Ricardo Filemon Renaldy Saragih - 140610230036
Pada tahun 2021, pandemi COVID-19 menjadi salah satu krisis kesehatan terbesar yang dihadapi Provinsi Jawa Timur. Sebagai provinsi dengan jumlah penduduk besar serta aktivitas ekonomi dan mobilitas yang tinggi, Jawa Timur termasuk wilayah dengan tingkat penularan COVID-19 yang signifikan di Indonesia. Pada periode ini, penyebaran virus masih berlangsung masif dan berdampak luas terhadap berbagai sektor, khususnya kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan pelayanan publik.
Tahun 2021 ditandai dengan lonjakan kasus COVID-19 yang sangat tinggi, terutama pada pertengahan tahun seiring munculnya varian Delta. Lonjakan ini menyebabkan tekanan berat pada sistem pelayanan kesehatan di Jawa Timur, seperti keterbatasan kapasitas rumah sakit, tingginya angka keterisian tempat tidur (Bed Occupancy Rate), serta meningkatnya kebutuhan tenaga medis dan fasilitas penunjang. Kondisi tersebut menempatkan Jawa Timur sebagai salah satu provinsi dengan tingkat risiko dan beban penanganan COVID-19 yang cukup serius pada saat itu.
Dalam upaya menekan laju penyebaran virus, pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur menerapkan berbagai kebijakan strategis sepanjang tahun 2021, antara lain Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), penguatan protokol kesehatan, peningkatan kapasitas testing, tracing, dan treatment (3T), serta percepatan program vaksinasi. Kebijakan tersebut memberikan dampak signifikan terhadap penurunan kasus pada akhir tahun, meskipun di sisi lain juga memengaruhi aktivitas sosial dan perekonomian masyarakat.
Berdasarkan kondisi tersebut, COVID-19 di Jawa Timur pada tahun 2021 menjadi isu yang penting untuk dikaji secara akademik. Analisis terhadap pola penyebaran, respons kebijakan, serta dampak pandemi pada periode ini dapat memberikan gambaran komprehensif mengenai efektivitas penanganan krisis kesehatan. Selain itu, kajian ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran strategis dalam memperkuat kesiapsiagaan daerah menghadapi wabah dan tantangan kesehatan masyarakat di masa mendatang.
Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana tingkat prevalensi COVID-19 di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2021 berdasarkan karakteristik wilayah dan faktor sosiodemografis yang relevan?
Faktor-faktor apa saja yang secara signifikan memengaruhi penyebaran dan tingkat kasus COVID-19 di Jawa Timur tahun 2021 berdasarkan pendekatan regresi OLS?
Apakah terdapat ketergantungan spasial dalam penyebaran COVID-19 antar kabupaten/kota di Jawa Timur pada tahun 2021, dan bagaimana pengaruh faktor spasial tersebut berdasarkan pemodelan Spatial Autoregressive (SAR)?
Menganalisis pola penyebaran dan faktor-faktor yang memengaruhi kejadian COVID-19 di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2021 secara komprehensif melalui pendekatan statistik, spasial, dan epidemiologis, dengan menggunakan pemodelan Ordinary Least Squares (OLS), Spatial Autoregressive (SAR), dan Structural Equation Modeling (SEM), serta pengukuran prevalensi dan odds risk ratio, guna menghasilkan dasar ilmiah yang kuat bagi perumusan kebijakan pengendalian penyakit dan penguatan sistem kesehatan masyarakat di tingkat regional
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari penyebaran dan determinan dari kejagian penyakit atau masalah kesehatan dalam suatu populasi . Selain itu juga belajar mengenai penerapannya dalam mengendalikan masalah tersebut.
Dalam studi epidemiologi, ada konsep agent–host–environment yang menggambarkan bahwa terjadinya suatu penyakit bergantung pada interaksi antara tiga komponen utama.
Agent
Agen penyebab COVID-19 adalah Severe Acute Respiratory Syndrome
Coronavirus 2 (SARS-CoV-2), yaitu virus RNA beruntai tunggal
positif yang termasuk dalam famili Coronaviridae. Virus ini
memiliki selubung lipid dengan protein spike (S) yang berperan penting
dalam proses perlekatan dan masuknya virus ke dalam sel inang melalui
reseptor ACE2. Karakteristik struktur tersebut memungkinkan SARS-CoV-2
memiliki daya infektivitas tinggi serta kemampuan bertahan dalam droplet
dan aerosol pada kondisi lingkungan tertentu. Penularan terjadi terutama
melalui droplet dan aerosol yang dikeluarkan saat individu terinfeksi
berbicara, batuk, bersin, atau bernapas, serta melalui kontak dengan
permukaan yang terkontaminasi. Dalam konteks pandemi, munculnya berbagai
varian dengan tingkat transmisi yang lebih tinggi memperkuat
keberlanjutan penularan COVID-19 di masyarakat.
Host
Host pada COVID-19 adalah manusia yang rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2, dengan tingkat kerentanan yang dipengaruhi oleh faktor biologis, perilaku, dan kondisi kesehatan. Individu dengan sistem imun lemah, seperti lansia, penderita penyakit kronis (diabetes melitus, hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan gangguan paru), serta individu dengan status gizi buruk memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami infeksi dan manifestasi penyakit yang berat. Selain itu, perilaku seperti rendahnya kepatuhan terhadap protokol kesehatan, mobilitas tinggi, serta cakupan dan kepatuhan vaksinasi yang rendah turut meningkatkan risiko penularan dan keparahan COVID-19 pada tingkat individu maupun populasi.
Environment
Lingkungan berperan signifikan dalam memfasilitasi interaksi antara agen
dan host pada penularan COVID-19. Lingkungan fisik seperti ruang
tertutup dengan ventilasi udara yang buruk, kepadatan penduduk tinggi,
serta intensitas aktivitas sosial yang tinggi meningkatkan risiko
penularan virus melalui droplet dan aerosol. Faktor lingkungan sosial
dan ekonomi, termasuk urbanisasi, kondisi permukiman padat, keterbatasan
akses terhadap fasilitas kesehatan, serta kesenjangan informasi
kesehatan, turut mempercepat penyebaran COVID-19. Selain itu, faktor
kebijakan dan lingkungan kerja, seperti penerapan pembatasan aktivitas
yang tidak optimal, juga memengaruhi dinamika penularan penyakit ini di
masyarakat.
Faktor faktor ini saling berinteraksi dan menentukan tingkat kerentanan individu terhadap infeksi.
Ukuran asosiasi digunakan dalam epidemiologi untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko (exposure) dengan kejadian penyakit (outcome). Dalam penelitian ini, ukuran asosiasi digunakan untuk menganalisis hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian Covid-19. Adapun ukuran yang digunakan pada kasus ini adalah
Prevalensi
Proporsi individu yang memiliki penyakit tertentu (kasus lama + kasus baru) pada suatu titik waktu atau pertiode tertentu. Prevalensi menggambarkan beban penyakit pada populasi dengan rumus
\[ Prevaleni = \frac{Kasus(lama+baru)}{Total Populasi} \]
Sebagai contoh jika disebuah kota berpenduduk 10 ribu orang terdapat 200 penderita, maka prevalensinya adalah 2%.
Berdasarkan tujuan analisis dan sifat data, penelitian ini menggunakan desain studi observasional yang mana, peneliti disini tidak memberikan intervensi terhadap data, melainkan hanya mengamati hubungan antara paparan dan kejadian penyakit.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan cross-sectional study dimana mengukur paparan dan outcome pada satu titik waktu. Tujuannya adalah mengestimasi prevalensi dan mengekplorasi asosiasi awal. Pada penelitian ini, dilakukan pemetaan terhadap prevalensi dan distribusi kasus di berbagai wilayah di Jawa Timur. Pendekatan ini menggunakan data yang dikumpulkan pada satu titik waktu tertentu, yaitu tahun 2021. Keuntungannya adalah efisien dalam waktu dan biaya, serta cocok untuk menggambarkan situasi epidemiologi terkini.
Disease mapping adalah epresentasi spasial (peta) dari distribusi suatu penyakit, biasanya menunjukkan tingkat prevalensi, insidensi atau resiko penyakit pada daerah tertentu. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi distribusi geografis penyakit, melihat pola sebaran penyakit, mendeteksi area resiko tinggi, membandingkan wilayah sehingga menjadi dasar perencanaan kebijakan kesehatan.
Disease mapping memberikan visualisasi kompleks menjadi sederhana, dapat memberikan intervensi yang lebih tepat sasaran.
Penelitian ini merupakan studi epidemiologi deskriptif dengan pendekatan cross-sectional. Pendekatan ini digunakan untuk menggambarkan situasi Covid-19 di Provinsi Jawa Timur pada periode 2021. Analisis dilakukan untuk mengetahui distribusi spasial, menghitung prevalensi, serta menganalisis hubungan antara variabel demografi dengan kejadian Covid-19.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari instansi resmi open data Jawa Barat.
Jumlah Kasus Terkonfirmasi Covid 19 :
https://jatim.bps.go.id/id/statistics-table/1/MjQwNCMx/kasus-kumulatif-covid-19-menurut-kabupaten-kota-di-provinsi-jawa-timur--2021.html
Tabel berikut merangkum variabel yang digunakan dalam penelitian ini :
| Jenis Variabel | Nama Variabel | Satuan / Kategori | Keterangan |
|---|---|---|---|
| Variabel utama | Jumlah kasus Covid-19 | Kasus (orang) | Total kasus Covid-19 yang dilaporkan per kabupaten/kota |
| Variabel pendukung | Jumlah penduduk | Jiwa | Jumlah total penduduk di wilayah yang sama |
| Variabel demografi | Jenis kelamin | Laki-laki / Perempuan | Berdasarkan data laporan kasus |
Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk menggambarkan situasi Covid-19 di Provinsi Jawa Timur periode 2021 berdasarkan tahun, tempat dan variabel pembeda (gender). Analisis dilakukan dalam tiga tahapan utama, sesuai dengan rumusan masalah penelitian, yaitu:
Analisis ini bertujuan untuk menggambarkan beban penyakit Covid-19 di
Provinsi Jawa Barat secara keseluruhan.
Langkah-langkah analisis meliputi:
\[ Prevaleni = \frac{Kasus(lama+baru)}{Total Populasi} \]
Menyajikan hasil dalam bentuk tabel dan grafik tren untuk memperlihatkan perubahan prevalensi dari tahun 2021
Mengidentifikasi wilayah dengan prevalensi tertinggi dan terendah setiap tahun.
Analisis spasial dilakukan untuk menggambarkan pola geografis distribusi Covid-19 antarwilayah di Provinsi Jawa Timur. Tahapan yang dilakukan adalah :
Menggabungkan data kasus Covid-19 dan jumlah penduduk dengan peta batas administrasi kabupaten/kota (format shapefile)
Membuat peta tematik (choropleth map) untuk menampilkan variasi spasial prevalensi Covid-19 antarwilayah dan antar tahun.
Melakukan analisis deskriptif spasial untuk mengidentifikasi klaster wilayah dengan prevalensi tinggi.
Hasil pemetaan ini membantu menunjukkan perbedaan beban penyakit antar daerah serta membantu proses kebijakan berbasis data.
Dalam epidemiologi, ukuran frekuensi digunakan untuk menggambarkan seberapa sering suatu penyakit atau masalah kesehatan terjadi dalam suatu populasi dalam periode waktu tertentu. Ukuran ini menjadi dasar untuk memahami tingkat kejadian, penyebaran, dan dampak penyakit terhadap masyarakat. Melalui ukuran frekuensi, peneliti dapat menilai besarnya beban penyakit serta mengidentifikasi kelompok populasi yang paling berisiko. Pada kasus Covid-19 di Jawa Timur tahun 2021, ukuran frekuensi membantu menggambarkan seberapa besar proporsi penduduk yang terinfeksi atau berhasil sembuh, baik berdasarkan jenis kelamin maupun wilayah kabupaten/kota.
Dengan menggunakan rumus perhitungan prevalensi pada bab 3, diperoleh nilai dari prevalensi kasus Covid-19 di Jawa Timur pada tahun 2021 sebagai berikut :
## [1] 0.009677019
Nilai prevalensi sebesar 0,009677019 menunjukkan bahwa sekitar 0,97% dari total penduduk pada wilayah dan periode penelitian tercatat sebagai kasus terkonfirmasi COVID-19, yang berarti terdapat kurang lebih 9-10 kasus per 1.000 penduduk. Temuan ini menggambarkan bahwa beban COVID-19 secara proporsional relatif terkendali, namun tetap memiliki implikasi penting bagi kesehatan masyarakat mengingat potensi penularan yang tinggi dan risiko keparahan pada kelompok rentan.
Dalam epidemiologi, ukuran asosiasi digunakan untuk menggambarkan hubungan antara suatu kejadian dengan luaran kesehatan dalam populasi. Pada penelitian ini, risk ratio yang dihitung melalui perbandingan jumlah kasus meninggal terhadap total kasus terkonfirmasi (case fatality rate/CFR) digunakan untuk menggambarkan tingkat risiko kematian akibat COVID-19. Ukuran ini membantu menjawab sejauh mana keparahan penyakit tercermin dari proporsi kematian di antara kasus yang terkonfirmasi, sehingga memberikan gambaran tentang dampak klinis COVID-19 serta efektivitas penanganan kasus. Melalui nilai risk ratio tersebut, peneliti dapat menilai besarnya risiko kematian akibat COVID-19 dalam populasi yang diteliti sebagai dasar evaluasi kondisi epidemiologis dan kebijakan kesehatan masyarakat.
Untuk mengetahui adanya hubungan antara faktor risiko dengan kejadian COVID-19 di Provinsi Jawa Timur tahun 2021, dilakukan analisis menggunakan ukuran asosiasi berupa Prevalence Ratio (PR). Ukuran ini digunakan untuk membandingkan proporsi kejadian COVID-19 antara kelompok yang terpapar dan tidak terpapar terhadap faktor risiko tertentu. Melalui perhitungan PR, dapat diketahui apakah kelompok yang terpapar memiliki prevalensi COVID-19 yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak terpapar, serta seberapa besar perbedaan tersebut secara relatif. Analisis ini penting untuk memahami peran faktor-faktor risiko dalam pola penyebaran COVID-19 dan menjadi dasar dalam penyusunan strategi pencegahan serta pengendalian penyakit yang lebih tepat sasaran dan berbasis data.
## [1] 0.07626767
Nilai risk ratio sebesar 0,07626767 menunjukkan bahwa risiko kematian akibat COVID-19 pada populasi yang diteliti relatif rendah, yaitu sekitar 7,63% dari total kasus terkonfirmasi. Artinya, dari setiap 100 kasus COVID-19, terdapat kurang lebih 7–8 kasus yang berakhir dengan kematian. Nilai ini menggambarkan tingkat keparahan penyakit dalam populasi serta mencerminkan kapasitas sistem kesehatan dan efektivitas penanganan kasus selama periode pengamatan.
Untuk memperkuat analisis tingkat keparahan COVID-19 di Provinsi Jawa Timur tahun 2021, digunakan ukuran asosiasi berupa Odds Ratio (OR) yang membandingkan peluang (odds) kematian dengan peluang kesembuhan pada kasus terkonfirmasi. Ukuran ini menggambarkan seberapa besar kemungkinan terjadinya kematian dibandingkan dengan kesembuhan dalam populasi yang diteliti pada periode yang sama. Berbeda dengan risk ratio yang menilai proporsi kejadian, odds ratio menekankan pada perbandingan peluang antar luaran kesehatan. Melalui analisis OR ini, dapat diperoleh gambaran mengenai tingkat fatalitas relatif COVID-19 serta kekuatan hubungan antara luaran kematian dan kesembuhan sebagai indikator penting dalam evaluasi dampak klinis dan efektivitas penanganan kasus.
## [1] 0.08155952
Nilai odds ratio sebesar 0,08155952 menunjukkan bahwa peluang terjadinya kematian akibat COVID-19 jauh lebih kecil dibandingkan dengan peluang kesembuhan pada kasus terkonfirmasi di wilayah dan periode penelitian. Secara interpretatif, odds kematian hanya sekitar 8,16% dari odds kesembuhan, yang mengindikasikan bahwa sebagian besar kasus COVID-19 berakhir dengan kesembuhan. Nilai odds ratio yang jauh di bawah 1 ini mencerminkan tingkat fatalitas yang relatif rendah serta menunjukkan bahwa upaya penanganan dan pelayanan kesehatan yang diberikan mampu mendukung outcome klinis yang lebih baik bagi sebagian besar pasien.
Dalam analisis epidemiologi dan geospasial, autokorelasi spasial digunakan untuk menilai sejauh mana fenomena kesehatan, seperti penyebaran COVID-19, menunjukkan keterkaitan antarwilayah secara geografis. Konsep ini berlandaskan Tobler’s First Law of Geography yang menyatakan bahwa wilayah yang berdekatan cenderung memiliki karakteristik yang lebih mirip dibandingkan wilayah yang berjauhan. Dalam konteks COVID-19, autokorelasi spasial membantu mengidentifikasi apakah kabupaten/kota dengan jumlah atau tingkat kasus tinggi cenderung membentuk pola pengelompokan (cluster) di wilayah tertentu atau tersebar secara acak. Melalui analisis ini, peneliti dapat memahami pola distribusi COVID-19 secara geografis dan mendeteksi adanya konsentrasi kasus yang dipengaruhi oleh faktor kedekatan wilayah. Oleh karena itu, autokorelasi spasial menjadi dasar penting dalam perumusan kebijakan pengendalian COVID-19 berbasis wilayah serta penentuan prioritas intervensi kesehatan masyarakat yang lebih tepat sasaran.
Global Moran’s I memberikan satu nilai indeks tunggal yang merepresentasikan tingkat autokorelasi spasial untuk keseluruhan wilayah kajian, sehingga memudahkan peneliti dalam menilai kecenderungan pola spasial penyebaran COVID-19 secara global sebelum dilanjutkan dengan analisis lokal. Nilai indeks yang positif menunjukkan adanya pengelompokan (cluster) wilayah dengan tingkat kasus COVID-19 yang relatif serupa, sedangkan nilai negatif mengindikasikan pola penyebaran yang saling berlawanan atau cenderung acak. Dengan demikian, Global Moran’s I menjadi instrumen penting untuk mengidentifikasi pola distribusi COVID-19 secara umum serta sebagai dasar dalam perumusan strategi intervensi dan pengendalian penyakit berbasis wilayah yang lebih efektif dan terarah.
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: jatim_data$Kasus.Konfirmasi
## weights: lw
##
## Moran I statistic standard deviate = 3.0901, p-value = 0.001001
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## 0.237536224 -0.027027027 0.007330331
Hasil uji Global Moran’s I menunjukkan nilai Moran’s I sebesar 0,2375, yang lebih besar dibandingkan nilai ekspektasinya sebesar -0,0270, dengan nilai Z sebesar 3,0901 dan p-value 0,0010. Nilai p yang jauh lebih kecil dari tingkat signifikansi 0,05 mengindikasikan bahwa hipotesis nol yang menyatakan tidak adanya autokorelasi spasial dapat ditolak.
Temuan ini menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif yang signifikan pada distribusi kasus terkonfirmasi COVID-19 di Provinsi Jawa Timur. Artinya, wilayah kabupaten/kota dengan jumlah kasus COVID-19 yang tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah lain yang juga memiliki jumlah kasus tinggi, begitu pula sebaliknya untuk wilayah dengan kasus rendah. Pola ini mengindikasikan adanya pengelompokan spasial (spatial clustering) dalam penyebaran COVID-19, sehingga distribusi kasus tidak terjadi secara acak. Hasil ini menegaskan pentingnya pendekatan berbasis wilayah dalam perumusan kebijakan pengendalian dan intervensi kesehatan masyarakat.
Setelah menilai pola distribusi kasus COVID-19 secara keseluruhan menggunakan Global Moran’s I, tahap selanjutnya adalah mengevaluasi autokorelasi spasial pada tingkat lokal melalui Local Moran’s I atau LISA (Local Indicators of Spatial Association). Analisis ini memungkinkan identifikasi klaster spesifik wilayah yang memiliki tingkat kasus tinggi atau rendah, sekaligus mendeteksi outlier spasial, yaitu wilayah yang menunjukkan pola berbeda secara signifikan dibandingkan wilayah sekitarnya. Melalui LISA, peneliti tidak hanya mengetahui keberadaan autokorelasi spasial secara global, tetapi juga dapat menentukan lokasi klaster atau hotspot COVID-19 pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Informasi ini memiliki peran strategis dalam perencanaan intervensi kesehatan berbasis wilayah, karena mendukung penentuan prioritas dan alokasi sumber daya secara lebih tepat sasaran untuk menekan penyebaran penyakit di wilayah berisiko tinggi.
Berdasarkan hasil analisis Local Moran’s I, terdapat 3 wilayah yang termasuk dalam kategori High-High, artinya wilayah-wilayah tersebut memiliki angka kasus Covid-19 tinggi dan dikelilingi oleh tetangga yang juga memiliki angka kasus tinggi, sehingga dapat dikategorikan sebagai hotspot Covid-19. Sebaliknya, sebanyak 35 wilayah termasuk dalam kategori Not significant, yang menunjukkan bahwa kasus TBC di wilayah-wilayah tersebut tidak memiliki autokorelasi spasial yang signifikan dengan tetangganya, sehingga distribusi kasus cenderung acak atau tidak membentuk klaster.
Peta signifikansi tersebut menunjukkan hasil uji Local Moran’s I (LISA) yang mengidentifikasi wilayah-wilayah di Provinsi Jawa Timur yang memiliki autokorelasi spasial signifikan terhadap kasus terkonfirmasi COVID-19. Area yang ditandai dengan warna merah (p-value < 0,05) merepresentasikan kabupaten/kota yang secara statistik memiliki keterkaitan spasial yang signifikan dengan wilayah sekitarnya, artinya pola kasus COVID-19 di wilayah tersebut tidak terjadi secara acak. Wilayah signifikan ini mengindikasikan adanya potensi klaster spasial atau outlier, di mana tingkat kasus COVID-19 di suatu wilayah dipengaruhi oleh kondisi wilayah tetangganya. Sebaliknya, wilayah yang tidak berwarna merah (p-value ≥ 0,05) menunjukkan tidak adanya autokorelasi spasial yang signifikan. Temuan ini menegaskan bahwa penyebaran COVID-19 di Jawa Timur bersifat tidak merata secara geografis dan terkonsentrasi pada wilayah tertentu, sehingga diperlukan pendekatan pengendalian dan intervensi kesehatan masyarakat yang lebih terfokus pada wilayah-wilayah signifikan tersebut.
Pemodelan Structural Equation Modeling (SEM) digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis hubungan yang kompleks antara berbagai faktor penentu terhadap penyebaran COVID-19 di Provinsi Jawa Timur tahun 2021. Pendekatan SEM memungkinkan pengujian hubungan langsung dan tidak langsung antar variabel, termasuk konstruk laten yang tidak dapat diukur secara langsung, seperti kondisi sosial, kapasitas kesehatan, dan karakteristik lingkungan wilayah. Dengan SEM, peneliti tidak hanya dapat menilai pengaruh masing-masing faktor secara terpisah, tetapi juga memahami struktur hubungan kausal yang saling terkait dalam memengaruhi jumlah dan tingkat kasus COVID-19. Oleh karena itu, pemodelan SEM memberikan kerangka analisis yang komprehensif dan integratif untuk menjelaskan dinamika penyebaran penyakit serta mendukung perumusan kebijakan kesehatan masyarakat yang berbasis bukti dan berorientasi jangka panjang.
##
## Call:
## errorsarlm(formula = Kasus.Konfirmasi ~ Jumlah.Penduduk, data = model_data,
## listw = lw, zero.policy = TRUE)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -10568.58 -2958.29 -523.91 2663.01 37001.92
##
## Type: error
## Coefficients: (asymptotic standard errors)
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) 5.1475e+02 2.4673e+03 0.2086 0.8347
## Jumlah.Penduduk 9.6159e-03 1.7909e-03 5.3694 7.9e-08
##
## Lambda: 0.30133, LR test value: 1.6456, p-value: 0.19956
## Approximate (numerical Hessian) standard error: 0.22669
## z-value: 1.3292, p-value: 0.18378
## Wald statistic: 1.7668, p-value: 0.18378
##
## Log likelihood: -393.4911 for error model
## ML residual variance (sigma squared): 56247000, (sigma: 7499.8)
## Number of observations: 38
## Number of parameters estimated: 4
## AIC: 794.98, (AIC for lm: 794.63)
Hasil pemodelan Spatial Error Model (SEM) menunjukkan bahwa variabel Jumlah Penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 di Provinsi Jawa Timur. Nilai koefisien sebesar 0,0096 dengan p-value < 0,001 mengindikasikan bahwa peningkatan jumlah penduduk di suatu kabupaten/kota cenderung diikuti oleh peningkatan jumlah kasus COVID-19, setelah memperhitungkan struktur ketergantungan spasial pada komponen galat. Sebaliknya, konstanta tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan, yang menandakan bahwa tanpa mempertimbangkan variabel penjelas, model tidak memberikan kontribusi bermakna terhadap variasi kasus.
Parameter spasial lambda (λ) sebesar 0,301 menunjukkan adanya kecenderungan autokorelasi spasial pada komponen error, namun hasil uji statistik (LR test, Wald test, dan z-test) menunjukkan bahwa parameter tersebut tidak signifikan secara statistik (p-value > 0,05). Hal ini mengindikasikan bahwa setelah memasukkan variabel jumlah penduduk ke dalam model, ketergantungan spasial pada error tidak lagi kuat atau tidak dominan dalam menjelaskan variasi kasus COVID-19 antarwilayah
Pemodelan Spatial Autoregressive (SAR) digunakan dalam penelitian ini untuk mengakomodasi adanya ketergantungan spasial pada variabel dependen, yaitu jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 di Provinsi Jawa Timur. Model ini mengasumsikan bahwa jumlah kasus COVID-19 di suatu kabupaten/kota tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik internal wilayah tersebut, tetapi juga oleh jumlah kasus di wilayah-wilayah sekitarnya. Melalui estimasi parameter spasial ρ (rho), model SAR mampu menangkap efek limpahan (spillover effect) antarwilayah yang mencerminkan pola penyebaran penyakit lintas batas administratif. Dengan demikian, pemodelan SAR memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai dinamika spasial penyebaran COVID-19 serta menjadi dasar penting dalam perumusan kebijakan pengendalian penyakit yang menekankan koordinasi dan intervensi lintas wilayah.
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Kasus.Konfirmasi ~ Jumlah.Penduduk, data =
## model_data)
## test weights: listw
##
## RSerr = 1.0663, df = 1, p-value = 0.3018
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Kasus.Konfirmasi ~ Jumlah.Penduduk, data =
## model_data)
## test weights: listw
##
## RSlag = 2.6572, df = 1, p-value = 0.1031
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Kasus.Konfirmasi ~ Jumlah.Penduduk, data =
## model_data)
## test weights: listw
##
## adjRSerr = 0.24845, df = 1, p-value = 0.6182
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Kasus.Konfirmasi ~ Jumlah.Penduduk, data =
## model_data)
## test weights: listw
##
## adjRSlag = 1.8393, df = 1, p-value = 0.175
Hasil uji Lagrange Multiplier (Rao’s Score test) menunjukkan bahwa tidak terdapat ketergantungan spasial yang signifikan baik pada komponen galat maupun pada variabel dependen dalam model OLS yang digunakan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai RSerr = 1,0663 (p-value = 0,3018) dan RSlag = 2,6572 (p-value = 0,1031), yang keduanya lebih besar dari tingkat signifikansi 0,05, sehingga hipotesis nol yang menyatakan tidak adanya efek spasial tidak dapat ditolak.
Hasil uji lanjutan menggunakan robust Lagrange Multiplier juga memperkuat temuan tersebut, di mana nilai adjRSerr = 0,2485 (p-value = 0,6182) dan adjRSlag = 1,8393 (p-value = 0,1750) sama-sama tidak signifikan secara statistik. Temuan ini mengindikasikan bahwa variasi jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur lebih banyak dijelaskan oleh faktor internal wilayah, yaitu jumlah penduduk, dibandingkan oleh pengaruh spasial dari wilayah sekitarnya. Dengan demikian, model OLS dinilai sudah memadai untuk menjelaskan hubungan yang dianalisis, dan penggunaan model spasial seperti SAR atau SEM tidak memberikan peningkatan yang signifikan secara statistik pada tahap ini.
Pemodelan Ordinary Least Squares (OLS) digunakan sebagai pendekatan awal untuk menganalisis pengaruh jumlah penduduk terhadap jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 di Provinsi Jawa Timur. Model ini mengasumsikan bahwa hubungan antarvariabel bersifat linier dan tidak dipengaruhi oleh ketergantungan spasial antarwilayah. Melalui OLS, dapat diidentifikasi arah dan besaran pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara langsung, sehingga memberikan gambaran dasar mengenai faktor penentu variasi kasus COVID-19 antar kabupaten/kota. Hasil pemodelan OLS juga menjadi titik awal yang penting untuk mengevaluasi keberadaan efek spasial melalui pengujian lanjutan, seperti uji Lagrange Multiplier, guna menentukan apakah diperlukan pengembangan model ke dalam pendekatan spasial yang lebih kompleks.
##
## Call:
## lm(formula = Kasus.Konfirmasi ~ Jumlah.Penduduk, data = model_data)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -12222 -4072 -96 2982 36769
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
## (Intercept) -1.277e+03 2.393e+03 -0.534 0.597
## Jumlah.Penduduk 1.063e-02 1.897e-03 5.604 2.35e-06 ***
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## Residual standard error: 7981 on 36 degrees of freedom
## Multiple R-squared: 0.466, Adjusted R-squared: 0.4511
## F-statistic: 31.41 on 1 and 36 DF, p-value: 2.348e-06
Hasil pemodelan Ordinary Least Squares (OLS) menunjukkan bahwa jumlah penduduk memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 di Provinsi Jawa Timur. Koefisien regresi sebesar 0,01063 dengan p-value < 0,001 mengindikasikan bahwa setiap peningkatan jumlah penduduk di suatu kabupaten/kota cenderung diikuti oleh peningkatan jumlah kasus COVID-19, dengan asumsi faktor lain bersifat konstan. Sementara itu, konstanta model tidak signifikan secara statistik, yang menunjukkan bahwa tanpa adanya pengaruh jumlah penduduk, model tidak menjelaskan variasi kasus secara bermakna.
Nilai R-squared sebesar 0,466 menunjukkan bahwa sekitar 46,6% variasi jumlah kasus COVID-19 antarwilayah dapat dijelaskan oleh variabel jumlah penduduk, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. Uji simultan melalui F-statistic sebesar 31,41 dengan p-value < 0,001 menegaskan bahwa model secara keseluruhan signifikan dan layak digunakan untuk analisis. Dengan demikian, hasil OLS mengindikasikan bahwa jumlah penduduk merupakan determinan penting dalam menjelaskan variasi kasus COVID-19 antar kabupaten/kota, sekaligus menjadi dasar evaluasi lanjutan terkait kebutuhan penggunaan model spasial.
Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa penyebaran kasus terkonfirmasi COVID-19 di Provinsi Jawa Timur menunjukkan pola yang tidak sepenuhnya acak secara geografis, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil autokorelasi spasial global. Namun demikian, hasil uji Lagrange Multiplier menunjukkan bahwa ketergantungan spasial tidak signifikan secara statistik setelah memasukkan variabel jumlah penduduk ke dalam model. Pemodelan OLS menunjukkan bahwa jumlah penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19, serta mampu menjelaskan hampir setengah variasi kasus antar kabupaten/kota. Sementara itu, pemodelan spasial melalui SEM dan SAR tidak memberikan peningkatan kecocokan model yang signifikan dibandingkan OLS, sehingga variasi kasus COVID-19 di Jawa Timur tahun 2021 lebih dominan dipengaruhi oleh karakteristik internal wilayah daripada efek spasial antarwilayah.
Berdasarkan temuan penelitian, disarankan agar kebijakan pengendalian COVID-19 di Provinsi Jawa Timur lebih difokuskan pada wilayah dengan jumlah penduduk besar dan kepadatan tinggi, karena faktor tersebut terbukti berkontribusi signifikan terhadap tingginya kasus. Pemerintah daerah perlu memperkuat kapasitas layanan kesehatan, pengawasan mobilitas penduduk, serta upaya pencegahan berbasis komunitas di wilayah tersebut. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan menambahkan variabel lain seperti kepadatan penduduk, mobilitas, tingkat vaksinasi, dan kondisi sosial ekonomi agar model dapat menjelaskan variasi kasus secara lebih komprehensif. Selain itu, penggunaan pendekatan spasial lanjutan dengan unit analisis yang lebih rinci dan data temporal juga dapat dipertimbangkan untuk menangkap dinamika penyebaran penyakit secara lebih mendalam.
Link ShinyDashboard :
https://ricardofilemon.shinyapps.io/EpidemiologiUAS
Link Youtube : https://youtu.be/RZAQsoMqvs8