Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi perhatian serius dalam bidang kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara beriklim tropis seperti Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. DBD bersifat endemik dan dapat menimbulkan wabah apabila faktor lingkungan mendukung perkembangan vektornya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2023) menyebutkan bahwa tren global kasus DBD terus meningkat dalam dua dekade terakhir, dan sebagian besar terjadi di kawasan Asia Tenggara.
Penyebaran DBD dipengaruhi oleh interaksi berbagai faktor seperti kondisi lingkungan, sosial, dan perilaku masyarakat. Daerah dengan kepadatan penduduk tinggi, sanitasi yang tidak memadai, serta pengelolaan sampah yang buruk menjadi lingkungan yang ideal bagi perkembangan nyamuk penular dengue. Selain itu, tingkat pembangunan manusia dan perilaku hidup bersih juga berperan penting dalam menentukan tingkat kerentanan masyarakat terhadap penyakit ini. Oleh karena itu, DBD tidak hanya menjadi permasalahan medis, tetapi juga mencerminkan kondisi sosial dan kualitas lingkungan suatu wilayah.
Dalam konteks epidemiologi, penting untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD agar strategi pengendalian dapat dilakukan secara tepat sasaran. Pendekatan ini tidak hanya membantu memahami distribusi penyakit, tetapi juga menjadi dasar dalam perencanaan kebijakan kesehatan masyarakat yang lebih efektif dan berkelanjutan. Melalui pemahaman yang komprehensif terhadap aspek lingkungan, sosial, dan perilaku, diharapkan upaya pencegahan DBD dapat berjalan lebih optimal dan adaptif terhadap karakteristik masing-masing daerah.
Kasus DBD masih ditemukan di berbagai wilayah dan menunjukkan perbedaan jumlah antar daerah. Variasi tersebut dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan dan sosial masyarakat yang berbeda, seperti tingkat kepadatan penduduk, akses terhadap sanitasi layak, fasilitas kesehatan, serta kualitas pembangunan manusia. Perbedaan faktor-faktor tersebut berpotensi memengaruhi tingkat risiko penularan dan penyebaran penyakit.
Masalah utama yang dapat diidentifikasi adalah belum optimalnya upaya pencegahan dan pengendalian DBD akibat kurangnya pemahaman terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit tersebut. Selain itu, perilaku masyarakat yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan serta rendahnya kesadaran terhadap pentingnya sanitasi menjadi tantangan dalam menekan angka kejadian DBD.
Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 melalui pendekatan epidemiologi. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kondisi epidemiologi DBD berdasarkan karakteristik wilayah dan masyarakat, menganalisis hubungan antara faktor lingkungan dan sosial terhadap peningkatan kasus DBD, serta memberikan dasar ilmiah bagi upaya pencegahan dan pengendalian DBD yang lebih efektif di tingkat daerah.
Penelitian ini dibatasi pada wilayah Provinsi Jawa Barat dengan unit analisis kabupaten/kota. Variabel yang digunakan meliputi jumlah kasus DBD, jumlah rumah sakit, persentase sanitasi layak, indeks pembangunan manusia (IPM), kepadatan penduduk, dan timbulan sampah. Penelitian hanya menggunakan data tahun 2024, sehingga hasil analisis menggambarkan kondisi pada periode tersebut tanpa membahas perubahan antar-tahun atau faktor perilaku individu secara rinci.
Ukuran epidemiologi merupakan parameter yang digunakan untuk menilai besar, distribusi, dan dampak suatu penyakit dalam populasi. Ukuran ini berfungsi untuk memberikan gambaran kuantitatif mengenai situasi penyakit serta menjadi dasar pengambilan keputusan dalam program pencegahan dan pengendalian penyakit. Dalam analisis penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), ukuran yang sering digunakan antara lain Insidensi, Prevalensi, Case Fatality Rate (CFR), Proportional Mortality Rate (PMR), dan Standardized Mortality Ratio (SMR).
Angka insidensi menggambarkan jumlah kasus baru suatu penyakit yang terjadi dalam jangka waktu tertentu pada populasi berisiko. Ukuran ini penting untuk menentukan seberapa besar risiko masyarakat terkena penyakit baru pada periode pengamatan tertentu.
\[ \text{Insidensi} = \frac{\text{Jumlah Kasus Baru}}{\text{Populasi Berisiko}} \times 100{,}000 \]
Dalam konteks DBD, angka insidensi sering digunakan untuk menentukan tingkat risiko penularan di suatu daerah dan mengidentifikasi wilayah dengan kejadian kasus tinggi (high-risk area).
Prevalensi menunjukkan proporsi individu dalam populasi yang menderita penyakit tertentu pada suatu waktu. Ukuran ini digunakan untuk menggambarkan beban penyakit (disease burden) dalam populasi.
\[ \text{Prevalensi} = \frac{\text{Jumlah Seluruh Kasus (Baru dan Lama)}}{\text{Jumlah Populasi}} \times 100\% \]
Dalam analisis DBD, prevalensi berguna untuk melihat sejauh mana penyakit tersebut menyebar dan bertahan di suatu wilayah dalam periode tertentu.
CFR menggambarkan tingkat keparahan penyakit dengan membandingkan jumlah penderita yang meninggal akibat penyakit terhadap seluruh penderita penyakit tersebut.
\[ \text{CFR} = \frac{\text{Jumlah Kematian akibat DBD}}{\text{Jumlah Kasus DBD}} \times 100\% \]
Nilai CFR digunakan untuk menilai efektivitas pelayanan kesehatan dan pengendalian penyakit; semakin rendah CFR, semakin baik sistem penanganan dan perawatan kasus di wilayah tersebut.
PMR menunjukkan proporsi kematian akibat penyakit tertentu terhadap seluruh kematian dalam periode yang sama. Ukuran ini digunakan untuk menilai kontribusi suatu penyakit terhadap total kematian.
\[ \text{PMR} = \frac{\text{Jumlah Kematian akibat DBD}}{\text{Jumlah Seluruh Kematian}} \times 100\% \]
SMR digunakan untuk membandingkan tingkat kematian suatu wilayah terhadap tingkat kematian standar (misalnya tingkat provinsi atau nasional).
\[ \text{SMR} = \frac{\text{Jumlah Kematian yang Diamati (Observed)}}{\text{Jumlah Kematian yang Diharapkan (Expected)}} \]
Nilai SMR = 1 menunjukkan bahwa jumlah kematian yang diamati sama dengan jumlah kematian yang diharapkan menurut standar (misal tingkat provinsi atau nasional) SMR > 1 menandakan bahwa tingkat kematian akibat penyakit lebih tinggi daripada standar, sedangkan SMR < 1 menunjukkan tingkat kematian lebih rendah dari rata-rata populasi acuan.
Ukuran-ukuran ini menjadi dasar dalam analisis epidemiologi DBD karena dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat kejadian, tingkat keparahan, dan beban penyakit di suatu wilayah.
Model regresi Poisson digunakan untuk menganalisis data hitungan (count data) seperti jumlah kasus penyakit. Model ini termasuk ke dalam kelompok Generalized Linear Model (GLM) dengan fungsi link logaritmik dan distribusi Poisson.
Asumsi utama model Poisson adalah nilai rata-rata sama dengan variansi, atau disebut equidispersion. Persamaan umum model regresi Poisson adalah:
\[ \log(\mu_i) = \beta_0 + \beta_1X_{1i} + \beta_2X_{2i} + \dots + \beta_kX_{ki} + \log(\text{Populasi}_i) \]
Keterangan:
- \(\mu_i\) = nilai ekspektasi jumlah
kasus di wilayah ke-i
- \(X_{1i}, X_{2i}, \dots, X_{ki}\) =
variabel independen (misalnya sanitasi, IPM, kepadatan penduduk)
- \(\log(\text{Populasi}_i)\) = offset
untuk menyesuaikan perbedaan ukuran populasi
Koefisien hasil regresi (\(\beta\)) dapat ditransformasikan menjadi Incidence Rate Ratio (IRR) melalui:
\[ IRR = e^{\beta} \]
IRR menunjukkan perubahan laju kejadian penyakit akibat perubahan satu unit variabel prediktor.
Asumsi utama model Poisson adalah variansi sama dengan mean (\(Var(Y_i) = \mu_i\)). Namun, pada data
penyakit seperti DBD sering terjadi overdispersi, yaitu
variansi lebih besar dari mean.
Untuk mendeteksinya digunakan Dispersion Test.
Jika terjadi overdispersi, maka digunakan Model Regresi Negative Binomial (NB) karena model ini menambahkan parameter dispersi (\(\alpha\)) sehingga variansi menjadi:
\[ Var(Y_i) = \mu_i + \alpha \mu_i^2 \]
Persamaan umum model NB tetap sama dengan model Poisson, yaitu:
\[ \log(\mu_i) = \beta_0 + \beta_1X_{1i} + \dots + \beta_kX_{ki} + \log(\text{Populasi}_i) \]
Model Negative Binomial menghasilkan estimasi yang lebih akurat untuk data yang memiliki variabilitas tinggi antarwilayah.
IRR (Incidence Rate Ratio) merupakan ukuran utama hasil dari model regresi Poisson atau Negative Binomial. Nilai IRR menunjukkan seberapa besar risiko terjadinya penyakit berubah akibat pengaruh suatu variabel.
Interpretasi umum IRR:
IRR > 1: menunjukkan faktor tersebut meningkatkan risiko kejadian penyakit (risk factor).
IRR < 1: menunjukkan faktor tersebut bersifat protektif atau menurunkan risiko penyakit (protective factor).
IRR = 1: menunjukkan faktor tersebut tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit.
IRR sangat penting dalam epidemiologi karena menjadi indikator kuantitatif untuk menentukan variabel mana yang paling signifikan memengaruhi peningkatan atau penurunan kasus DBD di suatu wilayah.
Setelah model dibangun, langkah selanjutnya adalah mengevaluasi kecocokan model (goodness of fit). Salah satu ukuran yang umum digunakan adalah Akaike Information Criterion (AIC).
\[ AIC = -2\ln(L) + 2k \]
dengan:
- \(L\) = nilai likelihood
dari model
- \(k\) = jumlah parameter model
Model dengan nilai AIC terkecil dianggap paling baik karena memberikan keseimbangan antara ketepatan estimasi dan kesederhanaan model.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat, Open Data Jabar, dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Data utama diambil dari publikasi Provinsi Jawa Barat Dalam Angka 2025 (Jawa Barat in Figures 2025) yang diterbitkan oleh BPS. Sumber ini menyediakan berbagai indikator sosial dan lingkungan seperti jumlah penduduk, kepadatan penduduk, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), persentase sanitasi layak, jumlah rumah sakit, serta volume timbulan sampah di setiap kabupaten/kota.
Data kasus DBD dan kematian akibat DBD diperoleh dari laporan Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat Tahun 2024 dan portal Open Data Jabar (https://opendata.jabarprov.go.id). Seluruh data bersifat cross-sectional, menggambarkan kondisi tahun 2024 dengan unit analisis sebanyak 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
Variabel penelitian terdiri atas:
- Variabel dependen (Y): jumlah kasus DBD per kabupaten/kota.
- Variabel independen (X): jumlah rumah sakit, persentase sanitasi
layak, IPM, kepadatan penduduk, dan timbulan sampah.
Pemilihan variabel didasarkan pada teori epidemiologi dan kesehatan lingkungan yang menjelaskan bahwa kepadatan penduduk, kebersihan lingkungan, serta kualitas pembangunan manusia memiliki peran penting dalam penyebaran penyakit berbasis vektor seperti DBD.
Analisis deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran umum mengenai karakteristik dan distribusi kasus DBD di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Analisis ini meliputi penghitungan ukuran epidemiologi dasar seperti angka insidensi, prevalensi, Case Fatality Rate (CFR), Proportional Mortality Rate (PMR), dan Standardized Mortality Ratio (SMR) sebagaimana telah dijelaskan pada Bab II.
Hasil analisis ini digunakan untuk menilai tingkat risiko dan beban
penyakit DBD di setiap kabupaten/kota, serta mengidentifikasi wilayah
dengan insidensi atau tingkat kematian yang lebih tinggi dibandingkan
wilayah lainnya.
Pendekatan ini membantu memahami pola penyebaran penyakit berdasarkan
dimensi person, place, dan time sehingga menjadi dasar untuk analisis
faktor risiko lebih lanjut.
Analisis faktor risiko bertujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah kasus DBD dengan variabel-variabel lingkungan dan sosial yang diduga memengaruhinya. Analisis ini dilakukan menggunakan model regresi Poisson karena data yang digunakan berupa jumlah kasus (count data).
Apabila hasil uji menunjukkan adanya overdispersi (varian data lebih besar dari rata-rata), maka model alternatif yang digunakan adalah regresi Negative Binomial. Model ini dipilih karena dapat menghasilkan estimasi yang lebih akurat dan tidak bias pada data yang bervariasi antarwilayah.
Interpretasi hasil model dilakukan melalui nilai Incidence Rate Ratio
(IRR). Nilai IRR > 1 menunjukkan bahwa variabel tersebut berperan
sebagai faktor risiko peningkatan kasus DBD, sedangkan IRR < 1
menunjukkan efek protektif atau penurunan risiko.
Analisis ini memberikan gambaran faktor-faktor utama yang berkontribusi
terhadap meningkatnya kasus DBD di Jawa Barat dan dapat digunakan untuk
menentukan prioritas intervensi kesehatan masyarakat.
Setelah model regresi dibangun, dilakukan evaluasi untuk menentukan model yang paling sesuai. Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria statistik Akaike Information Criterion (AIC), nilai p-value dari masing-masing koefisien, serta kesesuaian hasil dengan teori epidemiologi.
Model dengan nilai AIC paling kecil dan koefisien signifikan secara
statistik (p < 0,05) dipilih sebagai model terbaik.
Selain itu, interpretasi epidemiologis juga menjadi pertimbangan penting
untuk memastikan bahwa hasil analisis mencerminkan kondisi nyata di
lapangan.
Tahapan pelaksanaan penelitian ini meliputi:
Pengumpulan Data Mengumpulkan data kasus DBD dan faktor lingkungan dari BPS, Dinas Kesehatan, serta Open Data Jabar tahun 2024.
Pengolahan Data Awal Melakukan pembersihan data, penyesuaian nama kolom, dan konversi tipe data agar siap dianalisis menggunakan R.
Analisis Deskriptif Epidemiologi Menghitung ukuran epidemiologi (insidensi, prevalensi, CFR, PMR, dan SMR) untuk mengetahui pola umum penyebaran DBD.
Analisis Faktor Risiko Menggunakan regresi Poisson dan Negative Binomial untuk menganalisis hubungan antara jumlah kasus DBD dan faktor-faktor lingkungan.
Evaluasi Model
Menentukan model terbaik berdasarkan AIC, signifikansi koefisien, serta
relevansi hasil dengan kondisi epidemiologis.
Interpretasi Epidemiologis Menarik kesimpulan ilmiah mengenai faktor dominan yang memengaruhi kasus DBD dan memberikan rekomendasi untuk kebijakan pengendalian.
## Reading layer `geoBoundaries-IDN-ADM2' from data source
## `C:\Users\ASUS Vivobook\Downloads\Epidem\Data epidem\geoBoundaries-IDN-ADM2.shp'
## using driver `ESRI Shapefile'
## Simple feature collection with 519 features and 5 fields
## Geometry type: MULTIPOLYGON
## Dimension: XY
## Bounding box: xmin: 95.01079 ymin: -11.00762 xmax: 141.0194 ymax: 6.07693
## Geodetic CRS: WGS 84
##
## >>> ANALISIS DESKRIPTIF / UNIVARIAT <<<
## Area Y RS Sanitasi
## Length:27 Min. : 400 Min. : 1.00 Min. :45.88
## Class :character 1st Qu.: 989 1st Qu.: 6.50 1st Qu.:59.60
## Mode :character Median :1902 Median :11.00 Median :77.32
## Mean :2275 Mean :15.89 Mean :75.70
## 3rd Qu.:3274 3rd Qu.:19.50 3rd Qu.:89.72
## Max. :7680 Max. :55.00 Max. :99.08
## IPM Pop Kepadatan SampahTon
## Min. :68.89 Min. : 209790 Min. : 385.0 Min. :0.2700
## 1st Qu.:71.20 1st Qu.:1064345 1st Qu.: 832.5 1st Qu.:0.3400
## Median :73.82 Median :1884190 Median : 1468.0 Median :0.4000
## Mean :74.68 Mean :1864648 Mean : 3910.9 Mean :0.4326
## 3rd Qu.:77.25 3rd Qu.:2569685 3rd Qu.: 5826.0 3rd Qu.:0.4800
## Max. :83.75 Max. :5682300 Max. :15176.0 Max. :0.6800
## Deaths kab_clean
## Min. : 0.00 Length:27
## 1st Qu.: 5.50 Class :character
## Median :11.00 Mode :character
## Mean :12.56
## 3rd Qu.:17.00
## Max. :38.00
## # A tibble: 1 × 7
## Mean_Sanitasi Mean_Kepadatan Mean_Sampah Mean_IPM Mean_RS Total_Y Total_Deaths
## <dbl> <dbl> <dbl> <dbl> <dbl> <dbl> <dbl>
## 1 75.7 3911. 0.433 74.7 15.9 61423 339
##
## >>> STATISTIK KASUS DBD <<<
## Min. 1st Qu. Median Mean 3rd Qu. Max.
## 400 989 1902 2275 3274 7680
## Rata-rata kasus: 2274.9 | Median: 1902 | Maksimum: 7680
## # A tibble: 1 × 6
## Mean_Kasus Median_Kasus Max_Kasus Mean_Kematian Median_Kematian Max_Kematian
## <dbl> <dbl> <dbl> <dbl> <dbl> <dbl>
## 1 2275. 1902 7680 12.6 11 38
## Rata-rata insidensi DBD Jawa Barat = 151.33 per 100.000
## Rata-rata insidensi DBD Jawa Barat = 151.33 per 100.000 penduduk
## Wilayah dengan insidensi tinggi (>100/100.000):
## # A tibble: 18 × 2
## Area inc_per100k
## <chr> <dbl>
## 1 KOTA SUKABUMI 446.
## 2 KOTA BANDUNG 304.
## 3 KOTA BOGOR 289.
## 4 KOTA TASIKMALAYA 237.
## 5 KOTA DEPOK 233.
## 6 KABUPATEN PANGANDARAN 205.
## 7 KABUPATEN BANDUNG BARAT 199.
## 8 KABUPATEN SUMEDANG 194.
## 9 KOTA BANJAR 191.
## 10 KABUPATEN KUNINGAN 178.
## 11 KOTA CIREBON 173.
## 12 KOTA BEKASI 158.
## 13 KOTA CIMAHI 142.
## 14 KABUPATEN KARAWANG 128.
## 15 KABUPATEN GARUT 120.
## 16 KABUPATEN SUBANG 116.
## 17 KABUPATEN CIAMIS 113.
## 18 KABUPATEN PURWAKARTA 104.
Interpretasi
Terdapat 18 wilayah di Jawa Barat dengan insidensi DBD di atas 100 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2024. Kota Sukabumi mencatat insidensi tertinggi (446/100.000), diikuti Kota Bandung (304/100.000) dan Kota Bogor (289/100.000). Sebagian besar wilayah dengan angka tinggi merupakan kota besar dan padat penduduk, menunjukkan potensi risiko penularan DBD yang lebih tinggi dibandingkan daerah lain.
##
## Rata-rata prevalensi DBD = 0.151 %
## Wilayah dengan prevalensi di atas rata-rata:
## # A tibble: 12 × 2
## Area prevalensi_percent
## <chr> <dbl>
## 1 KOTA SUKABUMI 0.446
## 2 KOTA BANDUNG 0.304
## 3 KOTA BOGOR 0.289
## 4 KOTA TASIKMALAYA 0.237
## 5 KOTA DEPOK 0.233
## 6 KABUPATEN PANGANDARAN 0.205
## 7 KABUPATEN BANDUNG BARAT 0.199
## 8 KABUPATEN SUMEDANG 0.194
## 9 KOTA BANJAR 0.191
## 10 KABUPATEN KUNINGAN 0.178
## 11 KOTA CIREBON 0.173
## 12 KOTA BEKASI 0.158
Interpretasi
Sebanyak 12 wilayah di Jawa Barat memiliki prevalensi DBD di atas rata-rata provinsi pada tahun 2024 sebesar 0.151%. Kota Sukabumi menunjukkan prevalensi tertinggi sebesar 0,446%, diikuti oleh Kota Bandung (0,304%) dan Kota Bogor (0,289%). Sebagian besar wilayah dengan prevalensi tinggi merupakan daerah perkotaan dengan kepadatan penduduk besar, yang berpotensi meningkatkan risiko penularan DBD.
##
## Rata-rata Attack Rate DBD = 0.151 %
## Wilayah dengan Attack Rate di atas rata-rata:
## # A tibble: 12 × 2
## Area attack_rate_percent
## <chr> <dbl>
## 1 KOTA SUKABUMI 0.446
## 2 KOTA BANDUNG 0.304
## 3 KOTA BOGOR 0.289
## 4 KOTA TASIKMALAYA 0.237
## 5 KOTA DEPOK 0.233
## 6 KABUPATEN PANGANDARAN 0.205
## 7 KABUPATEN BANDUNG BARAT 0.199
## 8 KABUPATEN SUMEDANG 0.194
## 9 KOTA BANJAR 0.191
## 10 KABUPATEN KUNINGAN 0.178
## 11 KOTA CIREBON 0.173
## 12 KOTA BEKASI 0.158
Interpretasi
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai attack rate DBD di Jawa Barat tahun 2024 identik dengan nilai prevalensi, karena keduanya dihitung berdasarkan jumlah kasus baru selama satu tahun terhadap total populasi. Dengan periode pengamatan hanya satu tahun, attack rate dan prevalensi menggambarkan proporsi penduduk yang terinfeksi DBD dalam tahun tersebut. Kota Sukabumi memiliki attack rate tertinggi sebesar 0,446%, diikuti oleh Kota Bandung (0,304%) dan Kota Bogor (0,289%), menunjukkan konsistensi pola distribusi kasus yang sama dengan prevalensi.
##
## >>> KORELASI ANTAR VARIABEL <<<
## Y RS IPM Sanitasi Kepadatan SampahTon
## Y 1.00 0.63 0.52 -0.17 0.49 0.40
## RS 0.63 1.00 0.60 0.20 0.46 0.36
## IPM 0.52 0.60 1.00 0.21 0.91 0.67
## Sanitasi -0.17 0.20 0.21 1.00 0.05 0.32
## Kepadatan 0.49 0.46 0.91 0.05 1.00 0.65
## SampahTon 0.40 0.36 0.67 0.32 0.65 1.00
##
## Call:
## MASS::glm.nb(formula = Y ~ Sanitasi + Kepadatan + SampahTon +
## IPM + RS + offset(log(Pop)), data = dbd, init.theta = 6.287141363,
## link = log)
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) -1.841e+01 3.758e+00 -4.900 9.58e-07 ***
## Sanitasi -1.652e-02 5.364e-03 -3.081 0.00207 **
## Kepadatan -8.956e-05 4.666e-05 -1.920 0.05491 .
## SampahTon 2.687e+00 9.179e-01 2.927 0.00342 **
## IPM 1.686e-01 5.512e-02 3.059 0.00222 **
## RS -2.248e-02 7.307e-03 -3.076 0.00210 **
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## (Dispersion parameter for Negative Binomial(6.2871) family taken to be 1)
##
## Null deviance: 69.675 on 26 degrees of freedom
## Residual deviance: 27.694 on 21 degrees of freedom
## AIC: 446.61
##
## Number of Fisher Scoring iterations: 1
##
##
## Theta: 6.29
## Std. Err.: 1.67
##
## 2 x log-likelihood: -432.61
## Variabel IRR LCL UCL
## (Intercept) (Intercept) 1.008495e-08 5.801825e-12 1.514323e-05
## Sanitasi Sanitasi 9.836112e-01 9.728951e-01 9.943714e-01
## Kepadatan Kepadatan 9.999104e-01 9.998173e-01 1.000006e+00
## SampahTon SampahTon 1.468690e+01 2.335848e+00 9.415061e+01
## IPM IPM 1.183642e+00 1.063448e+00 1.321289e+00
## RS RS 9.777713e-01 9.639241e-01 9.922254e-01
| Variabel | IRR | LCL | UCL | |
|---|---|---|---|---|
| (Intercept) | (Intercept) | 0.000 | 0.000 | 0.000 |
| Sanitasi | Sanitasi | 0.984 | 0.973 | 0.994 |
| Kepadatan | Kepadatan | 1.000 | 1.000 | 1.000 |
| SampahTon | SampahTon | 14.687 | 2.336 | 94.151 |
| IPM | IPM | 1.184 | 1.063 | 1.321 |
| RS | RS | 0.978 | 0.964 | 0.992 |
##
## >>> GOODNESS OF FIT MODEL <<<
## Deviance = 27.69
## Df resid = 21
## p-value = 0.149
## Model sesuai data (fit baik, p > 0.05)
##
## >>> UJI OVERDISPERSI (dispersiontest dari paket AER) <<<
##
## Overdispersion test
##
## data: model_pois
## z = 2.967, p-value = 0.001504
## alternative hypothesis: true dispersion is greater than 1
## sample estimates:
## dispersion
## 337.5038
##
## >>> EVALUASI KINERJA MODEL <<<
| df | AIC | |
|---|---|---|
| model_pois | 6 | 9007.81 |
| model_fit | 7 | 446.61 |
## fitting null model for pseudo-r2
## fitting null model for pseudo-r2
| Model | McFadden | r2ML | r2CU |
|---|---|---|---|
| Poisson | 0.679 | 1.000 | 1.000 |
| Negative Binomial | 0.067 | 0.684 | 0.684 |
##
## >>> UJI MULTIKOLINEARITAS (VIF) <<<
## Sanitasi Kepadatan SampahTon IPM RS
## 1.70 15.34 4.30 17.54 2.39
Interpretasi Analisis Multivariat
Hasil analisis menunjukkan bahwa model Negative
Binomial merupakan model terbaik untuk menjelaskan variasi
insidensi DBD di Jawa Barat tahun 2024.
Uji Goodness of Fit memberikan nilai Deviance = 27,69
(df = 21, p = 0,149), menandakan model memiliki
kecocokan yang baik (fit) terhadap data.
Dibandingkan model Poisson (AIC = 9007,81), model
Negative Binomial memiliki AIC jauh lebih rendah
(446,61), sehingga secara empiris lebih efisien dan sesuai
untuk data dengan overdispersi (hasil uji: z =
2,967; p = 0,0015).
Dengan demikian, penggunaan model Negative Binomial dianggap tepat
karena mampu menangani varians berlebih pada data insidensi DBD.
Nilai r²ML dan r²CU sebesar 0,684 menunjukkan model mampu menjelaskan sekitar 68% variasi kasus, sedangkan nilai Pseudo R² McFadden (0,067) masih wajar untuk model count dengan dispersi tinggi.
Hasil uji multikolinearitas menunjukkan bahwa terdapat potensi korelasi tinggi antara variabel Kepadatan Penduduk dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Hal ini tercermin dari nilai Variance Inflation Factor (VIF) yang cukup besar, yaitu 15,34 untuk Kepadatan Penduduk dan 17,54 untuk IPM. Nilai VIF yang tinggi ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut saling berkorelasi secara signifikan, sehingga efek masing-masing variabel terhadap model regresi sulit dipisahkan. Fenomena ini umumnya terjadi pada wilayah urban, di mana kepadatan penduduk yang tinggi biasanya disertai dengan nilai IPM yang juga tinggi.
Untuk tujuan analisis faktor pencegahan, penelitian ini hanya memfokuskan pada tiga variabel utama yang paling relevan secara lingkungan, yaitu:
Ketiga variabel tersebut dinilai paling berperan secara empiris terhadap variasi insidensi DBD dan menjadi dasar dalam perumusan strategi pencegahan berbasis lingkungan.
## Median Sanitasi = 77.32 %
##
## Sanitasi≥Median Sanitasi<Median
## 14 13
##
## === SANITASI (<Median vs ≥Median) ===
## IRR = 0.995 (95% CI: 0.979 - 1.011 )
##
## Crude RR = 0.995 (95% CI: 0.979 - 1.011 )
## Attributable Risk = -0.6 kasus/100.000
## Population Attributable Risk = -0.3 %
Interpretasi
Wilayah dengan cakupan sanitasi <Median (77.32 %) menunjukkan IRR = 0.995 (95% CI: 0.979–1.011), artinya insidensi DBD tidak berbeda secara signifikan dibanding wilayah dengan sanitasi ≥Median (77.32 %) setelah menyesuaikan populasi. Perhitungan langsung dari data memberikan Crude RR = 0.995 (95% CI: 0.979–1.011), serupa secara numerik karena metode dan denominatori yang sebanding. Dampak absolut tercermin pada Attributable Risk (AR) = -0.6 kasus/100.000 dan Population Attributable Risk (PAR) = -0.3%, menunjukkan tidak ada kontribusi signifikan kasus DBD yang dapat dikaitkan dengan sanitasi <Median.
##
## === KEPADATAN (per +1.000 jiwa/km²) ===
## IRR = 1.081 (95% CI: 1.08 - 1.083 )
## Crude RR = 2.515 (95% CI: 2.474 - 2.556 )
## Attributable Risk = 143 kasus/100.000
## Population Attributable Risk = 22.6 %
Interpretasii
Setiap kenaikan 1.000 jiwa/km² dikaitkan dengan
8,1% peningkatan laju DBD (IRR =
1.081; 95% CI: 1.080–1.083).
Wilayah dengan kepadatan tinggi memiliki Crude RR =
2.515 (95% CI: 2.474–2.556), artinya risiko
DBD sekitar 2,5 kali lebih besar dibanding wilayah
rendah kepadatan. Dampak absolutnya sekitar 143 kasus/100.000
penduduk, dengan PAR = 22,6%, menegaskan
kepadatan tinggi sebagai faktor penting risiko DBD di
Jawa Barat.
## Median Sampah = 0.4 %
##
## === TIMBULAN SAMPAH (<Median vs ≥Median) ===
## IRR = 1.762 (95% CI: 1.733 - 1.792 )
## Crude RR = 1.762 (95% CI: 1.732 - 1.792 )
## Attributable Risk = 65.8 kasus/100.000
## Population Attributable Risk = 29.2 %
Interpretasi
Setiap wilayah dengan timbulan sampah ≥ median (0,4 ton) menunjukkan IRR = 1.762 (95% CI: 1.733–1.792), artinya insidensi DBD sekitar 76,2% lebih tinggi dibanding wilayah dengan timbulan sampah < median setelah menyesuaikan populasi.
Perhitungan langsung dari data memberikan Crude RR = 1.762 (95% CI: 1.732–1.792), serupa secara numerik karena metode dan denominatori yang sebanding.
Dampak absolut tercermin pada Attributable Risk (AR) = 65,8 kasus/100.000 dan Population Attributable Risk (PAR) = 29,2%, menunjukkan sekitar 29,2% kasus DBD dapat dikaitkan dengan timbulan sampah tinggi di wilayah tersebut.
Interpretasi ini menegaskan bahwa pengelolaan sampah buruk merupakan faktor lingkungan yang signifikan terhadap risiko DBD.
##
## >>> LAJU MORTALITAS (MORTALITY RATE) <<<
## Rata-rata laju mortalitas DBD Jawa Barat = 0.83 kematian per 100.000 penduduk
| Area | mortality_per100k |
|---|---|
| KOTA BANJAR | 2.38 |
| KOTA CIMAHI | 2.00 |
| KOTA SUKABUMI | 1.64 |
| KABUPATEN SUBANG | 1.50 |
| KOTA BOGOR | 1.48 |
| KABUPATEN PURWAKARTA | 1.33 |
| KOTA BANDUNG | 1.23 |
| KABUPATEN BANDUNG | 1.01 |
| KOTA BEKASI | 0.98 |
| KABUPATEN BANDUNG BARAT | 0.96 |
| KABUPATEN CIAMIS | 0.87 |
Interpretasi
Beberapa wilayah menunjukkan laju mortalitas DBD di atas rata-rata provinsi, dengan nilai tertinggi di Kota Banjar (2,38 per 100.000), diikuti Kota Cimahi (2,00) dan Kota Sukabumi (1,64). Kota dan kabupaten dengan angka kematian relatif tinggi ini kemungkinan memiliki beban kasus berat atau keterbatasan dalam penanganan kasus DBD, sehingga perlu menjadi prioritas penguatan layanan kesehatan dan pengendalian vektor.
##
## >>> CASE FATALITY RATE (CFR) <<<
## Rata-rata CFR = 0.61 %
## Wilayah dengan CFR > 1% (risiko fatalitas tinggi):
| Area | CFR_percent |
|---|---|
| KOTA CIMAHI | 1.41 |
| KABUPATEN SUBANG | 1.30 |
| KABUPATEN PURWAKARTA | 1.29 |
| KOTA BANJAR | 1.25 |
| KABUPATEN BANDUNG | 1.06 |
| KABUPATEN TASIKMALAYA | 1.05 |
Interpretasi
Enam wilayah memiliki CFR DBD di atas 1%, menandakan risiko fatalitas yang tinggi. Nilai tertinggi terdapat di Kota Cimahi (1,41%), disusul Kabupaten Subang (1,30%) dan Kabupaten Purwakarta (1,29%). Tingginya CFR di wilayah-wilayah tersebut menunjukkan kemungkinan adanya keterlambatan diagnosis atau penanganan kasus berat, sehingga perlu peningkatan akses pelayanan medis dan surveilans klinis DBD.
##
## >>> PROPORSIONAL MORTALITAS (PMR) <<<
## Seluruh wilayah dengan kontribusi kematian akibat DBD:
| Area | PMR_percent |
|---|---|
| KABUPATEN BANDUNG | 11.21 |
| KOTA BANDUNG | 9.14 |
| KOTA BEKASI | 7.67 |
| KABUPATEN SUBANG | 7.37 |
| KABUPATEN BOGOR | 6.78 |
| KABUPATEN KARAWANG | 5.60 |
| KABUPATEN BANDUNG BARAT | 5.31 |
| KOTA BOGOR | 4.72 |
| KABUPATEN GARUT | 4.13 |
| KABUPATEN PURWAKARTA | 4.13 |
| KOTA DEPOK | 3.83 |
| KOTA CIMAHI | 3.54 |
| KABUPATEN CIANJUR | 3.24 |
| KABUPATEN CIAMIS | 3.24 |
| KABUPATEN MAJALENGKA | 3.24 |
| KABUPATEN TASIKMALAYA | 2.36 |
| KABUPATEN SUMEDANG | 2.06 |
| KABUPATEN BEKASI | 2.06 |
| KABUPATEN CIREBON | 1.77 |
| KOTA SUKABUMI | 1.77 |
| KABUPATEN KUNINGAN | 1.47 |
| KOTA TASIKMALAYA | 1.47 |
| KOTA BANJAR | 1.47 |
| KABUPATEN SUKABUMI | 1.18 |
| KABUPATEN INDRAMAYU | 0.59 |
| KOTA CIREBON | 0.59 |
| KABUPATEN PANGANDARAN | 0.00 |
Interpretasi
Wilayah dengan kontribusi kematian akibat DBD tertinggi adalah Kabupaten Bandung (11,21%), diikuti Kota Bandung (9,14%) dan Kota Bekasi (7,67%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar kematian DBD di Jawa Barat terpusat di daerah dengan jumlah kasus besar dan kepadatan penduduk tinggi, terutama di kawasan Bandung Raya dan sekitarnya. Sebaliknya, wilayah seperti Kabupaten Pangandaran dan Kota Cirebon memiliki proporsi kematian yang sangat rendah, menandakan beban fatalitas DBD relatif kecil di wilayah tersebut.
##
## >>> CASE : DEATH RATIO <<<
## Seluruh wilayah dengan rasio kasus per kematian akibat DBD:
| Area | Case_Death_Ratio |
|---|---|
| KOTA CIMAHI | 70.83 |
| KABUPATEN SUBANG | 77.16 |
| KABUPATEN PURWAKARTA | 77.71 |
| KOTA BANJAR | 80.00 |
| KABUPATEN BANDUNG | 94.45 |
| KABUPATEN TASIKMALAYA | 95.38 |
| KABUPATEN MAJALENGKA | 115.91 |
| KABUPATEN CIAMIS | 129.09 |
| KABUPATEN BOGOR | 148.00 |
| KOTA BEKASI | 160.27 |
| KABUPATEN KARAWANG | 172.58 |
| KABUPATEN CIANJUR | 175.64 |
| KOTA BOGOR | 194.81 |
| KABUPATEN BANDUNG BARAT | 208.56 |
| KABUPATEN SUKABUMI | 210.25 |
| KABUPATEN GARUT | 233.50 |
| KOTA BANDUNG | 247.74 |
| KABUPATEN INDRAMAYU | 264.00 |
| KABUPATEN BEKASI | 271.71 |
| KOTA SUKABUMI | 271.83 |
| KOTA CIREBON | 298.50 |
| KABUPATEN CIREBON | 305.50 |
| KABUPATEN SUMEDANG | 329.00 |
| KOTA TASIKMALAYA | 355.40 |
| KOTA DEPOK | 387.69 |
| KABUPATEN KUNINGAN | 433.00 |
| KABUPATEN PANGANDARAN | NA |
Interpretasi
Wilayah dengan rasio kasus per kematian terendah (artinya kondisi lebih buruk) adalah Kota Cimahi (70,83), Kabupaten Subang (77,16), dan Kabupaten Purwakarta (77,71). Artinya, di wilayah-wilayah tersebut terjadi satu kematian untuk setiap ±70–80 kasus DBD, menandakan tingkat fatalitas relatif tinggi. Sebaliknya, daerah seperti Kabupaten Kuningan (433,00) dan Kota Depok (387,69) memiliki rasio yang tinggi, menunjukkan lebih banyak kasus per satu kematian, sehingga risiko kematian akibat DBD relatif rendah.
Nilai NA pada Kabupaten Pangandaran disebabkan oleh tidak adanya kematian (PMR = 0), sehingga rasio kasus terhadap kematian tidak dapat dihitung secara matematis.
## Area E SMR LCL UCL
## 1 KABUPATEN BOGOR 6932.5755 0.4910152 0.4746574 0.5077929
## 2 KABUPATEN SUKABUMI 3450.2688 0.2437491 0.2275516 0.2607953
## 3 KABUPATEN CIANJUR 3153.7649 0.6126011 0.5855864 0.6405407
## 4 KABUPATEN BANDUNG 4578.9184 0.7838096 0.7583739 0.8098809
## 5 KABUPATEN GARUT 3314.7601 0.9861951 0.9526749 1.0205935
## 6 KABUPATEN TASIKMALAYA 2343.5797 0.3255703 0.3028761 0.3495146
## 7 KABUPATEN CIAMIS 1536.2982 0.9242997 0.8768445 0.9736558
## 8 KABUPATEN KUNINGAN 1481.0308 1.4618197 1.4008855 1.5247223
## 9 KABUPATEN CIREBON 2913.3825 0.6291656 0.6006895 0.6586430
## 10 KABUPATEN MAJALENGKA 1650.5052 0.7724908 0.7306655 0.8160862
## 11 KABUPATEN SUMEDANG 1448.3340 1.5901028 1.5258171 1.6564009
## 12 KABUPATEN INDRAMAYU 2335.1859 0.2261062 0.2072289 0.2462411
## 13 KABUPATEN SUBANG 2029.1048 0.9506655 0.9087104 0.9940580
## 14 KABUPATEN PURWAKARTA 1281.4461 0.8490408 0.7993338 0.9010294
## 15 KABUPATEN KARAWANG 3116.4198 1.0521689 1.0164605 1.0888115
## 16 KABUPATEN BEKASI 3994.2191 0.4761882 0.4550259 0.4980807
## 17 KABUPATEN BANDUNG BARAT 2298.7680 1.6330486 1.5812223 1.6861410
## 18 KABUPATEN PANGANDARAN 529.6150 1.6804661 1.5718618 1.7945972
## 19 KOTA BOGOR 1315.6192 2.3692266 2.2867751 2.4538914
## 20 KOTA SUKABUMI 446.2137 3.6551992 3.4799400 3.8369989
## 21 KOTA BANDUNG 3084.4306 2.4899247 2.4345454 2.5462459
## 22 KOTA CIREBON 420.7273 1.4189714 1.3074149 1.5375020
## 23 KOTA BEKASI 3225.8321 1.2917597 1.2528332 1.3315882
## 24 KOTA DEPOK 2639.7054 1.9093040 1.8569519 1.9627578
## 25 KOTA CIMAHI 730.4319 1.1636951 1.0867690 1.2446295
## 26 KOTA TASIKMALAYA 915.9130 1.9401406 1.8509727 2.0324938
## 27 KOTA BANJAR 255.9501 1.5628049 1.4133863 1.7237216
Intepretasi
Nilai Standardized Mortality Ratio (SMR) menunjukkan perbandingan antara jumlah kasus DBD yang terjadi dengan jumlah kasus yang diharapkan berdasarkan populasi.
Beberapa wilayah memiliki SMR > 1, menandakan jumlah kasus aktual lebih tinggi dari yang diharapkan. Kota Sukabumi (3.66), Kota Bandung (2.49), Kota Bogor (2.37), dan Kota Tasikmalaya (1.94) termasuk daerah dengan risiko relatif tinggi terhadap DBD.
Sebaliknya, wilayah seperti Kabupaten Indramayu (0.23), Kabupaten Sukabumi (0.24), dan Kabupaten Tasikmalaya (0.33) memiliki SMR < 1, menunjukkan beban kasus DBD yang lebih rendah dari ekspektasi populasi. Secara keseluruhan, hasil ini menegaskan bahwa wilayah perkotaan cenderung memiliki risiko DBD lebih tinggi dibandingkan kabupaten dengan karakteristik rural.
##
## >>> KLASIFIKASI RISIKO TERPADU - SEMUA WILAYAH <<<
## Jumlah wilayah per kategori:
##
## Zona Bahaya (Kasus & Kematian tinggi) Zona Fatalitas Tinggi
## 4 2
## Zona Kasus Tinggi Zona Relatif Aman
## 14 7
##
## --- DAFTAR LENGKAP 27 WILAYAH BERDASARKAN KATEGORI RISIKO ---
## # A tibble: 27 × 4
## Area inc_per100k CFR_percent Kategori_Risiko
## <chr> <dbl> <dbl> <chr>
## 1 KOTA BANJAR 191. 1.25 Zona Bahaya (Kasus & Kematia…
## 2 KOTA CIMAHI 142. 1.41 Zona Bahaya (Kasus & Kematia…
## 3 KABUPATEN SUBANG 116. 1.3 Zona Bahaya (Kasus & Kematia…
## 4 KABUPATEN PURWAKARTA 104. 1.29 Zona Bahaya (Kasus & Kematia…
## 5 KABUPATEN BANDUNG 95.6 1.06 Zona Fatalitas Tinggi
## 6 KABUPATEN TASIKMALAYA 39.7 1.05 Zona Fatalitas Tinggi
## 7 KOTA SUKABUMI 446. 0.37 Zona Kasus Tinggi
## 8 KOTA BANDUNG 304. 0.4 Zona Kasus Tinggi
## 9 KOTA BOGOR 289. 0.51 Zona Kasus Tinggi
## 10 KOTA TASIKMALAYA 237. 0.28 Zona Kasus Tinggi
## 11 KOTA DEPOK 233. 0.26 Zona Kasus Tinggi
## 12 KABUPATEN PANGANDARAN 205. 0 Zona Kasus Tinggi
## 13 KABUPATEN BANDUNG BARAT 199. 0.48 Zona Kasus Tinggi
## 14 KABUPATEN SUMEDANG 194 0.3 Zona Kasus Tinggi
## 15 KABUPATEN KUNINGAN 178. 0.23 Zona Kasus Tinggi
## 16 KOTA CIREBON 173. 0.34 Zona Kasus Tinggi
## 17 KOTA BEKASI 158. 0.62 Zona Kasus Tinggi
## 18 KABUPATEN KARAWANG 128. 0.58 Zona Kasus Tinggi
## 19 KABUPATEN GARUT 120. 0.43 Zona Kasus Tinggi
## 20 KABUPATEN CIAMIS 113. 0.77 Zona Kasus Tinggi
## 21 KABUPATEN MAJALENGKA 94.2 0.86 Zona Relatif Aman
## 22 KABUPATEN CIREBON 76.8 0.33 Zona Relatif Aman
## 23 KABUPATEN CIANJUR 74.7 0.57 Zona Relatif Aman
## 24 KABUPATEN BOGOR 59.9 0.68 Zona Relatif Aman
## 25 KABUPATEN BEKASI 58.1 0.37 Zona Relatif Aman
## 26 KABUPATEN SUKABUMI 29.7 0.48 Zona Relatif Aman
## 27 KABUPATEN INDRAMAYU 27.6 0.38 Zona Relatif Aman
##
## === DAFTAR LENGKAP WILAYAH PER KATEGORI ===
## # A tibble: 4 × 3
## Kategori_Risiko Jumlah Wilayah
## <chr> <int> <chr>
## 1 Zona Kasus Tinggi 14 KABUPATEN BANDUNG BARAT, KABUPAT…
## 2 Zona Relatif Aman 7 KABUPATEN BEKASI, KABUPATEN BOGO…
## 3 Zona Bahaya (Kasus & Kematian tinggi) 4 KABUPATEN PURWAKARTA, KABUPATEN …
## 4 Zona Fatalitas Tinggi 2 KABUPATEN BANDUNG, KABUPATEN TAS…
Interpretasi Klasifikasi Risiko DBD
Berdasarkan kombinasi insidensi (jumlah kasus per 100.000 penduduk) dan Case Fatality Rate (CFR), seluruh 27 wilayah diklasifikasikan ke dalam empat zona risiko DBD:
Zona Kasus Tinggi (14 wilayah):
Wilayah dengan insidensi tinggi (>100/100.000) namun CFR relatif
rendah (≤1%).
Prioritas intervensi: pengendalian vektor dan
surveilans kasus, karena meskipun fatalitas rendah, jumlah kasus
signifikan tetap berdampak pada beban kesehatan masyarakat.
Zona Bahaya (4 wilayah: KOTA BANJAR, KOTA CIMAHI,
KABUPATEN SUBANG, KABUPATEN PURWAKARTA):
Wilayah dengan kasus tinggi sekaligus tingkat kematian
tinggi.
Prioritas intervensi: tindakan darurat kesehatan,
peningkatan pelayanan kesehatan, pengendalian vektor intensif, dan
sosialisasi kewaspadaan masyarakat.
Zona Fatalitas Tinggi (2 wilayah: KABUPATEN BANDUNG,
KABUPATEN TASIKMALAYA):
Meski jumlah kasus mungkin moderat, CFR tinggi menunjukkan
kualitas pelayanan klinis perlu ditingkatkan, misalnya
melalui kesiapan fasilitas kesehatan dan perawatan pasien DBD.
Zona Relatif Aman (7 wilayah):
Wilayah dengan insidensi rendah dan CFR rendah. Risiko DBD
minimal.
Prioritas intervensi: pemeliharaan pencegahan untuk
mempertahankan kondisi aman.
Interpretasi
Visualisasi menunjukkan titik-titik data rapat mengikuti
garis merah (y = x) untuk 0–6.000 kasus, menandakan
prediksi model Negative Binomial akurat.
Hanya 2 titik ekstrem (>6.000 kasus) sedikit di
bawah garis, menunjukkan under-prediction ringan. Tidak
ada penyimpangan sistematis → model stabil, tidak bias, dan
sesuai dengan data.
Model dapat diandalkan untuk perencanaan pengendalian,
simulasi intervensi, dan proyeksi beban DBD.
Analisis epidemiologi kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Jawa Barat menunjukkan bahwa penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan signifikan, dengan distribusi yang tidak merata.
Secara keseluruhan, DBD di Jawa Barat merupakan penyakit lingkungan perkotaan yang dapat dikendalikan melalui pengelolaan lingkungan, pengurangan kepadatan, peningkatan sanitasi, dan sistem surveilans yang kuat.
| Prioritas | Sasaran | Tindakan Spesifik |
|---|---|---|
| Tinggi | Zona Bahaya | Deklarasi darurat lokal, peningkatan kapasitas rumah sakit, pelatihan tenaga medis untuk respons cepat. |
| Tinggi | Zona Kasus Tinggi | Pengendalian vektor terpadu, pengelolaan sampah, edukasi masyarakat tentang pencegahan DBD. |
| Sedang | Semua wilayah | Peningkatan sanitasi dasar, pemantauan jentik berkala, integrasi data DBD untuk surveilans real-time. |
| Rendah | Zona Relatif Aman | Pemeliharaan sanitasi dan pemantauan rutin untuk mencegah eskalasi risiko. |
Rekomendasi kebijakan provinsi: fokuskan intervensi dan alokasi sumber daya berdasarkan peta risiko dan prioritas lingkungan, gunakan surveilans digital, dan dorong partisipasi aktif masyarakat untuk keberlanjutan pengendalian DBD.
Norshidah, M., & Ahmad, A. (2023). Projecting the future incidence and burden of dengue in Southeast Asia. Nature Communications, 14, 41017. https://doi.org/10.1038/s41467-023-41017-y
Stanaway, J. D., Shepard, D. S., Undurraga, E. A., Halasa, Y. A., Coffeng, L. E., Brady, O. J., … Murray, C. J. L. (2016). Assessing the global burden of dengue: Incidence, mortality, and disability-adjusted life years (DALYs) for 126 countries, 1990–2013. PLoS Neglected Tropical Diseases, 10(8), e0004899. https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0004899
World Health Organization. (2024, April 30). Dengue – Global situation. https://www.who.int/emergencies/disease-outbreak-news/item/2024-DON518
World Health Organization, Regional Office for South-East Asia. (n.d.). Dengue – SEARO. Retrieved from https://www.who.int/southeastasia/health-topics/dengue-and-severe-dengue