Link Dashboard: https://epidem-tbc-jawa-barat-dashboard.streamlit.app/
Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit infeksi kronis paru-paru dan menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. TBC dapat menyebar melalui pernafasan dengan menghirup percikan dahak (droplet) individu yang terinfeksi bakteri penyebab TBC. Ketika masuk ke dalam tubuh manusia, TBC akan menyerang berbagai organ tubuh, terutama paru-paru [1]. Penularannya yang mudah membuat kasus TBC cenderung tinggi bahkan hingga angka kematiannya.
Hingga saat ini, TBC merupakan tantangan utama kesehatan global karena merupakan salah satu penyakit dengan jumlah kasus terbanyak di dunia yaitu lebih dari 1 juta kasus dan 125 ribu kematian setiap tahun atau sekitar 14 kematian terjadi setiap jam akibat TBC. Menurut laporan global kasus TBC tahun 2024, Indonesia menempati posisi kedua tertinggi jumlah kasus tertinggi setelah India. Kasus TBC di Indonesia mencapai 885 ribu, dengan pembagian 496 ribu kasus pada laki-laki, 359 ribu kasus pada perempuan, dan 135 ribu pada anak-anak. Angka kasus tersebut baru 80% dari total estimasi target temuan kasus TBC nasional yang sebanyak 1,09 juta kasus [2]. Hal tersebut menunjukkan urgensi dan pentingnya masalah ini perlu diselesaikan.
Tingginya kasus TBC serta dampak yang diberikannya, menyebabkan perhatian khusus secara global, salah satunya melalui target poin ketiga pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke-3 yaitu memastikan hidup sehat dan meningkatkan kesejahteraan untuk semua orang. Salah satu isu dalam poin tersebut adalah menanggulangi epidemi TBC pada tahun 2030 [3].
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, provinsi Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah kasus TBC tertinggi di Indonesia, yaitu mencapai 234.710 kasus pada tahun 2024. Kemudian disusul Jawa Timur dengan 116.752 kasus dan Jawa Tengah dengan 107.685 kasus [4][5].
TBC merupakan penyakit yang sangat dipengaruhi oleh kondisi spasial dan lingkungan, karena penyebarannya tidak terjadi secara acak tetapi membentuk pola antarwilayah. Kasus tinggi di suatu daerah dapat berdampak pada peningkatan kasus di daerah sekitar akibat mobilitas penduduk dan kondisi lingkungan yang mirip. Salah satu penelitian sebelumnya menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif pada kasus TBC di Jawa Tengah, di mana peningkatan kasus di satu kabupaten/kota meningkatkan risiko di wilayah tetangganya [6].
Pengaruh kondisi spasial terhadap penyebaran TBC juga dapat dilihat dari tingginya mobilitas masyarakat di area Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Kawasan ini ditandai oleh pergerakan komuter harian yang tinggi. Menurut BPS 2023, hasil Survei Komuter Jabodetabek 2023 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 14,9 % penduduk komuter dari 29,6 juta penduduk Jabodetabek berumur 5 tahun ke atas. Kabupaten/Kota dengan persentase komuter tertinggi dibandingkan jumlah penduduk adalah Kota Depok (24,5%), diikuti Kota Bekasi (19,2%), dan Tangerang Selatan (18,5%). Sebagian besar komuter sebesar 81,9% memiliki kegiatan utama bekerja sedangkan 18,15% berkegiatan utama sekolah/kuliah/kursus. Sedangkan menurut jenis kelamin, 67,3% komuter berjenis kelamin laki-laki berbanding 32,7% perempuan atau kurang lebih proporsi jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah 2:1 [7].
Selain aspek spasial, faktor lain yang turut berperan penting dalam kasus TBC adalah jenis kelamin dan lingkungan yaitu kepadatan penduduk. Laki-laki cenderung lebih rentan terhadap TBC dibanding perempuan secara biologis karena berdasarkan hormon seks, hormon testosteron yang dominan pada laki-laki cenderung menekan sistem kekebalan tubuh, sehingga respons imun terhadap bakteri TBC lebih lemah. Hormon testosteron menurunkan aktivitas sel T, markofag, dan produksi sitokin yang penting untuk melawan bakteri TBC. Sebaliknya hormon estrogen yang lebih dominan pada perempuan justru memperkuat sistem imun. Hormon estrogen meningkatkan pembentukan makraofag, antibodi, dan respon sel T-helper tipe 1 yang membantu tubuh melawan infeksi TBC [8][9].
Dengan demikian, diperlukan penelitian epidemiologis yang menganalisis kasus TBC di provinsi Jawa Barat beserta faktor risikonya yaitu jenis kelamin. Melalui pendekatan ini, penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pola penyebaran TBC di Jawa Barat serta menjadi dasar kebijakan kesehatan publik yang efektif dan berbasis lokasi.
Bagaimana pola penyebaran kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat?
Apakah terdapat pengaruh faktor jenis kelamin terhadap jumlah kasus TBC di Provinsi Jawa Barat?
Apakah terdapat keterkaitan spasial (autokorelasi spasial) antara wilayah dengan kasus TBC tinggi dan wilayah sekitarnya di Provinsi Jawa Barat?
Menganalisis pola penyebaran kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat.
Menganalisis pengaruh faktor jenis kelamin terhadap jumlah kasus TBC di Provinsi Jawa Barat.
Mengidentifikasi adanya autokorelasi spasial antarwilayah dalam penyebaran kasus TBC di Provinsi Jawa Barat.
Model agent–host–environment atau segitiga epidemiologi merupakan konsep fundamental dalam epidemiologi penyakit menular. Model ini menjelaskan bahwa timbulnya suatu penyakit merupakan hasil interaksi dinamis antara tiga komponen utama, yaitu agent (penyebab penyakit), host (inang atau individu yang rentan), dan environment (lingkungan yang mempengaruhi proses penularan). Ketidakseimbangan dari ketiga komponen tersebut dapat memicu terjadinya penyakit pada individu maupun populasi (van Seventer & Hochberg, 2016) [10].
Dalam konteks penyakit tuberkulosis (TBC), agent adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis, host adalah manusia dengan berbagai faktor kerentanan seperti jenis kelamin, status gizi, dan sistem imun, sedangkan environment meliputi faktor fisik dan sosial seperti kepadatan penduduk, ventilasi rumah, serta mobilitas masyarakat. Pendekatan modern epidemiologi menekankan bahwa selain faktor biologis, determinan sosial dan lingkungan juga berperan penting dalam penyebaran penyakit infeksi, termasuk TBC. Lingkungan dengan tingkat kepadatan tinggi dan sanitasi yang rendah berpotensi meningkatkan transmisi penyakit karena memperbesar kontak antara individu terinfeksi dan individu rentan (John & Samuel, 2023) [11].
Prevalensi merupakan salah satu ukuran frekuensi utama dalam epidemiologi yang menggambarkan proporsi individu dalam suatu populasi yang menderita penyakit tertentu pada waktu tertentu. Ukuran ini mencerminkan beban penyakit dalam populasi dan menjadi indikator penting untuk perencanaan serta evaluasi program kesehatan masyarakat. Dalam konteks penelitian tuberkulosis (TBC), prevalensi digunakan untuk mengetahui seberapa besar proporsi penduduk yang menderita TBC pada wilayah dan periode tertentu.
\[ Prevalensi(\%) = \frac{Jumlah~Kasus~TBC}{Jumlah~Penduduk} \times 100 \]
Terdapat dua jenis prevalensi yang umum digunakan, yaitu prevalensi titik (point prevalence) dan prevalensi periode (period prevalence).
Prevalensi titik menggambarkan proporsi individu yang menderita penyakit pada satu titik waktu tertentu.
Prevalensi periode menunjukkan proporsi individu yang menderita penyakit dalam suatu periode waktu, misalnya satu tahun pengamatan
Ukuran asosiasi digunakan dalam epidemiologi untuk menilai kekuatan hubungan antara faktor risiko (paparan) dan kejadian penyakit. Pada desain potong lintang (cross-sectional), ukuran asosiasi yang umum digunakan meliputi Prevalence Ratio (PR), Prevalence Odds Ratio (POR), dan Prevalence Difference (PD).
Prevalence Ratio (PR) menggambarkan perbandingan prevalensi penyakit antara kelompok terpapar dan kelompok tidak terpapar. Nilai PR lebih dari satu menunjukkan bahwa kelompok terpapar memiliki prevalensi penyakit yang lebih tinggi. Sementara itu, Prevalence Odds Ratio (POR) mengukur rasio odds prevalensi penyakit antara dua kelompok.
\[ POR = \frac{\dfrac{P_{laki-laki}}{1 - P_{laki-laki}}} {\dfrac{P_{perempuan}}{1 - P_{perempuan}}} \]
Dimana P(Laki-laki) dan p(Perempuan) merupakan prevalensi dalam bentuk proporsi, bukan persentase. Walaupun POR sering digunakan dalam analisis regresi logistik, pada penyakit dengan prevalensi tinggi, POR cenderung melebihkan kekuatan asosiasi dibanding PR (Tamhane et al., 2016) [12]. Rumus PR:
\[ PR = \frac{P_{laki-laki}}{P_{perempuan}} \]
Dimana P(Laki-laki) adalah prevalensi TBC pada laki-laki, dan p(Perempuan) adalah prevalensi TBC pada perempuan.
Sedangkan Prevalence Difference (PD) merupakan ukuran absolut yang menggambarkan selisih prevalensi antara kelompok terpapar dan tidak terpapar, sehingga dapat menggambarkan beban tambahan penyakit secara langsung dalam populasi.
\[ PD = P_{laki-laki} - P_{perempuan} \]
Dalam analisis data potong lintang, regresi log-binomial atau modified Poisson regression dengan robust standard error direkomendasikan untuk memperoleh estimasi PR yang lebih akurat dibanding regresi logistik yang menghasilkan OR (Gnardellis et al., 2022) [13]. Dengan demikian, ketiga ukuran ini saling melengkapi dalam memberikan gambaran tentang hubungan antara faktor risiko dan prevalensi penyakit pada populasi.
Dalam analisis yang dilakukan ini, digunkan desain studi cross-sectional atau potong lintang yang merupakan salah satu desain penelitian observasional yang paling sering digunakan dalam epidemiologi karena mampu menggambarkan status kesehatan populasi dan hubungannya dengan faktor risiko pada satu titik waktu, di mana dalam penelitian ini berfokus pada tahun 2020-2024 dimana ukuran epidemiologi diukur untuk setiap tahunnya untuk dijadikan pembanding. Desain ini efektif untuk mengukur prevalensi penyakit serta menilai asosiasi antara paparan dan outcome secara cepat dan efisien (Capili, 2021) [14].
Namun, desain potong lintang memiliki keterbatasan dalam menentukan hubungan sebab-akibat karena pengukuran paparan dan penyakit dilakukan secara bersamaan, sehingga urutan waktu tidak dapat dipastikan. Selain itu, desain ini rentan terhadap selection bias apabila sampel tidak representatif, serta information bias jika terdapat kesalahan dalam pencatatan atau diagnosis penyakit. Oleh karena itu, pelaporan hasil penelitian cross-sectional perlu mengikuti pedoman STROBE (Strengthening the Reporting of Observational Studies in Epidemiology) agar hasil penelitian lebih transparan, sistematis, dan dapat dievaluasi dengan baik (von Elm et al., 2019) [15].
Data yang digunakan merupakan data sekunder yang bersumber dari Open Data Jabar. Penelitian ini mencakup data kasus TBC dan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dari 27 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2020 - 2024.
Variabel-variabel yang digunakan dapat dilihat sebagai berikut :
| Variabel | Keterangan |
| Y | Jumlah Kasus TBC |
| X | Jenis Kelamin |
| N | Jumlah Penduduk |
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan analisis epidemiologi dan spasial dalam menggambarkan penyebaran dan hubungan faktor risiko kasus TBC di Provinsi Jawa Barat tahun 2020-2024. Analisis dilakukan melalui tiga tahap utama, yaitu eksplorasi data dan statistika deskriptif untuk menampilkan penyebaran kasus berdasarkan jenis kelamin dan wilayah, penghitungan ukuran frekuensi (prevalensi) untuk menggambarkan besarnya beban penyakit TBC, serta analisis ukuran asosiasi menggunakan Prevalence Ratio (PR), Prevalence Odds Ratio (POR), dan Prevalence Difference (PD) untuk menilai perbedaan risiko TBC antara laki-laki dan perempuan. Dari ukuran frekuensi dan asosiasi yang didapat, dilakukan perbandingan untuk tiap tahunnya untuk melihat apakah ada perubahan atau kecenderungan mutlak pada ukuran epidemiologi dari tahun ketahun. Selanjutnya dilakukan analisis spasial menggunakan Moran’s I dan LISA untuk mendeteksi adanya pola ketergantungan spasial serta klaster wilayah dengan kasus TBC tinggi.
Proses analisis dilakukan dengan langkah - langkah sebagai berikut.
Pengumpulan Data
Pengolahan dan Eksplorasi Data
Analisis Deskriptif dan Ukuran Frekuensi
Analisis Ukuran Asosiasi
Analisis Spasial dengan Moran’s I dan LISA
Visualisasi dan Interpretasi
Berdasarkan visualisasi peta
sebaran tersebut yang diambil dari Dashboard di main menu, kasus TBC
cenderung lebih tinggi di wilayah bagian barat Jawa Barat sejak tahun
2020 sampai 2024 secara konsisten, terutama Kabupaten Bogor yang
tercatat sebagai wilayah dengan jumlah total kasus tertinggi (lebih dari
25.000 kasus). Sementara itu, Kabupaten Pangandaran menunjukkan jumlah
total kasus paling rendah (kurang dari 5.000 kasus). Warna hijau yang
semakin tebal/gelap pada peta menggambarkan intensitas kasus yang
semakin tinggi tinggi.
Distribusi rata-rata kasus TBC menurut gender tahun 2020-2024 dapat dilihat pada tabel berikut.
| Laki-Laki (T ertinggi) | Laki-Laki ( Terendah) | Perempuan (T ertinggi) | Perempuan ( Terendah) | |
| 2020 | Bogor (9.010) | Pangandaran (195) | Bogor (7.322) | Pangandaran (138) |
| 2021 | Bogor (6.211) | Banjar (185) | Bogor (4.954) | Banjar (147) |
| 2022 | Bogor (6.510) | Banjar (168) | Bogor (5.376) | Banjar (100) |
| 2023 | Bogor (11.881) | Pangandaran (422) | Bogor (10.043) | Banjar (321) |
| 2024 | Bogor (13.846) | Pangandaran (502) | Bogor (11.618) | Pangandaran (359) |
Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa Kabupaten Bogor secara konsisten menempati posisi dengan jumlah kasus TBC tertinggi baik pada laki-laki maupun perempuan di seluruh tahun observasi. Pada tahun 2024, Kabupaten Bogor mencatat 13.846 kasus TBC pada laki-laki dan 11.618 kasus pada perempuan, menjadikannya wilayah dengan beban TBC tertinggi di Jawa Barat.
Sementara itu, Kabupaten Pangandaran dan Kota Banjar secara bergantian menjadi wilayah dengan jumlah kasus TBC terendah. Pada tahun 2024, Kabupaten Pangandaran melaporkan 502 kasus pada laki-laki dan 359 kasus pada perempuan, menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya tetapi tetap menjadi daerah dengan jumlah kasus paling sedikit di provinsi ini.
Secara umum, pola perbedaan jumlah kasus antara laki-laki dan perempuan bersifat konsisten di seluruh tahun, dengan proporsi laki-laki yang terinfeksi selalu lebih tinggi. Peningkatan kasus pada tahun 2023–2024 yang cukup signifikan, terutama di wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi seperti Bogor, menunjukkan adanya kemungkinan peningkatan deteksi kasus melalui kegiatan surveilans aktif atau intensifikasi program skrining TBC. Hal ini juga dapat berkaitan dengan pemulihan pasca pandemi Covid-19, di mana kegiatan penemuan kasus (case finding) kembali berjalan lebih optimal.
Hasil visualisasi menunjukkan bahwa proporsi populasi laki-laki dan perempuan relatif seimbang, yaitu sekitar 50,7% laki-laki dan 49,3% perempuan di tahun 2024. Hal ini berarti terdapat dugaan bahwa perbedaan jumlah kasus TBC tidak disebabkan oleh perbedaan jumlah populasi, melainkan karena perbedaan risiko dan paparan di antara gender.
Ukuran frekuensi dalam epidemiologi menggambarkan seberapa besar proporsi populasi yang mengalami suatu penyakit pada waktu tertentu. Dalam penelitian ini, ukuran frekuensi yang digunakan adalah prevalensi kasus Tuberkulosis (TBC) berdasarkan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) pada tahun 2024 di setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Peta sebaran kasus TBC berdasarkan prevalensi tahun 2024 dapat dilihat pada gambar berikut.
Prevalensi dihitung dengan membandingkan jumlah kasus TBC terhadap jumlah penduduk pada kelompok jenis kelamin yang sama, kemudian dikalikan 100 untuk mendapatkan hasil dalam satuan persen. Tabel berikut menampilkan prevalensi kasus TBC di setiap kabupaten/kota pada tahun 2024 berdasarkan jenis kelamin:
| Kabupaten | Tahun | Prevalensi Laki-Laki (%) | Prevalensi Perempuan (%) |
| KABUPATEN BANDUNG | 2024 | 0.336 | 0.307 |
| KABUPATEN BANDUNG BARAT | 2024 | 0.215 | 0.205 |
| KABUPATEN BEKASI | 2024 | 0.37 | 0.29 |
| KABUPATEN BOGOR | 2024 | 0.466 | 0.41 |
| KABUPATEN CIAMIS | 2024 | 0.262 | 0.184 |
| KABUPATEN CIANJUR | 2024 | 0.298 | 0.28 |
| KABUPATEN CIREBON | 2024 | 0.351 | 0.265 |
| KABUPATEN GARUT | 2024 | 0.295 | 0.285 |
| KABUPATEN INDRAMAYU | 2024 |
0.248 |
0.167 |
| KABUPATEN KARAWANG | 2024 | 0.46 | 0.355 |
| KABUPATEN KUNINGAN | 2024 | 0.278 | 0.214 |
| KABUPATEN MAJALENGKA | 2024 | 0.322 | 0.255 |
| KABUPATEN PANGANDARAN | 2024 | 0.224 | 0.161 |
| KABUPATEN PURWAKARTA | 2024 | 0.518 | 0.44 |
| KABUPATEN SUBANG | 2024 | 0.384 | 0.299 |
| KABUPATEN SUKABUMI | 2024 | 0.341 | 0.302 |
| KABUPATEN SUMEDANG | 2024 | 0.246 | 0.198 |
| KABUPATEN TASIKMALAYA | 2024 | 0.191 | 0.14 |
| KOTA BANDUNG | 2024 | 0.659 | 0.646 |
| KOTA BANJAR | 2024 | 0.626 | 0.405 |
| KOTA BEKASI | 2024 | 0.556 | 0.449 |
| KOTA BOGOR | 2024 | 0.828 | 0.78 |
| KOTA CIMAHI | 2024 | 0.666 | 0.704 |
| KOTA CIREBON | 2024 | 1.135 | 0.956 |
| KOTA DEPOK | 2024 | 0.385 | 0.336 |
| KOTA SUKABUMI | 2024 | 0.839 | 0.747 |
| KOTA TASIKMALAYA | 2024 | 0.556 | 0.485 |
Dari tabel tersebut dapat diamati bahwa prevalensi TBC pada laki-laki umumnya lebih tinggi dibandingkan perempuan di hampir seluruh kabupaten/kota.
Untuk melihat perkembangan situasi TBC di Jawa Barat dari waktu ke waktu, dilakukan analisis perbandingan prevalensi tahunan selama periode 2020–2024. Perbandingan ini penting untuk mengetahui tren perubahan proporsi kasus TBC antar tahun serta perbedaan berdasarkan jenis kelamin.
| tahun | prevalensi male (%) | prevalensi female (%) | prevalensi total (%) |
| 2020 | 0.256 | 0.218 | 0.237 |
| 2021 | 0.193 | 0.162 | 0.178 |
| 2022 | 0.2 | 0.173 | 0.187 |
| 2023 | 0.356 | 0.305 | 0.33 |
| 2024 | 0.398 | 0.343 | 0.371 |
Berdasarkan tabel di atas, prevalensi TBC di Jawa Barat menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun setelah 2022. Tahun 2020–2021 memperlihatkan penurunan yang mungkin dipengaruhi oleh berkurangnya pelaporan dan akses layanan kesehatan akibat pandemi Covid-19, namun sejak 2022 hingga 2024 terjadi peningkatan kembali, mencerminkan kembali seriusnya kasus TBC.
Selain itu, prevalensi pada laki-laki tetap lebih tinggi dibandingkan perempuan di setiap tahun pengamatan, yang menegaskan adanya perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan terhadap penyakit TBC di wilayah ini.
| Laki-Laki (T ertinggi) | Laki-Laki ( Terendah) | Perempuan (T ertinggi) | Perempuan ( Terendah) | |
| 2020 | Kota Sukabumi (0.58%) | Pangandaran (0.09%) | Kota Bandung (0.48%) | Pangandaran (0.06%) |
| 2021 | Kota Cirebon (0.42%) | Bandung Barat (0.09%) | Kota Bandung (0.35%) | Indramayu (0.07%) |
| 2022 | Kota Cirebon (0.62%) | Bandung Barat (0.1%) | Kota Cirebon (0.48%) | Indramayu (0.07%) |
| 2023 | Kota Cirebon (0.89%) | Bandung Barat (0.17%) | Cimahi (0.76%) | Tasikmalaya (0.13%) |
| 2024 | Kota Cirebon (1.14%) | Tasikmalaya (0.19%) | Kota Cirebon (0.96%) | Tasikmalaya (0.14%) |
Berdasarkan di atas, dapat diketahui bahwa prevalensi TBC tertinggi pada laki-laki secara konsisten terjadi di wilayah perkotaan padat penduduk seperti Kota Cirebon dan Kota Sukabumi, sementara prevalensi terendah cenderung ditemukan di wilayah dengan kepadatan penduduk rendah seperti Kabupaten Tasikmalaya, Pangandaran, dan Bandung Barat.
Pada tahun 2024, Kota Cirebon mencatat prevalensi TBC tertinggi pada laki-laki sebesar 1,14% dan pada perempuan sebesar 0,96%, menjadikannya wilayah dengan beban relatif tertinggi di Jawa Barat. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun jumlah kasus absolut mungkin tidak sebesar daerah lain, proporsi penderita terhadap jumlah penduduk di Cirebon tergolong tinggi, menunjukkan kemungkinan adanya transmisi lokal yang intens atau efektivitas deteksi kasus yang tinggi.
Sebaliknya, Kabupaten Tasikmalaya dan Pangandaran secara konsisten menunjukkan prevalensi terendah pada kedua gender, dengan nilai di bawah 0,2%. Hal ini dapat mencerminkan dua kemungkinan. Pertama, beban penyakit yang memang lebih rendah atau kedua, kegiatan penemuan kasus (case finding) yang masih terbatas di wilayah tersebut.
Pola yang muncul menunjukkan bahwa wilayah perkotaan dengan kepadatan penduduk tinggi dan mobilitas sosial-ekonomi besar cenderung memiliki prevalensi TBC yang lebih tinggi. Kondisi ini sejalan dengan literatur epidemiologi yang menyebutkan bahwa kepadatan permukiman, paparan lingkungan tertutup, serta faktor sosial ekonomi berperan penting dalam peningkatan risiko penularan TBC.
Ukuran Prevalence Ratio (PR) digunakan untuk membandingkan prevalensi suatu penyakit antara dua kelompok gender, yakni antara laki-laki dan perempuan.
| Tahun | PR |
| 2020 | 1.227 |
| 2021 | 1.231 |
| 2022 | 1.223 |
| 2023 | 1.205 |
| 2024 | 1.213 |
Nilai PR berkisar antara 1,205 hingga 1,231, menunjukkan bahwa prevalensi TBC pada laki-laki secara konsisten sekitar 20–23% lebih tinggi dibandingkan perempuan. Pada tahun 2024, nilai PR mencapai 1,213, yang berarti prevalensi TBC pada laki-laki masih lebih tinggi sekitar 21% dibandingkan perempuan. Jika dibandingkan antar-tahun, PR menunjukkan tren relatif stabil tanpa penurunan berarti, mengindikasikan bahwa risiko penyakit TBC berbasis jenis kelamin masih berlangsung secara konsisten selama periode 2020–2024.
Prevalence Odds Ratio (POR) mengukur perbandingan peluang seseorang menderita TBC antara dua kelompok (gender).
| Tahun | POR |
| 2020 | 1.227 |
| 2021 | 1.232 |
| 2022 | 1.223 |
| 2023 | 1.206 |
| 2024 | 1.214 |
Nilai POR berkisar antara 1,206 hingga 1,232 dari tahun 2020 sampai dengan 2024. Pada tahun 2024, nilai POR sebesar 1,214 menunjukkan bahwa peluang laki-laki untuk menderita TBC sekitar 1,2 kali lebih besar dibandingkan perempuan. Bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, tidak terjadi penurunan berarti pada nilai POR, yang menandakan bahwa kesenjangan peluang tersebut bersifat persisten.
| POR Tertinggi | POR Terendan | |
| 2020 | Banjar (1.52%) | Cianjur (0.98%) |
| 2021 | Pangandaran (1.49%) | Cimahi (0.93%) |
| 2022 | Banjar (1.66%) | Cimahi (0.91%) |
| 2023 | Indramayu (1.52%) | Bandung Barat (0.96%) |
| 2024 | Banjar (1.55%) | Cimahi (0.95%) |
Berdasarkan hasil perhitungan, nilai POR di seluruh kabupaten/kota berada di kisaran 0,9 hingga 1,7, yang menunjukkan bahwa peluang laki-laki untuk menderita TBC umumnya lebih tinggi dibandingkan perempuan, meskipun tingkat perbedaannya bervariasi antarwilayah.
Pada tahun 2024, misalnya, Kota Banjar menunjukkan nilai POR tertinggi sebesar 1.55, yang berarti peluang laki-laki untuk menderita TBC sekitar 1,5 kali lebih besar dibandingkan perempuan di wilayah tersebut. Sebaliknya, Kota Cimahi mencatat nilai POR terendah di angka 0.95, yang menandakan tidak adanya perbedaan peluang signifikan antara kedua gender bahkan menunjukkan kecenderungan sedikit lebih tinggi pada perempuan.
Secara temporal, Banjar secara konsisten menjadi wilayah dengan nilai POR tertinggi pada sebagian besar tahun pengamatan (2020, 2022, dan 2024). Hal ini mengindikasikan adanya disparitas risiko yang relatif stabil antara laki-laki dan perempuan di daerah tersebut, yang dapat berkaitan dengan faktor sosial-ekonomi, pola pekerjaan, atau perbedaan akses layanan kesehatan.
Sebaliknya, Cimahi dan Bandung Barat cenderung menunjukkan nilai POR mendekati 1, menandakan bahwa risiko TBC antara laki-laki dan perempuan relatif setara di wilayah tersebut. Hal ini mungkin mencerminkan cakupan layanan kesehatan yang lebih merata, atau pola perilaku yang serupa antara kedua gender dalam hal paparan faktor risiko TBC.
Jika ditinjau dari tren tahunan, terlihat bahwa POR relatif stabil di kisaran 1,2 pada tingkat provinsi, dengan sedikit peningkatan pada tahun 2022 dan 2024. Pola ini menguatkan temuan pada ukuran PR dan PD, yaitu bahwa laki-laki secara konsisten memiliki peluang lebih besar untuk terinfeksi TBC dibandingkan perempuan, meskipun perbedaan peluang tidak terlalu ekstrem.
Konsistensi nilai POR dan PR yang saling mendekati memperlihatkan bahwa proporsi penderita TBC terhadap populasi total masih rendah, sehingga perbedaan antara ukuran berbasis proporsi (PR) dan odds (POR) tidak signifikan, ini merupakan fenomena yang umum dijumpai pada penyakit dengan prevalensi rendah seperti TBC.
Ukuran Prevalence Difference (PD) menggambarkan selisih absolut prevalensi antara dua kelompok.
| Tahun | PD (%) |
| 2020 | 0.046 |
| 2021 | 0.032 |
| 2022 | 0.033 |
| 2023 | 0.055 |
| 2024 | 0.066 |
Selama periode 2020–2024, nilai PD berada pada rentang 0,032% hingga
0,066%, dengan tahun 2024 mencapai nilai tertinggi yakni sebesar 0,066%. Hal ini berarti selisih prevalensi antara laki-laki dan perempuan semakin melebar pada tahun terakhir observasi. Walaupun perbedaan tersebut tergolong kecil, konsistensinya menunjukkan bahwa beban penyakit TBC pada laki-laki signifikan selalu lebih tinggi dan belum menunjukkan tren penyempitan kesenjangan dari tahun ke tahun.
| Tahun | PD Tertinggi | PD Terendah |
| 2020 | Banjar (0.17%) | Kota Bandung (0.00%) |
| 2021 | Kota Cirebon (0.12) | Bandung Barat (0.00%) |
| 2022 | Kota Cirebon (0.15%) | Bandung (0.00%) |
| 2023 | Banjar (0.16%) | Bandung Barat (0.01%) |
| 2024 | Banjar (0.22%) | Garut (0.01%) |
Wilayah Kota Banjar kembali menempati posisi dengan nilai PD tertinggi pada beberapa tahun, termasuk tahun 2020, 2023, dan 2024, yang menunjukkan bahwa selisih prevalensi TBC antara laki-laki dan perempuan di daerah tersebut paling lebar, yakni mencapai 0,22% pada tahun 2024. Artinya, pada tahun tersebut, prevalensi TBC pada laki-laki di Kota Banjar lebih tinggi sekitar 0,22 poin persentase dibandingkan perempuan, suatu perbedaan yang meskipun tampak kecil, namun cukup bermakna secara epidemiologis.
Sebaliknya, beberapa daerah seperti Kota Bandung, Bandung Barat, dan Garut mencatat nilai PD yang mendekati nol, yang berarti tidak terdapat perbedaan prevalensi yang berarti antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat menunjukkan bahwa risiko TBC di wilayah-wilayah tersebut relatif seimbang antar gender, kemungkinan disebabkan oleh distribusi sosial-ekonomi dan pola kehidupan yang serupa, atau program pengendalian TBC yang menjangkau kedua kelompok secara setara.
Hasil perhitungan PD ini mengonfirmasi temuan dari PR dan POR, yaitu bahwa laki-laki secara konsisten memiliki prevalensi TBC lebih tinggi dibandingkan perempuan di sebagian besar wilayah Jawa Barat. Namun, karena nilai PD relatif kecil (kurang dari 0,3%), dapat disimpulkan bahwa perbedaan gender dalam beban TBC di tingkat populasi tidak terlalu ekstrem, meskipun arah asosiasinya tetap sama di seluruh periode 2020–2024.
| Uji Statistik | p-value |
| Moran’s I | 0.002 (I = 0.35) |
Berdasarkan hasil Moran’s I yang menggunakan matriks bobot spasial dengan queen continquity, nilai p-value <0.05 (Tolak H0) dan nilai I = 0.35 yang berarti terdapat autokorelasi spasial positif yang signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa daerah dengan kasus tinggi dikelilingi oleh daerah dengan kasus tinggi juga, dan sebaliknya untuk daerah dengan kasus rendah dikelilingi oleh daerah dengan kasus rendah juga.
Untuk local Moran’s I (LISA), menghasilkan nilai berbeda pada setiap daerah. Terdapat beberapa daerah yang signifikan dan terbagi menjadi 2 bagian. Pertama, daerah High-High cluster seperti Bekasi, Depok, dan Bogor. Kedua, daerah Low-Low cluster seperti Purwakarta, Majalengka, dan Ciamis. Terakhir daerah yang diasumsikan sebagai outlier karena tidak sesuai teori dalam analisis spasial yaitu Low-High seperti Bandung Barat dan High-Low seperti Subang, Garut, dan Cirebon. Hasil visualisasi dapat dilihat pada gambar berikut.
Sebagai bagian dari analisis epidemiologi, dilakukan simulasi desain studi cross-sectional untuk menggambarkan hubungan antara jenis kelamin dan kejadian TBC pada populasi di Provinsi Jawa Barat. Studi ini bersifat simulatif, dengan data yang disusun secara hipotetik untuk mempermudah pemahaman konsep ukuran asosiasi dan potensi bias dalam desain epidemiologis.
| Jenis Kelamin | TBC (+) | TBC (−) | Total |
| Laki-laki | 40 | 460 | 500 |
| Perempuan | 20 | 480 | 500 |
| Total | 60 | 940 | 1000 |
Variabel Utama
Variabel independen (paparan): Jenis kelamin (laki-laki/perempuan)
Variabel dependen (outcome): Status TBC (positif atau negatif berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium atau konfirmasi klinis).
Dalam simulasi ini, jenis kelamin diasumsikan sebagai faktor risiko yang dapat memengaruhi kemungkinan seseorang terdiagnosis TBC.
Populasi dan Unit Analisis
Populasi target adalah seluruh masyarakat dewasa di Provinsi
Jawa Barat, yang berpotensi terpapar infeksi TBC. Unit analisis adalah
individu, di mana setiap individu dicatat berdasarkan status TBC dan
jenis kelaminnya.
Metode Sampling
Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah multistage
cluster sampling, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Pemilihan acak beberapa kabupaten/kota di Jawa Barat sebagai klaster utama.
Dari setiap kabupaten/kota terpilih, dipilih secara acak beberapa kecamatan dan kemudian kelurahan/desa.
Di setiap kelurahan, dilakukan pemilihan rumah tangga secara acak sistematis.
Dari setiap rumah tangga, satu individu dewasa (≥15 tahun) dipilih secara acak sebagai responden.
Metode ini memungkinkan pemerataan representasi populasi dan mengurangi risiko bias geografis.
Potensi Bias dan Confounding
Selection Bias
Dapat terjadi jika individu yang berpartisipasi tidak mewakili populasi
umum, misalnya hanya yang datang ke fasilitas kesehatan, bukan populasi
komunitas.
Information Bias
Kemungkinan kesalahan diagnosis (false positive atau false negative)
atau kesalahan pelaporan status TBC.
Confounding Factors
Faktor lain seperti kebiasaan merokok, paparan polusi udara, infeksi
HIV, status gizi, atau kepadatan hunian dapat memengaruhi hubungan
antara jenis kelamin dan kejadian TBC.
Oleh karena itu, dalam penelitian riil, variabel-variabel tersebut sebaiknya dikontrol menggunakan analisis multivariat (misalnya regresi logistik).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola penyebaran kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat, menilai pengaruh faktor jenis kelamin terhadap jumlah kasus, serta mengidentifikasi adanya autokorelasi spasial antar wilayah selama periode 2020–2024. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa pola penyebaran TBC menunjukkan kecenderungan yang konsisten di wilayah bagian barat Jawa Barat, terutama di Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kota Bekasi yang menjadi pusat konsentrasi kasus tertinggi. Hasil uji autokorelasi spasial dengan Moran’s I sebesar 0,35 (p-value = 0,002) menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif yang signifikan. Artinya, wilayah dengan jumlah kasus tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah lain yang juga memiliki kasus tinggi (high-high cluster), sedangkan daerah dengan kasus rendah berdekatan dengan wilayah berkasus rendah (low-low cluster), seperti Garut dan Tasikmalaya. Temuan ini menegaskan bahwa distribusi kasus TBC di Jawa Barat tidak bersifat acak, melainkan membentuk pola spasial yang nyata.
Dari sisi perbedaan berdasarkan jenis kelamin, hasil analisis prevalensi menunjukkan bahwa laki-laki secara konsisten memiliki prevalensi dan peluang menderita TBC lebih tinggi dibandingkan perempuan di seluruh tahun pengamatan. Nilai Prevalence Ratio (PR) berkisar antara 1,205 hingga 1,231, sementara Prevalence Odds Ratio (POR) antara 1,206 hingga 1,232, yang menandakan bahwa laki-laki memiliki risiko sekitar 1,2 kali lebih tinggi untuk menderita TBC dibandingkan perempuan. Selain itu, Prevalence Difference (PD) yang berkisar antara 0,03% hingga 0,07% menunjukkan selisih absolut prevalensi yang kecil namun konsisten, menegaskan adanya disparitas risiko berdasarkan gender. Jika dilihat secara temporal, prevalensi TBC sempat menurun pada tahun 2020–2021, kemungkinan akibat pembatasan mobilitas dan menurunnya pelaporan selama pandemi COVID-19, namun kembali meningkat signifikan sejak 2022 hingga 2024. Pada tahun terakhir observasi, prevalensi mencapai 0,398% pada laki-laki dan 0,343% pada perempuan, menunjukkan peningkatan beban penyakit di seluruh populasi.
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap kejadian TBC di Jawa Barat, di mana laki-laki menjadi kelompok dengan beban penyakit yang lebih tinggi. Namun, pola spasial yang terbentuk juga mengindikasikan bahwa faktor lingkungan, sosial ekonomi, kepadatan penduduk, dan mobilitas urban turut berperan penting dalam menentukan distribusi penyakit. Dengan demikian, pengendalian TBC di Jawa Barat perlu mempertimbangkan pendekatan berbasis wilayah dan berbasis gender secara bersamaan untuk mencapai efektivitas yang optimal.
Berdasarkan hasil penelitian, disarankan agar Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat memperkuat program deteksi dini di wilayah dengan beban tinggi seperti Bogor, Bekasi, dan Cirebon, serta meningkatkan koordinasi antar wilayah yang termasuk dalam klaster spasial kasus tinggi. Program pengendalian TBC juga perlu mempertimbangkan perbedaan gender dengan memberikan perhatian lebih kepada kelompok laki-laki sebagai kelompok dengan risiko tertinggi melalui edukasi, promosi kesehatan, dan peningkatan akses terhadap pemeriksaan TBC. Selain itu, pengembangan sistem pemantauan spasial berbasis data perlu terus ditingkatkan agar mampu memberikan gambaran sebaran kasus secara real-time dan mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti. Penelitian lanjutan juga direkomendasikan untuk memasukkan faktor-faktor risiko lain seperti perilaku merokok, status gizi, kepadatan hunian, dan akses layanan kesehatan guna memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai determinan TBC di Jawa Barat.
[1] Prameswari Ambarsih. (2023). Urgensi Penanggulangan TBC di Indonesia. Diakses darihttps://rc-gerid.unair.ac.id/urgensi-penanggulangan-tbc-di-indonesia/
[2] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2025). Gerakan Indonesia untuk Mengakhiri TB. Diakses darihttps://kemkes.go.id/id/indonesias-movement-to-end-tb
[3] Stop TB Indonesia. (2022). Peluncuran Rencana Global untuk Mengakhiri TBC 2023-2030. Diakses darihttps://www.stoptbindonesia.org/single-post/peluncuran-rencana-global-untuk-mengakhiri-tbc-2023-2030
[4] Muhamad Nabilah. (2025). Jawa Barat Jadi Provinsi dengan Kasus TBC Terbanyak 2024. Diakses darihttps://databoks.katadata.co.id/demografi/statistik/6790af5d95790/jawa-barat-jadi-provinsi-dengan-kasus-tbc-terbanyak-2024
[5] Tim detikHealth. (2025). Jawa Barat Penyumbang Kasus TBC Tertinggi di Indonesia. Diakses darihttps://www.detik.com/jabar/berita/d-7742880/jawa-barat-penyumbang-kasus-tbc-tertinggi-di-indonesia
[6] H. I. Zebua and I. G. N. M. Jaya, “Spatial Autoregressive Model of Tuberculosis Cases in Central Java Province 2019,” CAUCHY – Jurnal Matematika Murni dan Aplikasi, vol. 7, no. 2, pp. 240–248, 2022.
[7] Badan Pusat Statistik. (2024). Statistik Komuter Jabodetabek: Hasil Survei Komuter Jabodetabek 2023 (Vol. 3). Direktorat Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan, Badan Pusat Statistik.https://www.bps.go.id
[8] Gupta, S., Winglee, K., Ahn, J., & Bishai, W. R. (2022). Genetic and hormonal mechanisms underlying sex-specific immune responses in tuberculosis. Trends in Immunology, 43(9), 737–749.https://doi.org/10.1016/j.it.2022.06.004
[9] Chidambaram, V., Tun, N. L., Majella, M. G., Castillo, J. R., Ayeh, S. K., Kumar, A., Neupane, P., Sivakumar, R. K., Win, E. P., Abbey, E. J., Wang, S., Zimmerman, A., Blanck, J., Gupte, A., Wang, J.-Y., & Karakousis, P. C. (2021). Male sex is associated with worse microbiological and clinical outcomes following tuberculosis treatment: A retrospective cohort study, a systematic review of the literature, and meta-analysis. Clinical Infectious Diseases, 73(9), 1580–1588. https://doi.org/10.1093/cid/ciab527
[10] van Seventer, J. M., & Hochberg, N. S. (2016). Principles of infectious diseases: Transmission, diagnosis, and control. Medical Clinics of North America, 100(6), 1125–1143. https://doi.org/10.1016/j.mcna.2016.06.012
[11] John, T. J., & Samuel, R. (2023). Eco-epidemiology triad to explain infectious diseases. Journal of Family Medicine and Primary Care, 12(10), 1928–1933. https://doi.org/10.4103/jfmpc.jfmpc_1130_22
[12] Tamhane, A. R., Westfall, A. O., Burkholder, G. A., Cutter, G. R., & Henrich, J. (2016). Prevalence odds ratio versus prevalence ratio: Choice comes with consequences. BMC Medical Research Methodology, 16(1), 1–10. https://doi.org/10.1186/s12874-016-0247-5
[13] Gnardellis, C., Touloumi, G., & Pantazis, N. (2022). Overestimation of relative risk and prevalence ratio by odds ratio under certain conditions: Alternatives and guidance. BMC Medical Research Methodology, 22(1), 1–8. https://doi.org/10.1186/s12874-022-01793-8
[14] Capili, B. (2021). Overview: Cross-sectional studies. Journal of the American Academy of Nurse Practitioners, 33(8), 1456–1459. https://doi.org/10.1097/JXX.0000000000000563
[15] von Elm, E., Altman, D. G., Egger, M., Pocock, S. J., Gøtzsche, P. C., & Vandenbroucke, J. P. (2019). The Strengthening the Reporting of Observational Studies in Epidemiology (STROBE) statement: Guidelines for reporting observational studies. International Journal of Surgery, 12(12), 1495–1499.https://doi.org/10.1016/j.ijsu.2014.07.013
[16] Pemerintah Provinsi Jawa Barat. (2025). Jumlah Kasus Tuberkulosis Berdasarkan Jenis Kelamin di Jawa Barat. Open Data Jabar. Diakses pada 29 Oktober 2025, dari https://opendata.jabarprov.go.id/id/dataset/jumlah-kasus-tuberkulosis-berdasarkan-jenis-kelamin-di-jawa-barat
[17] Pemerintah Provinsi Jawa Barat. (2025). Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Open Data Jabar. Diakses pada 29 Oktober 2025, dari https://opendata.jabarprov.go.id/id/dataset/jumlah-penduduk-berdasarkan-kelompok-umur-dan-kabupatenkota-di-jawa-barat
Link Dashboard: https://epidem-tbc-jawa-barat-dashboard.streamlit.app/