Analisis data spasial memiliki berbagai fungsi, di antaranya melakukan identifikasi pola spasial untuk memahami hubungan antara variabel dengan lokasi geografisnya. Kemudian melakukan pemetaan untuk melakukan visualisasi dan memahami sebaran data dan pola spasial yang ada. Selanjutnya identifikasi cluster atau kelompok, hal ini dapat membantu dalam pengambilan keputusan dalam berbagai bidang seperti perencanaan kota dan pengembangan bisnis. Kemudian memprediksi perubahan yang mungkin terjadi di masa depan seperti perubahan iklim atau kepadatan penduduk. Selanjutnya sebagai peningkatan efisiensi agar dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi dalam pengambilan keputusan, perencanaan, dan pengelolaan sumber daya. Fenomena spasial dalam ilmu sosial sering kali menunjukkan bahwa suatu kejadian tidak tersebar secara acak di ruang geografis, melainkan membentuk pola tertentu yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di sekitarnya. Dalam konteks kriminologi dan perencanaan wilayah, tingkat kriminalitas pada suatu daerah umumnya berkaitan erat dengan karakteristik wilayah yang berdekatan. Pola pengelompokan (clustering) nilai yang serupa dapat muncul akibat faktor ekonomi, sosial, demografis, maupun karakteristik fisik permukiman1. Untuk mengidentifikasi keberadaan pola tersebut, analisis autokorelasi spasial menjadi metode penting yang memungkinkan peneliti melihat apakah nilai suatu variabel pada satu lokasi memiliki hubungan struktural dengan nilai pada lokasi-lokasi lain di sekitarnya. Autokorelasi spasial dapat dianalisis melalui dua ukuran statistik utama, yaitu Indeks Moran (Moran’s I) dan Koefisien Geary (Geary’s C).
Data spasial adalah data yang berkaitan dengan lokasi berdasarkan geografi yang terdiri dari lintang-bujur dan wilayah. Analisis data spasial tidak dapat dilakukan secara global, artinya setiap lokasi mempunyai karakteristik sendiri. Sebagian besar pendekatan analisisnya merupakan eksplorasi data yang disajikan dalam bentuk peta tematik. Peta tematik juga disebut sebagai peta statistik atau peta tujuan khusus, menghasilkan gambaran penggunaan ruangan pada tempat tertentu sesuai dengan tema yang diinginkan. Berbeda dengan peta rujukan yang memperlihatkan pengkhususan geografi (hutan, jalan, perbatasan administratif), peta-peta tematik lebih menekankan variasi penggunaan ruangan daripada sebuah jumlah atau lebih dari distribusi geografis. Distribusi geografis bisa berupa fenomena fisikal, seperti iklim atau ciri-ciri khas manusia seperti kepadatan penduduk atau permasalahan kesehatan (Pfeiffer, 2008).
Suatu data yang sudah diperoleh selanjutnya perlu dilakukan visualisasi data supaya data dapat dijelaskan dengan baik dan diinterpretasikan dengan mudah. Visualisasi data merupakan bagian yang sangat penting untuk mengkomunikasikan hasil analisis yang telah kita lakukandan dapat membantu kita dalam memutuskan metode analisis yang tepat pada data tersebut. Selain itu, visualisasi data juga mempermudah untuk menarik kesimpulan dengan melihat tren atau pola yang ada. Mengetahui keberadaan pencilan dan berusaha memahaminya juga dimungkinkan dengan adanya visualisasi data. Visualisasi data baik kualitatif ataupun kuantitatif dapat berbentuk bermacam-macam hal. Meskipun secara umum, visualisasi data kuantitatif akan berupa grafik dan visualisasi data kualitatif akan berupa diagram atau peta (Anonim, 2020).
##Autokorelasi Spasial
Autokorelasi spasial merupakan konsep penting dalam analisis data geografis karena menggambarkan sejauh mana suatu fenomena memiliki kemiripan atau keterkaitan berdasarkan kedekatan lokasi. Dalam banyak kasus, data spasial tidak tersebar secara acak, melainkan menunjukkan pola tertentu seperti pengelompokan (clustering) atau penyebaran (dispersion) yang dipengaruhi oleh hubungan antarwilayah. Cliff dan Ord (1973) menjelaskan bahwa autokorelasi spasial adalah korelasi suatu variabel dengan dirinya sendiri di ruang geografis, sehingga nilai yang muncul pada suatu wilayah dapat berkaitan dengan nilai di wilayah tetangganya.
##Jenis autokorelasi spasial
Terdapat dua jensi pengujian autokorelasi spasial, diantanya Moran’s I digunakan sebagai ukuran global dalam mengidentifikasi apakah suatu fenomena membentuk pengelompokan nilai tinggi maupun rendah dalam skala keseluruhan wilayah (Moran, 1950). Sementara itu, Geary’s C memberikan perspektif yang lebih sensitif terhadap variasi lokal antarwilayah bertetangga dan membantu memahami dinamika yang terjadi dalam skala mikro (Cliff & Ord, 1981). Anselin (1995) kemudian memperluas pendekatan ini melalui pengembangan LISA untuk mengidentifikasi klaster spasial lokal yang tidak terlihat oleh statistik global. Secara keseluruhan, autokorelasi spasial menjadi fondasi penting dalam analisis data spasial karena fenomena geografis pada umumnya tidak terjadi secara acak, sehingga pola ketergantungan spasial harus diperhitungkan dalam penelitian (Bivand, Pebesma, & Gómez-Rubio, 2013).
Jenis data yang digunakan dalam praktikum ini adalah dataset yang bersumber dari bawaan paket “spData” yaitu “colombus” dalam R
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. CRIME — tingkat kriminalitas 2. INC — pendapatan 3. HOVAL — nilai rumah 4. Geometri polygon tiap wilayah
## Linking to GEOS 3.13.1, GDAL 3.11.4, PROJ 9.7.0; sf_use_s2() is TRUE
## Loading required package: spData
## To access larger datasets in this package, install the spDataLarge
## package with: `install.packages('spDataLarge',
## repos='https://nowosad.github.io/drat/', type='source')`
## [[1]]
## [1] 2 3
## [[1]]
## [1] 3 4 6 8 9 11 15 16
## [[1]]
## [1] 2 3
##
## [[2]]
## [1] 1 3 4
##
## [[3]]
## [1] 1 2 4 5
##
## [[4]]
## [1] 2 3 5 8
##
## [[5]]
## [1] 3 4 6 8 9 11 15 16
##
## [[6]]
## [1] 5 9
##
## [[7]]
## [1] 8 12 13 14
##
## [[8]]
## [1] 4 5 7 11 12 13
##
## [[9]]
## [1] 5 6 10 15 20 22 25 26
##
## [[10]]
## [1] 9 17 20 22
##
## [[11]]
## [1] 5 8 12 15 16
##
## [[12]]
## [1] 7 8 11 13 14 16
##
## [[13]]
## [1] 7 8 12 14
##
## [[14]]
## [1] 7 12 13 16 18 19
##
## [[15]]
## [1] 5 9 11 16 25 26
##
## [[16]]
## [1] 5 11 12 14 15 18 24 25
##
## [[17]]
## [1] 10 20 23
##
## [[18]]
## [1] 14 16 19 24
##
## [[19]]
## [1] 14 18 24
##
## [[20]]
## [1] 9 10 17 22 23 27 32 33 35 40
##
## [[21]]
## [1] 24 30 34
##
## [[22]]
## [1] 9 10 20 26 27 28
##
## [[23]]
## [1] 17 20 32
##
## [[24]]
## [1] 16 18 19 21 25 29 30
##
## [[25]]
## [1] 9 15 16 24 26 28 29 30
##
## [[26]]
## [1] 9 15 22 25 28 29
##
## [[27]]
## [1] 20 22 28 33
##
## [[28]]
## [1] 22 25 26 27 29 33 35 37 38
##
## [[29]]
## [1] 24 25 26 28 30 37 38
##
## [[30]]
## [1] 21 24 25 29 37
##
## [[31]]
## [1] 34 36 39
##
## [[32]]
## [1] 20 23 40 41
##
## [[33]]
## [1] 20 27 28 35
##
## [[34]]
## [1] 21 31 36 42
##
## [[35]]
## [1] 20 28 33 38 40 43 44
##
## [[36]]
## [1] 31 34 39 42 46
##
## [[37]]
## [1] 28 29 30 38 43 45
##
## [[38]]
## [1] 28 29 35 37 43 44
##
## [[39]]
## [1] 31 36 46
##
## [[40]]
## [1] 20 32 35 41 47
##
## [[41]]
## [1] 32 40 47
##
## [[42]]
## [1] 34 36
##
## [[43]]
## [1] 35 37 38 44 45 48
##
## [[44]]
## [1] 35 38 43 48 49
##
## [[45]]
## [1] 37 43 48 49
##
## [[46]]
## [1] 36 39
##
## [[47]]
## [1] 40 41
##
## [[48]]
## [1] 43 44 45 49
##
## [[49]]
## [1] 44 45 48
Hasil daftar neighbors di atas menunjukkan struktur keterhubungan spasial antar wilayah dalam data Columbus berdasarkan aturan queen contiguity, yaitu dua wilayah dianggap bertetangga jika berbagi sisi atau titik sudut. Setiap baris keluaran menampilkan daftar indeks wilayah lain yang berbatasan langsung dengan wilayah tertentu; misalnya wilayah 1 bertetangga dengan wilayah 2 dan 3, sedangkan wilayah 5 memiliki tetangga yang jauh lebih banyak (wilayah 3, 4, 6, 8, 9, 11, 15, dan 16). Daftar lengkap untuk wilayah 1 hingga 49 memberikan gambaran bahwa pola keterhubungan spasial di dataset ini tidak seragam—ada wilayah yang hanya memiliki satu atau dua tetangga, sementara wilayah lain memiliki lebih dari enam tetangga.
##4.4 Membuat Spatial Weight Matrix (style = “B”)
##4.5 Pegujian autokorelasi
# ---- 5A. Moran's I ----
moran_result <- moran.test(columbus_sp$CRIME,
lw,
zero.policy = TRUE)
print(moran_result)##
## Moran I test under randomisation
##
## data: columbus_sp$CRIME
## weights: lw
##
## Moran I statistic standard deviate = 6.2115, p-value = 2.624e-10
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## 0.515461437 -0.020833333 0.007454394
# ---- 5B. Geary's C ----
geary_result <- geary.test(columbus_sp$CRIME,
lw,
zero.policy = TRUE)
print(geary_result)##
## Geary C test under randomisation
##
## data: columbus_sp$CRIME
## weights: lw
##
## Geary C statistic standard deviate = 3.7945, p-value = 7.397e-05
## alternative hypothesis: Expectation greater than statistic
## sample estimates:
## Geary C statistic Expectation Variance
## 0.59161132 1.00000000 0.01158343
Hasil untuk moran’s Hasil uji Moran’s I menunjukkan bahwa nilai statistik Moran’s I sebesar 0.515 jauh lebih tinggi dari nilai ekspektasinya di bawah kondisi tanpa autokorelasi (–0.0208). Nilai standard deviate yang sangat besar (6.21) dan p-value yang sangat kecil (2.62 × 10⁻¹⁰) mengindikasikan bahwa pola spasial yang muncul bukan terjadi secara kebetulan. Dengan kata lain, terdapat autokorelasi spasial positif yang kuat pada variabel CRIME di wilayah Columbus, yang berarti wilayah dengan tingkat kriminalitas tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah yang juga memiliki kriminalitas tinggi, dan begitu pula wilayah dengan kriminalitas rendah cenderung berkelompok dengan wilayah yang rendah. Temuan ini menegaskan adanya pola pengelompokan (spatial clustering) yang signifikan dalam distribusi kriminalitas.
Hasil untuk Geary Hasil uji Geary’s C menunjukkan nilai C = 0.592, yang lebih kecil dari nilai ekspektasinya (1.0), sehingga mengindikasikan adanya autokorelasi spasial positif pada variabel CRIME di wilayah Columbus. Nilai standard deviate yang tinggi (3.79) serta p-value yang sangat kecil (7.39 × 10⁻⁵) menegaskan bahwa pola spasial tersebut signifikan secara statistik. Interpretasinya adalah bahwa wilayah-wilayah dengan tingkat kriminalitas yang mirip—baik tinggi maupun rendah—cenderung saling berdekatan secara geografis. Dibanding Moran’s I, Geary’s C lebih sensitif terhadap perbedaan lokal, sehingga hasil ini memperkuat temuan bahwa terdapat keterkaitan spasial yang konsisten dan membentuk pola pengelompokan kriminalitas dalam skala wilayah yang lebih rinci.
##Plot moran’s
moran.plot(columbus_sp$CRIME,
lw,
zero.policy = TRUE,
main = "Moran Plot untuk Variabel CRIME (Columbus)",
xlab = "Nilai CRIME")
Moran Plot pada variabel CRIME di Columbus menunjukkan hubungan positif
yang jelas antara nilai kriminalitas suatu wilayah dengan rata-rata
nilai kriminalitas di wilayah tetangganya, yang tampak dari garis
regresi yang memiliki kemiringan positif. Titik-titik data tersebar
terutama pada kuadran kanan-atas dan kiri-bawah, menandakan bahwa
wilayah dengan kriminalitas tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah
yang juga tinggi, sedangkan wilayah dengan kriminalitas rendah cenderung
bertetangga dengan wilayah rendah.
Analisis autokorelasi spasial dengan Indeks Moran berhasil menunjukkan pola keterkaitan spasial pada variabel yang dianalisis, di mana nilai Moran’s I yang positif dan signifikan mengindikasikan bahwa wilayah-wilayah dengan nilai atribut yang serupa cenderung berdekatan atau membentuk klaster. Proses analisisnya mencakup pembentukan spatial weights, perhitungan Moran’s I, dan pengujian signifikansi, yang secara keseluruhan memungkinkan peneliti memahami apakah data memiliki pola mengelompok, menyebar, atau acak secara spasial. Hasil penelitian menunjukkan adanya autokorelasi positif yang kuat, sehingga Moran’s I efektif digunakan untuk mengidentifikasi pola spasial global pada data.
Koefisien Geary memberikan perspektif tambahan mengenai dependensi spasial dengan sensitivitas yang lebih tinggi terhadap variasi lokal antarwilayah. Nilai Geary’s C yang lebih kecil dari satu serta signifikan secara statistik menunjukkan bahwa wilayah-wilayah yang bertetangga memiliki nilai atribut yang mirip, sehingga memperkuat temuan adanya pengelompokan spasial. Dengan menghitung hubungan perbedaan nilai antarwilayah yang bersebelahan, Geary’s C memungkinkan analisis yang lebih peka terhadap perbedaan lokal dan membantu mengonfirmasi pola autokorelasi yang ditemukan melalui Moran’s I. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa kedekatan geografis sangat berkaitan dengan kemiripan karakteristik antarwilayah.
Secara keseluruhan, hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel kriminalitas pada wilayah Columbus mempunyai autokorelasi spasial positif yang kuat, ditandai oleh nilai Moran’s I yang signifikan dan Geary’s C yang lebih kecil dari satu. Kedua indikator tersebut secara konsisten menunjukkan bahwa wilayah dengan nilai kriminalitas tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah bernilai tinggi lainnya, begitu pula wilayah dengan nilai rendah membentuk klaster sendiri. Temuan ini menegaskan bahwa pola spasial tidak terjadi secara acak, melainkan dipengaruhi oleh kedekatan geografis, sehingga analisis spasial sangat penting dalam memahami dinamika distribusi kriminalitas dan dapat menjadi dasar bagi perencanaan kebijakan yang lebih tepat sasaran.
Anselin, L. (1988). Spatial Econometrics: Methods and Models. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
Cliff, A. D., & Ord, J. K. (1981). Spatial Processes: Models & Applications. London: Pion.
Getis, A., & Ord, J. K. (1992). The Analysis of Spatial Association by Use of Distance Statistics. Geographical Analysis, 24(3), 189–206.
Haining, R. (2003). Spatial Data Analysis: Theory and Practice. Cambridge University Press.
Bivand, R. S., Pebesma, E., & Gómez-Rubio, V. (2013). Applied Spatial Data Analysis with R (2nd ed.). Springer.
Mitchell, A. (2005). The ESRI Guide to GIS Analysis, Volume 2: Spatial Measurements and Statistics. Redlands, CA: ESRI Press.