ANALISIS EPIDEMIOLOGI KASUS TUBERKULOSIS DI JAWA BARAT TAHUN 2024
Disusun oleh:
Charles Joshua Nathaniel Waruwu (140610230048)
Dosen Pengampu:
Dr. I Gede Nyoman Mindra Jaya, M.Si
PROGRAM STUDI S-1 STATISTIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2025
Abstrak. Penelitian cross-sectional ini menganalisis distribusi dan faktor kepadatan penduduk terkait kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 menggunakan data kasus (n = 224.798) dan populasi (50.345.190). Prevalensi provinsi sebesar 446,51 per 100.000 penduduk (0,447%). Daerah dengan prevalensi tertinggi: Kota Cirebon, Kota Bogor, dan Kota Sukabumi. Analisis asosiasi menunjukkan kepadatan penduduk berkaitan positif dengan TBC; Prevalence Ratio (PR) = 1,65, artinya jika seseorang tinggal di wilayah padat, risiko seseorang 1,65 kali lebih tinggi dibanding wilayah kurang padat. Hal ini merekomendasikan fokus deteksi dini, penguatan pengobatan, dan intervensi berbasis wilayah di daerah padat untuk menurunkan penularan.
Kata Kunci: Tuberkulosis, cross-sectional, kepadatan penduduk
Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang terutama menyebar hingga ke paru-paru walaupun dapat menginfeksi organ lainnya (TBC ekstraparu). Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian akibat infeksi menular di seluruh dunia, dengan sekitar 10,8 juta kasus baru terdeteksi pada tahun 2023. Bakteri ini menyebar melalui udara saat pasien mengalami batuk, bersin, atau meludah, bahkan seseorang hanya perlu menghirup sedikit bakteri untuk terjangkit. Indonesia berada di urutan kedua secara global dalam jumlah kasus tertinggi, yakni 10% dari total kasus global terjadi di Indonesia. Sekitar 25% populasi dunia terinfeksi bakteri TBC, namun hanya 5-10% yang berkembang menjadi TBC aktif. Diagnosis TBC yang akurat dan cepat sangat penting untuk memulai pengobatan efektif serta mengurangi transmisi.
Faktor risiko kejadian TBC sangatlah bervariasi. Tingkat risiko perkembangan menjadi penyakit TBC lebih meningkat pada tahun awal setelah terjadinya infeksi, serta pada individu yang mengalami malnutrisi, penurunan imunitas, atau mengonsumsi alkohol. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia (2024) menjelaskan bahwa diagnosis TBC di Indonesia tahun 2020-2022 mengalami peningkatan yang signifikan.
Pada tingkat nasional, Provinsi Jawa Barat mencatat jumlah kasus TBC tertinggi di Indonesia, yaitu mencapai 224.798 kasus pada tahun 2024 menurut data Badan Pusat Statistik. Kondisi ini menunjukkan bahwa penularan TBC belum terkendali dan menghambat upaya SDGs poin ke-3, yaitu kehidupan sehat dan kesejahteraan bagi semua.
Dalam Epidemiologi, penyebaran TBC di Provinsi Jawa Barat memiliki cakupan terdeteksi kasus mencapai 95% dari total estimasi, bahkan menjadi salah satu provinsi bersama Banten yang memenuhi target 90% temuan estimasi kasus tersebut. Penyebarannya sangat dipengaruhi oleh interaksi agen (Mycobacterium tuberculosis), host (manusia) serta lingkungan seperti ventilasi, kepadatan rumah, serta sanitasi yang buruk. Studi di Indonesia menunjukkan bahwa kondisi lingkungan rumah yang buruk akan meningkatkan risiko TBC secara signifikan pada penelitian kasus-kontrol di Band Aceh.
Analisis spasial menunjukkan adanya autokorelasi positif antara kepadatan penduduk dengan kasus baru TBC di Jawa Barat tahun 2019-2021, dengan tiga wilayah masuk kategori High-High yaitu Kota Depok, Kota Bogor, dan Kota Bekasi. Pada tahu 2024, terdapat lima daerah dengan kasus TBC tertinggi di Jawa Barat seperti Kabupaten Bogor, Kota Bandung, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung, dan Kota Bekasi. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kepadatan penduduk yang tinggi, akses terhadap fasilitas kesehatan, kebiasaan merokok, ventilasi buruk, serta penderita HIV yang lebih rentan. Dengan demikian, analisis distribusi kasus berdasarkan kabupaten/kota serta hubungannya dengan kepadatan penduduk menjadi sangat relevan untuk perencaan intervensi berbasis wilayah.
Berdasarkan uraian latar belakang yang tertera di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: - Bagaimana distribusi kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 menurut kabupaten/kota?
Bagaimana tren perkembangan kasus TBC di Provinsi Jawa Barat dalam beberapa tahun terakhir ini?
Apakah terdapat hubungan antara kepadatan penduduk dengan kejadian penyakit TBC di Provinsi Jawa Barat?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. - Menganalisis distribusi kasus TBC di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 berdasarkan dimensi waktu dan tempat. - Mengidentifikasi tren perkembangan kasus TBC di Provinsi Jawa Barat dalam periode waktu tertentu. - Menganalisis hubungan antara kepadatan penduduk dengan kejadian TBC menggunakan ukuran asosiasi.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi instansi kesehatan dalam merancang strategi pengendalian TBC di Provinsi Jawa Barat. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi sumber data bagi akademisi dan peneliti untuk memahami pola epidemiologi TBC berdasarkan waktu, tempat, dan karakteristik penduduk. Secara praktis, hasil analisis juga diharapkan mampu membantu pemerintah daerah dalam mengidentifikasi wilayah prioritas intervensi guna menurunkan angka kejadian TBC dan mendukung pencapaian tujuan pembangunan kesehatan yang berkelanjutan.
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi bakteri yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Umumnya mempengaruhi paru-paru namun juga dapat menyerang organ lainnya; penularannya terjadi melalui tetesan udara saat pasien batuk atau bersin. Gejala umum mencakup batuk yang berlangsung lebih dari dua minggu, demam terutama pada malam hari, keringat di malam hari, serta penurunan berat badan, dan perawatan standar membutuhkan rejimen antibiotik selama berbulan-bulan sehingga kepatuhan dalam terapi menjadi kunci keberhasilan.
Dalam permodelan epidemiologi, TBC sangat signifikan karena beban penyakitnya tinggi dan distribusinya tidak merata — dipengaruhi oleh interaksi antara agen (mikroba), host (kondisi imun, gizi, komorbiditas), dan lingkungan sosial-fisik (kepadatan, ventilasi, kemiskinan). Analisis epidemiologi (prevalensi, insidens, ukuran asosiasi, peta spasial) berkontribusi dalam mengidentifikasi kelompok dan daerah prioritas, menilai efektivitas intervensi, serta merencanakan strategi deteksi dan pengendalian yang berbasis bukti. Temuan lokal, seperti adanya beban tinggi di beberapa kota/provinsi, menegaskan pentingnya intervensi yang berbasis wilayah.
Dalam konsep epidemiologi, terjadinya penyakit pada manusia merupakan hasil interaksi antara agent, host, dan environment. Agent adalah faktor penyebab suatu penyakit, yang mana berupa biologis (bakteri, virus, jamur), kimia (racun, polutan, asap rokok), fisik (radiasi, trauma, suhu ekstrem), serta sosial (stres, perilaku). Inang (host) adalah organisme yang rentan terkena penyakit, yang mana dipengaruhi oleh faktor genetik, umur, jenis kelamin, maupun perilaku. Lingkungan (environment) mencakup kondisi fisik, sosial, atau biologis yang memungkinkan interaksi agent dan host. Hubungan ketiganya menentukan apakah suatu penyakit muncul atau tidak. Hal inilah yang dimaksud dengan segitiga epidemiologi.
Dalam epidemiologi, ukuran asosiasi mencakup seberapa kuat hubungan
antara paparan (exposure) dengan hasil
(outcome).
Secara umum, ukuran asosiasi terbagi menjadi dua, yaitu Relative
Risk (RR) dan Odds Ratio (OR).
Relative Risk (RR) membandingkan risiko penyakit antara kelompok yang
terpapar dan kelompok yang tidak terpapar pada studi kohort.
Secara matematis, RR dirumuskan sebagai:
\[ RR = \frac{CI_{terpapar}}{CI_{tidak\ terpapar}} \]
dengan:
Interpretasi:
- RR = 1 → menunjukkan bahwa risikonya sama
- RR > 1 → paparan meningkatkan risiko
penyakit
- RR < 1 → paparan berarti melindungi dari
penyakit
Odds Ratio (OR) membandingkan peluang terjadinya penyakit pada
kelompok terpapar dibanding kelompok tidak terpapar.
OR biasanya digunakan pada studi kasus–kontrol. Secara matematis, OR
dirumuskan sebagai:
\[ OR = \frac{a/b}{c/d} = \frac{ad}{bc} \]
Interpretasi:
- OR = 1 → tidak ada hubungan antara paparan dan
penyakit
- OR > 1 → paparan meningkatkan peluang terkena
penyakit (faktor risiko)
- OR < 1 → paparan menurunkan peluang terkena
penyakit (faktor pelindung)
Desain studi epidemiologi digunakan untuk menjawab pertanyaan
mengenai frekuensi, determinasi, dan
efektivitas intervensi pada masalah kesehatan.
Secara umum, desain studi dibagi menjadi dua jenis besar: studi
observasional dan studi eksperimental.
Pada studi observasional, peneliti tidak memberikan
intervensi langsung, hanya mengamati hubungan antara paparan
(exposure) dan penyakit (outcome).
Terdapat tiga jenis utama:
Cross-sectional study
Mengukur paparan dan penyakit pada satu titik waktu
yang sama.
Tujuannya untuk mengestimasi prevalensi serta
mengeksplorasi asosiasi awal (hipotesis) antara faktor
risiko dan penyakit.
Case-control study
Memilih kelompok kasus (sakit) dan kontrol
(tidak sakit), lalu menelusuri paparan di masa
lalu.
Desain ini efisien untuk penyakit langka dan digunakan
untuk menguji hipotesis hubungan antara paparan dan
penyakit.
Cohort study
Mengikuti kelompok terpapar dan tidak
terpapar ke depan (prospektif) atau ke belakang (retrospektif)
untuk melihat kejadian penyakit.
Desain ini dapat menghitung insidens dan
Relative Risk (RR).
Pada studi eksperimental, peneliti memberikan intervensi langsung dan biasanya melakukan pengacakan (randomisasi) antara kelompok perlakuan dan kontrol. Desain ini dikenal sebagai Randomized Controlled Trial (RCT), di mana peserta dibagi secara acak untuk menilai efektivitas intervensi seperti obat, vaksin, atau program kesehatan.
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional study untuk menggambarkan hubungan antara kepadatan penduduk dengan kejadian Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Desain ini dipilih karena mampu menilai prevalensi penyakit serta asosiasinya dengan faktor risiko pada satu periode waktu yang sama. Unit analisis dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Ukuran epidemiologi yang digunakan meliputi ukuran frekuensi berupa prevalensi, dan ukuran asosiasi berupa Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR). Pendekatan ini dipilih karena mampu memberikan gambaran mengenai distribusi penyakit dan faktor yang berpotensi berhubungan dengannya pada satu periode waktu tertentu tanpa memerlukan pengamatan jangka panjang.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber resmi pemerintah yang relevan dengan topik epidemiologi Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Data utama mengenai jumlah kasus TBC per kabupaten/kota bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat melalui publikasi Kasus Penyakit Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Penyakit di Provinsi Jawa Barat Tahun 2024. Data ini mencakup jumlah kasus TBC yang dilaporkan selama periode analisis di masing-masing wilayah administratif. Selanjutnya, data populasi penduduk tahun 2024 yang bersumber dari BPS Kabupaten Bandung dalam publikasi Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat (Ribu, 2024).
Penelitian ini menggunakan dua variabel utama, yaitu jumlah kasus Tuberkulosis (TBC) dan populasi penduduk di tingkat kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Variabel kasus TBC menggambarkan banyaknya individu yang dilaporkan menderita penyakit TBC berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, sedangkan variabel populasi menunjukkan jumlah total penduduk di setiap kabupaten/kota berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Pengelompokan wilayah dilakukan berdasarkan rata-rata populasi provinsi untuk membedakan antara wilayah padat penduduk dan wilayah tidak padat penduduk. Wilayah dengan jumlah penduduk di atas nilai rata-rata dikategorikan sebagai padat, sedangkan yang berada di bawah rata-rata dikategorikan sebagai tidak padat. Jumlah penduduk yang tidak terinfeksi TBC diperoleh dari selisih antara total populasi dengan jumlah kasus TBC di masing-masing wilayah. Penggunaan kedua variabel ini memungkinkan analisis hubungan antara kepadatan penduduk dan kejadian TBC di Jawa Barat secara deskriptif.
Metode analisis pada penelitian ini terdiri dari tiga tahapan utama, yaitu analisis frekuensi, analisis asosiasi, dan visualisasi data epidemiologi. Analisis frekuensi digunakan untuk menggambarkan besarnya beban penyakit melalui perhitungan prevalensi TBC di Jawa Barat dan di setiap kabupaten/kota Jawa Barat. Analisis asosiasi dilakukan untuk menilai hubungan antara tingkat kepadatan penduduk dengan kejadian TBC menggunakan ukuran Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR). Sementara itu, visualisasi data digunakan untuk memperjelas hasil analisis dalam bentuk grafik tren, diagram batang, histogram, dan peta tematik sehingga pola penyebaran dan perbedaan antarwilayah dapat terlihat lebih jelas.
Analisis frekuensi dilakukan untuk menggambarkan besarnya beban
penyakit Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat
melalui ukuran prevalensi.
Ukuran ini menunjukkan proporsi individu dalam populasi yang menderita
penyakit pada satu waktu tertentu, sehingga dapat mencerminkan tingkat
penyebaran penyakit dalam populasi (Hennekens & Buring, 1987).
Pada penelitian ini, prevalensi dihitung berdasarkan jumlah kasus TBC
yang tercatat pada tahun 2024 dibandingkan dengan total populasi pada
kabupaten atau kota yang bersangkutan.
Perhitungan prevalensi dilakukan untuk mengetahui proporsi penduduk yang
menderita TBC dalam suatu periode tertentu.
Rumus: \[ P = \frac{\text{Kasus TBC (baru + lama)}}{\text{Populasi}} \times 100\% \]
Sebagai contoh: \[ P = \frac{224798}{50345190} \times 100\% = 0.45\% \]
Berdasarkan data tahun 2024, jumlah kasus TBC (baru dan lama)
tercatat sebanyak 224.798 kasus dari total populasi
50.345.190 jiwa, sehingga diperoleh nilai prevalensi
sebesar 0,45%.
Perhitungan ini bertujuan untuk menggambarkan distribusi beban penyakit
TBC serta mendukung penetapan wilayah prioritas intervensi kesehatan
masyarakat.
Analisis asosiasi dilakukan untuk menilai hubungan antara
kepadatan penduduk sebagai faktor paparan dengan
kejadian TBC sebagai outcome.
Dua ukuran asosiasi yang digunakan adalah Prevalence Ratio
(PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR).
Prevalence Ratio (PR) digunakan untuk membandingkan proporsi
penderita TBC antara kelompok dengan kepadatan penduduk tinggi dan
rendah.
PR lebih mudah dipahami secara intuitif karena menunjukkan seberapa
besar prevalensi penyakit pada kelompok terpapar dibandingkan dengan
kelompok tidak terpapar.
Rumus: \[ PR = \frac{a/(a+b)}{c/(c+d)} \]
Contoh perhitungan: \[ PR = \frac{67.968 / (67.968 + 10.406.262)}{156.830 / (156.830 + 39.714.130)} = 1.65 \]
Sementara itu, Prevalence Odds Ratio (POR) digunakan untuk menilai perbandingan odds (peluang) terjadinya penyakit antara kedua kelompok. POR memiliki keunggulan dalam situasi ketika hubungan sebab-akibat antara variabel belum jelas karena nilai odds tetap konsisten meskipun posisi variabel dalam tabel kontingensi berubah.
Rumus: \[ POR = \frac{a \times d}{b \times c} \]
Contoh perhitungan: \[ POR = \frac{67.968 \times 39.714.130}{10.406.262 \times 156.830} = 1.65 \]
Nilai PR = 1.65 dan POR = 1.65
menunjukkan bahwa wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi memiliki
risiko sekitar 1,65 kali lebih besar untuk terpapar TBC
dibandingkan wilayah dengan kepadatan rendah.
Nilai > 1 menunjukkan peningkatan risiko, sedangkan nilai < 1
berarti efek protektif.
Hasil ini memberikan gambaran awal mengenai potensi hubungan antara kepadatan penduduk dan risiko TBC, meskipun desain cross-sectional tidak dapat memastikan hubungan sebab-akibat.
Visualisasi data pada penelitian ini digunakan untuk menggambarkan pola distribusi, tren, dan perbandingan kasus Tuberkulosis (TBC) antarwilayah di Provinsi Jawa Barat secara lebih informatif. Beberapa bentuk visualisasi diterapkan untuk memperkuat analisis epidemiologi deskriptif. Grafik tren kasus TBC tahun 2022–2024 digunakan untuk menunjukkan dinamika perubahan jumlah kasus dari waktu ke waktu, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sehingga memudahkan dalam mengidentifikasi kecenderungan peningkatan atau penurunan kasus.
Diagram batang (bar chart) juga digunakan untuk menggambarkan distribusi jumlah kasus di setiap kabupaten/kota, sedangkan histogram menampilkan pola sebaran kasus guna melihat variasi beban penyakit antarwilayah. Peta tematik berbasis shapefile Provinsi Jawa Barat disusun untuk menunjukkan persebaran spasial prevalensi TBC, yang memudahkan interpretasi geografis terhadap tingkat kasus di tiap kabupaten/kota. Menurut Khoiri (2023) dan Hanke & Wichern (2009), visualisasi grafis seperti tren waktu, distribusi frekuensi, dan peta tematik merupakan komponen penting dalam analisis deret waktu dan epidemiologi deskriptif karena membantu mengidentifikasi pola, anomali, serta prioritas intervensi kesehatan masyarakat. Dengan demikian, kombinasi keempat visualisasi tersebut memberikan pemahaman komprehensif mengenai karakteristik temporal dan spasial TBC di Provinsi Jawa Barat.
Distribusi kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 menunjukkan adanya variasi yang cukup besar antar kabupaten dan kota. Sebaran jumlah kasus ditampilkan pada gambar berikut, yang memperlihatkan bahwa sebagian besar wilayah memiliki jumlah kasus relatif rendah, sedangkan beberapa wilayah lainnya menunjukkan angka kasus yang jauh lebih tinggi dibandingkan daerah lain.
Dari distribusi tersebut terlihat bahwa sebagian besar kabupaten/kota memiliki jumlah kasus di bawah 10.000, namun terdapat daerah yang menonjol dengan jumlah kasus di atas 20.000. Hal ini menandakan adanya ketimpangan penyebaran kasus di antara wilayah di Jawa Barat, yang kemungkinan dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, tingkat urbanisasi, serta ketersediaan layanan kesehatan.
Selanjutnya, jumlah kasus TBC di setiap kabupaten/kota pada tahun 2024 dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Grafik ini memperlihatkan daerah dengan beban kasus tertinggi dan terendah di provinsi ini.
Berdasarkan gambar di atas, Kabupaten Bogor tercatat sebagai wilayah dengan jumlah kasus tertinggi, yaitu mendekati 29.000 kasus. Kota Bandung menempati posisi kedua, diikuti oleh Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Karawang. Sementara itu, daerah dengan jumlah kasus paling rendah adalah Kabupaten Pangandaran, Kota Banjar, dan Kabupaten Sukabumi. Pola ini menunjukkan bahwa daerah dengan kepadatan penduduk tinggi cenderung memiliki jumlah kasus yang lebih besar. Jika dilihat dari sisi perkembangannya, gambar berikut memperlihatkan perubahan jumlah kasus TBC per kabupaten/kota selama periode 2022–2024.
Secara umum, tren kasus TBC di seluruh kabupaten/kota menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Beberapa daerah seperti Kabupaten Bogor, Kota Bandung, dan Kabupaten Bekasi mengalami kenaikan kasus yang cukup signifikan sepanjang periode tersebut. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh meningkatnya deteksi kasus, mobilitas penduduk yang tinggi, serta masih adanya tantangan dalam pengendalian penularan di daerah perkotaan padat.
Prevalensi merupakan salah satu ukuran frekuensi penyakit yang menggambarkan proporsi penduduk yang menderita suatu penyakit pada waktu tertentu. Dalam konteks ini, prevalensi TBC dihitung untuk setiap kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2024 per 100.000 penduduk. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai prevalensi TBC di 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.1 berikut.
Tabel 4.1 Prevalensi Kasus Tuberkulosis per Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2024
| Kabupaten/Kota | Prevalensi (%) |
|---|---|
| Kabupaten Bogor | 0,502 |
| Kabupaten Sukabumi | 0,433 |
| Kabupaten Cianjur | 0,461 |
| Kabupaten Bandung | 0,364 |
| Kabupaten Garut | 0,346 |
| Kabupaten Tasikmalaya | 0,250 |
| Kabupaten Ciamis | 0,262 |
| Kabupaten Kuningan | 0,329 |
| Kabupaten Cirebon | 0,394 |
| Kabupaten Majalengka | 0,329 |
| Kabupaten Sumedang | 0,316 |
| Kabupaten Indramayu | 0,299 |
| Kabupaten Subang | 0,375 |
| Kabupaten Purwakarta | 0,439 |
| Kabupaten Karawang | 0,514 |
| Kabupaten Bekasi | 0,452 |
| Kabupaten Bandung Barat | 0,237 |
| Kabupaten Pangandaran | 0,217 |
| Kota Bogor | 1,041 |
| Kota Sukabumi | 0,947 |
| Kota Bandung | 0,730 |
| Kota Cirebon | 1,176 |
| Kota Bekasi | 0,508 |
| Kota Depok | 0,382 |
| Kota Cimahi | 0,741 |
| Kota Tasikmalaya | 0,614 |
| Kota Banjar | 0,684 |
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa nilai prevalensi TBC di
Jawa Barat bervariasi antarwilayah.
Kota Cirebon menempati posisi tertinggi dengan prevalensi sebesar
1.175,58 per 100.000 penduduk, diikuti oleh Kota Bogor
(1.041,41) dan Kota Sukabumi (947,12). Sementara itu, Kabupaten
Pangandaran (217,00) dan Kabupaten Bandung Barat (237,45) memiliki
prevalensi terendah. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa daerah
perkotaan memiliki tingkat prevalensi TBC yang lebih besar
dibandingkan dengan wilayah kabupaten. Faktor mobilitas penduduk, kontak
erat antarindividu, serta kondisi lingkungan perkotaan yang padat
berkontribusi terhadap tingginya angka penularan.
Untuk memperjelas distribusi spasial prevalensi TBC antarwilayah, dibuat peta tematik yang menggambarkan tingkat prevalensi di setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Visualisasi tersebut disajikan pada gambar berikut.
Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa sebaran prevalensi TBC tidak merata antarwilayah. Warna merah tua yang tampak pada Kota Cirebon, Kota Bogor, dan Kota Sukabumi menunjukkan prevalensi tertinggi, sedangkan warna kuning muda yang terlihat pada Kabupaten Pangandaran, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Tasikmalaya menandakan prevalensi yang lebih rendah. Pola ini memperkuat hasil analisis bahwa wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi cenderung memiliki beban kasus TBC yang lebih besar, sejalan dengan karakteristik penyakit menular berbasis udara yang lebih mudah menyebar di lingkungan padat.
Untuk melihat gambaran umum prevalensi secara keseluruhan di Provinsi Jawa Barat, dilakukan perhitungan rata-rata prevalensi dari seluruh kabupaten/kota. Hasilnya disajikan pada tabel berikut.
| Provinsi | Prevalensi (%) |
|---|---|
| Jawa Barat | 0,447 |
Secara keseluruhan, prevalensi TBC di Provinsi Jawa Barat mencapai
446,51 per 100.000 penduduk,
menandakan bahwa penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang signifikan di tingkat provinsi.
Perbedaan angka antarwilayah menjadi dasar penting dalam perencanaan
kebijakan pengendalian TBC yang lebih terarah, terutama di daerah dengan
prevalensi tinggi.
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tingkat
kepadatan wilayah dengan paparan kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi
Jawa Barat tahun 2024.
Pengelompokan wilayah didasarkan pada rata-rata kepadatan penduduk:
wilayah dengan jumlah penduduk di atas rata-rata
dikategorikan sebagai kepadatan tinggi,
sedangkan wilayah di bawah rata-rata dikategorikan
sebagai kepadatan rendah.
| Kepadatan/Paparan | Terpapar | Tidak Terpapar |
|---|---|---|
| Kepadatan Tinggi | 67.968 | 10.406.262 |
| Kepadatan Rendah | 156.830 | 39.714.130 |
Berdasarkan tabel di atas, dilakukan perhitungan Prevalence
Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR)
untuk mengukur kekuatan asosiasi antara kepadatan wilayah dan paparan
TBC.
Hasil perhitungannya disajikan pada tabel berikut.
| Ukuran Asosiasi | Outcome (+) | Outcome (–) |
|---|---|---|
| Prevalence Ratio (PR) | 1,65 | 0,99 |
| Prevalence Odds Ratio (POR) | 1,65 | 0,60 |
Nilai PR untuk outcome positif (terpapar) sebesar
1,65, yang berarti penduduk di wilayah dengan kepadatan
tinggi memiliki risiko 1,65 kali lebih besar untuk
terpapar TBC dibandingkan dengan penduduk di wilayah berkepadatan
rendah.
Sementara itu, nilai POR sebesar 1,65 menunjukkan arah
asosiasi yang sama — bahwa kepadatan penduduk berhubungan positif dengan
paparan TBC.
Nilai PR dan POR > 1 menandakan adanya hubungan
yang cukup kuat antara kepadatan penduduk dan risiko TBC.
Sebaliknya, PR = 0,99 dan POR = 0,60 untuk outcome
negatif menunjukkan peluang tidak terpapar sedikit lebih rendah di
wilayah padat.
Hal ini menegaskan bahwa semakin padat suatu wilayah, semakin
besar kemungkinan penduduknya terpapar penyakit TBC.
Hal ini selaras dengan karakteristik penyakit menular berbasis udara, di
mana penularan lebih mudah terjadi di daerah dengan mobilitas tinggi dan
kontak antarindividu yang lebih intens.
Berdasarkan hasil analisis epidemiologi kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024, dapat disimpulkan bahwa distribusi kasus TBC masih menunjukkan variasi yang cukup besar antar kabupaten/kota. Wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi, seperti Kota Cirebon, Kota Bogor, dan Kota Sukabumi, memiliki prevalensi TBC yang lebih tinggi dibandingkan wilayah berkepadatan rendah.
Secara keseluruhan, prevalensi TBC di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 sebesar 0,447 per 100.000 penduduk, yang menunjukkan bahwa penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian. Hasil analisis asosiasi juga menunjukkan bahwa wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi memiliki risiko 1,65 kali lebih besar untuk terpapar TBC dibandingkan wilayah dengan kepadatan rendah. Temuan ini menegaskan bahwa faktor kepadatan penduduk berpengaruh terhadap peningkatan risiko penularan TBC di Jawa Barat.
Berdasarkan hasil penelitian, disarankan agar upaya pengendalian TBC di Provinsi Jawa Barat difokuskan pada wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi melalui peningkatan deteksi dini, pengawasan pengobatan, serta edukasi masyarakat mengenai pencegahan penularan. Pemerintah daerah juga perlu memperhatikan faktor kepadatan dan kondisi lingkungan permukiman dalam perencanaan program kesehatan masyarakat. Selain itu, penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengkaji faktor-faktor lain seperti status sosial ekonomi, sanitasi lingkungan, dan perilaku masyarakat agar hubungan determinan TBC dapat dipahami secara lebih menyeluruh.
Hennekens, C. H., & Buring, J. E. (1987). Epidemiology in Medicine. Little, Brown and Company.
Avy, A. H., Hutami, B. P., Alfalah, M. Z., & Febriyanti, S. (2024). Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di Berbagai Wilayah Indonesia. Indonesian Jurnal of CHEST, 11(1), 61-65. https://www.indonesiajournalchest.com/index.php/IJC/issue/view/253
Goletti, D., Meintjes, G., Andrade, B. B., Zumla, A., & Lee, S. S. (2024). Insights from the 2024 WHO Global Tuberculosis Report – More Comprehensive Action, Innovation, and Investments required for achieving WHO End TB goals. International Jurnal of Infectious Diabetes, 150(107325), 1-3. https://doi.org/10.1016/j.ijid.2024.107325
Handayani, L. (2024). Studi Epidemiologi Tuberkulosis Paru (TB) di Indonesia: Temuan Survey Kesehatan Indonesia (SKI) 2023. Jurnal Kendari Kesehatan Masyarakat, 4(1), 59-67. https://doi.org/10.37887/jkkm.v4i1.1213
Karlinda, & Putri, S. I. (2025). Epidemiologi Kesehatan (1st ed., Vol. 1). MEDIA Pustaka Indo. https://media.neliti.com/media/publications/632137-epidemiologi-kesehatan-7bb6f9b4.pdf
Keyes, K. M., Kandula, S., Olfson, M., Gould, M. S., Martinez-Ales, G., Rutherford, C., & Shaman, J. (2021). Suicide and the agent–host–environment triad: leveraging surveillance sources to inform prevention. Psychological Medicine, 51(4), 529-537. https://doi.org/10.1017/S003329172000536X
Mann, C. J. (2003, January). Observational research methods. Research design II: cohort, cross sectional, and case-control studies. National Center for Biotechnology Information, 1(1), 54-60. https://doi.org/10.1136/emj.20.1.54
Trajman, P. A., Campbell, J. R., Kunor, T., Ruslami, P. R., Amanullah, F., & Behr, M. A. (2025, March 8). Tuberculosis. THE LANCET, 405(10481), 850-866. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(24)02479-6
Zaenab, S., Ronoatmmodjo, S., & Putri, M. (2024). Gambaran Diagnosis TBC di Indonesia Tahun 2020-2022. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia, 8(1), 90-96. https://doi.org/10.7454/epidkes.v8i1.1099
H. Zeanova et al., “Analisis Faktor Penyebab Penyakit TBC di Jawa Barat Menggunakan Regresi Binomial Negatif,” ResearchGate, 2024. [Online]. Available: https://www.researchgate.net/publication/387640440_ANALISIS_FAKTOR_PENYEBAB_PENYAKIT_TBC_DI_JAWA_BARAT_MENGGUNAKAN_REGRESI_BINOMIAL_NEGATIF