Analisis Kasus Tuberkulosis di Kabupaten/Kota
Provinsi Jawa Barat
Tahun 2024
Ditujukan Guna Memenuhi UTS Mata Kuliah Epidemiologi
Disusun oleh:
Khalisha Syahla Putri Marindra
(140610230008)
Muhammad Imamul Caesar (140610230019)
Tiffany
Chantika Silalahi (140610230027)
Dosen Pengampu:
I Gede Nyoman Mindra Jaya,
Ph.D
PROGRAM STUDI S-1 STATISTIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2025
Tuberkulosis (TBC) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi tantangan utama kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menyerang paru-paru dan menyebar melalui percikan dahak penderita. Provinsi Jawa Barat tercatat sebagai wilayah dengan jumlah kasus TBC tertinggi secara nasional pada tahun 2024, yaitu sebanyak 234.710 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis persebaran kasus TBC di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi jumlah kasus berdasarkan pendekatan epidemiologi deskriptif kuantitatif. Data sekunder diperoleh dari Open Data Jabar dan Badan Pusat Statistik (BPS), meliputi variabel jumlah penduduk laki-laki, penduduk perempuan, penduduk miskin, fasilitas kesehatan, sanitasi layak, dan kepadatan penduduk. Analisis dilakukan menggunakan perhitungan prevalensi dan regresi linier sederhana untuk menilai hubungan antarvariabel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus TBC di Jawa Barat tidak tersebar merata. Daerah dengan prevalensi tinggi umumnya berada di wilayah perkotaan dan padat penduduk seperti Kota Cirebon, Kota Bandung, dan Kota Bogor. Berdasarkan hasil analisis faktor, dua variabel yang berpengaruh signifikan terhadap jumlah kasus TBC adalah jumlah fasilitas kesehatan (p = 0,020) dan kepadatan penduduk (p = 0,041). Fasilitas kesehatan berpengaruh negatif terhadap jumlah kasus, menandakan bahwa semakin banyak fasilitas kesehatan maka angka kasus TBC cenderung menurun. Sebaliknya, kepadatan penduduk berpengaruh positif, menunjukkan bahwa daerah dengan populasi padat berpotensi memiliki tingkat penularan lebih tinggi.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa distribusi TBC di Jawa Barat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan akses pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan kesehatan yang berfokus pada peningkatan sarana pelayanan medis di wilayah dengan prevalensi tinggi dan pengendalian kepadatan penduduk untuk menekan penyebaran TBC di masa mendatang.
Kata kunci: Tuberkulosis, Epidemiologi, Prevalensi, Jawa Barat
BAB I
LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TBC) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia [1]. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menyerang paru-paru dan menular melalui percikan dahak dari penderita [2]. Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Indonesia termasuk dalam lima besar negara dengan jumlah kasus TBC tertinggi di dunia [3]. Provinsi Jawa Barat menjadi daerah dengan jumlah kasus TBC tertinggi pada tahun 2024 dengan jumlah 234.710 jumlah kasus [3]. Faktor-faktor seperti kepadatan penduduk, kondisi sosial ekonomi, dan akses terhadap fasilitas kesehatan turut memengaruhi tingkat penyebaran penyakit ini [5]. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan analisis yang mampu melihat pola persebaran kasus TBC secara geografis untuk mendukung kebijakan pemerintah untuk menanggulangi jumlah kasus tuberkulosis khususnya di Provinsi Jawa Barat. Dalam konteks epidemiologi, hubungan antara agen penyebab penyakit (agent), penjamu (host), dan lingkungan (environment) menjadi konsep utama dalam memahami penyebaran TBC [6]. Analisis data epidemiologis, seperti penghitungan ukuran asosiasi dan pemilihan desain studi yang sesuai, dapat membantu dalam mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang signifikan. Oleh karena itu, penelitian ini berfokus pada analisis kasus Tuberkulosis di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat tahun 2024 untuk menggambarkan distribusi penyakit dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhinya. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana distribusi kasus Tuberkulosis di setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 serta faktor-faktor apa yang berpotensi memengaruhi jumlah kasus tersebut. Rumusan ini penting untuk mengetahui sejauh mana penyebaran TBC bervariasi antarwilayah dan bagaimana karakteristik wilayah dapat berhubungan dengan tingkat kejadian penyakit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan distribusi kasus Tuberkulosis di wilayah Jawa Barat, menganalisis keterkaitannya dengan faktor demografis dan lingkungan, serta memberikan gambaran epidemiologis yang dapat menjadi dasar bagi upaya pengendalian dan pencegahan Tuberkulosis di daerah tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Epidemiologi merupakan ilmu yang mempelajari distribusi serta determinan masalah kesehatan dalam populasi, serta penerapannya untuk pengendalian penyakit [7]. Tujuan utama epidemiologi adalah mengidentifikasi faktor-faktor penyebab dan pola penyebaran penyakit agar dapat dilakukan intervensi kesehatan masyarakat yang tepat. Dalam konteks Tuberkulosis (TBC), epidemiologi berperan penting dalam memahami pola penyebaran penyakit, faktor risiko yang berkontribusi terhadap kejadian TBC, serta efektivitas program pengendalian yang diterapkan [8]. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menilai hubungan antara faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan terhadap kejadian TBC di suatu wilayah [9].
Konsep dasar dalam epidemiologi penyakit menular dikenal sebagai segitiga epidemiologi (epidemiologic triad), yang terdiri dari tiga komponen utama: agent (agen penyebab), host (inang), dan environment (lingkungan) [9]. Interaksi ketiganya menentukan terjadinya dan penyebaran suatu penyakit.
Agen penyebab TBC adalah Mycobacterium tuberculosis, yaitu bakteri berbentuk batang yang bersifat tahan asam (acid-fast bacillus) dan menular melalui udara (airborne transmission) ketika penderita batuk, bersin, atau berbicara [10]. Agen ini mampu bertahan di udara selama beberapa jam, sehingga meningkatkan peluang penularan di ruang tertutup.
Inang dalam kasus TBC adalah manusia. Kerentanan seseorang terhadap infeksi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti usia, status imun, status gizi, serta kondisi sosial ekonomi [11]. Individu dengan sistem imun yang lemah (misalnya penderita HIV/AIDS), gizi buruk, atau tinggal di lingkungan miskin memiliki risiko lebih tinggi mengalami infeksi TBC aktif.
Lingkungan memiliki peranan besar dalam penyebaran TBC. Kepadatan penduduk, kondisi ventilasi yang buruk, tingkat kelembapan tinggi, serta kualitas udara yang rendah dapat meningkatkan peluang transmisi Mycobacterium tuberculosis [12]. Wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi dan akses terbatas terhadap fasilitas kesehatan juga cenderung memiliki angka kasus TBC lebih besar.
Pemahaman terhadap interaksi antara agent, host, dan environment menjadi dasar dalam merancang strategi pencegahan, seperti peningkatan kualitas hunian, penyuluhan gizi, dan deteksi dini TBC di populasi berisiko [11].
Untuk menilai kekuatan hubungan antara faktor risiko (paparan) dan kejadian penyakit, epidemiologi menggunakan ukuran asosiasi (measure of association). Ukuran ini menggambarkan seberapa besar risiko suatu penyakit meningkat atau menurun pada individu yang terpapar dibandingkan yang tidak terpapar [13]. Beberapa ukuran asosiasi yang umum digunakan meliputi:
Digunakan dalam studi kohort, RR mengukur rasio risiko penyakit pada kelompok terpapar dibandingkan kelompok tidak terpapar. \[ RR = \frac{\frac{A}{A + B}}{\frac{C}{C + D}} \] dengan:
Digunakan dalam studi kasus–kontrol, OR membandingkan peluang paparan pada kelompok kasus dan kontrol. \[ OR = \frac{A \times D}{B \times C} \] Interpretasi: nilai OR > 1 menunjukkan bahwa paparan meningkatkan peluang terjadinya penyakit, sedangkan OR < 1 menunjukkan efek protektif.
Umumnya digunakan dalam studi potong lintang (cross-sectional) untuk membandingkan prevalensi penyakit antar kelompok. \[ PR = \frac{\frac{A}{A + B}}{\frac{C}{C + D}} \] Nilai PR menunjukkan seberapa besar kemungkinan individu terpapar memiliki penyakit dibandingkan individu yang tidak terpapar pada waktu tertentu [13]. Ukuran asosiasi seperti RR, OR, dan PR membantu peneliti memahami hubungan antara faktor risiko seperti kepadatan penduduk, kemiskinan, atau akses terhadap fasilitas kesehatan dengan kejadian TBC di suatu wilayah [8].
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang umumnya menyerang paru-paru. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa jumlah kasus penyakit TBC di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024. Data diperoleh dari publikasi resmi Open Data Jabar dan Badan Pusat Statistik (BPS). Unit analisis dalam penelitian ini adalah 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, di mana setiap unit direpresentasikan sebagai satu entitas spasial dengan batas wilayah administratif yang jelas.
Selain variabel dependen berupa jumlah kasus TBC tahun 2024 (Y), penelitian ini juga melibatkan enam variabel independen, yaitu:
X1: jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki,
X2: jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan,
X3: jumlah penduduk miskin,
X4: jumlah fasilitas kesehatan,
X5: persentase sanitasi layak, dan
X6: kepadatan penduduk.
Pemilihan Provinsi Jawa Barat sebagai wilayah penelitian didasarkan pada tingginya variasi jumlah kasus TBC antarwilayah, sehingga memungkinkan untuk mengidentifikasi adanya pola ketergantungan spasial yang signifikan antar kabupaten/kota.
Analisis dilakukan menggunakan ukuran epidemiologi yang umum digunakan dalam kajian kesehatan masyarakat [3]. Prevalensi (P) dihitung untuk menggambarkan proporsi populasi yang menderita TBC, baik kasus baru maupun lama, dengan rumus: \[ \text{Prevalensi} = \frac{\text{Jumlah seluruh kasus (baru + lama)}}{\text{Jumlah penduduk pada periode tertentu}} \times 100\% \]
Hubungan antarvariabel seperti jumlah penduduk Perempuan, Jumlah Penduduk Laki-laki, jumlah penduduk miskin, jumlah fasilitas kesehatan, persentase sanitasi layak, dan kepadatan penduduk (jiwa/km²) dianalisis menggunakan uji regresi linier sederhana untuk melihat kekuatan pengaruh terhadap prevalensi TBC [8].
Alur kerja penelitian ini meliputi: (1) pengumpulan data sekunder dari Open Data Jabar; (2) pembersihan dan pengolahan data; (3) perhitungan ukuran epidemiologi seperti prevalensi, RR, OR, dan AR; (4) analisis hubungan antarvariabel; serta (5) penyajian hasil dalam bentuk tabel, grafik, dan peta tematik untuk menampilkan pola sebaran kasus TBC di Provinsi Jawa Barat [9]. Seluruh proses dilakukan menggunakan perangkat lunak R untuk mendukung analisis kuantitatif dan visualisasi spasial secara akurat.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
library(sf)
## Warning: package 'sf' was built under R version 4.3.3
## Linking to GEOS 3.11.2, GDAL 3.8.2, PROJ 9.3.1; sf_use_s2() is TRUE
library(dplyr)
## Warning: package 'dplyr' was built under R version 4.3.3
##
## Attaching package: 'dplyr'
## The following objects are masked from 'package:stats':
##
## filter, lag
## The following objects are masked from 'package:base':
##
## intersect, setdiff, setequal, union
library(ggplot2)
library(readxl)
## Warning: package 'readxl' was built under R version 4.3.3
## 3️⃣ Baca shapefile nasional & filter Jawa Barat
# baca shapefile administrasi level 2 (kab/kota)
indo_shp <- sf::st_read("C:/Users/Imamul Caesar/Downloads/gadm41_IDN_2.shp")
## Reading layer `gadm41_IDN_2' from data source
## `C:\Users\Imamul Caesar\Downloads\gadm41_IDN_2.shp' using driver `ESRI Shapefile'
## Simple feature collection with 502 features and 13 fields
## Geometry type: MULTIPOLYGON
## Dimension: XY
## Bounding box: xmin: 95.00971 ymin: -11.00761 xmax: 141.0194 ymax: 6.076941
## Geodetic CRS: WGS 84
# filter hanya provinsi Jawa Barat
shp_jabar <- indo_shp %>%
dplyr::filter(NAME_1 %in% c("West Java", "Jawa Barat"))
# bersihkan nama kolom wilayah
shp_jabar <- shp_jabar %>%
dplyr::mutate(NAME_2 = tolower(trimws(NAME_2)))
# cek jumlah kab/kota setelah filter
cat("✅ Jumlah kab/kota Jawa Barat:", nrow(shp_jabar), "\n")
## ✅ Jumlah kab/kota Jawa Barat: 27
# ==========================================================
# 4️⃣ Daftar file data tahunan
# ==========================================================
files <- list(
`2024` = "C:/Users/Imamul Caesar/Downloads/Epidem_2024.xlsx"
)
# ==========================================================
# 5️⃣ Loop — Baca Excel & gabungkan dengan shapefile
# ==========================================================
# (Kita tidak print dulu seperti python, karena nanti plot langsung)
# Tetapi boleh pakai lapply untuk persiapan list gdf per tahun
gdf_list <- lapply(names(files), function(tahun){
df_tbc <- readxl::read_excel(files[[tahun]])
df_tbc$`Kabupaten_Kota` <- tolower(trimws(df_tbc$`Kabupaten_Kota`))
gdf <- shp_jabar %>%
dplyr::left_join(df_tbc, by = c("NAME_2" = "Kabupaten_Kota")) %>%
dplyr::filter(NAME_2 != "waduk cirata") %>%
dplyr::filter(!is.na(`Kasus TBC`))
gdf$tahun <- tahun
return(gdf)
})
names(gdf_list) <- names(files)
# ==========================================================
# 6️⃣ Plot peta 4 tahun (2x2)
# ==========================================================
par(mfrow=c(1,1), mar=c(0,0,0.8,0))
for(tahun in names(gdf_list)){
gdf <- gdf_list[[tahun]]
plot(st_geometry(gdf), col = NA, border="grey50", main = paste("Sebaran Kasus TBC", tahun))
# Color scale: gunakan cut quantile contoh (bisa diganti)
col_breaks <- pretty(gdf$`Kasus TBC`, n=5)
col_map <- cut(gdf$`Kasus TBC`, breaks = col_breaks, include.lowest=TRUE)
palette <- hcl.colors(length(levels(col_map)), "Reds")
plot(gdf["Kasus TBC"], col = palette[col_map], add=TRUE, border="white")
# Tambah label centroid
cent <- st_centroid(gdf)
text(st_coordinates(cent), labels = tools::toTitleCase(gdf$NAME_2), cex=0.4)
}
## Warning: st_centroid assumes attributes are constant over geometries
par(mfrow=c(1,1))
Gambar 4.1 menunjukkan peta sebaran kasus TBC tahun 2024. Kasus TBC tampak tidak tersebar merata di seluruh wilayah. Konsentrasi kasus tertinggi terdapat di bagian barat, khususnya Kota Bogor, Kabupaten Bogor, dan Kota Bekasi, sedangkan wilayah timur seperti Kuningan, Ciamis, dan Kota Banjar memiliki jumlah kasus yang relatif rendah. Pola ini menunjukkan indikasi adanya pengaruh spasial antarwilayah, di mana daerah padat penduduk dan urban cenderung memiliki tingkat penularan yang lebih tinggi.
# ==========================================================
# 1️⃣ Import Data
# ==========================================================
library(readxl)
library(dplyr)
library(knitr)
## Warning: package 'knitr' was built under R version 4.3.3
library(kableExtra)
## Warning: package 'kableExtra' was built under R version 4.3.3
##
## Attaching package: 'kableExtra'
## The following object is masked from 'package:dplyr':
##
## group_rows
# Baca file Excel (ganti path sesuai lokasi file kamu)
data_tbc <- read_excel("C:/Users/Imamul Caesar/Downloads/Epidem_2024.xlsx")
# ==========================================================
# 2️⃣ Persiapan & Perhitungan Prevalensi (proporsi, bukan persen)
# ==========================================================
data_prevalensi <- data_tbc %>%
# Pastikan nama kolom konsisten
rename(
Kabupaten_Kota = `Kabupaten_Kota`,
Kasus_TBC = `Kasus TBC`,
Laki_laki = X1,
Perempuan = X2
) %>%
mutate(
Populasi = Laki_laki + Perempuan,
Prevalensi = ifelse(Populasi > 0, Kasus_TBC / Populasi, NA)
) %>%
dplyr::select(Kabupaten_Kota, Kasus_TBC, Laki_laki, Perempuan, Populasi, Prevalensi)
# ==========================================================
# 3️⃣ Tampilkan Tabel Prevalensi
# ==========================================================
data_prevalensi %>%
arrange(desc(Prevalensi)) %>%
mutate(Prevalensi = round(Prevalensi, 5)) %>%
kable(
caption = "Tabel Prevalensi Kasus TBC per Kabupaten/Kota di Jawa Barat (2024)",
col.names = c(
"Kabupaten/Kota", "Kasus TBC", "Penduduk Laki-laki",
"Penduduk Perempuan", "Total Penduduk", "Prevalensi"
),
align = "lccccc"
) %>%
kable_styling(
full_width = FALSE,
bootstrap_options = c("striped", "hover", "condensed")
)
## Warning: 'xfun::attr()' is deprecated.
## Use 'xfun::attr2()' instead.
## See help("Deprecated")
## Warning: 'xfun::attr()' is deprecated.
## Use 'xfun::attr2()' instead.
## See help("Deprecated")
| Kabupaten/Kota | Kasus TBC | Penduduk Laki-laki | Penduduk Perempuan | Total Penduduk | Prevalensi |
|---|---|---|---|---|---|
| Kota Cirebon | 4054 | 178969 | 17766 | 196735 | 0.02061 |
| Cimahi | 4434 | 292434 | 28956 | 321390 | 0.01380 |
| Kota Bogor | 11230 | 578674 | 565434 | 1144108 | 0.00982 |
| Kota Sukabumi | 3464 | 186135 | 183961 | 370096 | 0.00936 |
| Kota Bandung | 18462 | 1298551 | 1293212 | 2591763 | 0.00712 |
| Banjar | 1435 | 105511 | 103806 | 209317 | 0.00686 |
| Kota Tasikmalaya | 4610 | 391746 | 379093 | 770839 | 0.00598 |
| Kota Bekasi | 13445 | 1285093 | 1287116 | 2572209 | 0.00523 |
| Karawang | 13133 | 1321284 | 1290781 | 2612065 | 0.00503 |
| Bogor | 28527 | 2974061 | 2835729 | 5809790 | 0.00491 |
| Cianjur | 11924 | 1350395 | 1288430 | 2638825 | 0.00452 |
| Bekasi | 14788 | 1711222 | 1676379 | 3387601 | 0.00437 |
| Purwakarta | 4616 | 539514 | 524418 | 1063932 | 0.00434 |
| Sukabumi | 12251 | 1458705 | 1410238 | 2868943 | 0.00427 |
| Depok | 8269 | 1008092 | 1002820 | 2010912 | 0.00411 |
| Cirebon | 9414 | 1263071 | 1225975 | 2489046 | 0.00378 |
| Subang | 6234 | 838911 | 838717 | 1677628 | 0.00372 |
| Bandung | 13678 | 1953971 | 1885750 | 3839721 | 0.00356 |
| Garut | 9404 | 1458601 | 1393276 | 2851877 | 0.00330 |
| Majalengka | 4451 | 689351 | 680218 | 1369569 | 0.00325 |
| Kuningan | 3995 | 629774 | 610225 | 1239999 | 0.00322 |
| Sumedang | 3750 | 619513 | 607147 | 1226660 | 0.00306 |
| Indramayu | 5720 | 997493 | 982587 | 1980080 | 0.00289 |
| Ciamis | 3299 | 651625 | 646158 | 1297783 | 0.00254 |
| Tasikmalaya | 4795 | 1016563 | 979496 | 1996059 | 0.00240 |
| Bandung Barat | 4474 | 974016 | 937645 | 1911661 | 0.00234 |
| Pangandaran | 942 | 224519 | 222753 | 447272 | 0.00211 |
Berdasarkan hasil perhitungan prevalensi kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024, diperoleh rata-rata prevalensi sebesar 0,05 dari total penduduk. Terdapat variasi antar kabupaten/kota. Beberapa daerah memiliki prevalensi lebih tinggi dibandingkan rata-rata provinsi, yang mengindikasikan masih adanya beban penyakit yang cukup besar dan potensi penularan yang lebih luas di wilayah tersebut. Sebaliknya, kabupaten/kota dengan prevalensi lebih rendah menunjukkan capaian yang lebih baik dalam pengendalian dan pencegahan TBC. Perbedaan nilai prevalensi ini dapat dipengaruhi oleh faktor kepadatan penduduk, kondisi lingkungan, perilaku hidup sehat masyarakat, serta tingkat akses dan kualitas layanan kesehatan. Hasil ini menegaskan pentingnya upaya pengendalian TBC yang lebih intensif di daerah dengan prevalensi di atas rata-rata provinsi, agar target eliminasi TBC di Jawa Barat dapat tercapai.
# ==========================================================
# 📦 Library dan Data
# ==========================================================
library(sf)
library(dplyr)
library(ggplot2)
library(readxl)
library(viridis)
## Warning: package 'viridis' was built under R version 4.3.3
## Loading required package: viridisLite
## Warning: package 'viridisLite' was built under R version 4.3.3
# 1️⃣ Baca shapefile nasional
indo_shp <- st_read("C:/Users/Imamul Caesar/Downloads/gadm41_IDN_2.shp")
## Reading layer `gadm41_IDN_2' from data source
## `C:\Users\Imamul Caesar\Downloads\gadm41_IDN_2.shp' using driver `ESRI Shapefile'
## Simple feature collection with 502 features and 13 fields
## Geometry type: MULTIPOLYGON
## Dimension: XY
## Bounding box: xmin: 95.00971 ymin: -11.00761 xmax: 141.0194 ymax: 6.076941
## Geodetic CRS: WGS 84
# 2️⃣ Filter hanya provinsi Jawa Barat
shp_jabar <- indo_shp %>%
filter(NAME_1 %in% c("West Java", "Jawa Barat")) %>%
mutate(NAME_2 = tolower(trimws(NAME_2)))
# 3️⃣ Baca file Excel prevalensi
data_tbc <- read_excel("C:/Users/Imamul Caesar/Downloads/Epidem_2024.xlsx") %>%
mutate(Kabupaten_Kota = tolower(trimws(Kabupaten_Kota)))
# 4️⃣ Gabungkan data dengan shapefile
gdf_prevalensi <- shp_jabar %>%
left_join(data_tbc, by = c("NAME_2" = "Kabupaten_Kota")) %>%
mutate(
Populasi = X1 + X2,
Prevalensi = ifelse(Populasi > 0, (`Kasus TBC` / Populasi), NA)
) %>%
filter(!is.na(Prevalensi))
# ==========================================================
# 🎨 Peta dengan ggplot2 (mirip seperti di dashboard)
# ==========================================================
ggplot(gdf_prevalensi) +
geom_sf(aes(fill = Prevalensi), color = "grey40", size = 0.3) +
scale_fill_viridis(
option = "plasma", # gradasi kuning → oranye → ungu → biru
direction = -1,
name = "Prevalensi",
labels = scales::number_format(accuracy = 0.005)
) +
geom_sf_text(
aes(label = tools::toTitleCase(NAME_2)),
size = 2.5,
color = "black"
) +
labs(
title = "Peta Prevalensi per Kabupaten/Kota",
subtitle = "Provinsi Jawa Barat, Tahun 2024",
x = "",
y = ""
) +
theme_minimal(base_size = 12) +
theme(
plot.title = element_text(face = "bold", size = 14, hjust = 0.5),
plot.subtitle = element_text(size = 11, hjust = 0.5),
legend.position = "right",
panel.grid = element_line(color = "white"),
axis.text = element_blank(),
axis.ticks = element_blank()
)
## Warning in st_point_on_surface.sfc(sf::st_zm(x)): st_point_on_surface may not
## give correct results for longitude/latitude data
Peta persebaran prevalensi Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa kasus TBC tidak tersebar merata di seluruh wilayah. Daerah dengan prevalensi tinggi terlihat terkonsentrasi di wilayah perkotaan dan padat penduduk, seperti Kota Cirebon, Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Tasikmalaya, dan Kota Sukabumi, yang ditandai dengan warna lebih gelap pada peta. Hal ini menunjukkan bahwa beban penyakit TBC cenderung lebih besar di kawasan urban, kemungkinan akibat kepadatan penduduk yang tinggi dan mobilitas yang intens. Sementara itu, kabupaten dengan prevalensi rendah, seperti Ciamis, Garut, Kuningan, Indramayu, dan Sumedang, ditampilkan dengan warna kuning muda, mengindikasikan penyebaran kasus yang relatif lebih terkendali. Secara keseluruhan, rata-rata prevalensi TBC di Jawa Barat sekitar 0,05, menggambarkan adanya perbedaan signifikan antarwilayah yang perlu diperhatikan dalam upaya pengendalian dan pemerataan program kesehatan.
# ==========================================================
# Analisis regresi untuk melihat faktor yang Mempengaruhi Kasus TBC
# ==========================================================
# 1️⃣ Import library
library(readxl)
library(dplyr)
library(broom)
## Warning: package 'broom' was built under R version 4.3.3
library(knitr)
library(kableExtra)
# 2️⃣ Baca data
data_tbc <- read_excel("C:/Users/Imamul Caesar/Downloads/Epidem_2024.xlsx")
# 3️⃣ Ganti nama kolom sesuai dataset kamu
data_tbc <- data_tbc %>%
rename(
Kasus_TBC = `Kasus TBC`,
X1 = `X1`, # Jumlah penduduk laki-laki
X2 = `X2`, # Jumlah penduduk perempuan
X3 = `X3`, # Jumlah penduduk miskin
X4 = `X4`, # Jumlah fasilitas kesehatan
X5 = `X5`, # Persentase sanitasi layak
X6 = `X6` # Kepadatan penduduk
)
# 4️⃣ Regresi linear berganda
model_tbc <- lm(Kasus_TBC ~ X1 + X2 + X3 + X4 + X5 + X6, data = data_tbc)
# 5️⃣ Ekstraksi hasil model
hasil_model <- tidy(model_tbc) %>%
filter(term != "(Intercept)") %>%
mutate(
term = recode(term,
"X1" = "Penduduk laki-laki",
"X2" = "Penduduk perempuan",
"X3" = "Penduduk miskin",
"X4" = "Fasilitas kesehatan",
"X5" = "Sanitasi layak",
"X6" = "Kepadatan penduduk"),
estimate = round(estimate, 3),
std.error = round(std.error, 3),
statistic = round(statistic, 3),
p.value = round(p.value, 3)
)
# 6️⃣ Tabel gabungan semua variabel
hasil_model %>%
kable(
caption = "Tabel Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kasus TBC di Jawa Barat",
col.names = c("Variabel", "Koefisien", "Std. Error", "t-Statistik", "p-Value"),
align = "lcccc"
) %>%
kable_styling(
full_width = FALSE,
bootstrap_options = c("hover", "striped", "condensed")
)
## Warning: 'xfun::attr()' is deprecated.
## Use 'xfun::attr2()' instead.
## See help("Deprecated")
## Warning: 'xfun::attr()' is deprecated.
## Use 'xfun::attr2()' instead.
## See help("Deprecated")
| Variabel | Koefisien | Std. Error | t-Statistik | p-Value |
|---|---|---|---|---|
| Penduduk laki-laki | 0.012 | 0.008 | 1.429 | 0.168 |
| Penduduk perempuan | 0.002 | 0.007 | 0.249 | 0.806 |
| Penduduk miskin | 0.565 | 1.300 | 0.435 | 0.668 |
| Fasilitas kesehatan | -2.988 | 1.184 | -2.524 | 0.020 |
| Sanitasi layak | -53.391 | 26.625 | -2.005 | 0.059 |
| Kepadatan penduduk | 0.287 | 0.131 | 2.188 | 0.041 |
Berdasarkan hasil analisis regresi terhadap kasus TBC di Jawa Barat, diketahui bahwa dari enam variabel yang diuji, terdapat dua faktor yang berpengaruh signifikan terhadap jumlah kasus TBC, yaitu jumlah fasilitas kesehatan (p = 0,020) dan kepadatan penduduk (p = 0,041). Variabel fasilitas kesehatan memiliki koefisien negatif (-2,988), yang menunjukkan bahwa semakin banyak fasilitas kesehatan di suatu daerah, maka jumlah kasus TBC cenderung menurun. Sebaliknya, kepadatan penduduk memiliki koefisien positif (0,287), yang berarti bahwa wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi berpotensi mengalami peningkatan kasus TBC.
Sementara itu, variabel lain seperti jumlah penduduk laki-laki, penduduk perempuan, jumlah penduduk miskin, dan persentase sanitasi layak tidak menunjukkan pengaruh signifikan secara statistik (p > 0,05). Hal ini mengindikasikan dalam konteks TBC di Jawa Barat tahun 2024, pengaruh utamanya lebih kuat berasal dari ketersediaan fasilitas kesehatan dan tingkat kepadatan penduduk di masing-masing kabupaten/kota.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis terhadap kasus Tuberkulosis (TBC) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024, dapat disimpulkan bahwa persebaran kasus TBC tidak merata di seluruh wilayah. Kasus dengan prevalensi tinggi cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan dan padat penduduk seperti Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Bekasi, dan Kota Cirebon, sedangkan daerah dengan prevalensi rendah umumnya berada di wilayah rural seperti Kuningan, Ciamis, dan Sumedang. Rata-rata prevalensi TBC di Provinsi Jawa Barat mencapai sekitar 0,05 dari total penduduk, yang menunjukkan masih tingginya beban penyakit di wilayah tersebut. Berdasarkan hasil analisis regresi, dua faktor yang berpengaruh signifikan terhadap jumlah kasus TBC adalah jumlah fasilitas kesehatan dan kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk berpengaruh positif terhadap peningkatan kasus TBC, sedangkan jumlah fasilitas kesehatan berpengaruh negatif, yang berarti semakin banyak fasilitas kesehatan maka semakin rendah jumlah kasus TBC. Sementara itu, variabel lain seperti jumlah penduduk laki-laki, perempuan, jumlah penduduk miskin, dan persentase sanitasi layak tidak menunjukkan pengaruh signifikan secara statistik, meskipun tetap memiliki peranan secara konseptual terhadap penyebaran penyakit.
Hasil penelitian ini menegaskan pentingnya pemerataan fasilitas kesehatan dan peningkatan akses layanan medis, khususnya di wilayah dengan prevalensi TBC tinggi. Pemerintah daerah diharapkan dapat memperkuat program pengendalian TBC melalui peningkatan kapasitas deteksi dini, pengobatan yang berkesinambungan, serta edukasi masyarakat mengenai pencegahan dan penularan penyakit. Selain itu, daerah dengan kepadatan penduduk tinggi perlu menjadi prioritas dalam intervensi karena berisiko lebih besar terhadap penyebaran TBC. Upaya peningkatan kualitas sanitasi dan lingkungan juga tetap perlu dilakukan untuk mendukung pencegahan jangka panjang. Pemanfaatan analisis spasial dalam perencanaan dan evaluasi kebijakan kesehatan di tingkat daerah dapat membantu mengidentifikasi wilayah dengan risiko tinggi dan menentukan strategi intervensi yang lebih efektif. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk menambahkan variabel lain seperti kepadatan hunian, perilaku hidup sehat, dan kualitas udara agar dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai faktor-faktor yang memengaruhi penyebaran TBC di Provinsi Jawa Barat.
DAFTAR PUSTAKA
[1] World Health Organization. (2023). Global Tuberculosis Report 2023. Geneva: WHO.
[2] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2024). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI.
[3] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2024). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2024. Jakarta: Kemenkes RI.
[4] Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2022). Transmission and Causes of Tuberculosis. Atlanta, GA: CDC.
[5] Lönnroth, K., Castro, K. G., Chakaya, J. M., Chauhan, L. S., Floyd, K., Glaziou, P., & Raviglione, M. C. (2010). Tuberculosis control and elimination 2010–50: Cure, care, and social development. The Lancet, 375(9728), 1814–1829.
[6] Gordis, L. (2014). Epidemiology (5th ed.). Philadelphia: Elsevier Saunders.
[7] Friis, R. H., & Sellers, T. A. (2021). Epidemiology for Public Health Practice (6th ed.). Burlington, MA: Jones & Bartlett Learning.
[8] Sari, R. P., & Putri, D. (2022). Analisis faktor sosial ekonomi terhadap kejadian Tuberkulosis di Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, 17(2), 145–156.
[9] Hennekens, C. H., & Buring, J. E. (2019). Epidemiology in Medicine. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
[10] World Health Organization. (2021). Mycobacterium tuberculosis: Key Facts. Geneva: WHO.
[11] MacIntyre, C. R., & Kendig, N. (2018). The epidemiology of tuberculosis. In Tuberculosis: A Comprehensive Clinical Reference (pp. 1–16). Philadelphia: Elsevier.
[12] Niu, C., et al. (2020). Environmental determinants of tuberculosis transmission: A systematic review. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(9), 3354.
[13] Rothman, K. J., Greenland, S., & Lash, T. L. (2020). Modern Epidemiology (4th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer.