Analisis Epidemiologi Kasus TBC di Jawa Barat Tahun 2024

Abstrak

Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia, termasuk di Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis distribusi, prevalensi, serta hubungan antara kepadatan penduduk dan kejadian TBC tahun 2024. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional dengan data sekunder dari BPS dan Dinas Kesehatan Jawa Barat. Hasil menunjukkan prevalensi TBC di Jawa Barat sebesar 0,447 per 100.000 penduduk, dengan nilai tertinggi di Kota Cirebon (1,176) dan terendah di Kabupaten Pangandaran (0,217). Analisis asosiasi menghasilkan nilai PR dan POR sebesar 1,65, yang menunjukkan bahwa wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi memiliki risiko lebih besar terhadap kejadian TBC. Kesimpulannya, kepadatan penduduk berpengaruh terhadap peningkatan risiko penularan TBC di Jawa Barat.

Kata kunci: Tuberkulosis, prevalensi, kepadatan penduduk, Jawa Barat

BAB I: PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang masih menjadi masalah serius bagi kesehatan masyarakat dunia [1]. Berdasarkan laporan WHO tahun 2023, terdapat sekitar 10,8 juta kasus TBC di seluruh dunia, dan Indonesia menyumbang sekitar 10% dari total tersebut sehingga menempati peringkat kedua tertinggi. Pada tingkat nasional, Provinsi Jawa Barat mencatat jumlah kasus terbanyak dengan 224.798 penderita pada tahun 2024 menurut data Badan Pusat Statistik. Hal ini menggambarkan bahwa penularan TBC masih belum terkendali sepenuhnya dan dapat menghambat kesehatan dan kesejahteraan manusia.

Dalam konteks epidemiologi, penyebaran TBC sangat dipengaruhi oleh interaksi agen (Mycobacterium tuberculosis), inang (manusia) dan lingkungan seperti ventilasi, kepadatan rumah, serta sanitasi. Studi di Indonesia menunjukkan bahwa kondisi lingkungan rumah yang buruk meningkatkan risiko TBC secara signifikan pada suatu penelitian kasus-kontrol di Banda Aceh. Oleh karena itu, wilayah seperti provinsi Jawa Barat yang memiliki urbanisasi cepat serta pemukiman padat sangat penting untuk melihat bagaimana faktor lingkungan dan host berinteraksi serta menghasilkan distribusi kasus TBC.

Analisis spasial di beberapa wilayah Indonesia mengungkap bahwa kepadatan penduduk dan faktor pemukiman menjadi penggerak utama lokasi klaster TBC. Dengan demikian, untuk Jawa Barat yang mencatat sebagai jumlah kasus tertinggi di Indonesia, analisis distribusi kasus berdasarkan kabupaten/kota dan hubungannya dengan kepadatan penduduk menjadi sangat relevan untuk perencanaan intervensi berbasis wilayah.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

  1. Bagaimana distribusi kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 menurut kabupaten/kota?

  2. Bagaimana tren perkembangan kasus TBC di Provinsi Jawa Barat dalam beberapa tahun terakhir?

  3. Apakah terdapat hubungan antara kepadatan penduduk dengan kejadian TBC di Jawa Barat?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

  1. Menganalisis distribusi kasus TBC di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 berdasarkan dimensi waktu dan tempat.

  2. Mengidentifikasi tren perkembangan kasus TBC di Provinsi Jawa Barat dalam periode waktu tertentu.

  3. Menganalisis hubungan antara kepadatan penduduk dengan kejadian TBC menggunakan ukuran asosiasi.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi instansi kesehatan dalam merancang strategi pengendalian TBC di Provinsi Jawa Barat. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi sumber data bagi akademisi dan peneliti untuk memahami pola epidemiologi TBC berdasarkan waktu, tempat, dan karakteristik penduduk. Secara praktis, hasil analisis juga diharapkan mampu membantu pemerintah daerah dalam mengidentifikasi wilayah prioritas intervensi guna menurunkan angka kejadian TBC dan mendukung pencapaian tujuan pembangunan kesehatan yang berkelanjutan.

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Agent-Host-Environment

Model segitiga epidemiologi menjelaskan bahwa timbulnya penyakit menular merupakan hasil interaksi antara tiga komponen utama, yaitu agent (penyebab penyakit), host (individu yang terpapar), dan environment (lingkungan yang memfasilitasi penularan). Ketiga komponen ini saling memengaruhi dalam menentukan apakah suatu individu akan terinfeksi atau tidak (CDC, 2020).

Pada kasus Tuberkulosis (TBC), agent penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, yaitu bakteri berbentuk batang yang dapat bertahan lama di lingkungan lembap dan kurang ventilasi. Host meliputi individu dengan sistem kekebalan tubuh lemah, malnutrisi, penderita HIV/AIDS, lansia, serta mereka yang memiliki riwayat kontak erat dengan pasien TBC aktif. Adapun environment mencakup faktor eksternal seperti ventilasi ruangan, kepadatan tempat tinggal, tingkat sanitasi, dan kondisi sosial ekonomi. Ketika kondisi lingkungan mendukung penularan (misalnya rumah padat dan tertutup), maka risiko penularan TBC meningkat secara signifikan. Model ini menjadi dasar dalam analisis epidemiologi penyakit menular untuk memahami interaksi multifaktorial penyebab penyakit.

2.2 Ukuran Frekuensi

Ukuran frekuensi digunakan dalam epidemiologi untuk menggambarkan besarnya beban penyakit di masyarakat. Salah satu ukuran yang paling umum adalah prevalensi, yaitu proporsi individu dalam populasi yang menderita suatu penyakit pada waktu tertentu (point prevalence) atau dalam periode tertentu (period prevalence) (WHO, 2024).

Prevalensi dihitung dengan rumus sebagai berikut:

\[ P = \frac{Jumlah\,Kasus\,(baru+lama)}{Total\,Populasi}\times100\% \]

Ukuran ini mencerminkan tingkat penyebaran penyakit dan digunakan untuk menggambarkan seberapa besar beban penyakit di suatu wilayah. Semakin tinggi nilai prevalensi, semakin besar proporsi populasi yang menderita penyakit pada saat pengamatan dilakukan.

Prevalensi dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu insidens (jumlah kasus baru) dan durasi penyakit. Penyakit dengan insidens tinggi atau durasi panjang (misalnya karena pengobatan tidak tuntas) akan memiliki nilai prevalensi yang tinggi. Dalam konteks TBC, prevalensi sering digunakan untuk mengukur beban penyakit secara keseluruhan karena mencakup baik kasus baru maupun kasus lama. WHO dan CDC merekomendasikan penggunaan prevalensi per 100.000 penduduk agar memudahkan perbandingan antarwilayah (WHO, 2024; CDC, 2020).

2.3 Ukuran Asosiasi

Ukuran asosiasi digunakan untuk menilai kekuatan hubungan antara faktor risiko (exposure) dengan kejadian penyakit (outcome). Pada penelitian dengan desain cross-sectional, ukuran asosiasi yang umum digunakan adalah Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR).

Prevalence Ratio (PR) menggambarkan perbandingan prevalensi penyakit antara kelompok terpapar dan kelompok tidak terpapar. Rumus umum yang digunakan adalah:

\[ PR = \frac{(\frac{a}{a+b})}{(\frac{c}{c+d})} \]

Nilai PR > 1 menunjukkan bahwa prevalensi penyakit lebih tinggi pada kelompok terpapar dibandingkan kelompok tidak terpapar. Sebaliknya, PR < 1 menunjukkan bahwa paparan tersebut mungkin bersifat protektif terhadap penyakit (Tamhane et al., 2016).

Sementara itu, Prevalence Odds Ratio (POR) menunjukkan perbandingan peluang terjadinya penyakit antara dua kelompok, dengan rumus:

\[ POR = \frac{(a\times d)}{(b\times c)} \]

POR sering digunakan dalam analisis cross-sectional karena dapat diperoleh dari regresi logistik. Namun, jika prevalensi penyakit cukup tinggi, POR dapat melebihkan estimasi hubungan dibandingkan PR, sehingga interpretasi hasil harus hati-hati (Thompson et al., 1998). Dalam epidemiologi TBC, PR dan POR sama-sama bermanfaat untuk mengukur sejauh mana faktor seperti kepadatan penduduk memengaruhi risiko paparan penyakit.

BAB II: METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional study untuk menggambarkan hubungan antara kepadatan penduduk dengan kejadian Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Desain ini dipilih karena mampu menilai prevalensi penyakit serta asosiasinya dengan faktor risiko pada satu periode waktu yang sama. Unit analisis dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Ukuran epidemiologi yang digunakan meliputi ukuran frekuensi berupa prevalensi, dan ukuran asosiasi berupa Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR). Pendekatan ini dipilih karena mampu memberikan gambaran mengenai distribusi penyakit dan faktor yang berpotensi berhubungan dengannya pada satu periode waktu tertentu tanpa memerlukan pengamatan jangka panjang.

3.2 Data dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber resmi pemerintah yang relevan dengan topik epidemiologi Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Data utama mengenai jumlah kasus TBC per kabupaten/kota bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat melalui publikasi Kasus Penyakit Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Penyakit di Provinsi Jawa Barat Tahun 2024. Data ini mencakup jumlah kasus TBC yang dilaporkan selama periode analisis di masing-masing wilayah administratif. Selanjutnya, data populasi penduduk tahun 2024 yang bersumber dari BPS Kabupaten Bandung dalam publikasi Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat (Ribu, 2024).

3.3 Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua variabel utama, yaitu jumlah kasus Tuberkulosis (TBC) dan populasi penduduk di tingkat kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Variabel kasus TBC menggambarkan banyaknya individu yang dilaporkan menderita penyakit TBC berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, sedangkan variabel populasi menunjukkan jumlah total penduduk di setiap kabupaten/kota berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).

Pengelompokan wilayah dilakukan berdasarkan rata-rata populasi provinsi untuk membedakan antara wilayah padat penduduk dan wilayah tidak padat penduduk. Wilayah dengan jumlah penduduk di atas nilai rata-rata dikategorikan sebagai padat, sedangkan yang berada di bawah rata-rata dikategorikan sebagai tidak padat. Jumlah penduduk yang tidak terinfeksi TBC diperoleh dari selisih antara total populasi dengan jumlah kasus TBC di masing-masing wilayah. Penggunaan kedua variabel ini memungkinkan analisis hubungan antara kepadatan penduduk dan kejadian TBC di Jawa Barat secara deskriptif.

3.4 Metode Analisis

Metode analisis pada penelitian ini terdiri dari tiga tahapan utama, yaitu analisis frekuensi, analisis asosiasi, dan visualisasi data epidemiologi. Analisis frekuensi digunakan untuk menggambarkan besarnya beban penyakit melalui perhitungan prevalensi TBC di Jawa Barat dan di setiap kabupaten/kota Jawa Barat. Analisis asosiasi dilakukan untuk menilai hubungan antara tingkat kepadatan penduduk dengan kejadian TBC menggunakan ukuran Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR). Sementara itu, visualisasi data digunakan untuk memperjelas hasil analisis dalam bentuk grafik tren, diagram batang, histogram, dan peta tematik sehingga pola penyebaran dan perbedaan antarwilayah dapat terlihat lebih jelas.

3.4.1 Analisis Frekuensi

Analisis frekuensi dilakukan untuk menggambarkan besarnya beban penyakit Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat melalui ukuran prevalensi. Ukuran ini menunjukkan proporsi individu dalam populasi yang menderita penyakit pada satu waktu tertentu, sehingga dapat mencerminkan tingkat penyebaran penyakit dalam populasi (Hennekens & Buring, 1987). Pada penelitian ini, prevalensi dihitung berdasarkan jumlah kasus TBC yang tercatat pada tahun 2024 dibandingkan dengan total populasi pada kabupaten atau kota yang bersangkutan. Secara matematis, prevalensi dihitung menggunakan rumus:

\[ P = \frac{Kasus\;TBC\;(baru+lama)}{Populasi}\times100\% \]

\[ P = \frac{224.798}{50.345.190}\times100\% = 0,447\% \]

Pada penelitian ini, interpretasi nilai prevalensi dinyatakan per 100.000 penduduk untuk memudahkan perbandingan antarwilayah. Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi wilayah dengan beban penyakit tertinggi, yang berpotensi menjadi prioritas intervensi kesehatan masyarakat.

3.4.2 Analisis Asosiasi

Analisis asosiasi dilakukan untuk menilai hubungan antara kepadatan penduduk sebagai faktor paparan dengan kejadian Tuberkulosis (TBC) sebagai outcome. Dua ukuran asosiasi yang digunakan adalah Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR). Prevalence Ratio (PR) digunakan untuk membandingkan proporsi penderita TBC antara kelompok dengan kepadatan penduduk tinggi dan rendah. PR lebih mudah dipahami secara intuitif karena menunjukkan seberapa besar prevalensi penyakit pada kelompok terpapar dibandingkan dengan kelompok tidak terpapar. Perhitungan Prevalence Ratio (PR) dilakukan sebagai berikut:

\[ PR = \frac{(\frac{a}{a+b})}{(\frac{c}{c+d})} \]

\[ PR = \frac{(\frac{67.968}{67.968+10.406.262})}{(\frac{156.830}{156.830+39.714.130})} = 1,65 \]

Sementara itu, Prevalence Odds Ratio (POR) digunakan untuk menilai perbandingan odds (peluang) terjadinya penyakit antara kedua kelompok. POR memiliki keunggulan dalam situasi ketika hubungan sebab-akibat antara variabel belum jelas, karena nilai odds tetap konsisten meskipun posisi variabel dalam tabel kontingensi berubah. Prevalence Odds Ratio (POR) dihitung sebagai berikut:

\[ POR = \frac{(a\times d)}{(b\times c)} \]

\[ POR = \frac{(67.968\times39.714.130)}{(10.406.262\times156.830)} = 1,65 \]

Di mana a dan c adalah jumlah kasus TBC di wilayah berkepadatan tinggi dan berkepadatan rendah, sedangkan b dan d adalah jumlah individu tanpa penyakit pada masing-masing wilayah. Nilai PR dan POR > 1 menunjukkan bahwa wilayah berkepadatan tinggi meningkatkan risiko penyakit, sedangkan nilai < 1 menunjukkan efek protektif. Analisis ini memberikan gambaran awal mengenai potensi hubungan antara kepadatan penduduk dan risiko TBC, meskipun desain cross-sectional tidak dapat memastikan hubungan sebab-akibat (Hennekens & Buring, 1987).

3.4.3 Visualisasi Data Epidemiologi

Visualisasi data pada penelitian ini digunakan untuk menggambarkan pola distribusi, tren, dan perbandingan kasus Tuberkulosis (TBC) antarwilayah di Provinsi Jawa Barat secara lebih informatif. Beberapa bentuk visualisasi diterapkan untuk memperkuat analisis epidemiologi deskriptif. Grafik tren kasus TBC tahun 2022–2024 digunakan untuk menunjukkan dinamika perubahan jumlah kasus dari waktu ke waktu, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sehingga memudahkan dalam mengidentifikasi kecenderungan peningkatan atau penurunan kasus.

Diagram batang (bar chart) juga digunakan untuk menggambarkan distribusi jumlah kasus di setiap kabupaten/kota, sedangkan histogram menampilkan pola sebaran kasus guna melihat variasi beban penyakit antarwilayah. Peta tematik berbasis shapefile Provinsi Jawa Barat disusun untuk menunjukkan persebaran spasial prevalensi TBC, yang memudahkan interpretasi geografis terhadap tingkat kasus di tiap kabupaten/kota. Menurut Khoiri (2023) dan Hanke & Wichern (2009), visualisasi grafis seperti tren waktu, distribusi frekuensi, dan peta tematik merupakan komponen penting dalam analisis deret waktu dan epidemiologi deskriptif karena membantu mengidentifikasi pola, anomali, serta prioritas intervensi kesehatan masyarakat. Dengan demikian, kombinasi keempat visualisasi tersebut memberikan pemahaman komprehensif mengenai karakteristik temporal dan spasial TBC di Provinsi Jawa Barat.

BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Distribusi dan Tren Kasus Tuberkulosis

Distribusi kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 menunjukkan adanya variasi yang cukup besar antar kabupaten dan kota. Sebaran jumlah kasus ditampilkan pada gambar berikut, yang memperlihatkan bahwa sebagian besar wilayah memiliki jumlah kasus relatif rendah, sedangkan beberapa wilayah lainnya menunjukkan angka kasus yang jauh lebih tinggi dibandingkan daerah lain.

Dari distribusi tersebut terlihat bahwa sebagian besar kabupaten/kota memiliki jumlah kasus di bawah 10.000, namun terdapat daerah yang menonjol dengan jumlah kasus di atas 20.000. Hal ini menandakan adanya ketimpangan penyebaran kasus di antara wilayah di Jawa Barat, yang kemungkinan dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, tingkat urbanisasi, serta ketersediaan layanan kesehatan.

Selanjutnya, jumlah kasus TBC di setiap kabupaten/kota pada tahun 2024 dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Grafik ini memperlihatkan daerah dengan beban kasus tertinggi dan terendah di provinsi ini.

Berdasarkan gambar di atas, Kabupaten Bogor tercatat sebagai wilayah dengan jumlah kasus tertinggi, yaitu mendekati 29.000 kasus. Kota Bandung menempati posisi kedua, diikuti oleh Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Karawang. Sementara itu, daerah dengan jumlah kasus paling rendah adalah Kabupaten Pangandaran, Kota Banjar, dan Kabupaten Sukabumi. Pola ini menunjukkan bahwa daerah dengan kepadatan penduduk tinggi cenderung memiliki jumlah kasus yang lebih besar. Jika dilihat dari sisi perkembangannya, gambar berikut memperlihatkan perubahan jumlah kasus TBC per kabupaten/kota selama periode 2022–2024.

Secara umum, tren kasus TBC di seluruh kabupaten/kota menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Beberapa daerah seperti Kabupaten Bogor, Kota Bandung, dan Kabupaten Bekasi mengalami kenaikan kasus yang cukup signifikan sepanjang periode tersebut. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh meningkatnya deteksi kasus, mobilitas penduduk yang tinggi, serta masih adanya tantangan dalam pengendalian penularan di daerah perkotaan padat.

4.2 Prevalensi Kasus Tuberkulosis

Prevalensi merupakan salah satu ukuran frekuensi penyakit yang menggambarkan proporsi penduduk yang menderita suatu penyakit pada waktu tertentu. Dalam konteks ini, prevalensi TBC dihitung untuk setiap kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2024 per 100.000 penduduk. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai prevalensi TBC di 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.1 berikut.

Kabupaten/Kota Prevalensi (%)
Kabupaten Bogor 0,502
Kabupaten Sukabumi 0,433
Kabupaten Cianjur 0,461
Kabupaten Bandung 0,364
Kabupaten Garut 0,346
Kabupaten Tasikmalaya 0,250
Kabupaten Ciamis 0,262
Kabupaten Kuningan 0,329
Kabupaten Cirebon 0,394
Kabupaten Majalengka 0,329
Kabupaten Sumedang 0,316
Kabupaten Indramayu 0,299
Kabupaten Subang 0,375
Kabupaten Purwakarta 0,439
Kabupaten Karawang 0,514
Kabupaten Bekasi 0,452
Kabupaten Bandung Barat 0,237
Kabupaten Pangandaran 0,217
Kota Bogor 1,041
Kota Sukabumi 0,947
Kota Bandung 0,730
Kota Cirebon 1,176
Kota Bekasi 0,508
Kota Depok 0,382
Kota Cimahi 0,741
Kota Tasikmalaya 0,614
Kota Banjar 0,684

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa nilai prevalensi TBC di Jawa Barat bervariasi antarwilayah. Kota Cirebon menempati posisi tertinggi dengan prevalensi sebesar 1.175,58 per 100.000 penduduk, diikuti oleh Kota Bogor (1.041,41) dan Kota Sukabumi (947,12). Sementara itu, Kabupaten Pangandaran (217,00) dan Kabupaten Bandung Barat (237,45) memiliki prevalensi terendah. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa daerah perkotaan memiliki tingkat prevalensi TBC yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah kabupaten. Faktor mobilitas penduduk, kontak erat antarindividu, dan kondisi lingkungan perkotaan yang padat kemungkinan berkontribusi terhadap tingginya angka penularan.

Untuk memperjelas distribusi spasial prevalensi TBC antarwilayah, dibuat peta tematik yang menggambarkan tingkat prevalensi di setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Visualisasi tersebut disajikan pada gambar berikut.

Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa sebaran prevalensi TBC tidak merata antarwilayah. Warna merah tua yang tampak pada Kota Cirebon, Kota Bogor, dan Kota Sukabumi menunjukkan prevalensi tertinggi, sedangkan warna kuning muda yang terlihat pada Kabupaten Pangandaran, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Tasikmalaya menandakan prevalensi yang lebih rendah. Pola ini memperkuat hasil analisis bahwa wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi cenderung memiliki beban kasus TBC yang lebih besar, sejalan dengan karakteristik penyakit menular berbasis udara yang lebih mudah menyebar di lingkungan padat.

Untuk melihat gambaran umum prevalensi secara keseluruhan di Provinsi Jawa Barat, dilakukan perhitungan rata-rata prevalensi dari seluruh kabupaten/kota dan diperoleh hasil sebagai berikut.

Provinsi Prevalensi (%)
Jawa Barat 0,447

Secara keseluruhan, prevalensi TBC di Provinsi Jawa Barat mencapai 446,51 per 100.000 penduduk, menandakan bahwa penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang signifikan di tingkat provinsi. Perbedaan angka antarwilayah menjadi dasar penting dalam perencanaan kebijakan pengendalian TBC yang lebih terarah, terutama di daerah dengan prevalensi tinggi.

4.3 Analisis Asosiasi Berdasarkan Kepadatan Wilayah

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tingkat kepadatan wilayah dengan paparan kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Pengelompokan wilayah didasarkan pada rata-rata kepadatan penduduk: wilayah dengan jumlah penduduk di atas rata-rata dikategorikan sebagai kepadatan tinggi, sedangkan yang berada di bawah rata-rata dikategorikan sebagai kepadatan rendah. Hubungan antara kepadatan wilayah dan paparan TBC ditampilkan pada tabel kontingensi 2x2 berikut.

Kepadatan/Paparan Terpapar Tidak Terpapar
Kepadatan Tinggi 67.968 10.406.262
Kepadatan Rendah 156.830 39.714.130

Berdasarkan tabel kontingensi 2x2 tersebut, dilakukan perhitungan Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR) untuk mengukur kekuatan asosiasi antara kepadatan wilayah dan paparan TBC. Hasil perhitungannya disajikan pada tabel berikut.

Ukuran Asosiasi Outcome (+) Outcome (-)
Prevalence Ratio (PR) 1,65 0,99
Prevalence Odds Ratio (POR) 1,65 0,60

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai PR untuk outcome positif (terpapar) sebesar 1,65, artinya penduduk yang tinggal di wilayah dengan kepadatan tinggi memiliki risiko 1,65 kali lebih besar untuk terpapar TBC dibandingkan dengan penduduk di wilayah dengan kepadatan rendah. Sementara itu, nilai POR sebesar 1,65 menunjukkan arah asosiasi yang sama — yaitu bahwa kepadatan penduduk berhubungan positif dengan paparan TBC. Nilai POR > 1 menandakan adanya hubungan yang cukup kuat antara kepadatan dan risiko paparan TBC. Sebaliknya, untuk outcome negatif (tidak terpapar), nilai PR = 0,99 dan POR = 0,60, yang berarti peluang untuk tidak terpapar TBC sedikit lebih rendah pada wilayah dengan kepadatan tinggi dibandingkan wilayah yang kurang padat.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kepadatan wilayah memiliki pengaruh terhadap tingkat paparan TBC, di mana semakin padat suatu wilayah, semakin besar pula kemungkinan penduduknya terpapar penyakit TBC. Hal ini sejalan dengan karakteristik penyakit menular berbasis udara, di mana penularan lebih mudah terjadi di daerah dengan mobilitas tinggi dan kontak antarindividu yang lebih intens.

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis epidemiologi kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024, dapat disimpulkan bahwa distribusi kasus TBC masih menunjukkan variasi yang cukup besar antar kabupaten/kota. Wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi, seperti Kota Cirebon, Kota Bogor, dan Kota Sukabumi, memiliki prevalensi TBC yang lebih tinggi dibandingkan wilayah dengan kepadatan rendah. Secara keseluruhan, prevalensi TBC di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 mencapai 0,447 per 100.000 penduduk, yang menunjukkan bahwa penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian. Selain itu, hasil analisis asosiasi menunjukkan bahwa wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi memiliki risiko 1,65 kali lebih besar untuk terpapar TBC dibandingkan wilayah dengan kepadatan rendah, sehingga dapat disimpulkan bahwa kepadatan penduduk berperan dalam meningkatkan risiko penularan TBC di provinsi ini.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian, disarankan agar upaya pengendalian TBC di Provinsi Jawa Barat difokuskan pada wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi melalui peningkatan deteksi dini, pengawasan pengobatan, serta edukasi masyarakat mengenai pencegahan penularan. Pemerintah daerah juga perlu memperhatikan faktor kepadatan dan kondisi lingkungan pemukiman dalam perencanaan program kesehatan masyarakat. Selain itu, penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengkaji faktor-faktor lain seperti status sosial ekonomi, sanitasi lingkungan, dan perilaku masyarakat agar hubungan determinan TBC dapat dipahami secara lebih menyeluruh.

Daftar Pustaka

Avy, A. H., Hutami, B. P., Alfalah, M. Z., & Febriyanti, S. (2024). Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di Berbagai Wilayah Indonesia. Indonesian Jurnal of CHEST, 11(1), 61–65.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2020). Introduction to Epidemiology. U.S. Department of Health and Human Services.

Goletti, D., Meintjes, G., Andrade, B. B., Zumla, A., & Lee, S. S. (2024). Insights from the 2024 WHO Global Tuberculosis Report – More Comprehensive Action, Innovation, and Investments Required for Achieving WHO End TB Goals. International Journal of Infectious Diseases, 150(107325), 1–3. https://doi.org/10.1016/j.ijid.2024.107325

Handayani, L. (2024). Studi Epidemiologi Tuberkulosis Paru (TB) di Indonesia: Temuan Survey Kesehatan Indonesia (SKI) 2023. Jurnal Kendari Kesehatan Masyarakat, 4(1), 59–67. https://doi.org/10.37887/jkkm.v4i1.1213

Hennekens, C. H., & Buring, J. E. (1987). Epidemiology in Medicine. Little, Brown and Company.

Karlinda, & Putri, S. I. (2025). Epidemiologi Kesehatan (1st ed., Vol. 1). MEDIA Pustaka Indo.

Keyes, K. M., Kandula, S., Olfson, M., Gould, M. S., Martinez-Ales, G., Rutherford, C., & Shaman, J. (2021). Suicide and the agent–host–environment triad: Leveraging surveillance sources to inform prevention. Psychological Medicine, 51(4), 529–537. https://doi.org/10.1017/S003329172000536X

Mann, C. J. (2003). Observational Research Methods. Research Design II: Cohort, Cross Sectional, and Case-Control Studies. Emergency Medicine Journal, 20(1), 54–60. https://doi.org/10.1136/emj.20.1.54

Tamhane, A. R., Westfall, A. O., Burkholder, G. A., & Cutter, G. R. (2016). Prevalence Odds Ratio versus Prevalence Ratio: Choice and Interpretation in Cross-Sectional Studies. PubMed Central (PMC).

Thompson, M. L., Myers, J. E., & Kriebel, D. (1998). Prevalence Odds Ratio or Prevalence Ratio in the Analysis of Cross-Sectional Data: What is to be Done? Occupational and Environmental Medicine, 55(4), 272–277.

Trajman, P. A., Campbell, J. R., Kunor, T., Ruslami, P. R., Amanullah, F., & Behr, M. A. (2025, March 8). Tuberculosis. The Lancet, 405(10481), 850–866. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(24)02479-6

World Health Organization (WHO). (2024). Global Tuberculosis Report 2024. Geneva: World Health Organization.

Zaenab, S., Ronoatmmodjo, S., & Putri, M. (2024). Gambaran Diagnosis TBC di Indonesia Tahun 2020–2022. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia, 8(1), 90–96. https://doi.org/10.7454/epidkes.v8i1.1099

Zeanova, H., et al. (2024). Analisis Faktor Penyebab Penyakit TBC di Jawa Barat Menggunakan Regresi Binomial Negatif. ResearchGate.