BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang terus menjadi perhatian global. Insidensi DBD meningkat tajam dalam beberapa dekade terakhir. WHO mencatat peningkatan jumlah kasus global dari 505.430 kasus pada tahun 2000 menjadi lebih dari 14,6 juta kasus pada tahun 2024. Peningkatan ini tidak terjadi secara kebetulan, tetapi berkaitan dengan berbagai faktor yang mempengaruhi dinamika penularan. Di antaranya adalah perubahan iklim, urbanisasi cepat, serta mobilitas penduduk yang memperluas distribusi vektor Aedes aegypti dan Aedes albopictus ke wilayah yang sebelumnya tidak terjangkiti (WHO, 2025).

Lebih lanjut, WHO (2025) melaporkan bahwa sekitar setengah populasi dunia saat ini berada dalam risiko terinfeksi DBD, dengan estimasi 100–400 juta infeksi setiap tahun. Penyakit ini terutama terkonsentrasi di wilayah tropis dan subtropis, di mana kondisi iklim hangat dan lembap sangat ideal bagi perkembangbiakan nyamuk vektor Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Karena itu, negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, berada dalam zona risiko tinggi penularan.

Di Indonesia, DBD telah menjadi masalah kesehatan yang muncul setiap tahun dan cenderung mengalami peningkatan jumlah kasus sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1968. Pada tahun 2024, tercatat 257.271 kasus DBD di Indonesia, menunjukkan bahwa penularan penyakit ini masih berlangsung secara luas di berbagai wilayah. Selain itu, pada tahun yang sama terdapat 488 kabupaten/kota (94,9%) yang terjangkit DBD, menunjukkan bahwa persebaran penyakit ini hampir meliputi seluruh wilayah Indonesia. Situasi ini menguatkan bahwa DBD masih menjadi tantangan kesehatan masyarakat yang memerlukan pengendalian berkelanjutan (Kemenkes RI, 2025).

Jawa Barat, sebagai provinsi dengan populasi terbesar di Indonesia (melampaui 50 juta jiwa berdasarkan data BPS tahun 2024), menghadapi kerentanan epidemiologi yang unik. Kombinasi antara kepadatan penduduk yang tinggi, pembangunan wilayah yang masif, dan infrastruktur permukiman yang beragam menciptakan lingkungan ideal bagi perkembangbiakan vektor utama, nyamuk Aedes aegypti. Data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan Jawa Barat secara konsisten termasuk provinsi dengan jumlah kasus dan insidensi DBD tertinggi setiap tahunnya (Kemenkes RI, 2024). Tingginya angka insidensi ini mengindikasikan bahwa pengendalian vektor dan penanganan kasus di provinsi ini membutuhkan perhatian prioritas. Kerentanan ini didorong oleh interaksi kompleks dari tiga komponen epidemiologi, yaitu :

  • Agen : Empat serotipe virus dengue (DENV-1, -2, -3, -4);

  • Pejamu/host : Manusia, dengan faktor yang memengaruhi kerentanan host seperti usia, jenis kelamin, status gizi, dan riwayat infeksi sebelumnya;

  • Lingkungan : Faktor eksternal seperti kepadatan penduduk, curah hujan, dan suhu rata-rata yang memengaruhi interaksi antara agen dan host.

Meskipun tingkat kasus di Jawa Barat tinggi secara keseluruhan, tetapi tingkat keparahan dan sebaran kasusnya tidak merata. Terdapat Kabupaten/Kota dengan prevalensi kasus tinggi, sementara daerah lain relatif lebih rendah. Variasi ini mengindikasikan adanya perbedaan faktor risiko lokal yang terkait dengan kondisi lingkungan, karakteristik demografi, dan efektivitas program pengendalian vektor di masing-masing wilayah. Oleh karena itu, diperlukan analisis epidemiologi deskriptif untuk memahami pola penyebaran DBD di Jawa Barat.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi wilayah dengan risiko penularan tinggi (hotspot), sehingga dapat menjadi dasar dalam perencanaan strategi intervensi yang lebih tepat sasaran. Selain itu, temuan awal ini dapat menjadi pijakan dalam penyusunan penelitian epidemiologi analitik lanjutan untuk menilai faktor host, lingkungan, dan perilaku yang berkontribusi terhadap kejadian DBD.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana distribusi jumlah kasus DBD di Kota/Kabupaten Jawa Barat tahun 2024?

  2. Bagaimana tingkat prevalensi DBD di Jawa Barat?

  3. Bagaimana tingkat kematian (Case Fatality Rate) akibat DBD di Jawa Barat?

  4. Bagaimana pola spasial jumlah kasus DBD di Kota/Kabupaten Jawa Barat?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut :

  • Mendeskripsikan pola distribusi DBD Jawa Barat.

  • Menghitung ukuran epidemiologi berupa prevalensi dan Case Fatality Rate.

  • Memvisualisasikan penyebaran jumlah kasus DBD di Jawa Barat secara spasial.

  • Menyusun rancangan desain studi epidemiologi yang tepat.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :

  1. Manfaat Akademis : Menerapkan konsep dasar epidemiologi, termasuk perhitungan ukuran epidemiologi, visualisasi spasial, dan perancangan desain studi.
  2. Manfaat Praktis : Menyediakan informasi dasar mengenai wilayah prioritas (berdasarkan cluster spasial) dan besaran masalah DBD di Jawa Barat yang dapat digunakan sebagai masukan awal bagi program pengendalian vektor oleh Dinas Kesehatan setempat.

1.5 Batasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa batasan utama yang perlu dipertimbangkan dalam interpretasi hasilnya, yaitu :

  1. Keterbatasan Data Sekunder dan Ekologi

    Penelitian didasarkan pada data sekunder agregat tingkat Kabupaten/Kota (studi ekologi). Hasil analisis hanya dapat menggambarkan pola distribusi kasus DBD antar wilayah dan tidak dapat menarik kesimpulan kausal pada tingkat individu. Risiko kekeliruan ekologis (ecological fallacy) melekat pada jenis studi ini.

  2. Keterbatasan Temporal

    Data kasus DBD yang digunakan adalah data tahun 2024 pada periode waktu tertentu. Data ini tidak merepresentasikan tren jangka panjang atau variasi musiman (temporal) kasus DBD secara menyeluruh.

  3. Keterbatasan Ukuran Asosiasi

    Karena data yang tersedia bersifat deskriptif dan agregat, perhitungan ukuran asosiasi epidemiologi (Risk Ratio atau Odds Ratio) tidak dapat dilakukan. Analisis kuantitatif dibatasi pada perhitungan ukuran frekuensi (prevalensi) dan ukuran keparahan (CFR).

  4. Desain Studi Simulatif

    Rancangan studi cross-sectional yang disajikan bersifat konseptual dan bertujuan sebagai rekomendasi metodologi penelitian lanjutan. Laporan ini fokus pada analisis deskriptif data sekunder.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Agent–Host–Environment (A-H-E)

Konsep Agent–Host–Environment (A-H-E), atau Trias Epidemiologi, merupakan fondasi penting dalam epidemiologi klasik untuk memahami dan mengendalikan penyakit menular. Teori ini menekankan bahwa timbulnya suatu penyakit bukan disebabkan oleh satu faktor tunggal, melainkan hasil dari interaksi dinamis dan ketidakseimbangan antara tiga komponen utama, yaitu agent, host, dan environment (Mulyani, H. dkk., 2017) Keseimbangan yang terganggu di antara ketiga elemen ini akan menciptakan kondisi yang mendukung penularan dan munculnya penyakit.

2.1.2 Agent (Agen Penyebab Penyakit)

Agent adalah faktor yang keberadaannya menjadi penyebab timbulnya penyakit (Rwezaura, H. dkk., 2022). Dalam konteks Demam Berdarah Dengue (DBD), agent utama adalah virus Dengue (DENV) yang memiliki empat serotipe : DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Keberadaan serotipe berbeda di suatu wilayah menjadi faktor penentu risiko keparahan penyakit. Virus ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk betina Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang berperan sebagai vektor utama penularan (WHO, 2025). Infeksi sebelumnya dengan serotipe DENV berbeda dapat meningkatkan risiko terjadinya dengue berat akibat fenomena Antibody-Dependent Enhancement (ADE) (WHO, 2025).

2.1.3 Host (Inang)

Host adalah individu atau populasi yang rentan terhadap infeksi, dipengaruhi oleh faktor biologis, perilaku, dan status imun (Khan, M.A & Fatmawati, 2021). Pada kasus DBD, host adalah manusia. Adapun faktor yang memengaruhi kerentanan manusia sebagai host antara lain :

  • Usia : Kelompok usia 5–14 tahun memiliki insidensi DBD tertinggi di Indonesia dibandingkan kelompok umur lainnya (Kemenkes RI, 2022). Hal ini dapat disebabkan karena aktivitas di luar rumah yang lebih sering dan imunitas yang belum sempurna.

  • Jenis kelamin : Laki-laki melaporkan kasus lebih banyak, terutama usia ≥15 tahun, karena tingkat paparan lebih tinggi di luar rumah dan perilaku yang meningkatkan risiko gigitan nyamuk (Anker & Arima, 2011).

  • Status gizi : Individu dengan gizi kurang rentan terhadap infeksi DENV karena memiliki imunitas selular rendah sehingga respon imun dan memori imunologik belum berkembang sempurna (Ramayani et al., 2022).

  • Golongan darah : Golongan darah AB terkait risiko lebih tinggi mengalami DBD dibandingkan golongan darah lain, sedangkan golongan O memiliki risiko lebih rendah. Hal ini karena Pasien dengan golongan darah AB tidak memiliki antibodi anti-A dan anti-B alami, yang dapat menyebabkan respons imun dini yang lebih lemah terhadap virus dengue. (Ravichandran et al., 2019).

  • Riwayat infeksi sebelumnya : Menurut WHO (2025), infeksi sebelumnya dengan serotipe DENV berbeda dapat meningkatkan risiko terjadinya dengue berat akibat fenomena Antibody-Dependent Enhancement (ADE). Fenomena Antibody-Dependent Enhancement (ADE) adalah suatu mekanisme di mana antibodi yang dihasilkan dari infeksi sebelumnya dengan virus serotipe berbeda tidak melindungi tubuh, tetapi justru memfasilitasi masuknya virus baru ke sel inang, sehingga meningkatkan replikasi virus dan risiko manifestasi klinis yang lebih parah.

  • Perilaku 3M Plus : Tidak menggunakan kelambu, lotion anti-nyamuk, atau praktik 3M Plus yang rendah dapat menyebabkan air tergenang dalam waktu lama yang menciptakan habitat ideal bagi jentik Aedes aegypti (Arsin, 2013).

2.1.4 Environment (Lingkungan)

Environment adalah faktor eksternal yang memengaruhi interaksi antara agent dan host, baik berupa fisik, biologis, maupun sosial-ekonomi (Ramadona, A., 2016). Faktor lingkungan yang relevan pada DBD antara lain :

  • Curah hujan tinggi : Curah hujan yang tinggi menciptakan genangan air di lingkungan perkotaan maupun rumah tangga, yang menjadi habitat ideal bagi Aedes aegypti untuk berkembang biak. Dampaknya bervariasi tergantung kondisi geografis dan sifat fisik lahan. (Arsin, 2013; Wu dkk., 2009)

  • Kenaikan suhu : Menurut Mohammed, A., & Chadee, D. D. (2011), waktu perkembangan larva menurun seiring dengan peningkatan suhu, dan proses menjadi pupa terjadi lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu memperpendek siklus hidup Aedes aegypti, memungkinkan perkembangan dari telur hingga dewasa berlangsung lebih cepat.

  • Kepadatan penduduk tinggi : Kepadatan penduduk yang tinggi meningkatkan interaksi manusia–nyamuk lebih sering sehingga peluang penularan virus dengue meningkat. Selain itu, area padat cenderung menyediakan lebih banyak tempat berkembang biak bagi nyamuk (genangan air di wadah, sampah, selokan) yang mendukung populasi nyamuk yang lebih besar dan mempercepat penularan DBD. (Morrison et al., 2008; Gubler, 2011).

2.1.5 Interaksi Agent–Host–Environment

Hubungan antara host, agent, dan environment sangat krusial dalam penularan DBD. Interaksi yang kompleks antara ketiga elemen ini menciptakan kondisi yang mempermudah virus dengue untuk menyerang manusia. Misalnya, pada area urban padat, suhu tinggi, dan curah hujan yang tinggi meningkatkan jumlah habitat perairan bagi nyamuk, sementara populasi manusia yang rentan (anak-anak, laki-laki dewasa, atau individu dengan gizi kurang) menjadi target infeksi lebih mudah, sehingga risiko epidemi meningkat (Arsin, 2013; Gubler, 2011; WHO, 2025).

2.2 Ukuran Epidemiologi

Ukuran epidemiologi merupakan indikator vital untuk mengukur skala masalah kesehatan dalam suatu populasi dan menganalisis kaitan antara faktor paparan dengan timbulnya penyakit. Ukuran epidemiologi dibagi menjadi dua, yaitu ukuran frekuensi dan ukuran asosiasi.

2.2.1 Ukuran Frekuensi

Ukuran frekuensi digunakan untuk menilai sejauh mana suatu penyakit terjadi atau menyebar dalam populasi. Beberapa ukuran yang umum digunakan antara lain sebagai berikut.

  1. Prevalensi

    Prevalensi adalah proporsi individu dalam suatu populasi yang menderita penyakit tertentu pada waktu tertentu, baik kasus lama maupun baru.

    \[ \text{Prevalensi} = \frac{\text{Jumlah seluruh kasus baru dan lama}}{\text{Jumlah penduduk pada periode tertentu}} \times 100\% \]

  2. Insidensi

    Insidensi adalah proporsi kasus baru suatu penyakit yang muncul dalam populasi berisiko selama periode waktu tertentu.

\[ \text{Insidensi} = \frac{\text{Jumlah kasus baru dalam periode tertentu}}{\text{Jumlah penduduk berisiko}} \times 100\% \]

  1. Case Fatality Rate (CFR)

    Case Fatality Rate (CFR) merupakan proporsi individu yang meninggal akibat penyakit tertentu dibandingkan dengan jumlah seluruh kasus penyakit tersebut.

    \[ \text{CFR} = \frac{\text{Jumlah kematian akibat penyakit}}{\text{Jumlah kasus penyakit}} \times 100\% \]

  2. Attack Rate

    Attack Rate digunakan untuk menggambarkan proporsi individu yang terserang penyakit selama periode wabah atau kejadian luar biasa dalam waktu singkat.

\[ \text{Attack Rate} = \frac{\text{Jumlah kasus baru selama wabah}}{\text{Jumlah populasi berisiko}} \times 100\% \]

2.2.2 Ukuran Asosiasi

Selain ukuran frekuensi, ukuran asosiasi digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan antara faktor risiko spesifik dengan kejadian suatu penyakit. Ukuran yang umum digunakan antara lain Relative Risk (RR), Odds Ratio (OR), dan Attributable Risk (AR). Variabel yang digunakan dalam perhitungan ukuran asosiasi adalah sebagai berikut :

Simbol Keterangan
a Jumlah kasus pada kelompok terpapar
b Jumlah tidak sakit pada kelompok terpapar
c Jumlah kasus pada kelompok tidak terpapar
d Jumlah tidak sakit pada kelompok tidak terpapar
a + b Total terpapar
c + d Total tidak terpapar
  1. Relative Risk (RR)

    Relative Risk (RR) merupakan perbandingan risiko penyakit antara kelompok yang terpapar dan kelompok yang tidak terpapar. RR hanya dapat dihitung pada studi kohort.
    Nilai RR > 1 menunjukkan bahwa paparan meningkatkan risiko penyakit, sedangkan RR < 1 berarti paparan bersifat protektif.

\[ \text{RR} = \frac{a / (a+b)}{c / (c+d)} \]

  1. Odds Ratio (OR)

    Odds Ratio (OR) adalah perbandingan peluang terjadinya penyakit antara kelompok terpapar dan tidak terpapar. Ukuran ini sering digunakan pada studi kasus-kontrol. Nilai OR > 1 menunjukkan peluang penyakit lebih besar pada kelompok terpapar.

\[ \text{OR} = \frac{a/b}{c/d} = \frac{ad}{bc} \]

  1. Attributable Risk (AR) / Risk Difference (RD)

    Attributable Risk (AR) menunjukkan selisih risiko penyakit antara kelompok terpapar dan tidak terpapar. Ukuran ini menggambarkan beban absolut risiko yang diatribusikan pada paparan.

\[ \text{AR} = \frac{a}{a+b} - \frac{c}{c+d} \]

2.3 Desain Studi Epidemiologi

Desain studi epidemiologi merupakan rancangan sistematis yang digunakan untuk menyelidiki hubungan antara faktor risiko dan kejadian penyakit dalam populasi. Pemilihan desain studi yang tepat menentukan validitas hasil penelitian dan kekuatan kesimpulan yang dapat ditarik. Secara umum, desain studi epidemiologi dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu studi observasional dan studi eksperimental (Friis & Sellers, 2020; CDC, 2024).

2.3.1 Studi Observasional

Pada studi observasional, peneliti tidak memberikan intervensi dan hanya mengamati hubungan antara paparan (exposure) dan kejadian penyakit (outcome).

  1. Studi Cross-Sectional

    Studi cross-sectional (potong lintang) menilai paparan dan penyakit secara bersamaan pada satu titik waktu tertentu. Tujuannya untuk memperkirakan prevalensi penyakit atau faktor risiko dalam populasi.

    Kelebihan utama studi ini adalah cepat, relatif murah, dan cocok untuk menggambarkan situasi kesehatan masyarakat saat ini. Namun, kelemahannya adalah tidak dapat menentukan hubungan sebab-akibat karena tidak diketahui urutan waktu antara paparan dan penyakit.

  2. Studi Case-Control

    Studi case-control adalah studi yang membandingkan individu yang menderita penyakit (kasus) dengan individu yang tidak sakit (kontrol) untuk menilai apakah ada perbedaan dalam riwayat paparan. Studi ini efisien untuk penyakit langka dan dapat menilai banyak faktor risiko sekaligus. Kelemahannya adalah rentan terhadap recall bias dan tidak dapat menghitung insidensi langsung.

  3. Studi Kohort

    Studi cohort melibatkan pengamatan terhadap sekelompok individu berdasarkan status paparannya dan diikuti dalam waktu tertentu untuk melihat apakah mereka mengembangkan penyakit. Studi ini dapat bersifat prospektif (ke depan) atau retrospektif (ke belakang). Kelebihan utamanya adalah dapat menentukan insidensi dan hubungan sebab-akibat, sedangkan kelemahannya adalah memerlukan waktu lama dan biaya besar.

2.3.2 Studi Eksperimental

Studi eksperimental dilakukan dengan memberikan intervensi tertentu kepada kelompok subjek untuk menilai efeknya terhadap kejadian penyakit.
Contoh utama adalah Randomized Controlled Trial (RCT), di mana subjek secara acak dibagi menjadi kelompok perlakuan dan kontrol. Desain ini memiliki validitas kausalitas paling tinggi tetapi memerlukan biaya besar dan pertimbangan etika yang ketat.

2.3.3 Pemilihan Desain Studi yang Tepat

Pemilihan desain studi bergantung pada tujuan penelitian, ketersediaan data, waktu, dan sumber daya. Dalam konteks penelitian deskriptif DBD di Jawa Barat, desain studi cross-sectional paling relevan karena :

  • Menggunakan data agregat kabupaten/kota (sekunder),

  • Fokus pada distribusi dan hubungan spasial,

  • Belum melibatkan pengumpulan data individu.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder cross-section yang diperoleh dari sumber resmi. Sumber utama data adalah Badan Pusat Statistik (BPS) dan Open Data Jabar. Data yang dianalisis mencakup tahun 2024, dengan unit analisis adalah 27 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. Penggunaan data sekunder memungkinkan analisis berbasis bukti yang komprehensif tanpa melakukan pengumpulan data primer secara langsung.

Berikut adalah data yang digunakan :

library(openxlsx)
data <- read.xlsx("C:/Users/DEDEN GUNAWAN/OneDrive/Documents/Bahan Kuliah/Semester 5/Epidemiologi/DATA EPIDEMIOLOGI.xlsx")
head(data)
##   no Kabupaten/Kota Jumlah.Kasus.DBD Jumlah.Penduduk Jumlah.Kematian.Akibat.DBD
## 1  1        Bandung             3589         3753120                         38
## 2  2  Bandung Barat             3754         1884190                         18
## 3  3         Bekasi             1902         3273870                          7
## 4  4          Bogor             3404         5682300                         23
## 5  5         Ciamis             1420         1259230                         11
## 6  6        Cianjur             1932         2584990                         11

3.2 Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan beberapa variabel utama yang relevan untuk menggambarkan karakteristik penyakit DBD di Jawa Barat. Variabel utama meliputi jumlah kasus DBD serta jumlah kematian akibat DBD, dan jumlah penduduk yang digunakan sebagai variabel bantu dalam perhitungan ukuran epidemiologi seperti prevalensi dan Case Fatality Rate (CFR).

Tabel berikut merangkum deskripsi variabel penelitian beserta sumber datanya :

Nama Variabel Deskripsi Sumber Data
Jumlah Kasus DBD Jumlah keseluruhan kasus Demam Berdarah Dengue yang dilaporkan di Kabupaten/Kota Jawa Barat pada tahun 2024 Open Data Jawa Barat
Jumlah Kematian karena DBD Jumlah total kematian yang disebabkan oleh infeksi Demam Berdarah Dengue di Kabupaten/Kota Jawa Barat pada tahun 2024 Open Data Jawa Barat
Jumlah Penduduk Jumlah total penduduk di Kabupaten/Kota Jawa Barat pada tahun 2024 Badan Pusat Statistik (BPS)

3.3 Metode Penelitian

Analisis data dilakukan secara deskriptif, dengan tujuan untuk menggambarkan karakteristik penyakit DBD serta menghitung besaran masalah kesehatan di wilayah penelitian. Tahapan analisis dijelaskan sebagai berikut :

  1. Deskripsi Kasus dan Proses Penyakit
    Identifikasi karakteristik penyakit DBD menggunakan pendekatan Agent–Host–Environment (A-H-E). Tahap ini mencakup penentuan agent (virus DENV), host (manusia yang rentan berdasarkan usia, jenis kelamin, status gizi, dan perilaku), serta faktor lingkungan yang mempengaruhi penularan (curah hujan, suhu, kepadatan penduduk, praktik 3M Plus). Penjabaran ini bertujuan memberikan pemahaman mekanisme penularan dan faktor risiko yang relevan dalam penyebaran DBD.

  2. Statistika Deskriptif
    Analisis deskriptif digunakan untuk melihat pola distribusi jumlah kasus DBD dan variasi antar wilayah. Visualisasi dilakukan dalam bentuk boxplot, histogram, tabel ukuran statistik, serta peta sebaran jumlah kasus berdasarkan Kabupaten/Kota.

  3. Perhitungan Ukuran Epidemiologi
    Ukuran epidemiologi dihitung untuk menunjukkan tingkat kejadian dan keparahan penyakit, prevalensi dan Case Fatality Rate (CFR). Perhitungan dilakukan secara global dan lokal antar Kota/Kab dan kemudian divisualisasikan dalam peta sebaran ukuran epidemiologi.

  4. Interpretasi Epidemiologis
    Hasil analisis ditafsirkan untuk menjelaskan pola kejadian kasus DBD.

Untuk menjelaskan tahapan analisis dengan lebih baik, berikut adalah alur penelitian yang digunakan dalam analisis ini :

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Kasus & Proses Penyakit

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus Dengue (DENV) yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes betina (terutama Aedes aegypti dan Aedes albopictus). Penularan terjadi ketika nyamuk yang membawa virus menggigit individu yang rentan. Berdasarkan tinjauan pustaka Agent–Host–Environment (A-H-E) yang dilakukan pada Bab II , dapat dirangkum beberapa poin penting yang relevan untuk memahami pola kasus DBD di tingkat Kabupaten/Kota :

Faktor yang Memengaruhi Kerentanan Host

V ariabel Kondisi Alasan
Usia 5–14 tahun Aktivitas di luar rumah dan imunitas yang belum sempurna.
Status Gizi Kurang Imunitas selular rendah sehingga respon imun dan memori imunologik belum berkembang sempurna.
Golongan Darah AB Pasien dengan golongan darah AB tidak memiliki antibodi anti-A dan anti-B alami, yang dapat menyebabkan respons imun dini yang lebih lemah terhadap virus dengue.
Jenis Kelamin Laki-Laki Perbedaan tingkat paparan dimana laki-laki lebih sering berada di luar rumah atau tempat kerja yang rawan gigitan nyamuk Aedes.
Riwayat Infeksi S ebelumnya T erinfeksi serotipe DENV berbeda Jika seseorang pernah terinfeksi virus dengue dengan serotipe tertentu (misal DENV-1), tubuh akan membentuk antibodi spesifik terhadap serotipe itu. Saat orang yang sama terinfeksi lagi dengan serotipe berbeda (misal DENV-2), antibodi lama tidak menetralkan virus baru sepenuhnya, tetapi  justru memfasilitasi masuknya virus ke dalam sel imun, sehingga jumlah virus dalam tubuh meningkat.
Pe laksanaan 3M Plus Rendah Praktik 3M Plus yang rendah menyebabkan air tergenang dalam waktu lama, menciptakan habitat ideal bagi jentik Aedes dan meningkatkan risiko penularan DBD.

Faktor Eksternal yang Memengaruhi Interaksi antara Agent dan Host (Environment)

Variabel Kondisi Alasan / Mekanisme
Curah Hujan Tinggi Curah hujan yang tinggi menciptakan genangan air di lingkungan perkotaan maupun rumah tangga, yang menjadi habitat ideal bagi Aedes aegypti untuk berkembang biak. Dampaknya bervariasi tergantung kondisi geografis dan sifat fisik lahan.
Suhu Naik Peningkatan suhu mempercepat siklus hidup nyamuk dari telur hingga dewasa dan mempercepat perkembangan larva menjadi pupa, sehingga meningkatkan populasi vektor dan potensi penularan DBD.
Kepadatan Penduduk Tinggi Kepadatan penduduk yang tinggi meningkatkan interaksi manusia–nyamuk dan menyediakan lebih banyak tempat penyimpanan air yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk jika tidak dibersihkan, sehingga mempercepat penyebaran virus dengue di lingkungan perkotaan.

Faktor-faktor di atas kemudian dapat disusun dalam diagram faktor resiko sebagai berikut :

library(DiagrammeR)

# Diagram faktor risiko DBD menggunakan syntax Mermaid
mermaid("
graph TD
    %% Bagian Environment & Behavior
    subgraph Environment & Behavior
        A1[Kepadatan Penduduk Tinggi]
        A2[Curah Hujan Tinggi]
        A3[Kenaikan Suhu Global]
        A4[Rendahnya Pelaksanaan 3M Plus]
    end

    A1 -->|meningkatkan jumlah| B1[Populasi Nyamuk Aedes Meningkat]
    A1 -->|meningkatkan penyebaran| C1[Manusia]

    A2 --> D1[Genangan Air]
    A3 -->|mempercepat siklus hidup| B1

    A4 -->|tidak membersihkan| D1
    
    D1 -->|tempat perindukan| B1

    %% Bagian Agent dan Vektor
    subgraph Host
        E1
    end
    
    E1[Virus Dengue]
    B1 -->|membawa| E1

    %% Bagian Host
    subgraph Host
        C1
    end

    E1 -->|transmisi melalui gigitan| C1
    C1 -->|infeksi| F1[Kasus DBD]

    %% Bagian Faktor yang Mempengaruhi Kerentanan Host
    subgraph Faktor yang Mempengaruhi Kerentanan Host
        G1[Status Gizi Buruk]
        G2[Usia 5-14 Tahun]
        G3[Riwayat Infeksi Sebelumnya]
        G4[Laki-Laki]
        G5[Golongan Darah AB]
    end

    G1 -->|meningkatkan kerentanan| F1
    G2 -->|meningkatkan kerentanan| F1
    G3 -->|meningkatkan kerentanan| F1
    G4 -->|meningkatkan kerentanan| F1
    G5 -->|meningkatkan kerentanan| F1
")

Berdasarkan diagram faktor risiko di atas, alur terjadinya kasus DBD diawali dari faktor lingkungan dan perilaku, seperti kepadatan penduduk tinggi, curah hujan tinggi, kenaikan suhu, dan rendahnya pelaksanaan 3M Plus, yang meningkatkan jumlah nyamuk Aedes dan menyediakan tempat perindukan yang ideal. Nyamuk ini kemudian membawa virus Dengue dan menularkannya ke manusia melalui gigitan. Risiko infeksi pada individu selanjutnya dipengaruhi oleh faktor kerentanan host, seperti usia, jenis kelamin, status gizi, golongan darah, dan riwayat infeksi sebelumnya. Akhirnya, interaksi antara populasi nyamuk yang tinggi dan host yang rentan menghasilkan terjadinya kasus DBD di wilayah tertentu.

4.2 Statistika Deskriptif

Analisis statistik deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran umum mengenai karakteristik data kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) pada wilayah penelitian. Tabel statistik deskriptif memuat ukuran pemusatan (rata-rata dan median) serta ukuran penyebaran (nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku).

summary(data$Jumlah.Kasus.DBD)
##    Min. 1st Qu.  Median    Mean 3rd Qu.    Max. 
##     400     989    1902    2275    3274    7680

Berdasarkan hasil pengolahan data, jumlah kasus DBD di tingkat kabupaten/kota menunjukkan variasi yang cukup besar. Nilai minimum kasus tercatat sebanyak 400 kasus, sedangkan maksimum mencapai 7680 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan cukup lebar antara daerah dengan kasus terendah dan tertinggi. Nilai rata-rata (mean) jumlah kasus DBD sebesar 2275, yang sedikit lebih tinggi dari median sebesar 1902, mengindikasikan bahwa distribusi data cenderung miring ke kanan (positively skewed). Dengan demikian, sebagian besar wilayah memiliki kasus di bawah rata-rata, namun ada beberapa wilayah dengan jumlah kasus yang jauh lebih tinggi dan memengaruhi nilai rata-rata.

# Tentukan batas bawah dan atas, dibulatkan ke kelipatan 500
min_val <- floor(min(data$Jumlah.Kasus.DBD, na.rm = TRUE) / 500) * 500
max_val <- ceiling(max(data$Jumlah.Kasus.DBD, na.rm = TRUE) / 500) * 500

# Buat histogram dengan interval per 500
hist(data$Jumlah.Kasus.DBD,
     breaks = seq(min_val, max_val, by = 500),
     main = "Distribusi Jumlah Kasus DBD",
     xlab = "Jumlah Kasus",
     ylab = "Frekuensi",
     col = "maroon",
     border = "black",
     las = 1)

# Tambahkan garis grid
grid(nx = NULL, ny = NULL, col = "gray", lty = "dotted", lwd = 1)

Visualisasi melalui histogram memperkuat hasil tersebut. Histogram memperlihatkan bahwa sebagian besar wilayah memiliki jumlah kasus antara 500 hingga 2000 kasus, sedangkan hanya sedikit wilayah yang mencatat kasus di atas 5000.

boxplot(data$Jumlah.Kasus.DBD,
        main = "Boxplot Jumlah Kasus DBD",
        ylab = "Jumlah Kasus",
        col = "indianred1",
        border = "black",
        horizontal = FALSE)  # vertikal
grid(nx = NA, ny = NULL, col = "gray", lty = "dotted", lwd = 1)

Hasil boxplot menunjukkan adanya keberadaan pencilan (outlier) pada data. Karena titik outlier berada di atas boxplot, maka outlier ini merepresentasikan wilayah dengan jumlah kasus yang jauh lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Keberadaan outlier mengindikasikan adanya faktor lokal yang kuat, misalnya kepadatan penduduk, pola curah hujan, kondisi sanitasi, serta perilaku masyarakat terkait upaya pencegahan, yang memengaruhi peningkatan kasus DBD di wilayah tertentu.

Selanjutnya, peta sebaran jumlah kasus DBD di Jawa Barat memberikan gambaran visual mengenai distribusi spasial kasus.

library(sf)
## Linking to GEOS 3.13.0, GDAL 3.10.1, PROJ 9.5.1; sf_use_s2() is TRUE
library(dplyr)
## 
## Attaching package: 'dplyr'
## The following objects are masked from 'package:stats':
## 
##     filter, lag
## The following objects are masked from 'package:base':
## 
##     intersect, setdiff, setequal, union
library(ggplot2)
library(openxlsx)
library(viridis)
## Loading required package: viridisLite
library(spdep)
## Loading required package: spData
## To access larger datasets in this package, install the spDataLarge
## package with: `install.packages('spDataLarge',
## repos='https://nowosad.github.io/drat/', type='source')`
Indo <- st_read("C:/Users/DEDEN GUNAWAN/OneDrive/Documents/Bahan Kuliah/Semester 5/Epidemiologi/Dashboard Analisis Epidemiologi DBD/shapefile/RBI_50K_2023_Jawa Barat.shp")
## Reading layer `RBI_50K_2023_Jawa Barat' from data source 
##   `C:\Users\DEDEN GUNAWAN\OneDrive\Documents\Bahan Kuliah\Semester 5\Epidemiologi\Dashboard Analisis Epidemiologi DBD\shapefile\RBI_50K_2023_Jawa Barat.shp' 
##   using driver `ESRI Shapefile'
## Simple feature collection with 27 features and 25 fields
## Geometry type: MULTIPOLYGON
## Dimension:     XY
## Bounding box:  xmin: 106.3703 ymin: -7.82099 xmax: 108.8468 ymax: -5.806538
## Geodetic CRS:  WGS 84
# Merged data
jabar_merged <- Indo %>%
  left_join(data, by = c("WADMKK" = "Kabupaten/Kota"))

ggplot(jabar_merged) +
  geom_sf(aes(fill = Jumlah.Kasus.DBD)) +
  scale_fill_viridis_c(option = "C") +
  labs(title = "Sebaran Jumlah Kasus DBD di Jawa Barat", fill = "Jumlah Kasus") +
  theme_minimal()

Dari peta sebaran kasus DBD di Provinsi Jawa Barat terlihat adanya variasi jumlah kasus antarwilayah. Wilayah dengan intensitas warna kuning menunjukkan jumlah kasus tertinggi, yaitu di Kota Bandung yang merupakan wilayah ibu kota di Jawa Barat. Sebaliknya, sebagian besar wilayah lainnya, terutama di bagian barat, timur, dan selatan, didominasi oleh warna ungu tua hingga ungu, menandakan jumlah kasus yang relatif rendah. Pola ini menunjukkan bahwa kasus DBD lebih terkonsentrasi di wilayah perkotaan dengan kepadatan penduduk tinggi, kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan nyamuk Aedes aegypti, serta aktivitas manusia yang intens. Wilayah dengan kepadatan penduduk lebih rendah atau area yang lebih rural cenderung memiliki jumlah kasus yang lebih sedikit.

4.3. Analisis Autokorelasi Spasial

Analisis autokorelasi spasial dilakukan untuk menilai sejauh mana jumlah kasus DBD antar kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat menunjukkan pola distribusi yang acak atau terklaster.

# Buat daftar ketetanggaan (queen contiguity)
jabar_sp <- as_Spatial(jabar_merged)
row.names(jabar_sp) <- jabar_merged$WADMKK  # Kunci sinkronisasi
W <- poly2nb(jabar_sp, row.names = row.names(jabar_sp), queen = TRUE)
WL <- nb2listw(W, style = "W", zero.policy = TRUE)
stopifnot(all(row.names(listw2mat(WL)) == jabar_merged$WADMKK))

# Moran's I
Global_Moran <- moran.test(
  jabar_merged$Jumlah.Kasus.DBD,
  WL,
  zero.policy = TRUE
)
Global_Moran
## 
##  Moran I test under randomisation
## 
## data:  jabar_merged$Jumlah.Kasus.DBD  
## weights: WL    
## 
## Moran I statistic standard deviate = 1.9632, p-value = 0.02481
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic       Expectation          Variance 
##        0.21950525       -0.03846154        0.01726631

Hasil uji Moran’s I di atas menunjukkan nilai sebesar 0,2195 dengan p-value 0,02481 < taraf signifikansi 5%, yang mengindikasikan adanya autokorelasi spasial positif yang signifikan. Artinya, secara global terdapat kecenderungan kota/kabupaten dengan jumlah kasus DBD tinggi berada dekat dengan wilayah lain yang juga memiliki kasus tinggi, begitu pula untuk wilayah dengan kasus rendah.

# Geary's C
Global_Geary <- geary.test(
  jabar_merged$Jumlah.Kasus.DBD,
  WL,
  zero.policy = TRUE
)
Global_Geary
## 
##  Geary C test under randomisation
## 
## data:  jabar_merged$Jumlah.Kasus.DBD 
## weights: WL   
## 
## Geary C statistic standard deviate = 1.9677, p-value = 0.02455
## alternative hypothesis: Expectation greater than statistic
## sample estimates:
## Geary C statistic       Expectation          Variance 
##        0.61280172        1.00000000        0.03872267

Hasil ini didukung oleh uji Geary’s C, yang menunjukkan nilai 0,6128 dengan p-value = 0,0245 yang lebih kecil dibandingkan taraf signifikansi 5%. Hasil ini menegaskan adanya autokorelasi positif yang signifikan, sesuai dengan hasil pengujian dengan Moran’s I.

Fenomena autokorelasi spasial yang ditemukan pada jumlah kasus DBD dapat dijelaskan dari karakteristik penularan penyakit ini. DBD adalah penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi virus dengue. Secara alami, jika seseorang digigit nyamuk yang terinfeksi di wilayah tempat tinggalnya, ia dapat menjadi sumber penularan baru. Selanjutnya, ketika orang tersebut melakukan aktivitas di kota atau kabupaten lain yang jaraknya relatif dekat, misalnya sekolah, tempat kerja, atau pusat aktivitas publik, nyamuk lokal yang sebelumnya belum terinfeksi dapat menggigit orang tersebut dan kemudian menjadi vektor baru yang menyebarkan virus. Proses ini menyebabkan munculnya pola klaster kasus DBD antar wilayah yang berdekatan secara geografis, sehingga terjadi autokorelasi spasial positif.

Selain itu, faktor lingkungan dan sosial juga turut berperan. Kepadatan penduduk yang tinggi, ketersediaan tempat berkembang biak nyamuk seperti genangan air, serta mobilitas penduduk antar kota/kabupaten memperkuat potensi penularan dan pembentukan klaster spasial. Kondisi ini menjelaskan mengapa wilayah dengan jumlah kasus tinggi cenderung berada dekat dengan wilayah lain yang juga memiliki jumlah kasus tinggi, sementara wilayah dengan jumlah kasus rendah berada di sekitar wilayah serupa. Dengan demikian, pola distribusi spasial kasus DBD tidak acak, melainkan menunjukkan keterkaitan antar wilayah yang dipengaruhi oleh interaksi manusia, vektor, dan lingkungan.

Untuk mendapatkan gambaran distribusi lokal, analisis LISA dan Getis-Ord Gi* dilakukan untuk menilai keterkaitan spasial pada tingkat kota/kabupaten.

# Local Moran’s I
row.names(jabar_sp) <- jabar_sp$WADMKK
jabar_merged <- jabar_merged[match(row.names(jabar_sp), jabar_merged$WADMKK), ]
Local_Moran <- localmoran(jabar_merged$Jumlah.Kasus.DBD, WL, zero.policy = TRUE)

# Tambahkan hasil LISA ke data spasial
colnames(Local_Moran) <- c("Ii", "E.Ii", "Var.Ii", "Z.Ii", "P.value")
jabar_merged$Ii <- Local_Moran[, "Ii"]
jabar_merged$Z.Ii <- Local_Moran[, "Z.Ii"]
jabar_merged$P.value <- Local_Moran[, "P.value"]

# Klasifikasi Klaster LISA
mean_var <- mean(jabar_merged$Jumlah.Kasus.DBD, na.rm = TRUE)
mean_lag <- lag.listw(WL, jabar_merged$Jumlah.Kasus.DBD)

jabar_merged$cluster <- NA
jabar_merged$cluster[jabar_merged$Jumlah.Kasus.DBD >= mean_var & mean_lag >= mean(mean_lag)] <- "High-High"
jabar_merged$cluster[jabar_merged$Jumlah.Kasus.DBD <= mean_var & mean_lag <= mean(mean_lag)] <- "Low-Low"
jabar_merged$cluster[jabar_merged$Jumlah.Kasus.DBD >= mean_var & mean_lag <= mean(mean_lag)] <- "High-Low"
jabar_merged$cluster[jabar_merged$Jumlah.Kasus.DBD <= mean_var & mean_lag >= mean(mean_lag)] <- "Low-High"
jabar_merged$cluster[jabar_merged$P.value > 0.05] <- "Non-signifikan"

# Visualisasi LISA
ggplot(jabar_merged) +
  geom_sf(aes(fill = cluster)) +
  scale_fill_manual(values = c(
    "High-High" = "red",
    "Low-Low" = "blue",
    "High-Low" = "orange",
    "Low-High" = "green",
    "Non-signifikan" = "grey80"
  )) +
  labs(
    title = "Peta Klaster Autokorelasi Lokal (LISA)",
    subtitle = "Variabel: Jumlah Kasus DBD di Jawa Barat",
    fill = "Tipe Klaster"
  ) +
  theme_minimal()

Hasil LISA menunjukkan bahwa Kota Cimahi termasuk ke dalam kategori Low-High. Artinya, Kota Cimahi memiliki jumlah kasus DBD yang relatif rendah namun berada di sekitar wilayah dengan kasus tinggi, terutama wilayah yang berbatasan langsung dengannya. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun Cimahi sendiri memiliki angka kasus yang tidak tinggi, wilayah tersebut berada pada lingkungan spasial yang berisiko karena dikelilingi oleh daerah dengan intensitas penularan yang lebih tinggi. Pola ini menggambarkan potensi spillover infection, di mana penularan dapat terjadi melalui aktivitas mobilitas penduduk antar wilayah yang saling berdekatan.

# Getis Ord
Global_Getis <- globalG.test(
  jabar_merged$Jumlah.Kasus.DBD,
  WL,
  zero.policy = TRUE
)
## Warning in globalG.test(jabar_merged$Jumlah.Kasus.DBD, WL, zero.policy = TRUE):
## Binary weights recommended (especially for distance bands)
row.names(jabar_sp) <- jabar_sp$WADMKK
jabar_merged <- jabar_merged[match(row.names(jabar_sp), jabar_merged$WADMKK), ]
lwB <- nb2listw(W, style = "B", zero.policy = TRUE)  # biner (0/1)
lwW <- nb2listw(W, style = "W", zero.policy = TRUE)  # row-standardized (weight row sum = 1)
Wb_mat <- listw2mat(lwB)   # matriks bobot biner

x_raw <- jabar_merged$Jumlah.Kasus.DBD
na_idx <- is.na(x_raw)
if(any(na_idx)) {
  message(sum(na_idx), " observasi memiliki NA pada variabel; NA akan diperlakukan sebagai 0 untuk perhitungan G raw.")
}
x_for_calc <- x_raw
x_for_calc[is.na(x_for_calc)] <- 0
sum_x <- sum(x_for_calc)
num_G <- as.numeric(Wb_mat %*% x_for_calc)
den_G <- (sum_x - x_for_calc)
G_raw <- num_G / den_G
Wb_star <- Wb_mat
diag(Wb_star) <- 1
num_Gs <- as.numeric(Wb_star %*% x_for_calc)
den_Gs <- sum_x
G_star_raw <- num_Gs / den_Gs

Gz <- as.numeric(spdep::localG(x_for_calc, listw = lwW, zero.policy = TRUE))
jabar_G <- dplyr::mutate(
  jabar_merged,
  G_raw = G_raw,
  G_star_raw = G_star_raw,
  z_Gistar = Gz,
  hotcold = dplyr::case_when(
    z_Gistar >=  1.96 ~ "Hot spot (p<=0.05)",
    z_Gistar <= -1.96 ~ "Cold spot (p<=0.05)",
    TRUE              ~ "Not significant"
  )
)

# Plot Lokal
p2 <- ggplot(jabar_G) +
  geom_sf(aes(fill = hotcold), color = "white", size = 0.2) +
  scale_fill_manual(values = c("Hot spot (p<=0.05)" = "#b2182b",
                               "Cold spot (p<=0.05)" = "#2166ac",
                               "Not significant" = "grey85"),
                    na.value = "grey90") +
  labs(title = "Getis–Ord Gi* — Hot/Cold Spots (z-score)",
       subtitle = "z(G*_i) berdasarkan local G (alpha = 0.05)",
       fill = NULL) +
  theme_minimal()
print(p2)

Namun, hasil analisis Getis-Ord Gi* menunjukkan bahwa Kota Cimahi teridentifikasi sebagai hotspot. Hal ini terlihat dari nilai z-score yang signifikan positif, mengindikasikan bahwa Cimahi berada dalam area dengan konsentrasi kasus tinggi secara spasial. Pada titik ini, penting untuk dipahami bahwa hotspot pada Getis-Ord tidak hanya menggambarkan nilai kasus internal wilayah, tetapi juga mempertimbangkan pola konsistensi kasus di wilayah yang secara spasial berinteraksi dengan daerah tersebut. Dengan kata lain, meskipun Cimahi sendiri memiliki nilai absolut kasus lebih rendah, ia berada dalam sistem spasial yang secara keseluruhan ditandai oleh angka tinggi sehingga Cimahi menjadi bagian dari rangkaian konsentrasi penularan regional.

Kombinasi status Low-High pada LISA dan hotspot pada Getis-Ord menunjukkan bahwa Cimahi merupakan wilayah penyangga yang berpotensi menjadi jembatan penularan. Wilayah ini mungkin belum mengalami lonjakan kasus yang besar, tetapi posisinya yang strategis dan keterkaitannya dengan wilayah yang sudah memiliki kasus tinggi menjadikan Cimahi rentan untuk mengalami peningkatan kasus apabila tidak dilakukan tindakan pencegahan yang intensif dan berkelanjutan.

4.4 Ukuran Epidemiologi

Pengukuran epidemiologi dilakukan untuk memahami tingkat kejadian dan tingkat keparahan penyakit DBD di Provinsi Jawa Barat. Dua ukuran yang digunakan dalam analisis ini adalah prevalensi dan Case Fatality Rate (CFR).

total_kasus <- sum(jabar_merged$Jumlah.Kasus.DBD, na.rm = TRUE)
total_penduduk <- sum(jabar_merged$Jumlah.Penduduk, na.rm = TRUE)

# Prevalensi Global
prevalensi_global <- (total_kasus / total_penduduk) * 100 # dalam persen
prevalensi_global
## [1] 0.1220037

Prevalensi menggambarkan proporsi penduduk yang mengalami DBD pada suatu periode tertentu, sehingga mencerminkan tingkat penyebaran atau beban penyakit dalam populasi. Secara global, prevalensi DBD berada pada angka 0,12%, yang berarti bahwa dari setiap 10.000 penduduk, terdapat kurang lebih 12 orang yang terinfeksi DBD. Angka ini memberi gambaran bahwa meskipun persentasenya tampak kecil, penyebaran DBD tetap luas dan dapat menjadi masalah kesehatan masyarakat yang signifikan, terutama di negara beriklim tropis seperti Indonesia.

jabar_merged <- jabar_merged %>%
  dplyr::mutate(
    Prevalensi = (Jumlah.Kasus.DBD / Jumlah.Penduduk) * 100,   # dalam %
    CFR = (Jumlah.Kematian.Akibat.DBD / Jumlah.Kasus.DBD) * 100  # dalam %
  )

ggplot(jabar_merged) +
  geom_sf(aes(fill = Prevalensi)) +
  scale_fill_viridis_c(option = "C", name = "Prevalensi (%)") +
  labs(
    title = "Sebaran Prevalensi DBD di Provinsi Jawa Barat"
  ) +
  theme_minimal() +
  theme(
    plot.title = element_text(face = "bold"),
    legend.position = "right"
  )

Ketika prevalensi dipetakan secara lokal di tingkat kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, terlihat bahwa distribusi kasus tidak merata antarwilayah. Wilayah sekitar selatan Jawa Barat, khususnya di sekitar Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Tasikmalaya, dan Pangandaran, menunjukkan prevalensi tertinggi. Hal ini dapat mengindikasikan tingginya intensitas penularan di daerah tersebut, yang mungkin dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, kondisi lingkungan yang mendukung perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti, atau faktor iklim lokal.

Sementara itu, sekitar wilayah bagian utara seperti Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Indramayu, dan Cirebon tampak memiliki prevalensi lebih rendah. yang dapat menandakan tingkat penularan yang lebih terkendali atau efektivitas program pengendalian vektor di daerah tersebut.

total_kematian <- sum(jabar_merged$Jumlah.Kematian.Akibat.DBD, na.rm = TRUE)
# Case Fatality Rate (CFR) Global
cfr_global <- (total_kematian / total_kasus) * 100            # dalam persen
cfr_global
## [1] 0.5519105

Sementara itu, Case Fatality Rate (CFR) digunakan untuk menggambarkan tingkat keparahan penyakit, yaitu proporsi kematian di antara kasus yang terinfeksi. Secara global, CFR DBD tercatat sebesar 0,55%, yang berarti bahwa dari setiap 100 orang yang terdiagnosis DBD, terdapat sekitar 1 orang yang meninggal akibat penyakit ini. Nilai CFR yang relatif rendah menunjukkan bahwa DBD umumnya dapat ditangani dengan baik bila pasien mendapatkan akses layanan kesehatan secara cepat dan tepat. Namun demikian, angka ini tetap penting diperhatikan, karena peningkatan kasus tanpa penanganan medis memadai dapat menyebabkan kenaikan angka kematian.

ggplot(jabar_merged) +
  geom_sf(aes(fill = CFR)) +
  scale_fill_viridis_c(option = "C", name = "CFR (%)") +
  labs(
    title = "Sebaran Case Fatality Rate (CFR) DBD di Provinsi Jawa Barat"
  ) +
  theme_minimal() +
  theme(
    plot.title = element_text(face = "bold"),
    legend.position = "right"
  )

Dari peta sebaran CFR DBD di Provinsi Jawa Barat, terlihat variasi yang cukup jelas antarwilayah. Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi tampak memiliki CFR yang relatif tinggi, yang mungkin mencerminkan keterlambatan penanganan atau keterbatasan akses ke fasilitas kesehatan di daerah tersebut. Sebaliknya, wilayah Kabupaten Sukabumi dan Pangandaran yang memiliki prevalensi tinggi justru menunjukkan CFR yang rendah, menandakan kemungkinan efektivitas penanganan kasus dan kesiapsiagaan layanan kesehatan yang lebih baik.

Secara keseluruhan, analisis prevalensi dan CFR memberikan gambaran yang saling melengkapi. Prevalensi membantu memahami tingkat penyebaran penyakit, sementara CFR memberikan informasi mengenai tingkat keparahan dampaknya. Dengan menggabungkan kedua ukuran ini serta melihat pola sebarannya dalam bentuk peta, dapat ditentukan wilayah yang memerlukan prioritas intervensi baik dalam aspek pencegahan penularan maupun peningkatan kapasitas layanan kesehatan untuk penanganan kasus DBD.

4.5 Rekomendasi Studi Epidemiologi (Simulatif)

4.5.1 Jenis Desain yang Direkomendasikan

Berdasarkan hasil analisis spasial dan epidemiologis sebelumnya, studi lanjutan yang disarankan adalah studi potong lintang (cross-sectional study) yang bersifat observasional. Desain ini dapat digunakan untuk mengukur secara bersamaan antara paparan (exposure) dan luaran (outcome) dalam satu periode tertentu.

Pendekatan ini dinilai sesuai untuk mengevaluasi hubungan antara faktor lingkungan, kepadatan penduduk, dan karakteristik demografis dengan prevalensi serta Case Fatality Rate (CFR) DBD di Provinsi Jawa Barat. Melalui desain ini, dapat diperoleh gambaran menyeluruh mengenai situasi epidemiologis terkini di setiap kabupaten/kota. Keunggulan desain cross-sectional adalah :

  1. Menyajikan distribusi spasial penyakit dengan menggambarkan variasi prevalensi dan CFR antarwilayah pada satu waktu tertentu.

  2. Mengidentifikasi variasi antarwilayah dengan menganalisis perbedaan tingkat risiko dan determinan lingkungan yang memengaruhi penyebaran DBD.

  3. Memberikan dasar untuk penelitian lanjutan dimana hasilnya dapat digunakan untuk merancang studi analitik atau longitudinal yang lebih mendalam mengenai faktor risiko DBD.

Selain itu, desain ini relatif efisien dari segi waktu dan biaya, serta dapat dilakukan menggunakan data sekunder dari laporan surveilans atau dinas kesehatan.

4.5.2 Variabel yang Direkomendasikan

Tabel berikut menyajikan variabel yang disarankan untuk digunakan dalam studi epidemiologi lanjutan.

Jenis Variabel Nama Variabel Keterangan
Variabel Dependen (Outcome) Prevalensi DBD (%) Proporsi kasus DBD terhadap jumlah penduduk pada masing-masing kabupaten/kota di Jawa Barat.
CFR (%) Proporsi kematian akibat DBD dibandingkan total kasus DBD pada wilayah tertentu.
Variabel Independen (Paparan) Kepadatan penduduk (jiwa/km²) Menggambarkan tingkat keramaian penduduk yang berpotensi meningkatkan transmisi vektor.
Curah hujan (mm) Faktor lingkungan yang memengaruhi banyaknya genangan air tempat berkembang biak nyamuk.
Pelaksanaan 3M Plus Tingkat implementasi program pencegahan DBD di masyarakat.
Suhu rata-rata (°C) Faktor iklim yang memengaruhi siklus hidup nyamuk Aedes aegypti.
Variabel Perancu ( Confounder) Usia dominan penduduk, proporsi jenis kelamin laki-laki, tingkat pendidikan Faktor-faktor yang dapat memengaruhi kerentanan terhadap infeksi DBD.

4.5.3 Populasi dan Unit Analisis

Populasi target studi simulatif ini adalah seluruh penduduk Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024, dengan unit analisis berupa kabupaten/kota (27 wilayah).
Karena semua wilayah memiliki data relevan dan tersedia dalam periode yang sama, maka seluruh kabupaten/kota direkomendasikan untuk dimasukkan dalam analisis menggunakan pendekatan total sampling. Hal ini memungkinkan observasi menyeluruh terhadap variasi geografis dan demografis.

4.5.4 Pendekatan Sampling

Metode sampling yang direkomendasikan adalah total sampling, yaitu menyertakan seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat sebagai unit observasi. Pendekatan ini memastikan semua variasi dalam data epidemiologi DBD dapat dianalisis, sekaligus memungkinkan perbandingan antarwilayah secara langsung untuk menilai variasi prevalensi dan CFR.

4.5.5 Potensi Bias dan Antisipasinya

Berikut adalah potensi bias berdasarkan rancangan ini :

Jenis Bias Penjelasan dan Cara Antisipasi
Bias seleksi Dapat terjadi jika sebagian wilayah tidak memiliki data lengkap. Antisipasi: verifikasi dan imputasi data menggunakan sumber sekunder resmi seperti laporan Kemenkes atau Dinas Kesehatan Provinsi.
Bias informasi Dapat muncul akibat perbedaan sistem pelaporan antarwilayah. Antisipasi: standarisasi sumber data dan validasi silang antara laporan surveilans dan data rumah sakit.
Bias perancu (co nfounding) Faktor seperti kepadatan penduduk, iklim, dan perilaku masyarakat dapat saling berinteraksi. Antisipasi: gunakan analisis multivariat untuk mengontrol efek perancu.

Rancangan studi ini bersifat simulatif dan rekomendatif, disusun berdasarkan hasil analisis yang menunjukkan adanya variasi spasial signifikan dalam penyebaran dan keparahan DBD di Jawa Barat. Studi lanjutan dengan desain ini dapat memperkuat pemahaman tentang determinan epidemiologis DBD serta menjadi dasar perencanaan intervensi berbasis wilayah.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis deskriptif, spasial, dan epidemiologis mengenai kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

  1. Distribusi Jumlah Kasus DBD
    Jumlah kasus DBD di tingkat kabupaten/kota menunjukkan variasi yang cukup besar. Nilai minimum kasus tercatat sebesar 400 kasus, sedangkan nilai maksimum mencapai 7.680 kasus. Distribusi data cenderung miring ke kanan (positively skewed), dengan sebagian besar wilayah memiliki jumlah kasus relatif rendah, tetapi terdapat beberapa wilayah perkotaan seperti Kota Bandung yang menunjukkan jumlah kasus jauh lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Pola ini menegaskan bahwa wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi dan aktivitas mobilitas yang intens memiliki risiko penularan yang lebih besar.

  2. Distribusi Spasial Kasus DBD
    Analisis peta sebaran mengungkapkan bahwa kasus DBD tidak tersebar secara acak, melainkan terkonsentrasi di wilayah perkotaan dengan populasi padat dan karakter lingkungan yang mendukung perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Sementara wilayah dengan karakteristik rural umumnya menunjukkan jumlah kasus yang lebih rendah.

  3. Autokorelasi Spasial
    Hasil uji Moran’s I (0,2195; p-value < 0,05) dan Geary’s C (0,6128; p-value < 0,05) menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif yang signifikan. Artinya, wilayah dengan jumlah kasus tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah yang juga memiliki kasus tinggi, begitu pula wilayah dengan kasus rendah. Analisis lokal melalui LISA menunjukkan Kota Cimahi sebagai wilayah Low-High, yaitu wilayah dengan kasus rendah namun berbatasan dengan wilayah berkasus tinggi. Sementara hasil Getis-Ord Gi* mengelompokkan Cimahi sebagai hotspot, menandakan bahwa wilayah tersebut berada dalam sistem spasial penularan yang aktif dan berpotensi mengalami peningkatan kasus jika tidak dilakukan intervensi.

  4. Ukuran Epidemiologi (Prevalensi dan CFR)
    Prevalensi global DBD di Jawa Barat adalah 0,12%, artinya terdapat sekitar 12 kasus per 10.000 penduduk. Sebaran prevalensi tertinggi ditemukan pada wilayah selatan Jawa Barat seperti Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Tasikmalaya, dan Pangandaran. Case Fatality Rate (CFR) global tercatat sebesar 0,55%, menunjukkan bahwa DBD memiliki tingkat keparahan yang relatif terkendali. Namun, variasi spasial menunjukkan beberapa wilayah seperti Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat memiliki CFR lebih tinggi dibandingkan daerah lain, yang mengindikasikan perlunya peningkatan akses dan respon pelayanan kesehatan.

Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyebaran DBD di Jawa Barat dipengaruhi oleh interaksi faktor lingkungan, kepadatan penduduk, mobilitas manusia, dan kerentanan host, serta menunjukkan pola spasial yang jelas dan tidak acak.

5.2 Saran

Berdasarkan temuan penelitian ini, saran yang dapat diajukan mencakup:

  1. Penguatan Intervensi Berbasis Wilayah (Area-Specific Intervention)
    Wilayah dengan status hotspot perlu menjadi prioritas dalam program pengendalian vektor, termasuk intensifikasi kegiatan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk), edukasi masyarakat, dan monitoring berkala tempat perindukan nyamuk.

  2. Peningkatan Kesiapsiagaan Layanan Kesehatan
    Wilayah dengan CFR tinggi, seperti Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat, memerlukan :

    • Peningkatan deteksi dini dan rujukan cepat

    • Penyediaan fasilitas rawat inap memadai

    • Pelatihan penanganan syok dengue bagi tenaga kesehatan

  3. Optimalisasi Program 3M Plus
    Perilaku masyarakat dalam pencegahan masih menjadi faktor penentu. Diperlukan pendekatan edukatif yang berbasis komunitas, terutama di wilayah padat dan permukiman dengan sanitasi rendah.

  4. Rekomendasi Studi Lanjutan
    Penelitian lanjutan dengan desain cross-sectional atau ecological study disarankan untuk mengukur hubungan antara faktor paparan (kepadatan penduduk, curah hujan, suhu, dan perilaku 3M Plus) dengan prevalensi dan CFR DBD di tiap wilayah. Pendekatan total sampling dianjurkan karena seluruh kabupaten/kota relevan sebagai unit analisis.

  5. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) secara Berkelanjutan
    Pemerintah daerah dianjurkan untuk memanfaatkan SIG sebagai alat pemantauan real-time dalam deteksi dini klaster penularan dan evaluasi efektivitas program intervensi.

DAFTAR PUSTAKA

Wu, P.-C., Lay, J.-G., Guo, H.-R., Lin, C.-Y., Lung, S.-C., & Su, H.-J. (2009). Higher temperature and urbanization affect the spatial patterns of dengue fever transmission in subtropical Taiwan. Science of the Total Environment, 407(7), 2224–2233. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2008.11.034 

Mohammed, A., & Chadee, D. D. (2011). Effects of different temperature regimens on the development of Aedes aegypti (L.) (Diptera: Culicidae) mosquitoes. Acta Tropica, 119(1), 38–43.https://doi.org/10.1016/j.actatropica.2011.04.004

Arsin, A. A. (2013). Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. Makassar: Masagena Press.

Morrison, A. C., Zielinski-Gutierrez, E., Scott, T. W., & Rosenberg, R. (2008). Defining Challenges and Proposing Solutions for Control of the Virus Vector Aedes aegypti. PLoS Medicine, 5(3), e68.https://doi.org/10.1371/journal.pmed.0050068

World Health Organization (WHO). (2025, August 21). Dengue. World Health Organization. Retrieved fromhttps://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/dengue

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2022). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2022. Jakarta: Kemenkes RI from https://kemkes.go.id/id/profil-kesehatan-indonesia-2022  

Ramayani, P., Samidah, I., Diniarti, F., & Suyanto, J. (2022). Hubungan status gizi dan praktik 3M dengan kejadian DBD di Kota Bengkulu tahun 2022. Jurnal Vokasi Kesehatan, 1(2), 71–78. https://doi.org/10.58222/juvokes.v1i2.120 

Ravichandran, S., Ramya, S. R., & Kanungo, R. (2019). Association of ABO blood groups with dengue fever and its complications in a tertiary care hospital. Journal of Laboratory Physicians, 11(3), 265–269. https://doi.org/10.4103/JLP.JLP_95_19 

Anker, M., & Arima, Y. (2011). Male–female differences in the number of reported incident dengue fever cases in six Asian countries. Western Pacific Surveillance and Response Journal, 2(2), 17–23. https://doi.org/10.5365/WPSAR.2011.2.1.002 

World Health Organization (WHO). (2025, August 21). Dengue. World Health Organization. Retrieved fromhttps://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/dengue 

Gubler, D. J. (2011). Dengue, urbanization and globalization: The unholy trinity of the 21st century. Tropical Medicine & Health, 39(4 Suppl), 3–11. https://doi.org/10.2149/tmh.2011-S05 

Badan Pusat Statistik. (2024). Jumlah penduduk, laju pertumbuhan penduduk, distribusi persentase penduduk, kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin penduduk menurut provinsi. Diakses dari
https://www.bps.go.id/id/statistics-table/3/V1ZSbFRUY3lTbFpEYTNsVWNGcDZjek53YkhsNFFUMDkjMyMwMDAw/jumlah-penduduk--laju-pertumbuhan-penduduk--distribusi-persentase-penduduk--kepadatan-penduduk--rasio-jenis-kelamin-penduduk-menurut-provinsi.html?year=2024

Pemerintah Provinsi Jawa Barat – Open Data Jabar. (2024). Jumlah kasus penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan kabupaten/kota di Jawa Barat. Diakses dari
https://opendata.jabarprov.go.id/id/dataset/jumlah-kasus-penyakit-demam-berdarah-dengue-dbd-berdasarkan-kabupatenkota-di-jawa-barat

Pemerintah Provinsi Jawa Barat – Open Data Jabar. (2024). Jumlah kasus meninggal Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan jenis kelamin di Jawa Barat. Diakses dari https://opendata.jabarprov.go.id/id/dataset/jumlah-kasus-meninggal-demam-berdarah-dengue-dbd-berdasarkan-jenis-kelamin-di-jawa-barat

Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung. (2024). Jumlah penduduk menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat (ribu). Diakses dari
https://bandungkab.bps.go.id/id/statistics-table/1/MTgyIzE=/jumlah-penduduk-menurut-kabupaten-kota-di-provinsi-jawa-barat-ribu-2024-.html

Mulyani, H., Djatna, T., & Sitanggang, I. (2017). Agent Based Modeling on Dynamic Spreading Dengue Fever Epidemic. TELKOMNIKA Telecommunication Computing Electronics and Control, 15, 1380-1388. https://doi.org/10.12928/telkomnika.v15i3.4511

Rwezaura, H., Diagne, M., Omame, A., De Espíndola, A., & Tchuenche, J. (2022). Mathematical modeling and optimal control of SARS-CoV-2 and tuberculosis co-infection: a case study of Indonesia. Modeling Earth Systems and Environment, 8, 5493 - 5520. https://doi.org/10.1007/s40808-022-01430-6

Khan, M., & , F. (2021). Dengue infection modeling and its optimal control analysis in East Java, Indonesia. Heliyon, 7. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2021.e06023

Ramadona, A., Lazuardi, L., Hii, Y., Holmner, Å., Kusnanto, H., & Rocklöv, J. (2016). Prediction of Dengue Outbreaks Based on Disease Surveillance and Meteorological Data. PLoS ONE, 11. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0152688

Sasmita, H., Neoh, K., Yusmalinar, S., Anggraeni, T., Chang, N., Bong, L., Putra, R., Sebayang, A., Silalahi, C., Ahmad, I., & Tu, W. (2021). Ovitrap surveillance of dengue vector mosquitoes in Bandung City, West Java Province, Indonesia. PLoS Neglected Tropical Diseases, 15. https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0009896

Amelinda, Y., Wulandari, R., & Asyary, A. (2022). The effects of climate factors, population density, and vector density on the incidence of dengue hemorrhagic fever in South Jakarta Administrative City 2016-2020: an ecological study. Acta Bio Medica : Atenei Parmensis, 93. https://doi.org/10.23750/abm.v93i6.13503

Ramsay, E., Faber, P., Fleming, G., Duffy, G., Agussalim, A., Barker, F., Saifuddaolah, M., Taruc, R., Tela, A., Vamosi, R., Vilsoni, S., & Chown, S. (2025). Causal drivers of mosquito abundance in urban informal settlements. Environmental Research Letters, 20. https://doi.org/10.1088/1748-9326/add751.

SHOLIHAH, K., Junaedi, M., & Riwayati Malika. (2025). LITERATUR REVIEW: HUBUNGAN HOST DAN ENVIRONMENT DENGAN KEJADIAN PENYAKIT MENULAR. SAINTEKES: Jurnal Sains, Teknologi Dan Kesehatan, 4(3), 147–154. Retrieved from https://ejournal.itka.ac.id/index.php/saintekes/article/view/374 

Harapan, H., Wagner, A., Yufika, A., Winardi, W., Anwar, S., Gan, A., Setiawan, A., Rajamoorthy, Y., Sofyan, H., & Mudatsir, M. (2020). Acceptance of a COVID-19 Vaccine in Southeast Asia: A Cross-Sectional Study in Indonesia. Frontiers in Public Health, 8. https://doi.org/10.3389/fpubh.2020.00381.

Restuti, R., Tamin, S., Nugroho, D., Hutauruk, S., & Mansyur, M. (2022). Factors affecting the occurrence of otitis media with effusion in preschool and elementary school children: a comparative cross-sectional study. BMJ Open, 12. https://doi.org/10.1136/bmjopen-2022-065291.