Kemiskinan merupakan permasalahan pembangunan global yang hingga saat ini masih menjadi tantangan utama di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam agenda pembangunan berkelanjutan Sustainable Development Goals (SDGs), pengentasan kemiskinan menjadi fokus utama yang tertuang dalam Tujuan 1 (No Poverty), yaitu menghapus kemiskinan dalam segala bentuk di mana pun pada tahun 2030. Pencapaian tujuan tersebut memiliki keterkaitan erat dengan tujuan pembangunan lainnya, seperti peningkatan kualitas pendidikan (SDG 4), kesehatan dan kesejahteraan (SDG 3), serta penyediaan akses air minum layak dan sanitasi (SDG 6) [1]. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan tidak hanya dipengaruhi oleh aspek ekonomi, tetapi juga oleh kualitas pembangunan manusia dan ketersediaan layanan dasar yang memadai.
Di Indonesia, kemiskinan masih menjadi prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar makanan dan nonmakanan yang diukur berdasarkan garis kemiskinan [2]. Meskipun secara nasional tingkat kemiskinan menunjukkan tren penurunan dalam jangka panjang, ketimpangan kemiskinan antarwilayah masih relatif tinggi. Perbedaan karakteristik sosial, ekonomi, dan geografis menyebabkan penurunan kemiskinan tidak terjadi secara merata. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kemiskinan suatu wilayah sangat mungkin dipengaruhi oleh kondisi wilayah di sekitarnya, sehingga kemiskinan memiliki keterkaitan spasial antar daerah yang berdekatan [3].
Kemiskinan bersifat multidimensional dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) digunakan sebagai indikator agregat yang mencerminkan capaian pembangunan pada dimensi kesehatan, pendidikan, dan standar hidup layak. Rendahnya IPM mengindikasikan kualitas sumber daya manusia yang belum optimal dan berpotensi meningkatkan tingkat kemiskinan [4]. Selain itu, rata-rata lama sekolah mencerminkan kualitas pendidikan penduduk yang berperan penting dalam meningkatkan produktivitas dan peluang ekonomi masyarakat. Di sisi lain, keterbatasan akses rumah tangga terhadap sumber air minum layak menunjukkan kerentanan pada dimensi kesehatan dan lingkungan yang turut memperburuk kondisi kemiskinan [3]. Studi berbasis regresi spasial menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut tidak hanya berpengaruh secara langsung, tetapi juga memiliki efek limpahan (spillover effect) antarwilayah [3,4].
Urgensi penelitian kemiskinan semakin meningkat pada periode 2020–2024, terutama akibat dampak pandemi COVID-19 yang memperlambat laju penurunan kemiskinan di berbagai daerah. Apabila permasalahan kemiskinan tidak ditangani secara tepat dan berbasis karakteristik kewilayahan, maka target SDGs berisiko tidak tercapai sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan [1]. Ketimpangan antarprovinsi dapat semakin melebar, kualitas pembangunan manusia tertinggal, dan akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan air minum layak tetap tidak merata. Oleh karena itu, analisis spasial kemiskinan di Provinsi Indonesia dengan mempertimbangkan variabel IPM, rata-rata lama sekolah, serta persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak menjadi penting sebagai dasar perumusan kebijakan pengentasan kemiskinan yang lebih efektif, terarah, dan berkeadilan.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, permasalahan yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tingkat kemiskinan di Indonesia masih menunjukkan ketimpangan antarprovinsi dan diduga memiliki pola spasial tertentu.
Kemiskinan di suatu wilayah berpotensi dipengaruhi oleh kondisi wilayah di sekitarnya, sehingga terdapat kemungkinan autokorelasi spasial.
Kualitas pembangunan manusia, yang tercermin melalui IPM dan rata-rata lama sekolah, diduga memiliki hubungan yang erat dengan tingkat kemiskinan.
Akses rumah tangga terhadap sumber air minum layak masih belum merata dan berpotensi memperburuk kondisi kemiskinan.
Belum banyak kajian yang mengombinasikan analisis autokorelasi spasial, pemodelan regresi spasial, dan pemodelan interpolasi untuk menganalisis kemiskinan di Indonesia secara komprehensif pada periode 2020-2024.
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Mengidentifikasi pola dan sebaran spasial kemiskinan di Provinsi Indonesia pada periode 2020-2024.
Menganalisis adanya autokorelasi spasial kemiskinan menggunakan uji Moran’s I, Geary’s C, Getis-Ord, dan Local Indicator of Spatial Association (LISA).
Menganalisis pengaruh Indeks Pembangunan Manusia, rata-rata lama sekolah, dan persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak terhadap tingkat kemiskinan.
Menentukan model terbaik dalam menganalisis kemiskinan melalui perbandingan model Ordinary Least Squares (OLS), Spatial Autoregressive Model (SAR), Spatial Error Model (SEM), dan Spatial Durbin Model (SDM).
Memodelkan pola spasial kemiskinan menggunakan metode interpolasi untuk menggambarkan variasi kemiskinan secara kontinu antarwilayah.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
Memberikan kontribusi ilmiah dalam pengembangan kajian kemiskinan berbasis spasial serta memperkaya literatur mengenai penerapan analisis autokorelasi spasial dan regresi spasial.
Menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dan pemangku kebijakan dalam merumuskan strategi pengentasan kemiskinan yang berbasis karakteristik kewilayahan.
Memberikan gambaran komprehensif mengenai penggunaan berbagai metode spasial, mulai dari uji autokorelasi, pemodelan regresi spasial, hingga pemodelan interpolasi dalam analisis kemiskinan.
Agar penelitian ini lebih terarah, maka batasan penelitian ditetapkan sebagai berikut:
Wilayah kajian dibatasi pada Provinsi Indonesia dengan unit analisis tingkat provinsi. Periode waktu penelitian dibatasi pada tahun 2020-2024.
Variabel dependen yang digunakan adalah tingkat kemiskinan. Variabel independen meliputi Indeks Pembangunan Manusia, rata-rata lama sekolah, dan persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak.
Metode analisis yang digunakan meliputi uji autokorelasi spasial (Moran’s I, Geary’s C, Getis-Ord, dan LISA), estimasi model regresi OLS, SAR, SEM, dan SDM, serta pemodelan interpolasi spasial.
Data yang digunakan merupakan data sekunder yang bersumber dari instansi resmi.
Ketergantungan spasial (spatial dependence) merupakan kondisi ketika nilai suatu variabel di suatu lokasi dipengaruhi oleh nilai variabel yang sama di lokasi lain yang berdekatan. Konsep ini berakar pada First Law of Geography yang menyatakan bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu sama lain, namun hal-hal yang berdekatan memiliki hubungan yang lebih kuat dibandingkan dengan yang berjauhan [5]. Dalam konteks analisis regional, ketergantungan spasial muncul akibat adanya interaksi sosial, ekonomi, dan geografis antarwilayah, seperti mobilitas penduduk, perdagangan, dan kesamaan karakteristik lingkungan.
Anselin menyatakan bahwa pengabaian ketergantungan spasial dalam analisis data wilayah dapat menyebabkan estimasi parameter yang tidak efisien dan kesimpulan yang bias [6]. Oleh karena itu, pendekatan statistik spasial diperlukan untuk menangkap pola keterkaitan antarwilayah secara eksplisit melalui penggunaan matriks pembobot spasial. Matriks ini merepresentasikan struktur hubungan antar lokasi berdasarkan kedekatan geografis atau kriteria tertentu, seperti kontiguitas atau jarak.
Autokorelasi spasial menggambarkan derajat kemiripan nilai suatu variabel antar lokasi yang berdekatan secara geografis. Autokorelasi spasial positif terjadi ketika wilayah yang berdekatan memiliki nilai yang cenderung serupa, sedangkan autokorelasi spasial negatif terjadi ketika wilayah yang berdekatan memiliki nilai yang berbeda secara kontras [6]. Keberadaan autokorelasi spasial menjadi indikasi awal adanya ketergantungan spasial yang perlu dipertimbangkan dalam pemodelan statistik.
Indeks Moran merupakan ukuran autokorelasi spasial global yang paling umum digunakan. Statistik ini mengukur hubungan antara nilai variabel di suatu lokasi dengan nilai variabel di lokasi-lokasi tetangganya. Nilai Indeks Moran berada pada rentang -1 hingga 1, di mana nilai positif menunjukkan autokorelasi spasial positif, nilai negatif menunjukkan autokorelasi spasial negatif, dan nilai mendekati nol menunjukkan tidak adanya pola spasial [6,7]. Uji Moran’s I sering digunakan sebagai langkah awal untuk mendeteksi keberadaan ketergantungan spasial dalam data wilayah. Rumusnya sebagai berikut:
\[ I = \frac{n}{\sum_i \sum_j w_{ij}} \cdot \frac{\sum_i \sum_j w_{ij} (x_i - \bar{x})(x_j - \bar{x})} {\sum_i (x_i - \bar{x})^2} \]
Keterangan:
- \(n\) = jumlah unit observasi
- \(x_i, x_j\) = nilai variabel di
lokasi \(i\) dan \(j\)
- \(\bar{x}\) = rata-rata nilai
variabel
- \(w_{ij}\) = elemen matriks pembobot
spasial
Kriteria Pengujian:
- \(I > 0\): autokorelasi spasial
positif (wilayah dengan nilai serupa saling berdekatan)
- \(I < 0\): autokorelasi spasial
negatif (wilayah dengan nilai berbeda berdekatan)
- \(I \approx 0\): tidak terdapat
autokorelasi spasial (pola acak)
Geary’s C merupakan ukuran autokorelasi spasial global yang menekankan pada perbedaan nilai antarwilayah yang berdekatan. Berbeda dengan Moran’s I yang bersifat korelasional, Geary’s C lebih sensitif terhadap variasi lokal. Nilai Geary’s C berada pada rentang 0 hingga 2, di mana nilai kurang dari 1 menunjukkan autokorelasi spasial positif, nilai lebih dari 1 menunjukkan autokorelasi spasial negatif, dan nilai mendekati 1 mengindikasikan tidak adanya autokorelasi spasial [7]. Rumusnya sebagai berikut:
\[ C = \frac{(n - 1)}{2 \sum_i \sum_j w_{ij}} \cdot \frac{\sum_i \sum_j w_{ij} (x_i - x_j)^2} {\sum_i (x_i - \bar{x})^2} \]
Keterangan:
- \(n\) = jumlah unit observasi
- \(x_i, x_j\) = nilai variabel di
lokasi \(i\) dan \(j\)
- \(\bar{x}\) = rata-rata nilai
variabel
- \(w_{ij}\) = elemen matriks pembobot
spasial
Kriteria Pengujian:
- \(C = 1\): tidak ada autokorelasi
spasial
- \(C < 1\): terdapat autokorelasi
spasial positif
- \(C > 1\): terdapat autokorelasi
spasial negatif
Getis-Ord digunakan untuk mengidentifikasi adanya konsentrasi nilai tinggi atau rendah secara spasial, yang dikenal sebagai hot spot dan cold spot. Statistik ini mengukur sejauh mana suatu wilayah dikelilingi oleh wilayah lain dengan nilai yang relatif tinggi atau rendah secara signifikan. Getis-Ord sering digunakan untuk mengidentifikasi klaster spasial berdasarkan intensitas suatu fenomena, termasuk kemiskinan [8]. Rumusnya sebagai berikut:
\[ G = \frac{\sum_i \sum_j w_{ij} x_i x_j} {\sum_i \sum_j x_i x_j} \]
Keterangan:
- \(x_i, x_j\) = nilai variabel pada
lokasi \(i\) dan \(j\)
- \(w_{ij}\) = bobot spasial antara
lokasi \(i\) dan \(j\)
Kriteria Pengujian:
- Nilai \(G\) tinggi menunjukkan
hot spot (pengelompokan nilai besar).
- Nilai \(G\) rendah menunjukkan
cold spot (pengelompokan nilai kecil).
- Nilai \(G\) mendekati rata-rata
global menunjukkan pola acak.
Terdapat juga versi lokal dari statistik ini, yaitu \(Getis-Ord Gi^*\), yang digunakan untuk mendeteksi lokasi-lokasi spesifik yang menjadi pusat hot spot atau cold spot.
Local Indicator of Spatial Association (LISA) merupakan ukuran autokorelasi spasial lokal yang bertujuan untuk mengidentifikasi klaster dan pencilan spasial pada tingkat wilayah individu. LISA memungkinkan pendeteksian pola high-high, low-low, high-low, dan low-high yang tidak dapat ditangkap oleh ukuran global seperti Moran’s I. Pendekatan ini sangat berguna dalam analisis kebijakan karena mampu menunjukkan wilayah prioritas berdasarkan karakteristik lokalnya [6].
Apabila terdeteksi adanya ketergantungan spasial, maka diperlukan pemodelan yang mampu mengakomodasi efek tersebut agar hasil estimasi parameter tidak bias dan lebih efisien. Estimasi model dalam analisis spasial umumnya diawali dengan model regresi klasik sebagai pembanding, kemudian dilanjutkan dengan model regresi spasial yang sesuai dengan karakteristik ketergantungan spasial yang terdeteksi [6]. Pemilihan model terbaik dilakukan berdasarkan uji diagnostik spasial serta kriteria kebaikan model.
Ordinary Least Squares (OLS) merupakan metode regresi linier klasik yang paling umum digunakan untuk mengestimasi hubungan antara satu variabel dependen dengan satu atau lebih variabel independen. Metode ini bertujuan untuk memperoleh estimator parameter yang meminimalkan jumlah kuadrat dari selisih antara nilai aktual dan nilai prediksi variabel dependen [9]. OLS sering digunakan sebagai pendekatan awal dalam analisis data karena kesederhanaannya serta kemudahan dalam interpretasi hasil estimasi parameter.
Secara umum, model regresi OLS dapat dituliskan sebagai berikut [9]:
\[ Y = X\beta + \varepsilon \]
Keterangan:
Model OLS mengasumsikan tidak adanya autokorelasi dan hubungan antarobservasi bersifat independen. Namun, pada data spasial, asumsi tersebut sering dilanggar sehingga hasil estimasi menjadi tidak efisien dan pengujian signifikansi dapat menyesatkan [6]. Oleh karena itu, OLS digunakan sebagai model pembanding sebelum penerapan model regresi spasial.
Spatial Autoregressive Model (SAR) atau spatial lag model merupakan salah satu model regresi spasial yang digunakan ketika terdapat ketergantungan spasial pada variabel dependen. Model ini mengasumsikan bahwa nilai variabel respon di suatu wilayah tidak hanya dipengaruhi oleh variabel independen di wilayah tersebut, tetapi juga oleh nilai variabel respon di wilayah lain yang berdekatan secara geografis [6]. Ketergantungan ini mencerminkan adanya interaksi langsung antarwilayah, baik dari sisi sosial, ekonomi, maupun pembangunan.
Secara matematis, model SAR dapat dirumuskan sebagai berikut [6,9]:
\[ Y = \rho W y + X\beta + \varepsilon \]
Keterangan:
Parameter \(\rho\) menunjukkan besarnya pengaruh spasial antarwilayah. Nilai \(\rho\) yang signifikan mengindikasikan adanya efek limpahan (spillover effect) kemiskinan antarwilayah yang berdekatan [9].
Spatial Error Model (SEM) merupakan model regresi spasial yang digunakan ketika ketergantungan spasial tidak secara langsung memengaruhi variabel dependen, melainkan muncul pada komponen error model. Model ini mengasumsikan bahwa autokorelasi spasial terjadi akibat adanya variabel-variabel penting yang tidak teramati atau tidak dimasukkan ke dalam model, namun memiliki pola spasial tertentu [6]. Ketergantungan tersebut menyebabkan error pada suatu wilayah berkorelasi dengan error di wilayah lain yang berdekatan.
Secara matematis, Spatial Error Model dapat dituliskan sebagai berikut [6,9]:
\[ Y = X\beta + \lambda W u + \varepsilon \]
Keterangan:
Nilai \(\lambda\) yang signifikan menunjukkan adanya pengaruh spasial yang berasal dari faktor-faktor laten yang tidak tercakup dalam model [6].
Spatial Durbin Model (SDM) merupakan pengembangan dari Spatial Autoregressive Model (SAR) yang memasukkan lag spasial baik pada variabel dependen maupun variabel independen. Model ini memungkinkan analisis pengaruh langsung (direct effect) dan pengaruh tidak langsung (indirect effect atau spillover effect) dari variabel independen antarwilayah [9]. Dengan demikian, SDM memberikan kerangka yang lebih komprehensif dalam menangkap berbagai bentuk ketergantungan spasial.
Secara umum, bentuk matematis Spatial Durbin Model dapat dinyatakan sebagai berikut [9]:
\[ Y = \rho W Y + X\beta + WX\theta + \varepsilon \]
Keterangan:
Model SDM dianggap paling fleksibel karena mencakup model SAR dan SEM sebagai kasus khusus. Oleh karena itu, SDM sering direkomendasikan sebagai model awal dalam analisis regresi spasial untuk menangkap berbagai bentuk ketergantungan spasial secara komprehensif [9].
Penelitian ini menggunakan data sekunder berbentuk data panel spasial yang mencakup 34 provinsi di Indonesia selama periode 2020-2024.
Data yang digunakan bersumber dari lembaga resmi pemerintah, yaitu Badan Pusat Statistik (BPS) untuk data kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia, rata-rata lama sekolah, dan persentase rumah tangga dengan akses air minum layak. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan United Nations sebagai referensi pendukung terkait indikator pembangunan dan SDGs. Ketiga variabel tersebut disusun dalam bentuk panel data (cross section dan time series), sehingga memungkinkan analisis hubungan spasial dan temporal antarprovinsi di Indonesia. Data diolah menggunakan software R Studio.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas satu variabel dependen dan tiga variabel independen. Definisi operasional variabel disajikan sebagai berikut:
| Jenis Variabel | Nama Variabel | Satuan | Keterangan |
|---|---|---|---|
| Dependen | Kemiskinan (Y) | Persen (%) | Persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan |
| Independen | Indeks Pembangunan Manusia (X₁) | Indeks | Indikator komposit yang mencerminkan capaian pembangunan manusia pada dimensi kesehatan, pendidikan, dan standar hidup layak |
| Independen | Rata-rata Lama Sekolah (X₂) | Tahun | Rata-rata jumlah tahun pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penduduk usia 15 tahun ke atas |
| Independen | Akses Air Minum Layak (X₃) | Persen (%) | Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak |
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik spasial dan ekonometrika spasial. Tahapan analisis dilakukan secara bertahap untuk memastikan bahwa karakteristik spasial data dapat teridentifikasi dan dimodelkan dengan tepat.
Tahap eksplorasi data dilakukan untuk memperoleh gambaran awal mengenai karakteristik data sebelum dilakukan analisis statistik lebih lanjut. Menurut Sudjana, statistik deskriptif merupakan metode yang digunakan untuk mengumpulkan, menyusun, menyajikan, dan menganalisis data sehingga dapat memberikan informasi yang jelas dan ringkas mengenai kondisi data yang diteliti [10]. Statistik deskriptif tidak dimaksudkan untuk menarik kesimpulan inferensial, melainkan untuk memahami pola dan kecenderungan data secara umum.
Dalam penelitian ini, eksplorasi data dilakukan melalui perhitungan ukuran-ukuran statistik deskriptif, meliputi nilai rata-rata, nilai minimum, nilai maksimum, dan simpangan baku untuk setiap variabel penelitian. Ukuran-ukuran tersebut digunakan untuk mengidentifikasi tingkat variasi data, kecenderungan sentral, serta potensi adanya nilai ekstrem pada masing-masing variabel. Menurut Sudjana, penyajian data dalam bentuk ringkasan statistik sangat penting untuk membantu peneliti memahami distribusi data sebelum menerapkan metode analisis lanjutan [10].
Selain analisis numerik, eksplorasi data juga dilengkapi dengan visualisasi spasial dalam bentuk peta tematik. Visualisasi ini bertujuan untuk menampilkan persebaran geografis tingkat kemiskinan dan variabel independen di seluruh provinsi di Indonesia. Penyajian data secara visual membantu mengungkap pola spasial, ketimpangan antarwilayah, serta indikasi awal adanya klaster wilayah dengan karakteristik yang serupa. Hasil eksplorasi data dan visualisasi ini menjadi dasar dalam menentukan perlunya pengujian autokorelasi spasial dan pemodelan regresi spasial pada tahap analisis berikutnya.
Uji autokorelasi spasial dilakukan untuk mendeteksi keberadaan ketergantungan spasial pada data kemiskinan antarprovinsi. Pengujian dilakukan menggunakan beberapa statistik spasial, yaitu:
Moran’s I untuk menguji autokorelasi spasial global
Geary’s C sebagai ukuran alternatif autokorelasi spasial global yang lebih sensitif terhadap perbedaan lokal
Getis-Ord Gi* untuk mengidentifikasi hot spot dan cold spot kemiskinan
Local Indicator of Spatial Association (LISA) untuk mendeteksi klaster dan pencilan spasial pada tingkat provinsi.
Pengujian ini menggunakan matriks pembobot spasial yang dibangun berdasarkan kedekatan geografis antarprovinsi. Hasil uji autokorelasi spasial digunakan sebagai dasar dalam menentukan kebutuhan penerapan model regresi spasial.
Estimasi model diawali dengan penerapan model Ordinary Least Squares (OLS) sebagai model dasar. Selanjutnya, dilakukan pengujian autokorelasi spasial pada sisaan model OLS. Apabila terdeteksi ketergantungan spasial yang signifikan, maka model dikembangkan ke dalam regresi spasial.
Model regresi spasial yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
Spatial Autoregressive Model (SAR) untuk menangkap ketergantungan spasial langsung pada variabel dependen
Spatial Error Model (SEM) untuk mengakomodasi ketergantungan spasial pada komponen error
Spatial Durbin Model (SDM) untuk menganalisis pengaruh langsung dan tidak langsung (spillover effect) dari variabel independen antarwilayah.
Pemilihan model terbaik dilakukan berdasarkan hasil uji diagnostik spasial serta kriteria kebaikan model, seperti nilai log-likelihood dan Akaike Information Criterion (AIC).
Pemilihan model terbaik dilakukan untuk menentukan model yang paling sesuai dalam menjelaskan hubungan antara kemiskinan dan faktor-faktor yang memengaruhinya dengan mempertimbangkan karakteristik spasial data. Evaluasi model dilakukan berdasarkan beberapa kriteria, antara lain:
signifikansi parameter model
nilai log-likelihood
nilai Akaike Information Criterion (AIC),
serta kemampuan model dalam mengatasi autokorelasi spasial pada sisaan.
Selain itu, hasil uji diagnostik spasial, seperti uji Lagrange Multiplier, digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan apakah model SAR, SEM, atau SDM lebih tepat digunakan. Model dengan nilai AIC terendah dan performa statistik terbaik dipilih sebagai model final dalam analisis kemiskinan spasial.
Setelah dilakukan pemodelan regresi untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan, tahapan selanjutnya dalam penelitian ini adalah pemodelan interpolasi pada variabel terikat, yaitu tingkat kemiskinan (Y). Pemodelan interpolasi bertujuan untuk menggambarkan pola sebaran spasial kemiskinan secara lebih kontinu, tidak hanya terbatas pada wilayah pengamatan, tetapi juga pada wilayah di sekitarnya.
Interpolasi digunakan untuk mengestimasi nilai tingkat kemiskinan pada lokasi-lokasi yang tidak memiliki data pengamatan secara langsung dengan memanfaatkan informasi dari lokasi-lokasi terdekat. Pendekatan ini penting karena kemiskinan merupakan fenomena spasial yang cenderung memiliki keterkaitan antarwilayah, sehingga nilai kemiskinan pada suatu daerah dapat dipengaruhi oleh kondisi wilayah di sekitarnya.
Melalui pemodelan interpolasi, diharapkan dapat diperoleh peta sebaran kemiskinan yang lebih komprehensif dan informatif. Peta hasil interpolasi ini tidak hanya berfungsi sebagai alat visualisasi, tetapi juga sebagai dasar dalam mengidentifikasi wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi dan rendah secara spasial. Dengan demikian, hasil interpolasi dapat mendukung proses pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan yang lebih tepat sasaran dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Nearest Neighbor: Metode ini menentukan nilai pada suatu lokasi yang tidak teramati dengan cara mengambil nilai dari satu titik sampel yang jaraknya paling dekat. Hasilnya cenderung membentuk pola yang diskrit dan tersegmentasi (seperti blok-blok warna), karena tidak ada proses penghalusan atau rata-rata antar titik.
Triangulated Irregular Network (TIN - Linear): Metode ini bekerja dengan menghubungkan titik-titik sampel terdekat untuk membentuk rangkaian segitiga yang tidak tumpang tindih. Nilai di dalam segitiga tersebut kemudian dihitung melalui interpolasi linear, sehingga menghasilkan gradien warna yang lebih lembut dan transisi spasial yang lebih realistis dibandingkan Nearest Neighbor.
Inverse Distance Weighting (IDW): Metode ini mengasumsikan bahwa titik yang lebih dekat ke lokasi estimasi memiliki pengaruh (bobot) yang lebih besar daripada titik yang lebih jauh. Nilai pangkat (p) menentukan seberapa cepat pengaruh tersebut berkurang seiring jarak; nilai \(p\) yang tinggi (seperti p=2) akan menciptakan efek “bull’s eye” atau penonjolan tajam pada titik-titik sampel ekstrem.
Trend Surface Analysis (TSA): Metode ini menggunakan fungsi matematika polinomial (dalam hal ini kuadratik atau derajat dua) untuk mencerminkan tren atau kemiringan permukaan secara keseluruhan di seluruh wilayah studi. TSA lebih fokus pada menangkap pola variasi global (seperti tren penurunan dari barat daya ke tenggara) daripada mengikuti fluktuasi data lokal secara mendetail.
Thin Plate Splines (TPS): Metode ini merupakan teknik interpolasi yang bersifat global dan bertujuan untuk meminimalkan kelengkungan total permukaan. Hasilnya adalah visualisasi yang sangat halus dan kontinu, yang sangat baik untuk mengidentifikasi kecenderungan umum tanpa terganggu oleh batas kontras yang tajam antar titik observasi.
Alur kerja penelitian ini disusun secara sistematis untuk memastikan bahwa setiap tahapan analisis dilakukan secara runtut dan terintegrasi. Tahapan penelitian meliputi:
Pengumpulan data numerik dan data spasial
Eksplorasi data dan visualisasi spasial
Pembentukan matriks pembobot spasial
Uji autokorelasi spasial global dan lokal
Estimasi model OLS
Estimasi model regresi spasial (SAR, SEM, dan SDM)
Pemilihan model terbaik
Pemodelan interpolasi spasial
Interpretasi hasil dan penarikan kesimpulan.
Alur kerja ini dirancang untuk memastikan bahwa analisis kemiskinan dilakukan secara komprehensif dengan mempertimbangkan aspek spasial dan keterkaitan antarwilayah.
summary(
dplyr::select(
data_sf_clean,
Penduduk.Miskin,
IPM,
Rata.rata.Lama.Sekolah,
Akses.Air.Minum.Layak
)
)
## Penduduk.Miskin IPM Rata.rata.Lama.Sekolah Akses.Air.Minum.Layak
## Min. : 3.780 Min. :60.44 Min. : 6.960 Min. :62.47
## 1st Qu.: 6.513 1st Qu.:70.20 1st Qu.: 8.537 1st Qu.:81.58
## Median :10.365 Median :72.00 Median : 9.170 Median :88.61
## Mean :10.674 Mean :71.60 Mean : 9.130 Mean :86.98
## 3rd Qu.:13.680 3rd Qu.:73.31 3rd Qu.: 9.672 3rd Qu.:93.32
## Max. :26.640 Max. :78.83 Max. :10.700 Max. :98.42
## geometry
## MULTIPOLYGON :142
## epsg:NA : 0
## +proj=long...: 0
##
##
##
Interpretasi:
Berdasarkan hasil statistika deskriptif, persentase penduduk miskin memiliki nilai rata-rata sebesar 10.674 dengan median 10.365, menunjukkan distribusi yang relatif simetris dengan variasi cukup besar dari 3.780 hingga 26.640. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) memiliki rata-rata 71.60 dan median 72.00, yang mengindikasikan bahwa sebagian besar wilayah berada pada kategori pembangunan menengah dengan rentang nilai antara 60.44 hingga 78.83. Rata-rata lama sekolah memiliki nilai mean 9.130 dan median 9.170, menunjukkan tingkat pendidikan yang relatif merata dengan variasi dari 6.960 hingga 10.700. Sementara itu, akses air minum layak memiliki rata-rata 86.98 dan median 88.61, yang menandakan bahwa mayoritas wilayah telah memiliki akses air minum yang cukup baik meskipun masih terdapat kesenjangan antarwilayah dengan nilai minimum 62.47 dan maksimum 98.42.
tm_shape(data_sf_clean) +
tm_polygons("Penduduk.Miskin", palette = "YlOrRd", title = "Penduduk Miskin") +
tm_layout(frame = FALSE)
##
## ── tmap v3 code detected ───────────────────────────────────────────────────────
## [v3->v4] `tm_tm_polygons()`: migrate the argument(s) related to the scale of
## the visual variable `fill` namely 'palette' (rename to 'values') to fill.scale
## = tm_scale(<HERE>).
## [v3->v4] `tm_polygons()`: migrate the argument(s) related to the legend of the
## visual variable `fill` namely 'title' to 'fill.legend = tm_legend(<HERE>)'
## [cols4all] color palettes: use palettes from the R package cols4all. Run
## `cols4all::c4a_gui()` to explore them. The old palette name "YlOrRd" is named
## "brewer.yl_or_rd"
## Multiple palettes called "yl_or_rd" found: "brewer.yl_or_rd", "matplotlib.yl_or_rd". The first one, "brewer.yl_or_rd", is returned.
Interpretasi:
Peta persebaran penduduk miskin menunjukkan adanya ketimpangan spasial yang cukup jelas antarwilayah di Indonesia, di mana provinsi dengan persentase penduduk miskin rendah (0-9) cenderung terkonsentrasi di sebagian wilayah barat Indonesia, sementara kategori menengah (10-19) tersebar di berbagai provinsi lainnya. Wilayah dengan persentase penduduk miskin tinggi hingga sangat tinggi (20-30) tampak lebih dominan di kawasan Indonesia timur, khususnya Papua dan sekitarnya, yang ditunjukkan dengan warna lebih gelap. Pola ini mengindikasikan bahwa masalah kemiskinan masih lebih berat di wilayah timur Indonesia, mencerminkan perbedaan tingkat pembangunan, akses layanan dasar, dan kondisi sosial ekonomi antarprovinsi.
Untuk menganalisis adanya keterkaitan spasial antarwilayah dalam pola kemiskinan, penelitian ini dilanjutkan dengan Uji Autokorelasi Spasial. Uji ini bertujuan untuk mengidentifikasi apakah nilai suatu wilayah dipengaruhi oleh wilayah di sekitarnya atau tersebar secara acak. Metode yang digunakan meliputi Moran’s I dan Geary’s C sebagai ukuran autokorelasi spasial global, Getis-Ord untuk mengidentifikasi pola pengelompokan nilai tinggi dan rendah, serta Local Indicators of Spatial Association (LISA) untuk mendeteksi pola autokorelasi spasial secara lokal pada masing-masing wilayah.
var_list <- c(
"Penduduk.Miskin",
"IPM",
"Rata.rata.Lama.Sekolah",
"Akses.Air.Minum.Layak"
)
# Moran's I
moran_results <- lapply(var_list, function(v) {
moran.test(
data_sf_simple[[v]],
lw,
zero.policy = TRUE
)
})
names(moran_results) <- var_list
moran_df <- data.frame(
Variabel = var_list,
Moran_I = sapply(
moran_results,
function(x) x$estimate["Moran I statistic"]
),
p_value = sapply(
moran_results,
function(x) x$p.value
)
)
moran_df
## Variabel Moran_I
## Penduduk.Miskin.Moran I statistic Penduduk.Miskin 0.5098160
## IPM.Moran I statistic IPM 0.4689244
## Rata.rata.Lama.Sekolah.Moran I statistic Rata.rata.Lama.Sekolah 0.3346256
## Akses.Air.Minum.Layak.Moran I statistic Akses.Air.Minum.Layak 0.6971458
## p_value
## Penduduk.Miskin.Moran I statistic 9.984704e-44
## IPM.Moran I statistic 1.518451e-37
## Rata.rata.Lama.Sekolah.Moran I statistic 4.421696e-20
## Akses.Air.Minum.Layak.Moran I statistic 4.055370e-79
Interpretasi:
Hasil Uji Moran’s I menunjukkan bahwa seluruh variabel memiliki autokorelasi spasial positif yang signifikan, yang ditandai oleh nilai Moran’s I lebih besar dari 0 serta p-value yang mendekati 0. Variabel Akses Air Minum Layak memiliki nilai Moran’s I tertinggi sebesar 0.6971458, menunjukkan pola pengelompokan spasial yang sangat kuat antarwilayah. Selanjutnya, variabel Penduduk Miskin dan IPM masing-masing memiliki nilai Moran’s I sebesar 0.5098160 dan 0.4689244, yang mengindikasikan adanya keterkaitan spasial sedang hingga kuat. Sementara itu, Rata-rata Lama Sekolah memiliki nilai Moran’s I sebesar 0.3346256, yang menunjukkan autokorelasi spasial positif namun relatif lebih lemah dibandingkan variabel lainnya. Hal ini menegaskan bahwa keempat variabel tidak tersebar secara acak, melainkan membentuk pola spasial yang saling berkelompok antarprovinsi.
geary_results <- lapply(var_list, function(v) {
geary.test(
data_sf_simple[[v]],
lw,
zero.policy = TRUE
)
})
names(geary_results) <- var_list
geary_df <- data.frame(
Variabel = var_list,
Geary_C = sapply(
geary_results,
function(x) x$estimate["Geary C statistic"]
),
p_value = sapply(
geary_results,
function(x) x$p.value
)
)
geary_df
## Variabel Geary_C
## Penduduk.Miskin.Geary C statistic Penduduk.Miskin 0.4791186
## IPM.Geary C statistic IPM 0.5255284
## Rata.rata.Lama.Sekolah.Geary C statistic Rata.rata.Lama.Sekolah 0.6565633
## Akses.Air.Minum.Layak.Geary C statistic Akses.Air.Minum.Layak 0.3175563
## p_value
## Penduduk.Miskin.Geary C statistic 6.715190e-39
## IPM.Geary C statistic 7.877372e-32
## Rata.rata.Lama.Sekolah.Geary C statistic 9.869333e-19
## Akses.Air.Minum.Layak.Geary C statistic 1.706072e-66
Interpretasi:
Hasil uji Geary’s C menunjukkan bahwa seluruh variabel memiliki autokorelasi spasial positif yang signifikan, yang ditandai oleh nilai Moran’s I yang lebih besar dari 0 serta p-value yang sangat kecil. Variabel Rata-rata Lama Sekolah memiliki nilai Moran’s I tertinggi sebesar 0.6565633, yang mengindikasikan pola pengelompokan spasial yang kuat antarwilayah. Selanjutnya, IPM dan Penduduk Miskin masing-masing memiliki nilai Moran’s I sebesar 0.5255284 dan 0.4791186, menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif dengan kekuatan sedang hingga kuat. Sementara itu, Akses Air Minum Layak memiliki nilai Moran’s I sebesar 0.3175563, yang menunjukkan autokorelasi spasial positif namun relatif lebih lemah dibandingkan variabel lainnya. Hasil ini menegaskan bahwa seluruh variabel tidak tersebar secara acak, melainkan membentuk pola spasial yang saling berkelompok antarprovinsi.
getis_results <- lapply(var_list, function(v) {
globalG.test(
data_sf_simple[[v]],
lw,
zero.policy = TRUE
)
})
## Warning in globalG.test(data_sf_simple[[v]], lw, zero.policy = TRUE): Binary
## weights recommended (especially for distance bands)
## Warning in globalG.test(data_sf_simple[[v]], lw, zero.policy = TRUE): Binary
## weights recommended (especially for distance bands)
## Warning in globalG.test(data_sf_simple[[v]], lw, zero.policy = TRUE): Binary
## weights recommended (especially for distance bands)
## Warning in globalG.test(data_sf_simple[[v]], lw, zero.policy = TRUE): Binary
## weights recommended (especially for distance bands)
names(getis_results) <- var_list
getis_df <- data.frame(
Variabel = var_list,
Global_G = sapply(
getis_results,
function(x) x$estimate["Global G statistic"]
),
p_value = sapply(
getis_results,
function(x) x$p.value
)
)
getis_df
## Variabel Global_G
## Penduduk.Miskin.Global G statistic Penduduk.Miskin 0.007984052
## IPM.Global G statistic IPM 0.007103608
## Rata.rata.Lama.Sekolah.Global G statistic Rata.rata.Lama.Sekolah 0.007120728
## Akses.Air.Minum.Layak.Global G statistic Akses.Air.Minum.Layak 0.007130439
## p_value
## Penduduk.Miskin.Global G statistic 6.794583e-24
## IPM.Global G statistic 1.259817e-02
## Rata.rata.Lama.Sekolah.Global G statistic 1.897810e-03
## Akses.Air.Minum.Layak.Global G statistic 6.307096e-04
Interpretasi:
Hasil uji Getis-Ord Gi* menunjukkan bahwa seluruh variabel memiliki pola pengelompokan spasial yang signifikan, yang ditunjukkan oleh nilai p-value yang lebih kecil dari 0.05. Variabel Penduduk Miskin memiliki tingkat signifikansi spasial paling kuat dengan p-value sebesar 6.794583e-24, yang mengindikasikan adanya konsentrasi nilai tinggi maupun rendah antarwilayah. Variabel IPM, Rata-rata Lama Sekolah, dan Akses Air Minum Layak juga menunjukkan pola klaster spasial yang signifikan dengan p-value masing-masing sebesar 0.01259817, 0.001897810, dan 0.0006307096. Hal ini menegaskan bahwa keempat variabel tidak tersebar secara acak, melainkan membentuk pola hot spot dan cold spot yang jelas secara global antarprovinsi.
# 1. Pilih variabel
var_lisa <- "Penduduk.Miskin"
# 2. Standardisasi variabel
x <- scale(data_sf_simple[[var_lisa]])[, 1]
# 3. Spatial lag
lagx <- lag.listw(lw, x, zero.policy = TRUE)
# 4. Hitung Local Moran's I
lisa <- localmoran(
x,
lw,
alternative = "two.sided",
zero.policy = TRUE
)
lisa_df <- as.data.frame(lisa)
names(lisa_df) <- c("Ii", "Ei", "Vi", "Zi", "Pi.two.sided")
# 5. Gabungkan hasil & klasifikasi klaster
alpha <- 0.05
Indo_LISA <- bind_cols(data_sf_simple, lisa_df) %>%
mutate(
x = as.numeric(x),
lagx = as.numeric(lagx),
quad = case_when(
x >= 0 & lagx >= 0 & Pi.two.sided <= alpha ~ "High-High",
x < 0 & lagx < 0 & Pi.two.sided <= alpha ~ "Low-Low",
x >= 0 & lagx < 0 & Pi.two.sided <= alpha ~ "High-Low (Outlier)",
x < 0 & lagx >= 0 & Pi.two.sided <= alpha ~ "Low-High (Outlier)",
TRUE ~ "Not significant"
)
)
# 6. Plot LISA
ggplot(Indo_LISA) +
geom_sf(aes(fill = quad), color = "white", size = 0.2) +
scale_fill_manual(
values = c(
"High-High" = "#d73027",
"Low-Low" = "#4575b4",
"High-Low (Outlier)" = "#fdae61",
"Low-High (Outlier)" = "#74add1",
"Not significant" = "grey85"
)
) +
labs(
title = paste("Local Moran's I (LISA) - Penduduk Miskin Indonesia"),
fill = "Kategori LISA"
) +
theme_minimal() +
theme(
plot.title = element_text(hjust = 0.5, face = "bold"),
legend.position = "bottom"
)
Interpretasi:
Hasil Peta Local Moran’s I (LISA) untuk variabel penduduk miskin menunjukkan adanya pola autokorelasi spasial lokal yang jelas antarprovinsi di Indonesia. Wilayah dengan kategori High–High tampak terkonsentrasi di kawasan Indonesia timur, yang mengindikasikan provinsi dengan tingkat kemiskinan tinggi cenderung dikelilingi oleh wilayah dengan kondisi serupa. Sebaliknya, kategori Low–Low banyak ditemukan di wilayah Indonesia barat, menunjukkan pengelompokan provinsi dengan tingkat kemiskinan rendah yang saling berdekatan. Selain itu, keberadaan wilayah High–Low dan Low–High sebagai outlier mencerminkan adanya provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan berbeda dibandingkan wilayah sekitarnya, sehingga mengindikasikan ketimpangan lokal dalam distribusi kemiskinan antarprovinsi.
# OLS Model
ols_model <- lm(Penduduk.Miskin ~ IPM + Rata.rata.Lama.Sekolah + Akses.Air.Minum.Layak, data = data_sf_simple)
summary(ols_model)
##
## Call:
## lm(formula = Penduduk.Miskin ~ IPM + Rata.rata.Lama.Sekolah +
## Akses.Air.Minum.Layak, data = data_sf_simple)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -11.8688 -3.0287 0.0504 2.6069 17.6449
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
## (Intercept) 76.1571433 9.6417999 7.899 7.95e-13 ***
## IPM -1.0189705 0.1611566 -6.323 3.32e-09 ***
## Rata.rata.Lama.Sekolah 0.8156568 0.6379109 1.279 0.203
## Akses.Air.Minum.Layak 0.0003707 0.0523852 0.007 0.994
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## Residual standard error: 4.556 on 138 degrees of freedom
## Multiple R-squared: 0.2604, Adjusted R-squared: 0.2444
## F-statistic: 16.2 on 3 and 138 DF, p-value: 4.468e-09
# Extract residuals
resid_ols <- residuals(ols_model)
# Uji autokorelasi residuals (Moran's I)
moran_resid <- moran.test(resid_ols, lw, zero.policy = TRUE)
moran_resid
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: resid_ols
## weights: lw
##
## Moran I statistic standard deviate = 5.4691, p-value = 2.262e-08
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## 0.196401515 -0.007092199 0.001384448
# Uji heteroskedastisitas (Breusch-Pagan)
bptest(ols_model)
##
## studentized Breusch-Pagan test
##
## data: ols_model
## BP = 29.195, df = 3, p-value = 2.038e-06
Interpretasi:
Hasil estimasi model OLS menunjukkan bahwa variabel IPM berpengaruh negatif dan signifikan terhadap persentase penduduk miskin dengan koefisien sebesar -1.0189705, yang mengindikasikan bahwa peningkatan IPM cenderung menurunkan tingkat kemiskinan. Sementara itu, Rata-rata Lama Sekolah dan Akses Air Minum Layak tidak berpengaruh signifikan secara statistik, yang ditunjukkan oleh nilai p-value masing-masing sebesar 0.203 dan 0.994. Nilai R-squared sebesar 0.2604 menunjukkan bahwa model mampu menjelaskan sekitar 26.04% variasi kemiskinan, dengan uji F yang signifikan (p-value 4.468e-09) menandakan bahwa model secara keseluruhan layak. Namun demikian, hasil Uji Moran’s I pada residual menunjukkan adanya autokorelasi spasial yang signifikan (Moran’s I sebesar 0.1964015; p-value 2.262e-08), serta Uji Breusch–Pagan mengindikasikan adanya heteroskedastisitas (p-value 2.038e-06), yang menandakan bahwa asumsi klasik OLS tidak sepenuhnya terpenuhi dan diperlukan pendekatan regresi spasial lanjutan.
# SAR Model
sar_model <- lagsarlm(Penduduk.Miskin ~ IPM + Rata.rata.Lama.Sekolah + Akses.Air.Minum.Layak,
data = data_sf_simple,
listw = lw,
zero.policy = TRUE)
summary(sar_model)
##
## Call:lagsarlm(formula = Penduduk.Miskin ~ IPM + Rata.rata.Lama.Sekolah +
## Akses.Air.Minum.Layak, data = data_sf_simple, listw = lw,
## zero.policy = TRUE)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -14.34814 -2.47808 -0.17806 1.71539 14.21801
##
## Type: lag
## Coefficients: (asymptotic standard errors)
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) 35.2468582 8.9576691 3.9348 8.326e-05
## IPM -0.4272261 0.1431435 -2.9846 0.002839
## Rata.rata.Lama.Sekolah 0.0491433 0.5405497 0.0909 0.927561
## Akses.Air.Minum.Layak -0.0078098 0.0442747 -0.1764 0.859984
##
## Rho: 0.58438, LR test value: 35.814, p-value: 2.1706e-09
## Asymptotic standard error: 0.079397
## z-value: 7.3603, p-value: 1.8363e-13
## Wald statistic: 54.173, p-value: 1.8352e-13
##
## Log likelihood: -396.9016 for lag model
## ML residual variance (sigma squared): 14.82, (sigma: 3.8497)
## Number of observations: 142
## Number of parameters estimated: 6
## AIC: 805.8, (AIC for lm: 839.62)
## LM test for residual autocorrelation
## test value: 12.829, p-value: 0.00034135
# Extract residuals
resid_sar <- residuals(sar_model)
# Uji Moran's I pada residual SAR
moran_sar <- moran.test(resid_sar, lw, randomisation = TRUE)
moran_sar
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: resid_sar
## weights: lw
##
## Moran I statistic standard deviate = -1.3227, p-value = 0.907
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## -0.056338978 -0.007092199 0.001386202
Interpretasi:
Hasil estimasi model SAR menunjukkan bahwa parameter spasial rho bernilai positif dan signifikan sebesar 0.58438, yang mengindikasikan adanya pengaruh ketergantungan spasial yang kuat pada tingkat kemiskinan antarprovinsi. Variabel IPM tetap berpengaruh negatif dan signifikan terhadap persentase penduduk miskin dengan koefisien sebesar -0.4272261, sedangkan Rata-rata Lama Sekolah dan Akses Air Minum Layak tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan secara statistik. Nilai AIC model SAR sebesar 805.8 lebih kecil dibandingkan model OLS, menandakan bahwa model SAR memberikan kecocokan yang lebih baik. Selain itu, hasil Uji Moran’s I pada residual SAR menunjukkan tidak adanya autokorelasi spasial yang signifikan (p-value 0.907), yang menandakan bahwa model SAR berhasil mengatasi masalah autokorelasi spasial pada residual dan lebih sesuai untuk memodelkan kemiskinan dibandingkan model OLS.
# SEM Model
sem_model <- errorsarlm(Penduduk.Miskin ~ IPM + Rata.rata.Lama.Sekolah + Akses.Air.Minum.Layak,
data = data_sf_simple,
listw = lw,
zero.policy = TRUE)
summary(sem_model)
##
## Call:errorsarlm(formula = Penduduk.Miskin ~ IPM + Rata.rata.Lama.Sekolah +
## Akses.Air.Minum.Layak, data = data_sf_simple, listw = lw,
## zero.policy = TRUE)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -13.12537 -2.65506 -0.12685 2.38530 14.97285
##
## Type: error
## Coefficients: (asymptotic standard errors)
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) 31.063724 10.779788 2.8817 0.003956
## IPM -0.170350 0.179895 -0.9469 0.343670
## Rata.rata.Lama.Sekolah -0.285921 0.694736 -0.4116 0.680667
## Akses.Air.Minum.Layak -0.064910 0.075811 -0.8562 0.391883
##
## Lambda: 0.66714, LR test value: 29.383, p-value: 5.9395e-08
## Asymptotic standard error: 0.069452
## z-value: 9.6059, p-value: < 2.22e-16
## Wald statistic: 92.273, p-value: < 2.22e-16
##
## Log likelihood: -400.1171 for error model
## ML residual variance (sigma squared): 15.121, (sigma: 3.8885)
## Number of observations: 142
## Number of parameters estimated: 6
## AIC: 812.23, (AIC for lm: 839.62)
# Extract residuals
resid_sem <- residuals(sem_model)
# Uji Moran's I pada residual SEM
moran_sem <- moran.test(resid_sem, lw, randomisation = TRUE)
moran_sem
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: resid_sem
## weights: lw
##
## Moran I statistic standard deviate = -0.38643, p-value = 0.6504
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## -0.021506635 -0.007092199 0.001391431
Interpretasi:
Hasil estimasi model SEM menunjukkan bahwa parameter spasial lambda bernilai positif dan signifikan sebesar 0.66714, yang mengindikasikan adanya ketergantungan spasial pada komponen error antarprovinsi. Namun, seluruh variabel independen, yaitu IPM, Rata-rata Lama Sekolah, dan Akses Air Minum Layak, tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap persentase penduduk miskin secara langsung. Nilai AIC model SEM sebesar 812.23 lebih rendah dibandingkan OLS namun lebih tinggi dibandingkan model SAR, sehingga kecocokan model SEM berada di bawah model SAR. Selain itu, hasil Uji Moran’s I pada residual SEM menunjukkan tidak adanya autokorelasi spasial yang signifikan (p-value 0.6504), yang menandakan bahwa model SEM juga mampu mengatasi autokorelasi spasial pada residual, meskipun secara keseluruhan model SAR memberikan performa yang lebih baik dalam menjelaskan variasi kemiskinan antarprovinsi.
# SDM Model
sdm_model <- lagsarlm(Penduduk.Miskin ~ IPM + Rata.rata.Lama.Sekolah + Akses.Air.Minum.Layak,
data = data_sf_simple,
listw = lw,
type = "mixed",
zero.policy = TRUE)
summary(sdm_model)
##
## Call:lagsarlm(formula = Penduduk.Miskin ~ IPM + Rata.rata.Lama.Sekolah +
## Akses.Air.Minum.Layak, data = data_sf_simple, listw = lw,
## type = "mixed", zero.policy = TRUE)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -15.37872 -2.22021 -0.16577 2.24084 12.45738
##
## Type: mixed
## Coefficients: (asymptotic standard errors)
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) 82.224312 19.223427 4.2773 1.892e-05
## IPM -0.094082 0.178718 -0.5264 0.5985911
## Rata.rata.Lama.Sekolah -0.477457 0.687594 -0.6944 0.4874386
## Akses.Air.Minum.Layak -0.051460 0.079645 -0.6461 0.5182011
## lag.IPM -1.123905 0.311476 -3.6083 0.0003082
## lag.Rata.rata.Lama.Sekolah 1.462919 0.986301 1.4832 0.1380111
## lag.Akses.Air.Minum.Layak 0.085401 0.087088 0.9806 0.3267744
##
## Rho: 0.35144, LR test value: 7.325, p-value: 0.0068001
## Asymptotic standard error: 0.1251
## z-value: 2.8092, p-value: 0.0049661
## Wald statistic: 7.8918, p-value: 0.0049661
##
## Log likelihood: -389.5682 for mixed model
## ML residual variance (sigma squared): 13.911, (sigma: 3.7297)
## Number of observations: 142
## Number of parameters estimated: 9
## AIC: 797.14, (AIC for lm: 802.46)
## LM test for residual autocorrelation
## test value: 0.023264, p-value: 0.87877
# Extract residuals
resid_sdm <- residuals(sdm_model)
# Uji Moran's I pada residual SDM
moran_sdm <- moran.test(resid_sdm, lw, randomisation = TRUE)
moran_sdm
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: resid_sdm
## weights: lw
##
## Moran I statistic standard deviate = 0.16005, p-value = 0.4364
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## -0.001144057 -0.007092199 0.001381114
Interpretasi:
Hasil estimasi model SDM menunjukkan bahwa adanya pengaruh spasial yang signifikan, baik melalui parameter rho sebesar 0.35144 maupun melalui efek variabel penjelas dari wilayah sekitar. Variabel IPM pada wilayah tetangga (lag.IPM) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap persentase penduduk miskin dengan koefisien sebesar -1.123905, yang mengindikasikan bahwa peningkatan IPM di wilayah sekitar turut menurunkan tingkat kemiskinan suatu provinsi. Sementara itu, seluruh variabel pada wilayah sendiri tidak menunjukkan pengaruh signifikan secara statistik. Nilai AIC model SDM sebesar 797.14, yang merupakan nilai terendah dibandingkan model OLS, SAR, dan SEM, menunjukkan bahwa model SDM memiliki kecocokan terbaik. Selain itu, hasil Uji Moran’s I pada residual SDM menunjukkan tidak adanya autokorelasi spasial yang signifikan (p-value 0.4364), sehingga model SDM dinilai paling mampu menjelaskan pola kemiskinan dengan mempertimbangkan pengaruh spasial langsung dan tidak langsung antarprovinsi.
AIC(ols_model, sar_model, sem_model, sdm_model)
## df AIC
## ols_model 5 839.6173
## sar_model 6 805.8031
## sem_model 6 812.2343
## sdm_model 9 797.1365
Interpretasi:
Perbandingan nilai Akaike Information Criterion (AIC) menunjukkan bahwa model SDM memiliki nilai AIC terendah sebesar 797.1365, sehingga menjadi model dengan kecocokan terbaik dalam menjelaskan variasi persentase penduduk miskin. Selanjutnya, model SAR memiliki nilai AIC sebesar 805.8031, diikuti oleh model SEM sebesar 812.2343, yang menunjukkan performa lebih baik dibandingkan model OLS dengan nilai AIC tertinggi sebesar 839.6173. Hasil ini mengindikasikan bahwa model yang mempertimbangkan ketergantungan spasial, khususnya Spatial Durbin Model, lebih mampu menangkap pola kemiskinan antarprovinsi dibandingkan model nonspasial maupun model spasial yang lebih sederhana.
Didapatkan model terbaik, yaitu Spatial Durbin Model (SDM) Dengan model sebagai berikut:
\[ \text{Penduduk.Miskin}_i = 0.35144 \sum_j w_{ij}\,\text{Penduduk.Miskin}_j + 82.224312 - 0.094082\,\text{IPM}_i - 0.477457\,\text{Rata.rata.Lama.Sekolah}_i - 0.051460\,\text{Akses.Air.Minum.Layak}_i - 1.123905 \sum_j w_{ij}\,\text{IPM}_j + 1.462919 \sum_j w_{ij}\,\text{Rata.rata.Lama.Sekolah}_j + 0.085401 \sum_j w_{ij}\,\text{Akses.Air.Minum.Layak}_j + \varepsilon_i \]
Keterangan:
Interpretasi:
Nilai parameter spasial \(\rho = 0.35144\) yang signifikan menunjukkan adanya ketergantungan spasial positif, di mana tingkat kemiskinan suatu provinsi dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan provinsi di sekitarnya. Meskipun variabel IPM, rata-rata lama sekolah, dan akses air minum layak pada wilayah sendiri tidak berpengaruh signifikan secara langsung, variabel IPM wilayah sekitar memiliki pengaruh tidak langsung yang negatif dan signifikan dengan koefisien sebesar -1.123905, yang mengindikasikan adanya efek limpahan (spillover effect). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kualitas pembangunan manusia di provinsi tetangga berkontribusi dalam menurunkan tingkat kemiskinan suatu wilayah. Tidak ditemukannya autokorelasi spasial pada residual menandakan bahwa model SDM telah mampu menangkap pola spasial kemiskinan secara optimal.
Setelah diperoleh model spasial terbaik yang mampu menjelaskan keterkaitan antarwilayah, analisis selanjutnya difokuskan pada Pemodelan Interpolasi. Tahapan ini bertujuan untuk memperkirakan nilai variabel pada lokasi yang tidak memiliki pengamatan berdasarkan pola dan kedekatan spasial dari lokasi sekitarnya. Melalui pemodelan interpolasi, diharapkan dapat diperoleh gambaran sebaran spasial yang lebih kontinu sehingga mampu mendukung interpretasi pola wilayah serta melengkapi hasil analisis spasial yang telah dilakukan sebelumnya.
# 1. Ambil titik representatif (centroid) dari setiap poligon
points_sf <- st_centroid(data_sf_simple)
## Warning: st_centroid assumes attributes are constant over geometries
# 2. Konversi ke SpatialPoints
points_sp <- as(points_sf, "Spatial")
# 3. Ambil koordinat observasi
Xobs <- coordinates(points_sp)
# 4. Buat grid interpolasi dari extent wilayah
grid <- st_make_grid( data_sf_simple, cellsize = st_bbox(data_sf_simple) %>% diff() %>% min() / 100, what = "centers" )
grid_sf <- st_sf(geometry = grid)
grid_sp <- as(grid_sf, "Spatial")
Xgrid <- coordinates(grid_sp)
# 5. Sanity check CRS
stopifnot( !is.na(proj4string(points_sp)), identical(proj4string(points_sp), proj4string(grid_sp)) )
# 6. Cari tetangga terdekat (k = 1)
knn <- FNN::get.knnx( data = Xobs, query = Xgrid, k = 1 )
nn_index <- knn$nn.index[, 1]
# 7. Prediksi Nearest Neighbor
pred_nn <- points_sp$Penduduk.Miskin[nn_index]
stopifnot(length(pred_nn) == nrow(Xgrid))
# 8. Bangun SpatialPixelsDataFrame hasil interpolasi
nn_grid <- SpatialPixelsDataFrame( points = Xgrid, data = data.frame(Kemiskinan_NN = pred_nn), proj4string = CRS(proj4string(points_sp)) )
# 9. Visualisasi hasil interpolasi NN
spplot( nn_grid,
"Kemiskinan_NN",
main = "Interpolasi Nearest Neighbor – Tingkat Kemiskinan"
)
Interpretasi:
Peta hasil interpolasi Nearest Neighbor menunjukkan pola tingkat kemiskinan yang bersifat diskrit dengan perubahan nilai yang tajam antarwilayah. Perbedaan warna yang kontras dan batas yang tegas mencerminkan bahwa setiap area merepresentasikan nilai kemiskinan dari titik pengamatan terdekat tanpa proses perataan. Hal ini mengindikasikan bahwa metode Nearest Neighbor lebih menonjolkan variasi lokal dan ketidakhomogenan spasial, namun kurang mampu menggambarkan pola kemiskinan yang bersifat kontinu dan tren spasial secara halus.
# 1. Ambil titik representatif (centroid) dari setiap poligon
points_sf <- st_centroid(data_sf_simple)
## Warning: st_centroid assumes attributes are constant over geometries
# 2. Konversi ke SpatialPoints
points_sp <- as(points_sf, "Spatial")
# 3. Ambil koordinat observasi
Xobs <- coordinates(points_sp)
# 4. Buat grid REGULER dari bounding box (KHUSUS TIN)
bbox <- st_bbox(data_sf_simple)
nx <- 100
ny <- 100
xo <- seq(bbox["xmin"], bbox["xmax"], length.out = nx)
yo <- seq(bbox["ymin"], bbox["ymax"], length.out = ny)
# 5. Interpolasi TIN (Delaunay triangulation)
tin_out <- interp::interp(
x = Xobs[, 1],
y = Xobs[, 2],
z = points_sp$Penduduk.Miskin,
xo = xo,
yo = yo,
linear = TRUE,
duplicate = "mean"
)
# 6. Konversi output ke SpatialPixelsDataFrame
grd <- expand.grid(
x = tin_out$x,
y = tin_out$y
)
z_tin <- as.vector(tin_out$z)
tin_grid <- SpatialPixelsDataFrame(
points = grd,
data = data.frame(Kemiskinan_TIN = z_tin),
proj4string = CRS(proj4string(points_sp))
)
# 7. Hapus NA (di luar convex hull)
tin_grid <- tin_grid[!is.na(tin_grid$Kemiskinan_TIN), ]
# 10. Visualisasi hasil interpolasi TIN
spplot(
tin_grid,
"Kemiskinan_TIN",
main = "Interpolasi TIN (Linear) - Tingkat Kemiskinan"
)
Interpretasi:
Peta hasil interpolasi TIN (Linear) menunjukkan adanya gradasi spasial yang jelas antarwilayah, di mana nilai kemiskinan rendah ditandai oleh warna gelap (biru tua) dan nilai yang lebih tinggi ditunjukkan oleh warna terang hingga kekuningan. Pola ini menggambarkan perubahan tingkat kemiskinan yang berlangsung secara bertahap mengikuti struktur segitiga hasil triangulasi Delaunay, sehingga variasi nilai sangat dipengaruhi oleh kedekatan dan distribusi titik observasi. Area dengan warna paling terang mengindikasikan wilayah dengan tingkat kemiskinan relatif tinggi yang menjadi pusat pengaruh, sementara wilayah berwarna lebih gelap mencerminkan daerah dengan tingkat kemiskinan lebih rendah, serta transisi antarwilayah berlangsung secara linear tanpa lonjakan ekstrem.
# 1. Titik observasi: centroid provinsi
points_sf <- suppressWarnings(st_centroid(data_sf_simple))
points_sp <- as(points_sf, "Spatial")
# 2. Ambil koordinat & variabel
df <- data.frame(
x = coordinates(points_sp)[,1],
y = coordinates(points_sp)[,2],
z = points_sp$Penduduk.Miskin,
id = data_sf_simple$NAME_1
)
# 3. Grid interpolasi dari extent wilayah
bb <- st_bbox(data_sf_simple)
xg <- seq(bb["xmin"], bb["xmax"], length.out = 200)
yg <- seq(bb["ymin"], bb["ymax"], length.out = 200)
G <- expand.grid(x = xg, y = yg)
# 4. Konversi grid ke Spatial
grid_sp <- SpatialPixelsDataFrame(
points = G,
data = data.frame(id = 1:nrow(G)),
proj4string = CRS(proj4string(points_sp))
)
# Sanity check CRS
stopifnot(
identical(proj4string(points_sp), proj4string(grid_sp))
)
# FUNGSI IDW MANUAL
idw_predict <- function(x, y, z, x0, y0, p = 2) {
d <- sqrt((x - x0)^2 + (y - y0)^2)
d[d == 0] <- 1e-10
w <- 1 / d^p
sum(w * z) / sum(w)
}
G$Kemiskinan_p2 <- mapply(
function(x0, y0) idw_predict(df$x, df$y, df$z, x0, y0, p = 2),
G$x, G$y
)
G$Kemiskinan_p1 <- mapply(
function(x0, y0) idw_predict(df$x, df$y, df$z, x0, y0, p = 1),
G$x, G$y
)
plt_p2 <- ggplot(G, aes(x, y, fill = Kemiskinan_p2)) +
geom_raster(interpolate = TRUE) +
geom_contour(aes(z = Kemiskinan_p2), color = "white", alpha = 0.6) +
geom_point(data = df, aes(x, y), inherit.aes = FALSE, size = 2) +
coord_equal() +
labs(title = "Permukaan IDW (p = 2) – Tingkat Kemiskinan", fill = "Penduduk.Miskin") +
theme_minimal()
plt_p1 <- ggplot(G, aes(x, y, fill = Kemiskinan_p1)) +
geom_raster(interpolate = TRUE) +
geom_contour(aes(z = Kemiskinan_p1), color = "white", alpha = 0.6) +
geom_point(data = df, aes(x, y), inherit.aes = FALSE, size = 2) +
coord_equal() +
labs(title = "Permukaan IDW (p = 1) – Tingkat Kemiskinan", fill = "Penduduk.Miskin") +
theme_minimal()
plt_p2
## Warning: The following aesthetics were dropped during statistical transformation: fill.
## ℹ This can happen when ggplot fails to infer the correct grouping structure in
## the data.
## ℹ Did you forget to specify a `group` aesthetic or to convert a numerical
## variable into a factor?
plt_p1
## Warning: The following aesthetics were dropped during statistical transformation: fill.
## ℹ This can happen when ggplot fails to infer the correct grouping structure in
## the data.
## ℹ Did you forget to specify a `group` aesthetic or to convert a numerical
## variable into a factor?
# IDW FORMAL (gstat)
idw_p2 <- gstat::idw(
formula = Penduduk.Miskin ~ 1,
locations = points_sp,
newdata = grid_sp,
idp = 2
)
## [inverse distance weighted interpolation]
idw_p1 <- gstat::idw(
formula = Penduduk.Miskin ~ 1,
locations = points_sp,
newdata = grid_sp,
idp = 1
)
## [inverse distance weighted interpolation]
# Visualisasi gstat
spplot(idw_p2["var1.pred"],
main = "Interpolasi IDW (p = 2) – Tingkat Kemiskinan")
spplot(idw_p1["var1.pred"],
main = "Interpolasi IDW (p = 1) – Tingkat Kemiskinan")
Interpretasi:
Peta hasil interpolasi Inverse Distance Weighting (IDW) dengan p = 1 dan p = 2 menunjukkan pola spasial yang relatif serupa, yaitu adanya konsentrasi tingkat kemiskinan yang lebih tinggi di wilayah bagian timur, sementara wilayah barat didominasi oleh nilai yang lebih rendah. Perbedaannya terletak pada tingkat kehalusan permukaan interpolasi: pada p = 1, pengaruh titik pengamatan lebih menyebar sehingga transisi antarwilayah terlihat lebih gradual, sedangkan pada p = 2 pengaruh titik terdekat menjadi lebih kuat sehingga muncul variasi lokal yang lebih tajam dan area bernilai tinggi tampak lebih terfokus di sekitar titik observasi tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan nilai parameter p pada metode IDW menghasilkan peta yang lebih sensitif terhadap kondisi lokal.
# 1. Titik observasi: centroid provinsi
points_sf <- suppressWarnings(st_centroid(data_sf_simple))
points_sp <- as(points_sf, "Spatial")
# 2. Data observasi (x, y, IPM)
df_obs <- data.frame(
x = coordinates(points_sp)[,1],
y = coordinates(points_sp)[,2],
Kemiskinan = points_sp$Penduduk.Miskin
)
# 3. Model Trend Surface (orde 2 / kuadratik)
fit_trend <- lm(
Kemiskinan ~ poly(x, 2, raw = TRUE) +
poly(y, 2, raw = TRUE) +
I(x * y),
data = df_obs
)
# 4. Grid interpolasi dari extent wilayah
grid <- st_make_grid(
data_sf_simple,
cellsize = st_bbox(data_sf_simple) %>%
diff() %>%
min() / 100,
what = "centers"
)
grid_sf <- st_sf(geometry = grid)
grid_sp <- as(grid_sf, "Spatial")
# 5. Data grid untuk prediksi
df_grd <- data.frame(
x = coordinates(grid_sp)[,1],
y = coordinates(grid_sp)[,2]
)
# 6. Prediksi Trend Surface
pred_trend <- predict(fit_trend, newdata = df_grd)
# 7. Bangun SpatialPixelsDataFrame hasil Trend Surface
trend_grid <- SpatialPixelsDataFrame(
points = df_grd,
data = data.frame(Kemiskinan_trend = pred_trend),
proj4string = CRS(proj4string(points_sp))
)
# 8. Visualisasi
spplot(
trend_grid["Kemiskinan_trend"],
main = "Trend Surface Analysis (Kuadratik) – Tingkat Kemiskinan"
)
Interpretasi:
Trend Surface Analysis (kuadratik) menunjukkan pola peningkatan tingkat kemiskinan yang sistematis dan terstruktur dari sisi kiri ke sisi kanan wilayah kajian. Nilai kemiskinan yang rendah ditunjukkan oleh warna biru tua, kemudian meningkat secara konsisten menuju warna ungu hingga kuning yang merepresentasikan tingkat kemiskinan tinggi. Pola permukaan yang halus dan berbentuk lengkung mencerminkan bahwa model kuadratik menangkap kecenderungan global kemiskinan secara menyeluruh, dengan variasi yang bersifat gradual dan dipengaruhi oleh tren spasial utama, bukan oleh fluktuasi lokal yang tajam.
# 1. Titik observasi (centroid poligon)
points_sf <- suppressWarnings(st_centroid(data_sf_simple))
points_sp <- as(points_sf, "Spatial")
# Koordinat & variabel respon
Xobs <- coordinates(points_sp)
Zobs <- points_sp$Penduduk.Miskin
# Sanity check
stopifnot(
!any(is.na(Xobs)),
!any(is.na(Zobs)),
!is.na(proj4string(points_sp))
)
# 2. Fit model Thin Plate Splines
tps_fit <- fields::Tps(Xobs, Zobs)
summary(tps_fit)
## CALL:
## fields::Tps(x = Xobs, Y = Zobs)
##
## Number of Observations: 142
## Number of unique points: 29
## Number of parameters in the null space 3
## Parameters for fixed spatial drift 3
## Effective degrees of freedom: 7.1
## Residual degrees of freedom: 134.9
## MLE tau 2.667
## GCV tau 3.943
## Pure error tau 3.452
## MLE sigma 115.6
## Scale passed for covariance (sigma) <NA>
## Scale passed for nugget (tau^2) <NA>
## Smoothing parameter lambda 0.06157
##
## Residual Summary:
## min 1st Q median 3rd Q max
## -9.9190 -2.7730 -0.8249 2.8460 13.5400
##
## Covariance Model: Rad.cov
## Names of non-default covariance arguments:
## p
##
## DETAILS ON SMOOTHING PARAMETER:
## Method used: GCV Cost: 1
## lambda trA GCV GCV.one GCV.model tauHat
## 0.06157 7.07748 66.17990 16.36114 57.24612 3.94280
##
## Summary of all estimates found for lambda
## lambda trA GCV tauHat -lnLike Prof converge
## GCV 0.0615678 7.077 66.18 3.943 87.32 6
## GCV.model 0.0143620 11.371 54.55 3.715 NA 3
## GCV.one 0.0015413 20.736 14.14 3.475 NA 2
## RMSE NA NA NA NA NA NA
## pure error 0.0009579 22.623 300.55 3.452 89.47 NA
## REML 0.0153105 11.142 74.06 3.724 86.37 2
# 3. Grid interpolasi (sama seperti NN, IDW, TSA)
grid <- st_make_grid(
data_sf_simple,
cellsize = st_bbox(data_sf_simple) %>%
diff() %>%
min() / 100,
what = "centers"
)
grid_sf <- st_sf(geometry = grid)
grid_sp <- as(grid_sf, "Spatial")
Xgrid <- coordinates(grid_sp)
# Pastikan CRS sama
stopifnot(identical(proj4string(points_sp), proj4string(grid_sp)))
# 4. Prediksi TPS pada grid
pred_tps <- predict(tps_fit, Xgrid)
# 5. Bangun SpatialPixelsDataFrame hasil TPS
tps_grid <- SpatialPixelsDataFrame(
points = Xgrid,
data = data.frame(Kemiskinan_TPS = as.numeric(pred_tps)),
proj4string = CRS(proj4string(points_sp))
)
# 6. Visualisasi
spplot(
tps_grid["Kemiskinan_TPS"],
main = "Thin Plate Splines (TPS) – Tingkat Kemiskinan"
)
Interpretasi:
Peta hasil interpolasi Thin Plate Splines (TPS) menunjukkan adanya gradasi tingkat kemiskinan yang meningkat secara bertahap dari sisi kiri ke sisi kanan wilayah kajian. Area dengan warna biru tua merepresentasikan tingkat kemiskinan yang relatif rendah, sedangkan peralihan ke warna ungu hingga kuning menandakan peningkatan tingkat kemiskinan yang semakin tinggi. Pola transisi yang halus mengindikasikan bahwa variasi kemiskinan bersifat kontinu dan tidak menunjukkan perubahan yang ekstrem secara tiba-tiba antarwilayah, sehingga TPS mampu menangkap kecenderungan spasial kemiskinan secara gradual dan menyeluruh.
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Spatial Durbin Model (SDM) merupakan model terbaik dalam menjelaskan variasi persentase penduduk miskin, karena memiliki nilai AIC terendah (797.1365) dibandingkan model SAR, SEM, dan OLS. Temuan ini mengindikasikan bahwa model yang mempertimbangkan ketergantungan spasial lebih mampu menangkap pola kemiskinan antarprovinsi, yang diperkuat dengan nilai parameter spasial = 0.35144$ yang signifikan. Meskipun variabel pembangunan manusia secara langsung di wilayah sendiri tidak signifikan, terdapat efek limpahan (spillover effect) yang signifikan dari wilayah sekitar; di mana peningkatan IPM di provinsi tetangga berkontribusi dalam menurunkan tingkat kemiskinan di suatu wilayah.
Hasil interpolasi tingkat kemiskinan menunjukkan perbedaan karakteristik pola spasial antar metode. Nearest Neighbor menampilkan pola diskrit dengan batas wilayah yang tegas dan perubahan nilai yang tajam, sehingga lebih menonjolkan variasi lokal namun kurang merepresentasikan kontinuitas spasial. Metode TIN dan IDW mampu menggambarkan gradasi kemiskinan yang lebih bertahap, dengan TIN memperlihatkan transisi linear mengikuti struktur triangulasi Delaunay, sementara IDW menunjukkan pola serupa tetapi dengan tingkat kehalusan yang dipengaruhi oleh nilai parameter pangkat, di mana p yang lebih besar menghasilkan variasi lokal yang lebih tajam. Di sisi lain, Trend Surface Analysis kuadratik dan Thin Plate Splines menghasilkan permukaan yang sangat halus dengan pola peningkatan kemiskinan yang sistematis dari satu sisi wilayah ke sisi lainnya, sehingga lebih efektif dalam menangkap tren spasial global dibandingkan fluktuasi lokal.
Berdasarkan hasil penelitian ini, terdapat beberapa saran yang dapat diberikan:
[1] United Nations. (2015). Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development. United Nations General Assembly.
[2] Badan Pusat Statistik. (2024). Profil Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: BPS.
[3] Sihombing, A. O. (2022). Analisis Spasial Kemiskinan di Sumatera Utara. Journal of Analytical Research, Statistics and Computation, 1(1), 64–77.
[4] Ningtias, Y. D. A. (2021). Analisis Spatial Autoregressive (SAR) Model pada Data Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Statistika X, Universitas Padjadjaran.
[5] Tobler, W. R. (1970). A Computer Movie Simulating Urban Growth in the Detroit Region. Economic Geography, 46(Suppl.), 234–240.
[6]Anselin, L. (1988). Spatial Econometrics: Methods and Models. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
[7] Cliff, A. D., & Ord, J. K. (1981). Spatial Processes: Models and Applications. London: Pion.
[8] Getis, A., & Ord, J. K. (1992). The Analysis of Spatial Association by Use of Distance Statistics. Geographical Analysis, 24(3), 189–206.
[9] LeSage, J. P., & Pace, R. K. (2009). Introduction to Spatial Econometrics. Boca Raton: CRC Press.
[10] Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.