Ricardo Filemon Renaldy Saragih - 140610230036
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat global, termasuk di Indonesia. Sebagai penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, TB terutama menyerang paru-paru dan menular melalui percikan dahak dari penderita aktif [Wanda Cruz-Knight et al., 2013]. Secara epidemiologis, tuberkulosis (TB) memang dikategorikan sebagai penyakit dengan high burden karena tingkat penularannya yang tinggi dan periode pengobatan yang panjang. TB masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di banyak negara, terutama di negara dengan beban kasus tinggi seperti India, Indonesia, Tiongkok, Filipina, dan Pakistan, di mana kelompok usia remaja dan dewasa muda menjadi pendorong utama penularan [R. Ragonnet et al., 2019]. Di Indonesia, Jawa Barat termasuk provinsi dengan jumlah kasus TB tertinggi, sejalan dengan besarnya populasi dan mobilitas penduduk yang padat. Berdasarkan data Open Data Jawa Barat tahun 2023, kasus tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis yang terdaftar dan diobati masih tercatat dalam jumlah signifikan di seluruh kabupaten/kota, menunjukkan bahwa transmisi penyakit ini masih aktif di berbagai lapisan mas
Dari perspektif epidemiologi deskriptif, distribusi kasus TB paru di Jawa Barat menunjukkan pola yang bervariasi menurut jenis kelamin dan wilayah. Data tahun 2023 memperlihatkan bahwa laki-laki memiliki proporsi kasus lebih tinggi dibandingkan perempuan. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui faktor risiko perilaku seperti kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, serta paparan di tempat kerja yang lebih sering dialami laki-laki. Selain itu, faktor biologis dan sosial turut memengaruhi: sistem imun yang lebih rentan akibat gaya hidup, serta akses perempuan terhadap layanan kesehatan yang kadang terhambat oleh peran sosial atau ekonomi. Dalam konteks epidemiologi analitik, hal ini menegaskan perlunya pendekatan berbasis gender dalam memahami determinan TB, bahwa faktor risiko tidak hanya bersifat medis, tetapi juga sosial, perilaku, dan lingkungan.
Dari aspek spasial dan populasi, Kabupaten/Kota dengan tingkat urbanisasi tinggi seperti Kabupaten Bogor, Kota Bandung, dan Bekasi mencatat jumlah kasus lebih besar dibandingkan wilayah dengan kepadatan penduduk lebih rendah [Yaping Wang et al., 2025]. Kondisi ini selaras dengan teori epidemiologi yang menyatakan bahwa TB lebih mudah menyebar di lingkungan padat dan berisiko tinggi, di mana ventilasi udara buruk dan interaksi sosial sangat intens. Namun, variasi tingkat kesembuhan antarwilayah menunjukkan adanya perbedaan kemampuan sistem kesehatan lokal dalam melaksanakan deteksi dini, pengobatan tuntas, dan pengawasan pasien (treatment supervision). Faktor-faktor seperti ketersediaan fasilitas kesehatan, kepatuhan minum obat, dan peran tenaga kesehatan masyarakat (community health workers) menjadi komponen penting dalam memutus rantai penularan TB [G. Migliori et al., 2019].
Secara keseluruhan, gambaran epidemiologi TB paru di Jawa Barat tahun 2023 memperlihatkan bahwa meskipun program pengobatan telah menjangkau banyak penderita, beban kasus masih relatif tinggi dan variasi kesembuhan antarwilayah masih terjadi. Hal ini mengindikasikan bahwa keberhasilan pengendalian TB tidak hanya ditentukan oleh aspek klinis, tetapi juga oleh determinan sosial dan perilaku yang mempengaruhi transmisi penyakit. Oleh karena itu, perlu adanya strategi kesehatan masyarakat yang komprehensif dan berbasis bukti — mencakup penguatan surveilans epidemiologi, peningkatan kesadaran masyarakat, serta pendekatan lintas sektor — guna mempercepat pencapaian target eliminasi TB di Jawa Barat sebagai bagian dari komitmen nasional menuju Indonesia Bebas Tuberkulosis tahun 2030.
Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana gambaran umum situasi epidemiologi HIV di Provinsi Jawa Barat selama periode 2023, meliputi jumlah, jumlah penduduk, serta tingkat prevalensinya?
Bagaimana pola spasial penyebaran TBC di Jawa Barat berdasarkan hasil pemetaan kasus (disease mapping)?
Bagaimana perbandingan TBC menurut jenis kelamin (gender) pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota?
Mengetahui dan menganalisis distribusi spasial serta karakteristik epidemiologis TBC di Provinsi Jawa Barat selama periode 2023 berdasarkan faktor wilayah dan jenis kelamin.
Menghitung prevalensi TBC pada masing-masing kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2023.
Menganalisis pola distribusi spasial (disease mapping) untuk mengidentifikasi wilayah dengan prevalensi TBC tinggi.
Memberikan interpretasi epidemiologis dan rekomendasi kebijakan berbasis data untuk mendukung upaya pencegahan dan pengendalian TBC di tingkat daerah.
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari penyebaran dan determinan dari kejagian penyakit atau masalah kesehatan dalam suatu populasi . Selain itu juga belajar mengenai penerapannya dalam mengendalikan masalah tersebut.
Dalam studi epidemiologi, ada konsep agent–host–environment yang menggambarkan bahwa terjadinya suatu penyakit bergantung pada interaksi antara tiga komponen utama.
Agent
Agen penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, yaitu
bakteri berbentuk batang yang bersifat tahan asam dan memiliki dinding
sel tebal yang kaya lipid, sehingga mampu bertahan dalam kondisi
lingkungan yang kurang mendukung. Struktur dinding sel yang unik ini
tidak hanya memberikan ketahanan terhadap asam dan desinfektan, tetapi
juga membantu bakteri bertahan hidup di luar tubuh manusia, misalnya
saat berada dalam droplet di udara selama proses penularan [S. Mishra et
al., 2025]. Penularan terjadi melalui percikan dahak (droplet nuclei)
yang keluar saat penderita TB paru aktif batuk, bersin, atau berbicara.
Dalam konteks Jawa Barat tahun 2023, tingginya jumlah kasus TB paru
terkonfirmasi bakteriologis menunjukkan bahwa transmisi antarindividu
masih berlangsung aktif, menandakan adanya keberlanjutan sumber penular
(infectious reservoir) di masyarakat.
Host
Host adalah individu yang menjadi tempat hidup atau berkembangnya agen penyakit. Pada kasus TBC, host merupakan individu yang memiliki perilaku dan kondisi tertentu yang meningkatkan risiko infeksi, seperti sistem imun yang lemah (misalnya penderita HIV/AIDS, diabetes, atau malnutrisi), kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, serta kurangnya kepatuhan dalam menjalani pengobatan TBC. Selain itu, faktor sosial seperti tingkat pendidikan rendah dan kesadaran kesehatan yang minim turut meningkatkan kerentanan seseorang terhadap TBC.
Environment
Lingkungan merupakan faktor eksternal yang dapat memengaruhi interaksi
antara agent dan host. Pada kasus TBC, lingkungan fisik yang padat
penduduk, ventilasi udara yang buruk, serta pencahayaan alami yang
kurang menjadi faktor utama yang mempercepat penyebaran
Mycobacterium tuberculosis. Lingkungan sosial ekonomi seperti
kemiskinan, kepadatan perumahan, dan akses terbatas terhadap fasilitas
kesehatan juga memperburuk situasi epidemiologis.
Faktor faktor ini saling berinteraksi dan menentukan tingkat kerentanan individu terhadap infeksi.
Ukuran asosiasi digunakan dalam epidemiologi untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko (exposure) dengan kejadian penyakit (outcome). Dalam penelitian ini, ukuran asosiasi digunakan untuk menganalisis hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian TBC. Adapun ukuran yang digunakan pada kasus ini adalah
Prevalensi
Proporsi individu yang memiliki penyakit tertentu (kasus lama + kasus baru) pada suatu titik waktu atau pertiode tertentu. Prevalensi menggambarkan beban penyakit pada populasi dengan rumus
\[ Prevaleni = \frac{Kasus(lama+baru)}{Total Populasi} \]
Sebagai contoh jika disebuah kota berpenduduk 10 ribu orang terdapat 200 penderita, maka prevalensinya adalah 2%.
Berdasarkan tujuan analisis dan sifat data, penelitian ini menggunakan desain studi observasional yang mana, peneliti disini tidak memberikan intervensi terhadap data, melainkan hanya mengamati hubungan antara paparan dan kejadian penyakit.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan cross-sectional study dimana mengukur paparan dan outcome pada satu titik waktu. Tujuannya adalah mengestimasi prevalensi dan mengekplorasi asosiasi awal. Pada penelitian ini, dilakukan pemetaan terhadap prevalensi dan distribusi kasus di berbagai wilayah di Jawa Barat. Pendekatan ini menggunakan data yang dikumpulkan pada satu titik waktu tertentu, yaitu tahun 2023. Keuntungannya adalah efisien dalam waktu dan biaya, serta cocok untuk menggambarkan situasi epidemiologi terkini.
Disease mapping adalah epresentasi spasial (peta) dari distribusi suatu penyakit, biasanya menunjukkan tingkat prevalensi, insidensi atau resiko penyakit pada daerah tertentu. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi distribusi geografis penyakit, melihat pola sebaran penyakit, mendeteksi area resiko tinggi, membandingkan wilayah sehingga menjadi dasar perencanaan kebijakan kesehatan.
Disease mapping memberikan visualisasi kompleks menjadi sederhana, dapat memberikan intervensi yang lebih tepat sasaran.
Penelitian ini merupakan studi epidemiologi deskriptif dengan pendekatan cross-sectional. Pendekatan ini digunakan untuk menggambarkan situasi TBC di Provinsi Jawa Barat pada periode 2023 berdasarkan data kasus dan gender. Analisis dilakukan untuk mengetahui distribusi spasial, menghitung prevalensi, serta menganalisis hubungan antara variabel demografi dengan kejadian TBC.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari instansi resmi open data Jawa Barat.
Jumlah Kasus TBC : https://opendata.jabarprov.go.id/id/dataset/jumlah-kasus-tuberkulosis-paru-terkonfirmasi-bakteriologis-yang-terdaftar-dan-diobati-berdasarkan-jenis-kelamin-di-jawa-barat
Jumlah Kasus Kesembuhan TBC : https://opendata.jabarprov.go.id/id/dataset/jumlah-kesembuhan-tuberkulosis-paru-terkonfirmasi-bakteriologis-berdasarkan-jenis-kelamin-di-jawa-barat
Tabel berikut merangkum variabel yang digunakan dalam penelitian ini :
| Jenis Variabel | Nama Variabel | Satuan / Kategori | Keterangan |
|---|---|---|---|
| Variabel utama | Jumlah kasus TBC | Kasus (orang) | Total kasus TBC yang dilaporkan per kabupaten/kota |
| Variabel pendukung | Jumlah penduduk | Jiwa | Jumlah total penduduk di wilayah yang sama |
| Variabel demografi | Jenis kelamin | Laki-laki / Perempuan | Berdasarkan data laporan kasus |
Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk menggambarkan situasi TBC di Provinsi Jawa Barat periode 2023 berdasarkan tahun, tempat dan variabel pembeda (gender). Analisis dilakukan dalam tiga tahapan utama, sesuai dengan rumusan masalah penelitian, yaitu:
Analisis ini bertujuan untuk menggambarkan beban penyakit TBC di
Provinsi Jawa Barat secara keseluruhan.
Langkah-langkah analisis meliputi:
\[ Prevaleni = \frac{Kasus(lama+baru)}{Total Populasi} \]
Menyajikan hasil dalam bentuk tabel dan grafik tren untuk memperlihatkan perubahan prevalensi dari tahun 2023
Mengidentifikasi wilayah dengan prevalensi tertinggi dan terendah setiap tahun.
Analisis ini memberikan gambaran umum mengenai beban dan tren penyakit TBC di Provinsi Jawa Barat berdasarkan berbagai dimensi.
Analisis spasial dilakukan untuk menggambarkan pola geografis distribusi TBC antarwilayah di Provinsi Jawa Barat. Tahapan yang dilakukan adalah :
Menggabungkan data kasus TBC dan jumlah penduduk dengan peta batas administrasi kabupaten/kota (format shapefile)
Membuat peta tematik (choropleth map) untuk menampilkan variasi spasial prevalensi HIV antarwilayah dan antar tahun.
Melakukan analisis deskriptif spasial untuk mengidentifikasi klaster wilayah dengan prevalensi tinggi.
Hasil pemetaan ini membantu menunjukkan perbedaan beban penyakit antar daerah serta membantu proses kebijakan berbasis data.
Analisis ini bertujuan untuk menilai perbedaan proporsi penderita TBC antara laki-laki dan perempuan. Langkah-langkah yang dilakukan meliputi:
Menghitung prevalensi TBC menurut jenis kelamin dengan membandingkan jumlah kasus TBC laki-laki dan perempuan terhadap total penduduk laki-laki dan perempuan di tahun pengamatan.
Menghitung prevalensi odds ratio untuk mengukur perbandingan peluang prevalensi TBC antar gender dengan formula
\[ POR = \frac{\dfrac{a/b}{c/d}}{} = \frac{ad}{bc} \]
Jika nilai dari POR lebih dari 1, maka menandakan bahwa kelompok laki laki memiliki peluang prevalensi lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Hasil interpretasi dibandingkan dengan teori epidemiologi (konsep agent–host–environment) serta laporan resmi seperti Profil Kesehatan Indonesia dan Profil Kesehatan Jawa Barat untuk memperkuat pembahasan. Untuk penyajian hasil, kami menggunakan R shiny yang nanti dikonversi menjadi dashboard interaktif yang dapat diakses.
Hasil analisis ini akan dilakukan dengan membentuk tabel kontingensi dari kasus TBC dan kesembuhan berdasarkan gender dimana hasil tabel kontingensi adalah hasil keseluruhan dari setiap kabupaten/kota
## [1] "=== Tabel Kontingensi 2x2: Jenis Kelamin vs Hasil TBC ==="
## Kasus TBC Sembuh TBC
## LAKI-LAKI 33639 13822
## PEREMPUAN 24159 10520
Berdasarkan tabel kontingensi tersebut kita dapat melihat bahwa kasus TBC terbesar terjadi kepada gender laki-laki, hal ini mungkin dikarenakan kualitas hidup dari laki-laki yang cenderung tidak bersih dibandingkan dengan perempuan. Namun, dari tabel kontingensi juga menunjukkan bahwa kesembuhan kasus TBC terbanyak juga terjadi kepada gender laki-laki, hal ini mungkin juga disebabkan karena imun tubuh miliki laki-laki lebih kuat dibandingkan dengan perempuan.
Dalam epidemiologi, ukuran frekuensi digunakan untuk menggambarkan seberapa sering suatu penyakit atau masalah kesehatan terjadi dalam suatu populasi dalam periode waktu tertentu. Ukuran ini menjadi dasar untuk memahami tingkat kejadian, penyebaran, dan dampak penyakit terhadap masyarakat. Melalui ukuran frekuensi, peneliti dapat menilai besarnya beban penyakit serta mengidentifikasi kelompok populasi yang paling berisiko. Pada kasus Tuberkulosis (TBC) di Jawa Barat tahun 2023, ukuran frekuensi membantu menggambarkan seberapa besar proporsi penduduk yang terinfeksi atau berhasil sembuh, baik berdasarkan jenis kelamin maupun wilayah kabupaten/kota.
Dengan menggunakan rumus perhitungan prevalensi pada bab 3, diperoleh nilai dari prevalensi kasus TBC di Jawa Barat pada tahun 2023 sebagai berikut :
## [1] 0.1159198
Berdasarkan hasil perhitungan prevalensi diperoleh nilai sebesar 0.1159% (dibulatkan dari 0.1159198). Angka ini menunjukkan bahwa pada populasi yang diteliti, sekitar 0.12% dari seluruh penduduk menderita Tuberkulosis (TBC) pada periode waktu tertentu (dalam hal ini tahun 2023). Dengan kata lain, dari setiap 100.000 penduduk, terdapat sekitar 116 orang yang tercatat sebagai kasus TBC. Nilai prevalensi ini menggambarkan proporsi penduduk yang sedang menderita TBC pada tahun pengamatan dan dapat digunakan untuk menilai besarnya beban penyakit dalam populasi.
Dalam epidemiologi, ukuran asosiasi digunakan untuk menggambarkan hubungan antara faktor risiko (paparan) dengan kejadian suatu penyakit dalam populasi. Ukuran ini membantu menjawab pertanyaan penting seperti “apakah ada hubungan antara faktor tertentu dengan peningkatan risiko penyakit?” atau “seberapa besar pengaruh suatu faktor terhadap timbulnya penyakit?”. Melalui ukuran asosiasi, peneliti dapat menilai kekuatan hubungan antara variabel independen (jenis kelamin) dengan variabel dependen (kejadian TBC).
Untuk mengetahui adanya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian Tuberkulosis (TBC) di Jawa Barat tahun 2023, dilakukan analisis menggunakan ukuran asosiasi berupa Prevalence Ratio (PR). Ukuran ini digunakan untuk membandingkan proporsi kejadian penyakit antara kelompok yang terpapar faktor risiko (laki-laki) dengan kelompok yang tidak terpapar (perempuan). Melalui perhitungan PR, dapat diketahui apakah laki-laki memiliki prevalensi TBC yang lebih tinggi dibandingkan perempuan, serta seberapa besar perbedaan tersebut secara relatif. Analisis ini penting untuk memahami peran faktor jenis kelamin dalam pola penyebaran TBC dan menjadi dasar dalam penyusunan strategi pencegahan serta pengendalian penyakit yang lebih terarah
## Prevalence Ratio (PR): 1.017
Nilai Prevalence Ratio (PR) sebesar 1.017 menunjukkan bahwa prevalensi Tuberkulosis (TBC) pada laki-laki 1.017 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan di Jawa Barat tahun 2023. Artinya, secara proporsional, laki-laki memiliki kemungkinan menderita TBC sekitar 1,7% lebih besar dibandingkan perempuan.
Untuk memperkuat analisis hubungan antara jenis kelamin dan kejadian Tuberkulosis (TBC) di Jawa Barat tahun 2023, digunakan pula ukuran asosiasi berupa Prevalence Odds Ratio (POR). Ukuran ini menggambarkan perbandingan peluang (odds) terjadinya penyakit antara kelompok yang terpapar faktor risiko (laki-laki) dan kelompok yang tidak terpapar (perempuan) pada waktu yang sama. Berbeda dengan Prevalence Ratio yang membandingkan proporsi, Prevalence Odds Ratio menilai seberapa besar kemungkinan seseorang dalam kelompok terpapar mengalami penyakit dibandingkan dengan yang tidak terpapar. Melalui analisis POR, dapat diketahui arah dan kekuatan hubungan antara jenis kelamin dan prevalensi TBC, sehingga memberikan gambaran yang lebih komprehensif terhadap distribusi penyakit di populasi.
## Prevalence Odds Ratio (POR): 1.06
Nilai Prevalence Odds Ratio (POR) sebesar 1.06 menunjukkan bahwa peluang (odds) laki-laki untuk menderita Tuberkulosis (TBC) adalah 1.06 kali lebih besar dibandingkan perempuan di Jawa Barat tahun 2023. Dengan kata lain, laki-laki memiliki peluang sekitar 6% lebih tinggi untuk mengalami TBC dibandingkan perempuan pada periode yang sama.
Dalam analisis epidemiologi dan geospasial, autokorelasi spasial digunakan untuk menilai sejauh mana suatu fenomena kesehatan seperti penyebaran penyakit menunjukkan pola keterkaitan antarwilayah secara geografis. Konsep ini berangkat dari prinsip bahwa lokasi yang berdekatan cenderung memiliki karakteristik yang mirip dibandingkan lokasi yang berjauhan (Tobler’s First Law of Geography). Dalam konteks Tuberkulosis (TBC), autokorelasi spasial dapat membantu mengidentifikasi apakah daerah dengan angka kasus tinggi cenderung berkelompok dalam suatu wilayah tertentu, atau justru menyebar secara acak. Melalui analisis autokorelasi spasial, peneliti dapat memahami pola distribusi penyakit secara geografis, yang menjadi dasar penting untuk perencanaan kebijakan kesehatan berbasis wilayah. Dengan demikian, autokorelasi spasial tidak hanya menggambarkan hubungan antar lokasi, tetapi juga menjadi langkah awal dalam mendeteksi kluster penyakit yang memerlukan perhatian dan intervensi khusus dari pemerintah daerah.
Global Moran’s I memberikan satu nilai indeks tunggal untuk keseluruhan area, sehingga memudahkan peneliti dalam menilai kecenderungan spasial secara global sebelum melakukan analisis lokal. Nilai indeks yang positif menunjukkan adanya klaster wilayah dengan angka kasus serupa, sedangkan nilai negatif mengindikasikan pola yang saling berlawanan atau tersebar secara merata. Dengan demikian, Global Moran’s I menjadi alat penting untuk mengidentifikasi pola distribusi TBC secara umum dan menentukan strategi intervensi kesehatan berbasis wilayah secara lebih efektif.
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: shp_jabar_join$total_Kasus_TBC
## weights: listw_queen
##
## Moran I statistic standard deviate = 1.9399, p-value = 0.0262
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## 0.18571050 -0.04000000 0.01353795
Berdasarkan hasil analisis, nilai Moran’s I = 0.186 dengan p-value = 0.0262 menunjukkan bahwa distribusi kasus Tuberkulosis (TBC) di Jawa Barat pada tahun 2023 tidak terjadi secara acak, melainkan cenderung membentuk klaster spasial positif. Nilai positif Moran’s I mengindikasikan bahwa wilayah dengan jumlah kasus tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah lain yang juga memiliki kasus tinggi, begitu pula wilayah dengan kasus rendah cenderung berdekatan dengan wilayah lain yang rendah. Karena p-value < 0.05, hasil ini signifikan secara statistik, sehingga ada bukti kuat bahwa pola distribusi TBC di Jawa Barat memiliki autokorelasi spasial yang nyata, yang menjadi dasar penting untuk identifikasi klaster lokal dan perencanaan intervensi berbasis wilayah.
Setelah menilai pola distribusi kasus Tuberkulosis (TBC) secara keseluruhan dengan Global Moran’s I, langkah berikutnya adalah mengevaluasi autokorelasi spasial pada tingkat lokal menggunakan Local Moran’s I atau LISA (Local Indicators of Spatial Association). Analisis ini memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi klaster spesifik wilayah yang memiliki jumlah kasus tinggi atau rendah, serta mendeteksi outlier spasial, yaitu wilayah yang berbeda secara signifikan dari tetangganya. Dengan LISA, tidak hanya dapat diketahui apakah terdapat autokorelasi spasial secara global, tetapi juga dimana lokasi-lokasi klaster atau hotspot TBC berada di Jawa Barat. Informasi ini sangat penting bagi perencanaan intervensi kesehatan berbasis wilayah, karena memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih tepat sasaran untuk menurunkan prevalensi penyakit di wilayah dengan risiko tinggi.
## Var1 Freq
## 1 High-High 5
## 2 Not significant 21
Berdasarkan hasil analisis Local Moran’s I, terdapat 5 wilayah yang termasuk dalam kategori High-High, artinya wilayah-wilayah tersebut memiliki angka kasus TBC tinggi dan dikelilingi oleh tetangga yang juga memiliki angka kasus tinggi, sehingga dapat dikategorikan sebagai hotspot TBC. Sebaliknya, sebanyak 21 wilayah termasuk dalam kategori Not significant, yang menunjukkan bahwa kasus TBC di wilayah-wilayah tersebut tidak memiliki autokorelasi spasial yang signifikan dengan tetangganya, sehingga distribusi kasus cenderung acak atau tidak membentuk klaster. Berikut adalah hasil plot LISA kasus TBC di Jawa Barat.
Dari peta terlihat bahwa wilayah barat dan selatan Jawa Barat seperti Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Sukabumi, dan Kota Tasikmalaya termasuk dalam kelompok dengan kasus di atas rata-rata, yang menunjukkan adanya beban TBC yang relatif tinggi di daerah tersebut. Sebaliknya, wilayah timur dan utara Jawa Barat seperti Indramayu, Cirebon, dan Kuningan memiliki kasus TBC di bawah rata-rata, sehingga termasuk wilayah dengan beban penyakit yang lebih rendah.
Peta distribusi kasus TBC di Jawa Barat menunjukkan adanya ketimpangan penyebaran penyakit di berbagai wilayah. Daerah dengan jumlah kasus tertinggi terlihat pada wilayah perkotaan padat seperti Kota Bekasi, Kota Bogor, Kabupaten Bandung, dan Kota Bandung, dengan total kasus mencapai lebih dari 3.000. Tingginya angka pada daerah tersebut dapat dikaitkan dengan kepadatan penduduk, mobilitas tinggi, dan kualitas lingkungan yang bervariasi, yang berkontribusi terhadap peningkatan risiko penularan TBC.
Sementara itu, wilayah seperti Indramayu, Majalengka, dan Kuningan menunjukkan jumlah kasus relatif rendah, di bawah 1.100 kasus. Namun, rendahnya angka ini belum tentu menandakan kondisi kesehatan yang lebih baik, karena dapat pula disebabkan oleh kurangnya pelaporan atau keterbatasan deteksi dini kasus TBC. Secara umum, peta ini menggambarkan bahwa penyebaran TBC di Jawa Barat masih terkonsentrasi di wilayah urban, sehingga upaya pengendalian perlu difokuskan pada daerah dengan kepadatan penduduk tinggi dan peningkatan akses layanan kesehatan di seluruh kabupaten/kota.
Penelitian ini dilakukan dengan analisis spasial dan ukuran frekuensi serta asosiasi terhadap data TBC di Provinsi Jawa Barat periode 2023 dan dapat dilihat beberapa hal dan ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Situasi umum TBC di Jawa Barat
Pada populasi yang diteliti, sekitar 0.12% dari seluruh penduduk menderita Tuberkulosis (TBC) pada periode waktu tertentu (dalam hal ini tahun 2023). Dengan kata lain, dari setiap 100.000 penduduk, terdapat sekitar 116 orang yang tercatat sebagai kasus TBC.
Perbedaan Berdasarkan Gender
Melihat dari ukuran asosiasi yang dilakukan diketahui bahwa secara proporsional, laki-laki memiliki kemungkinan menderita TBC sekitar 1,7% lebih besar dibandingkan perempuan.
Disease Mapping
Peta penyebaran penyakit menggambarkan bahwa penyebaran TBC di Jawa Barat masih terkonsentrasi di wilayah urban, sehingga upaya pengendalian perlu difokuskan pada daerah dengan kepadatan penduduk tinggi dan peningkatan akses layanan kesehatan di seluruh kabupaten/kota.
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menegaskan bahwa TBC di Jawa Barat merupakan masalah kesehatan masyarakat yang bersifat dinamis, spasial, dan demografis, sehingga penanggulangannya perlu melibatkan pendekatan berbasis wilayah dan kelompok berisiko.
Link ShinyDashboard : https://ricardofilemon.shinyapps.io/dashboardtbc/
Cruz-Knight, W., & Blake-Gumbs, L. (2013). Tuberculosis: an overview.. Primary care, 40 3, 743-56 . https://doi.org/10.1016/j.pop.2013.06.003.
Ragonnet, R., Trauer, J., Geard, N., Scott, N., & McBryde, E. (2019). Profiling Mycobacterium tuberculosis transmission and the resulting disease burden in the five highest tuberculosis burden countries. BMC Medicine, 17. https://doi.org/10.1186/s12916-019-1452-0.
Wang, Y., Liu, X., Li, Y., Liu, M., Wang, Y., Zhang, H., Liu, J., & Zhao, Y. (2025). Association of urbanization-related factors with tuberculosis incidence among 1992 counties in China from 2005 to 2019: a nationwide observational study. Infectious Diseases of Poverty, 14. https://doi.org/10.1186/s40249-025-01299-4.
Migliori, G., Nardell, E., Yedilbayev, A., D’Ambrosio, L., Centis, R., Tadolini, M., Van Den Boom, M., Ehsani, S., Sotgiu, G., & Dara, M. (2019). Reducing tuberculosis transmission: a consensus document from the World Health Organization Regional Office for Europe. European Respiratory Journal, 53. https://doi.org/10.1183/13993003.00391-2019.