Abstract

Abstrak. Penelitian ini bertujuan menggambarkan distribusi kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 serta menilai hubungan antara kepadatan penduduk dan kejadian TBC menggunakan pendekatan cross-sectional. Analisis dilakukan dengan menggunakan data sekunder berupa jumlah kasus TBC (224.798 kasus) dan populasi penduduk (50.345.190 jiwa) di seluruh kabupaten/kota. Hasil perhitungan menunjukkan prevalensi TBC provinsi sebesar 0,45%, dengan variasi antarwilayah yang cukup mencolok. Untuk menilai asosiasi antara kepadatan penduduk dan kejadian TBC, dilakukan analisis melalui ukuran Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR). Hasilnya menunjukkan bahwa wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi memiliki risiko lebih besar mengalami TBC dengan nilai PR sebesar 1,65. Temuan ini mengindikasikan adanya keterkaitan antara faktor kepadatan penduduk dan penyebaran TBC, meskipun hubungan kausal tidak dapat dipastikan karena keterbatasan desain cross-sectional. Secara keseluruhan, hasil penelitian memberikan gambaran situasi TBC di Jawa Barat dan menegaskan perlunya penguatan deteksi dini, peningkatan cakupan pengobatan, serta intervensi berbasis wilayah terutama pada area dengan mobilitas penduduk tinggi.

Kata kunci: Tuberkulosis, prevalensi, kepadatan penduduk, epidemiologi, Jawa Barat

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang umumnya menyerang paru-paru namun juga dapat menginfeksi organ lain (TBC ekstraparu). Penyakit ini menjadi salah satu penyebab kematian akibat infeksi menular tertinggi di dunia, dengan estimasi 10,8 juta kasus baru pada tahun 2023. Penularan terjadi melalui droplet udara saat penderita batuk, bersin, atau berbicara, dan paparan dalam jumlah kecil pun dapat menyebabkan infeksi. Indonesia menempati posisi kedua dengan jumlah kasus tertinggi secara global, di mana sekitar 10% kasus dunia berasal dari Indonesia. Diperkirakan 25% populasi dunia terinfeksi bakteri TBC, namun hanya 5–10% yang berkembang menjadi penyakit aktif, sehingga deteksi dini dan diagnosis akurat menjadi kunci untuk mencegah penularan lebih lanjut.

Faktor risiko TBC meliputi berbagai kondisi yang dapat meningkatkan perkembangan infeksi menjadi penyakit aktif, seperti malnutrisi, imunitas rendah, komorbid tertentu, konsumsi alkohol, serta kondisi sosial-ekonomi yang kurang mendukung. Di Indonesia, tren diagnosis TBC menunjukkan peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir, sebagaimana dilaporkan oleh Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia (2024). Pada tingkat nasional, Provinsi Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah kasus TBC tertinggi pada tahun 2024, yaitu 224.798 kasus berdasarkan data BPS. Hal ini menunjukkan bahwa penularan TBC di provinsi ini masih menjadi tantangan dan berpotensi menghambat pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) terkait peningkatan kesehatan masyarakat.

Dalam konteks epidemiologi, kejadian TBC dipengaruhi oleh interaksi antara agent (bakteri), host (manusia), dan environment (lingkungan). Faktor lingkungan seperti ventilasi yang buruk, kepadatan hunian, dan sanitasi yang kurang memadai dapat meningkatkan risiko penularan, terutama di wilayah dengan mobilitas penduduk tinggi. Melihat jumlah kasus yang besar dan distribusi populasi yang beragam antarwilayah, analisis distribusi kasus berdasarkan kabupaten/kota serta penilaian hubungan antara kepadatan penduduk dan kejadian TBC pada tahun 2024 menjadi penting untuk memberikan gambaran situasi penyakit serta mendukung penetapan prioritas intervensi kesehatan masyarakat di Jawa Barat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana distribusi kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 menurut kabupaten/kota?

  2. Bagaimana tren perkembangan kasus TBC di Provinsi Jawa Barat dalam beberapa tahun terakhir?

  3. Apakah terdapat hubungan antara kepadatan penduduk dengan kejadian TBC di Jawa Barat?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Menganalisis distribusi kasus TBC di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 berdasarkan dimensi waktu dan tempat.

  2. Mengidentifikasi tren perkembangan kasus TBC di Provinsi Jawa Barat dalam periode waktu tertentu.

  3. Menganalisis hubungan antara kepadatan penduduk dengan kejadian TBC menggunakan ukuran asosiasi.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi instansi kesehatan dalam merancang strategi pengendalian TBC di Provinsi Jawa Barat. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi sumber data bagi akademisi dan peneliti untuk memahami pola epidemiologi TBC berdasarkan waktu, tempat, dan karakteristik penduduk. Secara praktis, hasil analisis juga diharapkan mampu membantu pemerintah daerah dalam mengidentifikasi wilayah prioritas intervensi guna menurunkan angka kejadian TBC dan mendukung pencapaian tujuan pembangunan kesehatan yang berkelanjutan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis (TBC)

Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, umumnya menyerang paru-paru tetapi dapat mengenai organ lain. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat global karena penularannya melalui udara dan potensi tinggi untuk komplikasi dan kematian bila tidak ditangani. Faktor risiko meliputi kondisi lingkungan seperti kepadatan penduduk, ventilasi buruk, kontak erat dengan penderita aktif, status imun rendah (misalnya HIV/AIDS), kondisi gizi buruk, dan kebersihan lingkungan yang kurang. Pemahaman aspek epidemiologi TBC termasuk distribusi, determinan, dan pola penyebarannya menjadi dasar penting bagi strategi pencegahan dan pengendalian penyakit di tingkat populasi.

2.1 Agent-Host-Environment

Dalam konsep epidemiologi, terjadinya suatu penyakit merupakan hasil interaksi dinamis antara agent, host, dan environment. Agent adalah faktor penyebab penyakit, yang dapat berupa agen biologis (bakteri, virus, jamur), kimia (racun, polutan, asap rokok), fisik (radiasi, suhu ekstrem, trauma), maupun sosial (stres, perilaku berisiko). Host adalah organisme atau individu yang rentan terhadap penyakit, dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, status gizi, kondisi imun, genetik, dan kebiasaan hidup. Sementara itu, environment mencakup kondisi fisik, biologis, sosial, dan ekonomi yang memungkinkan terjadinya paparan, termasuk kepadatan penduduk, kualitas udara, ventilasi, sanitasi, dan pola interaksi manusia.

      AGENT
       / \
      /   \
     /     \
  HOST --- ENVIRONMENT

Ketiga komponen ini saling berhubungan membentuk segitiga epidemiologi, di mana perubahan pada salah satu unsur dapat memengaruhi peluang terjadinya penyakit. Dalam konteks TBC, tingginya interaksi manusia di wilayah padat penduduk (environment) mempermudah penularan bakteri Mycobacterium tuberculosis (agent) kepada individu yang rentan (host), sehingga memperkuat penyebaran penyakit.

2.2 Ukuran Frekuensi

Ukuran frekuensi dalam epidemiologi digunakan untuk menggambarkan besarnya beban penyakit dalam populasi. Salah satu ukuran penting adalah prevalensi, yang menunjukkan proporsi individu dalam populasi yang memiliki penyakit pada satu titik waktu atau periode tertentu. Rumus yang umum digunakan adalah:

$$ P = \dfrac{\text{Jumlah Kasus Penyakit}}{\text{Populasi}} \times 100\% $$

Ukuran ini sangat berguna untuk melakukan perbandingan antarwilayah atau antarperiode, serta membantu dalam penentuan prioritas intervensi kesehatan masyarakat. Dalam konteks penelitian ini, prevalensi TBC di Provinsi Jawa Barat digunakan untuk menggambarkan proporsi penduduk yang menderita TBC pada tahun 2024.

2.3 Ukuran Asosiasi

Ukuran asosiasi digunakan untuk menilai kekuatan hubungan antara paparan (exposure) dan outcome (penyakit) dalam studi observasional. Dalam studi potong lintang (cross-sectional) dua ukuran yang sering digunakan adalah Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR). Rumusnya dapat dinyatakan sebagai berikut:

\[PR = \dfrac{\frac{a}{a+b}}{\frac{c}{c+d}}\]

\[POR = \dfrac{a \times d}{b \times c}\]

Di mana dalam tabel kontingensi 2×2:

  • a = jumlah paparan & penyakit

  • b = jumlah paparan & tanpa penyakit

  • c = jumlah tidak paparan & penyakit

  • d = jumlah tidak paparan & tanpa penyakit

Nilai PR atau POR > 1 menunjukkan adanya asosiasi positif antara paparan dan penyakit, sedangkan nilai < 1 menunjukkan potensi efek pelindung (protective). Namun, penting dicatat bahwa dalam desain cross-sectional, asosiasi tidak sama dengan kausalitas karena urutan waktu paparan dan outcome tidak dapat dipastikan.

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional study untuk menggambarkan hubungan antara kepadatan penduduk dengan kejadian Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Desain ini dipilih karena mampu menilai prevalensi penyakit serta asosiasinya dengan faktor risiko pada satu periode waktu yang sama. Unit analisis dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Ukuran epidemiologi yang digunakan meliputi ukuran frekuensi berupa prevalensi, dan ukuran asosiasi berupa Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR). Pendekatan ini dipilih karena mampu memberikan gambaran mengenai distribusi penyakit dan faktor yang berpotensi berhubungan dengannya pada satu periode waktu tertentu tanpa memerlukan pengamatan jangka panjang.

3.2 Data dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber resmi pemerintah yang relevan dengan topik epidemiologi Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Data utama mengenai jumlah kasus TBC per kabupaten/kota bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat melalui publikasi Kasus Penyakit Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Penyakit di Provinsi Jawa Barat Tahun 2024. Data ini mencakup jumlah kasus TBC yang dilaporkan selama periode analisis di masing-masing wilayah administratif. Selanjutnya, data populasi penduduk tahun 2024 yang bersumber dari BPS Kabupaten Bandung dalam publikasi Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat (Ribu, 2024).

3.3 Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua variabel utama, yaitu jumlah kasus Tuberkulosis (TBC) dan populasi penduduk di tingkat kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Variabel kasus TBC menggambarkan banyaknya individu yang dilaporkan menderita penyakit TBC berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, sedangkan variabel populasi menunjukkan jumlah total penduduk di setiap kabupaten/kota berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).

Pengelompokan wilayah dilakukan berdasarkan rata-rata populasi provinsi untuk membedakan antara wilayah padat penduduk dan wilayah tidak padat penduduk. Wilayah dengan jumlah penduduk di atas nilai rata-rata dikategorikan sebagai padat, sedangkan yang berada di bawah rata-rata dikategorikan sebagai tidak padat. Jumlah penduduk yang tidak terinfeksi TBC diperoleh dari selisih antara total populasi dengan jumlah kasus TBC di masing-masing wilayah. Penggunaan kedua variabel ini memungkinkan analisis hubungan antara kepadatan penduduk dan kejadian TBC di Jawa Barat secara deskriptif.

3.4 Metode Analisis

Metode analisis pada penelitian ini terdiri dari tiga tahapan utama, yaitu analisis frekuensi, analisis asosiasi, dan visualisasi data epidemiologi. Analisis frekuensi digunakan untuk menggambarkan besarnya beban penyakit melalui perhitungan prevalensi TBC di Jawa Barat dan di setiap kabupaten/kota Jawa Barat. Analisis asosiasi dilakukan untuk menilai hubungan antara tingkat kepadatan penduduk dengan kejadian TBC menggunakan ukuran Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR). Sementara itu, visualisasi data digunakan untuk memperjelas hasil analisis dalam bentuk grafik tren, diagram batang, histogram, dan peta tematik sehingga pola penyebaran dan perbedaan antarwilayah dapat terlihat lebih jelas.

3.4.1 Analisis Frekuensi

Analisis frekuensi dilakukan untuk menggambarkan besarnya beban penyakit Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat melalui ukuran prevalensi. Ukuran ini menunjukkan proporsi individu dalam populasi yang menderita penyakit pada satu waktu tertentu, sehingga dapat mencerminkan tingkat penyebaran penyakit dalam populasi (Hennekens & Buring, 1987). Pada penelitian ini, prevalensi dihitung berdasarkan jumlah kasus TBC yang tercatat pada tahun 2024 dibandingkan dengan total populasi pada kabupaten atau kota yang bersangkutan. Prevalensi kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat dihitung untuk mengetahui proporsi penduduk yang menderita TBC dalam suatu periode tertentu. Rumus yang digunakan adalah:

$$ P = \dfrac{\text{Kasus TBC (baru + lama)}}{\text{Populasi}} \times 100\% $$

$$ P = \dfrac{224.798}{50.345.190} \times 100\% = \mathbf{0{,}45\%} $$

Berdasarkan data tahun 2024, jumlah kasus TBC (baru dan lama) tercatat sebanyak 224.798 kasus dari total populasi 50.345.190 jiwa, sehingga diperoleh nilai prevalensi sebesar 0,45%. Penghitungan ini bertujuan untuk menggambarkan distribusi beban penyakit TBC serta mendukung penetapan wilayah prioritas intervensi kesehatan masyarakat.

3.4.2 Analisis Asosasi

Analisis asosiasi dilakukan untuk menilai hubungan antara kepadatan penduduk sebagai faktor paparan dengan kejadian Tuberkulosis (TBC) sebagai outcome. Dua ukuran asosiasi yang digunakan adalah Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR). Prevalence Ratio (PR) digunakan untuk membandingkan proporsi penderita TBC antara kelompok dengan kepadatan penduduk tinggi dan rendah. PR lebih mudah dipahami secara intuitif karena menunjukkan seberapa besar prevalensi penyakit pada kelompok terpapar dibandingkan dengan kelompok tidak terpapar. Perhitungan Prevalence Ratio (PR) dilakukan sebagai berikut:

$$ PR = \dfrac{a/(a+b)}{c/(c+d)} $$

$$ PR = \dfrac{67.968 / (67.968 + 10.406.262)}{156.830 / (156.830 + 39.714.130)} = \mathbf{1{,}65} $$

Sementara itu, Prevalence Odds Ratio (POR) digunakan untuk menilai perbandingan odds (peluang) terjadinya penyakit antara kedua kelompok. POR memiliki keunggulan dalam situasi ketika hubungan sebab-akibat antara variabel belum jelas, karena nilai odds tetap konsisten meskipun posisi variabel dalam tabel kontingensi berubah. Prevalence Odds Ratio (POR) dihitung sebagai berikut:

$$ POR = \dfrac{a \times d}{b \times c} $$

$$ POR = \dfrac{67.968 \times 39.714.130}{10.406.262 \times 156.830} = \mathbf{1{,}65} $$

Di mana a dan c adalah jumlah kasus TBC di wilayah berkepadatan tinggi dan berkepadatan rendah, sedangkan b dan d adalah jumlah individu tanpa penyakit pada masing-masing wilayah. Nilai PR dan POR > 1 menunjukkan bahwa wilayah berkepadatan tinggi meningkatkan risiko penyakit, sedangkan nilai < 1 menunjukkan efek protektif. Analisis ini memberikan gambaran awal mengenai potensi hubungan antara kepadatan penduduk dan risiko TBC, meskipun desain cross-sectional tidak dapat memastikan hubungan sebab-akibat (Hennekens & Buring, 1987).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Distribusi dan Tren Kasus Tuberkulosis

Distribusi kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 menunjukkan adanya variasi yang cukup besar antar kabupaten dan kota. Sebaran jumlah kasus ditampilkan pada gambar berikut, yang memperlihatkan bahwa sebagian besar wilayah memiliki jumlah kasus relatif rendah, sedangkan beberapa wilayah lainnya menunjukkan angka kasus yang jauh lebih tinggi dibandingkan daerah lain.

Dari distribusi tersebut terlihat bahwa sebagian besar kabupaten/kota memiliki jumlah kasus di bawah 10.000, namun terdapat daerah yang menonjol dengan jumlah kasus di atas 20.000. Hal ini menandakan adanya ketimpangan penyebaran kasus di antara wilayah di Jawa Barat, yang kemungkinan dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, tingkat urbanisasi, serta ketersediaan layanan kesehatan.

Selanjutnya, jumlah kasus TBC di setiap kabupaten/kota pada tahun 2024 dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Grafik ini memperlihatkan daerah dengan beban kasus tertinggi dan terendah di provinsi ini.

Berdasarkan gambar di atas, Kabupaten Bogor tercatat sebagai wilayah dengan jumlah kasus tertinggi, yaitu mendekati 29.000 kasus. Kota Bandung menempati posisi kedua, diikuti oleh Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Karawang. Sementara itu, daerah dengan jumlah kasus paling rendah adalah Kabupaten Pangandaran, Kota Banjar, dan Kabupaten Sukabumi. Pola ini menunjukkan bahwa daerah dengan kepadatan penduduk tinggi cenderung memiliki jumlah kasus yang lebih besar. Jika dilihat dari sisi perkembangannya, gambar berikut memperlihatkan perubahan jumlah kasus TBC per kabupaten/kota selama periode 2022–2024.

Secara umum, tren kasus TBC di seluruh kabupaten/kota menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Beberapa daerah seperti Kabupaten Bogor, Kota Bandung, dan Kabupaten Bekasi mengalami kenaikan kasus yang cukup signifikan sepanjang periode tersebut. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh meningkatnya deteksi kasus, mobilitas penduduk yang tinggi, serta masih adanya tantangan dalam pengendalian penularan di daerah perkotaan padat.

4.2 Prevalensi Kasus Tuberkulosis

Prevalensi merupakan salah satu ukuran frekuensi penyakit yang menggambarkan proporsi penduduk yang menderita suatu penyakit pada waktu tertentu. Dalam konteks ini, prevalensi TBC dihitung untuk setiap kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2024 per 100.000 penduduk. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai prevalensi TBC di 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.1 berikut.

Tabel 4.1 Prevalensi Kasus Tuberkulosis per Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2024

Kabupaten/Kota Prevalensi (%)
Kabupaten Bogor 0,502
Kabupaten Sukabumi 0,433
Kabupaten Cianjur 0,461
Kabupaten Bandung 0,364
Kabupaten Garut 0,346
Kabupaten Tasikmalaya 0,250
Kabupaten Ciamis 0,262
Kabupaten Kuningan 0,329
Kabupaten Cirebon 0,394
Kabupaten Majalengka 0,329
Kabupaten Sumedang 0,316
Kabupaten Indramayu 0,299
Kabupaten Subang 0,375
Kabupaten Purwakarta 0,439
Kabupaten Karawang 0,514
Kabupaten Bekasi 0,452
Kabupaten Bandung Barat 0,237
Kabupaten Pangandaran 0,217
Kota Bogor 1,041
Kota Sukabumi 0,947
Kota Bandung 0,730
Kota Cirebon 1,176
Kota Bekasi 0,508
Kota Depok 0,382
Kota Cimahi 0,741
Kota Tasikmalaya 0,614
Kota Banjar 0,684

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa nilai prevalensi TBC di Jawa Barat bervariasi antarwilayah. Kota Cirebon menempati posisi tertinggi dengan prevalensi sebesar 1.175,58 per 100.000 penduduk, diikuti oleh Kota Bogor (1.041,41) dan Kota Sukabumi (947,12). Sementara itu, Kabupaten Pangandaran (217,00) dan Kabupaten Bandung Barat (237,45) memiliki prevalensi terendah. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa daerah perkotaan memiliki tingkat prevalensi TBC yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah kabupaten. Faktor mobilitas penduduk, kontak erat antarindividu, dan kondisi lingkungan perkotaan yang padat kemungkinan berkontribusi terhadap tingginya angka penularan.

Untuk memperjelas distribusi spasial prevalensi TBC antarwilayah, dibuat peta tematik yang menggambarkan tingkat prevalensi di setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Visualisasi tersebut disajikan pada gambar berikut.

Untuk melihat gambaran umum prevalensi secara keseluruhan di Provinsi Jawa Barat, dilakukan perhitungan rata-rata prevalensi dari seluruh kabupaten/kota dan diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 4.2 Prevalensi TBC di Jawa Barat pada tahun 2024

Provinsi Prevalensi (%)
Jawa Barat 0,447

Secara keseluruhan, prevalensi TBC di Provinsi Jawa Barat mencapai 446,51 per 100.000 penduduk, menandakan bahwa penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang signifikan di tingkat provinsi. Perbedaan angka antarwilayah menjadi dasar penting dalam perencanaan kebijakan pengendalian TBC yang lebih terarah, terutama di daerah dengan prevalensi tinggi.

4.3 Analisis Asosiasi Berdasarkan Kepadatan Wilayah

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tingkat kepadatan wilayah dengan paparan kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Pengelompokan wilayah didasarkan pada rata-rata kepadatan penduduk: wilayah dengan jumlah penduduk di atas rata-rata dikategorikan sebagai kepadatan tinggi, sedangkan yang berada di bawah rata-rata dikategorikan sebagai kepadatan rendah. Hubungan antara kepadatan wilayah dan paparan TBC ditampilkan pada tabel kontingensi 2x2 berikut.

Tabel 4.3 Tabel Kontingensi 2x2

Kepadatan/Paparan Terpapar Tidak Terpapar
Kepadatan Tinggi 67.968 10.406.262
Kepadatan Rendah 156.830 39.714.130

Berdasarkan tabel kontingensi 2x2 tersebut, dilakukan perhitungan Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR) untuk mengukur kekuatan asosiasi antara kepadatan wilayah dan paparan TBC. Hasil perhitungannya disajikan pada tabel berikut.

Tabel 4.4 Tabel Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR)

Ukuran Asosiasi Outcome (+) Outcome (-)
Prevalence Ratio (PR) 1,65 0,99
Prevalence Odds Ratio (POR) 1,65 0,60

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai PR untuk outcome positif (terpapar) sebesar 1,65, artinya penduduk yang tinggal di wilayah dengan kepadatan tinggi memiliki risiko 1,65 kali lebih besar untuk terpapar TBC dibandingkan dengan penduduk di wilayah dengan kepadatan rendah. Sementara itu, nilai POR sebesar 1,65 menunjukkan arah asosiasi yang sama — yaitu bahwa kepadatan penduduk berhubungan positif dengan paparan TBC. Nilai POR > 1 menandakan adanya hubungan yang cukup kuat antara kepadatan dan risiko paparan TBC. Sebaliknya, untuk outcome negatif (tidak terpapar), nilai PR = 0,99 dan POR = 0,60, yang berarti peluang untuk tidak terpapar TBC sedikit lebih rendah pada wilayah dengan kepadatan tinggi dibandingkan wilayah yang kurang padat.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kepadatan wilayah memiliki pengaruh terhadap tingkat paparan TBC, di mana semakin padat suatu wilayah, semakin besar pula kemungkinan penduduknya terpapar penyakit TBC. Hal ini sejalan dengan karakteristik penyakit menular berbasis udara, di mana penularan lebih mudah terjadi di daerah dengan mobilitas tinggi dan kontak antarindividu yang lebih intens.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis epidemiologi deskriptif, dapat disimpulkan bahwa distribusi kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 menunjukkan variasi yang cukup signifikan antar-kabupaten/kota. Beberapa wilayah tercatat memiliki jumlah kasus lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya, sehingga mencerminkan adanya perbedaan beban penyakit yang perlu diperhatikan dalam perencanaan program kesehatan. Analisis tren juga menunjukkan bahwa jumlah kasus TBC dalam beberapa tahun terakhir mengalami dinamika perubahan yang dapat mengindikasikan pola peningkatan atau penurunan yang perlu direspons oleh pemangku kebijakan.

Selain itu, hasil analisis asosiasi menunjukkan adanya hubungan antara kepadatan penduduk dan kejadian TBC. Nilai Prevalence Ratio (PR) dan Prevalence Odds Ratio (POR), masing-masing sebesar 1,65, menunjukkan bahwa wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami kejadian TBC dibandingkan wilayah dengan kepadatan rendah. Temuan ini menguatkan bahwa faktor kepadatan penduduk berperan dalam penyebaran TBC, sehingga dapat dipertimbangkan sebagai salah satu indikator dalam penentuan prioritas intervensi kesehatan masyarakat.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian, disarankan agar upaya pengendalian TBC di Provinsi Jawa Barat difokuskan pada wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi melalui peningkatan deteksi dini, pengawasan pengobatan, serta edukasi masyarakat mengenai pencegahan penularan. Pemerintah daerah juga perlu memperhatikan faktor kepadatan dan kondisi lingkungan permukiman dalam perencanaan program kesehatan masyarakat. Selain itu, penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengkaji faktor-faktor lain seperti status sosial ekonomi, sanitasi lingkungan, dan perilaku masyarakat agar hubungan determinan TBC dapat dipahami secara lebih menyeluruh.

Referensi

Anselin, L. (2001). Spatial econometrics. In B. H. Baltagi (Ed.), A companion to theoretical econometrics (pp. 310–330). Blackwell Publishing.

Avy, A. H., Hutami, B. P., Alfalah, M. Z., & Febriyanti, S. (2024). Faktor risiko kejadian tuberkulosis paru di berbagai wilayah Indonesia. Indonesian Journal of CHEST, 11(1), 61–65. https://www.indonesiajournalchest.com/index.php/IJC/issue/view/253

Goletti, D., Meintjes, G., Andrade, B. B., Zumla, A., & Lee, S. S. (2024). Insights from the 2024 WHO Global Tuberculosis Report – More comprehensive action, innovation, and investments required for achieving WHO End TB goals. International Journal of Infectious Diseases, 150(107325), 1–3. https://doi.org/10.1016/j.ijid.2024.107325

Handayani, L. (2024). Studi epidemiologi tuberkulosis paru (TB) di Indonesia: Temuan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023. Jurnal Kendari Kesehatan Masyarakat, 4(1), 59–67. https://doi.org/10.37887/jkkm.v4i1.1213

Hennekens, C. H., & Buring, J. E. (1987). Epidemiology in medicine. Little, Brown and Company.

Karlinda, & Putri, S. I. (2025). Epidemiologi kesehatan (1st ed., Vol. 1). MEDIA Pustaka Indo. https://media.neliti.com/media/publications/632137-epidemiologi-kesehatan-7bb6f9b4.pdf

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2024). Profil Kesehatan Indonesia 2024. Kemenkes RI.

Keyes, K. M., Kandula, S., Olfson, M., Gould, M. S., Martinez-Ales, G., Rutherford, C., & Shaman, J. (2021). Suicide and the agent–host–environment triad: Leveraging surveillance sources to inform prevention. Psychological Medicine, 51(4), 529–537. https://doi.org/10.1017/S003329172000536X

Mann, C. J. (2003). Observational research methods. Research design II: Cohort, cross sectional, and case-control studies. Emergency Medicine Journal, 20(1), 54–60. https://doi.org/10.1136/emj.20.1.54

Sobari, M., Jaya, I. G. N. M., & Ruchjana, B. N. (2023). Spatial analysis of dengue disease in Jakarta Province. CAUCHY – Jurnal Matematika Murni dan Aplikasi, 7(4), 535–547.

Trajman, P. A., Campbell, J. R., Kunor, T., Ruslami, P. R., Amanullah, F., & Behr, M. A. (2025). Tuberculosis. The Lancet, 405(10481), 850–866. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(24)02479-6

Zaenab, S., Ronoatmmodjo, S., & Putri, M. (2024). Gambaran diagnosis TBC di Indonesia tahun 2020–2022. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia, 8(1), 90–96. https://doi.org/10.7454/epidkes.v8i1.1099

Zebua, H. I., & Jaya, I. G. N. M. (2022). Spatial autoregressive model of tuberculosis cases in Central Java Province 2019. CAUCHY – Jurnal Matematika Murni dan Aplikasi, 7(2), 240–248.