LAPORAN UJIAN AKHIR SEMESTER

Epidemiologi






Disusun oleh:


Fara Dhiyaa Ramadhani (140610230066)

Dosen Pengampu :

Dr. I Gede Nyoman Mindra Jaya, M.Si




PROGRAM STUDI S-1 STATISTIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2025

1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Lymphatic Filariasis atau lebih dikenal dengan nama penyakit kaki gajah merupakan suatu penyakit parasit yang bersifat tahunan dan disebabkan oleh infeksi cacing filaria. Spesies cacing yang menyebabkan terjadinya penyakit ini adalah Brugia malayi, Brugia timori, dan Wuchereria bancrofti yang ditularkan melalui gigitan dari berbagai spesies nyamuk. Filariasis dapat menyebabkan pembengkakan dan penebalan kulit serta jaringan, yang menyebabkan keterbatasan pada penderitanya untuk memperoleh penghasilan, serta meningkatnya biaya pengobatan bagi penderita. Orang yang sudah terinfeksi membutuhkan waktu tahunan untuk berkembang menjadi kondisi yang terlihat, sehingga banyak orang sehat yang sebenarnya sudah memiliki cacing dalam darahnya, tetapi tidak merasakan sakit. Filariasis tidak memiliki obat, dan penderita yang mengidap filariasis kronis akan berujung kepada kematian, sehingga intervensi untuk pencegahannya lebih penting untuk dilakukan. Terdapat Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) setiap tahun selama lima tahun di daerah endemis Filariasis, meskipun pemberiannya harus rutin.

Filariasis tersebar di negara dengan iklim tropis dan subtropis, terutama negara berkembang dengan penghasilan menengah kebawah. Penyakit ini termasuk ke dalam penyakit tropis terabaikan atau neglegted tropical diseases (NTD).Indonesia sendiri telah mengalami kemajuan penting terhadap penyakit NTD, walaupun masih menghadapi berbagai tantangan, terutama di daerah-daerah terpencil dan sulit dijangkau. Target dari pemerintah sendiri adalah bebas dari penyakit NTD pada tahun 2030, walaupun tantanga yang masih dihadapi di antaranya adalah stigma sosial yang masih ada, keterlambatan diagnosis, dan rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjalani pengobatan. Masalah filariasis ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan pemerintah dan tenaga kesehatan, melainkan harus dengan keterlibatan langsung dari masyarakat untuk mempercepat eliminasi.

Filariasis memiliki beberapa faktor resiko, mulai dari faktor sosio-ekonomi, usia, jenis kelamin, dan lingkungan. Lingkungan dengan faktor sanitasi yang tidak layak, seperti saluran pembuangan air limbah atau genangan air, menjadi tempat berkembang biak vektor nyamuk yang menjadi transmitor filariasis. Kurangnya akses sanitasi dasar yang layak akan meningkatkan resiko kontak langsung masyarakat dengan vektor penyakit, yang dapat menyebabkan tingginya kasus filariasis. Selain itu, wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi juga mempermudah adanya penularan penyakit Filariasis. Dalam populasi yang padat, nyamuk yang menggigit satu orang akan lebih mudah untuk menularkannya kepada banyak orang dalam waktu singkat sehingga mempercepat laju kasus.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, penelitian ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut:

  • Bagaimana pola epidemiologi dan distribusi spasial dari penyakit Filariasis di Indonesia?

  • Sejauh mana faktor akses sanitasi layak dan kepadatan penduduk berpengaruh terhadap kejadian penyakit?

  • Bagaimana pemodelan yang sesuai dengan karakteristik kasus Filariasis di Indonesia?

1.3 Tujuan

  • Mendeskripsikan pola epidemiologi dan distribusi spasial penyakit Filariasis pada tingkat provinsi di Indonesia

  • Melihat signifikansi faktor akses sanitasi layak dan kepadatan penduduk berpengaruh terhadap kejadian penyakit

  • Menyusun pemodelan yang mampu menangani karakteristik data ekstrem untuk memberikan gambaran persebaran kasus yang lebih akurat

2 Tinjauan Pustaka

2.1 Transmisi Filariasis

Filariasis disebabkan oleh spesies cacing filaria, yaitu Wucheria brancofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Spesies cacing tersebut dibawa oleh nyamuk yang membawa larvanya dan kemudian menggigit manusia. Selanjutnya larva tersebut akan berkembang menjadi cacing filaria dewasa dan menghasilkan mikrofilaria yang bermigrasi ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Diagnosis seseorang terjangkit Filariasis adalah ketika terdeteksi adanya mikrofilaria di dalam darah seseorang, walaupun belum menunjukkan gejala yang umumnya diketahui seperti pembengkakan. Pembengkakan pada bagian tubuh tersebut akan terjadi dalam kurun waktu tahunan, ketika mikrofilaria semakin banyak dan menyumbat pembuluh limfa dan pembuluh darah. Adapun proses transmisi Filariasis dapat dilihat seperti berikut.

2.2 Faktor Agent-Host-Environment

Agent merupakan mikroorganisme atau pathogen seperti virus, bakteri, parasit, yang menyebabkan penyakit muncul. Pada Filariasis, agent disini adalah parasit berupa cacing filaria. Sementara itu, inang atau perantara bagi cacing ini adalah nyamuk. Dikarenakan mikrofilaria terdapat di pembuluh darah, hal tersebut akan mempermudah penularan dengan melalui nyamuk yang kemudian menggigit manusia. Host disini merupakan manusia yang dapat diinfeksi oleh agen. Manusia yang sudah memiliki mikrofilaria pada darahnya sudah dapat dikatakan sebagai penderita Filariasis. Faktor Environment merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi peluang terjadinya kontak antara host dan agen. Pada penyakit filariasis, lingkungan dengan sanitasi yang kurang layak akan memiliki resiko lebih tinggi. Hal ini dikarenakan habitat sebagian besar spesies nyamuk adalah genangan air. Selain itu, beberapa spesies nyamuk penular filariasis juga hidup di perairan yang tercemar, sehingga adanya sanitasi yang layak dapat menurunkan resiko Filariasis dikarenakan meminimalisir adanya nyamuk dan kemungkinan untuk tertular. Selain itu, kepadatan penduduk juga dapat meningkatkan resiko tertularnya Filariasis yang lebih tinggi. Lingkungan dengan tempat tinggal yang berdekatan akan memungkinkan nyamuk untuk menularkan Filariasis kepada banyak orang dalam waktu singkat sehingga mempercepat laju kasus.

2.3 Desain Studi

Desain studi dalam epidemiologi secara umum dibagi menjadi dua kategori yaitu studi observasional dan eksperimental. Studi observasional seperti Cross-Sectional, Case-Control, dan Cohort memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Namun, dikarenakan kompleksitas dari data Filariasis sendiri dimana jumlah kasus baru seringkali 0, diperlukan adanya pendekatan yang lebih sesuai dan memiliki kemampuan dalam menangkap data kompleks. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pendekatan Bayesian untuk dapat menangkap struktur data yang kompleks

3 Metodologi

3.1 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari laporan resmi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, yaitu Profil Kesehatan Indonesia selama periode tahun 2019-2024 dan BPS. Data yang digunakan sebagai unit observasi dalam penelitian mencakup semua 34 provinsi di Indonesia. Dikarenakan pada tahun 2023 dan 2024 telah terjadi pemekaran di provinsi Papua, data di wilayah pemekaran tersebut tidak diikutsertakan sebagai suatu provinsi baru, melainkan dimasukkan ke dalam provinsi Papua sebelum pemekaran. Data yang digunakan diagregasi pada tingkat administrasi dan setiap provinsi dilihat sebagai satuan geografis yang mewakili satu observasi. Variabel-variabel yang digunakan adalah sebagai berikut:

  • Variabel Filariasis merupakan jumlah kasus baru yang terjadi di masing-masing provinsi pada setiap tahunnya. Variabel ini akan menjadi variabel dependen yang akan dibuatkan model dan dilakukan mapping. Selain itu, terdapat juga kumulatif jumlah kematian dari Filariasis selama 6 tahun untuk melihat provinsi dengan kasus kematian tertinggi.

  • Variabel independen pertama yaitu Kepadatan Penduduk per Km untuk melihat apakah variabel ini memengaruhi variabel dependen dan apakah terdapat aspek autokorelasi spasial

  • Variabel independen kedua yaitu Rumah Tangga yang Memiliki Akses Sanitasi Layak untuk melihat apakah variabel ini memengaruhi variabel dependen dan apakah terdapat aspek autokorelasi spasial

  • Jumlah penduduk per provinsi digunakan sebagai Log Offset atau Baseline Populasi supaya model secara otomatis melakukan standardisasi terhadap perbedaan ukuran penduduk antar provinsi

4 Hasil dan Pembahasan

4.1 Dashboard

Berikut adalah link untuk dashboard yang telah dibuat:

https://filariasis-analysis-in-indonesia.streamlit.app/

Link Penjelasan:

https://youtu.be/l7lUIquNUDg

4.2 Kematian Akibat Filariasis

Dari peta penyebaran kasus kematian, terlihat adanya ketimpangan yang signifikan mengenai angka kematian secara kumulatif pada 34 Provinsi di Indonesia dalam kurun waktu 6 tahun terakhir. Provinsi Papua Barat memiliki angka kematian tertinggi di tingkat nasional, dengan jumlah kematian yaitu sebanyak 811 kasus. Angka tersebut sangat jauh dan berbanding terbalik dengan angka kematian yang ada di Provinsi Yogyakarta dan Sulawesi Barat, dimana kematian yang tercatat hanya sebanyak 1 kasus. Perbedaan yang drastis ini mengindikasikan adanya perbedaan dalam karakteristik lingkungan yang membuat eliminasi Filariasis menjadi lebih sulit dan keterlambatan dalam penanganan kasus kronis. Selain itu, faktor lain seperti adanya perbedaan pada tingkat sanitasi layak juga mendorong fakta bahwa kondisi alam di daerah Timur Indonesia lebih sulit untuk dijangkau, sehingga perlu adanya intervensi dengan prioritas untuk memutus mata rantai vektor nyamuk secara permanen.

4.3 Variabel yang Memengaruhi Kasus Filariasis

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Forest Plot, variabel sanitasi layak dan kepadatan penduduk menunjukkan kecenderungan sebagai prediktor yang memengaruhi kemunculan kasus baru filariasis, meskipun secara statistik hasilnya tidak signifikan karena garis interval kepercayaan memotong angka nol. Hasil ini memberikan informasi bahwa meskipun secara teori sanitasi layak dan kepadatan penduduk mempermudah transmisi nyamuk dan penyakit, data yang digunakan menunjukkan variansi yang sangat ekstrem dan menyebabkan model menjadi kurang presisi, dilihat berdasarkan rentang interval kepercayaan yang cukup lebar dan memotong garis angka 0. Ketidaksignifikanan secara statistik ini bukan berarti bahwa kedua variabel tersebut tidak berpengaruh, melainkan menunjukkan bahwa faktor lingkungan dan kependudukan saja belum cukup untuk menjelaskan dinamika kasus tanpa melibatkan variabel lain seperti aksesibilitas layanan kesehatan dan efektivitas program pengobatan massal yang sangat timpang antarwilayah.

4.4 Pemodelan Akhir

Pemodelan pada data Filariasis di Indonesia awalnya dilakukan dengan menggunakan model Binomial Negatif. Namun, dikarenakan model tersebut tidak dapat mencakup aspek spasial dan temporal, selanjutnya dilakukan analisis menggunakan model crude BYM. Dikarenakan hasil pada model Crude BYM belum dapat menggambarkan pola spasial yang jelas dikarenakan karakteristik data yang memiliki variansi sangat ekstrem antarwilayah, selanjutnya data dimodelkan dengan menggunakan model BYM2, yang lebih mampu menangkap aspek spasial yang terukur dan tidak terukur. Di antara ketiga model tersebut, model BYM2 dipilih sebagai model akhir karena kerangkanya paling lengkap dalam merepresentasikan kompleksitas data. Meskipun nilai r-hat yang dimiliki model masih berada di atas 1.05 yang menunjukkan adanya divergensi pada model, hal ini merupakan konsekuensi dari tingginya heterogenitas data antarprovinsi yang ekstrem, sehingga model BYM2 tetap menjadi pilihan paling representatif dalam mengakomodasi fluktuasi data tersebut dibandingkan model standar lainnya.

5 Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil analisis dan pemodelan yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat ketimpangan pada angka kematian kumulatif Filariasis yang sangat ekstrem di Indonesia, dimana provinsi Papua Barat mencatat angka kematian sebanyak 811 kasus sedangkan Yogyakarta dan Sulawesi Barat mencatat angka kematiam hanya 1 kasus dalam kurun waktu 6 tahun. Selain itu, didapatkan hasil bahwa variabel sanitasi layak dan kepadatan penduduk tidak menunjukkan signifikansi terhadap jumlah kasus baru Filarisis, yang mungkin disebabkan oleh tingginya heterogenitas antardata, sehingga diperlukan adanya interaksi dan faktor variabel lain yang mungkin memengaruhi jumlah kasus baru Filariasis. Dari hasil pemodelan jumlah kasus baru Filariasis juga ditemukan bahwa model BYM2 adalah model yang paling representatif untuk menangani data dengan varians ekstrem, meskipun masih terdapat divergensi dari nilai r-hat, hal tersebut adalah sebagai konsekuensi dari data yang bersifat asimetris, sehingga model BYM2 masih menjadi model terbaik jika dibandingkan dengan model lainnya yaitu Binomial Negatif atau Crude BYM

6 Referensi

Rahmi, I. R., Sutiningsih, D., Hestiningsih, R., & Saraswati, L. D. (2022). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kasus Filariasis di Indonesia: Sistematik Review. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas, 7(2), 501-521.

Wulandari, D., Ginandjar, P., Yuliawati, S., & Udijono, A. (2020). Systematic review distribusi spasial vektor penyakit filariasis di daerah endemis filariasis. Jurnal Ilmiah Mahasiswa, 10(4), 123-128.

World Health Organization. (2024, June 1). Lymphatic filariasis. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/lymphatic-filariasis

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2024, Januari 31). Indonesia percepat eliminasi kusta dan filariasis, target bebas NTDs pada 2030. https://kemkes.go.id/id/indonesia-percepat-eliminasi-kusta-dan-filariasis-target-bebas-ntds-pada-2030

World Health Organization. (2024, Oktober 10). Indonesia launches final push to eliminate lymphatic filariasis, leprosy and yaws. https://www.who.int/indonesia/id/news/detail/10-10-2024-indonesia-launches-final-push-to-eliminate-lymphatic-filariasis--leprosy-and-yaws