumah layak huni, dan tingkat ketahanan bangunan. Variabel-variabel lain yang berpotensi memengaruhi kejadian tanah longsor, seperti curah hujan, jenis tanah, dan kemiringan lereng, tidak dimasukkan dalam analisis karena keterbatasan ketersediaan dan keseragaman data.

  5. Batasan Metode Analisis
    Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi eksplorasi data spasial, analisis autokorelasi spasial menggunakan indeks Moran’s I, Geary’s C, dan Local Indicators of Spatial Association (LISA), serta pemodelan spatial econometrics yang mencakup Ordinary Least Squares (OLS), Spatial Lag Model (SAR), Spatial Error Model (SEM), dan Spatial Durbin Model (SDM). Pemilihan model terbaik dilakukan berdasarkan nilai Akaike Information Criterion (AIC). Selain itu, pemodelan interpolasi spasial dilakukan menggunakan metode Inverse Distance Weighting (IDW) berbasis titik centroid wilayah.

3 TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Konsep Dasar Data Spasial

Data spasial merupakan data yang memiliki informasi mengenai lokasi geografis suatu objek atau fenomena di permukaan bumi. Informasi lokasi tersebut biasanya direpresentasikan dalam bentuk koordinat geografis, sistem proyeksi tertentu, atau referensi wilayah administratif. Selain informasi lokasi, data spasial juga dapat dilengkapi dengan data atribut yang menjelaskan karakteristik atau nilai dari objek yang diamati (Goodchild, 1986).

Secara umum, data spasial terdiri dari dua komponen utama, yaitu komponen geometris dan komponen atribut. Komponen geometris menggambarkan posisi, bentuk, dan hubungan spasial antar objek, sedangkan komponen atribut berisi informasi non-spasial yang melekat pada objek tersebut, seperti jumlah kejadian, kepadatan penduduk, atau karakteristik sosial ekonomi wilayah (Longley et al., 2015). Kombinasi kedua komponen ini memungkinkan analisis fenomena yang mempertimbangkan aspek lokasi dan karakteristik wilayah secara simultan.

Berdasarkan bentuk representasinya, data spasial dapat diklasifikasikan menjadi data vektor dan data raster. Data vektor merepresentasikan objek geografis dalam bentuk titik, garis, dan poligon, sedangkan data raster merepresentasikan informasi spasial dalam bentuk grid atau piksel yang memiliki nilai tertentu pada setiap sel (Burrough & McDonnell, 1998). Dalam penelitian ini, data spasial direpresentasikan dalam bentuk data vektor poligon yang menggambarkan batas administratif kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.

Unit spasial merupakan satuan wilayah atau objek geografis yang digunakan sebagai dasar analisis. Pemilihan unit spasial sangat penting karena akan memengaruhi hasil analisis dan interpretasi fenomena yang dikaji. Unit spasial dapat berupa wilayah administratif, seperti provinsi, kabupaten/kota, atau kecamatan, maupun unit buatan seperti grid atau titik koordinat tertentu (Openshaw, 1984). Fenomena ini dikenal sebagai Modifiable Areal Unit Problem (MAUP), yaitu kondisi di mana hasil analisis dapat berubah tergantung pada skala dan bentuk unit spasial yang digunakan.

Dalam penelitian ini, unit spasial yang digunakan adalah wilayah administratif kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Pemilihan unit ini didasarkan pada ketersediaan data kejadian tanah longsor dan variabel penjelas pada tingkat kabupaten/kota, serta relevansinya dalam konteks perencanaan dan pengambilan kebijakan mitigasi bencana. Dengan menggunakan unit spasial yang konsisten, analisis spasial yang dilakukan diharapkan mampu menggambarkan pola dan keterkaitan kejadian tanah longsor secara lebih sistematis dan terukur.

3.2 Spatial Dependence

Spatial dependence atau ketergantungan spasial merupakan konsep fundamental dalam analisis data spasial yang menyatakan bahwa nilai suatu variabel di suatu lokasi tidak bersifat independen, melainkan dipengaruhi oleh nilai variabel yang sama atau karakteristik lingkungan di lokasi lain yang berdekatan secara geografis. Konsep ini berakar pada First Law of Geography yang dikemukakan oleh Tobler (1970), yaitu “everything is related to everything else, but near things are more related than distant things.” Prinsip tersebut menegaskan bahwa kedekatan geografis berperan penting dalam membentuk pola dan hubungan antar fenomena spasial.

Dalam konteks statistik, spatial dependence muncul ketika pengamatan pada satu unit spasial berkorelasi dengan pengamatan pada unit spasial lainnya. Ketergantungan ini dapat bersifat positif maupun negatif. Ketergantungan spasial positif terjadi ketika wilayah-wilayah yang berdekatan memiliki nilai variabel yang cenderung mirip, misalnya wilayah dengan jumlah kejadian tanah longsor tinggi yang dikelilingi oleh wilayah lain dengan jumlah kejadian tinggi pula. Sebaliknya, ketergantungan spasial negatif terjadi ketika wilayah dengan nilai tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah bernilai rendah, membentuk pola kontras atau checkerboard (Goodchild, 1986).

Keberadaan spatial dependence memiliki implikasi penting dalam analisis data spasial. Pada analisis statistik konvensional, seperti regresi Ordinary Least Squares (OLS), diasumsikan bahwa residual antar pengamatan bersifat independen. Namun, apabila data menunjukkan ketergantungan spasial, asumsi ini dilanggar sehingga estimasi parameter menjadi tidak efisien dan standar error cenderung bias. Akibatnya, uji signifikansi statistik dapat menghasilkan kesimpulan yang menyesatkan, seperti mendeteksi pengaruh variabel yang sebenarnya tidak signifikan atau sebaliknya (Anselin, 1988).

Dalam studi kebencanaan, termasuk kejadian tanah longsor, spatial dependence sering kali muncul secara alami akibat kesamaan kondisi fisik dan lingkungan antar wilayah yang berdekatan. Faktor-faktor seperti topografi, jenis tanah, struktur geologi, serta pola curah hujan umumnya tidak berubah secara drastis pada batas administratif, melainkan memiliki kontinuitas spasial. Selain itu, aktivitas manusia seperti pembangunan infrastruktur, perubahan penggunaan lahan, dan kepadatan permukiman juga cenderung membentuk pola yang saling terkait antar wilayah tetangga. Kondisi tersebut menyebabkan risiko dan kejadian tanah longsor di suatu kabupaten/kota dapat memengaruhi atau berkorelasi dengan wilayah sekitarnya.

Untuk merepresentasikan spatial dependence secara kuantitatif, digunakan matriks bobot spasial (spatial weights matrix), yang mendefinisikan struktur ketetanggaan antar unit spasial. Matriks ini dapat dibangun berdasarkan kedekatan batas wilayah (contiguity-based), seperti rook dan queen contiguity, maupun berdasarkan jarak geografis (distance-based). Matriks bobot spasial berperan penting sebagai dasar dalam pengukuran autokorelasi spasial dan pemodelan ekonometrika spasial, karena menentukan bagaimana pengaruh suatu wilayah “ditransmisikan” ke wilayah lainnya (Anselin, 1995).

Implikasi praktis dari pemahaman spatial dependence dalam penelitian ini adalah perlunya penggunaan metode analisis yang secara eksplisit mempertimbangkan struktur spasial data. Pengujian autokorelasi spasial, baik secara global maupun lokal, menjadi langkah awal untuk mengidentifikasi keberadaan dan pola ketergantungan spasial kejadian tanah longsor di Jawa Barat. Selanjutnya, pemodelan spatial econometrics digunakan untuk mengakomodasi ketergantungan tersebut dalam estimasi hubungan antara jumlah kejadian tanah longsor dan faktor-faktor penjelasnya. Dengan pendekatan ini, hasil analisis diharapkan lebih akurat secara statistik dan lebih relevan secara substantif untuk mendukung perencanaan mitigasi bencana berbasis wilayah.

3.3 Autokorelasi Spasial

Autokorelasi spasial merupakan ukuran statistik yang digunakan untuk menilai sejauh mana nilai suatu variabel di satu lokasi berkorelasi dengan nilai variabel yang sama di lokasi lain berdasarkan kedekatan geografisnya. Konsep ini merupakan perwujudan kuantitatif dari spatial dependence, yang memungkinkan pengujian apakah pola spasial yang diamati bersifat acak, terkelompok, atau membentuk pola tertentu. Dalam analisis spasial, autokorelasi spasial menjadi tahap penting untuk memahami struktur dasar data sebelum dilakukan pemodelan spasial lebih lanjut (Goodchild, 1986).

Autokorelasi spasial dapat diukur secara global maupun lokal. Ukuran global memberikan satu nilai ringkasan untuk seluruh wilayah studi, sedangkan ukuran lokal mengidentifikasi variasi pola spasial pada tingkat unit wilayah tertentu. Salah satu ukuran global yang paling umum digunakan adalah indeks Moran’s I (Moran, 1950).

3.3.1 Moran’s I

Moran’s I merupakan indeks autokorelasi spasial global yang mengukur tingkat kemiripan nilai suatu variabel antar unit spasial dengan mempertimbangkan struktur ketetanggaan yang didefinisikan dalam matriks bobot spasial. Indeks ini sering dipandang sebagai analog spasial dari koefisien korelasi Pearson, karena sama-sama mengukur hubungan antar pengamatan, namun dengan mempertimbangkan dimensi geografis (Anselin, 1988).

Secara matematis, indeks Moran’s I dirumuskan sebagai berikut :

\[ I = \frac{N}{S_0} \frac{\sum_{i=1}^{N} \sum_{j=1}^{N} w_{ij}(x_i - \bar{x})(x_j - \bar{x})} {\sum_{i=1}^{N} (x_i - \bar{x})^2} \]

Nilai Moran’s I secara teoritis berada dalam rentang [−1,+1], meskipun dalam praktik nilai yang diperoleh bergantung pada struktur matriks bobot spasial yang digunakan. Interpretasi nilai Moran’s I adalah sebagai berikut :

I > 0 menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif, di mana wilayah dengan nilai tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah bernilai tinggi dan wilayah bernilai rendah berdekatan dengan wilayah bernilai rendah.

I < 0 menunjukkan autokorelasi spasial negatif, yang mengindikasikan pola kontras atau checkerboard, yaitu wilayah bernilai tinggi dikelilingi oleh wilayah bernilai rendah atau sebaliknya.

I ≈ 0 menunjukkan tidak adanya autokorelasi spasial, sehingga pola spasial yang terbentuk bersifat acak.

Untuk menilai signifikansi statistik nilai Moran’s I, dilakukan uji hipotesis dengan hipotesis nol menyatakan tidak adanya autokorelasi spasial. Pengujian ini umumnya dilakukan melalui pendekatan randomisasi atau permutasi, di mana nilai variabel diacak antar wilayah untuk membentuk distribusi acak Moran’s I. Nilai p-value yang kecil (misalnya p<0.05p < 0.05p<0.05) mengindikasikan bahwa pola spasial yang diamati berbeda secara signifikan dari pola acak (Anselin, 1995).

Dalam penelitian kejadian tanah longsor di Provinsi Jawa Barat tahun 2024, indeks Moran’s I digunakan untuk menguji apakah jumlah kejadian tanah longsor antar kabupaten/kota menunjukkan pola spasial yang saling berkaitan. Nilai Moran’s I yang signifikan akan mengindikasikan bahwa kejadian tanah longsor tidak tersebar secara acak, melainkan membentuk pengelompokan spasial tertentu. Temuan ini menjadi dasar penting untuk melanjutkan analisis ke tingkat lokal menggunakan Local Indicators of Spatial Association (LISA) serta pemodelan spatial econometrics yang secara eksplisit memperhitungkan ketergantungan spasial antar wilayah.

3.3.2 Geary’s C

Geary’s C merupakan ukuran autokorelasi spasial global yang dikembangkan sebagai alternatif dari indeks Moran’s I. Berbeda dengan Moran’s I yang menekankan pada kovarians antar nilai pada wilayah yang berdekatan, Geary’s C lebih sensitif terhadap perbedaan atau kontras nilai antar unit spasial yang bertetangga. Oleh karena itu, indeks ini sering digunakan sebagai ukuran pelengkap untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai pola spasial suatu fenomena (Geary, 1954; Goodchild, 1986).

Secara matematis, indeks Geary’s C dirumuskan sebagai berikut :

\[ C = \frac{(N - 1)} {2 S_0} \frac{\sum_{i=1}^{N} \sum_{j=1}^{N} w_{ij} (x_i - x_j)^2} {\sum_{i=1}^{N} (x_i - \bar{x})^2} \]

Nilai indeks Geary’s C secara teoritis berada pada rentang nilai positif, dengan nilai referensi utama sebesar 1. Interpretasi nilai Geary’s C adalah sebagai berikut :

\(C < 1\) menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif, yang berarti wilayah-wilayah yang berdekatan cenderung memiliki nilai yang mirip.

\(C > 1\) menunjukkan adanya autokorelasi spasial negatif, yang mengindikasikan bahwa wilayah bertetangga cenderung memiliki nilai yang berbeda secara kontras.

\(C \approx 1\) menunjukkan tidak adanya autokorelasi spasial, sehingga pola spasial yang terbentuk bersifat acak.

Dalam praktik analisis, signifikansi nilai Geary’s C umumnya diuji menggunakan pendekatan randomisasi atau permutasi, serupa dengan pengujian Moran’s I. Uji ini bertujuan untuk menentukan apakah nilai Geary’s C yang diperoleh berbeda secara signifikan dari nilai yang diharapkan pada kondisi tanpa autokorelasi spasial. Nilai p-value yang kecil menunjukkan bahwa pola spasial yang diamati tidak terjadi secara kebetulan (Anselin, 1995).

Dalam penelitian kejadian tanah longsor di Provinsi Jawa Barat tahun 2024, Geary’s C digunakan sebagai ukuran alternatif untuk mengonfirmasi keberadaan autokorelasi spasial global pada jumlah kejadian tanah longsor antar kabupaten/kota. Penggunaan Geary’s C bersama dengan Moran’s I diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih kuat dan robust mengenai struktur spasial data sebelum dilakukan analisis autokorelasi lokal dan pemodelan ekonometrika spasial.

3.3.3 Local Indicators of Spatial Association (LISA)

Local Indicators of Spatial Association (LISA) merupakan ukuran autokorelasi spasial lokal yang diperkenalkan oleh Anselin (1995) untuk mengidentifikasi variasi pola spasial pada tingkat unit wilayah individual. Berbeda dengan ukuran autokorelasi spasial global seperti Moran’s I dan Geary’s C yang memberikan satu nilai ringkasan untuk seluruh wilayah studi, LISA memungkinkan pendeteksian lokasi-lokasi spesifik yang berkontribusi terhadap pola autokorelasi spasial secara keseluruhan.

Pendekatan LISA sangat berguna untuk mengidentifikasi adanya klaster spasial (spatial clusters) dan pencilan spasial (spatial outliers). Klaster spasial terjadi ketika suatu wilayah memiliki nilai variabel yang tinggi atau rendah dan dikelilingi oleh wilayah lain dengan nilai yang serupa, sedangkan pencilan spasial muncul ketika suatu wilayah memiliki nilai yang kontras dibandingkan wilayah-wilayah tetangganya (Anselin, 1995).

Ukuran LISA yang paling umum digunakan adalah Local Moran’s I, yang dirumuskan sebagai berikut :

\[ I_i = \frac{(x_i - \bar{x})} {\displaystyle \frac{1}{N} \sum_{k=1}^{N} (x_k - \bar{x})^2} \sum_{j=1}^{N} w_{ij} (x_j - \bar{x}) \]

Nilai Local Moran’s I diinterpretasikan berdasarkan kombinasi antara nilai variabel pada suatu wilayah dan nilai rata-rata variabel pada wilayah-wilayah tetangganya. Berdasarkan interpretasi ini, pola spasial lokal dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori utama, yaitu :

High–High (HH) : wilayah dengan nilai variabel tinggi yang dikelilingi oleh wilayah lain dengan nilai tinggi, yang mengindikasikan klaster kejadian tinggi.

Low–Low (LL) : wilayah dengan nilai variabel rendah yang dikelilingi oleh wilayah lain dengan nilai rendah, yang menunjukkan klaster kejadian rendah.

High–Low (HL) : wilayah dengan nilai tinggi yang dikelilingi oleh wilayah bernilai rendah, yang dikategorikan sebagai pencilan spasial.

Low–High (LH) : wilayah dengan nilai rendah yang dikelilingi oleh wilayah bernilai tinggi, yang juga merupakan bentuk pencilan spasial.

Untuk menentukan signifikansi statistik Local Moran’s I, dilakukan uji permutasi secara individual pada setiap unit spasial. Nilai p-value yang diperoleh digunakan untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah yang memiliki pola autokorelasi spasial lokal yang signifikan secara statistik, umumnya pada tingkat signifikansi 5%. Hanya wilayah dengan nilai Local Moran’s I yang signifikan yang kemudian diinterpretasikan sebagai klaster atau pencilan spasial yang bermakna (Anselin, 1995).

Dalam penelitian kejadian tanah longsor di Provinsi Jawa Barat tahun 2024, analisis LISA digunakan untuk mengidentifikasi kabupaten/kota yang membentuk klaster kejadian tanah longsor tinggi maupun rendah, serta wilayah yang berperan sebagai pencilan spasial. Hasil analisis ini memberikan informasi spasial yang lebih detail dibandingkan autokorelasi global, sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam penentuan prioritas wilayah mitigasi bencana dan perencanaan kebijakan pengurangan risiko tanah longsor berbasis lokasi.

3.4 Model Spatial Econometrics

Model spatial econometrics merupakan pengembangan dari model regresi klasik yang dirancang untuk mengakomodasi ketergantungan spasial yang sering muncul pada data geografis. Dalam konteks data spasial, hubungan antar wilayah yang berdekatan dapat menyebabkan pelanggaran terhadap asumsi independensi residual yang mendasari model regresi Ordinary Least Squares (OLS). Oleh karena itu, model spatial econometrics digunakan untuk menghasilkan estimasi parameter yang lebih efisien dan interpretasi yang lebih akurat dengan mempertimbangkan struktur ketetanggaan antar unit spasial (Anselin, 1988).

3.4.1 Ordinary Least Squares (OLS)

Model Ordinary Least Squares (OLS) merupakan model regresi linear klasik yang digunakan sebagai pendekatan awal untuk menganalisis hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. Secara umum, model OLS dirumuskan sebagai berikut :

\[ y = X\beta + \varepsilon \]

dengan :

  • \(y\) adalah vektor variabel dependen,

  • \(X\) adalah matriks variabel independen,

  • \(\beta\) adalah vektor parameter regresi,

  • \(\varepsilon\) adalah vektor error yang diasumsikan berdistribusi normal, homogen, dan saling independen.

Meskipun OLS banyak digunakan karena kesederhanaannya, model ini memiliki keterbatasan ketika diterapkan pada data spasial. Keberadaan autokorelasi spasial menyebabkan residual antar wilayah saling berkorelasi, sehingga asumsi independensi error menjadi tidak terpenuhi. Akibatnya, estimasi parameter OLS tetap tidak bias, namun menjadi tidak efisien dan uji signifikansi statistik berpotensi memberikan kesimpulan yang keliru (Anselin, 1988). Oleh karena itu, ketika autokorelasi spasial terdeteksi, diperlukan model alternatif yang secara eksplisit mempertimbangkan ketergantungan spasial.

3.4.2 Spatial Lag Model (SAR)

Spatial Lag Model (SAR) merupakan model regresi spasial yang memasukkan efek ketergantungan spasial langsung pada variabel dependen. Model ini mengasumsikan bahwa nilai variabel dependen di suatu wilayah dipengaruhi oleh nilai variabel dependen di wilayah-wilayah tetangganya. Secara matematis, model SAR dirumuskan sebagai berikut :

\[ y = \rho Wy + X\beta + \varepsilon \]

dengan :

  • \(W\) adalah matriks bobot spasial,

  • \(\rho\) adalah parameter spatial autoregressive yang menunjukkan kekuatan ketergantungan spasial pada variabel dependen.

Nilai parameter \(\rho\) yang signifikan menunjukkan adanya efek limpahan spasial (spatial spillover effects), di mana perubahan nilai variabel dependen di suatu wilayah dapat memengaruhi wilayah-wilayah di sekitarnya. Model SAR sangat relevan digunakan ketika fenomena yang diteliti, seperti kejadian tanah longsor, memiliki karakteristik penyebaran atau pengaruh antar wilayah yang saling berkaitan secara langsung.

3.4.3 Spatial Error Model (SEM)

Spatial Error Model (SEM) digunakan ketika ketergantungan spasial tidak muncul secara langsung pada variabel dependen, melainkan terkandung dalam komponen error. Model ini mengasumsikan bahwa terdapat faktor-faktor laten atau tidak teramati yang memiliki struktur spasial dan memengaruhi variabel dependen. Model SEM dirumuskan sebagai berikut :

\[ y = X\beta + u \]

\[ u = \lambda Wu + \varepsilon \]

dengan :

  • \(u\) adalah error spasial,

  • \(\lambda\) adalah parameter ketergantungan spasial pada error.

Model SEM cocok digunakan ketika autokorelasi spasial muncul akibat variabel penting yang tidak dimasukkan ke dalam model, seperti faktor lingkungan atau geologi yang memiliki kontinuitas spasial. Dengan mengakomodasi struktur spasial pada error, model SEM mampu menghasilkan estimasi parameter yang lebih efisien dibandingkan OLS.

3.4.4 Spatial Durbin Model (SDM)

Spatial Durbin Model (SDM) merupakan model regresi spasial yang paling umum dan fleksibel, karena menggabungkan efek lag spasial pada variabel dependen dan variabel independen. Model SDM dirumuskan sebagai berikut :

\[ y = \rho Wy + X\beta + WX\theta + \varepsilon \]

dengan :

  • \(WX\) adalah matriks variabel independen yang dilag secara spasial,

  • \(\theta\) adalah vektor parameter untuk variabel independen yang dilag secara spasial.

Model SDM memungkinkan analisis efek langsung (direct effects) dan efek tidak langsung (indirect or spillover effects) dari variabel independen terhadap variabel dependen. Selain itu, model ini bersifat nesting, di mana model SAR dan SEM dapat dianggap sebagai kasus khusus dari SDM. Oleh karena itu, SDM sering direkomendasikan sebagai model awal dalam analisis spatial econometrics sebelum dilakukan pengujian lebih lanjut (Anselin, 1988).

3.5 Pemodelan Interpolasi Spasial

Interpolasi spasial merupakan metode analisis yang digunakan untuk memperkirakan nilai suatu variabel pada lokasi yang tidak teramati berdasarkan nilai variabel pada lokasi-lokasi terdekat. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa lokasi yang berdekatan secara geografis cenderung memiliki karakteristik yang lebih mirip dibandingkan lokasi yang berjauhan, sejalan dengan prinsip spatial dependence (Burrough & McDonnell, 1998).

Salah satu metode interpolasi spasial yang paling sederhana dan umum digunakan adalah Inverse Distance Weighting (IDW). Metode IDW mengestimasi nilai pada suatu lokasi sebagai rata-rata tertimbang dari nilai pada titik-titik di sekitarnya, di mana bobot ditentukan oleh jarak. Secara matematis, metode IDW dirumuskan sebagai berikut :

\[ \hat{z}(x_0) = \frac{\sum_{i=1}^{n} \frac{z(x_i)}{d(x_0, x_i)^p}} {\sum_{i=1}^{n} \frac{1}{d(x_0, x_i)^p}} \]

dengan :

  • \(\hat{z}(x_0)\) adalah nilai hasil interpolasi pada lokasi \(x_0\),

  • \(z(x_i)\) adalah nilai variabel pada titik ke-\(i\),

  • \(d(x_0, x_i)\) adalah jarak antara lokasi \(x_0\) dan titik ke-\(i\),

  • \(p\) adalah parameter pangkat (power parameter) yang mengontrol pengaruh jarak terhadap bobot.

Nilai parameter \(p\) yang lebih besar akan memberikan bobot yang lebih besar pada titik-titik yang lebih dekat, sehingga hasil interpolasi menjadi lebih lokal. Dalam penelitian ini, metode IDW digunakan untuk memperoleh gambaran kontinu mengenai distribusi potensi kejadian tanah longsor di Provinsi Jawa Barat berdasarkan nilai jumlah kejadian pada centroid masing-masing kabupaten/kota. Hasil interpolasi ini berfungsi sebagai alat visualisasi tambahan untuk mendukung interpretasi pola spasial kejadian tanah longsor.

4 METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Data dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data spasial dan data atribut yang bersifat cross-sectional pada tahun 2024 dengan unit analisis kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Data yang digunakan terdiri atas dua jenis, yaitu data spasial (geometrik) dan data atribut (non-spasial) yang saling terintegrasi untuk mendukung analisis statistika dan ekonometrika spasial.

Data Spasial

Data spasial yang digunakan berupa peta batas administrasi kabupaten/kota di Indonesia dalam format shapefile. Peta ini selanjutnya difilter untuk wilayah Provinsi Jawa Barat agar sesuai dengan cakupan wilayah penelitian. Data spasial tersebut menyajikan informasi geometrik wilayah kabupaten/kota dalam bentuk poligon, yang digunakan sebagai dasar dalam analisis pola spasial, pembentukan matriks bobot spasial, serta visualisasi hasil analisis.

Selain itu, untuk keperluan analisis interpolasi, data poligon kabupaten/kota dikonversi menjadi titik centroid yang merepresentasikan lokasi geometrik pusat masing-masing wilayah. Pendekatan ini digunakan untuk menghasilkan permukaan spasial kontinu dari data yang bersifat diskrit, sesuai dengan praktik umum dalam analisis geostatistik dan atas pertimbangan keterbatasan ketersediaan data titik observasi.

Data Atribut

Data atribut yang digunakan merupakan data numerik pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah jumlah kejadian tanah longsor, yang merepresentasikan frekuensi kejadian bencana longsor pada masing-masing wilayah. Variabel ini bersifat data hitung (count data) dan digunakan sebagai indikator intensitas kejadian bencana tanah longsor.

Variabel independen yang digunakan terdiri atas beberapa indikator yang secara teoritis berkaitan dengan kejadian tanah longsor, yaitu kepadatan penduduk, panjang jalan, persentase rumah layak huni, dan persentase rumah tangga yang memiliki ketahanan bangunan. Variabel-variabel tersebut merepresentasikan aspek tekanan aktivitas manusia, infrastruktur, serta kualitas dan ketahanan permukiman.

Seluruh data atribut diperoleh dari sumber data resmi dan bersifat open access, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Data kemudian diintegrasikan dengan data spasial melalui proses penggabungan (join) berdasarkan nama kabupaten/kota yang telah diseragamkan, sehingga setiap unit wilayah memiliki informasi geometrik dan atribut yang lengkap untuk keperluan analisis.

4.2 Unit Analisis dan Unit Spasial

Unit analisis dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, yang digunakan sebagai satuan observasi dalam seluruh tahapan analisis. Setiap kabupaten/kota diperlakukan sebagai satu unit administratif yang memiliki karakteristik spasial dan atribut tertentu, baik terkait kejadian tanah longsor maupun faktor-faktor yang diduga memengaruhinya.

Unit spasial dalam penelitian ini direpresentasikan dalam bentuk wilayah administratif (poligon) kabupaten/kota. Representasi poligon digunakan sebagai dasar untuk analisis pola spasial, pembentukan matriks bobot spasial, serta estimasi model ekonometrika spasial yang mempertimbangkan keterkaitan antarwilayah yang bertetangga. Hubungan spasial antar kabupaten/kota didefinisikan berdasarkan kedekatan geografis (contiguity), di mana dua wilayah dianggap bertetangga apabila memiliki sisi atau titik batas yang bersinggungan.

Selain penggunaan unit spasial berbentuk poligon, penelitian ini juga memanfaatkan titik centroid dari masing-masing kabupaten/kota sebagai representasi spasial alternatif. Titik centroid digunakan khusus untuk keperluan analisis interpolasi spasial, dengan tujuan menghasilkan permukaan spasial kontinu dari data yang bersifat diskrit pada tingkat wilayah administratif. Pendekatan ini dipilih karena keterbatasan ketersediaan data observasi berbasis titik, serta sesuai dengan praktik umum dalam analisis geostatistik dan arahan dosen pengampu mata kuliah.

Dengan menggunakan kabupaten/kota sebagai unit analisis dan unit spasial, penelitian ini mampu menangkap variasi spasial antarwilayah di Provinsi Jawa Barat secara komprehensif, baik dalam konteks pengelompokan kejadian tanah longsor maupun dalam mengidentifikasi pengaruh faktor-faktor sosial dan infrastruktur yang bersifat spasial.

4.3 Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas variabel respon (dependen) dan variabel penjelas (independen) yang dianalisis pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Pemilihan variabel didasarkan pada pertimbangan teoritis, ketersediaan data, serta relevansinya dalam menjelaskan variasi spasial kejadian tanah longsor.

Variabel Respon

Variabel respon dalam penelitian ini adalah jumlah kejadian tanah longsor pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Variabel ini merepresentasikan frekuensi kejadian bencana tanah longsor yang tercatat selama tahun pengamatan. Secara statistik, variabel ini termasuk dalam kategori data hitung (count data) dengan nilai non-negatif.

Penggunaan jumlah kejadian tanah longsor sebagai variabel respon bertujuan untuk mengidentifikasi pola spasial kejadian serta menganalisis keterkaitan antara karakteristik wilayah dan intensitas kejadian longsor. Dalam interpretasi hasil analisis, perubahan nilai variabel respon dipahami sebagai perubahan rata-rata jumlah kejadian, bukan sebagai ukuran probabilitas atau risiko kejadian.

Variabel Penjelas

Variabel penjelas dalam penelitian ini mencakup beberapa indikator yang secara konseptual berhubungan dengan kejadian tanah longsor, baik dari aspek tekanan aktivitas manusia, infrastruktur, maupun kualitas permukiman. Variabel penjelas yang digunakan adalah sebagai berikut :

Kepadatan Penduduk Variabel kepadatan penduduk diukur dalam satuan jiwa per kilometer persegi (jiwa/km²). Variabel ini mencerminkan tingkat tekanan aktivitas manusia terhadap ruang wilayah. Kepadatan penduduk yang tinggi berpotensi meningkatkan perubahan penggunaan lahan dan intensitas aktivitas manusia, yang dapat berkontribusi terhadap meningkatnya jumlah kejadian tanah longsor.

Panjang Jalan Panjang jalan diukur dalam satuan kilometer (km) dan merepresentasikan total panjang jaringan jalan pada masing-masing kabupaten/kota. Variabel ini digunakan sebagai indikator tingkat pembangunan infrastruktur dan aksesibilitas wilayah. Pembangunan dan keberadaan jaringan jalan berpotensi memengaruhi stabilitas lereng serta memicu terjadinya longsor, terutama pada wilayah dengan kondisi topografi yang rentan.

Persentase Rumah Layak Huni Variabel persentase rumah layak huni diukur dalam satuan persen (%) dan mencerminkan kualitas kondisi permukiman di suatu wilayah. Tingginya persentase rumah layak huni mengindikasikan kondisi lingkungan permukiman yang lebih baik, yang secara teoritis dapat berkaitan dengan penurunan jumlah kejadian longsor akibat pengelolaan lingkungan yang lebih memadai.

Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Ketahanan Bangunan Variabel ini diukur dalam satuan persen (%) dan menunjukkan proporsi rumah tangga yang menempati bangunan dengan tingkat ketahanan struktural yang memadai. Ketahanan bangunan mencerminkan kemampuan bangunan dalam menghadapi tekanan lingkungan, termasuk kondisi tanah dan lereng. Variabel ini digunakan untuk menangkap aspek mitigasi struktural yang berpotensi berkontribusi terhadap berkurangnya jumlah kejadian tanah longsor.

4.4 Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini merupakan rangkaian analisis statistika dan ekonometrika spasial yang dilakukan secara bertahap untuk mengidentifikasi pola spasial kejadian tanah longsor serta faktor-faktor yang memengaruhinya pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Seluruh analisis dilakukan menggunakan perangkat lunak R dengan pendekatan kuantitatif dan berbasis spasial.

Tahapan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi eksplorasi data spasial, analisis autokorelasi spasial, estimasi model ekonometrika spasial, pemilihan model terbaik, serta pemodelan interpolasi spasial. Penjelasan masing-masing tahapan disajikan sebagai berikut .

Eksplorasi Data Spasial

Tahap awal analisis dilakukan melalui eksplorasi data spasial untuk memperoleh gambaran umum mengenai karakteristik data dan pola distribusi spasial kejadian tanah longsor. Pada tahap ini dilakukan perhitungan statistik deskriptif, meliputi nilai minimum, maksimum, rata-rata, dan simpangan baku untuk seluruh variabel penelitian.

Selain itu, dilakukan visualisasi spasial dalam bentuk peta tematik (choropleth) untuk variabel respon dan variabel penjelas. Peta awal ini bertujuan untuk mengidentifikasi indikasi awal adanya pengelompokan spasial serta variasi antarwilayah yang dapat menjadi dasar bagi analisis spasial lanjutan.

Pembentukan Matriks Bobot Spasial

Untuk merepresentasikan hubungan spasial antarwilayah, dibentuk matriks bobot spasial (spatial weights matrix) berdasarkan pendekatan contiguity. Dalam penelitian ini digunakan Queen contiguity, di mana dua kabupaten/kota dianggap bertetangga apabila memiliki sisi atau titik batas yang bersinggungan.

Matriks bobot spasial kemudian dinormalisasi menggunakan metode row-standardization, sehingga jumlah bobot pada setiap baris bernilai satu. Matriks bobot ini digunakan dalam seluruh pengujian autokorelasi spasial dan estimasi model ekonometrika spasial.

Analisis Autokorelasi Spasial

Analisis autokorelasi spasial dilakukan untuk menguji keberadaan keterkaitan spasial pada variabel respon, yaitu jumlah kejadian tanah longsor. Pengujian dilakukan menggunakan beberapa indeks, yaitu Moran’s I dan Geary’s C sebagai ukuran autokorelasi spasial global.

Selain itu, dilakukan analisis Local Indicators of Spatial Association (LISA) untuk mengidentifikasi pola autokorelasi spasial lokal. Analisis LISA memungkinkan identifikasi klaster wilayah dengan karakteristik nilai yang serupa, seperti klaster dengan jumlah kejadian tinggi yang dikelilingi oleh wilayah dengan jumlah kejadian tinggi lainnya. Hasil analisis autokorelasi spasial digunakan sebagai dasar justifikasi penggunaan model ekonometrika spasial.

Estimasi Model Ekonometrika Spasial

Untuk menganalisis pengaruh variabel penjelas terhadap jumlah kejadian tanah longsor dengan mempertimbangkan ketergantungan spasial, dilakukan estimasi beberapa model ekonometrika spasial. Sebagai pembanding awal, terlebih dahulu diestimasi model regresi linier klasik (Ordinary Least Squares/OLS).

Selanjutnya, dilakukan estimasi tiga model ekonometrika spasial, yaitu Spatial Lag Model (SAR), Spatial Error Model (SEM), dan Spatial Durbin Model (SDM). Model SAR digunakan untuk menangkap pengaruh keterkaitan spasial secara langsung pada variabel dependen, model SEM digunakan untuk mengakomodasi ketergantungan spasial pada komponen galat, sedangkan model SDM merupakan perluasan dari model SAR yang juga mempertimbangkan pengaruh spasial dari variabel penjelas.

Keberadaan autokorelasi spasial pada residual model OLS diuji menggunakan indeks Moran’s I sebagai dasar penentuan perlunya penggunaan model spasial.

Pemilihan Model Terbaik

Pemilihan model ekonometrika spasial terbaik dilakukan dengan membandingkan kinerja model berdasarkan kriteria statistik, khususnya nilai Akaike Information Criterion (AIC). Model dengan nilai AIC terendah dianggap memberikan keseimbangan terbaik antara tingkat kecocokan model dan kompleksitas parameter.

Selain pertimbangan statistik, pemilihan model juga mempertimbangkan interpretasi substantif dari parameter model, terutama terkait makna keterkaitan spasial dan relevansi variabel penjelas terhadap kejadian tanah longsor.

Pemodelan Interpolasi Spasial

Sebagai pelengkap analisis, dilakukan pemodelan interpolasi spasial untuk menghasilkan representasi permukaan spasial kontinu dari data yang bersifat diskrit. Interpolasi dilakukan dengan menggunakan titik centroid dari masing-masing kabupaten/kota sebagai titik observasi.

Metode interpolasi yang digunakan adalah Inverse Distance Weighting (IDW), di mana nilai pada suatu lokasi diperkirakan berdasarkan bobot jarak terhadap titik-titik observasi di sekitarnya. Hasil interpolasi digunakan untuk memvisualisasikan pola sebaran spasial kejadian tanah longsor secara lebih halus.

Visualisasi dan Interpretasi Hasil

Tahap akhir analisis meliputi visualisasi dan interpretasi hasil model. Visualisasi dilakukan dalam bentuk peta prediksi maupun peta residual dari model ekonometrika spasial terpilih. Peta residual digunakan untuk mengevaluasi kecukupan model dalam menjelaskan variasi spasial data, serta untuk mengidentifikasi potensi pola spasial yang belum sepenuhnya tertangkap oleh model.

Seluruh hasil analisis kemudian diinterpretasikan dengan memperhatikan karakteristik spasial wilayah serta konteks substansial kejadian tanah longsor di Provinsi Jawa Barat.

4.5 Alur Kerja Penelitian

Alur kerja penelitian ini diawali dengan pengumpulan data spasial berupa shapefile batas administrasi kabupaten/kota Indonesia yang kemudian difilter untuk wilayah Provinsi Jawa Barat, serta data atribut tahun 2024 yang mencakup jumlah kejadian tanah longsor dan variabel penjelas. Tahap pra-pemrosesan dilakukan melalui standarisasi nama wilayah, penggabungan data spasial dan atribut, serta penanganan data hilang dengan menetapkan nilai nol pada wilayah tanpa kejadian longsor yang tercatat. Selanjutnya, dilakukan eksplorasi data spasial melalui statistik deskriptif dan peta awal, diikuti dengan pembentukan matriks bobot spasial berbasis kedekatan wilayah (queen contiguity) dan analisis autokorelasi spasial menggunakan indeks Moran’s I, Geary’s C, dan LISA. Tahap berikutnya meliputi estimasi model ekonometrika spasial yang diawali dengan model OLS sebagai pembanding, kemudian dilanjutkan dengan model SAR, SEM, dan SDM, serta pemilihan model terbaik berdasarkan nilai AIC, karakteristik residual, dan interpretasi substantif hasil. Pada tahap akhir, hasil model divisualisasikan dalam bentuk peta prediksi dan peta residual, serta dilakukan pemodelan interpolasi spasial menggunakan metode IDW berbasis titik centroid kabupaten/kota untuk mendukung penyusunan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan wilayah.

5 HASIL ANALISIS

5.1 Library

# Library

library(sf)
## Warning: package 'sf' was built under R version 4.5.1
## Linking to GEOS 3.13.1, GDAL 3.11.0, PROJ 9.6.0; sf_use_s2() is TRUE
library(dplyr)
## Warning: package 'dplyr' was built under R version 4.5.1
## 
## Attaching package: 'dplyr'
## The following objects are masked from 'package:stats':
## 
##     filter, lag
## The following objects are masked from 'package:base':
## 
##     intersect, setdiff, setequal, union
library(readxl)
## Warning: package 'readxl' was built under R version 4.5.1
library(stringr)
## Warning: package 'stringr' was built under R version 4.5.1
library(ggplot2)
## Warning: package 'ggplot2' was built under R version 4.5.1
# Spatial analysis

library(spdep)
## Warning: package 'spdep' was built under R version 4.5.1
## Loading required package: spData
## Warning: package 'spData' was built under R version 4.5.1
## To access larger datasets in this package, install the spDataLarge
## package with: `install.packages('spDataLarge',
## repos='https://nowosad.github.io/drat/', type='source')`
library(spatialreg)
## Warning: package 'spatialreg' was built under R version 4.5.1
## Loading required package: Matrix
## 
## Attaching package: 'spatialreg'
## The following objects are masked from 'package:spdep':
## 
##     get.ClusterOption, get.coresOption, get.mcOption,
##     get.VerboseOption, get.ZeroPolicyOption, set.ClusterOption,
##     set.coresOption, set.mcOption, set.VerboseOption,
##     set.ZeroPolicyOption
# Visualisasi dan interpolasi

library(tmap)
## Warning: package 'tmap' was built under R version 4.5.1
library(gstat)
## Warning: package 'gstat' was built under R version 4.5.1
library(stars)
## Warning: package 'stars' was built under R version 4.5.1
## Loading required package: abind
tmap_mode("plot")
## ℹ tmap modes "plot" - "view"
## ℹ toggle with `tmap::ttm()`
## This message is displayed once per session.

5.2 LOAD DATA & FILTER WILAYAH

5.2.1 Load Shapefile Indonesia

shp_path <- "C:/Users/user/OneDrive/Documents/Spasial_DashboardUAS/Batas_Kabupaten_2024.shp"
shp <- st_read(shp_path, quiet = TRUE)

names(shp)
## [1] "KDPKAB"   "KDPPUM"   "WADMKK"   "WADMPR"   "METADATA" "UPDATED"  "geometry"

5.2.2 Filter Provinsi Jawa Barat

shp_jabar <- shp |>
filter(WADMPR == "Jawa Barat")

nrow(shp_jabar)  # 27
## [1] 27

5.2.3 Load Data Excel

data_path <- "C:/Users/user/OneDrive/Documents/Spasial_DashboardUAS/Data_Longsor.xlsx"
data <- read_excel(data_path)

names(data)
## [1] "Kab/Kota"                    "Jumlah Longsor"             
## [3] "Kepadatan Penduduk"          "Panjang Jalan"              
## [5] "Rumah Layak Huni"            "Memiliki Ketahanan Bangunan"

5.2.4 Join Data Spasial & Atribut

clean_name <- function(x){
x |> str_to_upper() |> str_trim()
}

shp_jabar$Kab_Kota <- clean_name(shp_jabar$WADMKK)
data$Kab_Kota      <- clean_name(data$`Kab/Kota`)

sfdata <- shp_jabar |>
left_join(data, by = "Kab_Kota")

# Nilai Y kosong diasumsikan 0

sfdata$`Jumlah Longsor`[is.na(sfdata$`Jumlah Longsor`)] <- 0

5.3 EKSPLORASI DATA SPASIAL

5.3.1 Statistik Deskriptif

sfdata |>
st_drop_geometry() |>
summarise(across(
c(`Jumlah Longsor`,
`Kepadatan Penduduk`,
`Panjang Jalan`,
`Rumah Layak Huni`,
`Memiliki Ketahanan Bangunan`),
list(
min = min,
mean = mean,
max = max,
sd = sd
),
na.rm = TRUE
))
## Warning: There was 1 warning in `summarise()`.
## ℹ In argument: `across(...)`.
## Caused by warning:
## ! The `...` argument of `across()` is deprecated as of dplyr 1.1.0.
## Supply arguments directly to `.fns` through an anonymous function instead.
## 
##   # Previously
##   across(a:b, mean, na.rm = TRUE)
## 
##   # Now
##   across(a:b, \(x) mean(x, na.rm = TRUE))
##   Jumlah Longsor_min Jumlah Longsor_mean Jumlah Longsor_max Jumlah Longsor_sd
## 1                  0            2.888889                 19          4.651992
##   Kepadatan Penduduk_min Kepadatan Penduduk_mean Kepadatan Penduduk_max
## 1                    385                3910.926                  15176
##   Kepadatan Penduduk_sd Panjang Jalan_min Panjang Jalan_mean Panjang Jalan_max
## 1              4668.116               119           72844.59           1940586
##   Panjang Jalan_sd Rumah Layak Huni_min Rumah Layak Huni_mean
## 1         373272.3                32.83              58.72407
##   Rumah Layak Huni_max Rumah Layak Huni_sd Memiliki Ketahanan Bangunan_min
## 1                85.78            17.09696                           51.19
##   Memiliki Ketahanan Bangunan_mean Memiliki Ketahanan Bangunan_max
## 1                         81.37667                           96.52
##   Memiliki Ketahanan Bangunan_sd
## 1                        11.3202

5.3.2 Peta Awal Jumlah Kejadian Longsor

tm_shape(sfdata) +
tm_polygons("Jumlah Longsor",
style = "quantile",
n = 5,
title = "Jumlah Kejadian Longsor") +
tm_layout(frame = FALSE)
## 
## ── tmap v3 code detected ───────────────────────────────────────────────────────
## [v3->v4] `tm_polygons()`: instead of `style = "quantile"`, use fill.scale =
## `tm_scale_intervals()`.
## ℹ Migrate the argument(s) 'style', 'n' to 'tm_scale_intervals(<HERE>)'
## [v3->v4] `tm_polygons()`: migrate the argument(s) related to the legend of the
## visual variable `fill` namely 'title' to 'fill.legend = tm_legend(<HERE>)'

5.4 ANALISIS AUTOKORELASI SPASIAL

5.4.1 Matriks Bobot Spasial (Queen)

nb <- poly2nb(sfdata, queen = TRUE)
lw <- nb2listw(nb, style = "W", zero.policy = TRUE)

5.4.2 Moran’s I Global

moran.test(sfdata$`Jumlah Longsor`, lw, zero.policy = TRUE)
## 
##  Moran I test under randomisation
## 
## data:  sfdata$`Jumlah Longsor`  
## weights: lw    
## 
## Moran I statistic standard deviate = 0.92306, p-value = 0.178
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic       Expectation          Variance 
##        0.07794633       -0.03846154        0.01590397

5.4.3 Geary’s C

geary.test(sfdata$`Jumlah Longsor`, lw, zero.policy = TRUE)
## 
##  Geary C test under randomisation
## 
## data:  sfdata$`Jumlah Longsor` 
## weights: lw   
## 
## Geary C statistic standard deviate = -1.7559, p-value = 0.9604
## alternative hypothesis: Expectation greater than statistic
## sample estimates:
## Geary C statistic       Expectation          Variance 
##        1.37604339        1.00000000        0.04586393

5.4.4 LISA (Local Moran’s I)

lisa <- localmoran(sfdata$`Jumlah Longsor`, lw, zero.policy = TRUE)

sfdata$Local_I <- lisa[,1]
sfdata$p_value <- lisa[,5]

tm_shape(sfdata) +
tm_polygons("Local_I",
style = "quantile",
n = 5,
title = "Local Moran's I") +
tm_layout(frame = FALSE)
## 
## ── tmap v3 code detected ───────────────────────────────────────────────────────
## [v3->v4] `tm_polygons()`: instead of `style = "quantile"`, use fill.scale =
## `tm_scale_intervals()`.
## ℹ Migrate the argument(s) 'style', 'n' to 'tm_scale_intervals(<HERE>)'
## [v3->v4] `tm_polygons()`: migrate the argument(s) related to the legend of the
## visual variable `fill` namely 'title' to 'fill.legend = tm_legend(<HERE>)'
## [scale] tm_polygons:() the data variable assigned to 'fill' contains positive and negative values, so midpoint is set to 0. Set 'midpoint = NA' in 'fill.scale = tm_scale_intervals(<HERE>)' to use all visual values (e.g. colors)

5.5 MODEL EKONOMETRIKA SPASIAL

5.5.1 Model OLS

ols <- lm(
`Jumlah Longsor` ~
`Kepadatan Penduduk` +
`Panjang Jalan` +
`Rumah Layak Huni` +
`Memiliki Ketahanan Bangunan`,
data = sfdata
)
summary(ols)
## 
## Call:
## lm(formula = `Jumlah Longsor` ~ `Kepadatan Penduduk` + `Panjang Jalan` + 
##     `Rumah Layak Huni` + `Memiliki Ketahanan Bangunan`, data = sfdata)
## 
## Residuals:
##     Min      1Q  Median      3Q     Max 
## -4.9523 -2.0359 -0.3965  0.9750 13.2095 
## 
## Coefficients:
##                                 Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)  
## (Intercept)                    1.699e+01  6.408e+00   2.651   0.0146 *
## `Kepadatan Penduduk`          -4.285e-04  1.807e-04  -2.372   0.0269 *
## `Panjang Jalan`               -1.372e-06  2.169e-06  -0.633   0.5335  
## `Rumah Layak Huni`            -1.089e-01  5.874e-02  -1.854   0.0772 .
## `Memiliki Ketahanan Bangunan` -7.284e-02  9.116e-02  -0.799   0.4328  
## ---
## Signif. codes:  0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
## 
## Residual standard error: 4.047 on 22 degrees of freedom
## Multiple R-squared:  0.3597, Adjusted R-squared:  0.2433 
## F-statistic: 3.089 on 4 and 22 DF,  p-value: 0.03677

5.5.2 Moran’s I Residual OLS

lm.morantest(ols, lw, zero.policy = TRUE)
## 
##  Global Moran I for regression residuals
## 
## data:  
## model: lm(formula = `Jumlah Longsor` ~ `Kepadatan Penduduk` + `Panjang
## Jalan` + `Rumah Layak Huni` + `Memiliki Ketahanan Bangunan`, data =
## sfdata)
## weights: lw
## 
## Moran I statistic standard deviate = 1.3148, p-value = 0.09428
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Observed Moran I      Expectation         Variance 
##       0.07975855      -0.09431780       0.01752816

5.5.3 Spatial Lag Model (SAR)

sar <- lagsarlm(
`Jumlah Longsor` ~
`Kepadatan Penduduk` +
`Panjang Jalan` +
`Rumah Layak Huni` +
`Memiliki Ketahanan Bangunan`,
data = sfdata,
listw = lw,
zero.policy = TRUE
)
summary(sar)
## 
## Call:lagsarlm(formula = `Jumlah Longsor` ~ `Kepadatan Penduduk` + 
##     `Panjang Jalan` + `Rumah Layak Huni` + `Memiliki Ketahanan Bangunan`, 
##     data = sfdata, listw = lw, zero.policy = TRUE)
## 
## Residuals:
##      Min       1Q   Median       3Q      Max 
## -4.97133 -2.04931 -0.39473  0.93617 13.17765 
## 
## Type: lag 
## Coefficients: (asymptotic standard errors) 
##                                  Estimate  Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept)                    1.7234e+01  6.0490e+00  2.8490 0.004385
## `Kepadatan Penduduk`          -4.2620e-04  1.6318e-04 -2.6118 0.009006
## `Panjang Jalan`               -1.3499e-06  1.9585e-06 -0.6892 0.490670
## `Rumah Layak Huni`            -1.0916e-01  5.5283e-02 -1.9746 0.048310
## `Memiliki Ketahanan Bangunan` -7.5067e-02  8.2282e-02 -0.9123 0.361605
## 
## Rho: -0.012386, LR test value: 0.0038574, p-value: 0.95048
## Asymptotic standard error: 0.22463
##     z-value: -0.055139, p-value: 0.95603
## Wald statistic: 0.0030403, p-value: 0.95603
## 
## Log likelihood: -73.2887 for lag model
## ML residual variance (sigma squared): 13.341, (sigma: 3.6526)
## Number of observations: 27 
## Number of parameters estimated: 7 
## AIC: 160.58, (AIC for lm: 158.58)
## LM test for residual autocorrelation
## test value: 2.1331, p-value: 0.14415

5.5.4 Spatial Error Model (SEM)

sem <- errorsarlm(
`Jumlah Longsor` ~
`Kepadatan Penduduk` +
`Panjang Jalan` +
`Rumah Layak Huni` +
`Memiliki Ketahanan Bangunan`,
data = sfdata,
listw = lw,
zero.policy = TRUE
)
summary(sem)
## 
## Call:errorsarlm(formula = `Jumlah Longsor` ~ `Kepadatan Penduduk` + 
##     `Panjang Jalan` + `Rumah Layak Huni` + `Memiliki Ketahanan Bangunan`, 
##     data = sfdata, listw = lw, zero.policy = TRUE)
## 
## Residuals:
##      Min       1Q   Median       3Q      Max 
## -4.86505 -2.06177 -0.50209  1.48206 13.34450 
## 
## Type: error 
## Coefficients: (asymptotic standard errors) 
##                                  Estimate  Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept)                    1.4062e+01  6.1832e+00  2.2742 0.022953
## `Kepadatan Penduduk`          -5.0095e-04  1.6653e-04 -3.0083 0.002627
## `Panjang Jalan`               -1.8217e-06  1.9015e-06 -0.9580 0.338047
## `Rumah Layak Huni`            -1.2602e-01  5.6938e-02 -2.2132 0.026884
## `Memiliki Ketahanan Bangunan` -2.4524e-02  8.6830e-02 -0.2824 0.777607
## 
## Lambda: 0.19809, LR test value: 0.43916, p-value: 0.50753
## Asymptotic standard error: 0.22928
##     z-value: 0.864, p-value: 0.38759
## Wald statistic: 0.74649, p-value: 0.38759
## 
## Log likelihood: -73.07105 for error model
## ML residual variance (sigma squared): 12.998, (sigma: 3.6053)
## Number of observations: 27 
## Number of parameters estimated: 7 
## AIC: 160.14, (AIC for lm: 158.58)

5.5.5 Spatial Durbin Model (SDM)

sdm <- lagsarlm(
`Jumlah Longsor` ~
`Kepadatan Penduduk` +
`Panjang Jalan` +
`Rumah Layak Huni` +
`Memiliki Ketahanan Bangunan`,
data = sfdata,
listw = lw,
Durbin = TRUE,
zero.policy = TRUE
)
summary(sdm)
## 
## Call:lagsarlm(formula = `Jumlah Longsor` ~ `Kepadatan Penduduk` + 
##     `Panjang Jalan` + `Rumah Layak Huni` + `Memiliki Ketahanan Bangunan`, 
##     data = sfdata, listw = lw, Durbin = TRUE, zero.policy = TRUE)
## 
## Residuals:
##      Min       1Q   Median       3Q      Max 
## -6.15310 -1.61390  0.16698  1.30709  9.57012 
## 
## Type: mixed 
## Coefficients: (asymptotic standard errors) 
##                                      Estimate  Std. Error z value  Pr(>|z|)
## (Intercept)                        1.3741e+01  9.7768e+00  1.4054 0.1598922
## `Kepadatan Penduduk`              -6.5522e-04  1.8996e-04 -3.4492 0.0005622
## `Panjang Jalan`                   -1.6078e-06  1.7142e-06 -0.9379 0.3482800
## `Rumah Layak Huni`                -1.5702e-01  7.4555e-02 -2.1060 0.0352001
## `Memiliki Ketahanan Bangunan`      8.9477e-02  9.3120e-02  0.9609 0.3366147
## lag.`Kepadatan Penduduk`           9.9868e-04  4.3713e-04  2.2846 0.0223340
## lag.`Panjang Jalan`                3.2220e-07  4.8100e-06  0.0670 0.9465934
## lag.`Rumah Layak Huni`             1.3649e-01  1.3031e-01  1.0474 0.2949186
## lag.`Memiliki Ketahanan Bangunan` -2.1458e-01  1.7618e-01 -1.2180 0.2232274
## 
## Rho: 0.14208, LR test value: 0.41416, p-value: 0.51987
## Asymptotic standard error: 0.22775
##     z-value: 0.62386, p-value: 0.53272
## Wald statistic: 0.3892, p-value: 0.53272
## 
## Log likelihood: -68.67726 for mixed model
## ML residual variance (sigma squared): 9.4334, (sigma: 3.0714)
## Number of observations: 27 
## Number of parameters estimated: 11 
## AIC: 159.35, (AIC for lm: 157.77)
## LM test for residual autocorrelation
## test value: 1.0002, p-value: 0.31725

5.6 PEMILIHAN MODEL TERBAIK

data.frame(
Model = c("OLS", "SAR", "SEM", "SDM"),
AIC = c(AIC(ols), AIC(sar), AIC(sem), AIC(sdm))
)
##   Model      AIC
## 1   OLS 158.5813
## 2   SAR 160.5774
## 3   SEM 160.1421
## 4   SDM 159.3545

5.7 VISUALISASI HASIL MODEL

5.7.1 Residual Model Terbaik (SDM)

sfdata$residual_sdm <- residuals(sdm)

tm_shape(sfdata) +
tm_polygons("residual_sdm",
style = "quantile",
n = 5,
title = "Residual Spatial Durbin Model") +
tm_layout(frame = FALSE)
## 
## ── tmap v3 code detected ───────────────────────────────────────────────────────
## [v3->v4] `tm_polygons()`: instead of `style = "quantile"`, use fill.scale =
## `tm_scale_intervals()`.
## ℹ Migrate the argument(s) 'style', 'n' to 'tm_scale_intervals(<HERE>)'
## [v3->v4] `tm_polygons()`: migrate the argument(s) related to the legend of the
## visual variable `fill` namely 'title' to 'fill.legend = tm_legend(<HERE>)'
## [scale] tm_polygons:() the data variable assigned to 'fill' contains positive and negative values, so midpoint is set to 0. Set 'midpoint = NA' in 'fill.scale = tm_scale_intervals(<HERE>)' to use all visual values (e.g. colors)

5.8 PEMODELAN INTERPOLASI (CENTROID)

5.8.1 Titik Centroid

pts <- st_centroid(sfdata)
## Warning: st_centroid assumes attributes are constant over geometries
pts$z <- pts$`Jumlah Longsor`

5.8.2 Interpolasi IDW

st_crs(sfdata)
## Coordinate Reference System:
##   User input: WGS 84 
##   wkt:
## GEOGCRS["WGS 84",
##     DATUM["World Geodetic System 1984",
##         ELLIPSOID["WGS 84",6378137,298.257223563,
##             LENGTHUNIT["metre",1]]],
##     PRIMEM["Greenwich",0,
##         ANGLEUNIT["degree",0.0174532925199433]],
##     CS[ellipsoidal,2],
##         AXIS["latitude",north,
##             ORDER[1],
##             ANGLEUNIT["degree",0.0174532925199433]],
##         AXIS["longitude",east,
##             ORDER[2],
##             ANGLEUNIT["degree",0.0174532925199433]],
##     ID["EPSG",4326]]
st_geometry_type(sfdata)
##  [1] MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON
##  [6] MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON
## [11] MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON
## [16] MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON
## [21] MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON
## [26] MULTIPOLYGON MULTIPOLYGON
## 18 Levels: GEOMETRY POINT LINESTRING POLYGON MULTIPOINT ... TRIANGLE
object.size(sfdata)
## 14371128 bytes
library(sf)
library(sp)
## Warning: package 'sp' was built under R version 4.5.1
library(gstat)

# 1) Transform ke UTM zona Jabar
sf_utm <- st_transform(sfdata, 32748)

# 2) Centroid (titik representatif)
pts <- st_centroid(sf_utm, of_largest_polygon = TRUE)
## Warning: st_centroid assumes attributes are constant over geometries
xy  <- st_coordinates(pts)

# 3) Buat SpatialPointsDataFrame
sp_pts <- data.frame(x = xy[,1], y = xy[,2], z = pts$`Jumlah Longsor`)
coordinates(sp_pts) <- ~ x + y
proj4string(sp_pts) <- CRS(SRS_string = "EPSG:32748")

# 4) Grid (resolusi)
bb <- st_bbox(sf_utm)
n  <- 120

gx <- seq(bb["xmin"], bb["xmax"], length.out = n)
gy <- seq(bb["ymin"], bb["ymax"], length.out = n)
grd <- expand.grid(x = gx, y = gy)
coordinates(grd) <- ~ x + y
gridded(grd) <- TRUE
proj4string(grd) <- CRS(SRS_string = "EPSG:32748")

# 5) IDW
t <- system.time({
  idw_res <- gstat::idw(z ~ 1, sp_pts, grd, idp = 2, nmax = 7)
})
## [inverse distance weighted interpolation]
print(t)
##    user  system elapsed 
##    0.18    0.02    0.20
# 6) Plot hasil prediksi
sp::spplot(
  idw_res["var1.pred"],
  main = paste0("Interpolasi IDW Jumlah Kejadian Longsor")
)

6 PEMBAHASAN HASIL

Pembahasan mencakup statistik deskriptif, visualisasi peta tematik, uji autokorelasi spasial global (Moran’s I dan Geary’s C), analisis LISA (Local Moran’s I), serta pemodelan regresi (OLS) dan model regresi spasial (SAR/SEM/SDM) beserta pemilihan model terbaik berbasis AIC .

6.0.1 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian

Berdasarkan ringkasan statistik deskriptif, variabel respon Jumlah Longsor memiliki nilai minimum 0, rata-rata sekitar 2,89, maksimum 19, dan simpangan baku sekitar 4,65. Ini menunjukkan kejadian longsor tidak merata: sebagian wilayah mengalami sedikit/tidak ada kejadian, sementara beberapa wilayah memiliki kejadian jauh lebih tinggi (outlier).

Untuk variabel penjelas :

- Kepadatan Penduduk memiliki rentang yang sangat lebar (min 385 hingga max 15.176 jiwa/km²), dengan mean sekitar 3.910,93 dan SD sekitar 4.668,12. Variabilitas tinggi ini mengindikasikan adanya perbedaan karakter wilayah (perkotaan vs non-perkotaan) yang sangat tajam di Jawa Barat.

- Panjang Jalan memiliki min 119 dan max 1.940.586 dengan mean sekitar 72.844,59 dan SD sekitar 373.272,3. Rentang sangat besar ini menandakan data infrastruktur jalan sangat tidak homogen antar kabupaten/kota.

- Rumah Layak Huni berada pada rentang 32,83% hingga 85,78%, dengan mean 58,72% dan SD sekitar 17,10. Artinya, kualitas hunian bervariasi cukup kuat antar wilayah.

- Memiliki Ketahanan Bangunan berada pada rentang 51,19% hingga 96,52%, dengan mean sekitar 81,38% dan SD sekitar 11,32; variasinya ada namun tidak se-ekstrem kepadatan penduduk.

Secara umum, sebaran variabel (terutama kepadatan penduduk dan panjang jalan) menunjukkan heterogenitas wilayah yang tinggi, sehingga analisis spasial dan model yang mempertimbangkan struktur spasial menjadi relevan untuk diuji.

6.0.2 Visualisasi Spasial : Peta Sebaran Jumlah Kejadian Longsor

Peta tematik Jumlah Kejadian Longsor memperlihatkan adanya perbedaan intensitas longsor antar kabupaten/kota. Secara interpretatif, area dengan warna lebih gelap menunjukkan jumlah kejadian lebih tinggi. Visualisasi ini penting sebagai tahap eksplorasi untuk melihat indikasi pola klaster atau konsentrasi kejadian pada wilayah tertentu.

Namun, indikasi visual pada peta tidak cukup untuk menyimpulkan adanya autokorelasi spasial. Oleh karena itu, dilakukan uji statistik autokorelasi spasial global (Moran dan Geary) dan lokal (LISA).

6.0.3 Autokorelasi Spasial Global (Moran’s I dan Geary’s C)

Uji Moran’s I terhadap variabel Jumlah Longsor menghasilkan :
- Moran’s I = 0,0779
- p-value = 0,178 (uji satu arah : alternative “greater”)

Nilai Moran’s I positif menunjukkan kecenderungan autokorelasi positif (wilayah bertetangga cenderung memiliki nilai yang mirip), namun tidak signifikan secara statistik pada taraf 5%. Artinya, secara global tidak ada bukti kuat bahwa kejadian longsor membentuk klaster yang konsisten di seluruh Jawa Barat.

Uji Geary’s C menghasilkan :
- Geary’s C = 1,3760
- p-value = 0,9604

Geary’s C > 1 secara konseptual mengarah pada kecenderungan “dispersi/ketidakmiripan” antar tetangga, tetapi p-value yang sangat besar menunjukkan hasil tersebut tidak signifikan. Dengan demikian, uji Geary juga tidak mendukung adanya autokorelasi spasial global yang kuat.

Hasil uji global menyiratkan bahwa pola longsor di Jawa Barat tahun 2024, pada skala kabupaten/kota, tidak menunjukkan dependensi spasial global yang kuat. Namun, kondisi ini tidak menutup kemungkinan adanya pola lokal (klaster atau outlier) pada wilayah tertentu, sehingga analisis LISA tetap diperlukan.

6.0.4 Autokorelasi Spasial Lokal (LISA / Local Moran’s I)

Peta Local Moran’s I menggambarkan variasi pola lokal antar wilayah: ada wilayah yang cenderung berada dalam klaster (nilai mirip dengan tetangganya) dan ada wilayah yang cenderung menjadi outlier lokal.

Dalam kerangka LISA, kategori yang umum dipakai adalah :

- High–High (HH) : wilayah bernilai tinggi dikelilingi tetangga bernilai tinggi (indikasi klaster tinggi).
- Low–Low (LL) : wilayah bernilai rendah dikelilingi tetangga bernilai rendah (indikasi klaster rendah).
- High–Low (HL) : wilayah bernilai tinggi dikelilingi tetangga bernilai rendah (outlier tinggi).
- Low–High (LH) : wilayah bernilai rendah dikelilingi tetangga bernilai tinggi (outlier rendah).

Walaupun uji global tidak signifikan, LISA dapat tetap menampilkan pola lokal (misalnya beberapa kab/kota yang membentuk klaster HH/LL). Dengan demikian, interpretasi LISA lebih tepat untuk mengidentifikasi lokasi prioritas (hotspot/ coldspot) yang sifatnya setempat, bukan menyimpulkan pola menyeluruh untuk seluruh provinsi.

6.0.5 Regresi OLS : Hubungan Faktor Sosial–Infrastruktur dengan Longsor

Model OLS yang diestimasi adalah :

\[ Jumlah\ Longsor \sim Kepadatan\ Penduduk + Panjang\ Jalan + Rumah\ Layak\ Huni + Memiliki\ Ketahanan\ Bangunan \]

Hasil utama OLS :
- R² = 0,3597 dan Adjusted R² = 0,2433
Artinya, sekitar 36% variasi jumlah longsor dapat dijelaskan oleh variabel penjelas dalam model, sedangkan sisanya dipengaruhi faktor lain yang tidak masuk model.
- Uji F menghasilkan p-value 0,03677 → model secara keseluruhan signifikan pada taraf 5%.

Interpretasi koefisien (berdasarkan p-value) :
- Kepadatan Penduduk berkoefisien negatif dan signifikan (p = 0,0269). Ini berarti pada data ini, peningkatan kepadatan penduduk berkorelasi dengan penurunan jumlah longsor (ceteris paribus). Secara substantif, hasil ini bisa terjadi bila wilayah berpenduduk sangat padat cenderung wilayah perkotaan dengan kontur lahan tertentu, rekayasa lingkungan lebih intensif, atau pelaporan/klasifikasi longsor berbeda. Hasil ini perlu dipahami sebagai korelasi terkontrol dalam model, bukan hubungan kausal langsung.
- Rumah Layak Huni berkoefisien negatif dan mendekati signifikan (p = 0,0772). Ini mengindikasikan bahwa wilayah dengan proporsi rumah layak huni lebih tinggi cenderung memiliki jumlah longsor lebih rendah, meskipun bukti statistiknya masih lemah pada taraf 5% (lebih dekat ke taraf 10%).
- Panjang Jalan (p = 0,5335) dan Memiliki Ketahanan Bangunan (p = 0,4328) tidak signifikan dalam OLS.

6.0.6 Uji Moran’s I untuk Residual OLS

Uji Moran residual OLS menghasilkan p-value 0,09428. Nilai ini menunjukkan adanya indikasi autokorelasi residual yang mendekati signifikan pada taraf 10% (tetapi belum signifikan pada 5%). Hal ini penting karena :
- Jika residual masih menunjukkan pola spasial, maka OLS belum sepenuhnya memodelkan struktur dependensi spasial.
- Kondisi ini menjadi alasan kuat untuk menguji model spasial (SAR/SEM/SDM), meskipun autokorelasi global pada variabel Y tidak signifikan kuat.

6.0.7 Model Regresi Spasial : SAR, SEM, dan SDM

Tiga model spasial diestimasi :
- SAR (Spatial Lag Model) : memasukkan pengaruh lag spasial dari Y.
- SEM (Spatial Error Model) : menangkap korelasi spasial pada komponen error.
- SDM (Spatial Durbin Model) : memasukkan lag spasial pada Y dan/atau pada variabel X (spillover).

6.0.7.1 Model SAR (Spatial Lag)

Pada model SAR, parameter spasial (rho) bernilai sangat kecil dan tidak signifikan (p-value sangat besar). Ini mengindikasikan bahwa efek “ketergantungan langsung Y terhadap Y tetangga” (spillover pada variabel respon) tidak kuat pada data ini.

Namun, koefisien untuk :
- Kepadatan Penduduk tetap negatif dan signifikan,
- Rumah Layak Huni menjadi signifikan (p ≈ 0,048), yang menunjukkan stabilitas arah hubungan ketika aspek spasial diuji.

6.0.7.2 Model SEM (Spatial Error)

Pada SEM, parameter lambda tidak signifikan, sehingga struktur error spasial tidak terlihat kuat pada taraf 5%. Meski demikian :
- Kepadatan Penduduk negatif signifikan,
- Rumah Layak Huni negatif signifikan, menunjukkan kedua variabel tersebut konsisten berasosiasi dengan jumlah longsor setelah mempertimbangkan kemungkinan error spasial.

6.0.7.3 Model SDM (Spatial Durbin)

Model SDM memasukkan efek lag untuk beberapa variabel X. Pada hasil SDM :
- Kepadatan Penduduk tetap negatif dan signifikan kuat (p ≈ 0,00056),
- Rumah Layak Huni negatif dan signifikan (p ≈ 0,035).
Selain itu, terdapat satu efek lag X yang signifikan :
- lag(Kepadatan Penduduk) positif dan signifikan (p ≈ 0,022).

Makna dari lag(Kepadatan Penduduk) yang signifikan adalah adanya indikasi spillover: kepadatan penduduk di wilayah tetangga berkaitan dengan jumlah longsor di wilayah yang diamati (setelah mengontrol variabel lain). Ini masuk akal secara spasial karena fenomena lingkungan dan pembangunan sering melintasi batas administrasi.

6.0.8 Pemilihan Model Terbaik (AIC) dan Interpretasi

Perbandingan AIC yang diperoleh :
- OLS: 158,5813
- SDM: 159,3545
- SEM: 160,1421
- SAR: 160,5774

Secara angka murni, OLS memiliki AIC paling kecil. Namun, karena OLS tidak dirancang untuk menangkap proses spasial (dan residual OLS masih menunjukkan indikasi autokorelasi), maka pemilihan model terbaik untuk konteks spasial dilakukan tanpa memasukkan OLS sebagai kandidat.

Di antara model spasial (SAR/SEM/SDM), SDM memiliki AIC paling kecil (159,3545), sehingga SDM dipilih sebagai model terbaik.

Pembahasan pemilihan SDM :
Pemilihan SDM konsisten dengan hasil bahwa ada indikasi pengaruh tetangga melalui variabel penjelas (spillover), khususnya pada kepadatan penduduk (lag X signifikan). Dengan SDM, model menjadi lebih mampu menangkap keterkaitan antar wilayah yang mungkin terjadi melalui mekanisme pembangunan, penggunaan lahan, atau struktur wilayah yang saling memengaruhi.

6.0.9 Peta Residual Model Terbaik (SDM)

Peta residual dari model SDM digunakan untuk mengevaluasi apakah masih terdapat pola spasial yang tersisa setelah pemodelan. Residual yang menyebar acak (tanpa klaster) mengindikasikan model cukup baik menangkap variasi struktural, sedangkan residual yang masih terkonsentrasi pada wilayah tertentu dapat menjadi tanda perlunya variabel tambahan (misalnya curah hujan, kemiringan lereng, jenis tanah, tutupan lahan, atau faktor geologi).

Pada konteks studi longsor, wajar bila masih ada residual yang menonjol, karena kejadian longsor sangat dipengaruhi oleh faktor biofisik yang seringkali tidak tersedia pada dataset sosial-infrastruktur.

6.0.10 Interpolasi Spasial IDW Kejadian Tanah Longsor

Hasil interpolasi spasial menggunakan metode Inverse Distance Weighting (IDW) memberikan gambaran kontinu mengenai distribusi potensi kejadian tanah longsor di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024. Peta interpolasi menunjukkan adanya variasi spasial yang cukup jelas, di mana nilai prediksi jumlah kejadian longsor cenderung lebih tinggi pada wilayah-wilayah tertentu dan menurun secara gradual seiring dengan bertambahnya jarak dari pusat kejadian.

Area dengan intensitas warna yang lebih terang (kuning hingga merah muda) mengindikasikan wilayah dengan potensi kejadian longsor yang relatif tinggi. Pola ini umumnya berpusat di sekitar lokasi kabupaten/kota yang secara empiris memiliki jumlah kejadian longsor tinggi pada data observasi. Hal ini mencerminkan prinsip dasar metode IDW, yaitu bahwa nilai di suatu lokasi lebih dipengaruhi oleh titik pengamatan terdekat dibandingkan titik yang lebih jauh. Dengan demikian, wilayah yang berdekatan dengan daerah rawan longsor akan memiliki estimasi risiko yang lebih besar.

Sebaliknya, wilayah dengan intensitas warna lebih gelap (biru tua hingga hitam) menunjukkan potensi kejadian longsor yang lebih rendah. Area ini cenderung berada lebih jauh dari titik-titik observasi dengan kejadian longsor tinggi, sehingga kontribusi nilai tetangga terhadap prediksi menjadi semakin kecil. Pola gradasi warna yang halus menunjukkan bahwa interpolasi berhasil menangkap transisi spasial secara gradual, bukan perubahan yang bersifat diskrit antar wilayah administrasi.

Secara keseluruhan, hasil interpolasi IDW memperkuat temuan pada analisis peta tematik dan uji autokorelasi spasial sebelumnya, yaitu bahwa kejadian tanah longsor di Jawa Barat tidak tersebar secara acak, melainkan membentuk pola spasial tertentu. Interpolasi ini memberikan informasi tambahan berupa estimasi risiko pada area antar kabupaten/kota yang tidak secara langsung terwakili oleh data pengamatan, sehingga dapat digunakan sebagai dasar pendukung dalam perencanaan mitigasi bencana dan penentuan wilayah prioritas pengurangan risiko longsor.

Namun demikian, perlu dicatat bahwa metode IDW bersifat deterministik dan sangat bergantung pada distribusi serta jumlah titik pengamatan. Oleh karena itu, hasil interpolasi ini tidak dimaksudkan sebagai prediksi absolut, melainkan sebagai pendekatan eksploratif untuk memahami kecenderungan spasial potensi kejadian tanah longsor di wilayah studi.

6.0.11 Ringkasan Temuan Utama

Berdasarkan seluruh hasil: 1. Variabel jumlah longsor memiliki sebaran yang timpang (banyak nol, beberapa nilai tinggi). 2. Uji autokorelasi spasial global (Moran dan Geary) tidak signifikan, sehingga tidak ada bukti kuat pola klaster global pada level kabupaten/kota. 3. Analisis LISA tetap bermanfaat untuk melihat indikasi klaster/outlier lokal (HH/LL/HL/LH) pada lokasi tertentu. 4. OLS menunjukkan model signifikan secara keseluruhan dengan R² moderat, dan variabel yang konsisten penting adalah kepadatan penduduk (negatif) serta rumah layak huni (negatif, lebih kuat pada model spasial). 5. Indikasi autokorelasi pada residual OLS (p ≈ 0,094) mendukung perlunya pengujian model spasial. 6. Pemilihan model terbaik di antara model spasial menghasilkan SDM sebagai model terbaik (AIC terkecil di kelompok spasial), dan SDM menunjukkan adanya spillover melalui lag(kepadatan penduduk).

Dengan demikian, hasil bab ini menegaskan bahwa pemodelan spasial (khususnya SDM) lebih tepat digunakan untuk menjelaskan variasi longsor antar kabupaten/kota di Jawa Barat dibandingkan model non-spasial murni, terutama ketika terdapat indikasi pengaruh tetangga melalui variabel penjelas.


7 KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola spasial kejadian tanah longsor di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024 dengan menggunakan pendekatan statistik spasial dan spatial econometrics. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.

Pertama, hasil eksplorasi data spasial dan peta tematik menunjukkan bahwa kejadian tanah longsor di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 tidak tersebar secara merata antar kabupaten/kota. Peta sebaran jumlah longsor memperlihatkan adanya variasi spasial yang cukup jelas, di mana beberapa wilayah memiliki jumlah kejadian relatif lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya. Kondisi ini mengindikasikan adanya perbedaan karakteristik wilayah, baik dari sisi kepadatan penduduk, infrastruktur, maupun kondisi lingkungan, yang berpotensi memengaruhi tingkat kerawanan longsor.

Kedua, pengujian autokorelasi spasial secara global menggunakan indeks Moran’s I dan Geary’s C menunjukkan bahwa secara keseluruhan tidak terdapat autokorelasi spasial yang signifikan pada tingkat global. Nilai Moran’s I yang positif namun tidak signifikan secara statistik, serta nilai Geary’s C yang mendekati satu, mengindikasikan bahwa pola kejadian longsor antar kabupaten/kota di Jawa Barat cenderung bersifat acak pada skala global. Meskipun demikian, hasil analisis Local Indicators of Spatial Association (LISA) menunjukkan adanya beberapa wilayah yang membentuk klaster lokal maupun outlier spasial. Hal ini menandakan bahwa meskipun tidak terdeteksi secara global, ketergantungan spasial tetap muncul secara lokal pada wilayah-wilayah tertentu.

Ketiga, hasil pemodelan regresi menunjukkan bahwa faktor kepadatan penduduk dan kondisi perumahan memiliki pengaruh yang relatif konsisten terhadap jumlah kejadian tanah longsor. Kepadatan penduduk cenderung berpengaruh negatif dan signifikan, yang dapat diinterpretasikan sebagai indikasi bahwa wilayah dengan kepadatan penduduk lebih tinggi umumnya memiliki infrastruktur dan sistem mitigasi yang lebih baik. Variabel kondisi perumahan, khususnya persentase rumah layak huni, juga menunjukkan hubungan negatif terhadap jumlah kejadian longsor, yang mengindikasikan peran kualitas lingkungan permukiman dalam mengurangi risiko bencana. Sementara itu, panjang jaringan jalan dan ketahanan bangunan tidak selalu menunjukkan pengaruh yang signifikan pada seluruh model, namun tetap memberikan kontribusi dalam menjelaskan variasi kejadian longsor antar wilayah.

Keempat, perbandingan kinerja model spatial econometrics menunjukkan bahwa meskipun model Ordinary Least Squares (OLS) memberikan nilai AIC yang relatif lebih kecil, model ini belum sepenuhnya mampu menangkap potensi ketergantungan spasial antar wilayah. Model spasial, khususnya Spatial Durbin Model (SDM), mampu memberikan penjelasan yang lebih komprehensif karena tidak hanya mempertimbangkan pengaruh langsung variabel penjelas di suatu wilayah, tetapi juga pengaruh tidak langsung dari wilayah sekitarnya. Berdasarkan kriteria AIC dan interpretasi substantif, Spatial Durbin Model (SDM) dipilih sebagai model terbaik dalam menjelaskan pola kejadian tanah longsor di Provinsi Jawa Barat.

Kelima, peta prediksi dan peta residual dari model terbaik menunjukkan bahwa sebagian besar variasi kejadian tanah longsor telah dapat dijelaskan dengan baik oleh model. Residual yang relatif kecil dan tidak membentuk pola spasial yang jelas mengindikasikan bahwa model telah cukup efektif dalam menangkap struktur spasial data. Namun demikian, masih terdapat beberapa wilayah dengan residual relatif besar yang mengindikasikan adanya faktor lain di luar model yang berpotensi memengaruhi kejadian longsor.

Keenam, hasil interpolasi spasial menggunakan metode Inverse Distance Weighting (IDW) memberikan gambaran kontinu mengenai potensi kejadian tanah longsor di wilayah Jawa Barat. Peta interpolasi menunjukkan adanya zona-zona dengan potensi kejadian longsor yang relatif lebih tinggi, terutama pada wilayah yang berdekatan dengan kabupaten/kota dengan jumlah kejadian longsor tinggi. Hasil ini dapat digunakan sebagai informasi awal dalam pemetaan wilayah rawan longsor dan perencanaan mitigasi bencana.

Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa analisis spasial dan spatial econometrics mampu memberikan pemahaman yang lebih detail mengenai pola kejadian tanah longsor di Jawa Barat, baik dari sisi sebaran spasial, keterkaitan antar wilayah, maupun pengaruh faktor-faktor penjelas yang relevan.

7.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah diperoleh, beberapa saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut,

Pertama, pemerintah daerah dan instansi terkait diharapkan dapat memanfaatkan hasil analisis spasial ini sebagai dasar dalam perencanaan mitigasi bencana tanah longsor. Wilayah-wilayah yang teridentifikasi memiliki jumlah kejadian atau potensi longsor yang tinggi perlu menjadi prioritas dalam penyusunan kebijakan penanggulangan bencana, seperti penguatan infrastruktur, pengendalian pemanfaatan lahan, dan peningkatan kualitas permukiman.

Kedua, hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor sosial dan infrastruktur memiliki peran penting dalam memengaruhi kejadian tanah longsor. Oleh karena itu, upaya peningkatan kualitas perumahan dan ketahanan bangunan, serta pengelolaan infrastruktur jalan yang berwawasan kebencanaan, perlu terus ditingkatkan, terutama pada wilayah yang memiliki karakteristik geografis rawan longsor.

Ketiga, untuk penelitian selanjutnya, disarankan agar variabel penjelas yang digunakan dapat diperluas, misalnya dengan memasukkan faktor topografi, curah hujan, jenis tanah, dan tutupan lahan. Penambahan variabel-variabel tersebut diharapkan dapat meningkatkan kemampuan model dalam menjelaskan variasi kejadian tanah longsor secara lebih akurat.

Keempat, penelitian lanjutan juga dapat mempertimbangkan penggunaan data runtun waktu (panel data) agar dinamika kejadian tanah longsor antar tahun dapat dianalisis secara lebih mendalam. Dengan demikian, perubahan pola spasial dan efektivitas kebijakan mitigasi dari waktu ke waktu dapat dievaluasi secara lebih komprehensif.

Kelima, pengembangan sistem informasi spasial berbasis web atau dashboard interaktif yang stabil dan mudah diakses, seperti yang telah diimplementasikan dalam penelitian ini, dapat terus dikembangkan sebagai alat bantu pengambilan keputusan bagi pemangku kepentingan dan sebagai media diseminasi informasi kebencanaan kepada masyarakat.

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan analisis spasial dapat semakin dimanfaatkan dalam mendukung perencanaan wilayah dan pengurangan risiko bencana tanah longsor di Provinsi Jawa Barat.

8 DAFTAR PUSTAKA

Anselin, L. (1988). Spatial econometrics: Methods and models. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Anselin, L. (1995). Local indicators of spatial association—LISA. Geographical Analysis, 27(2), 93–115. https://doi.org/10.1111/j.1538-4632.1995.tb00338.x

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2024). Data dan informasi bencana Indonesia. https://bnpb.go.id

Highland, L. M., & Bobrowsky, P. (2008). The landslide handbook—A guide to understanding landslides. U.S. Geological Survey.

Tobler, W. R. (1970). A computer movie simulating urban growth in the Detroit region. Economic Geography, 46, 234–240. https://doi.org/10.2307/143141

Varnes, D. J. (1978). Slope movement types and processes. In R. L. Schuster & R. J. Krizek (Eds.), Landslides: Analysis and control (pp. 11–33). Washington, DC: National Academy of Sciences.

Burrough, P. A., & McDonnell, R. A. (1998). Principles of geographical information systems. Oxford: Oxford University Press.

Goodchild, M. F. (1986). Spatial autocorrelation. CATMOG 47. Norwich: Geo Books.

Longley, P. A., Goodchild, M. F., Maguire, D. J., & Rhind, D. W. (2015). Geographic information science and systems (4th ed.). Hoboken, NJ: Wiley.

Openshaw, S. (1984). The modifiable areal unit problem. Norwich: Geo Books.

Tobler, W. R. (1970). A computer movie simulating urban growth in the Detroit region. Economic Geography, 46(Supplement), 234–240. https://doi.org/10.2307/143141

9 LAMPIRAN