Ricardo Filemon Renaldy Saragih - 140610230036
Pada tahun 2021, pandemi COVID-19 menjadi salah satu krisis kesehatan terbesar yang dihadapi Provinsi Jawa Timur. Sebagai provinsi dengan jumlah penduduk besar serta aktivitas ekonomi dan mobilitas yang tinggi, Jawa Timur termasuk wilayah dengan tingkat penularan COVID-19 yang signifikan di Indonesia. Pada periode ini, penyebaran virus masih berlangsung masif dan berdampak luas terhadap berbagai sektor, khususnya kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan pelayanan publik.
Tahun 2021 ditandai dengan lonjakan kasus COVID-19 yang sangat tinggi, terutama pada pertengahan tahun seiring munculnya varian Delta. Lonjakan ini menyebabkan tekanan berat pada sistem pelayanan kesehatan di Jawa Timur, seperti keterbatasan kapasitas rumah sakit, tingginya angka keterisian tempat tidur (Bed Occupancy Rate), serta meningkatnya kebutuhan tenaga medis dan fasilitas penunjang. Kondisi tersebut menempatkan Jawa Timur sebagai salah satu provinsi dengan tingkat risiko dan beban penanganan COVID-19 yang cukup serius pada saat itu.
Dalam upaya menekan laju penyebaran virus, pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur menerapkan berbagai kebijakan strategis sepanjang tahun 2021, antara lain Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), penguatan protokol kesehatan, peningkatan kapasitas testing, tracing, dan treatment (3T), serta percepatan program vaksinasi. Kebijakan tersebut memberikan dampak signifikan terhadap penurunan kasus pada akhir tahun, meskipun di sisi lain juga memengaruhi aktivitas sosial dan perekonomian masyarakat.
Berdasarkan kondisi tersebut, COVID-19 di Jawa Timur pada tahun 2021 menjadi isu yang penting untuk dikaji secara akademik. Analisis terhadap pola penyebaran, respons kebijakan, serta dampak pandemi pada periode ini dapat memberikan gambaran komprehensif mengenai efektivitas penanganan krisis kesehatan. Selain itu, kajian ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran strategis dalam memperkuat kesiapsiagaan daerah menghadapi wabah dan tantangan kesehatan masyarakat di masa mendatang.
Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Faktor-faktor apa saja yang secara signifikan memengaruhi penyebaran dan tingkat kasus COVID-19 di Jawa Timur tahun 2021 berdasarkan pendekatan regresi OLS?
Apakah terdapat ketergantungan spasial dalam penyebaran COVID-19 antar kabupaten/kota di Jawa Timur pada tahun 2021, dan bagaimana pengaruh faktor spasial tersebut berdasarkan pemodelan Spatial Autoregressive (SAR)?
Menganalisis pola penyebaran dan faktor-faktor yang memengaruhi kejadian COVID-19 di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2021 secara komprehensif melalui pendekatan statistik, spasial, dan epidemiologis, dengan menggunakan pemodelan Ordinary Least Squares (OLS), Spatial Autoregressive (SAR), dan Structural Equation Modeling (SEM), serta pemodelan Inverse Distance Weighting (IDW), guna menghasilkan dasar ilmiah yang kuat bagi perumusan kebijakan pengendalian penyakit dan penguatan sistem kesehatan masyarakat di tingkat regional
Disease mapping adalah epresentasi spasial (peta) dari distribusi suatu penyakit, biasanya menunjukkan tingkat prevalensi, insidensi atau resiko penyakit pada daerah tertentu. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi distribusi geografis penyakit, melihat pola sebaran penyakit, mendeteksi area resiko tinggi, membandingkan wilayah sehingga menjadi dasar perencanaan kebijakan kesehatan. Disease mapping memberikan visualisasi kompleks menjadi sederhana, dapat memberikan intervensi yang lebih tepat sasaran.
Interpolasi spasial merupakan metode yang digunakan untuk memperkirakan nilai suatu variabel pada lokasi yang tidak terukur berdasarkan nilai pada titik-titik pengamatan di sekitarnya. Salah satu metode interpolasi spasial yang paling banyak digunakan adalah Inverse Distance Weighting (IDW). Metode ini berlandaskan asumsi bahwa titik-titik yang berdekatan secara spasial memiliki tingkat kemiripan yang lebih tinggi dibandingkan dengan titik yang lebih jauh (Tobler, 1970).
IDW pertama kali diperkenalkan oleh Shepard (1968) sebagai metode deterministik non-geostatistik yang sederhana namun efektif dalam memodelkan fenomena spasial. Prinsip utama IDW adalah pemberian bobot pada setiap titik pengamatan berdasarkan jaraknya terhadap titik yang akan diestimasi. Semakin dekat jarak suatu titik pengamatan, semakin besar pengaruhnya terhadap nilai hasil interpolasi.
Secara matematis, estimasi nilai pada suatu lokasi menggunakan metode IDW dinyatakan sebagai:
\[ \hat{Z}(x_0) = \frac{\displaystyle \sum_{i=1}^{n} \frac{Z(x_i)}{d(x_0,x_i)^p}} {\displaystyle \sum_{i=1}^{n} \frac{1}{d(x_0,x_i)^p}} \]
dengan:
\(\hat{Z}(x_0)\) adalah nilai estimasi pada lokasi \(x_0\).
\(Z(x_i)\) adalah nilai variabel pada titik pengamatan ke-\(i\).
\(d(x_0,x_i)\) adalah jarak antara lokasi estimasi \(x_0\) dan titik pengamatan ke-\(i\).
\(p\) adalah parameter pangkat (power parameter) yang mengontrol pengaruh jarak.
\(n\) adalah jumlah titik pengamatan.
Bobot masing-masing titik pengamatan dinyatakan sebagai:
\[ w_i = \frac{1}{d(x_0,x_i)^p} \]
Sehingga model estimasi IDW dapat dituliskan kembali sebagai:
\[ \hat{Z}(x_0) = \sum_{i=1}^{n} w_i Z(x_i), \quad \sum_{i=1}^{n} w_i = 1 \]
Nilai \(p\) yang umum digunakan adalah \(p = 2\), di mana semakin besar nilai \(p\) maka kontribusi titik yang lebih dekat terhadap hasil estimasi akan semakin dominan.
Structural Equation Modeling (SEM) merupakan teknik analisis statistik multivariat yang digunakan untuk menganalisis hubungan kausal yang kompleks antara variabel laten dan variabel teramati secara simultan. SEM mengintegrasikan analisis faktor dan analisis jalur (path analysis) dalam satu kerangka pemodelan yang komprehensif, sehingga memungkinkan peneliti untuk menguji model teoritis secara menyeluruh (Bollen, 1989).
Variabel laten dalam SEM merupakan konstruk yang tidak dapat diukur secara langsung dan direpresentasikan melalui beberapa indikator teramati. Hubungan antara variabel laten dan indikatornya disebut sebagai model pengukuran (measurement model), sedangkan hubungan antar variabel laten disebut sebagai model struktural (structural model) (Hair et al., 2019). Pendekatan ini sangat sesuai untuk penelitian sosial, ekonomi, manajemen, dan perilaku yang melibatkan konstruk abstrak seperti kepuasan, motivasi, kualitas layanan, dan niat perilaku.
SEM memiliki keunggulan dibandingkan metode regresi konvensional karena mampu memperhitungkan kesalahan pengukuran (measurement error) secara eksplisit. Dengan mempertimbangkan error, estimasi parameter dalam SEM menjadi lebih akurat dan mencerminkan kondisi sebenarnya dari hubungan antar konstruk (Kline, 2016). Selain itu, SEM memungkinkan pengujian beberapa hubungan dependen secara simultan dalam satu model, sehingga lebih efisien dan informatif.
Analisis data spasial merupakan pendekatan statistik yang digunakan ketika data memiliki keterkaitan berdasarkan lokasi geografis. Salah satu karakteristik utama data spasial adalah adanya autokorelasi spasial, yaitu kondisi ketika nilai suatu variabel pada suatu lokasi dipengaruhi oleh nilai variabel yang sama pada lokasi-lokasi di sekitarnya. Untuk menangani kondisi tersebut, dikembangkan berbagai model regresi spasial, salah satunya adalah Spatial Autoregressive (SAR).
Model Spatial Autoregressive (SAR) merupakan pengembangan dari model regresi linier klasik yang memasukkan efek ketergantungan spasial secara eksplisit melalui variabel dependen yang dilag secara spasial. Model ini berasumsi bahwa nilai variabel dependen di suatu wilayah tidak hanya dipengaruhi oleh variabel independen di wilayah tersebut, tetapi juga oleh nilai variabel dependen di wilayah lain yang bertetangga (Anselin, 1988).
Secara konseptual, SAR menangkap fenomena spatial spillover effect, yaitu pengaruh yang menyebar antar wilayah akibat kedekatan geografis atau hubungan spasial lainnya. Ketergantungan spasial ini direpresentasikan melalui matriks bobot spasial (spatial weight matrix) yang mendefinisikan struktur ketetanggaan antar lokasi, baik berdasarkan batas wilayah (contiguity) maupun jarak geografis (distance-based) (LeSage & Pace, 2009).
Penelitian ini merupakan studi epidemiologi deskriptif dengan pendekatan cross-sectional. Pendekatan ini digunakan untuk menggambarkan situasi Covid-19 di Provinsi Jawa Timur pada periode 2021. Analisis dilakukan untuk mengetahui distribusi spasial, menghitung prevalensi, serta menganalisis hubungan antara variabel demografi dengan kejadian Covid-19.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari instansi resmi open data Jawa Barat.
Jumlah Kasus Terkonfirmasi Covid 19 :
https://jatim.bps.go.id/id/statistics-table/1/MjQwNCMx/kasus-kumulatif-covid-19-menurut-kabupaten-kota-di-provinsi-jawa-timur--2021.html
Tabel berikut merangkum variabel yang digunakan dalam penelitian ini :
| Jenis Variabel | Nama Variabel | Satuan / Kategori | Keterangan |
|---|---|---|---|
| Variabel utama | Jumlah kasus Covid-19 | Kasus (orang) | Total kasus Covid-19 yang dilaporkan per kabupaten/kota |
| Variabel pendukung | Jumlah penduduk | Jiwa | Jumlah total penduduk di wilayah yang sama |
| Variabel demografi | Jenis kelamin | Laki-laki / Perempuan | Berdasarkan data laporan kasus |
Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk menggambarkan situasi Covid-19 di Provinsi Jawa Timur periode 2021 berdasarkan tahun, tempat dan variabel pembeda (gender). Analisis dilakukan dalam tiga tahapan utama, sesuai dengan rumusan masalah penelitian, yaitu:
Analisis spasial dilakukan untuk menggambarkan pola geografis distribusi Covid-19 antarwilayah di Provinsi Jawa Timur. Tahapan yang dilakukan adalah :
Menggabungkan data kasus Covid-19 dan jumlah penduduk dengan peta batas administrasi kabupaten/kota (format shapefile)
Membuat peta tematik (choropleth map) untuk menampilkan variasi spasial prevalensi Covid-19 antarwilayah dan antar tahun.
Melakukan analisis deskriptif spasial untuk mengidentifikasi klaster wilayah dengan prevalensi tinggi.
Hasil pemetaan ini membantu menunjukkan perbedaan beban penyakit antar daerah serta membantu proses kebijakan berbasis data.
Analisis SEM digunakan untuk menguji hubungan kausal antar variabel laten serta hubungan antara variabel laten dan indikator teramati. Tahapan analisis SEM meliputi penyusunan model teoritis, spesifikasi model pengukuran dan model struktural, estimasi parameter, serta evaluasi kecocokan model. Estimasi parameter dilakukan menggunakan pendekatan Covariance-Based SEM atau Partial Least Squares SEM, disesuaikan dengan karakteristik data dan tujuan penelitian. Evaluasi model dilakukan menggunakan indeks goodness-of-fit seperti CFI, TLI, RMSEA, dan SRMR. Hasil analisis SEM berupa skor variabel laten selanjutnya digunakan sebagai variabel input pada analisis spasial.
Metode IDW digunakan untuk memetakan dan mengestimasi nilai variabel penelitian pada lokasi yang tidak teramati berdasarkan kedekatan spasial. Interpolasi dilakukan dengan memanfaatkan koordinat geografis dari setiap wilayah atau titik pengamatan. Parameter pangkat (power parameter) ditentukan berdasarkan pendekatan umum atau hasil uji validasi. Hasil interpolasi IDW disajikan dalam bentuk peta tematik yang menggambarkan pola sebaran spasial variabel penelitian.
Sebelum dilakukan pemodelan SAR, dilakukan pengujian autokorelasi spasial menggunakan indeks Moran’s I. Pengujian ini bertujuan untuk mengidentifikasi adanya ketergantungan spasial pada variabel dependen. Apabila hasil uji menunjukkan autokorelasi spasial yang signifikan, maka analisis dilanjutkan menggunakan model regresi spasial.
Pemodelan SAR digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel independen serta pengaruh spasial antar wilayah terhadap variabel dependen. Model SAR memasukkan komponen lag spasial dari variabel dependen yang direpresentasikan melalui matriks bobot spasial. Matriks bobot spasial disusun berdasarkan kriteria ketetanggaan wilayah atau jarak geografis. Estimasi parameter dilakukan menggunakan metode Maximum Likelihood. Interpretasi hasil dilakukan dengan memperhatikan efek langsung dan tidak langsung antar wilayah.
Dalam analisis epidemiologi dan geospasial, autokorelasi spasial digunakan untuk menilai sejauh mana fenomena kesehatan, seperti penyebaran COVID-19, menunjukkan keterkaitan antarwilayah secara geografis. Konsep ini berlandaskan Tobler’s First Law of Geography yang menyatakan bahwa wilayah yang berdekatan cenderung memiliki karakteristik yang lebih mirip dibandingkan wilayah yang berjauhan. Dalam konteks COVID-19, autokorelasi spasial membantu mengidentifikasi apakah kabupaten/kota dengan jumlah atau tingkat kasus tinggi cenderung membentuk pola pengelompokan (cluster) di wilayah tertentu atau tersebar secara acak. Melalui analisis ini, peneliti dapat memahami pola distribusi COVID-19 secara geografis dan mendeteksi adanya konsentrasi kasus yang dipengaruhi oleh faktor kedekatan wilayah. Oleh karena itu, autokorelasi spasial menjadi dasar penting dalam perumusan kebijakan pengendalian COVID-19 berbasis wilayah serta penentuan prioritas intervensi kesehatan masyarakat yang lebih tepat sasaran.
Global Moran’s I memberikan satu nilai indeks tunggal yang merepresentasikan tingkat autokorelasi spasial untuk keseluruhan wilayah kajian, sehingga memudahkan peneliti dalam menilai kecenderungan pola spasial penyebaran COVID-19 secara global sebelum dilanjutkan dengan analisis lokal. Nilai indeks yang positif menunjukkan adanya pengelompokan (cluster) wilayah dengan tingkat kasus COVID-19 yang relatif serupa, sedangkan nilai negatif mengindikasikan pola penyebaran yang saling berlawanan atau cenderung acak. Dengan demikian, Global Moran’s I menjadi instrumen penting untuk mengidentifikasi pola distribusi COVID-19 secara umum serta sebagai dasar dalam perumusan strategi intervensi dan pengendalian penyakit berbasis wilayah yang lebih efektif dan terarah.
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: jatim_data$Kasus.Konfirmasi
## weights: lw
##
## Moran I statistic standard deviate = 3.0901, p-value = 0.001001
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## 0.237536224 -0.027027027 0.007330331
Hasil uji Global Moran’s I menunjukkan nilai Moran’s I sebesar 0,2375, yang lebih besar dibandingkan nilai ekspektasinya sebesar -0,0270, dengan nilai Z sebesar 3,0901 dan p-value 0,0010. Nilai p yang jauh lebih kecil dari tingkat signifikansi 0,05 mengindikasikan bahwa hipotesis nol yang menyatakan tidak adanya autokorelasi spasial dapat ditolak.
Temuan ini menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif yang signifikan pada distribusi kasus terkonfirmasi COVID-19 di Provinsi Jawa Timur. Artinya, wilayah kabupaten/kota dengan jumlah kasus COVID-19 yang tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah lain yang juga memiliki jumlah kasus tinggi, begitu pula sebaliknya untuk wilayah dengan kasus rendah. Pola ini mengindikasikan adanya pengelompokan spasial (spatial clustering) dalam penyebaran COVID-19, sehingga distribusi kasus tidak terjadi secara acak. Hasil ini menegaskan pentingnya pendekatan berbasis wilayah dalam perumusan kebijakan pengendalian dan intervensi kesehatan masyarakat.
Setelah menilai pola distribusi kasus COVID-19 secara keseluruhan menggunakan Global Moran’s I, tahap selanjutnya adalah mengevaluasi autokorelasi spasial pada tingkat lokal melalui Local Moran’s I atau LISA (Local Indicators of Spatial Association). Analisis ini memungkinkan identifikasi klaster spesifik wilayah yang memiliki tingkat kasus tinggi atau rendah, sekaligus mendeteksi outlier spasial, yaitu wilayah yang menunjukkan pola berbeda secara signifikan dibandingkan wilayah sekitarnya. Melalui LISA, peneliti tidak hanya mengetahui keberadaan autokorelasi spasial secara global, tetapi juga dapat menentukan lokasi klaster atau hotspot COVID-19 pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Informasi ini memiliki peran strategis dalam perencanaan intervensi kesehatan berbasis wilayah, karena mendukung penentuan prioritas dan alokasi sumber daya secara lebih tepat sasaran untuk menekan penyebaran penyakit di wilayah berisiko tinggi.
Berdasarkan hasil analisis Local Moran’s I, terdapat 3 wilayah yang termasuk dalam kategori High-High, artinya wilayah-wilayah tersebut memiliki angka kasus Covid-19 tinggi dan dikelilingi oleh tetangga yang juga memiliki angka kasus tinggi, sehingga dapat dikategorikan sebagai hotspot Covid-19. Sebaliknya, sebanyak 35 wilayah termasuk dalam kategori Not significant, yang menunjukkan bahwa kasus TBC di wilayah-wilayah tersebut tidak memiliki autokorelasi spasial yang signifikan dengan tetangganya, sehingga distribusi kasus cenderung acak atau tidak membentuk klaster.
Peta signifikansi tersebut menunjukkan hasil uji Local Moran’s I (LISA) yang mengidentifikasi wilayah-wilayah di Provinsi Jawa Timur yang memiliki autokorelasi spasial signifikan terhadap kasus terkonfirmasi COVID-19. Area yang ditandai dengan warna merah (p-value < 0,05) merepresentasikan kabupaten/kota yang secara statistik memiliki keterkaitan spasial yang signifikan dengan wilayah sekitarnya, artinya pola kasus COVID-19 di wilayah tersebut tidak terjadi secara acak. Wilayah signifikan ini mengindikasikan adanya potensi klaster spasial atau outlier, di mana tingkat kasus COVID-19 di suatu wilayah dipengaruhi oleh kondisi wilayah tetangganya. Sebaliknya, wilayah yang tidak berwarna merah (p-value ≥ 0,05) menunjukkan tidak adanya autokorelasi spasial yang signifikan. Temuan ini menegaskan bahwa penyebaran COVID-19 di Jawa Timur bersifat tidak merata secara geografis dan terkonsentrasi pada wilayah tertentu, sehingga diperlukan pendekatan pengendalian dan intervensi kesehatan masyarakat yang lebih terfokus pada wilayah-wilayah signifikan tersebut.
Pemodelan Structural Equation Modeling (SEM) digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis hubungan yang kompleks antara berbagai faktor penentu terhadap penyebaran COVID-19 di Provinsi Jawa Timur tahun 2021. Pendekatan SEM memungkinkan pengujian hubungan langsung dan tidak langsung antar variabel, termasuk konstruk laten yang tidak dapat diukur secara langsung, seperti kondisi sosial, kapasitas kesehatan, dan karakteristik lingkungan wilayah. Dengan SEM, peneliti tidak hanya dapat menilai pengaruh masing-masing faktor secara terpisah, tetapi juga memahami struktur hubungan kausal yang saling terkait dalam memengaruhi jumlah dan tingkat kasus COVID-19. Oleh karena itu, pemodelan SEM memberikan kerangka analisis yang komprehensif dan integratif untuk menjelaskan dinamika penyebaran penyakit serta mendukung perumusan kebijakan kesehatan masyarakat yang berbasis bukti dan berorientasi jangka panjang.
##
## Call:
## errorsarlm(formula = Kasus.Konfirmasi ~ Jumlah.Penduduk, data = model_data,
## listw = lw, zero.policy = TRUE)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -10568.58 -2958.29 -523.91 2663.01 37001.92
##
## Type: error
## Coefficients: (asymptotic standard errors)
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) 5.1475e+02 2.4673e+03 0.2086 0.8347
## Jumlah.Penduduk 9.6159e-03 1.7909e-03 5.3694 7.9e-08
##
## Lambda: 0.30133, LR test value: 1.6456, p-value: 0.19956
## Approximate (numerical Hessian) standard error: 0.22669
## z-value: 1.3292, p-value: 0.18378
## Wald statistic: 1.7668, p-value: 0.18378
##
## Log likelihood: -393.4911 for error model
## ML residual variance (sigma squared): 56247000, (sigma: 7499.8)
## Number of observations: 38
## Number of parameters estimated: 4
## AIC: 794.98, (AIC for lm: 794.63)
Hasil pemodelan Spatial Error Model (SEM) menunjukkan bahwa variabel Jumlah Penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 di Provinsi Jawa Timur. Nilai koefisien sebesar 0,0096 dengan p-value < 0,001 mengindikasikan bahwa peningkatan jumlah penduduk di suatu kabupaten/kota cenderung diikuti oleh peningkatan jumlah kasus COVID-19, setelah memperhitungkan struktur ketergantungan spasial pada komponen galat. Sebaliknya, konstanta tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan, yang menandakan bahwa tanpa mempertimbangkan variabel penjelas, model tidak memberikan kontribusi bermakna terhadap variasi kasus.
Parameter spasial lambda (λ) sebesar 0,301 menunjukkan adanya kecenderungan autokorelasi spasial pada komponen error, namun hasil uji statistik (LR test, Wald test, dan z-test) menunjukkan bahwa parameter tersebut tidak signifikan secara statistik (p-value > 0,05). Hal ini mengindikasikan bahwa setelah memasukkan variabel jumlah penduduk ke dalam model, ketergantungan spasial pada error tidak lagi kuat atau tidak dominan dalam menjelaskan variasi kasus COVID-19 antarwilayah
Pemodelan Spatial Autoregressive (SAR) digunakan dalam penelitian ini untuk mengakomodasi adanya ketergantungan spasial pada variabel dependen, yaitu jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 di Provinsi Jawa Timur. Model ini mengasumsikan bahwa jumlah kasus COVID-19 di suatu kabupaten/kota tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik internal wilayah tersebut, tetapi juga oleh jumlah kasus di wilayah-wilayah sekitarnya. Melalui estimasi parameter spasial ρ (rho), model SAR mampu menangkap efek limpahan (spillover effect) antarwilayah yang mencerminkan pola penyebaran penyakit lintas batas administratif. Dengan demikian, pemodelan SAR memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai dinamika spasial penyebaran COVID-19 serta menjadi dasar penting dalam perumusan kebijakan pengendalian penyakit yang menekankan koordinasi dan intervensi lintas wilayah.
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Kasus.Konfirmasi ~ Jumlah.Penduduk, data =
## model_data)
## test weights: listw
##
## RSerr = 1.0663, df = 1, p-value = 0.3018
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Kasus.Konfirmasi ~ Jumlah.Penduduk, data =
## model_data)
## test weights: listw
##
## RSlag = 2.6572, df = 1, p-value = 0.1031
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Kasus.Konfirmasi ~ Jumlah.Penduduk, data =
## model_data)
## test weights: listw
##
## adjRSerr = 0.24845, df = 1, p-value = 0.6182
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Kasus.Konfirmasi ~ Jumlah.Penduduk, data =
## model_data)
## test weights: listw
##
## adjRSlag = 1.8393, df = 1, p-value = 0.175
Hasil uji Lagrange Multiplier (Rao’s Score test) menunjukkan bahwa tidak terdapat ketergantungan spasial yang signifikan baik pada komponen galat maupun pada variabel dependen dalam model OLS yang digunakan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai RSerr = 1,0663 (p-value = 0,3018) dan RSlag = 2,6572 (p-value = 0,1031), yang keduanya lebih besar dari tingkat signifikansi 0,05, sehingga hipotesis nol yang menyatakan tidak adanya efek spasial tidak dapat ditolak.
Hasil uji lanjutan menggunakan robust Lagrange Multiplier juga memperkuat temuan tersebut, di mana nilai adjRSerr = 0,2485 (p-value = 0,6182) dan adjRSlag = 1,8393 (p-value = 0,1750) sama-sama tidak signifikan secara statistik. Temuan ini mengindikasikan bahwa variasi jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur lebih banyak dijelaskan oleh faktor internal wilayah, yaitu jumlah penduduk, dibandingkan oleh pengaruh spasial dari wilayah sekitarnya. Dengan demikian, model OLS dinilai sudah memadai untuk menjelaskan hubungan yang dianalisis, dan penggunaan model spasial seperti SAR atau SEM tidak memberikan peningkatan yang signifikan secara statistik pada tahap ini.
Pemodelan Ordinary Least Squares (OLS) digunakan sebagai pendekatan awal untuk menganalisis pengaruh jumlah penduduk terhadap jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 di Provinsi Jawa Timur. Model ini mengasumsikan bahwa hubungan antarvariabel bersifat linier dan tidak dipengaruhi oleh ketergantungan spasial antarwilayah. Melalui OLS, dapat diidentifikasi arah dan besaran pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara langsung, sehingga memberikan gambaran dasar mengenai faktor penentu variasi kasus COVID-19 antar kabupaten/kota. Hasil pemodelan OLS juga menjadi titik awal yang penting untuk mengevaluasi keberadaan efek spasial melalui pengujian lanjutan, seperti uji Lagrange Multiplier, guna menentukan apakah diperlukan pengembangan model ke dalam pendekatan spasial yang lebih kompleks.
##
## Call:
## lm(formula = Kasus.Konfirmasi ~ Jumlah.Penduduk, data = model_data)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -12222 -4072 -96 2982 36769
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
## (Intercept) -1.277e+03 2.393e+03 -0.534 0.597
## Jumlah.Penduduk 1.063e-02 1.897e-03 5.604 2.35e-06 ***
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## Residual standard error: 7981 on 36 degrees of freedom
## Multiple R-squared: 0.466, Adjusted R-squared: 0.4511
## F-statistic: 31.41 on 1 and 36 DF, p-value: 2.348e-06
Hasil pemodelan Ordinary Least Squares (OLS) menunjukkan bahwa jumlah penduduk memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 di Provinsi Jawa Timur. Koefisien regresi sebesar 0,01063 dengan p-value < 0,001 mengindikasikan bahwa setiap peningkatan jumlah penduduk di suatu kabupaten/kota cenderung diikuti oleh peningkatan jumlah kasus COVID-19, dengan asumsi faktor lain bersifat konstan. Sementara itu, konstanta model tidak signifikan secara statistik, yang menunjukkan bahwa tanpa adanya pengaruh jumlah penduduk, model tidak menjelaskan variasi kasus secara bermakna.
Nilai R-squared sebesar 0,466 menunjukkan bahwa sekitar 46,6% variasi jumlah kasus COVID-19 antarwilayah dapat dijelaskan oleh variabel jumlah penduduk, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. Uji simultan melalui F-statistic sebesar 31,41 dengan p-value < 0,001 menegaskan bahwa model secara keseluruhan signifikan dan layak digunakan untuk analisis. Dengan demikian, hasil OLS mengindikasikan bahwa jumlah penduduk merupakan determinan penting dalam menjelaskan variasi kasus COVID-19 antar kabupaten/kota, sekaligus menjadi dasar evaluasi lanjutan terkait kebutuhan penggunaan model spasial.
Pemodelan interpolasi Inverse Distance Weighting (IDW) digunakan sebagai pendekatan awal untuk menggambarkan dan mengestimasi pola sebaran spasial jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 di Provinsi Jawa Timur. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa wilayah yang berdekatan secara geografis cenderung memiliki karakteristik kasus yang serupa, sehingga nilai pada suatu lokasi dapat diperkirakan berdasarkan nilai pada lokasi-lokasi di sekitarnya. Melalui interpolasi IDW, dapat dihasilkan estimasi nilai pada wilayah yang tidak memiliki data pengamatan secara langsung, sekaligus memberikan gambaran visual mengenai variasi spasial kasus COVID-19 antar kabupaten/kota. Hasil pemodelan IDW menjadi dasar eksplorasi awal terhadap pola spasial sebelum dilakukan analisis spasial lanjutan yang mempertimbangkan ketergantungan antarwilayah secara lebih eksplisit.
Langkah 2 : Membentuk Grid Interpolasi
Langkah 3 : Membentuk Interpolasi IDW
## [inverse distance weighted interpolation]
Langkah 4 : Konversi ke SF
Langkah 5 : Konversi ke Raster
Visualisasi Peta Interpolasi IDW
Berdasarkan hasil pemetaan interpolasi spasial menggunakan metode Inverse Distance Weighting (IDW), terlihat adanya variasi spasial jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 di Provinsi Jawa Timur. Peta interpolasi menunjukkan gradasi warna dari terang hingga merah tua yang merepresentasikan tingkat kasus COVID-19 dari rendah hingga tinggi. Wilayah dengan warna merah tua mengindikasikan estimasi jumlah kasus yang lebih tinggi, sedangkan wilayah dengan warna lebih terang menunjukkan estimasi jumlah kasus yang relatif lebih rendah.
Hasil interpolasi memperlihatkan adanya konsentrasi kasus yang tinggi pada wilayah-wilayah tertentu, yang umumnya berada di kawasan dengan kepadatan penduduk tinggi dan aktivitas sosial ekonomi yang intensif. Pola ini menunjukkan bahwa wilayah-wilayah tersebut memiliki pengaruh spasial yang kuat terhadap wilayah di sekitarnya, sehingga nilai estimasi kasus COVID-19 pada daerah yang berdekatan cenderung meningkat. Sebaliknya, wilayah yang relatif jauh dari pusat konsentrasi kasus menunjukkan estimasi jumlah kasus yang lebih rendah.
Pola sebaran yang terbentuk juga menunjukkan adanya gradasi spasial yang halus antar wilayah, di mana perubahan nilai estimasi tidak terjadi secara abrupt, melainkan mengikuti prinsip kedekatan geografis. Hal ini sesuai dengan asumsi dasar metode IDW bahwa lokasi yang berdekatan memiliki tingkat kemiripan yang lebih tinggi dibandingkan lokasi yang berjauhan. Dengan demikian, metode IDW mampu memberikan gambaran visual yang representatif mengenai pola distribusi spasial kasus COVID-19 di Jawa Timur.
Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa penyebaran kasus terkonfirmasi COVID-19 di Provinsi Jawa Timur menunjukkan pola yang tidak sepenuhnya acak secara geografis, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil autokorelasi spasial global. Namun demikian, hasil uji Lagrange Multiplier menunjukkan bahwa ketergantungan spasial tidak signifikan secara statistik setelah memasukkan variabel jumlah penduduk ke dalam model. Pemodelan OLS menunjukkan bahwa jumlah penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19, serta mampu menjelaskan hampir setengah variasi kasus antar kabupaten/kota. Sementara itu, pemodelan spasial melalui SEM dan SAR tidak memberikan peningkatan kecocokan model yang signifikan dibandingkan OLS, sehingga variasi kasus COVID-19 di Jawa Timur tahun 2021 lebih dominan dipengaruhi oleh karakteristik internal wilayah daripada efek spasial antarwilayah. Metode interpolasi Inverse Distance Weighting (IDW) mampu menggambarkan pola sebaran spasial kasus COVID-19 di Provinsi Jawa Timur dengan menunjukkan adanya konsentrasi kasus yang lebih tinggi pada wilayah tertentu dan gradasi nilai yang mengikuti prinsip kedekatan geografis. Hasil interpolasi ini bersifat eksploratif dan memberikan dasar awal untuk identifikasi area berisiko sebelum dilakukan analisis spasial lanjutan yang mempertimbangkan ketergantungan antarwilayah secara inferensial.
Berdasarkan temuan penelitian, disarankan agar kebijakan pengendalian COVID-19 di Provinsi Jawa Timur lebih difokuskan pada wilayah dengan jumlah penduduk besar dan kepadatan tinggi, karena faktor tersebut terbukti berkontribusi signifikan terhadap tingginya kasus. Pemerintah daerah perlu memperkuat kapasitas layanan kesehatan, pengawasan mobilitas penduduk, serta upaya pencegahan berbasis komunitas di wilayah tersebut. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan menambahkan variabel lain seperti kepadatan penduduk, mobilitas, tingkat vaksinasi, dan kondisi sosial ekonomi agar model dapat menjelaskan variasi kasus secara lebih komprehensif. Selain itu, penggunaan pendekatan spasial lanjutan dengan unit analisis yang lebih rinci dan data temporal juga dapat dipertimbangkan untuk menangkap dinamika penyebaran penyakit secara lebih mendalam.
Link ShinyDashboard :
https://ricardofilemon.shinyapps.io/SpasialUAS
Link Youtube :