Bab 1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia terutama pada sel CD4 yang memiliki peran penting dalam melindungi tubuh dari infeksi. Kerusakan sistem imun yang berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan kondisi yang lebih berat yaitu Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) yang terjadi ketika tubuh tidak lagi mampu menahan berbagai jenis infeksi oportunistik. Sampai saat ini HIV masih menjadi perhatian penting dalam kesehatan global.

Di Indonesia, upaya penanggulangan HIV telah dilakukan secara berkelanjutan, namun penyebarannya masih terus terjadi. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI (2024), Provinsi Jawa Barat termasuk wilayah dengan jumlah kasus HIV cukup besar, yaitu sebesar 10.638 kasus. Para peneliti sebelumnya, seperti Fauci et al. (2018), menjelaskan bahwa HIV merupakan retrovirus yang merusak sel imun manusia sehingga menimbulkan penurunan daya tahan tubuh secara progresif. Selain itu, Abdul-Malik et al. (2020) menambahkan bahwa penularan HIV umumnya terjadi melalui paparan cairan tubuh tertentu dari individu yang terinfeksi serta dipengaruhi oleh perilaku berisiko.

Kelompok usia produktif antara 25 hingga 49 tahun masih menjadi penyumbang terbesar kasus HIV di Jawa Barat. Hal ini berpotensi mengganggu kondisi sosial ekonomi masyarakat karena kelompok usia tersebut merupakan tenaga kerja aktif yang menopang kegiatan ekonomi daerah. Data Jawa Barat tahun 2023 juga menunjukkan bahwa laki-laki memiliki jumlah kasus lebih tinggi dibandingkan perempuan dengan rasio sekitar 2.94 : 1.

Analisis berbasis lokasi sangat diperlukan untuk memahami pola penyebaran penyakit. Graham et al. (2019) menyatakan bahwa pemetaan kasus dapat membantu pemerintah dalam menentukan area prioritas untuk intervensi dan memanfaatkan sumber daya secara lebih efisien. Melihat tren kasus HIV di Jawa Barat yang cenderung meningkat sejak tahun 2018 hingga 2024, pemetaan spasial dan analisis temporal menjadi penting untuk memahami dinamika penyebaran HIV dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai situasi HIV secara spasial dan temporal di tingkat kabupaten/kota di Jawa Barat sebagai pertimbangan bagi strategi penanggulangan yang lebih optimal.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

  1. Bagaimana distribusi spasial kasus HIV di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 berdasarkan kabupaten atau kota?
  2. Bagaimana tren perkembangan kasus HIV di Jawa Barat dari tahun 2018 hingga tahun 2024?
  3. Bagaimana karakteristik kasus HIV di Jawa Barat tahun 2023 berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur?
  4. Bagaimana nilai ukuran epidemiologi seperti prevalensi dan proporsi ratio pada kasus HIV di Jawa Barat tahun 2023?
  5. Bagaimana rancangan studi ekologi dapat diterapkan dalam analisis penyebaran HIV di Jawa Barat?

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan pemetaan distribusi kasus HIV di Provinsi Jawa Barat tahun 2024, menganalisis perkembangan kasus HIV dari tahun 2018 hingga 2024, serta menggambarkan karakteristik kasus HIV tahun 2023 berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur. Selain itu, penelitian ini juga menghitung ukuran epidemiologi seperti frekuensi, asosiasi, dan prevalensi, serta menjelaskan rancangan studi ekologi yang digunakan dalam analisis ini.

Bab 2. Tinjauan Pustaka

2.1 Konsep Epidemiologi

Epidemiologi merupakan cabang ilmu kesehatan masyarakat yang mempelajari distribusi dan determinan masalah kesehatan dalam suatu populasi serta penerapan hasil kajian tersebut untuk pengendalian penyakit. Dalam konteks penelitian HIV, epidemiologi berperan penting dalam menggambarkan sebaran kasus, mengidentifikasi kelompok berisiko, dan menilai hubungan antara faktor perilaku, lingkungan, dan karakteristik individu terhadap kejadian penyakit.

Konsep dasar epidemiologi tidak hanya berfokus pada penghitungan angka penyakit, tetapi juga memahami siapa yang terkena, di mana, kapan, dan mengapa penyakit tersebut muncul. Dengan pendekatan ini, data HIV dapat diolah untuk menilai pola spasial dan temporal serta faktor demografi yang mempengaruhi penyebaran virus di suatu wilayah.

2.2 Model Agent–Host–Environment

Model agent–host–environment atau segitiga epidemiologi menjelaskan bahwa timbulnya suatu penyakit merupakan hasil interaksi antara tiga komponen utama, yaitu agent, host, dan environment.

Agent merupakan faktor penyebab penyakit yang pada kasus HIV adalah virus Human Immunodeficiency Virus itu sendiri. Virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, khususnya sel CD4, yang berfungsi dalam pertahanan terhadap infeksi.

Host adalah individu yang terinfeksi atau berisiko terinfeksi. Faktor-faktor host yang berpengaruh terhadap penularan HIV antara lain jenis kelamin, usia, status imun, serta perilaku seperti penggunaan narkoba suntik dan hubungan seksual tanpa kondom.

Environment atau lingkungan mencakup berbagai kondisi eksternal yang memfasilitasi atau menghambat penularan, seperti kepadatan penduduk, kondisi sosial ekonomi, mobilitas penduduk, serta ketersediaan fasilitas kesehatan. Dalam konteks Jawa Barat, daerah perkotaan dengan kepadatan tinggi seperti Bandung dan Bekasi menjadi lingkungan yang potensial untuk penyebaran HIV karena mobilitas penduduk dan interaksi sosial yang lebih intens.

Model ini penting dalam analisis epidemiologi karena menggambarkan hubungan kompleks antara penyebab biologis, karakteristik individu, dan kondisi lingkungan yang bersama-sama memengaruhi penyebaran HIV.

2.3 Ukuran Epidemiologi dan Ukuran Asosiasi

Ukuran epidemiologi digunakan untuk menggambarkan besar dan pola kejadian penyakit dalam populasi. Dua ukuran utama yang sering digunakan adalah insidensi dan prevalensi. Insidensi menunjukkan jumlah kasus baru dalam periode tertentu dan menggambarkan risiko penularan baru, sedangkan prevalensi menunjukkan jumlah seluruh kasus (baru dan lama) pada waktu tertentu yang mencerminkan beban penyakit di masyarakat.

Selain itu, ukuran asosiasi seperti relative risk dan proporsi ratio digunakan untuk menilai hubungan antara faktor risiko dengan kejadian penyakit. Dalam penelitian HIV, propro ratio digunakan untuk mengetahui seberapa besar peluang laki-laki dibandingkan perempuan untuk terinfeksi HIV. Nilai OR lebih dari satu menunjukkan bahwa kelompok laki-laki memiliki kemungkinan lebih besar untuk terinfeksi dibandingkan perempuan.

Ukuran-ukuran ini membantu menggambarkan tingkat risiko pada kelompok tertentu serta menjadi dasar dalam menentukan prioritas intervensi kesehatan masyarakat.

2.4 Desain Studi Epidemiologi

Desain studi epidemiologi merupakan pendekatan yang digunakan untuk memahami distribusi penyakit dan faktor penyebabnya. Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi, yaitu desain yang menggunakan unit analisis pada tingkat agregat, seperti kabupaten atau kota, bukan individu.

Pendekatan ekologi digunakan karena data yang tersedia bersifat agregat, misalnya jumlah kasus HIV per wilayah, distribusi kasus menurut jenis kelamin dan kelompok umur, serta tren waktu dari tahun ke tahun. Dengan desain ini, dapat dilakukan analisis spasial untuk melihat sebaran kasus antarwilayah, serta analisis temporal untuk mengetahui perubahan jumlah kasus dari tahun ke tahun.

Desain studi ekologi sangat relevan untuk perencanaan kebijakan kesehatan daerah, karena mampu mengidentifikasi wilayah dengan beban penyakit tinggi dan membantu menentukan prioritas intervensi secara spasial.

2.5 Data Penelitian dalam Konteks Epidemiologi

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari file data_hiv.xlsx yang memuat tiga kelompok utama data, yaitu: data tahun 2023 menurut kabupaten/kota, jenis kelamin, dan kelompok umur; data tahun 2024 untuk analisis spasial; serta data periode 2018–2024 untuk analisis tren temporal.

Data tersebut memungkinkan penerapan prinsip epidemiologi dalam menggambarkan pola distribusi penyakit. Data spasial digunakan untuk memetakan sebaran kasus HIV di berbagai kabupaten/kota di Jawa Barat, data temporal untuk melihat kecenderungan peningkatan kasus dari tahun ke tahun, sedangkan data demografis digunakan untuk mengetahui karakteristik kelompok berisiko berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur.

Melalui pendekatan epidemiologi ini, penelitian dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang bagaimana faktor individu, lingkungan, dan waktu saling berhubungan dalam penyebaran HIV di Jawa Barat.

2.6 Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penelitian ini didasarkan pada konsep epidemiologi deskriptif dan analitik. Epidemiologi deskriptif digunakan untuk menggambarkan distribusi kasus HIV menurut orang, tempat, dan waktu, sedangkan epidemiologi analitik digunakan untuk menilai hubungan antara variabel demografis dengan kejadian penyakit menggunakan ukuran asosiasi.

Konsep agent–host–environment menjadi dasar dalam memahami dinamika penularan HIV, sementara ukuran epidemiologi dan analisis spasial-temporal menjadi alat untuk memvisualisasikan pola penyebarannya. Dengan demikian, hasil penelitian diharapkan dapat mendukung pengambilan kebijakan berbasis bukti dalam upaya pengendalian HIV di Jawa Barat.

Bab 3. Metodologi

3.1 Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi, yaitu desain epidemiologi yang menggunakan unit analisis pada tingkat agregat, seperti kabupaten atau kota, bukan individu. Pendekatan ini sesuai untuk menilai pola spasial dan temporal suatu penyakit karena memungkinkan pengamatan hubungan antara faktor wilayah dengan jumlah kasus secara keseluruhan.

Desain studi ekologi dipilih untuk menggambarkan distribusi kasus HIV di Provinsi Jawa Barat berdasarkan waktu, wilayah, jenis kelamin, dan kelompok umur. Hasil analisis diharapkan dapat memberikan gambaran menyeluruh mengenai pola penyebaran HIV yang bermanfaat bagi perencanaan kebijakan kesehatan masyarakat.

3.2 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Open Data Jabar yang disatukan dalam satu file. File tersebut berisi tiga lembar data utama, yaitu:

  1. Lembar tahun 2023 yang memuat jumlah kasus HIV berdasarkan kabupaten atau kota, jenis kelamin, dan kelompok umur.
  2. Lembar tahun 2024 yang memuat jumlah kasus HIV per kabupaten atau kota untuk analisis spasial terkini.
  3. Lembar temporal yang berisi data agregat jumlah kasus HIV di Jawa Barat dari tahun 2018 hingga 2024.

Data diperoleh dari rekapitulasi instansi kesehatan daerah yang berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Data bersifat sekunder dan sudah melalui tahap validasi administratif sebelum digunakan dalam analisis.

3.3 Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan beberapa variabel yang dibedakan menjadi variabel spasial, demografi, dan epidemiologis.

  1. Variabel spasial: kabupaten atau kota di Provinsi Jawa Barat sebagai unit analisis wilayah.
  2. Variabel utama: jumlah kasus HIV di setiap kabupaten atau kota.
  3. Variabel demografi: jenis kelamin (pria dan wanita) serta kelompok umur (<5, 5–14, 15–19, 20–24, 25–49, >50).
  4. Variabel epidemiologis: prevalensi, insidensi, dan proporsi ratio yang menggambarkan tingkat morbiditas dan hubungan risiko antara kelompok.

3.4 Metode Analisis

Analisis data dilakukan dalam beberapa tahap sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu analisis spasial, temporal, deskriptif, dan perhitungan ukuran epidemiologi.

a. Analisis Spasial

Analisis spasial dilakukan terhadap data tahun 2024 untuk menggambarkan peta sebaran jumlah kasus HIV per kabupaten atau kota. Tahapan analisis mencakup penggabungan data kasus dengan data spasial batas administrasi Jawa Barat serta visualisasi peta menggunakan perangkat lunak R dan paket pengolahan spasial. Peta yang dihasilkan menunjukkan wilayah dengan jumlah kasus tinggi dan rendah serta pola konsentrasi kasus di daerah perkotaan.

b. Analisis Temporal

Analisis temporal dilakukan terhadap data periode 2018–2024 untuk menggambarkan tren perkembangan jumlah kasus HIV dari waktu ke waktu. Analisis ini bertujuan mengetahui apakah jumlah kasus cenderung meningkat, menurun, atau fluktuatif dalam jangka waktu tertentu. Hasil analisis divisualisasikan dalam bentuk grafik garis menggunakan perangkat lunak R.

c. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan terhadap data tahun 2023 untuk melihat karakteristik kasus HIV menurut jenis kelamin dan kelompok umur. Analisis ini menghasilkan tabel distribusi kasus serta proporsi masing-masing kelompok. Hasil analisis digunakan untuk mengidentifikasi kelompok populasi yang paling terdampak oleh HIV di Jawa Barat.

d. Analisis Ukuran Epidemiologi

Ukuran epidemiologi yang dihitung meliputi ukuran frekuensi, morbiditas, dan asosiasi.

  1. Frekuensi digunakan untuk menghitung distribusi proporsi kasus berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur.

  2. Morbiditas diukur melalui prevalensi dan insidensi, dengan rumus:
    Prevalensi = (jumlah seluruh kasus pada waktu tertentu) / (jumlah penduduk pada waktu yang sama)
    Insidensi = (jumlah kasus baru dalam periode tertentu) / (populasi berisiko pada awal periode)

  3. Ukuran asosiasi dihitung dalam bentuk proporsi ratio untuk menilai perbandingan risiko infeksi antara laki-laki dan perempuan. Nilai PR lebih besar dari satu menunjukkan bahwa kelompok laki-laki memiliki kemungkinan lebih tinggi terinfeksi HIV dibandingkan perempuan.

Hasil analisis ukuran epidemiologi ditafsirkan untuk memahami hubungan antara karakteristik demografis dengan kejadian HIV di Jawa Barat.

3.5 Alur Kerja Penelitian

Alur kerja penelitian disusun untuk memastikan setiap tahap berjalan secara sistematis dan terarah. Tahapan penelitian meliputi:

  1. Pengumpulan data sekunder dari Open Data Jabar
  2. Pembersihan data (data cleaning) untuk memastikan tidak ada nilai hilang, duplikasi, atau kesalahan input.
  3. Pengolahan data dengan software Python, termasuk penggabungan data antarlembar dan pembuatan variabel tambahan bila diperlukan.
  4. Analisis spasial dengan memetakan sebaran kasus HIV per kabupaten atau kota menggunakan data tahun 2024.
  5. Analisis temporal dengan menggambarkan tren jumlah kasus HIV dari tahun 2018 hingga 2024.
  6. Analisis deskriptif terhadap data tahun 2023 untuk melihat distribusi kasus berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur.
  7. Perhitungan ukuran epidemiologi (prevalensi dan proporsional ratio) untuk memahami besarnya risiko pada kelompok tertentu.
  8. Penyusunan hasil dalam bentuk peta, grafik, dan tabel yang disertai interpretasi epidemiologis.
  9. Penarikan kesimpulan dan penyusunan rekomendasi kebijakan berdasarkan hasil analisis.

3.6 Etika dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang tidak memuat identitas individu sehingga tidak menimbulkan risiko terhadap privasi responden. Analisis dilakukan secara agregat pada tingkat kabupaten atau kota. Namun, karena desain penelitian bersifat ekologi, hasil analisis tidak dapat digunakan untuk menyimpulkan hubungan sebab-akibat pada tingkat individu. Keterbatasan lainnya adalah ketergantungan terhadap kelengkapan dan akurasi data yang disediakan oleh sumber resmi.

Bab 4. Hasil dan Pembahasan

Bab ini menyajikan temuan utama dari analisis data kasus HIV di Jawa Barat, yang mencakup analisis spasial (sebaran wilayah), temporal (tren waktu), dan demografis (usia dan gender). Hasil analisis ini kemudian dibahas untuk memberikan interpretasi epidemiologis terhadap data yang ada.

4.1. Hasil Analisis

Data yang digunakan mencakup data kasus total tahun 2024, data rincian demografis tahun 2023, dan data tren historis dari 2018 hingga 2024.

4.1.1. Analisis Spasial (Sebaran Wilayah)

Berdasarkan data terbaru tahun 2024, total kasus HIV di Jawa Barat mencapai 10.638 kasus. Sebaran kasus ini menunjukkan konsentrasi yang tinggi di wilayah-wilayah tertentu.

Seperti yang terlihat pada visualisasi peta, beban kasus cenderung terpusat di area perkotaan dan kawasan industri yang padat penduduk. Wilayah dengan jumlah kasus tertinggi secara berturut-turut adalah Kota Bandung (1.400 kasus), Kabupaten Bekasi (893 kasus), Kabupaten Karawang (886 kasus), Kabupaten Bogor (831 kasus), dan Kota Bekasi (825 kasus). Sebaliknya, wilayah seperti Kota Banjar (51 kasus) dan Kabupaten Pangandaran (55 kasus) mencatatkan jumlah kasus yang jauh lebih rendah.

4.1.2. Analisis Temporal (Tren Kasus)

Analisis tren kasus dari tahun 2018 hingga 2024 menunjukkan adanya dinamika yang signifikan. Setelah mengalami fluktuasi pada periode 2018-2021, grafik menunjukkan adanya peningkatan kasus yang sangat tajam dimulai pada tahun 2022 dan terus berlanjut hingga 2024. Peningkatan ini mengindikasikan percepatan penemuan kasus atau transmisi dalam tiga tahun terakhir.

4.1.3. Analisis Demografis

Untuk melihat karakteristik populasi yang terdampak, digunakan data rincian tahun 2023.

  • Sebaran Gender: Terdapat perbedaan proporsi yang sangat jelas antara kasus pada pria dan wanita. Data menunjukkan bahwa kasus didominasi oleh pria, yang mencakup 79,5% dari total kasus, sementara wanita mencakup 20,5%.

  • Sebaran Usia: Analisis berdasarkan kelompok usia menunjukkan bahwa kasus HIV paling banyak ditemukan pada kelompok usia produktif, yaitu rentang 25–49 tahun. Kelompok ini mendominasi secara signifikan dibandingkan kelompok usia lainnya. Kelompok usia 20–24 tahun menempati urutan kedua, yang juga termasuk dalam kategori usia produktif muda.

4.2. Pembahasan dan Interpretasi

Temuan dari hasil analisis data memberikan beberapa gambaran penting mengenai situasi HIV di Jawa Barat. Konsentrasi kasus yang cenderung lebih tinggi di daerah perkotaan, seperti yang teridentifikasi dalam analisis spasial, sejalan dengan karakteristik wilayah tersebut yang memiliki mobilitas dan kepadatan penduduk tinggi. Kawasan urban dan industrial tampaknya menjadi ‘hotspot’ yang memerlukan perhatian khusus.

Dominasi kasus pada kelompok usia produktif (25–49 tahun) bukanlah sekadar angka statistik. Hal ini menegaskan bahwa HIV masih menjadi tantangan serius yang berpotensi berdampak langsung pada produktivitas tenaga kerja dan, secara jangka panjang, dapat memengaruhi stabilitas ekonomi daerah.

Dari sisi gender, perbedaan yang signifikan antara pria (79,5%) dan wanita (20,5%) menggambarkan adanya faktor perilaku berisiko yang perlu dikendalikan dan dipahami lebih dalam. Proporsi yang lebih tinggi pada pria mengindikasikan perlunya pendekatan pencegahan yang spesifik dan terfokus pada kelompok ini.

Sementara itu, peningkatan jumlah temuan kasus dari tahun ke tahun, terutama lonjakan tajam pasca 2021, menjadi sinyal penting. Meskipun program penanggulangan telah berjalan, tren ini mengindikasikan bahwa kemungkinan masih ada kesenjangan, baik dalam upaya deteksi dini maupun dalam efektivitas edukasi dan pencegahan di tengah masyarakat.

Studi ini menegaskan pentingnya penerapan intervensi yang lebih tajam dan berbasis data. Fokus pada intervensi berbasis wilayah (spatial targeting) di area berisiko tinggi serta pelibatan masyarakat lokal secara lebih aktif dalam edukasi dan pencegahan menjadi krusial untuk mengendalikan penyebaran HIV di Jawa Barat.

Bab 5. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa penyebaran kasus HIV di Provinsi Jawa Barat menunjukkan pola spasial dan temporal yang jelas. Kasus HIV banyak terkonsentrasi di wilayah perkotaan dan daerah dengan aktivitas sosial ekonomi tinggi seperti Kota Bandung. Hal ini menggambarkan bahwa faktor kepadatan penduduk dan mobilitas masyarakat memiliki peran penting dalam mempercepat penyebaran virus. Tren kasus HIV dari tahun 2018 hingga 2024 menunjukkan kecenderungan meningkat secara konsisten, terutama setelah tahun 2021, yang dapat diartikan sebagai peningkatan deteksi kasus baru sekaligus indikasi bahwa penularan masih terus terjadi di masyarakat.

Analisis berdasarkan data demografis menunjukkan bahwa kelompok usia produktif, khususnya rentang umur 25 hingga 49 tahun, merupakan kelompok yang paling banyak terinfeksi. Kondisi ini menjadi perhatian karena kelompok usia tersebut merupakan tulang punggung produktivitas masyarakat dan perekonomian daerah. Dari sisi jenis kelamin, ditemukan perbedaan yang signifikan di mana kasus HIV pada laki-laki jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hasil perhitungan proportional ratio menunjukkan bahwa laki-laki memiliki peluang lebih besar untuk terinfeksi dibandingkan perempuan yang mengindikasikan adanya perilaku berisiko yang lebih dominan pada kelompok ini.

Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan studi ekologi efektif digunakan untuk memahami variasi penyebaran HIV di tingkat kabupaten dan kota. Pendekatan spasial membantu mengidentifikasi daerah dengan beban penyakit tinggi, sedangkan analisis temporal memberikan gambaran dinamika perkembangan kasus dari waktu ke waktu. Temuan ini diharapkan dapat menjadi dasar dalam perumusan kebijakan kesehatan yang lebih tepat sasaran serta mendukung strategi penanggulangan HIV di Jawa Barat secara berkelanjutan.

Saran

Melihat pola penyebaran dan karakteristik kasus HIV di Jawa Barat, perlu dilakukan upaya pencegahan dan pengendalian yang lebih terarah dan berkelanjutan. Pemerintah daerah bersama instansi kesehatan perlu memperkuat program deteksi dini serta meningkatkan akses terhadap layanan konseling dan tes sukarela, terutama di wilayah dengan jumlah kasus tinggi seperti Kota Bandung dan Kota Bekasi. Edukasi mengenai perilaku hidup sehat dan pencegahan penularan HIV juga perlu diperluas dengan pendekatan berbasis komunitas agar dapat menjangkau kelompok usia produktif yang menjadi populasi paling terdampak.

Selain itu, penelitian lanjutan dengan pendekatan analitik seperti studi kasus-kontrol atau kohort penting dilakukan untuk memahami faktor risiko individu yang berperan dalam penularan HIV. Pengembangan sistem informasi spasial yang terintegrasi juga sangat diperlukan untuk pemantauan kasus secara real-time dan penentuan wilayah prioritas intervensi. Dengan dukungan kebijakan berbasis data, koordinasi lintas sektor, serta keterlibatan aktif masyarakat, diharapkan laju penyebaran HIV di Jawa Barat dapat dikendalikan secara lebih efektif di masa mendatang.