Disusun oleh:
Fatih Zahrani — 140610230014
Dosen Pengampu:
I Gede Nyoman Mindra Jaya, M.Si., Ph.D.
Mata Kuliah: Epidemiologi
Tahun Ajaran: 2025/2026
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius di Indonesia. Jawa Barat termasuk provinsi dengan angka kasus DBD tinggi setiap tahunnya. Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vektor utama penyakit DBD dipengaruhi oleh faktor lingkungan, biologis, dan sosial. Suhu hangat, kelembapan tinggi, curah hujan tinggi menyediakan genangan air, kepadatan penduduk, pengelolaan sampah yang tidak optimal meningkatkan populasi secara sinergis memperkuat transmisi virus Dengue di lingkungan manusia. Provinsi Jawa Barat tercatat memiliki jumlah kasus kematian yang tinggi dibanding provinsi lain dan pola sebaran autokorelasi positif pada prevalensi penyakit. Desain studi cross-sectional digunakan untuk mengeksplorasi hubungan asosiatif dengan menganalisis data jumlah kasus DBD per kabupaten/kota tahun 2024 di Jawa Barat, lalu menggambarkan pola spasial dan ukuran epidemiologi. Didapatkan hasil bahwa terdapat pola sebaran autokorelasi positif pada prevalensi penyakit dan CFR (Case Fatality Rate). Kelompok prevalensi penyakit tinggi terdapat pada Kabupaten Pangandaran dan Kabupaten Tasikmalaya. Sementara itu, sebaran CFR yang berkelompok terdapat di beberapa wilayah yaitu antara Purwakarta dengan Subang, Majalengka dengan Ciamis dan Kota Banjar, dan Bandung dengan Kota Cimahi. Selain itu, ditemukan wilayah dengan risiko kematian tinggi diantaranya Kabupaten Sukabumi, Kota Bandung dan Kota Bogor. Hasil ini bisa menjadi dasar untuk perencanaan program kesehatan berbasis wilayah seperti penentuan lokasi prioritas fogging, PSN 3M, dan peningkatan fasilitas RS rujukan DBD.
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang bersifat akut dan masih menjadi masalah kesehatan endemik di berbagai wilayah. Dalam kondisi tertentu, angka kejadiannya dapat meningkat tajam hingga menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) maupun epidemi. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, yang merupakan vektor utama dan mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan beriklim panas serta lembap. Oleh karena itu, penularan DBD lebih sering terjadi di kawasan perkotaan dibandingkan dengan perdesaan. Gejala klinis yang umum muncul antara lain demam tinggi, sakit kepala, nyeri sendi, ruam pada kulit, muntah berulang, serta perdarahan ringan seperti mimisan [1][2].
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, dihuni oleh lebih dari 50 juta jiwa pada tahun 2024. Kepadatan penduduk yang mencapai sekitar 1.359 jiwa per kilometer persegi menjadikan provinsi ini termasuk daerah dengan tekanan populasi tinggi [3][4]. Kondisi tersebut berimplikasi pada meningkatnya risiko penularan berbagai penyakit menular, termasuk Demam Berdarah Dengue (DBD). Kepadatan dan jumlah penduduk yang besar menjadi faktor yang mendukung keberlangsungan siklus penularan penyakit, sebagaimana tercermin dari data yang menunjukkan bahwa Jawa Barat secara konsisten menempati posisi teratas dalam jumlah kasus dan insidensi DBD setiap tahunnya [5].
Kasus kematian akibat DBD di provinsi ini juga tergolong tinggi, dengan ratusan kematian tercatat setiap tahun, terutama di kawasan perkotaan padat penduduk. Pada tahun 2024, Indonesia mencatat sekitar 257.271 kasus DBD dengan total 1.461 kematian. Jumlah kasus ini jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2023, yaitu 114.720 kasus [5]. Pada tahun yang sama, di provinsi ini dilaporkan sekitar 61.423 kasus DBD dengan 339 kematian [6][7] yang menunjukkan beban penyakit yang signifikan. Kasus DBD banyak terkonsentrasi di wilayah perkotaan seperti Kota Bandung dan Kota Bogor, yang memiliki kepadatan penduduk tinggi serta kondisi lingkungan yang mendukung perkembangbiakan nyamuk pembawa virus Dengue [6]. Kondisi tersebut menunjukkan perlunya analisis epidemiologis yang mampu menggambarkan pola sebaran, tingkat prevalensi, dan tingkat keparahan penyakit DBD di Jawa Barat sebagai dasar perencanaan pengendalian yang lebih efektif.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka identifikasi masalah yang dijadikan bahan penelitian yaitu sebagai berikut:
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran epidemiologi penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Jawa Barat tahun 2024, meliputi distribusi kasus, tingkat prevalensi, dan tingkat keparahan penyakit berdasarkan case fatality rate (CFR).
Secara akademis, penelitian ini berperan sebagai penerapan langsung konsep-konsep epidemiologi dalam menganalisis studi kasus nyata, khususnya terkait perhitungan ukuran frekuensi dan keparahan penyakit serta interpretasi pola spasial penyebaran DBD di Jawa Barat. Sementara secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna bagi pihak terkait dalam mengidentifikasi wilayah prioritas penanggulangan DBD serta memahami faktor risiko lingkungan yang berkontribusi terhadap penyebarannya, sehingga dapat mendukung perencanaan program pencegahan dan pengendalian penyakit yang lebih tepat sasaran.
Penelitian ini menggunakan studi ekologi dan desain simulatif, sehingga memiliki beberapa batasan utama yang perlu dipertimbangkan dalam interpretasi hasilnya:
Penelitian ini merupakan studi ekologi yang menggunakan data sekunder agregat tingkat kabupaten/kota untuk menggambarkan hubungan antara paparan dan hasil kesehatan pada tingkat populasi. Analisis yang dilakukan hanya dapat menunjukkan pola distribusi kasus DBD antarwilayah, tanpa dapat disimpulkan secara kausal pada tingkat individu. Oleh karena itu, hasilnya berpotensi mengandung kekeliruan ekologis (ecological fallacy), yaitu perbedaan antara hubungan pada tingkat kelompok dan individu.
Data kasus DBD yang digunakan adalah data tahun 2024 pada periode waktu tertentu. Data ini tidak merepresentasikan tren jangka panjang atau variasi musiman (temporal) kasus DBD secara menyeluruh.
Karena data yang tersedia bersifat deskriptif dan agregat, perhitungan ukuran asosiasi epidemiologi (Risk Ratio atau Odds Ratio) yang memerlukan data case-control atau cohort tidak dapat dilakukan. Analisis kuantitatif dibatasi pada perhitungan ukuran frekuensi (Prevalensi/Insidensi) dan ukuran keparahan (CFR).
Rancangan studi epidemiologi Cross-Sectional yang disajikan di bab 3 bersifat konseptual dan simulatif saja, tidak didasarkan pada pengumpulan data primer yang sesungguhnya. Rancangan ini berfungsi sebagai rekomendasi metodologi lanjutan.
Konsep Agent–Host–Environment (A-H-E) atau Trias Epidemiologi adalah fondasi penting dalam epidemiologi klasik untuk memahami dan mengendalikan penyakit menular. Teori ini menekankan bahwa timbulnya suatu penyakit bukan disebabkan oleh satu faktor tunggal, melainkan hasil dari interaksi dinamis dan ketidakseimbangan antara tiga komponen utama [8]. Keseimbangan yang terganggu di antara ketiga elemen ini akan menciptakan kondisi yang mendukung terjadinya penularan dan munculnya penyakit.
Agent merupakan faktor yang kehadirannya menjadi penyebab dalam timbulnya penyakit [9]. Dalam konteks penyakit menular seperti DBD, agent adalah virus Dengue (DENV), yang terdiri dari empat serotipe (DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4). Keberadaan serotipe yang berbeda di suatu wilayah menjadi faktor penentu risiko keparahan penyakit.
Host atau inang adalah individu atau populasi yang rentan terhadap infeksi, dipengaruhi oleh faktor usia, imunitas, status gizi, dan perilaku [10]. Pada kasus DBD, yang berperan sebagai host adalah manusia. Faktor risiko pada host yang relevan meliputi status kekebalan tubuh, usia, genetik, dan perilaku. Sebagai contoh, perilaku tidak menggunakan kelambu atau lotion anti nyamuk dapat meningkatkan peluang kontak dengan vektor. Selain itu, riwayat infeksi Dengue sebelumnya (infeksi sekunder) menempatkan host pada risiko lebih tinggi untuk mengalami manifestasi klinis yang parah seperti Dengue Shock Syndrome (DSS).
Sementara itu, Environment (lingkungan) adalah faktor eksternal yang mempengaruhi interaksi antara agen dan host, seperti suhu, kelembapan, kepadatan penduduk, dan sanitasi [11]. Lingkungan dibagi menjadi fisik, biologis, dan sosial. Dalam penularan DBD, lingkungan memiliki peran kritis. Faktor lingkungan biologis utama adalah keberadaan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vektor. Faktor lingkungan fisik mencakup curah hujan tinggi yang menyediakan tempat perindukan air jenuh dan suhu hangat yang mempercepat siklus hidup nyamuk [12]. Sementara itu, faktor lingkungan sosial-ekonomi seperti kepadatan penduduk, mobilisasi manusia, serta praktik penyimpanan air yang buruk (sanitasi) sangat memengaruhi populasi nyamuk dan risiko penularan di masyarakat [13][14].
Gambar 1. Diagram Trias Epidemiologi
Hubungan antara Host, Agent, dan Environment sangat krusial dalam penularan berbagai penyakit menular. Ketiganya membentuk suatu interaksi yang saling mempengaruhi dan memperberat satu sama lain [15]. Kondisi ini menciptakan keadaan yang mempermudah agen penyakit, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk masuk dan menyerang tubuh manusia.
Gambar 2. Diagram Trias Epidemiologi pada DBD
Ukuran epidemiologi merupakan indikator vital untuk mengukur skala masalah kesehatan dalam suatu populasi dan menganalisis kaitan antara faktor paparan dengan timbulnya penyakit. Ukuran epidemiologi dibagi menjadi ukuran frekuensi dan ukuran asosiasi.
Terdapat beberapa ukuran frekuensi yang digunakan untuk menilai sejauh mana suatu penyakit terjadi atau menyebar. Ukuran yang sering digunakan antara lain sebagai berikut.
Prevalensi adalah proporsi individu dalam suatu populasi yang menderita penyakit tertentu pada waktu tertentu, baik kasus lama maupun baru. Berikut adalah persamaannya.
\[ Prevalensi = \frac{\text{Jumlah seluruh kasus baru dan lama}}{\text{Jumlah penduduk pada periode tertentu}} \times 100\% \]
Insidensi adalah jumlah kasus baru suatu penyakit yang muncul dalam populasi berisiko selama periode waktu tertentu. Berikut adalah persamaannya.
\[ Insidensi = \frac{\text{Jumlah seluruh kasus baru dalam periode tertentu}}{\text{Jumlah penduduk beresiko}} \times 100\% \]
Case Fatality Rate (CFR) adalah proporsi individu yang meninggal akibat penyakit tertentu dibandingkan dengan jumlah seluruh kasus penyakit tersebut. Berikut adalah persamaannya.
\[ CFR = \frac{\text{Jumlah kematian akibat penyakit}}{\text{Jumlah kasus penyakit}} \times 100\% \]
Attack Rate adalah proporsi individu dalam populasi yang terserang penyakit selama periode wabah atau kejadian luar biasa dalam waktu singkat. Berikut adalah persamaannya.
\[ \text{Attack Rate} = \frac{\text{Jumlah kasus baru selama wabah}}{\text{Jumlah populasi yang beresiko}} \times 100\% \]
Selain ukuran frekuensi, digunakan pula ukuran asosiasi seperti Relative Risk (RR), Odds Ratio (OR), dan Attributable Risk (AR). Ukuran ini berfungsi untuk mengukur kekuatan hubungan antara faktor risiko spesifik dengan kejadian suatu penyakit. Untuk variabel yang digunakan dalam perhitungan adalah sebagai berikut: a = jumlah kasus pada kelompok terpapar b = jumlah tidak sakit pada kelompok terpapar c = jumlah kasus pada kelompok tidak terpapar d = jumlah tidak sakit pada kelompok tidak terpapar a + b = total terpapar c + d = total tidak terpapar
Relative Risk (RR) mengukur seberapa besar risiko seseorang di kelompok terpapar faktor risiko untuk sakit dibandingkan dengan kelompok yang tidak terpapar. RR > 1 menunjukkan paparan meningkatkan risiko penyakit; RR < 1 berarti paparan bersifat protektif. Berikut adalah persamaannya.
\[ RR = \frac{\text{a/(a+b)}}{\text{c/(c+d)}} \]
Odds Ratio (OR) adalah perbandingan peluang terjadinya penyakit antara kelompok terpapar dan tidak terpapar, umumnya digunakan pada studi kasus-kontrol. OR > 1 menunjukkan peluang penyakit lebih besar pada kelompok terpapar. Berikut adalah persamaannya.
\[ OR = \frac{\text{ad}}{\text{bc}} \]
Attributable Risk (AR) adalah selisih risiko penyakit antara kelompok terpapar dan tidak terpapar yang menunjukkan besarnya risiko tambahan akibat paparan tersebut. Berikut adalah persamaannya.
\[ AR = \frac{a}{a+b} - \frac{c}{c+d} \]
Studi epidemiologi adalah cara ilmiah untuk mencari tahu apakah ada hubungan antara hal-hal yang dapat menyebabkan sakit (faktor risiko) dengan penyakit itu sendiri di masyarakat. Memilih metode studi yang tepat harus disesuaikan dengan tujuan penelitian, data yang ada, dan juga pertimbangan etika serta biaya. Berikut adalah macam-macam desain studi epidemiologi.
Studi potong lintang mengamati hubungan antara paparan dan penyakit pada waktu yang sama dalam satu populasi. Desain ini menggambarkan prevalensi penyakit serta distribusi faktor risiko secara bersamaan, sehingga sering digunakan untuk survei kesehatan masyarakat. Karena datanya dikumpulkan pada satu waktu, studi ini tidak dapat memastikan hubungan sebab-akibat (kausalitas), melainkan hanya menunjukkan asosiasi [16].
Studi kasus kontrol adalah desain studi yang dimulai dengan memilih dua kelompok yaitu kelompok Kasus (orang yang sudah sakit) dan dan kelompok Kontrol (orang yang tidak sakit). Selanjutnya, peneliti akan menelusuri ke belakang (riwayat masa lalu) untuk membandingkan paparan faktor risiko di antara kedua kelompok tersebut, untuk melihat apakah paparan tersebut berhubungan dengan penyakit yang ada [17].
Studi kohort mengikuti sekelompok individu yang awalnya bebas penyakit dan dibedakan berdasarkan status paparannya. Subjek kemudian diikuti selama periode waktu tertentu untuk melihat siapa yang mengembangkan penyakit [17].
Studi eksperimental melibatkan intervensi langsung oleh peneliti untuk menilai pengaruh suatu perlakuan atau paparan terhadap hasil kesehatan. Subjek dibagi menjadi kelompok perlakuan dan kontrol secara acak (randomisasi) untuk meminimalkan bias. Jenis studi ini merupakan desain paling kuat untuk menguji hubungan kausal karena adanya kontrol terhadap variabel luar [16].
| Desain Studi | Kelebihan | Kekurangan |
|---|---|---|
| Cross-sectional | Cepat, biaya rendah, cocok untuk prevalensi | Tidak bisa menentukan hubungan sebab-akibat |
| Case-control | Efisien untuk penyakit langka, hemat waktu | Rentan bias ingatan, tidak cocok untuk mengukur insidensi |
| Cohort | Dapat mengukur insidensi & hubungan sebab-akibat | Mahal, butuh waktu lama, risiko kehilangan subjek |
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat dan Portal Open Data Jabar dari Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. Unit analisis yang digunakan adalah 27 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat.
Variabel yang digunakan yaitu terdiri dari tiga variabel yaitu Jumlah Kasus DBD, Jumlah Penduduk, dan Jumlah Kematian akibat Kasus DBD. Masing-masing merupakan data tiap kab/kota pada tahun 2024 di di Provinsi Jawa Barat.
| Nama Variabel | Satuan | Deskripsi | Sumber Data |
|---|---|---|---|
| Jumlah Kasus DBD | Jumlah Kasus | Jumlah keseluruhan kasus Demam Berdarah Dengue yang dilaporkan di Jawa Barat pada tahun 2024. | Open Data Jawa Barat |
| Jumlah Kematian karena DBD | Jumlah Jiwa | Jumlah total kematian yang disebabkan oleh infeksi Demam Berdarah Dengue di Jawa Barat pada tahun 2024. | Open Data Jawa Barat |
| Jumlah Penduduk | Jumlah Jiwa | Jumlah total penduduk di Jawa Barat pada tahun 2024 | Badan Pusat Statistik (BPS) |
Analisis dilakukan secara deskriptif untuk menggambarkan karakteristik penyakit DBD serta menghitung besaran masalah kesehatan pada wilayah penelitian. Tahapan analisis dijelaskan sebagai berikut.
Tahap awal dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik penyakit DBD berdasarkan pendekatan agent–host–environment. Penjabaran ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai penyebab penyakit, mekanisme penularan, serta faktor lingkungan yang berperan dalam penyebarannya.
Data jumlah kasus DBD dianalisis secara deskriptif untuk melihat pola distribusi dan variasi data. Visualisasi dilakukan dalam bentuk boxplot, histogram, tabel ukuran statistik, dan peta sebaran.
Perhitungan ukuran epidemiologi dilakukan untuk menunjukkan tingkat kejadian dan keparahan penyakit menggunakan prevalensi dan Case Fatality Rate (CFR).
Hasil analisis kuantitatif dan visual kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan pola dalam jumlah kejadian kasus DBD, serta mengidentifikasi wilayah prioritas berdasarkan tingkat kejadian dan keparahan penyakit.
Gambar 3. Diagram Alur Penelitian
Analisis dilakukan secara deskriptif untuk menggambarkan karakteristik penyakit DBD serta menghitung besaran masalah kesehatan pada wilayah penelitian. Tahapan analisis dijelaskan sebagai berikut.
Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (cross-sectional), yaitu desain studi observasional yang mengukur paparan dan outcome secara bersamaan pada satu periode waktu tertentu. Desain ini digunakan untuk mengetahui gambaran prevalensi DBD dan Case Fatality Rate (CFR) di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat, serta hubungan antara faktor lingkungan dan kepadatan penduduk dengan prevalensi kasus DBD.
| Jenis Variabel | Nama Variabel | Keterangan |
|---|---|---|
| Variabel Dependen (Outcome) | Prevalensi DBD (%) | Proporsi kasus DBD terhadap jumlah penduduk pada masing-masing kabupaten/kota di Jawa Barat. |
| CFR (%) | Proporsi kematian akibat DBD dibandingkan total kasus DBD pada wilayah tertentu. | |
| Variabel Independen (Paparan) | Kepadatan penduduk (jiwa/km²) | Menggambarkan tingkat keramaian penduduk yang berpotensi meningkatkan transmisi vektor. |
| Curah hujan (mm) | Faktor lingkungan yang mempengaruhi banyaknya genangan air tempat berkembang biak nyamuk. | |
| Pelaksanaan 3M Plus | Tingkat implementasi program pencegahan DBD di masyarakat. | |
| Suhu rata-rata (°C) | Faktor iklim yang mempengaruhi siklus hidup nyamuk Aedes aegypti. | |
| Variabel Perancu (Confounder) | Usia dominan penduduk, jenis kelamin, tingkat pendidikan | Dapat memengaruhi kerentanan terhadap infeksi DBD. |
Populasi target dari penelitian ini adalah seluruh penduduk Provinsi Jawa Barat pada tahun pengamatan (tahun 2024), namun populasi terjangkau dibatasi pada penduduk di kabupaten/kota di Jawa Barat yang memiliki data lengkap (kasus DBD, kematian, dan jumlah penduduk) dalam dataset epidemiologi. Dengan demikian, unit analisis yang digunakan adalah Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat yang berjumlah 27 wilayah. Sampel yang digunakan adalah Seluruh kabupaten/kota (total sampling), karena semua unit wilayah dianalisis dalam periode waktu yang sama.
Metode pengambilan sampel dilakukan dengan total sampling, karena seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dimasukkan sebagai unit analisis. Pendekatan ini memungkinkan perbandingan langsung antarwilayah untuk melihat variasi prevalensi dan CFR DBD.
| Jenis Bias | Penjelasan |
|---|---|
| Bias seleksi | Bisa terjadi jika beberapa kabupaten/kota tidak memiliki data lengkap dan dikeluarkan dari analisis. |
| Bias informasi | Dapat muncul karena pencatatan kasus DBD di fasilitas kesehatan tidak seragam antarwilayah. |
| Bias perancu (confounding) | Faktor seperti kepadatan penduduk dan iklim mungkin berinteraksi, sehingga perlu dianalisis hati-hati. |
Desain cross-sectional dipilih karena penelitian ini bertujuan untuk:
| Variabel | Kondisi | Alasan |
|---|---|---|
| Usia | 5–14 tahun | Aktivitas di luar rumah dan imunitas yang belum sempurna. |
| Status Gizi | Kurang | Imunitas selular rendah sehingga respon imun dan memori imunologik belum berkembang sempurna. |
| Golongan Darah | AB | Pasien dengan golongan darah AB tidak memiliki antibodi anti-A dan anti-B alami, yang dapat menyebabkan respons imun dini yang lebih lemah terhadap virus dengue. |
| Jenis Kelamin | Laki-Laki | Perbedaan tingkat paparan dimana laki-laki lebih sering berada di luar rumah atau tempat kerja yang rawan gigitan nyamuk Aedes aegypti. |
| Riwayat Infeksi Sebelumnya | Terinfeksi serotipe DENV berbeda | Jika seseorang pernah terinfeksi virus dengue dengan serotipe tertentu (misal DENV-1), tubuh akan membentuk antibodi spesifik terhadap serotipe itu. Saat orang yang sama terinfeksi lagi dengan serotipe berbeda (misal DENV-2), antibodi lama tidak menetralkan virus baru sepenuhnya, tetapi justru memfasilitasi masuknya virus ke dalam sel imun, sehingga jumlah virus dalam tubuh meningkat. |
| Variabel | Kondisi | Alasan / Mekanisme |
|---|---|---|
| Curah Hujan | Tinggi | Curah hujan yang tinggi menciptakan genangan air di lingkungan perkotaan maupun rumah tangga, yang menjadi habitat ideal bagi Aedes aegypti untuk berkembang biak. Dampaknya bervariasi tergantung kondisi geografis dan sifat fisik lahan. |
| Suhu | Naik | Peningkatan suhu mempercepat siklus hidup nyamuk dari telur hingga dewasa dan mempercepat perkembangan larva menjadi pupa, sehingga meningkatkan populasi vektor dan potensi penularan DBD. |
| Pelaksanaan 3M Plus | Rendah | Praktik 3M Plus yang rendah menyebabkan air tergenang dalam waktu lama, menciptakan habitat ideal bagi jentik Aedes aegypti dan meningkatkan risiko penularan DBD. |
| Kepadatan penduduk | Tinggi | Kepadatan penduduk yang tinggi meningkatkan interaksi manusia-nyamuk dan menyediakan lebih banyak tempat penyimpanan air yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk jika tidak dibersihkan, sehingga mempercepat penyebaran virus dengue di lingkungan perkotaan. |
Gambar 4. Kerangka Konsep Penularan DBD Berdasarkan Trias Epidemiologi (Simulatif)
| Statistik | Minimum | Kuartil ke-1 | Median | Rata-rata | Kuartil ke-3 | Maksimum |
|---|---|---|---|---|---|---|
| Nilai | 400 | 989 | 1,902 | 2,275 | 3,274 | 7,68 |
Gambar 5. Histogram Jumlah Kasus DBD
Histogram menunjukkan bahwa distribusi Jumlah Kasus DBD (JK) pada kabupaten/kota di Jawa Barat cenderung tidak normal atau tidak simetris. Terdapat beberapa puncak (multimodal), dengan puncak dominan berada di sekitar rentang 1.500 hingga 2.500 kasus dan puncak sekunder di sekitar 3.000 hingga 4.000 kasus.
Meskipun ada beberapa puncak, distribusi data secara keseluruhan tampak menceng ke kanan (positively skewed). Hal ini dikonfirmasi oleh adanya frekuensi kasus yang signifikan pada rentang nilai yang lebih tinggi (di atas 4.000) dan adanya outlier pada nilai maksimum.
Gambar 6. Boxplot Jumlah Kasus DBD
Boxplot secara jelas menunjukkan adanya satu titik outlier (pencilan). Titik ini berada pada nilai tertinggi (sekitar 7.800 kasus), yang jauh di atas batas atas whisker. Keberadaan outlier ini mengindikasikan bahwa terdapat satu kabupaten/kota dengan jumlah kasus DBD yang sangat ekstrem dibandingkan dengan sebagian besar wilayah lainnya.
Sebagian besar kabupaten/kota di Jawa Barat memiliki jumlah kasus DBD antara 989 kasus (Kuartil ke-1) hingga 3.274 kasus (Kuartil ke-3).
Gambar 7. Peta Sebaran Jumlah Kasus DBD di Jawa Barat (2024)
Peta ini menunjukkan adanya disparitas geografis yang signifikan dalam beban DBD di Jawa Barat, di mana kasus DBD cenderung terklaster pada wilayah padat penduduk dan wilayah dengan aktivitas tinggi.
Sebaran kasus DBD menunjukkan adanya klaster wilayah dengan Jumlah Kasus (JK) di atas 3000 (zona merah tua). Kasus tertinggi ini terkonsentrasi di wilayah Jawa Barat bagian Barat (terutama wilayah metropolitan) dan Selatan. Wilayah-wilayah ini kemungkinan besar meliputi kota-kota besar dan padat penduduk.
Sebagian besar wilayah Jawa Barat berada pada rentang kasus menengah (1001–3000). Ini menunjukkan bahwa DBD adalah masalah yang merata di seluruh provinsi, bukan hanya terbatas pada wilayah tertentu.
Wilayah dengan kasus terendah (0–1000) cenderung berada di bagian Timur dan wilayah perbatasan yang memiliki kepadatan penduduk yang lebih rendah atau merupakan wilayah pedesaan/pegunungan.
Gambar 8. Histogram Jumlah Penduduk
Gambar 9. Boxplot Jumlah Penduduk
Gambar 10. Peta Sebaran Jumlah Penduduk
Terdapat 7 kab/kota dengan jumlah penduduk tinggi yaitu: Bogor, Bandung, Bekasi, Kota Sukabumi, Garut, Kota Bekasi, Cianjur.
| Jumlah Penduduk | Jumlah Kasus DBD | Jumlah Kematian akibat DBD | Prevalensi | CFR |
|---|---|---|---|---|
| 50.345.190 | 61.423 | 339 | 0,122% | 0,551% |
summary(jabar_merged$Prevalensi)
Min. 1st Qu. Median Mean 3rd Qu. Max.
0.02759 0.08551 0.12837 0.15133 0.19662 0.44595
Gambar 11. Peta Sebaran Prevalensi DBD
Prevalensi DBD (%) menunjukkan proporsi penduduk yang terinfeksi DBD pada masing-masing kabupaten/kota pada tahun tersebut.Warna pada peta menunjukkan perbedaan tingkat beban penyakit antarwilayah. Wilayah dengan prevalensi tinggi mengindikasikan kepadatan kasus DBD lebih besar dibanding jumlah penduduknya. Pola sebaran yang terkelompok (cluster) menandakan adanya autokorelasi spasial positif, yaitu kabupaten dengan prevalensi tinggi cenderung berdekatan dengan kabupaten lain yang juga tinggi.
summary(jabar_merged$CFR)
Min. 1st Qu. Median Mean 3rd Qu. Max.
0.0000 0.3515 0.5133 0.6104 0.7440 1.4118
Gambar 12. Peta Sebaran Case Fatality Rate DBD
CFR (%) menunjukkan tingkat keparahan penyakit, yaitu proporsi kasus DBD yang berakhir dengan kematian. CFR tinggi (warna merah tua) menunjukkan proporsi kematian yang tinggi dibanding jumlah kasus.
Jika daerah dengan prevalensi tinggi tetapi CFR rendah, berarti penularan meluas tetapi tingkat kematian terkendali, kemungkinan karena fasilitas medis cukup baik. Sebaliknya, daerah dengan prevalensi sedang tetapi CFR tinggi dapat menandakan keterlambatan deteksi, akses pelayanan terbatas, atau kasus berat lebih dominan.
Data spasial peta sebaran Jumlah Kasus DBD, Sebaran Prevalensi Penyakit, dan Sebaran Case Fatality Rate secara implisit mendukung hipotesis bahwa urbanisasi dan kepadatan penduduk memiliki hubungan kuat dengan kasus DBD. Wilayah merah tua umumnya adalah pusat urbanisasi. Lingkungan perkotaan yang padat dan masih kurang dalam pengelolaan sampah menyediakan kondisi ideal bagi nyamuk Aedes aegypti yang memicu peningkatan transmisi.
Terlihat adanya pola sebaran autokorelasi positif pada prevalensi penyakit dan CFR (Case Fatality Rate). Kelompok prevalensi penyakit tinggi terdapat pada Kabupaten Pangandaran dan Kabupaten Tasikmalaya. Sementara itu, sebaran CFR yang berkelompok terdapat di beberapa wilayah yaitu antara Purwakarta dengan Subang, Majalengka dengan Ciamis dan Kota Banjar, dan Bandung dengan Kota Cimahi. Selain itu, ditemukan wilayah dengan risiko kematian tinggi diantaranya Kabupaten Sukabumi, Kota Bandung dan Kota Bogor.
Hasil analisis penelitian ini dapat menjadi landasan untuk alokasi sumber daya bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat agar lebih menargetkan tim pemberantasan sarang nyamuk (PSN), alokasi anggaran, dan kampanye 3M Plus ke wilayah dengan resiko tinggi kejadian DBD.
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan menggunakan dan mencari data individu yang tersedia agar bisa mengestimasi OR/RR. Selain itu, klaster-klaster kasus tinggi bisa menjadi fokus untuk analisis multivariat lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh dan korelasi dari variabel independen pendukung kasus DBD.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Statistik Spasial atas arahan dan bimbingan selama proses pembelajaran. Penulis juga mengakui bahwa dalam penyusunan mini project ini, penulis menggunakan bantuan AI tools (ChatGPT, OpenAI) untuk mendukung proses penulisan kode, pembuatan peta spasial, serta penyusunan laporan. Seluruh keputusan, interpretasi, dan kesimpulan dari hasil analisis sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
[1] Anwar, A., & Ariati, J. (2014). Model Prediksi Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan Faktor Iklim di Kota Bogor, Jawa Barat. Indonesian Bulletin of Health Research, 42(4), 20092.
[2] Ahmad, Z. F., Mongilong, N. S., Kadir, L., Nurdin, S. I., & Modo, D. R. (2023). Perbandingan manifestasi klinis penderita demam berdarah. Indonesian Journal of Pharmaceutical Education, 3(1).
[3] Badan Pusat Statistik Indonesia. (2025). Penduduk, Laju Pertumbuhan Penduduk, Distribusi Persentase Penduduk, Kepadatan Penduduk, Rasio Jenis Kelamin Penduduk Menurut Provinsi, 2024. Diakses pada 5 November 2025 dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/3V1ZSBFRUY3ITbFePYTNsVWNGcDZjek53YkhsNFFUMDk1MW==/jumlah-penduduk–laju-pertumbuhan-penduduk–distribusi-persentase-penduduk–kepadatan-penduduk–rasio-jenis-kelamin-penduduk-menurut-provinsi–2020.html?year=2024
[4] GoodStats. (2024). Jawa Barat Jadi Provinsi dengan Penduduk Terbanyak 2024. GoodStats. https://data.goodstats.id/statistic/jawa-barat-jadi-provinsi-dengan-penduduk-terbanyak-2024-ulgWO
[5] Kementerian Kesehatan RI. (2024). Waspada DBD di Musim Kemarau. Kementerian Kesehatan. https://kemkes.go.id/id/waspada-dbd-di-musim-kemarau
[6] Pemerintah Provinsi Jawa Barat. (2024). Jumlah kasus penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2024 [Dataset]. Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Barat. https://opendata.jabarprov.go.id/id/dataset/jumlah-kasus-penyakit-demam-berdarah-dengue-dbd-berdasarkan-kabupatenkota-di-jawa-barat
[7] Pemerintah Provinsi Jawa Barat. (2024). Jumlah Kasus Meninggal Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan Jenis Kelamin di Jawa Barat tahun 2024 [Dataset]. Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Barat. https://opendata.jabarprov.go.id/id/dataset/jumlah-kasus-meninggal-demam-berdarah-dengue-dbd-berdasarkan-jenis-kelamin-di-jawa-barat
[8] Mulyani, H., Djatna, T., & Sitanggang, I. (2017). Agent Based Modeling on Dynamic Spreading Dengue Fever Epidemic. TELKOMNIKA Telecommunication Computing Electronics and Control, 15, 1380–1388. https://doi.org/10.12928/telkomnika.v15i3.4511
[9] Rwezaura, H., Diagne, M., Omame, A., De Espindola, A., & Tchuenche, J. (2022). Mathematical modeling and optimal control of SARS-CoV-2 and tuberculosis co-infection: a case study of Indonesia. Modeling Earth Systems and Environment, 8, 5493–5520. https://doi.org/10.1007/s40808-022-01430-6
[10] Khan, M., & F. (2021). Dengue infection modeling and its optimal control analysis in East Java, Indonesia. Heliyon, 7. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2021.e06023
[11] Ramadona, A., Lazuardi, L., Hii, Y., Holmner, Å., Kusnanto, H., & Rocklöv, J. (2016). Prediction of Dengue Outbreaks Based on Disease Surveillance and Meteorological Data. PLoS ONE, 11. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0152688
[12] Sasmita, H., Neoh, K., Yusmalinar, S., Anggraeni, T., Chang, N., Bong, L., Putra, R., Sebayang, A., Silalahi, C., Ahmad, I., & Tu, W. (2021). Ovitrap surveillance of dengue vector mosquitoes in Bandung City, West Java Province, Indonesia. PLoS Neglected Tropical Diseases, 15. https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0009896
[13] Amelinda, Y., Wulandari, R., & Asyary, A. (2022). The effects of climate factors, population density, and vector density on the incidence of dengue hemorrhagic fever in South Jakarta Administrative City 2016–2020: an ecological study. Acta Bio Medica: Atenei Parmensis, 93. https://doi.org/10.23750/abm.v93i6.13503
[14] Ramsay, E., Faber, P., Fleming, G., Duffy, G., Agussalim, A., Barker, F., Saifuddaolah, M., Taruc, R., Tela, A., Vamosi, R., Vilsoni, S., & Brown, S. (2025). Causal drivers of mosquito abundance in urban informal settlements. Environmental Research Letters, 20. https://doi.org/10.1088/1748-9326/ad7d51
[15] Sholihah, K., Junaedi, M., & Riwati Malika. (2025). Literatur Review: Hubungan Host dan Environment dengan Kejadian Penyakit Menular. Saintekes: Jurnal Sains, Teknologi dan Kesehatan, 4(3), 147–154. https://ejournal.litka.ac.id/index.php/saintekes/article/view/374
[16] Harapan, H., Wagner, A., Yufika, A., Winardi, W., Anwar, S., Gan, A., Setiawan, A., Rajamoorthy, Y., Sofyan, H., & Mudatsir, M. (2020). Acceptance of a COVID-19 Vaccine in Southeast Asia: A Cross-Sectional Study in Indonesia. Frontiers in Public Health, 8. https://doi.org/10.3389/fpubh.2020.00381
[17] Restuti, R., Tamin, S., Nugroho, D., Hutauruk, S., & Mansyur, M. (2022). Factors affecting the occurrence of otitis media with effusion in preschool and elementary school children: a comparative cross-sectional study. BMJ Open, 12. https://doi.org/10.1136/bmjopen-2022-065291
Link Dashboard: Link Syntax Dashboard: