LAPORAN UJIAN AKHIR SEMESTER
Spatial Statistics
Disusun oleh:
Fara Dhiyaa Ramadhani (140610230066)
Dosen Pengampu :
Dr. I Gede Nyoman Mindra Jaya, M.Si
PROGRAM STUDI S-1 STATISTIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2025
Neglected Tropical Disease (NTD) adalah jenis penyakit yang sering ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini banyak menyebar pada kelompok yang mengerucut seperti berada di bawah garis kemiskinan dan standar hidup yang rendah. Salah satu contoh NTD adalah Filariasis atau dikenal dengan nama kaki gajah. Filariasis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh parasit yang dibawa cacing filaria, dimana spesiesnya tergantung berdasarkan wilayah. WHO sendiri menetapkan bahwa 1,3 miliar penduduk dunia berisiko tertular Filariasis yang tersebar di 83 negara, dimana sekitar 60% di antaranya berada di kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri, masih terdapat beberapa wilayah endemis filariasis. Setiap daerah endemis umumnya mempunyai satu spesies nyamuk yang menjadi vektor utama dan spesies nyamuk lainnya bersifat sebagai vektor potensial. Salah satu faktor yang telah diketahui memiliki hubungan dengan sebaran nyamuk sebagai vektor penyakit adalah topografi wilayah yang erat hubungannya dengan pola penularan penyakit, yang mungkin disebabkan oleh topografi wilayah yang erat hubungannya dengan pola penularan penyakit.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa faktor resiko seperti keadaan sanitasi layak dan kepadatan penduduk per km\(^2\) berperan penting dalam menentukan penyebaran Filariasis. Sanitasi yang tidak memadai biasanya ditemukan pada kelompok masyarakat yang memiliki standar hidup yang rendah. Selain itu, tingginya kepadatan penduduk di wilayah dengan sanitasi buruk menciptakan ekosistem yang ideal bagi perkembangbiakan vektor nyamuk sekaligus memperpendek jarak transmisi antar-individu. Kondisi tersebut tidak hanya menyediakan tempat perkembangbiakan vektor nyamuk, tetapi juga meningkatkan frekuensi kontak antara manusia dengan nyamuk yang membawa larva infektif.
Adanya hubungan antara prediktor lingkungan dan juga demografis ini juga dipengaruhi oleh aspek spasial dan juga temporal. Penyebaran kasus seringkali menunjukkan adanya pola pengelompokkan yang mengikuti topologi tertentu. Maka dari itu, resiko penularan suatu wilayah juga dapat dipengaruhi oleh wilayah di sekelilingnya, dikarenakan wilayah yang berdekatan juga memiliki kondisi geografis yang cenderung sama. Sementara itu, aspek temporal pada hubungan ini dipengaruhi oleh vektor nyamuk itu sendiri. Filariasis merupakan penyakit tahunan, dimana gejala dan kondisi kronisnya baru akan terlihat setelah beberapa tahun, sehingga seringkali terjadi keterlambatan pelaporan kasus baru. Kondisi kronis yang tidak tertangani ini pada akhirnya berkontribusi pada angka kematian pasien yang terus terakumulasi dari tahun ke tahun di berbagai wilayah. Oleh karena itu, penting untuk melakukan analisis lebih lanjut mengenai aspek spatio-temporal dari penyakit Filariasis dan kumulatif angka kematian dari Filariasis itu sendiri, guna membantu mengidentifikasi wilayah yang membutuhkan perhatian lebih serta menyusun rekomendasi kebijakan untuk pengendalian dan pencegahan penyakit Filariasis
Bagaimana pola distribusi spasial kasus kematian Filariasis di seluruh provinsi di Indonesia?
Apakah terdapat ketergantungan spasial pada kasus baru Filariasis dan seberapa kuat pengaruhnya?
Model statistik mana yang paling akurat dan kuat dalam memodelkan hubungan spatio-temporal untuk rekomendasi kebijakan?
Mendeskripsikan pola dan distribusi spasial kasus kematian penyakit Filariasis di seluruh provinsi di Indonesia
Menguji apakah adanya ketergantungan spasial pada kasus baru Filariasis dan seberapa kuat pengaruhnya jika ada
Mengidentifikasi model statistik yang paling cocok untuk menjelaskan beban penyakit Filariasis dengan aspek spatio-temporal
Autokorelasi spasial merupakan derajat kemiripan suatu lokasi dengan lokasi lainnya. Kondisi ini dapat bersifat positif, yaitu daerah di sekitarnya cenderung memiliki nilai variabel yang sebanding atau negatif, dimana daerah di sekitarnya cenderung memiliki nilai variabel yang berlainan. Untuk mempelajari pola yang ada dalam pemetaan ini, ukuran global klasik seperti nilai Moran’s I dan Geary’s C digunakan untuk menguji keberadaan autokorelasi spasial umum di seluruh wilayah, sehingga dapat diketahui apakah terdapat ketergantungan spasial pada variabel yang dimiliki pada data.
Matriks bobot spasial adalah representasi dari keterkaitan dan kedekatan antar lokasi. Perhitungan autokorelasi spasial membutuhkan matriks bobot terlebih dahulu, untuk mendefinisikan bobot spasial yang ada. Bentuk matriks bobot dapat berbasis jarak ataupun batasan wilayah. Contoh matriks bobot dengan basis batasan wilayah yaitu Rook contiguity, dimana dua wilayah dianggap bertetangga jika berbagi sisi, dan Queen contiguity, yaitu dua wilayah dianggap bertetangga jika berbagi sisi atau sudut. Pada penelitian ini, matriks bobot spasial yang digunakan adalah Queen contiguity, dikarenakan aspek wilayah bertetangga yang ditangkap lebih kompleks dibandingkan dengan Rook contiguity, sehingga pemilihannya diharapkan akan menjadi dasar dalam pemilihan model yang terbaik.
Disease mapping merupakan cara melihat penyebaran suatu penyakit dari wilayah tertentu yang diinginkan. Tujuan dilakukannya disease mapping adalah untuk mengestimasi risiko relatif penyakit pada unit wilayah serta mengidentifikasi pola klaster spasial. Namun, disease mapping klasik sering dilakukan dengan membandingkan angka insiden kasar antar wilayah. Angka tersebut bisa sangat tidak stabil jika jumlah penduduk kecil atau kasus jarang, sehingga jika tidak ditangani akan menyebabkan kekeliruan pada model. Pendekatan Bayesian dapat mengatasi kompleksitas dengan melihat efek spasial/non-spasial secara eksplisit, sehingga data yang dimiliki dapat terbaca dengan baik. Selain itu, karena data Filariasis yang digunakan memiliki dimensi temporal dimana jumlah kasusnya dicatat dalam kurun waktu 6 tahun terakhir, maka dibutuhkan model yang dapat menangkap aspek spasial dan temporalnya secara simultan. Contoh model yang dapat digunakan untuk mengintegrasikan kedua aspek tersebut adalah model BYM dan BYM2. Dengan memisahkan variabilitas risiko menjadi dua komponen yaitu efek spasial terstruktur dan efek tidak terstruktur, model ini dapat menghasilkan estimasi yang baik, meskipun ketika data memiliki aspek temporal pada variabel yang ingin diteliti.
Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari laporan resmi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, yaitu Profil Kesehatan Indonesia selama periode tahun 2019-2024 dan BPS. Data yang digunakan sebagai unit observasi dalam penelitian mencakup semua 34 provinsi di Indonesia. Dikarenakan pada tahun 2023 dan 2024 telah terjadi pemekaran di provinsi Papua, data di wilayah pemekaran tersebut tidak diikutsertakan sebagai suatu provinsi baru, melainkan dimasukkan ke dalam provinsi Papua sebelum pemekaran. Data yang digunakan diagregasi pada tingkat administrasi dan setiap provinsi dilihat sebagai satuan geografis yang mewakili satu observasi. Variabel-variabel yang digunakan adalah sebagai berikut:
Variabel Filariasis merupakan jumlah kasus baru yang terjadi di masing-masing provinsi pada setiap tahunnya. Variabel ini akan menjadi variabel dependen yang akan dibuatkan model dan dilakukan mapping. Selain itu, terdapat juga kumulatif jumlah kematian dari Filariasis selama 6 tahun untuk melihat provinsi dengan kasus kematian tertinggi.
Variabel independen pertama yaitu Kepadatan Penduduk per Km untuk melihat apakah variabel ini memengaruhi variabel dependen dan apakah terdapat aspek autokorelasi spasial
Variabel independen kedua yaitu Rumah Tangga yang Memiliki Akses Sanitasi Layak untuk melihat apakah variabel ini memengaruhi variabel dependen dan apakah terdapat aspek autokorelasi spasial
Jumlah penduduk per provinsi digunakan sebagai Log Offset atau Baseline Populasi supaya model secara otomatis melakukan standardisasi terhadap perbedaan ukuran penduduk antar provinsi
Berikut adalah link untuk dashboard yang telah dibuat:
https://filariasis-analysis-in-indonesia.streamlit.app/
Link Penjelasan:
Dari peta penyebaran kasus kematian, terlihat adanya ketimpangan yang signifikan mengenai angka kematian secara kumulatif pada 34 Provinsi di Indonesia dalam kurun waktu 6 tahun terakhir. Provinsi Papua Barat memiliki angka kematian tertinggi di tingkat nasional, dengan jumlah kematian yaitu sebanyak 811 kasus. Angka tersebut sangat jauh dan berbanding terbalik dengan angka kematian yang ada di Provinsi Yogyakarta dan Sulawesi Barat, dimana kematian yang tercatat hanya sebanyak 1 kasus. Perbedaan yang drastis ini mengindikasikan adanya perbedaan dalam karakteristik lingkungan yang membuat eliminasi Filariasis menjadi lebih sulit dan keterlambatan dalam penanganan kasus kronis. Selain itu, faktor lain seperti adanya perbedaan pada tingkat sanitasi layak juga mendorong fakta bahwa kondisi alam di daerah Timur Indonesia lebih sulit untuk dijangkau, sehingga perlu adanya intervensi dengan prioritas untuk memutus mata rantai vektor nyamuk secara permanen.
Berdasarkan hasil analisis dengan Morans’s I, variabel kasus Filariasis memiliki nilai sebesar 0.0072 dengan p-value sebesar 0.31. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat autokorelasi spasial yang signifikan pada distribusi kasus Filariasis di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa penyebaran kasus Filariasis tidak membentuk pola pengelompokan atau cluster di wilayah yang saling berdekatan, melainkan bersifat menyebar secara acak. Temuan ini mengonfirmasi adanya heterogenitas yang tinggi antarprovinsi, dimana kemunculan kasus di satu wilayah tidak secara langsung dipengaruhi oleh jumlah kasus di wilayah tetangganya, melainkan lebih dipengaruhi oleh faktor risiko lokal yang spesifik di masing-masing daerah.
Pemodelan pada data Filariasis di Indonesia awalnya dilakukan dengan menggunakan model Binomial Negatif. Namun, dikarenakan model tersebut tidak dapat mencakup aspek spasial dan temporal, selanjutnya dilakukan analisis menggunakan model crude BYM. Dikarenakan hasil pada model Crude BYM belum dapat menggambarkan pola spasial yang jelas dikarenakan karakteristik data yang memiliki variansi sangat ekstrem antarwilayah, selanjutnya data dimodelkan dengan menggunakan model BYM2, yang lebih mampu menangkap aspek spasial yang terukur dan tidak terukur. Di antara ketiga model tersebut, model BYM2 dipilih sebagai model akhir karena kerangkanya paling lengkap dalam merepresentasikan kompleksitas data. Meskipun nilai r-hat yang dimiliki model masih berada di atas 1.05 yang menunjukkan adanya divergensi pada model, hal ini merupakan konsekuensi dari tingginya heterogenitas data antarprovinsi yang ekstrem, sehingga model BYM2 tetap menjadi pilihan paling representatif dalam mengakomodasi fluktuasi data tersebut dibandingkan model standar lainnya.
Berdasarkan hasil analisis dan pemodelan yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat ketimpangan pada angka kematian kumulatif Filariasis yang sangat ekstrem di Indonesia, dimana provinsi Papua Barat mencatat angka kematian sebanyak 811 kasus sedangkan Yogyakarta dan Sulawesi Barat mencatat angka kematian hanya 1 kasus dalam kurun waktu 6 tahun. Selain itu, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat autokorelasi spasial yang signifikan pada distribusi kasus Filariasis di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa penyebaran kasus Filariasis tidak membentuk pola pengelompokan atau cluster di wilayah yang saling berdekatan, melainkan bersifat menyebar secara acak, yang mengonfirmasi adanya heterogenitas yang tinggi antarprovinsi. Dari hasil pemodelan jumlah kasus baru Filariasis juga ditemukan bahwa model BYM2 adalah model yang paling representatif untuk menangani data dengan varians ekstrem, meskipun masih terdapat divergensi dari nilai r-hat, hal tersebut adalah sebagai konsekuensi dari data yang bersifat asimetris, sehingga model BYM2 masih menjadi model terbaik jika dibandingkan dengan model lainnya yaitu Binomial Negatif atau Crude BYM
Wulandari, D., Ginandjar, P., Yuliawati, S., & Udijono, A. (2020). Systematic review distribusi spasial vektor penyakit filariasis di daerah endemis filariasis. Jurnal Ilmiah Mahasiswa, 10(4), 123-128.
Aurora, W. I. D., Maria, I., Kusdiyah, E., Darmawan, A., Nuriyah, & Mulyadi, D. (2023). Spatial Analysis of Filariasis and Malaria Determinants as Neglected Tropical Diseases in Indonesia (pp. 1010–1022).
Singh, S. K. (Ed.). (2017). Neglected Tropical Diseases – South Asia. Springer.
Won, Kimberly & Gass, Katherine & Biamonte, Marco & Argaw, Daniel & Ducker, Camilla & Hanna, Christopher & Hoerauf, Achim & Lammie, Patrick & Njenga, Sammy & Noordin, Rahmah & Ramaiah, Kapa & Ramzy, Reda & Scholte, Ronaldo & Solomon, Anthony & Souza, Ashley & Tappero, Jordan & Toubali, Emily & Weil, Gary & Williams, Steven & King, Jonathan. (2021). Diagnostics to support elimination of lymphatic filariasis—Development of two target product profiles. PLOS Neglected Tropical Diseases. 15. e0009968. 10.1371/journal.pntd.0009968.