BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Data spasial adalah data yang berkaitan dengan lokasi berdasarkan geografi yang terdiri dari lintang-bujur dan wilayah. Analisis data spasial tidak dapat dilakukan secara global, artinya setiap lokasi mempunyai karakteristik sendiri. Sebagian besar pendekatan analisisnya merupakan eksplorasi data yang disajikan dalam bentuk peta tematik. Peta tematik juga disebut sebagai peta statistik atau peta tujuan khusus, menghasilkan gambaran penggunaan ruangan pada tempat tertentu sesuai dengan tema yang diinginkan. Berbeda dengan peta rujukan yang memperlihatkan pengkhususan geografi (hutan, jalan, perbatasan administratif), peta-peta tematik lebih menekankan variasi penggunaan ruangan daripada sebuah jumlah atau lebih dari distribusi geografis. Distribusi geografis bisa berupa fenomena fisikal, seperti iklim atau ciri-ciri khas manusia seperti kepadatan penduduk atau permasalahan kesehatan (Pfeiffer, 2008).

Interpolasi spasial merupakan salah satu pendekatan penting dalam analisis data keruangan, terutama ketika informasi yang tersedia hanya berupa titik-titik pengamatan yang tersebar tidak merata di suatu wilayah. Dalam banyak bidang—seperti geografi, lingkungan, kehutanan, geologi, agronomi, hingga kesehatan masyarakat—data terukur sering kali tidak mencakup seluruh area studi karena keterbatasan biaya, akses lapangan, atau waktu. Interpolasi digunakan untuk “mengisi” kekosongan tersebut dengan memperkirakan nilai suatu variabel pada lokasi yang tidak terukur berdasarkan pola kedekatan dan hubungan spasial antar titik data yang tersedia. Dengan cara ini, interpolasi memungkinkan pembuatan peta kontinyu, visualisasi pola spasial, serta mendukung pengambilan keputusan berbasis peta.

1.2 Rumusan Masalah

  1. Bagaimana cara melakukan interpolasi IDW dengan menggunakan R?
  2. Bagaimana melakukan interpolasi Kriging dengan menggunakan R?

1.3 Tujuan

  1. Mahasiswa dapat melakukan interpolasi IDW dengan menggunakan R
  2. Mahasiswa dapat melakukan interpolasi Kriging dengan menggunakan R

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Analisis data spasial

Analisis data spasial adalah proses pengolahan dan interpretasi data yang memiliki referensi geografis, di mana setiap observasi dikaitkan dengan koordinat tertentu di permukaan bumi. Berbeda dari data non-spasial, data spasial menunjukkan spatial dependence, yaitu kecenderungan lokasi-lokasi berdekatan memiliki karakteristik yang mirip, sebagaimana dinyatakan dalam Hukum Geografi Pertama oleh Tobler bahwa “segala sesuatu berhubungan satu sama lain, namun yang dekat lebih berhubungan daripada yang jauh (Tobler, 1998) Ketergantungan spasial inilah yang menuntut penggunaan teknik analisis khusus yang mampu mengenali pola, kluster, dan variasi keruangan. Menurut Anselin, pendekatan seperti Exploratory Spatial Data Analysis (ESDA) dan model ekonometrika spasial menjadi alat penting untuk memahami struktur spasial dalam berbagai aplikasi, mulai dari lingkungan, ekonomi, kependudukan hingga perencanaan wilayah (Anselin, 2020) Dengan demikian, analisis data spasial berperan penting dalam menghasilkan pemahaman yang lebih akurat terhadap fenomena yang dipengaruhi oleh lokasi.

2.2 Interpolasi data

Interpolasi data merupakan teknik untuk memperkirakan nilai suatu variabel pada lokasi atau titik yang belum diukur berdasarkan nilai pada titik-titik terdekat. Metode ini muncul dari kebutuhan untuk mengisi celah data—misalnya dalam peta curah hujan, kualitas tanah, temperatur, atau elevasi—sehingga informasi dapat direpresentasikan secara kontinu. Menurut Burrough dan McDonnell, interpolasi berfungsi menciptakan surface atau permukaan estimasi yang menggambarkan perubahan nilai secara spasial Interpolasi dapat bersifat deterministik, yang mengandalkan fungsi matematis, maupun geostatistik yang mempertimbangkan pola variabilitas spasial melalui model variogram. Pemilihan metode sangat dipengaruhi oleh karakteristik data dan tujuan analisis, sehingga pemahaman terhadap struktur penyebaran data sangat diperlukan agar hasil estimasi representatif (Putra dkk, 2022)

2.3 Metode IDW dan kriging

Metode interpolasi spasial deterministik seperti IDW tetap populer karena kesederhanaannya dan kemampuannya menghasilkan permukaan kontinu dari data titik terbatas — “one of the most used deterministic interpolation models to generate continuous surfaces such as digital elevation models from sparse point measurements(Respati, S., & Sulistyo, T.2023)Namun, dalam banyak studi perbandingan, geostatistik melalui Kriging menunjukkan performa yang lebih baik secara statistik. Misalnya, dalam estimasi bahan organik tanah, Kriging dengan variogram Gaussian memberikan nilai RMSE terendah dibandingkan IDW, meskipun IDW menghasilkan estimasi yang mendekati data sampel(Arif, N. 2023) Selain itu, pada pemetaan kualitas air dan resistensi terhadap longsor, penerapan Kriging (dan kadang dipadukan dengan IDW) menunjukkan bahwa pilihan metode interpolasi sangat memengaruhi hasil prediksi spasial (Dewi, R. B. A. S., dkk. 2023) Oleh karena itu, analisis spasial yang baik tidak hanya mengandalkan metode yang populer, tetapi juga mempertimbangkan karakteristik data dan tujuan studi.

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Sumber Data

data yang digunakan berasal dari data tugas mahasiswa

3.2 Variabel Penelitian

variabel yang digunakan ada variabel x sebagai koordinat horizontal,y sebagai koordinat vertikal, dan z sebagai nilai variabel yang diukur

3.3 Langkah-langkah Analisis

adapun langkah-langkah analisis yang dilakukan adalah 1. Buka program R 2. Masukkan data yang digunakan 3. Buat titik prediksi 4. Jalankan IDW 5. Interpolasi kriging 6. interpretasikan hasil 7. kesimpulan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 library yang digunakan

library(sp)
library(gstat)

4.2 Data yang digunakan

X <- c(61, 63, 64, 68, 71, 73, 75)
Y <- c(139, 140, 129, 128, 140, 141, 128)
Z <- c(477, 696, 227, 646, 606, 791, 783)
data.sample <- data.frame(X, Y, Z)
coordinates(data.sample) <- ~X+Y

4.3 titik prediksi yang belum diukur

pred <- data.frame(
  X = c(65, 67, 70),      # titik prediksi boleh lebih dari 1
  Y = c(137, 130, 135)
)
coordinates(pred) <- ~X+Y

4.4 Interpolasi IDW

idw.mod <- idw(Z ~ 1, locations = data.sample,
               newdata = pred, idp = 2)
## [inverse distance weighted interpolation]
cat("\n=== HASIL IDW ===\n")
## 
## === HASIL IDW ===
print(idw.mod@data)
##   var1.pred var1.var
## 1  597.6204       NA
## 2  529.7585       NA
## 3  620.3768       NA

Hasil interpolasi IDW menunjukkan bahwa ketiga titik prediksi menghasilkan nilai estimasi masing-masing sebesar 597.62, 529.76, dan 620.38, yang merupakan nilai rata-rata berbobot dari titik-titik sampel terdekat berdasarkan jaraknya. Nilai ini menggambarkan bagaimana IDW memberikan estimasi yang lebih dipengaruhi oleh sampel yang lokasinya paling dekat dengan titik prediksi. Sementara itu, kolom var1.var berisi NA karena metode IDW bersifat deterministik dan tidak menghitung varians prediksi seperti yang dilakukan oleh kriging; oleh karena itu, paket gstat secara otomatis mengisi kolom varians dengan NA sebagai placeholder tanpa nilai yang dapat dihitung.

4.5 Kriging

# 5A. Membuat variogram empiris
vg.emp <- variogram(Z ~ 1, data.sample)

# 5B. Menentukan model variogram Gaussian
vg.model <- vgm(psill = 30000, model = "Gau",
                range = 20, nugget = 10000)

# 5C. Fit variogram ke data
vg.fit <- fit.variogram(vg.emp, vg.model)
## Warning in fit.variogram(vg.emp, vg.model): singular model in variogram fit
cat("\n=== VARIOGRAM MODEL YANG DIPAKAI ===\n")
## 
## === VARIOGRAM MODEL YANG DIPAKAI ===
print(vg.fit)
##   model psill range
## 1   Nug 10000     0
## 2   Gau 30000    20
# 5D. Ordinary Kriging
krig.mod <- krige(Z ~ 1, data.sample, pred,
                  model = vg.fit)
## [using ordinary kriging]
cat("\n=== HASIL KRIGING (GAUSSIAN) ===\n")
## 
## === HASIL KRIGING (GAUSSIAN) ===
print(krig.mod@data)
##   var1.pred var1.var
## 1  563.8214 12429.63
## 2  537.9222 12827.11
## 3  634.5305 12612.37

Hasil interpolasi menggunakan metode Ordinary Kriging dengan model variogram Gaussian menunjukkan bahwa nilai prediksi pada tiga titik lokasi yang belum diukur masing-masing adalah 563.82, 537.92, dan 634.53. Nilai-nilai ini merupakan estimasi yang mempertimbangkan struktur spasial data melalui variogram yang telah difit—dalam hal ini kombinasi nugget dan model Gaussian dengan range 20. Berbeda dengan IDW, kriging juga memberikan nilai varian prediksi yang menggambarkan tingkat ketidakpastian estimasi pada setiap lokasi, yaitu sekitar 12.429, 12.827, dan 12.612. Varians yang tidak nol ini menunjukkan bahwa kriging memperhitungkan kualitas informasi spasial di sekitar titik prediksi; semakin jauh lokasi dari titik sampel, semakin besar ketidakpastiannya.

##4.6 Plot variogram dan hasil interpolasi

par(mfrow=c(1,2))
plot(vg.emp, vg.fit, main="Variogram Gaussian")

spplot(krig.mod["var1.pred"], main="Peta Hasil Kriging")

Peta Hasil Kriging Peta ini menggambarkan nilai prediksi hasil ordinary kriging pada beberapa titik estimasi. Warna yang berbeda menunjukkan kisaran nilai hasil prediksi: titik berwarna biru tua mewakili nilai yang relatif lebih rendah (sekitar 537–557), sedangkan warna yang semakin terang menuju kuning menandakan nilai yang lebih tinggi (hingga sekitar 634). Persebaran warna menunjukkan bahwa variasi spasial cukup jelas, di mana area tertentu memiliki nilai prediksi yang lebih tinggi sementara area lain lebih rendah. Karena titik observasi sangat sedikit, pola spasial yang terlihat pada peta masih sangat bergantung pada struktur variogram yang digunakan dalam kriging, sehingga peta ini lebih menunjukkan pola interpolasi model dibanding kondisi spasial yang benar-benar stabil.

Variogram Gaussian (Model Terpasang) Grafik variogram menunjukkan hubungan antara jarak (distance) dan semivarian berdasarkan model Gaussian yang dipasang. Tampak bahwa hanya ada sedikit titik empirical variogram (karena data sangat terbatas), sehingga kurva model tampak hampir datar dengan kenaikan yang relatif kecil hingga jarak sekitar 2, lalu melompat lebih tinggi pada jarak di atas 4. Ini merefleksikan bahwa range model Gaussian relatif kecil, sehingga perubahan nilai antar titik yang berada dalam jarak dekat dianggap sangat mirip, sementara perbedaan tiba-tiba muncul ketika jarak semakin besar. Dengan struktur variogram yang seperti ini, model kriging cenderung “menghaluskan” prediksi dan menghasilkan variasi spasial yang tidak terlalu tajam.

BAB V KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Interpolasi IDW di R dilakukan dengan paket gstat menggunakan fungsi idw(), setelah data spasial dan grid prediksi disiapkan. Metode ini memberi bobot lebih besar pada titik yang dekat dengan lokasi estimasi, sehingga hasilnya bergantung kuat pada jarak antar titik. Prosesnya sederhana dan terutama dipengaruhi oleh parameter power serta distribusi titik sampel.

Kriging di R melibatkan perhitungan variogram, pemasangan model menggunakan fit.variogram(), dan prediksi dengan krige(). Variogram menjadi kunci karena menggambarkan hubungan spasial antar titik. Dengan model variogram yang sesuai, kriging menghasilkan estimasi lebih optimal dan menyediakan nilai ketidakpastian prediksi.

IDW memberi estimasi berdasarkan kedekatan jarak tanpa mempertimbangkan struktur spasial, sehingga hasilnya lebih sederhana. Kriging memberikan prediksi yang lebih informatif karena memanfaatkan variogram, meskipun sensitif pada jumlah dan sebaran data. Secara umum, keduanya efektif, tetapi kriging lebih unggul ketika pola spasial dapat dimodelkan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Respati, S., & Sulistyo, T. (2023). The effect of the number of inputs on the spatial interpolation of elevation data using IDW and ANNs. Geodesy & Cartography, 49(1), 60–65. VGTU Journals

Dewi, R. B. A. S., dkk. (2023). Comparison of Interpolation Methods for Mapping Water Quality in Seloromo Reservoir. Indonesian Journal of Limnology. inajl.org

Arif, N. (2023). Studi Komparasi Kriging dan IDW untuk Estimasi Spasial Bahan Organik Tanah di DAS Serang Kulonprogo. Geomedia.

Putra, S. A., Langi, Y. A. R., & Takaendengan, M. I. (2022). Application of GIS and Computational Interpolation Algorithms (Kriging and IDW) for Landslide Susceptibility Mapping. Indonesian Journal of Intelligence Data Science, 1(1), 13–22.