Laporan ini disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Epidemiologi
Dosen Pengampu:
Dr. I Gede Nyoman Mindra Jaya, M.Si
Muhammad Fadhail Abiyyu (140610230058)
Kelas A
Program Studi Statistika
Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran
2025
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular infeksi yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Penularannya sangat dipengaruhi oleh interaksi antara agen penyakit, manusia sebagai inang, serta kondisi lingkungan yang mendukung perkembangbiakan vektor tersebut. Hingga saat ini, DBD masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa DBD secara konsisten menimbulkan beban kesehatan yang tinggi, baik dari sisi jumlah kasus maupun angka kematian, sehingga menjadi prioritas utama dalam pengendalian penyakit berbasis vektor.
Provinsi Jawa Tengah termasuk wilayah yang secara konsisten menunjukkan tingkat kerentanan tinggi terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue. Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia, provinsi ini tergolong ke dalam sepuluh provinsi dengan risiko DBD yang relatif tinggi secara nasional. Pada tahun 2015, Jawa Tengah menempati peringkat ketiga dengan jumlah kasus DBD terbanyak di Indonesia, yaitu sebanyak 16.179 kasus disertai 244 kematian. Angka tersebut meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatat 12.149 kasus dan 210 kematian. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan upaya pencegahan dan pengendalian DBD di Jawa Tengah masih belum optimal dan memerlukan penanganan yang berkesinambungan.
Tingginya kasus DBD di Jawa Tengah menunjukkan adanya perbedaan karakteristik antar kabupaten/kota yang berpotensi memengaruhi tingkat penularan penyakit. Variasi kepadatan penduduk dan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan, seperti puskesmas, dapat memengaruhi risiko penularan maupun kemampuan wilayah dalam menangani kasus DBD. Selain itu, penyebaran DBD juga cenderung membentuk pola spasial, di mana kejadian DBD di suatu wilayah dapat dipengaruhi oleh kondisi wilayah sekitarnya. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan analisis spasial yang mampu menangkap ketergantungan antar wilayah untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai distribusi kasus DBD.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana distribusi spasial kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Jawa Tengah tahun 2015 berdasarkan pendekatan epidemiologis dan analisis spasial. Secara lebih rinci, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Secara epidemiologis, muncul dan menyebarnya suatu penyakit menular dapat dijelaskan melalui model segitiga epidemiologi (epidemiologic triangle) yang terdiri dari tiga unsur utama, yaitu agen (agent) sebagai penyebab penyakit, inang (host) sebagai individu yang rentan terhadap infeksi, serta lingkungan (environment) yang berperan dalam mendukung proses penularan. Ketiga faktor tersebut saling berinteraksi dan berkontribusi dalam menentukan timbulnya serta luasnya penyebaran penyakit di suatu populasi.
Dalam konteks penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), hubungan antara agen, host, dan lingkungan dapat digambarkan secara konseptual melalui model segitiga epidemiologi DBD, sebagaimana ditunjukkan pada gambar berikut.
Agent Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus dan famili Flaviviridae. Virus ini memiliki empat serotipe utama, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Penularan terjadi melalui gigitan nyamuk betina Aedes aegypti yang telah terinfeksi virus tersebut. Setelah mengalami masa inkubasi ekstrinsik selama sekitar 8–10 hari, nyamuk menjadi infektif dan mampu menularkan virus sepanjang sisa hidupnya. Infeksi virus dengue dapat menimbulkan berbagai gejala klinis, mulai dari demam ringan hingga dengue shock syndrome (DSS) yang berpotensi mengancam jiwa.
Host Manusia merupakan inang utama bagi virus dengue. Tingkat kerentanan seseorang terhadap infeksi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti usia, jenis kelamin, status kekebalan tubuh, dan pola perilaku. Anak-anak dan remaja cenderung lebih mudah mengalami infeksi berat, sedangkan individu yang pernah terinfeksi oleh serotipe virus dengue lain berisiko mengalami infeksi sekunder yang lebih parah akibat mekanisme antibody-dependent enhancement. Selain itu, perilaku hidup seperti tidak menggunakan pelindung terhadap gigitan nyamuk, tidak menerapkan gerakan 3M Plus, serta rendahnya kesadaran menjaga kebersihan lingkungan, juga berkontribusi terhadap meningkatnya risiko penularan DBD.
Enviroment Lingkungan memegang peranan penting dalam rantai penularan penyakit DBD. Nyamuk Aedes aegypti umumnya berkembang biak di wadah berisi air bersih, seperti bak mandi, vas bunga, kaleng, botol, maupun talang air yang tergenang. Kondisi iklim seperti suhu hangat antara 27–32°C, kelembapan tinggi, serta curah hujan yang meningkat, dapat mempercepat siklus hidup nyamuk dan meningkatkan kepadatan populasinya. Selain itu, faktor sosial dan lingkungan permukiman—termasuk kepadatan penduduk, proses urbanisasi, dan kurangnya upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN)—juga berkontribusi terhadap meningkatnya risiko penyebaran penyakit DBD.
Jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu indikator fundamental dalam epidemiologi yang merefleksikan banyaknya individu yang terkonfirmasi menderita DBD dalam suatu wilayah dan periode tertentu. Analisis jumlah kasus digunakan untuk menggambarkan tingkat beban penyakit serta pola perubahannya antar wilayah, namun indikator ini juga dipengaruhi oleh kemampuan sistem surveilans, intensitas pelaporan, dan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan (Brookmeyer, 2010; Buthelezi et al., 2016).
Prevalensi Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan indikator epidemiologis yang menggambarkan proporsi penduduk yang terdampak DBD dalam suatu populasi pada waktu tertentu. Ukuran ini merepresentasikan tingkat keberadaan penyakit dalam populasi sebagai hasil dari kejadian kasus yang berlangsung, sehingga dipengaruhi oleh intensitas penularan, lamanya kasus bertahan, serta efektivitas intervensi kesehatan masyarakat dalam mengendalikan penyakit tersebut (Gordis, 2014; Centers for Disease Control and Prevention, 2020).
Dalam penelitian ini, prevalensi DBD dihitung dengan membandingkan jumlah kasus DBD terhadap jumlah penduduk pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2015, kemudian dinyatakan dalam satuan per 100.000 penduduk. Penggunaan ukuran prevalensi memungkinkan perbandingan tingkat kejadian penyakit antar wilayah dengan ukuran populasi yang berbeda secara lebih proporsional dan informatif (Rothman, Greenland, & Lash, 2008). Prevalensi bisa dihitung dengan rumus sebagai berikut:
\[ \text{Prevalensi} = \frac{\text{Jumlah Kasus}}{\text{Jumlah Penduduk}} \times 100.000 \]
Case Fatality Rate (CFR) merupakan ukuran epidemiologis yang menunjukkan proporsi kematian akibat suatu penyakit di antara seluruh kasus yang teridentifikasi dalam periode tertentu. Indikator ini digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit serta kemampuan sistem pelayanan kesehatan dalam menangani kasus yang terjadi (Gordis, 2014; Porta, 2014).
Dalam penelitian ini, CFR Demam Berdarah Dengue (DBD) dihitung sebagai perbandingan antara jumlah kematian akibat DBD dengan jumlah kasus DBD pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2015 dan dinyatakan dalam bentuk persentase. Penggunaan CFR memungkinkan perbandingan tingkat keparahan DBD antar wilayah secara proporsional (Rothman, Greenland, & Lash, 2008). CFR dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
\[ \text{CFR} = \frac{\text{Kasus Meninggal}}{\text{Kasus Total}} \times 100\% \]
Spatial dependence atau keterkaitan spasial menggambarkan kondisi ketika nilai suatu variabel di satu wilayah tidak sepenuhnya berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh nilai variabel yang sama di wilayah lain yang memiliki kedekatan geografis. Dalam hal PDRB antarprovinsi di Indonesia, hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi suatu provinsi dapat dipengaruhi oleh provinsi tetangganya melalui mekanisme interaksi ekonomi, mobilitas tenaga kerja, keterhubungan infrastruktur, atau kesamaan kebijakan pembangunan. Cartone et al. (2022) menyebut fenomena ini sebagai efek spillover spasial, yaitu penularan dinamika ekonomi dari satu wilayah ke wilayah lainnya, yang menciptakan pola keterkaitan struktural dalam ruang. Pola ini sering terlihat dalam bentuk pengelompokan (clustering), misalnya provinsi dengan PDRB tinggi terkonsentrasi pada wilayah tertentu, sementara provinsi dengan nilai rendah cenderung berkelompok di wilayah lain.
Proses terjadinya spatial dependence tidak hanya dipicu oleh kedekatan fisik, tetapi juga oleh keterhubungan fungsional antarwilayah. Jankiewicz et al. (2025) menunjukkan bahwa interaksi ekonomi lintas wilayah, seperti keterkaitan pasar tenaga kerja atau arus produksi, menyebabkan perubahan di satu wilayah memberikan dampak tidak langsung pada wilayah sekitar. Deng et al. (2024) juga menegaskan bahwa pengaruh spasial memiliki batas atenuasi, di mana efek interaksi menurun seiring bertambahnya jarak, namun tetap signifikan pada wilayah yang secara geografis atau ekonomi saling terhubung. Dengan demikian, spatial dependence menjadi fenomena struktural yang perlu diakui dalam analisis empiris agar hubungan antarvariabel tidak diperlakukan secara parsial.
Selain keterkaitan spasial, spatial heterogeneity juga menjadi karakter penting dalam data spasial. Spatial heterogeneity merujuk pada keberagaman kondisi antarwilayah, misalnya variasi karakteristik ekonomi, sosial, atau infrastruktur yang menyebabkan setiap provinsi tidak dapat diperlakukan seolah-olah memiliki struktur yang identik. Trinh et al. (2024) menyatakan bahwa perbedaan kapasitas ekonomi lokal dapat menghasilkan respons yang berbeda terhadap variabel penggerak seperti TPAK dan IPM. Wu et al. (2024) menambahkan bahwa heterogenitas spasial dapat muncul dalam bentuk perbedaan tingkat perkembangan wilayah, aksesibilitas, ataupun intensitas interaksi antarprovinsi.
Implikasinya terhadap analisis statistik cukup penting. Jika spatial dependence dan spatial heterogeneity diabaikan, lalu analisis tetap dilakukan dengan pendekatan non-spasial seperti OLS yang mengasumsikan independensi dan keseragaman antarobservasi, maka estimasi parameter berisiko bias dan interpretasi kebijakan menjadi tidak akurat. Oleh karena itu, pengujian autokorelasi spasial dan pengakuan terhadap perbedaan struktural antarwilayah menjadi prasyarat sebelum membangun model spatial econometrics agar analisis yang dilakukan tidak hanya valid secara statistik, tetapi juga relevan secara konteks wilayah.
Keterkaitan spasial yang telah dibahas sebelumnya tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga dapat diukur secara kuantitatif melalui analisis autokorelasi spasial. Autokorelasi spasial mengacu pada hubungan antara nilai suatu variabel di suatu wilayah dengan nilai variabel yang sama di wilayah sekitarnya. Dalam konteks PDRB antarprovinsi di Indonesia, autokorelasi spasial penting untuk mendeteksi apakah provinsi dengan tingkat PDRB tinggi cenderung membentuk klaster pertumbuhan di kawasan tertentu atau justru tersebar tanpa pola yang jelas. Menurut Noviyanti et al. (2023), dalam studi mereka berdasarkan Jurnal Artha Info, ditemukan bahwa angka kemiskinan provinsi yang rendah cenderung dikelilingi oleh provinsi lain dengan karakteristik serupa, menunjukkan adanya pola spasial positif. Dalam kajian spasial, autokorelasi spasial dibedakan menjadi dua pendekatan utama: autokorelasi global dan autokorelasi lokal. Pendekatan global digunakan untuk mengevaluasi apakah secara keseluruhan terdapat pola spasial dalam data. Jika nilai autokorelasi global signifikan, maka terdapat indikasi pembentukan klaster antarwilayah dan pola tersebut tidak bersifat acak. Namun, pendekatan ini tidak dapat menunjukkan lokasi spesifik dari klaster atau potensi outlier spasial. Oleh karena itu, pendekatan autokorelasi lokal digunakan untuk mengidentifikasi area-area tertentu dengan konsentrasi nilai serupa, seperti hotspot (wilayah dengan nilai tinggi yang saling berdekatan), coldspot (wilayah dengan nilai rendah yang membentuk klaster), maupun anomali spasial. Beberapa ukuran statistik yang umum digunakan untuk mengukur autokorelasi spasial meliputi Moran’s I Global, Geary’s C yang digunakan untuk mengukur autokorelasi spasial secara menyeluruh, sementara Local Moran’s I digunakan untuk mendeteksi pola spasial lokal secara lebih mendetail dalam wilayah tertentu.
Moran’s I Global adalah ukuran yang paling umum digunakan untuk mendeteksi autokorelasi spasial global pada data. Indeks ini mengukur apakah terdapat pola pengelompokan nilai yang tinggi atau rendah antarwilayah. Nilai Moran’s I yang positif menunjukkan adanya klaster wilayah dengan nilai yang mirip (baik tinggi maupun rendah), sedangkan nilai negatif mengindikasikan pola penyebaran yang bersifat menyebar atau kontras antarwilayah.
Secara matematis, Moran’s I dirumuskan sebagai berikut:
\[ I = \frac{n}{\sum_{i=1}^n \sum_{j=1}^n w_{ij}} \cdot \frac{\sum_{i=1}^n \sum_{j=1}^n w_{ij} (x_i - \bar{x})(x_j - \bar{x})} {\sum_{i=1}^n (x_i - \bar{x})^2} \]
di mana \(n\) adalah jumlah wilayah, \(w_{ij}\) adalah elemen matriks bobot spasial yang menunjukkan kedekatan antara wilayah \(i\) dan \(j\), \(x_i\) adalah nilai variabel pada wilayah \(i\), dan \(\bar{x}\) adalah nilai rata-rata variabel pada seluruh wilayah.
Geary’s C merupakan ukuran autokorelasi spasial global yang lebih sensitif terhadap perbedaan lokal antarwilayah tetangga dibandingkan Moran’s I. Jika Moran’s I lebih memperhatikan kovarians antarwilayah, Geary’s C lebih menekankan perbedaan kuadrat antarwilayah yang berdekatan.
Rumus Geary’s C dituliskan sebagai berikut:
\[ C = \frac{(n - 1)}{2 \sum_{i=1}^n \sum_{j=1}^n w_{ij}} \cdot \frac{\sum_{i=1}^n \sum_{j=1}^n w_{ij} (x_i - x_j)^2} {\sum_{i=1}^n (x_i - \bar{x})^2} \]
Local Moran’s I atau LISA (Local Indicators of Spatial Association) digunakan untuk mengidentifikasi klaster spasial lokal dan mendeteksi wilayah yang berpotensi menjadi hotspot, coldspot, atau outlier spasial
Formulasinya adalah sebagai berikut:
\[ I_i = \frac{(x_i - \bar{x})}{m_2} \sum_{j=1}^n w_{ij} (x_j - \bar{x}) \]
dengan
\[ m_2 = \frac{\sum_{i=1}^n (x_i - \bar{x})^2}{n} \]
Spatial econometrics merupakan cabang dari ekonometrika yang mengintegrasikan unsur spasial ke dalam model regresi untuk menangkap keterkaitan antarwilayah. Pendekatan ini menjadi penting ketika asumsi independensi observasi antarunit geografis tidak terpenuhi, seperti pada kasus PDRB antarprovinsi di Indonesia, di mana aktivitas ekonomi di suatu wilayah sering kali dipengaruhi oleh wilayah lain yang berdekatan secara geografis. Ketika keterkaitan spasial diabaikan, estimasi Ordinary Least Squares (OLS) dapat menjadi bias dan tidak efisien karena adanya autokorelasi spasial pada residual atau pada variabel dependennya (Anselin, 2010)
Model dalam spatial econometrics umumnya dibedakan menjadi dua kategori utama, yaitu model yang berfokus pada ketergantungan spasial (spatial dependence) dan model yang menangkap heterogenitas spasial (spatial heterogeneity). Beberapa model yang sering digunakan antara lain OLS, Spatial Autoregressive (SAR), Spatial Error Model (SEM), Spatial Durbin Model (SDM), Spatial Autoregressive Combined (SAC), dan General Nesting Spatial (GNS) model.
Model OLS digunakan sebagai pendekatan dasar sebelum mempertimbangkan komponen spasial. Model ini mengasumsikan bahwa antarobservasi bersifat independen, sehingga hubungan antara variabel dependen dan independen dapat dijelaskan melalui persamaan linear klasik:
\[ y = X\beta + \varepsilon \]
dengan \(y\) adalah vektor variabel dependen (misalnya PDRB per provinsi), \(X\) matriks variabel independen (seperti TPAK dan IPM), \(\beta\) parameter yang diestimasi, dan \(\varepsilon\) adalah komponen error yang diasumsikan berdistribusi normal dengan varian homogen dan tanpa autokorelasi spasial. Namun, jika terdapat korelasi spasial antarwilayah, maka model OLS tidak lagi menghasilkan estimasi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator).
Model SAR menambahkan efek ketergantungan spasial langsung pada variabel dependen melalui matriks bobot spasial \(W\):
\[ y = \rho W y + X\beta + \varepsilon \]
dengan \(\rho\) adalah koefisien autokorelasi spasial, \(W y\) menunjukkan pengaruh nilai \(y\) dari wilayah sekitar terhadap nilai \(y\) pada suatu wilayah, dan \(\varepsilon\) adalah residual acak. Model ini relevan ketika interaksi antarwilayah bersifat langsung, misalnya pertumbuhan ekonomi suatu provinsi dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi provinsi tetangga.
Estimasi dengan Maximum Likelihood (ML)
Pendekatan estimasi yang paling umum digunakan dalam model SAR adalah Maximum Likelihood Estimation (MLE). Model dapat ditulis ulang menjadi bentuk setara dengan mendefinisikan \(A(\rho) = I - \rho W\):
\[ A(\rho)y = X\beta + \varepsilon \]
dengan \(\varepsilon \sim N(0, \sigma^2 I)\).
Fungsi log-likelihood untuk model SAR dirumuskan sebagai berikut:
\[ \ell(\beta, \rho, \sigma^2) = \log|A(\rho)| - \frac{N}{2}\log\sigma^2 - \frac{1}{2\sigma^2}(A(\rho)y - X\beta)^\top(A(\rho)y - X\beta) \]
Untuk setiap nilai \(\rho\), estimasi parameter \(\beta\) dan \(\sigma^2\) diperoleh sebagai berikut:
\[ \hat{\beta}(\rho) = (X^\top X)^{-1}X^\top A(\rho)y \]
\[ \hat{\sigma}^2(\rho) = \frac{1}{N}\|A(\rho)y - X\hat{\beta}(\rho)\|^2 \]
Sehingga fungsi likelihood terkonsentrasi (concentrated likelihood) dapat ditulis sebagai:
\[ \ell_c(\rho) = \log|A(\rho)| - \frac{N}{2}\log\hat{\sigma}^2(\rho) \]
Nilai \(\rho\) yang memaksimalkan \(\ell_c(\rho)\) memberikan estimasi maximum likelihood untuk parameter autokorelasi spasial.
Interpretasi koefisien \(\rho\) menunjukkan tingkat pengaruh langsung antara nilai variabel dependen suatu wilayah dengan nilai variabel dependen di wilayah sekitarnya. Semakin tinggi \(\rho\), semakin kuat pengaruh antarwilayah yang terjadi.
Model SEM tepat digunakan jika hasil uji Moran’s I pada residual OLS menunjukkan adanya autokorelasi spasial, namun teori ekonomi atau sosial tidak mendukung adanya interaksi langsung antarwilayah pada variabel dependen.
Rumus Model:
\[ y = X\beta + u, \quad u = \lambda W u + \varepsilon, \quad \varepsilon \sim N(0, \sigma^2 I) \]
dengan \(y\) sebagai variabel dependen (misalnya PDRB), \(X\) sebagai matriks kovariat (misalnya TPAK dan IPM), \(W\) adalah matriks bobot spasial, \(\lambda\) parameter autokorelasi error, dan \(\varepsilon\) adalah error acak.
Spatial Durbin Model digunakan ketika ada interaksi endogen pada y dan spillover dari kovariat. Model SDM merupakan perluasan dari SAR, dengan menambahkan pengaruh variabel independen dari wilayah sekitar ke dalam model.
\[ y = \rho W y + X\beta + W X\theta + \varepsilon \]
Parameter \(\theta\) merepresentasikan efek spasial dari variabel independen di wilayah tetangga. Model ini lebih fleksibel karena dapat menangkap efek spillover dari variabel-variabel penjelas, misalnya peningkatan IPM di suatu provinsi dapat berdampak pada peningkatan PDRB di provinsi sekitarnya.
Model SAC menggabungkan unsur SAR dan SEM sekaligus, sehingga dapat menangkap ketergantungan spasial baik pada variabel dependen maupun pada error. SAC digunakan ketika ada interaksi endogen dan juga omitted variables berpola spasial. Berikut model SAC:
\[ y = \rho W y + X\beta + u, \quad u = \lambda W u + \varepsilon \]
Model GNS merupakan bentuk paling umum dan komprehensif dalam ekonometrika spasial karena menggabungkan seluruh komponen ketergantungan spasial, baik pada variabel dependen, independen, maupun error:
\[ y = \rho W y + X\beta + W X\theta + u, \quad u = \lambda W u + \varepsilon \]
Model ini memungkinkan peneliti untuk menguji berbagai bentuk hubungan spasial yang kompleks dan saling tumpang tindih. Dalam konteks PDRB antarprovinsi, model ini dapat mengungkapkan apakah pengaruh IPM dan TPAK suatu provinsi tidak hanya berdampak pada wilayahnya sendiri tetapi juga menyebar ke wilayah sekitar.
Penelitian ini menggunakan pendekatan cross-sectional karena data jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD), kepadatan penduduk, dan rasio puskesmas dikumpulkan pada satu periode waktu yang sama, yaitu tahun 2015. Desain ini sesuai untuk menggambarkan distribusi spasial kejadian DBD antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari sumber resmi pemerintah dengan periode pengamatan tahun 2015. Unit pengamatan adalah 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, dengan variabel bersifat kuantitatif pada tingkat wilayah administratif.
Data jumlah kasus, jumlah kematian Demam Berdarah Dengue (DBD), jumlah penduduk dan kepadatan penduduk diperoleh dari Website Portal Data Terbuka Provinsi Jawa Tengah. Sementara itu, data jumlah puskesmas diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah melalui dokumen resmi Identitas Puskesmas Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015, yang selanjutnya digunakan untuk membentuk variabel rasio puskesmas per 100.000 penduduk.
Sebelum dianalisis, data melalui tahap preprocessing berupa pemeriksaan konsistensi dan missing values. Hasil pemeriksaan menunjukkan tidak terdapat nilai hilang pada variabel utama, sehingga data layak digunakan untuk analisis epidemiologis dan spasial.
Penelitian ini menggunakan beberapa variabel yang berkaitan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) pada tingkat kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2015. Variabel yang digunakan terdiri dari variabel dependen, variabel independen, serta variabel ukuran epidemiologis. Untuk memberikan kejelasan dan konsistensi pengukuran, setiap variabel didefinisikan secara operasional sebagaimana disajikan pada Tabel berikut.
| Nama Variabel | Definisi Operasional | Satuan |
|---|---|---|
| Jumlah Kasus DBD | Jumlah penderita Demam Berdarah Dengue yang tercatat pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2015. | Jiwa/orang |
| Jumlah Penduduk | Total jumlah penduduk yang tercatat pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2015. | Jiwa/orang |
| Kasus Kematian DBD | Jumlah kematian yang disebabkan oleh Demam Berdarah Dengue pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2015. | Jiwa/orang |
| Kepadatan Penduduk | Rasio jumlah penduduk terhadap luas wilayah pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2015. | Jiwa per km² |
| Rasio Puskesmas | Jumlah puskesmas per 100.000 penduduk pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2015. | Unit per 100.000 jiwa |
| Prevalensi DBD | Perbandingan antara jumlah kasus DBD dengan jumlah penduduk pada masing-masing kabupaten/kota tahun 2015. | per 100.000 penduduk |
| Case Fatality Rate (CFR) | Persentase kematian akibat DBD terhadap jumlah kasus DBD pada masing-masing kabupaten/kota tahun 2015. | Persen (%) |
Unit spasial dalam penelitian ini adalah wilayah administratif kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang berjumlah 35 wilayah. Setiap kabupaten/kota diperlakukan sebagai satu unit observasi spasial yang dianalisis berdasarkan kedekatan geografis antar wilayah. Data spasial yang digunakan berupa batas administrasi kabupaten/kota dalam bentuk shapefile dengan sistem koordinat geografis. Unit spasial ini digunakan untuk membangun hubungan ketetanggaan antar wilayah serta menganalisis pola distribusi dan ketergantungan spasial kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) pada tahun 2015.
Peta Administratif Provinsi Jawa Tengah yang Menunjukkan
Batas Kabupaten/Kota
Sumber: Wikipedia
Metode analisis dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan yang saling berkesinambungan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai distribusi spasial kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2015.
Analisis deskriptif spasial dan ukuran epidemiologis
Tahap awal dilakukan dengan analisis deskriptif spasial melalui
penyusunan peta tematik (choropleth map) yang menggambarkan distribusi
jumlah kasus DBD, prevalensi, dan Case Fatality Rate (CFR) pada
masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Selain itu,
analisis deskriptif juga dilakukan terhadap variabel kepadatan penduduk
dan rasio puskesmas per 100.000 penduduk. Tahap ini bertujuan untuk
memberikan gambaran awal mengenai pola persebaran penyakit, tingkat
kejadian, serta variasi antar wilayah secara visual dan
kuantitatif.
Uji autokorelasi spasial global dan lokal
Untuk mengidentifikasi adanya ketergantungan spasial antar
kabupaten/kota, dilakukan uji autokorelasi spasial global menggunakan
Moran’s I dan Geary’s C, serta uji autokorelasi spasial lokal
menggunakan Local Indicators of Spatial Association (LISA) dan Getis-Ord
Gi*. Matriks bobot spasial (W) dibangun dengan pendekatan queen
contiguity, di mana dua wilayah dianggap bertetangga apabila memiliki
batas administrasi yang sama. Hasil uji ini digunakan untuk
mengidentifikasi pola klaster maupun pencilan spasial pada distribusi
kasus DBD.
Estimasi model regresi spasial
Setelah keberadaan autokorelasi spasial teridentifikasi, dilakukan
estimasi model regresi untuk menganalisis pengaruh kepadatan penduduk
dan rasio puskesmas per 100.000 penduduk terhadap jumlah kasus DBD.
Analisis diawali dengan penggunaan model Ordinary Least Squares (OLS)
sebagai pembanding, kemudian dilanjutkan dengan estimasi beberapa model
regresi spasial, yaitu Spatial Autoregressive Model (SAR), Spatial Error
Model (SEM), Spatial Durbin Model (SDM), Spatial Autoregressive Combined
(SAC), dan General Nesting Spatial Model (GNS). Estimasi parameter
dilakukan menggunakan paket spdep dan spatialreg pada perangkat lunak
R.
Perbandingan dan pemilihan model
Untuk menentukan model yang paling sesuai dalam menjelaskan distribusi
spasial kasus DBD, dilakukan evaluasi model melalui uji Lagrange
Multiplier (LM) serta perbandingan nilai Akaike Information Criterion
(AIC) dan Bayesian Information Criterion (BIC). Model dengan nilai AIC
dan BIC terendah serta parameter yang signifikan dipilih sebagai model
terbaik.
Interpretasi hasil analisis
Tahap akhir berupa interpretasi hasil analisis deskriptif, uji
autokorelasi spasial, dan estimasi model regresi spasial. Interpretasi
difokuskan pada pemahaman pola distribusi spasial kasus DBD, peran
faktor kepadatan penduduk dan rasio puskesmas, serta implikasi temuan
penelitian terhadap upaya pengendalian dan pencegahan DBD di Provinsi
Jawa Tengah.
Alur kerja penelitian ini disusun untuk menggambarkan tahapan pelaksanaan penelitian secara ringkas dan sistematis dalam menganalisis distribusi spasial kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Jawa Tengah tahun 2015.
Penelitian diawali dengan pengumpulan data sekunder yang mencakup data kasus dan kematian DBD, data kependudukan, data jumlah puskesmas, serta data spasial berupa shapefile batas administratif kabupaten/kota. Data yang terkumpul kemudian melalui tahap pengolahan dan pra-pemrosesan, meliputi pembersihan data, penyelarasan wilayah, penggabungan data atribut dan spasial, serta pembentukan variabel turunan seperti prevalensi, Case Fatality Rate (CFR), dan rasio puskesmas per 100.000 penduduk.
Selanjutnya dilakukan analisis deskriptif spasial dan uji autokorelasi spasial sebagai dasar penerapan model regresi spasial. Tahap berikutnya adalah estimasi dan perbandingan beberapa model regresi, yang diakhiri dengan interpretasi hasil dan penarikan kesimpulan penelitian. Secara keseluruhan, alur kerja penelitian ini disajikan dalam bentuk diagram alir pada Gambar berikut.
# Load libraries dengan suppressPackageStartupMessages
suppressPackageStartupMessages({
library(sf)
library(dplyr)
library(readxl)
library(spdep)
library(tmap)
library(knitr)
library(lmtest)
library(spatialreg)
library(car)
library(tseries)
library(kableExtra)
})
# Set working directory
setwd("C:/Users/Fadhail/Documents/Semester 5/EPIDEMIOLOGI/UAS_FIX")
# Baca data CSV
data <- read.csv("dbdjateng.csv", stringsAsFactors = FALSE)
# Baca shapefile (suppress semua message)
shp <- suppressMessages(st_read("gadm41_IDN_2.shp", quiet = TRUE))
# Filter Jawa Tengah
shp_jateng <- shp %>%
filter(NAME_1 == "Jawa Tengah")
# Buang wilayah non-kabupaten/kota
shp_jateng <- shp_jateng %>%
filter(NAME_2 != "Waduk Kedungombo")
# Join data dengan shapefile
shp_data <- shp_jateng %>%
left_join(data, by = c("NAME_2" = "Kabupaten.Kota"))
# Validasi geometri (suppress warning)
shp_data <- suppressWarnings(st_make_valid(shp_data))
# Hitung variabel turunan
shp_data <- shp_data %>%
mutate(
prevalensi = (jumlah_kasus / jumlah_penduduk) * 100000,
cfr = (kasus_meninggal / jumlah_kasus) * 100
)
# Variabel dependen
y <- shp_data$jumlah_kasus
# Variabel independen
x1 <- shp_data$kepadatan_penduduk
x2 <- shp_data$rasio_puskesmas
# Variabel tambahan
jumlah_penduduk <- shp_data$jumlah_penduduk
kasus_meninggal <- shp_data$kasus_meninggal
prevalensi <- shp_data$prevalensi
cfr <- shp_data$cfr
# Fungsi untuk menghitung statistik deskriptif
desc_stats <- function(x, var_name) {
data.frame(
Variabel = var_name,
N = sum(!is.na(x)),
Mean = mean(x, na.rm = TRUE),
Median = median(x, na.rm = TRUE),
SD = sd(x, na.rm = TRUE),
Min = min(x, na.rm = TRUE),
Max = max(x, na.rm = TRUE),
Q1 = quantile(x, 0.25, na.rm = TRUE),
Q3 = quantile(x, 0.75, na.rm = TRUE)
)
}
# Hitung statistik untuk semua variabel
stats_table <- rbind(
desc_stats(y, "Jumlah Kasus (Y)"),
desc_stats(x1, "Kepadatan Penduduk (X1)"),
desc_stats(x2, "Rasio Puskesmas (X2)"),
desc_stats(prevalensi, "Prevalensi (per 100.000)"),
desc_stats(cfr, "CFR (%)")
)
# Tampilkan tabel
stats_table %>%
kable(caption = "Statistika Deskriptif Variabel Penelitian",
digits = 2,
format = "html") %>%
kable_styling(bootstrap_options = c("striped", "hover", "condensed"),
full_width = FALSE,
position = "center") %>%
row_spec(0, bold = TRUE, color = "white", background = "#3498db")
| Variabel | N | Mean | Median | SD | Min | Max | Q1 | Q3 | |
|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
| 25% | Jumlah Kasus (Y) | 35 | 462.26 | 398.00 | 378.42 | 28.00 | 1692.00 | 197.50 | 545.50 |
| 25%1 | Kepadatan Penduduk (X1) | 35 | 2015.41 | 1074.70 | 2429.54 | 474.86 | 11633.14 | 850.00 | 1693.69 |
| 25%2 | Rasio Puskesmas (X2) | 35 | 2.83 | 2.84 | 0.75 | 1.39 | 4.72 | 2.31 | 3.23 |
| 25%3 | Prevalensi (per 100.000) | 35 | 48.90 | 45.22 | 33.98 | 3.60 | 158.14 | 24.07 | 65.00 |
| 25%4 | CFR (%) | 35 | 2.10 | 1.32 | 2.33 | 0.00 | 10.71 | 0.90 | 2.36 |
Berdasarkan statistika deskriptif, jumlah kasus DBD di Provinsi Jawa Tengah tahun 2015 memiliki rata-rata sebesar 462,26 kasus dengan median 398 kasus dan simpangan baku 378,42, serta rentang yang lebar dari 28 hingga 1.692 kasus, yang menunjukkan adanya ketimpangan beban penyakit antar kabupaten/kota. Kepadatan penduduk juga memperlihatkan variasi yang sangat tinggi dengan nilai rata-rata 2.015,41 jiwa/km², median 1.074,70 jiwa/km², dan simpangan baku 2.429,54, dengan kepadatan terendah 474,86 jiwa/km² dan tertinggi mencapai 11.633,14 jiwa/km². Rasio puskesmas per 100.000 penduduk relatif lebih homogen, ditunjukkan oleh rata-rata 2,83, median 2,84, dan simpangan baku yang kecil yaitu 0,75, dengan rentang nilai 1,39–4,72. Prevalensi DBD memiliki rata-rata 48,90 per 100.000 penduduk dengan nilai minimum 3,60 dan maksimum 158,14, yang menunjukkan perbedaan tingkat kejadian relatif antarwilayah. Sementara itu, Case Fatality Rate (CFR) relatif rendah dengan rata-rata 2,10% dan median 1,32%, namun memiliki rentang hingga 10,71%, yang mengindikasikan adanya variasi tingkat keparahan atau keberhasilan penanganan kasus DBD di masing-masing kabupaten/kota.
Peta interaktif jumlah kasus DBD di Provinsi Jawa Tengah tahun 2015 menunjukkan adanya variasi spasial yang cukup jelas antar kabupaten/kota. Wilayah dengan intensitas warna lebih gelap mengindikasikan jumlah kasus yang relatif tinggi dan tampak terkonsentrasi terutama pada beberapa kabupaten/kota di bagian pesisir utara serta wilayah barat dan tengah provinsi, seperti kawasan sekitar Kota Semarang dan sebagian wilayah barat Jawa Tengah. Sebaliknya, kabupaten/kota dengan warna lebih terang menunjukkan jumlah kasus yang relatif rendah dan cenderung tersebar di wilayah selatan dan beberapa bagian timur. Pola ini mengindikasikan bahwa beban kasus DBD tidak terdistribusi secara merata, melainkan membentuk klaster spasial tertentu, yang mengisyaratkan adanya pengaruh faktor kependudukan, lingkungan, maupun keterkaitan antarwilayah dalam penyebaran kasus DBD.
Pada peta kepadatan penduduk menunjukkan bahwa sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah memiliki tingkat kepadatan yang relatif merata dan berada pada kategori rendah hingga menengah. Namun, Kota Surakarta tampak menonjol dengan intensitas warna paling gelap, yang mencerminkan kepadatan penduduk yang sangat tinggi dibandingkan wilayah lainnya. Kondisi ini disebabkan oleh jumlah penduduk yang besar yang terkonsentrasi pada wilayah administratif yang relatif kecil, sehingga menghasilkan nilai kepadatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan kabupaten/kota lain di Jawa Tengah
Pada peta rasio puskesmas per 100.000 penduduk menunjukkan adanya variasi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Beberapa wilayah tampak memiliki rasio puskesmas yang relatif lebih tinggi, ditandai dengan warna lebih gelap, yang mengindikasikan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan primer yang lebih baik dibandingkan wilayah lain. Sementara itu, sebagian besar kabupaten/kota lainnya menunjukkan rasio yang relatif sedang hingga rendah, yang mencerminkan distribusi fasilitas puskesmas yang belum sepenuhnya merata di seluruh wilayah Jawa Tengah.
Peta prevalensi DBD menunjukkan pola yang berbeda dengan peta jumlah kasus, karena prevalensi memperhitungkan ukuran penduduk. Beberapa wilayah dengan jumlah kasus tinggi tidak selalu memiliki prevalensi tinggi, sementara wilayah berpenduduk lebih kecil dapat menunjukkan prevalensi yang relatif besar meskipun jumlah kasusnya sedang. Hal ini menunjukkan bahwa prevalensi lebih mencerminkan tingkat risiko relatif dibandingkan jumlah kasus absolut.
Peta CFR DBD menunjukkan bahwa Kota Tegal, Kota Pekalongan, dan Kabupaten Karanganyar memiliki nilai CFR yang paling tinggi, ditunjukkan oleh intensitas warna merah yang paling kuat. Sementara itu, sebagian besar kabupaten/kota lainnya memiliki CFR yang relatif rendah dan lebih merata. Pola ini mengindikasikan adanya perbedaan tingkat keparahan kasus atau efektivitas penanganan DBD antarwilayah di Provinsi Jawa Tengah.
# Buat tabel rekap per kabupaten/kota
tabel_rekap <- shp_data %>%
st_drop_geometry() %>%
select(NAME_2, jumlah_kasus, prevalensi, cfr, kasus_meninggal) %>%
arrange(NAME_2)
# Tampilkan tabel dengan kableExtra (styling sederhana)
tabel_rekap %>%
kable(
col.names = c("Kabupaten/Kota", "Jumlah Kasus", "Prevalensi", "CFR", "Kasus Meninggal"),
caption = "Tabel Rekap Statistik per Kabupaten/Kota",
digits = 2,
format = "html",
align = c('l', 'r', 'r', 'r', 'r')
) %>%
kable_styling(
bootstrap_options = c("striped", "hover", "condensed", "responsive"),
full_width = FALSE,
position = "center",
font_size = 14
) %>%
row_spec(0, bold = TRUE, color = "white", background = "#5B9BD5") %>%
scroll_box(width = "100%", height = "500px")
| Kabupaten/Kota | Jumlah Kasus | Prevalensi | CFR | Kasus Meninggal |
|---|---|---|---|---|
| Banjarnegara | 146 | 16.19 | 0.00 | 0 |
| Banyumas | 251 | 15.34 | 0.40 | 1 |
| Batang | 330 | 44.41 | 0.91 | 3 |
| Blora | 543 | 63.73 | 2.58 | 14 |
| Boyolali | 447 | 46.39 | 0.67 | 3 |
| Brebes | 622 | 34.91 | 1.77 | 11 |
| Cilacap | 1034 | 61.02 | 1.06 | 11 |
| Demak | 756 | 67.63 | 3.17 | 24 |
| Grobogan | 952 | 70.45 | 0.84 | 8 |
| Jepara | 1473 | 123.96 | 0.88 | 13 |
| Karanganyar | 534 | 62.37 | 0.75 | 4 |
| Kebumen | 204 | 17.22 | 2.45 | 5 |
| Kendal | 548 | 58.16 | 1.28 | 7 |
| Klaten | 524 | 45.22 | 2.86 | 15 |
| Kota Magelang | 191 | 158.14 | 1.05 | 2 |
| Kota Pekalongan | 28 | 9.44 | 10.71 | 3 |
| Kota Semarang | 1692 | 99.46 | 0.95 | 16 |
| Kota Tegal | 62 | 25.19 | 8.06 | 5 |
| Kudus | 606 | 72.89 | 2.81 | 17 |
| Magelang | 384 | 30.83 | 1.04 | 4 |
| Pati | 817 | 66.27 | 1.71 | 14 |
| Pekalongan | 187 | 21.40 | 2.14 | 4 |
| Pemalang | 227 | 17.62 | 1.32 | 3 |
| Purbalingga | 257 | 28.61 | 0.78 | 2 |
| Purworejo | 163 | 22.94 | 2.45 | 4 |
| Rembang | 519 | 83.83 | 0.96 | 5 |
| Salatiga | 48 | 26.11 | 2.08 | 1 |
| Semarang | 486 | 48.56 | 1.23 | 6 |
| Sragen | 520 | 59.16 | 1.35 | 7 |
| Sukoharjo | 300 | 34.71 | 1.67 | 5 |
| Surakarta | 465 | 90.78 | 2.15 | 10 |
| Tegal | 398 | 27.93 | 2.26 | 9 |
| Temanggung | 377 | 50.55 | 0.80 | 3 |
| Wonogiri | 60 | 6.32 | 8.33 | 5 |
| Wonosobo | 28 | 3.60 | 0.00 | 0 |
Visualisasi Horizontal Barchart
library(ggplot2)
library(gridExtra)
# Siapkan data untuk plotting
plot_data <- shp_data %>%
st_drop_geometry() %>%
select(NAME_2, prevalensi, cfr) %>%
arrange(desc(prevalensi))
# ========================================
# PLOT 1: Distribusi Prevalensi DBD
# ========================================
p1 <- ggplot(plot_data, aes(x = reorder(NAME_2, prevalensi), y = prevalensi)) +
geom_bar(stat = "identity", fill = "#3498DB", color = "white", width = 0.8) +
coord_flip() +
labs(
title = "Distribusi Prevalensi DBD per Kabupaten/Kota",
x = NULL,
y = "Prevalensi (per 100.000 penduduk)"
) +
theme_minimal() +
theme(
plot.title = element_text(hjust = 0.5, face = "bold", size = 14, color = "#2C3E50"),
axis.text.y = element_text(size = 9),
axis.text.x = element_text(size = 10),
axis.title.x = element_text(size = 11, face = "bold"),
panel.grid.major.y = element_blank(),
panel.grid.minor = element_blank(),
plot.background = element_rect(fill = "white", color = NA),
panel.background = element_rect(fill = "white", color = NA)
) +
scale_y_continuous(expand = c(0, 0), limits = c(0, max(plot_data$prevalensi) * 1.1))
# ========================================
# PLOT 2: Distribusi CFR DBD
# ========================================
# Urutkan berdasarkan CFR
plot_data_cfr <- plot_data %>%
arrange(desc(cfr)) %>%
filter(!is.na(cfr) & !is.infinite(cfr))
p2 <- ggplot(plot_data_cfr, aes(x = reorder(NAME_2, cfr), y = cfr)) +
geom_bar(stat = "identity", fill = "#F39C12", color = "white", width = 0.8) +
coord_flip() +
labs(
title = "Distribusi CFR DBD per Kabupaten/Kota",
x = NULL,
y = "Case Fatality Rate (%)"
) +
theme_minimal() +
theme(
plot.title = element_text(hjust = 0.5, face = "bold", size = 14, color = "#2C3E50"),
axis.text.y = element_text(size = 9),
axis.text.x = element_text(size = 10),
axis.title.x = element_text(size = 11, face = "bold"),
panel.grid.major.y = element_blank(),
panel.grid.minor = element_blank(),
plot.background = element_rect(fill = "white", color = NA),
panel.background = element_rect(fill = "white", color = NA)
) +
scale_y_continuous(expand = c(0, 0), limits = c(0, max(plot_data_cfr$cfr, na.rm = TRUE) * 1.1))
# Tampilkan kedua plot berdampingan
grid.arrange(p1, p2, ncol = 2)
Berdasarkan tabel rekapitulasi dan grafik batang horizontal, terlihat bahwa beban DBD di Provinsi Jawa Tengah tahun 2015 menunjukkan variasi yang cukup besar antar kabupaten/kota. Kota Semarang mencatat jumlah kasus tertinggi (1.692 kasus), diikuti oleh Jepara (1.473 kasus) dan Cilacap (1.034 kasus), yang mencerminkan beban absolut penyakit yang besar di wilayah berpenduduk tinggi. Namun, dari sisi risiko relatif, prevalensi tertinggi justru terjadi di Kota Magelang (158,14 per 100.000 penduduk), diikuti Jepara (123,96) dan Kota Semarang (99,46), menunjukkan bahwa wilayah dengan jumlah penduduk lebih kecil dapat memiliki tingkat kejadian relatif yang lebih tinggi. Sementara itu, indikator keparahan penyakit yang diukur melalui CFR menunjukkan pola yang berbeda, dengan nilai tertinggi terdapat di Kota Pekalongan (10,71%), Kota Tegal (8,06%), dan Wonogiri (8,33%), meskipun jumlah kasus di wilayah tersebut relatif lebih rendah. Perbedaan pola antara jumlah kasus, prevalensi, dan CFR ini menegaskan bahwa tingginya kasus tidak selalu sejalan dengan tingginya risiko relatif maupun tingkat kematian, sehingga ketiga indikator tersebut saling melengkapi dalam menggambarkan situasi epidemiologis DBD di Jawa Tengah.
library(spdep)
library(knitr)
library(kableExtra)
# Bobot Spasial
nb <- poly2nb(shp_data, queen = TRUE, snap = 1e-5)
lw <- nb2listw(nb, style = "W", zero.policy = TRUE)
# Variabel
y <- shp_data$jumlah_kasus
# Uji Moran's I
moran_kasus <- moran.test(y, lw, zero.policy = TRUE)
# Uji Geary's C
geary_kasus <- geary.test(y, lw, zero.policy = TRUE)
# Buat tabel hasil
hasil <- data.frame(
Statistik = c(moran_kasus$estimate[1], geary_kasus$estimate[1]),
Expected = c(moran_kasus$estimate[2], geary_kasus$estimate[2]),
Variance = c(moran_kasus$estimate[3], geary_kasus$estimate[3]),
Z_score = c(moran_kasus$statistic, geary_kasus$statistic),
P_value = c(moran_kasus$p.value, geary_kasus$p.value)
)
# Tampilkan tabel
hasil %>%
kable(
caption = "Hasil Uji Autokorelasi Spasial Jumlah Kasus DBD",
digits = 4,
format = "html"
) %>%
kable_styling(
bootstrap_options = c("striped", "hover"),
full_width = FALSE
)
| Statistik | Expected | Variance | Z_score | P_value | |
|---|---|---|---|---|---|
| Moran I statistic | 0.3025 | -0.0294 | 0.0121 | 3.0116 | 0.0013 |
| Geary C statistic | 0.5420 | 1.0000 | 0.0224 | 3.0571 | 0.0011 |
Hasil uji autokorelasi spasial menunjukkan bahwa jumlah kasus DBD di Provinsi Jawa Tengah tahun 2015 memiliki ketergantungan spasial yang signifikan. Nilai Moran’s I sebesar 0,3025 dengan p-value 0,0013 mengindikasikan adanya autokorelasi spasial positif, yaitu kabupaten/kota dengan jumlah kasus tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah lain yang juga memiliki jumlah kasus tinggi. Hasil ini diperkuat oleh nilai Geary’s C sebesar 0,5420 dengan p-value 0,0011, yang nilainya lebih kecil dari 1 dan signifikan, sehingga menegaskan adanya pola pengelompokan spasial (clustering) pada distribusi jumlah kasus DBD antar kabupaten/kota.
Peta klaster LISA jumlah kasus DBD menunjukkan adanya pola pengelompokan spasial yang jelas antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Klaster High–High (merah) mengindikasikan wilayah dengan jumlah kasus DBD tinggi yang dikelilingi oleh wilayah lain dengan kasus tinggi, mencerminkan konsentrasi risiko yang relatif besar. Sebaliknya, klaster Low–Low (biru) menunjukkan wilayah dengan jumlah kasus rendah yang berdekatan dengan wilayah berkasus rendah. Sementara itu, klaster High–Low dan Low–High merepresentasikan wilayah anomali, yaitu daerah dengan jumlah kasus tinggi (atau rendah) yang dikelilingi oleh wilayah dengan karakteristik sebaliknya.
y <- shp_data$jumlah_kasus
x1 <- shp_data$kepadatan_penduduk
x2 <- shp_data$rasio_puskesmas
# Model OLS
ols_model <- lm(y ~ x1 + x2, data = shp_data)
summary(ols_model)
##
## Call:
## lm(formula = y ~ x1 + x2, data = shp_data)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -566.08 -212.11 -3.24 131.91 1007.41
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
## (Intercept) 1230.55754 222.18351 5.538 4.15e-06 ***
## x1 0.01511 0.02473 0.611 0.54538
## x2 -282.65811 80.23594 -3.523 0.00131 **
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## Residual standard error: 329.7 on 32 degrees of freedom
## Multiple R-squared: 0.2855, Adjusted R-squared: 0.2409
## F-statistic: 6.394 on 2 and 32 DF, p-value: 0.00461
Persamaan Model :
\[ \hat{y} = 1230.55754 + 0.01511X_{1} - 282.65811X_{2} + e \]
Berdasarkan hasil estimasi model Ordinary Least Squares (OLS), hubungan antara variabel dependen Y (jumlah kasus DBD) dan dua variabel independen yaitu X₁ (kepadatan penduduk) serta X₂ (rasio puskesmas per 100.000 penduduk) menunjukkan bahwa model signifikan secara keseluruhan. Nilai R² sebesar 0,2855 dan Adjusted R² sebesar 0,2409 mengindikasikan bahwa sekitar 28,55% variasi jumlah kasus DBD dapat dijelaskan oleh kedua variabel independen dalam model, sementara sisanya dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. Hasil uji F menghasilkan p-value sebesar 0,00461, yang berarti model OLS signifikan pada tingkat signifikansi 5%.
Secara parsial, kepadatan penduduk (X₁) memiliki koefisien positif sebesar 0,0151, namun tidak signifikan secara statistik (p-value = 0,54538), yang menunjukkan bahwa peningkatan kepadatan penduduk tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah kasus DBD dalam model OLS. Sebaliknya, rasio puskesmas per 100.000 penduduk (X₂) memiliki koefisien negatif sebesar −282,66 dan signifikan pada taraf 1% (p-value = 0,00131), yang mengindikasikan bahwa peningkatan ketersediaan puskesmas berasosiasi dengan penurunan jumlah kasus DBD. Dengan demikian, pada model OLS, rasio puskesmas berperan signifikan dalam menekan jumlah kasus DBD, sementara pengaruh kepadatan penduduk belum terlihat signifikan secara statistik.
Uji Diagnostik OLS
# Uji Normalitas Residual (Jarque-Bera)
jb_test <- jarque.bera.test(residuals(ols_model))
print(jb_test)
##
## Jarque Bera Test
##
## data: residuals(ols_model)
## X-squared = 9.0286, df = 2, p-value = 0.01095
Nilai p-value sebesar 0,01095 (< 0,05) sehingga H₀ ditolak, yang berarti residual model OLS tidak berdistribusi normal. Ketidaknormalan residual ini wajar pada data epidemiologi keruangan, terutama ketika terdapat variasi ekstrem antarwilayah dan distribusi kasus yang tidak simetris.
# Uji Heteroskedastisitas (Breusch-Pagan)
bp_test <- bptest(ols_model)
print(bp_test)
##
## studentized Breusch-Pagan test
##
## data: ols_model
## BP = 8.6198, df = 2, p-value = 0.01344
Hasil uji Breusch–Pagan menghasilkan p-value sebesar 0,01344 (< 0,05) sehingga H₀ ditolak, yang menunjukkan adanya heteroskedastisitas. Kondisi ini konsisten dengan hasil uji autokorelasi spasial yang signifikan, karena ketergantungan antarwilayah sering menyebabkan varians residual berbeda-beda secara spasial.
# Uji Multikolinearitas (VIF)
vif_values <- vif(ols_model)
print(vif_values)
## x1 x2
## 1.128811 1.128811
Nilai VIF untuk X₁ dan X₂ sebesar 1,13 (< 10) sehingga H₀ diterima, yang menunjukkan tidak terdapat multikolinearitas antar variabel independen dalam model. Dengan demikian, ketidaknormalan dan heteroskedastisitas yang muncul lebih disebabkan oleh struktur spasial data, bukan oleh hubungan linier antarvariabel penjelas.
# Uji LM untuk menentukan model spasial yang sesuai
lm_test <- lm.LMtests(ols_model, lw, test = "all", zero.policy = TRUE)
## Please update scripts to use lm.RStests in place of lm.LMtests
print(lm_test)
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = y ~ x1 + x2, data = shp_data)
## test weights: listw
##
## RSerr = 4.0048, df = 1, p-value = 0.04537
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = y ~ x1 + x2, data = shp_data)
## test weights: listw
##
## RSlag = 4.0118, df = 1, p-value = 0.04518
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = y ~ x1 + x2, data = shp_data)
## test weights: listw
##
## adjRSerr = 0.18808, df = 1, p-value = 0.6645
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = y ~ x1 + x2, data = shp_data)
## test weights: listw
##
## adjRSlag = 0.19515, df = 1, p-value = 0.6587
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = y ~ x1 + x2, data = shp_data)
## test weights: listw
##
## SARMA = 4.1999, df = 2, p-value = 0.1225
Berdasarkan hasil uji Lagrange Multiplier (LM), diperoleh bahwa LM Lag (RSlag) memiliki nilai p-value sebesar 0,04518, yang lebih kecil dari 0,05, sehingga mengindikasikan adanya dependensi spasial dalam bentuk lag. Selain itu, LM Error (RSerr) juga signifikan dengan p-value sebesar 0,04537, yang menunjukkan kemungkinan adanya dependensi spasial pada komponen error. Namun, hasil Adjusted LM Lag (adjRSlag) dan Adjusted LM Error (adjRSerr) tidak signifikan dengan p-value masing-masing 0,6587 dan 0,6645, serta uji SARMA yang juga tidak signifikan (p-value = 0,1225). Meskipun demikian, berdasarkan indikasi awal dari LM Lag dan tujuan untuk menangkap pengaruh spasial antarwilayah, model Spatial Autoregressive (SAR) tetap dipertimbangkan untuk analisis lanjutan, dengan pemilihan model terbaik selanjutnya akan ditentukan melalui perbandingan nilai Akaike Information Criterion (AIC) antar model regresi spasial yang diestimasi.
# Model SAR
sar_model <- lagsarlm(y ~ x1 + x2,
data = shp_data,
listw = lw,
zero.policy = TRUE)
summary(sar_model)
##
## Call:lagsarlm(formula = y ~ x1 + x2, data = shp_data, listw = lw,
## zero.policy = TRUE)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -477.438 -174.659 14.506 62.244 988.524
##
## Type: lag
## Coefficients: (asymptotic standard errors)
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) 916.244999 233.608761 3.9221 8.777e-05
## x1 0.012692 0.021906 0.5794 0.562326
## x2 -238.177341 72.618686 -3.2798 0.001039
##
## Rho: 0.41477, LR test value: 4.2963, p-value: 0.038195
## Asymptotic standard error: 0.16997
## z-value: 2.4403, p-value: 0.014677
## Wald statistic: 5.9548, p-value: 0.014677
##
## Log likelihood: -248.8841 for lag model
## ML residual variance (sigma squared): 84111, (sigma: 290.02)
## Number of observations: 35
## Number of parameters estimated: 5
## AIC: 507.77, (AIC for lm: 510.06)
## LM test for residual autocorrelation
## test value: 0.1387, p-value: 0.70957
Hasil estimasi Spatial Autoregressive (SAR) menunjukkan bahwa tidak semua variabel penjelas berpengaruh signifikan terhadap jumlah kasus DBD di Provinsi Jawa Tengah tahun 2015. Variabel kepadatan penduduk (X₁) memiliki koefisien positif sebesar 0,0127, namun tidak signifikan secara statistik (p-value = 0,5623), yang mengindikasikan bahwa peningkatan kepadatan penduduk belum terbukti berpengaruh nyata terhadap jumlah kasus DBD setelah mempertimbangkan efek spasial. Sebaliknya, rasio puskesmas per 100.000 penduduk (X₂) berpengaruh negatif dan signifikan, dengan koefisien sebesar −238,18 (p-value = 0,00104), yang menunjukkan bahwa semakin tinggi ketersediaan puskesmas, jumlah kasus DBD cenderung menurun secara signifikan.
Parameter spasial ρ (rho) bernilai 0,4148 dan signifikan pada taraf 5% (p-value = 0,0147), yang menandakan adanya ketergantungan spasial positif dalam distribusi jumlah kasus DBD. Hal ini mengimplikasikan bahwa jumlah kasus DBD di suatu kabupaten/kota dipengaruhi oleh jumlah kasus di wilayah sekitarnya. Dibandingkan dengan model OLS, model SAR menghasilkan nilai AIC yang lebih rendah (507,77 dibandingkan 510,06) serta uji autokorelasi residual yang tidak signifikan (p-value = 0,7096), yang menunjukkan bahwa model SAR lebih mampu menangkap struktur spasial data dan memberikan spesifikasi model yang lebih baik.
\[ \hat{Y_i} \;=\; 916.24999 \;+\; 0.012692X_{1i} \;-\; 238.177341X_{2i} \;+\; 0.41477\,WY_i \;+\; e_i \]
# Model SEM
sem_model <- errorsarlm(y ~ x1 + x2,
data = shp_data,
listw = lw,
zero.policy = TRUE)
summary(sem_model)
##
## Call:errorsarlm(formula = y ~ x1 + x2, data = shp_data, listw = lw,
## zero.policy = TRUE)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -525.3949 -177.2492 7.6018 68.1077 948.6622
##
## Type: error
## Coefficients: (asymptotic standard errors)
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) 1158.551419 225.321656 5.1418 2.722e-07
## x1 0.019392 0.022152 0.8754 0.3813570
## x2 -253.798224 76.410253 -3.3215 0.0008953
##
## Lambda: 0.43866, LR test value: 4.1559, p-value: 0.041489
## Asymptotic standard error: 0.17966
## z-value: 2.4417, p-value: 0.01462
## Wald statistic: 5.9617, p-value: 0.01462
##
## Log likelihood: -248.9543 for error model
## ML residual variance (sigma squared): 83961, (sigma: 289.76)
## Number of observations: 35
## Number of parameters estimated: 5
## AIC: 507.91, (AIC for lm: 510.06)
Hasil estimasi Spatial Error Model (SEM) menunjukkan bahwa tidak semua variabel independen berpengaruh signifikan terhadap jumlah kasus DBD di Provinsi Jawa Tengah tahun 2015. Variabel kepadatan penduduk (X₁) memiliki koefisien positif sebesar 0,0194, namun tidak signifikan secara statistik (p-value = 0,3814), yang mengindikasikan bahwa setelah memperhitungkan struktur galat spasial, kepadatan penduduk belum terbukti berpengaruh nyata terhadap jumlah kasus DBD. Sebaliknya, rasio puskesmas per 100.000 penduduk (X₂) berpengaruh negatif dan signifikan, dengan koefisien sebesar −253,80 (p-value = 0,000895), yang menunjukkan bahwa peningkatan ketersediaan fasilitas kesehatan berasosiasi dengan penurunan jumlah kasus DBD.
Parameter error spasial (λ) bernilai 0,4387 dan signifikan pada taraf 5% (p-value = 0,0146), yang menandakan adanya ketergantungan spasial pada komponen galat. Hal ini mengimplikasikan bahwa variasi jumlah kasus DBD tidak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh variabel kepadatan penduduk dan rasio puskesmas, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang bersifat spasial dan tidak terobservasi. Dibandingkan dengan model OLS, model SEM memberikan nilai AIC yang lebih rendah (507,91 dibandingkan 510,06), menunjukkan adanya perbaikan spesifikasi model melalui pengakomodasian dependensi spasial pada galat, meskipun nilai AIC sedikit lebih tinggi dibandingkan model SAR.
Persamaan Model:
\[ \hat{Y_i} = 1158.551419 \;+\; 0.019392X_{1i} \;-\; 253.798224X_{2i} \;+\; u_i \] \[ u_i = 0.43866 W u_i + \varepsilon_i \] ##### 4.4.5 Model SDM (Spatial Durbin Model)
# Model SDM
sdm_model <- lagsarlm(y ~ x1 + x2,
data = shp_data,
listw = lw,
type = "mixed",
zero.policy = TRUE)
summary(sdm_model)
##
## Call:lagsarlm(formula = y ~ x1 + x2, data = shp_data, listw = lw,
## type = "mixed", zero.policy = TRUE)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -456.349 -179.897 12.528 113.759 927.844
##
## Type: mixed
## Coefficients: (asymptotic standard errors)
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) 992.793254 430.192397 2.3078 0.0210109
## x1 0.015283 0.022412 0.6819 0.4952941
## x2 -272.899580 79.966229 -3.4127 0.0006433
## lag.x1 -0.079477 0.077284 -1.0284 0.3037706
## lag.x2 51.934373 138.731088 0.3744 0.7081418
##
## Rho: 0.40115, LR test value: 3.467, p-value: 0.062604
## Asymptotic standard error: 0.18396
## z-value: 2.1807, p-value: 0.029208
## Wald statistic: 4.7553, p-value: 0.029208
##
## Log likelihood: -248.3509 for mixed model
## ML residual variance (sigma squared): 81841, (sigma: 286.08)
## Number of observations: 35
## Number of parameters estimated: 7
## AIC: 510.7, (AIC for lm: 512.17)
## LM test for residual autocorrelation
## test value: 0.020938, p-value: 0.88495
Hasil estimasi Spatial Durbin Model (SDM) menunjukkan bahwa kepadatan penduduk (X₁) memiliki koefisien positif sebesar 0,0153, namun tidak signifikan secara statistik (p-value > 0,05), sehingga belum terdapat bukti bahwa peningkatan kepadatan penduduk secara langsung memengaruhi jumlah kasus DBD. Sebaliknya, rasio puskesmas per 100.000 penduduk (X₂) berpengaruh negatif dan signifikan dengan koefisien sebesar −272,90 (p-value < 0,01), yang mengindikasikan bahwa semakin baik ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan, jumlah kasus DBD cenderung lebih rendah. Efek spasial dari variabel independen, baik lag.X₁ maupun lag.X₂, tidak signifikan (p-value > 0,05), sehingga pengaruh tidak langsung (spillover) dari wilayah tetangga melalui variabel kepadatan penduduk dan rasio puskesmas relatif lemah. Namun demikian, parameter spasial ρ = 0,4012 signifikan pada taraf 5% (p-value ≈ 0,029), yang menunjukkan adanya ketergantungan spasial pada jumlah kasus DBD antar kabupaten/kota, meskipun variasi kasus lebih dominan dijelaskan oleh faktor internal wilayah dibandingkan efek spasial dari variabel penjelas.
Persamaan Model:
\[ \hat{Y_i} = 992.793254 \;+\; 0.015283\,X_{1i} \;-\; 272.899580\,X_{2i} \;-\; 0.079477\,W X_{1i} \;+\; 51.934373\,W X_{2i} \;+\; e_i \]
# Model SAC (kombinasi SAR dan SEM)
sac_model <- sacsarlm(y ~ x1 + x2,
data = shp_data,
listw = lw,
zero.policy = TRUE)
summary(sac_model)
##
## Call:sacsarlm(formula = y ~ x1 + x2, data = shp_data, listw = lw,
## zero.policy = TRUE)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -505.9573 -164.9757 5.6358 72.8945 977.2036
##
## Type: sac
## Coefficients: (asymptotic standard errors)
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) 1011.350901 372.562987 2.7146 0.006636
## x1 0.015821 0.022839 0.6927 0.488479
## x2 -249.764826 78.588994 -3.1781 0.001482
##
## Rho: 0.28062
## Asymptotic standard error: 0.48543
## z-value: 0.57809, p-value: 0.5632
## Lambda: 0.19062
## Asymptotic standard error: 0.55435
## z-value: 0.34385, p-value: 0.73096
##
## LR test value: 4.4242, p-value: 0.10947
##
## Log likelihood: -248.8202 for sac model
## ML residual variance (sigma squared): 85194, (sigma: 291.88)
## Number of observations: 35
## Number of parameters estimated: 6
## AIC: 509.64, (AIC for lm: 510.06)
Hasil estimasi model Spatial Autoregressive Combined (SAC) menunjukkan bahwa kepadatan penduduk (X₁) tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah kasus DBD (p = 0,488), sedangkan rasio puskesmas per 100.000 penduduk (X₂) berpengaruh negatif dan signifikan (koefisien = −249,76; p = 0,0015), yang mengindikasikan bahwa peningkatan ketersediaan puskesmas berkaitan dengan penurunan jumlah kasus DBD. Parameter spasial ρ (rho) bernilai positif namun tidak signifikan (p = 0,563), demikian pula parameter λ (lambda) yang juga tidak signifikan (p = 0,731), sehingga tidak ditemukan bukti kuat adanya ketergantungan spasial baik pada variabel dependen maupun pada komponen galat. Nilai AIC sebesar 509,64 menunjukkan bahwa meskipun model SAC memperbaiki model OLS, kontribusi efek spasial dalam model ini relatif terbatas dibandingkan model spasial lainnya.
Persamaan Model :
\[ \hat{Y_i} = 1011.350901 + 0.015821\,X_{1i} - 249.764826\,X_{2i} + 0.2919\,W Y_i + 0.19062\,W \varepsilon_i + e_i \]
\[ \hat{Y_i} = \rho W Y + X\beta + W\varepsilon\lambda + e_i \]
gns_model <- sacsarlm(y ~ x1 + x2, data = shp_data, listw = lw,
type = "sacmixed",
zero.policy = TRUE)
summary(gns_model)
##
## Call:sacsarlm(formula = y ~ x1 + x2, data = shp_data, listw = lw,
## type = "sacmixed", zero.policy = TRUE)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -453.786 -180.959 13.201 115.818 922.589
##
## Type: sacmixed
## Coefficients: (asymptotic standard errors)
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) 933.011171 876.419036 1.0646 0.287070
## x1 0.015893 0.022859 0.6952 0.486899
## x2 -272.259859 83.394653 -3.2647 0.001096
## lag.x1 -0.080061 0.076926 -1.0408 0.297989
## lag.x2 65.427035 201.238384 0.3251 0.745089
##
## Rho: 0.44453
## Asymptotic standard error: 0.60406
## z-value: 0.7359, p-value: 0.46179
## Lambda: -0.064433
## Asymptotic standard error: 0.80536
## z-value: -0.080005, p-value: 0.93623
##
## LR test value: 5.3732, p-value: 0.2511
##
## Log likelihood: -248.3457 for sacmixed model
## ML residual variance (sigma squared): 80895, (sigma: 284.42)
## Number of observations: 35
## Number of parameters estimated: 8
## AIC: 512.69, (AIC for lm: 510.06)
Hasil estimasi model General Nested Spatial (GNS) menunjukkan bahwa kepadatan penduduk (X₁) tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah kasus DBD (p = 0,487), sedangkan rasio puskesmas per 100.000 penduduk (X₂) berpengaruh negatif dan signifikan (koefisien = −272,26; p = 0,0011), yang mengindikasikan bahwa peningkatan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan berkaitan dengan penurunan jumlah kasus DBD. Efek spasial baik pada variabel dependen (ρ) maupun pada komponen galat (λ) serta lag variabel independen tidak signifikan (seluruh p-value > 0,25), sehingga tidak ditemukan bukti kuat adanya ketergantungan spasial setelah faktor internal wilayah diperhitungkan. Nilai AIC sebesar 512,69 lebih tinggi dibandingkan model OLS dan beberapa model spasial lainnya, yang menunjukkan bahwa kompleksitas model GNS tidak memberikan peningkatan kinerja yang berarti dalam menjelaskan distribusi spasial kasus DBD di Provinsi Jawa Tengah.
Persamaan Model:
\[ \hat{Y} = 933.011171 + 0.015893\,X_{1} - 272.259859\,X_{2} - 0.080061\,W X_{1} + 65.427035\,W X_{2} + 0.44453\,W Y - 0.064433\,W\varepsilon + e \]
# Ekstrak nilai AIC, BIC, dan Log-Likelihood
model_comparison <- data.frame(
Model = c("OLS", "SAR", "SEM", "SDM", "SAC"),
AIC = c(
AIC(ols_model),
AIC(sar_model),
AIC(sem_model),
AIC(sdm_model),
AIC(sac_model)
),
BIC = c(
BIC(ols_model),
BIC(sar_model),
BIC(sem_model),
BIC(sdm_model),
BIC(sac_model)
),
LogLik = c(
as.numeric(logLik(ols_model)),
as.numeric(logLik(sar_model)),
as.numeric(logLik(sem_model)),
as.numeric(logLik(sdm_model)),
as.numeric(logLik(sac_model))
)
)
# Urutkan berdasarkan AIC (terkecil = terbaik)
model_comparison <- model_comparison %>%
arrange(AIC)
kable(model_comparison,
caption = "Perbandingan Model Regresi Spasial",
digits = 2,
align = c("l", "r", "r", "r")) %>%
kable_styling(bootstrap_options = c("striped", "hover", "condensed"),
full_width = FALSE) %>%
row_spec(1, bold = TRUE, color = "white", background = "#28a745")
| Model | AIC | BIC | LogLik |
|---|---|---|---|
| SAR | 507.77 | 515.54 | -248.88 |
| SEM | 507.91 | 515.69 | -248.95 |
| SAC | 509.64 | 518.97 | -248.82 |
| OLS | 510.06 | 516.29 | -251.03 |
| SDM | 510.70 | 521.59 | -248.35 |
Berdasarkan hasil perbandingan nilai AIC, BIC, dan Log-Likelihood, model Spatial Autoregressive (SAR) menunjukkan kinerja terbaik dibandingkan model spasial lainnya (SEM, SAC, SDM) maupun model non-spasial OLS. Model SAR memiliki nilai AIC terendah (507,77) dan BIC terendah (515,54), yang menunjukkan keseimbangan paling baik antara tingkat kecocokan model dan kompleksitas parameter. Selain itu, nilai Log-Likelihood sebesar −248,88 relatif lebih tinggi (kurang negatif) dibandingkan sebagian besar model lain, mengindikasikan kemampuan yang lebih baik dalam merepresentasikan pola data. Dengan demikian, model SAR dipilih sebagai model yang paling representatif untuk menjelaskan distribusi spasial kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Jawa Tengah tahun 2015 dengan mempertimbangkan adanya ketergantungan spasial antar kabupaten/kota.
# =========================================================
# Uji Dependensi Spasial (Moran’s I Residual SAR)
# =========================================================
# Mengambil residual dari model SAR
sar_residuals <- residuals(sar_model)
# Melakukan uji Moran’s I terhadap residual model SAR
moran_test_sar <- moran.test(sar_residuals, lw, zero.policy = TRUE)
# Menampilkan hasil uji Moran’s I
moran_test_sar
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: sar_residuals
## weights: lw
##
## Moran I statistic standard deviate = 0.44452, p-value = 0.3283
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## 0.01957737 -0.02941176 0.01214562
Hasil uji Moran’s I terhadap residual model SAR menunjukkan nilai statistik Moran’s I sebesar 0,0196 dengan p-value 0,3283. Nilai p-value yang lebih besar dari taraf signifikansi 0,05 mengindikasikan bahwa tidak terdapat autokorelasi spasial yang signifikan pada residual model. Hal ini menunjukkan bahwa residual bersifat acak secara spasial dan tidak lagi membentuk pola ketergantungan antar kabupaten/kota. Dengan demikian, model Spatial Autoregressive (SAR) dinilai telah mampu mengakomodasi dependensi spasial yang terdapat pada data awal, sehingga hasil estimasi model dapat dianggap memadai dan bebas dari masalah autokorelasi spasial pada komponen galat.
Pola penyebaran kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2015 menunjukkan adanya ketidakmerataan antar kabupaten/kota. Berdasarkan analisis autokorelasi spasial, nilai Moran’s I yang signifikan mengindikasikan adanya keterkaitan spasial positif, di mana wilayah dengan jumlah kasus DBD tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah lain yang juga memiliki jumlah kasus tinggi. Hasil analisis Local Indicators of Spatial Association (LISA) mengidentifikasi keberadaan klaster high–high dan low–low, yang menunjukkan adanya pengelompokan wilayah berisiko tinggi maupun wilayah dengan tingkat kasus rendah secara spasial.
Hasil pemodelan regresi spasial menunjukkan bahwa jumlah kasus DBD di Provinsi Jawa Tengah lebih tepat dimodelkan menggunakan model Spatial Autoregressive (SAR) dibandingkan model OLS maupun model spasial lainnya. Model SAR memberikan nilai AIC dan BIC terendah serta mampu menghilangkan autokorelasi spasial pada residual, sehingga menunjukkan spesifikasi model yang lebih baik. Parameter lag spasial (𝜌) yang signifikan mengindikasikan bahwa jumlah kasus DBD di suatu kabupaten/kota dipengaruhi oleh jumlah kasus di wilayah sekitarnya, sehingga aspek keterkaitan antarwilayah menjadi faktor penting dalam menjelaskan distribusi kasus DBD.
Berdasarkan hasil estimasi model SAR, variabel rasio puskesmas per 100.000 penduduk terbukti berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah kasus DBD, yang menunjukkan bahwa peningkatan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan primer berperan dalam menurunkan jumlah kasus. Sementara itu, kepadatan penduduk tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan setelah memperhitungkan efek spasial. Selain variabel penjelas tersebut, muncul pula pengaruh spasial dari wilayah sekitar yang signifikan, yang menegaskan bahwa penyebaran DBD tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik internal suatu wilayah, tetapi juga oleh kondisi epidemiologis wilayah tetangganya.
Berdasarkan hasil penelitian, pemerintah daerah Provinsi Jawa Tengah disarankan untuk memperkuat upaya pengendalian Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan pendekatan berbasis wilayah (spasial). Mengingat adanya klaster kasus DBD yang signifikan serta pengaruh spasial antar kabupaten/kota, strategi pencegahan dan penanggulangan DBD sebaiknya tidak dilakukan secara parsial per wilayah administratif, tetapi melalui koordinasi lintas daerah, khususnya pada wilayah yang tergolong dalam klaster high–high. Pendekatan ini penting untuk memutus rantai penularan yang bersifat lintas wilayah.
Selain itu, peningkatan akses dan ketersediaan puskesmas perlu menjadi prioritas utama, terutama di wilayah dengan jumlah kasus DBD yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio puskesmas per 100.000 penduduk berpengaruh signifikan terhadap penurunan jumlah kasus DBD, sehingga pemerataan fasilitas kesehatan primer, penguatan layanan surveilans, serta peningkatan kapasitas puskesmas dalam pencegahan dan penanganan DBD diharapkan dapat menekan risiko kejadian penyakit secara lebih efektif.
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan agar memasukkan variabel tambahan yang berkaitan dengan faktor lingkungan dan iklim, seperti curah hujan, suhu, kelembapan udara, serta kondisi sanitasi dan perilaku masyarakat, guna memperoleh gambaran yang lebih komprehensif mengenai determinan DBD. Selain itu, penggunaan data runtun waktu atau model spasial panel dapat dipertimbangkan untuk menganalisis dinamika penyebaran DBD dari waktu ke waktu dan mengevaluasi efektivitas kebijakan pengendalian penyakit secara berkelanjutan.
Penulis menggunakan bantuan AI (Deepseek, Claude, ChatGPT) untuk membantu penyusunan struktur laporan, perapihan bahasa, serta contoh sintaks analisis statistik dan visualisasi. Seluruh hasil perhitungan diverifikasi menggunakan skrip R dan data yang digunakan dalam penelitian.
Link Dashboard :
Link Video :