1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular infeksi yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.Penularannya sangat dipengaruhi oleh interaksi antara agen penyakit, manusia sebagai inang, serta kondisi lingkungan yang mendukung perkembangbiakan vektor tersebut. Penyakit ini hingga kini masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pada minggu ke-43 tahun 2024 dilaporkan terdapat 210.644 kasus dengan 1.239 kematian akibat DBD yang terjadi di 259 kabupaten/kota pada 32 provinsi di Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa DBD masih menjadi tantangan besar dalam upaya pengendalian penyakit menular di Indonesia.

Provinsi Jawa Barat termasuk salah satu wilayah dengan risiko tinggi terhadap penyebaran DBD karena memiliki jumlah penduduk yang besar dan kepadatan yang tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Jawa Barat merupakan provinsi terpadat kedua setelah DKI Jakarta dengan tingkat kepadatan mencapai 1.359 jiwa per km². Kondisi ini diperparah oleh faktor lingkungan dan perilaku masyarakat yang dapat mendukung perkembangbiakan nyamuk penular dengue. Berdasarkan data Open Data Jabar, jumlah kasus DBD di Jawa Barat mengalami peningkatan signifikan, yaitu dari 19.328 kasus pada tahun 2023 menjadi 61.423 kasus pada tahun 2024, atau terjadi peningkatan sekitar 217,79%. Lonjakan ini mengindikasikan bahwa penyakit DBD masih menjadi ancaman nyata bagi kesehatan masyarakat di wilayah tersebut.

Berdasarkan kondisi tersebut, sangat penting dilakukan analisis terhadap penyebaran kasus DBD di setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Analisis ini perlu mempertimbangkan beberapa variabel seperti jumlah kasus, jumlah penduduk, serta jumlah kematian akibat DBD. Hasilnya diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai proporsi dan pola sebaran penyakit ini di setiap wilayah, sehingga dapat menjadi dasar bagi pemerintah daerah dalam menentukan prioritas penanganan dan merancang strategi pencegahan yang lebih tepat dan efektif.

1.2 Rumusan Masalah

Terdapat beberapa rumusan masalah dari penelitian ini, yaitu :

  1. Bagaimana sebaran jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024?
  2. Bagaimana hubungan antara jumlah penduduk dengan jumlah kasus DBD di kabupaten/kota tersebut?
  3. Bagaimana perbandingan antara jumlah kasus DBD dan jumlah kasus meninggal di masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat?
  4. Kabupaten/kota mana yang memiliki tingkat kasus DBD dan kematian tertinggi pada tahun 2024?

1.3 Tujuan Penelitian

Terdapat pula tujuan masalah dari penelitian ini, yaitu :

  1. Mengetahui sebaran jumlah kasus DBD di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2024.
  2. Menganalisis hubungan antara jumlah penduduk dengan jumlah kasus DBD di wilayah tersebut.
  3. Membandingkan jumlah kasus DBD dengan jumlah kematian akibat DBD di setiap kabupaten/kota.
  4. Mengidentifikasi beban penyakit di kabupaten/kota sebagai dasar penyusunan kebijakan kesehatan daerah.

1.4 Batasan Penelitian

Penelitian ini berfokus pada pengkajian ukuran epidemiologis penyebaran kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024 dengan menggunakan data sekunder yang bersumber dari Open Data Jabar dan instansi resmi terkait. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jumlah kasus DBD, jumlah kematian akibat DBD, serta jumlah penduduk pada masing-masing kabupaten/kota di Jawa Barat. Analisis difokuskan pada perhitungan prevalensi dan Case Fatality Rate (CFR) untuk menggambarkan tingkat penyebaran dan keparahan penyakit. Penelitian ini tidak membahas faktor-faktor penyebab secara mendalam seperti kondisi lingkungan, perilaku masyarakat, atau variabel iklim, melainkan terbatas pada analisis ukuran epidemiologis berdasarkan data agregat tahun 2024.

2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

Secara epidemiologis, kemunculan suatu penyakit menular dapat dijelaskan melalui model segitiga epidemiologi (epidemiologic triangle) yang melibatkan tiga unsur utama, yaitu agen sebagai penyebab penyakit, inang (host) sebagai individu yang rentan terinfeksi, serta lingkungan (environment) yang mendukung terjadinya penularan. Hubungan timbal balik antara ketiga komponen tersebut berperan penting dalam menentukan timbulnya serta penyebaran penyakit pada suatu populasi.

Model Agent–Host–Environment merupakan kerangka klasik dalam epidemiologi penyakit menular yang menjelaskan tiga komponen utama: agen penyebab (agent), inang yang rentan (host), dan kondisi lingkungan (environment) yang memfasilitasi atau menahan proses penyakit. Dalam konteks Demam Berdarah Dengue (DBD):

  • Agen : virus dengue (serotipe DENV‑1 hingga DENV‑4) yang ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus.

  • Host : manusia dengan berbagai karakteristik (umur, status imun, perilaku), yang menentukan kerentanan terhadap infeksi dan keparahan penyakit.

  • Environment : kondisi fisik (suhu, curah hujan, kelembapan), ekologi vektor (tempat berkembang biak nyamuk), dan faktor sosial/lingkungan (kepadatan penduduk, sanitasi, pengelolaan limbah) yang memengaruhi interaksi agen–host

2.2 Ukuran Frekuensi Penyakit

Ukuran frekuensi digunakan untuk menggambarkan tingkat kejadian penyakit dalam populasi.

  • Prevalensi menunjukkan proporsi individu yang menderita penyakit pada periode tertentu, dihitung dengan rumus:

\[ \text{Prevalensi} = \frac{\text{Jumlah Kasus}}{\text{Jumlah Penduduk}} \times 100.000 \]

  • Case Fatality Rate (CFR) menunjukkan proporsi penderita yang meninggal akibat penyakit, dihitung dengan:

\[ \text{CFR} = \frac{\text{Kasus Meninggal}}{\text{Kasus Total}} \times 100\% \]

Kedua ukuran ini digunakan untuk menilai beban penyakit DBD di setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.

2.3 Konsep Disease Mapping dan Analisis Spasial

Disease mapping merupakan pendekatan untuk memvisualisasikan dan menganalisis distribusi geografis penyakit. Tujuannya adalah mengidentifikasi wilayah dengan risiko tinggi serta memahami hubungan antara pola penyakit dan faktor lingkungan.

Beberapa teknik utama dalam analisis spasial antara lain:

  • Peta choropleth, digunakan untuk menampilkan nilai prevalensi atau CFR per wilayah administratif.

  • Autokorelasi spasial seperti Moran’s I dan Local Indicators of Spatial Association (LISA), untuk mengidentifikasi apakah distribusi penyakit bersifat acak atau membentuk klaster.

  • Model regresi spasial, seperti spatial lag atau spatial error, digunakan dalam penelitian lanjutan untuk menguji pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian penyakit.

Pada penelitian ini, analisis difokuskan pada pemetaan deskriptif yang menampilkan variasi prevalensi dan CFR DBD antar kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2024.

2.4 Desain Studi Epidemiologi

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif cross-sectional, karena data kasus dan populasi dikumpulkan dalam satu periode (tahun 2024).
Desain ini cocok untuk menggambarkan distribusi penyakit berdasarkan waktu dan lokasi tanpa menelusuri hubungan sebab-akibat.

2.5 Penelitian Terdahulu

Berbagai penelitian sebelumnya telah menegaskan pentingnya analisis spasial dalam memahami distribusi dan tingkat keparahan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia, khususnya melalui indikator prevalensi dan case fatality rate (CFR).

  • Faridah, L., Mindra Jaya, I. G. N., Putra, R. E., & Fauziah, N. (2021). Spatial and temporal analysis of hospitalized dengue patients in Bandung: demographics and risk. Tropical Medicine and Health, 49(1), 63.
    https://tropmedhealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s41182-021-00329-9
    Studi ini menganalisis distribusi spasial dan temporal pasien DBD di Kota Bandung dan menemukan bahwa kepadatan penduduk dan curah hujan berkontribusi terhadap variasi prevalensi kasus.

  • Sari, Y. I., Adelwin, Y., & Rinawan, F. R. (2020). Land use changes and cluster identification of dengue hemorrhagic fever cases in Bandung, Indonesia. Tropical Medicine & Infectious Disease, 5(2), 70.
    https://www.mdpi.com/2414-6366/5/2/70
    Penelitian ini memetakan klaster DBD di Kota Bandung dan menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan memengaruhi distribusi kasus, dengan wilayah urban menunjukkan prevalensi tertinggi.

  • Maramis, A., & Wispriyono, B. (2023). Vulnerability mapping of dengue hemorrhagic fever (DHF) cases in West Java Province in 2023. International Journal of Global Health and Research, 6(2), 45–57.
    https://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/IJGHR/article/view/6720
    Penelitian ini membuat peta kerentanan DBD di tingkat kabupaten/kota di Jawa Barat dan menyoroti variasi prevalensi serta tingkat fatalitas antarwilayah.

  • Sulistyawati, S., Fatimah, A. N., & Aqmarina, N. (2023). Spatial analysis and risk factors of dengue hemorrhagic fever in Yogyakarta City, 2017–2018. International Journal of Community Medicine and Public Health, 10(5), 2267–2273.
    https://www.ijcmph.com/index.php/ijcmph/article/view/11860
    Studi ini mengombinasikan analisis spasial dengan variabel iklim dan kepadatan penduduk, menunjukkan bahwa wilayah padat penduduk memiliki prevalensi DBD lebih tinggi.

  • Naim, S., Hastono, S. P., Rahayu, S., & Puspa Wangi, M. (2022). A spatial analysis of dengue haemorrhagic fever (DHF), hygiene, and latrines in Depok City in 2020. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 14(2), 122–129.
    https://e-journal.unair.ac.id/JKL/article/view/33315
    Penelitian ini menunjukkan hubungan signifikan antara kondisi lingkungan dan distribusi kasus DBD di Kota Depok (Jawa Barat), menegaskan pentingnya faktor sosial dan sanitasi dalam variasi prevalensi penyakit.

Hasil-hasil penelitian tersebut memperkuat bahwa pendekatan spasial deskriptif berbasis prevalensi dan CFR mampu menggambarkan perbedaan beban penyakit antarwilayah. Berdasarkan temuan-temuan tersebut, penelitian ini berfokus pada analisis deskriptif spasial DBD di Jawa Barat tahun 2024, dengan menekankan perbandingan prevalensi dan CFR antar kabupaten/kota.

3 BAB 3 METODOLOGI

3.1 Data dan Sumber Data

Data bersumber dari website resmi open data jabar yang dapat diakses pada web opendata,jabarprov.go.id. Data terdiri dari tiga variabel yang bersifat kuantitatif dengan menggunakan data pada tahun 2024 yang terdiri dari 27 objek pengamatan. Tiga variebel merupakan indikator penyebaran penyakit demam berdarah dengue dan 27 objek pengamatan merupakan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Sebelum dihimpun, data dilakukan pra-pemrosesan terlebih dahulu terkait missing values. Berdasarkan hasil pra-pemrosesan data, tidak terdapat missing values sehingga data dapat diinput untuk dilakukan analisis lebih lanjut.

  1. Variabel : 3 Indikator penyebaran penyakit DBD
  2. Objek : 27 Kabupaten/Kota di Jawa Barat

3.2 Variabel

Dalam penelitian ini digunakan tiga variabel utama yang berkaitan dengan penyebaran kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024.

Untuk memberikan penjelasan dan batasan untuk setiap variabel dibutuhkan definisi operasional variabel. Definisi operasional variabel berfungsi untuk memberikan batasan yang jelas mengenai makna setiap variabel yang digunakan dalam penelitian ini, sehingga pengukuran dapat dilakukan secara objektif dan konsisten. Adapun definisi operasional dari tiap variabel adalah sebagai berikut :

Nama Variabel Definisi Satuan Sumber Data
Jumlah Kasus DBD Variabel ini menunjukkan jumlah penderita DBD yang tercatat selama tahun 2024 di masing-masing kabupaten/kota. Jiwa/orang Open Data Jabar
Jumlah Penduduk Variabel ini menunjukkan total populasi di setiap kabupaten/kota pada tahun 2024. Jiwa/orang Open Data Jabar
Kasus Meninggal Variabel ini menunjukkan jumlah kematian yang disebabkan oleh DBD di setiap kabupaten/kota pada tahun 2024. Jiwa/orang Open Data Jabar

3.3 Metode Analisis

Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan untuk menggambarkan tingkat penyebaran dan tingkat fatalitas penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024. Dua indikator utama yang digunakan adalah prevalensi DBD dan Case Fatality Rate (CFR).

3.3.1 Prevalensi

Prevalensi merupakan ukuran epidemiologi yang menunjukkan proporsi jumlah penderita suatu penyakit terhadap jumlah penduduk dalam periode tertentu. Pada penelitian ini, prevalensi DBD digunakan untuk mengetahui seberapa besar proporsi penduduk di suatu kabupaten/kota yang terinfeksi DBD selama tahun 2024.

\[ \text{Prevalensi DBD} = \frac{\text{Jumlah Kasus DBD}}{\text{Jumlah Penduduk}} \times 100\% \]

Keterangan:

  • Jumlah Kasus DBD : Total penderita DBD yang tercatat selama tahun 2024 di suatu kabupaten/kota.

  • Jumlah Penduduk : Total populasi kabupaten/kota pada tahun 2024.

3.3.2 Case Fatality Rate (CFR)

Case Fatality Rate (CFR) merupakan ukuran epidemiologi yang menunjukkan proporsi jumlah kematian akibat suatu penyakit dibandingkan dengan total kasus penyakit tersebut dalam periode tertentu. CFR memberikan gambaran mengenai tingkat keparahan dan efektivitas penanganan penyakit. Pada penelitian ini, CFR digunakan untuk mengetahui seberapa besar proporsi pengidap penyakit DBD di suatu kabupaten/kota yang meninggal selama tahun 2024.

\[ \text{CFR DBD} = \frac{\text{Jumlah Kasus Meninggal Akibat DBD}}{\text{Jumlah Kasus DBD}} \times 100\% \]

Keterangan:

  • Jumlah Kasus Meninggal Akibat DBD : Total kematian yang disebabkan oleh DBD pada tahun 2024.

  • Jumlah Kasus DBD : Total penderita DBD yang tercatat selama tahun 2024 di suatu kabupaten/kota

3.4 Alur Kerja

Pada penelitian ini, alur kerja yang digunakan adalah sebagai berikut :

3.4.1 Pengumpulan Data

Data merupakan data sekunder yang dihimpun dari sumber open data jabar, untuk variabel yang dihimpun adalah nama kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, jumlah kasus DBD di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024, Jumlah penduduk di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024, dan Jumlah kasus meninggal akibat DBD di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024.

3.4.2 Pra-pemrosesan Data

Data dilakukan analisis awal untuk melihat apakah terdapat data hilang atau data duplikat. Setelah dilakukan pra-pemrosesan, tidak terdapat data hilang atau data duplikat.

3.4.3 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui gambaran umum mengenai data penelitian. Dihitung statistik deskriptif dari data tersebut seperti mean, median, dan modus. Dilihat pula distibusi data dengan varians dan visualisasi sederhana dari data.

3.4.4 Perhitungan Epidemiologi

Setelah dilakukan pra-pemrosesan data dan analisis deskriptif, dilakukan perhitungan epidemiologi yaitu prevalensi dan case fatality rate (CFR). Prevalensi digunakan untuk menggambarkan proporsi penduduk yang terinfeksi DBD di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024. Sedangkan CFR digunakan untuk menggambarkan proporsi penderita yang meninggal akibat DBD dibandingkan dengan yang terinfeksi di kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat pada tahun 2024.

3.4.5 Analisis dan Interpretasi

Tahap ini dilakukan untuk menganalisis hasil perhitungan prevalensi dan Case Fatality Rate (CFR) pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2024. Analisis dilakukan dengan cara membandingkan nilai prevalensi dan CFR antarwilayah untuk mengetahui perbedaan tingkat penyebaran dan fatalitas penyakit DBD. Kabupaten/kota dengan nilai prevalensi tertinggi diidentifikasi sebagai wilayah dengan tingkat penyebaran kasus DBD yang paling besar, sedangkan daerah dengan nilai CFR tertinggi menunjukkan tingkat risiko kematian akibat DBD yang lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya. Hasil analisis ini kemudian diinterpretasikan dalam bentuk heat map dengan kriteria masing-masing.

3.4.6 Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan hasil analisis, disusun kesimpulan mengenai tingkat penyebaran dan tingkat fatalitas penyakit DBD di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Kesimpulan ini mencakup identifikasi wilayah dengan prevalensi dan CFR tertinggi serta gambaran umum kondisi epidemiologis di provinsi tersebut. Selanjutnya, dari hasil tersebut diberikan rekomendasi berupa kebijakan dan langkah pencegahan yang dapat diterapkan oleh pemerintah daerah dan instansi kesehatan, seperti peningkatan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), penguatan surveilans kasus, serta edukasi masyarakat mengenai upaya pencegahan DBD. Rekomendasi ini diharapkan dapat menjadi dasar dalam perencanaan strategi pengendalian dan penanggulangan DBD di masa mendatang.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut adalah tabel Prevalensi dan Cx FR di Jawa Barat menurut kabupaten/kota

{r} library(dplyr) library(readr) dbd <- read_csv("dbdjabar.csv") dbd <- dbd %>% rename( `Kabupaten/Kota` = nama_kabupaten_kota, Kasus = jumlah_kasus, Penduduk = jumlah_penduduk ) %>% mutate( Prevalensi = (Kasus / Penduduk) * 100000, CFR = (kasus_meninggal / Kasus) * 100 ) print(dbd, n = nrow(dbd), width = Inf)}

Berdasarkan hasil analisis, terdapat variasi yang cukup jelas pada angka prevalensi dan case fatality rate (CFR) penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di 27 kabupaten/kota di Jawa Barat. Wilayah dengan jumlah kasus tertinggi tercatat di Kota Bandung (7.680 kasus), diikuti oleh Depok (5.040 kasus) dan Kabupaten Bogor (3.404 kasus). Hal ini menunjukkan bahwa daerah perkotaan dengan kepadatan penduduk tinggi dan aktivitas mobilitas besar memiliki risiko penularan DBD yang lebih besar.

Sebaliknya, daerah dengan jumlah kasus terendah adalah Kabupaten Pangandaran (890 kasus) dan Kabupaten Indramayu (528 kasus). Kondisi ini dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang berbeda, seperti intensitas curah hujan, sistem sanitasi, atau efektivitas program pemberantasan sarang nyamuk (PSN).

Dari sisi prevalensi, nilai tertinggi tercatat di Kota Sukabumi (441 per 100.000 penduduk), Kota Tasikmalaya (231 per 100.000 penduduk), dan Kota Bandung (296 per 100.000 penduduk). Sementara itu, prevalensi terendah terdapat di Kabupaten Indramayu (26,7 per 100.000 penduduk) dan Kabupaten Sukabumi (29,3 per 100.000 penduduk). Pola ini menunjukkan bahwa wilayah perkotaan relatif memiliki beban penyakit lebih besar dibandingkan wilayah rural.

Untuk CFR, sebagian besar kabupaten/kota menunjukkan nilai di bawah 1%, menandakan tingkat kematian akibat DBD relatif rendah dan penanganan medis cukup efektif. Namun, beberapa daerah seperti Kabupaten Subang (1,30%) dan Kota Cimahi (1,41%) memiliki nilai CFR yang lebih tinggi dari rata-rata provinsi, yang dapat mengindikasikan keterlambatan deteksi kasus berat atau keterbatasan fasilitas kesehatan di wilayah tersebut.

Secara umum, pola distribusi DBD di Jawa Barat memperlihatkan bahwa beban penyakit lebih terkonsentrasi di daerah perkotaan padat penduduk, sementara tingkat fatalitas masih terkendali meskipun bervariasi antar wilayah.

Prevalensi dan CFR untuk keseluruh Jawa Barat:

{r} Kasus_total <- sum(dbd$Kasus) Penduduk_total <- sum(dbd$Penduduk) Meninggal_total <- sum(dbd$kasus_meninggal) prevalensi <- (Kasus_total / Penduduk_total) * 100000 cfr <- (Meninggal_total / Kasus_total) * 100 prevalensi cfr}

Berdasarkan hasil analisis data tahun 2024, diperoleh prevalensi penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Jawa Barat sebesar 119,69 per 100.000 penduduk. Angka ini menunjukkan bahwa dari setiap 100.000 penduduk, terdapat sekitar 120 orang yang terinfeksi DBD sepanjang tahun 2024. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa beban penyakit DBD di Jawa Barat masih tergolong tinggi, terutama bila dibandingkan dengan ambang kewaspadaan WHO yang menetapkan 100 kasus per 100.000 penduduk sebagai indikator situasi endemis yang perlu diwaspadai.

Sementara itu, Case Fatality Rate (CFR) atau tingkat kematian akibat DBD pada tahun yang sama mencapai 0,55%, yang berarti terdapat sekitar 5–6 kematian per 1.000 kasus DBD. Nilai CFR ini masih berada di bawah batas kewaspadaan WHO sebesar 1%, sehingga dapat dikatakan bahwa penanganan kasus DBD di Jawa Barat relatif efektif, baik dari sisi diagnosis dini maupun respons medis di fasilitas kesehatan.

Secara keseluruhan, hasil ini menunjukkan bahwa pada tahun 2024, DBD masih menjadi masalah kesehatan masyarakat penting di Jawa Barat, dengan tingkat kejadian yang cukup tinggi tetapi fatalitas yang rendah. Upaya pengendalian sebaiknya difokuskan pada pencegahan penularan dan pengendalian vektor, melalui penguatan surveilans, pemberantasan sarang nyamuk (PSN 3M Plus), serta peningkatan kesadaran masyarakat terhadap perilaku hidup bersih dan sehat. analisis kemudian dilanjutkan secara spasial untuk melihat persebaran kasus antarwilayah.

Berdasarkan peta prevalensi DBD, terlihat bahwa kasus tertinggi (296–441 per 100.000) terkonsentrasi di Kota Sukabumi, Kota Tasikmalaya, dan Kota Bandung. Ketiga wilayah tersebut merupakan daerah perkotaan dengan kepadatan penduduk tinggi, yang berpotensi mempercepat penularan virus dengue. Sementara itu, prevalensi terendah (26–74 per 100.000) tampak di wilayah seperti Kabupaten Indramayu dan Pangandaran, yang cenderung berkarakter rural dengan kepadatan penduduk lebih rendah.

Secara umum, peta ini memperlihatkan bahwa risiko DBD di Jawa Barat tahun 2024 lebih tinggi di wilayah perkotaan padat, menegaskan pentingnya pengendalian vektor dan peningkatan kewaspadaan di daerah dengan mobilitas tinggi.

Berdasarkan peta Case Fatality Rate (CFR) DBD Jawa Barat tahun 2024, terlihat bahwa tingkat kematian akibat DBD bervariasi antarwilayah, dengan rentang antara 0,23% hingga 1,41%. Wilayah dengan CFR tertinggi (ditandai warna merah tua) meliputi Kabupaten Subang, Kota Cimahi, dan Kota Tasikmalaya, yang mengindikasikan kemungkinan keterlambatan deteksi kasus berat atau keterbatasan fasilitas kesehatan di daerah tersebut. Sebaliknya, wilayah dengan CFR rendah seperti Kabupaten Indramayu, Bekasi, dan Cirebon menunjukkan efektivitas penanganan kasus serta akses layanan kesehatan yang lebih baik. Secara keseluruhan, pola ini memperlihatkan bahwa meskipun tingkat kematian DBD di Jawa Barat masih di bawah ambang kewaspadaan WHO (1%), perbedaan antarwilayah menegaskan pentingnya peningkatan kapasitas sistem kesehatan dan surveilans, khususnya di daerah dengan CFR tinggi.

5 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data tahun 2024, diperoleh prevalensi penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Jawa Barat sebesar 119,69 per 100.000 penduduk. Artinya, dari setiap 100.000 penduduk terdapat sekitar 120 orang yang terinfeksi DBD sepanjang tahun 2024. Nilai ini menunjukkan bahwa beban penyakit DBD di Jawa Barat masih tergolong tinggi, terutama jika dibandingkan dengan ambang kewaspadaan WHO (100 kasus per 100.000 penduduk) sebagai indikator situasi endemis yang perlu diwaspadai.

Sementara itu, Case Fatality Rate (CFR) atau tingkat kematian akibat DBD pada tahun yang sama mencapai 0,55%, yang berarti terdapat sekitar 5–6 kematian per 1.000 kasus DBD. Nilai CFR ini masih berada di bawah batas kewaspadaan WHO sebesar 1%, sehingga dapat dikatakan bahwa penanganan kasus DBD di Jawa Barat relatif efektif, baik dari sisi deteksi dini maupun respons medis di fasilitas kesehatan.

Secara keseluruhan, hasil ini menunjukkan bahwa pada tahun 2024, DBD masih menjadi masalah kesehatan masyarakat penting di Jawa Barat, dengan tingkat kejadian yang cukup tinggi tetapi tingkat fatalitas yang relatif rendah. Upaya pengendalian sebaiknya difokuskan pada pencegahan penularan dan pengendalian vektor, melalui penguatan surveilans, pemberantasan sarang nyamuk (PSN 3M Plus), serta peningkatan kesadaran masyarakat terhadap perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

Hasil analisis spasial menunjukkan adanya variasi distribusi penyakit antarwilayah. Berdasarkan peta prevalensi DBD, terlihat bahwa kasus tertinggi (296–441 per 100.000) terkonsentrasi di Kota Sukabumi, Kota Tasikmalaya, dan Kota Bandung. Ketiga wilayah ini merupakan daerah perkotaan dengan kepadatan penduduk tinggi, yang berpotensi mempercepat penularan virus dengue. Sebaliknya, prevalensi terendah (26–74 per 100.000) tampak di wilayah seperti Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Pangandaran, yang cenderung berkarakter rural dengan kepadatan penduduk rendah.

Berdasarkan peta CFR DBD Jawa Barat tahun 2024, tingkat kematian akibat DBD bervariasi antarwilayah dengan rentang 0,23% hingga 1,41%. Wilayah dengan CFR tertinggi meliputi Kabupaten Subang, Kota Cimahi, dan Kota Tasikmalaya, yang mengindikasikan kemungkinan keterlambatan deteksi kasus berat atau keterbatasan fasilitas kesehatan di daerah tersebut. Sebaliknya, wilayah dengan CFR rendah seperti Kabupaten Indramayu, Bekasi, dan Cirebon menunjukkan efektivitas penanganan kasus serta akses layanan kesehatan yang lebih baik.

Secara umum, pola ini memperlihatkan bahwa risiko DBD di Jawa Barat tahun 2024 lebih tinggi di wilayah perkotaan padat, menegaskan pentingnya pengendalian vektor, penguatan sistem surveilans, dan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat di daerah dengan mobilitas tinggi.

5.2 Saran

  1. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat disarankan untuk memperkuat surveilans spasial berbasis data real-time, agar dapat mengidentifikasi peningkatan kasus secara cepat dan menargetkan wilayah dengan prevalensi tinggi untuk intervensi.

  2. Pemerintah daerah dan masyarakat perlu meningkatkan partisipasi dalam program PSN 3M Plus serta edukasi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), terutama di daerah padat penduduk seperti Bandung, Depok, dan Bogor.

  3. Fasilitas kesehatan di daerah dengan CFR tinggi (misalnya Subang dan Cimahi) perlu ditingkatkan dari segi kapasitas layanan, logistik medis, dan pelatihan tenaga kesehatan agar dapat mendeteksi serta menangani kasus berat secara cepat.

  4. Penelitian lanjutan disarankan untuk menggunakan data multi-tahun dan pendekatan spasial-temporal, agar dapat memetakan pola perubahan risiko DBD dari waktu ke waktu dan mengidentifikasi determinan lingkungan secara lebih akurat.

  5. Penggunaan aplikasi analisis spasial berbasis open-source di R (misalnya tmap, sf, dan spdep) perlu dikembangkan lebih lanjut oleh instansi kesehatan dan akademisi guna mendukung kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) dalam pengendalian DBD di Jawa Barat.