Malaria adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat khususnya di wilayah tropis dan subtropis. Penyakit Malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium yang ditularkan melalui gigtan nyamuk anopheles betina. Malaria di Indonesia memiliki pola kejadaian yang berbeda-beda antar wilayah. Daerah timur Indonesai masih menjadi pusat utama kasus malaria.
Distribusi malaria dipengaruhi oleh faktor wilayah dan waktu. Risiko malaria bervariasi antarwilayah dengan perbedaan kondisi lingkungan, karakteristik pemukiman, dan mobilitas penduduknya. Dengan kondisi padatnya penduduk juga menjadi salah satu faktor penyebab dari penyakit ini, dengan penduduk yang padat nyamuk malaria dapat dengan mudah berpindah-pindah dari satu individu ke yang lain ditambah dengan kondisi sanitasi sebuah wilayah yang kurang baik itu akan menjadi faktor tambahan.
Dengan mempertimbangkan kompleksitas tersebut, studi epidemiologi malaria yang berbasis spasio-temporal menjadi sangat penting untuk menggambarkan distribusi risiko, mengidentifikasi klaster penularan, serta memahami dinamika kejadian penyakit dari waktu ke waktu. Pendekatan ini memberikan dasar yang kuat untuk perencanaan intervensi kesehatan masyarakat yang lebih efektif dan berbasis bukti, terutama dalam upaya pengendalian dan eliminasi malaria di wilayah endemis.
Malaria merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang menginfeksi manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang membawa parasit. Ada beberapa spesies parasit Plasmodium yang masih sering dijumpai yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale, yang paling sering ditemukan pada manusia adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax (WHO, 2023). Malaria ini menjadi masalah kesehatan serius di wilayah tropis dan subtropis salah satunya Indonesia.
Secara klinis, gejala dari malaria adalah demam periodik, menggigil, sakit kepala, anemia, bahkan penyakit ini dapat menyebabkan komplikasi serius hingga kematian. Penyebaran penyakit malaria dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya faktor lingkungan, sosial ekonomi, dan kondisi demografis dari wilayah.
Pada penyakit menular, kejadian kasus memiliki tiga komponen yang berperan dalam penularannya yaitu agent, host, dan environment. Pada penyakit malaria, parasit Plasmodium menjadi agent yang berkembang biak pada manusia dan juga nyamuk Anopheles. Parasit ini berkembang biak pada sel dalam darah manusia yang menyebabkan hancurnya sel darah merah.
Host pada penyakit malaria adalah manusia yang rentan terinfeksi pada parasit. Host dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain sehingga dapat meningkatkan risiko terinfeksi antara lain, usia, imunitas, status gizi, dan tingkat pendidikan. Seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih perhatian akan kemungkinan-kemungkinana yang dapat terjadi dan dapat melakukan langkah preventif untuk mencegah terkenanya infeksi penyakit malaria ini.
Lingkungan yang juga menjadi komponen penting pada penularan ini, kondisi lingkungan yang buruk juga dapat meningkatkan risiko penularan. Lingkungan dengan kondisi sanitasi buruk, padat penduduk dapat menciptakan kondisi perkembangbiakan nyamuk Anopheles.
Ukuran frekuensi biasanya diunakan untuk menggambarkan masalah kesehatan pada sebuah populasi. Ukuran frekuensi yang biasanya digunakan yaitu proporsi kejadian penyakit.
Untuk melihat proporsi individu dalam populasi yang terinfeksi digunakan prevalensi sebagai ukuran frekuensinya. Prevalensi ini mampu menggambarkan beban penyakit pada suatu wilayah dibandingkan hanya dari jumlah kasusnya saja. Rumus dari prevalensi itu sendiri adalah sebagai berikut :
\[ \text{Prevalensi} = \frac{\text{Jumlah Kasus Positif}}{\text{Jumlah Populasi}} \times k \]
Dimana k adalah konstanta pembanding dari prevalensi tersebut, misalnya 100 penduduk atau 100.000 penduduk. Sehingga misalnya prevalensi penyakit campak di suatu daerah adalah 0,1 per 100 penduduk maka terdapat 0,1 kasus malaria pada setiap 100 penduduk di wilayah tersebut.
Penelitian ini tidak menggunakan ukuran asosiasi ataupun ukuran frekuensi lainnya dikarenakan keterbatasan data dari sumber-sumber yang ada.
Pada penelitian ini menggunakan desain studi ekologi dimana desain ini menggunakan wilayah dan periode waktu tertentu sebagai unit analisis. Natinya yang akan dianalisis adalah variabel prevalensi malaria sebagai variabel prediktor dan beberapa karakteristik dari provinsi di Indonesia sebagai variabel independen.
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari beberapa open source data. Data yang digunakan merupakan data spasial dan merupakan data time series dengan periode 2022-2024. Data disusun dalam bentuk panel data spasial. Data yang digunakan adalah sebagai berikut
\[ \begin{array}{c|c|c} \textbf{Variabel} & \textbf{Keterangan} & \textbf{Sumber Data} \\ \hline Y & \text{Prevalensi Campak Per Provinsi} & \text{Profil Kesehatan Indonesia dan Data Sismal}\\ X_1 & \text{Kepadatan Penduduk (Km)}^2 & \text{BPS Indonesia}\\ X_2 & \text{Akses Sanitasi Layak (%)} & \text{BPS Indonesia} \\ X_3 & \text{Rata-Rata Lama Sekolah (Tahun)} & \text{BPS Indonesia}\\ \end{array} \]
Variabel dependen berupa prevalensi campak digunakan untuk menggambarkan kondisi kesehatan masyarakat pada masing-masing provinsi. Variabel independen dipilih berdasarkan pertimbangan teoritis yang berkaitan dengan faktor kependudukan, lingkungan, dan sosial ekonomi yang berpotensi memengaruhi penyebaran penyakit campak.
Dilakukan analisis deskriptif untuk melihat distribusi dari prevalensi dari penyakit malaria. Analisis deskriptif ini dilakukan dengan menghitung rata-rata, nilai minimum, maximum prevalensi dan total jumlah kasus dari penyakit malaria. Analisis deskriptif ini juga dapat melihat 5 provinsi dengan prevalensi paling tinggi dan 5 provinsi dengan prevalensi terendah.
Analisis spasial ini melihat autokorelasi spasial yang terjadi pada wilayah. Analisis spasial ini melihat apakah ada pola secara geografis dari penyebaran penyakit Malaria ini atau pola acak yang terbentuk.
Global Moran’s I digunakan untuk mengukur autokorelasi spasial global prevalensi malaria. Statistik ini mengevaluasi apakah wilayah yang berdekatan cenderung memiliki nilai prevalensi malaria yang serupa.
Nilai Moran’s I berada pada rentang –1 hingga +1:
nilai mendekati +1 menunjukkan pola mengelompok (clustered)
nilai mendekati 0 menunjukkan pola acak,
nilai mendekati –1 menunjukkan pola menyebar (dispersed)
Local Moran’s I digunakan untuk mengidentifikasi pola autokorelasi spasial lokal. Analisis ini bertujuan untuk mendeteksi wilayah-wilayah yang membentuk klaster prevalensi malaria.
Hasil Local Moran’s I diklasifikasikan ke dalam empat kategori utama:
High–High (HH): wilayah dengan prevalensi tinggi yang dikelilingi wilayah berprevalensi tinggi,
Low–Low (LL): wilayah dengan prevalensi rendah yang dikelilingi wilayah berprevalensi rendah,
High–Low (HL) dan Low–High (LH): wilayah dengan nilai yang berbeda dari wilayah sekitarnya (spatial outliers).
Bayesian Disease Mapping digunakan untuk menghasilkan peta prevalensi malaria dengan lebih stabil dibandingkan dengan mapping biasa. Model Bayesian melakukan penghalusan nilai prevalensi dengan memanfaatkan informasi dari wilayah sekitar.
Pada dashboard, dapat dilihat deskripsi statistik data yang ada. Dapat dilihat rata-rata dari prevalensi kasus penyakit malaria dan juga variabel-variabel yang mempengaruhi prevalensi tersebut. Pada masing-masing tahunnya data memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan distribusi yang juga berbeda-beda juga terlihat dari standar deviasinya. Hal ini menunjukkan adanya variasi dari tiap-tiap data yang digunakan. Nilai minimum dan maksimum juga menunjukkan nilai terkecil dan terbesar dari data yang dapat menjadi pertimbangan untuk analisis lanjutan.
Dari hasil perhitung global moran’s I didapatkan bahwa terbentuk beberapa cluster dari data yang ada bahwa terjadi tingginya prevalensi kasus malaria pada daerah Papua.
Kemudian untuk prevalensi dihitung Local Moran’s I nya untuk melihat daerah low-low, high-high, dan high-low. Hasilnya untuk prevalensi penyakit malaria pada tahun 2024 menunjukkan bahwa terdapat daerah high-high yang ada di timur Indonesia, dan terdapat juga low-low di daerah pulau Jawa. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada dashboard
Bayesian Disease Mapping menggunakan metode Empirical Bayes untuk mengestimasi risiko penyakit dengan mempertimbangkan variabilitas populasi. Namun hasil dari smooting dengan Bayesian menunjukkan hasil yang tetap sama saja dimana prevalensi tertinggi tetap berada di daerah Papua.
Untuk explorasi hasil dari analisis lebih lengkap dapat dilihat di dashboard.
Berdasarkan hasil analisis prevalensi malaria di Indonesia, ditemukan bahwa pola distribusi spasial menunjukkan penyebaran penyakit yang tidak merata dan terpusat secara signifikan hanya pada satu wilayah, yaitu Papua. Sebaliknya, wilayah lain seperti Pulau Jawa menunjukkan prevalensi yang jauh lebih rendah, yang menegaskan adanya ketimpangan beban penyakit secara geografis. Kondisi ini mengindikasikan bahwa strategi penanganan dan eliminasi malaria di tingkat nasional perlu difokuskan secara intensif pada wilayah Papua sebagai pusat endemisitas. Di sisi lain, penggunaan metode Bayesian Disease Mapping terbukti memberikan estimasi prevalensi yang lebih stabil karena mampu mengoreksi variabilitas data antar wilayah di Indonesia secara objektif. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa variabel akses sanitasi layak dan tingkat edukasi masyarakat merupakan faktor krusial yang perlu diperhatikan, mengingat keterbatasan pada kedua aspek tersebut berkontribusi langsung pada tingginya tingkat kasus malaria di wilayah-wilayah tertentu.
Sebagai langkah tindak lanjut, pemerintah diharapkan dapat melakukan langkah pencegahan yang lebih terintegrasi pada wilayah yang teridentifikasi sebagai klaster high-high, khususnya di Papua dan sekitarnya. Hal ini sangat mendesak untuk dilakukan mengingat tingginya mobilitas manusia serta pergerakan nyamuk yang dapat memperluas jangkauan penularan lintas batas wilayah. Selain itu, diperlukan penguatan pada faktor lingkungan dan manusia melalui peningkatan akses sanitasi dan edukasi kesehatan yang berkelanjutan di wilayah endemis. Upaya ini bertujuan agar masyarakat memiliki kesadaran dan kemampuan untuk melakukan tindakan preventif secara mandiri terhadap infeksi malaria. Untuk pengembangan penelitian selanjutnya, disarankan agar melibatkan variabel tambahan seperti faktor iklim yang dapat mempengaruhi siklus hidup vektor, serta memperkecil unit analisis pada tingkat wilayah yang lebih mikro guna mendapatkan pemetaan risiko yang lebih presisi dan mendalam.
Link Dashboard :
Link Video Penjelasan :
Pradipta, I. S., & Azizah, F. N. (2023). Pemetaan Risiko Penyakit Malaria di Indonesia Menggunakan Metode Empirical Bayes. Ekotonia: Jurnal Penelitian Ilmu Ekonomi dan Manajemen, 8(1), 10–18. https://doi.org/10.33019/ekotonia.v8i1.412
Sari, N. K., & Putri, A. R. (2024). Analisis Spasial Prevalensi Malaria di Indonesia Menggunakan Metode Bayesian Disease Mapping. SEHATI: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5(2), 112–121. https://doi.org/10.52364/sehati.v5i2.105