Pendidikan dasar merupakan fondasi pembangunan sumber daya manusia, dan kualitasnya tidak hanya ditentukan oleh kurikulum maupun tenaga pendidik, tetapi juga oleh ketersediaan fasilitas sekolah seperti sanitasi, perpustakaan, sarana teknologi, dan laboratorium (Daulay et al., 2022). Di Indonesia, kondisi geografis yang beragam menyebabkan kesenjangan pembangunan antarprovinsi, termasuk dalam penyediaan fasilitas pendidikan Sekolah Dasar (SD) (Ananda et al., 2025). Ketimpangan ini berpotensi memengaruhi kualitas layanan pendidikan dasar di berbagai wilayah.
Untuk menggambarkan pola kemiripan dan perbedaan fasilitas SD antarprovinsi secara komprehensif, penelitian ini menggunakan metode Multidimensional Scaling (MDS). MDS merupakan metode statistik multivariat yang memetakan objek berdasarkan tingkat kemiripan atau ketidakmiripannya (Johnson & Wichern, 2014). Melalui pendekatan ini, provinsi-provinsi di Indonesia dapat divisualisasikan sehingga pola pengelompokan maupun ketimpangan fasilitas SD dapat terlihat jelas, dengan data bersumber dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
Memetakan kemiripan dan perbedaan provinsi-provinsi di Indonesia berdasarkan fasilitas Sekolah Dasar.
Mengetahui tingkat kecocokan hasil pemetaan menggunakan metode Multidimensional Scaling melalui nilai stress dan variasi yang dijelaskan.
Memberikan gambaran visual mengenai ketimpangan dan pola ketersediaan fasilitas Sekolah Dasar antarprovinsi di Indonesia.
Multidimensional Scaling (MDS) merupakan salah satu metode analisis multivariat yang bersifat eksploratif dan bertujuan untuk memetakan objek ke dalam ruang berdimensi rendah berdasarkan tingkat kemiripan atau ketidakmiripannya (Johnson & Wichern, 2014). MDS mengubah informasi jarak antarobjek menjadi representasi visual berupa peta atau diagram.
Data yang digunakan adalah data persentase yang menggambarkan kondisi fasilitas Sekolah Dasar (SD) di setiap provinsi di Indonesia, yang bersumber dari laman resmi Data Kemendikdasmen (https://data.kemendikdasmen.go.id/).
library(readxl)
## Warning: package 'readxl' was built under R version 4.3.3
Data_Fasilitas_SD <- read_excel("~/TUGAS/DATASET/Fasilitas_SD_MDS.xlsx")
head(Data_Fasilitas_SD)
## # A tibble: 6 × 5
## Provinsi x1 x2 x3 x4
## <chr> <dbl> <dbl> <dbl> <dbl>
## 1 Aceh 56.8 32.6 9.46 1.27
## 2 Sumatera Utara 58.9 31.8 7.14 3.79
## 3 Sumatera Barat 68.9 33.6 5.92 1.57
## 4 Riau 67.8 33.6 8.81 5.58
## 5 Jambi 58.4 31.5 6.86 1.62
## 6 Sumatera Selatan 69.7 35.6 8.62 3.18
di mana:
x1 = Persentase kepemilikkan sanitasi
x2 = Persentase kepemilikkan perpustakaan dengan kriteria baik
x3 = Persentase kepemilikkan komputer dengan kriteria baik
x4 = Persentase kepemilikkan laboratorium IPA dengan kriteria baik
library(MASS)
Memanggil package MASS yang menyediakan berbagai metode statistik, termasuk fungsi pendukung analisis multivariat.
data_MDS <- Data_Fasilitas_SD[,-1]
Menghilangkan kolom pertama (nama Provinsi) karena MDS hanya menggunakan variabel numerik.
dist_matrix <- as.matrix(dist(data_MDS))
Menghitung jarak Euclidean antar provinsi berdasarkan variabel fasilitas SD lalu mengubah objek jarak menjadi matriks agar mudah digunakan dalam perhitungan lanjutan.
A <- dist_matrix^2
Menguadratkan setiap elemen matriks jarak
n <- 38 #jumlah provinsi
I<-diag(n)
Membuat matriks identitas berukuran n×n
J<-matrix(rep(1,n), nrow=n, ncol=n)
Matriks dengan semua elemen bernilai 1 (untuk proses pemusatan)
V<- I-(1/n)*J
Matriks pemusat (centering matrix) untuk menghilangkan efek rata-rata jarak
aa <- V %*% A
BB <- aa %*% V
B <-(-1/2) * BB
Proses double centering: V %% A %% V menghasilkan matriks hasil pemusatan. Dikalikan -1/2 untuk memperoleh matriks B, yaitu matriks inner product. Matriks B menjadi dasar ekstraksi dimensi melalui eigen decomposition.
eigen_result <- eigen(B)
Menghitung eigenvalue dan eigenvector dari matriks B.
eigenvalues <- eigen_result$values
Menyatakan besar variasi yang dijelaskan oleh masing-masing dimensi.
eigenvectors <- eigen_result$vectors
Digunakan untuk membentuk koordinat objek dalam ruang dimensi rendah.
cumulative_variance <- cumsum(eigenvalues) / sum(eigenvalues)
print(cumulative_variance)
## [1] 0.8083296 0.9366024 0.9804278 1.0000000 1.0000000 1.0000000 1.0000000
## [8] 1.0000000 1.0000000 1.0000000 1.0000000 1.0000000 1.0000000 1.0000000
## [15] 1.0000000 1.0000000 1.0000000 1.0000000 1.0000000 1.0000000 1.0000000
## [22] 1.0000000 1.0000000 1.0000000 1.0000000 1.0000000 1.0000000 1.0000000
## [29] 1.0000000 1.0000000 1.0000000 1.0000000 1.0000000 1.0000000 1.0000000
## [36] 1.0000000 1.0000000 1.0000000
Hasil perhitungan eigenvalue menunjukkan bahwa Dimensi 1 menjelaskan 80,83% variasi data, sedangkan Dimensi 1 dan 2 bersama-sama menjelaskan 93,66%. Penambahan dimensi ketiga hanya meningkatkan variasi kumulatif menjadi 98,04%. Dengan demikian, dua dimensi sudah cukup untuk merepresentasikan sebagian besar informasi dalam data fasilitas Sekolah Dasar antarprovinsi, sehingga visualisasi dan interpretasi dilakukan menggunakan peta MDS dua dimensi.
fit <- cmdscale(dist_matrix, k=2)
Melakukan Classical Multidimensional Scaling 2 dimensi (k=2).
disparities <- matrix(0, nrow = n, ncol = n)
for (i in 1:n) {
for (j in 1:n) {
disparities[i, j] <- sqrt(sum((fit[i,] - fit[j,])^2))
}
}
Menghitung kembali jarak Euclidean antarprovinsi berdasarkan koordinat MDS.
stress <- sqrt(sum((dist_matrix - disparities)^2) / sum(dist_matrix^2))
cat("Nilai Stress:", stress, "\n")
## Nilai Stress: 0.07297273
Nilai stress tersebut berada pada kategori baik (0,05 ≤ stress < 0,10), yang berarti bahwa jarak antarprovinsi pada peta MDS dua dimensi cukup mendekati jarak aslinya berdasarkan variabel fasilitas SD. Dengan demikian, hasil pemetaan MDS dapat dianggap andal dan layak untuk dianalisis lebih lanjut.
Plot MDS dua dimensi menunjukkan provinsi-provinsi dengan fasilitas SD serupa cenderung berkelompok, sementara yang berjauhan memiliki perbedaan yang jelas. Sebagian besar provinsi berada dekat pusat peta, menandakan keserupaan fasilitas dasar. DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Kepulauan Riau tampak menonjol karena memiliki fasilitas yang lebih baik atau berbeda dari rata-rata. Sebaliknya, provinsi di Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara berada jauh di sisi kiri peta, menunjukkan fasilitas SD yang relatif lebih terbatas.
Hasil analisis MDS menunjukkan adanya ketimpangan fasilitas Sekolah Dasar antarprovinsi di Indonesia. Provinsi dengan tingkat pembangunan dan akses yang lebih baik cenderung memiliki fasilitas SD yang lebih lengkap, sementara provinsi di wilayah terpencil masih menunjukkan keterbatasan. Informasi ini dapat menjadi dasar perumusan kebijakan pemerataan fasilitas pendidikan, khususnya bagi provinsi yang masih tertinggal.
Ananda, R., Ardiansyah, D., Rinaldi, C., & Darmayanti, S. (2025). SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN DASAR DAN PERMASALAHANNYA. Pendas: Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 10.
Daulay, S. H., Fitriani, S. F., & Ningsih, E. W. (2022). Pengaruh Fasilitas Sekolah terhadap Kemampuan dan Motivasi Belajar Siswa. EDUKATIF : JURNAL ILMU PENDIDIKAN, 4(3), 3731–3738.
Johnson, R. A., & Wichern, D. W. (2014). Applied Multivariate Statistical Analysis (6th ed.) (6th ed.). Pearson Education.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. (2023). Portal Data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. https://data.kemendikdasmen.go.id/