PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ketimpangan gender merupakan salah satu isu krusial dalam pembangunan berkelanjutan yang mendapat perhatian khusus dalam Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya pada tujuan ke-5 tentang kesetaraan gender. Di Indonesia, Indeks Ketimpangan Gender (IKG) atau Gender Inequality Index (GII) digunakan sebagai indikator utama untuk mengukur kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai dimensi kehidupan.

Provinsi Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia memiliki dinamika ketimpangan gender yang kompleks. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat tahun 2024, nilai IKG provinsi sebesar 0,458, yang menandakan masih terdapat ketimpangan substansial antara laki-laki dan perempuan dalam akses terhadap kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan partisipasi ekonomi.

Analisis spasial menjadi penting karena ketimpangan gender tidak terdistribusi secara merata di seluruh wilayah. Faktor geografis, ekonomi, sosial, dan budaya yang bervariasi antar kabupaten/kota dapat menciptakan pola spasial tertentu. Dengan memahami pola spasial dan faktor-faktor yang mempengaruhi IKG, pembuat kebijakan dapat merancang intervensi yang lebih tepat sasaran dan efektif.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimana distribusi dan pola spasial Indeks Ketimpangan Gender di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat?
  2. Apakah terdapat autokorelasi spasial global dalam distribusi IKG di Jawa Barat?
  3. Apakah terdapat klaster lokal (hotspot atau coldspot) ketimpangan gender di wilayah tertentu?
  4. Variabel-variabel apa saja yang secara signifikan mempengaruhi IKG di Jawa Barat?
  5. Model regresi spasial manakah yang paling sesuai untuk menjelaskan variasi IKG?
  6. Bagaimana efek spill-over spasial dari variabel independen terhadap IKG?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

  1. Menganalisis distribusi spasial IKG di 26 kabupaten/kota Jawa Barat
  2. Menguji autokorelasi spasial global menggunakan Indeks Moran’s I dan Geary’s C
  3. Mengidentifikasi klaster lokal menggunakan analisis LISA (Local Indicators of Spatial Association)
  4. Mengidentifikasi faktor-faktor signifikan yang mempengaruhi IKG
  5. Membandingkan berbagai model regresi spasial (OLS, SAR, SEM, SDM, SDEM, SAC)
  6. Memilih model terbaik dan menginterpretasikan hasil untuk rekomendasi kebijakan

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

  1. Akademis: Menambah literatur empiris tentang analisis spasial ketimpangan gender di Indonesia
  2. Praktis: Memberikan informasi untuk perencanaan pembangunan daerah yang responsif gender
  3. Kebijakan: Menjadi dasar evidence-based policy dalam mengurangi ketimpangan gender di Jawa Barat

TINJAUAN PUSTAKA

Indeks Ketimpangan Gender (IKG)

Indeks Ketimpangan Gender (Gender Inequality Index - GII) adalah ukuran komposit yang dikembangkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) untuk mengukur ketimpangan berbasis gender dalam tiga dimensi:

  1. Kesehatan Reproduksi: Diukur melalui angka kematian ibu (maternal mortality ratio) dan tingkat kelahiran remaja
  2. Pemberdayaan: Diukur melalui proporsi kursi parlemen yang dipegang perempuan dan tingkat pendidikan menengah ke atas
  3. Partisipasi Ekonomi: Diukur melalui partisipasi angkatan kerja perempuan dan laki-laki

Nilai IKG berkisar antara 0 (kesetaraan sempurna) hingga 1 (ketimpangan maksimal). Semakin tinggi nilai IKG, semakin besar ketimpangan gender di suatu wilayah.

Analisis Spasial

Analisis spasial adalah teknik untuk menganalisis data yang memiliki komponen lokasi geografis. Tobler (1970) merumuskan Hukum Pertama Geografi: “Everything is related to everything else, but near things are more related than distant things”. Prinsip ini menjadi dasar pentingnya mempertimbangkan dependensi spasial dalam analisis.

Autokorelasi Spasial Global

Autokorelasi spasial global mengukur tingkat kemiripan nilai atribut di lokasi yang berdekatan secara keseluruhan. Dua ukuran utama:

1. Indeks Moran’s I

\[I = \frac{n}{\sum_{i}\sum_{j}w_{ij}} \cdot \frac{\sum_{i}\sum_{j}w_{ij}(x_i - \bar{x})(x_j - \bar{x})}{\sum_{i}(x_i - \bar{x})^2}\]

di mana:

  • \(n\) = jumlah observasi
  • \(w_{ij}\) = elemen matriks pembobot spasial
  • \(x_i\) = nilai variabel di lokasi \(i\)
  • \(\bar{x}\) = rata-rata variabel

Nilai Moran’s I berkisar antara -1 (dispersi sempurna) hingga +1 (klaster sempurna). Nilai mendekati 0 menunjukkan pola acak.

2. Indeks Geary’s C

\[C = \frac{(n-1)\sum_{i}\sum_{j}w_{ij}(x_i - x_j)^2}{2\sum_{i}\sum_{j}w_{ij}\sum_{i}(x_i - \bar{x})^2}\]

Nilai Geary’s C berkisar antara 0 (klaster sempurna) hingga 2 (dispersi sempurna). Nilai mendekati 1 menunjukkan pola acak.

Autokorelasi Spasial Lokal (LISA)

LISA (Local Indicators of Spatial Association) mengidentifikasi klaster lokal atau outlier. Anselin (1995) mendefinisikan empat kuadran:

  • High-High (HH): Nilai tinggi dikelilingi nilai tinggi (hotspot)
  • Low-Low (LL): Nilai rendah dikelilingi nilai rendah (coldspot)
  • High-Low (HL): Nilai tinggi dikelilingi nilai rendah (outlier)
  • Low-High (LH): Nilai rendah dikelilingi nilai tinggi (outlier)

Model Regresi Spasial

Model regresi klasik (OLS) mengasumsikan independensi antar observasi. Ketika terdapat dependensi spasial, asumsi ini dilanggar dan diperlukan model regresi spasial.

Ordinary Least Squares (OLS)

Model baseline tanpa efek spasial:

\[y = X\beta + \varepsilon\]

Spatial Autoregressive Model (SAR)

Model dengan lag spasial variabel dependen:

\[y = \rho Wy + X\beta + \varepsilon\]

di mana \(\rho\) adalah koefisien autoregresif spasial dan \(W\) adalah matriks pembobot spasial.

Spatial Error Model (SEM)

Model dengan autokorelasi pada error:

\[y = X\beta + u\] \[u = \lambda Wu + \varepsilon\]

di mana \(\lambda\) adalah koefisien autokorelasi error spasial.

Spatial Durbin Model (SDM)

Model dengan lag spasial pada variabel dependen dan independen:

\[y = \rho Wy + X\beta + WX\theta + \varepsilon\]

Spatial Durbin Error Model (SDEM)

Model dengan lag spasial pada variabel independen dan autokorelasi error:

\[y = X\beta + WX\theta + u\] \[u = \lambda Wu + \varepsilon\]

Spatial Autoregressive Combined (SAC)

Model gabungan SAR dan SEM:

\[y = \rho Wy + X\beta + u\] \[u = \lambda Wu + \varepsilon\]

Pemilihan Model

Pemilihan model terbaik dilakukan berdasarkan:

  1. Akaike Information Criterion (AIC): Model dengan AIC terendah dipilih
  2. Bayesian Information Criterion (BIC): Model dengan BIC terendah dipilih
  3. R-squared (\(R^2\)): Proporsi variansi yang dijelaskan model
  4. Root Mean Square Error (RMSE): Ukuran kesalahan prediksi
  5. Uji Lagrange Multiplier (LM): Menguji signifikansi efek spasial

METODOLOGI PENELITIAN

Data dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari:

  1. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat - Data IKG dan variabel sosial-ekonomi tahun 2023
  2. Geospasial Indonesia - Shapefile batas administratif kabupaten/kota Jawa Barat

Unit Analisis

Unit analisis adalah 26 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, terdiri dari:

  • 18 Kabupaten
  • 9 Kota

Variabel Penelitian

Variabel Dependen:

  • \(Y\) = Indeks Ketimpangan Gender (IKG), skala 0-1

Variabel Independen:

Kode Variabel Keterangan
X1 NonFaskes Melahirkan Persentase kelahiran di luar fasilitas kesehatan
X2 Usia Anak Pertama Muda Persentase wanita melahirkan anak pertama di usia muda
X3 TPAK Laki-Laki Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja laki-laki (%)
X4 TPAK Perempuan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja perempuan (%)
X5 Pendidikan Laki-Laki Rata-rata lama sekolah laki-laki (tahun)
X6 Pendidikan Perempuan Rata-rata lama sekolah perempuan (tahun)
X7 Parlemen Laki-Laki Persentase anggota parlemen laki-laki
X8 Parlemen Perempuan Persentase anggota parlemen perempuan

Metode Analisis

Analisis dilakukan melalui tahapan berikut:

Analisis Deskriptif

Menghitung statistik deskriptif (mean, median, standar deviasi, minimum, maksimum) untuk semua variabel.

# Statistik deskriptif
summary(data)
sd(data$Y)

Visualisasi Peta Spasial

Membuat peta koropleth untuk visualisasi distribusi IKG.

# Peta distribusi IKG
tm_shape(jabar_sf) +
  tm_fill("Y", palette = "YlOrRd", title = "IKG") +
  tm_borders() +
  tm_layout(title = "Distribusi IKG di Jawa Barat")

Pembentukan Matriks Pembobot Spasial

Menggunakan kontiguitas Queen (berbagi sisi atau titik sudut).

# Matriks tetangga Queen
nb <- poly2nb(jabar_sf, queen = TRUE)
lw <- nb2listw(nb, style = "W", zero.policy = TRUE)

Uji Autokorelasi Spasial Global

# Moran's I
moran.test(jabar_sf$Y, lw, zero.policy = TRUE)

# Geary's C
geary.test(jabar_sf$Y, lw, zero.policy = TRUE)

Analisis LISA

# Local Moran's I
lisa <- localmoran(jabar_sf$Y, lw, zero.policy = TRUE)

Uji Multikolinearitas

Menggunakan Variance Inflation Factor (VIF).

# VIF
model_ols <- lm(Y ~ X1 + X2 + X3 + X4 + X6 + X8, data = jabar_sf)
vif(model_ols)

Pemodelan Regresi Spasial

# OLS
model_ols <- lm(Y ~ X1 + X2 + X3 + X4 + X6 + X8, data = df)

# SAR
model_sar <- lagsarlm(Y ~ X1 + X2 + X3 + X4 + X6 + X8, 
                      data = df, listw = lw, zero.policy = TRUE)

# SEM
model_sem <- errorsarlm(Y ~ X1 + X2 + X3 + X4 + X6 + X8, 
                        data = df, listw = lw, zero.policy = TRUE)

# SDM
model_sdm <- lagsarlm(Y ~ X1 + X2 + X3 + X4 + X6 + X8, 
                      data = df, listw = lw, type = "mixed", 
                      zero.policy = TRUE)

# SDEM
model_sdem <- errorsarlm(Y ~ X1 + X2 + X3 + X4 + X6 + X8, 
                         data = df, listw = lw, etype = "emixed", 
                         zero.policy = TRUE)

# SAC
model_sac <- sacsarlm(Y ~ X1 + X2 + X3 + X4 + X6 + X8, 
                      data = df, listw = lw, zero.policy = TRUE)

Pemilihan Model Terbaik

Membandingkan AIC, BIC, \(R^2\), dan RMSE dari semua model.

# Perbandingan model
AIC(model_ols, model_sar, model_sem, model_sdm, model_sdem, model_sac)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Statistik Deskriptif

Deskripsi Variabel Dependen (IKG)

Tabel berikut menyajikan statistik deskriptif Indeks Ketimpangan Gender di 26 kabupaten/kota Jawa Barat:

Statistik Nilai
Minimum 0.162
Kuartil 1 (Q1) 0.352
Median 0.386
Mean 0.394
Kuartil 3 (Q3) 0.445
Maksimum 0.577
Standar Deviasi 0.091
Varians 0.008

Interpretasi:

  • Nilai IKG terendah adalah 0.162 dan tertinggi 0.577, menunjukkan heterogenitas ketimpangan gender yang cukup besar antar wilayah
  • Rata-rata IKG sebesar 0.394 lebih rendah dari nilai provinsi (0.458), mengindikasikan bahwa sebagian besar kabupaten/kota memiliki ketimpangan lebih rendah dari rata-rata provinsi
  • Standar deviasi 0.091 menunjukkan variabilitas moderat antar wilayah
  • Distribusi cenderung simetris (mean ≈ median)

Deskripsi Variabel Independen

Statistik Deskriptif Variabel Independen
Variabel Minimum Median Rata-rata Maksimum Std. Dev
X1 (NonFaskes) 0.4 2.25 3.89 15.1 3.82
X2 (Ibu Muda) 1.8 8.65 9.74 21.8 5.29
X3 (TPAK L) 78.5 85.40 85.11 91.2 3.45
X4 (TPAK P) 42.3 51.75 52.81 65.8 5.67
X5 (Pendidikan L) 8.2 9.35 9.42 11.1 0.85
X6 (Pendidikan P) 7.5 8.50 8.54 10.2 0.71
X7 (Parlemen L) 75.0 85.00 84.23 95.0 5.13
X8 (Parlemen P) 15.0 20.00 19.77 30.0 3.98

Temuan Penting:

  1. X1 (Kelahiran NonFaskes): Rata-rata 3.89%, dengan rentang 0.40%-15.10%. Masih terdapat wilayah dengan persentase tinggi kelahiran di luar fasilitas kesehatan
  2. X2 (Ibu Muda): Rata-rata 9.74%, menunjukkan masih cukup tingginya pernikahan/kehamilan usia muda
  3. X4 vs X3 (TPAK): Gap partisipasi kerja laki-laki (85.11%) dan perempuan (52.81%) mencapai 32.3 poin persentase, mencerminkan ketimpangan ekonomi gender
  4. X6 vs X5 (Pendidikan): Gap pendidikan laki-laki (9.42 tahun) dan perempuan (8.54 tahun) adalah 0.88 tahun, relatif kecil namun tetap signifikan
  5. X8 (Parlemen Perempuan): Rata-rata hanya 19.77%, jauh di bawah target 30% affirmative action

Visualisasi Distribusi Spasial IKG

Analisis Peta:

  • Wilayah dengan IKG tinggi (> 0.45) cenderung berada di daerah pesisir dan perbatasan
  • Wilayah dengan IKG rendah (< 0.35) umumnya di daerah perkotaan dan sekitar Bandung Raya
  • Tidak terlihat pola klaster yang sangat jelas secara visual, perlu konfirmasi dengan uji statistik

Analisis Konektivitas Spasial

Struktur Tetangga

Menggunakan kontiguitas Queen (wilayah yang berbagi sisi atau titik sudut dianggap tetangga).

Indikator Nilai
Jumlah wilayah 26
Rata-rata jumlah tetangga 3.77
Median jumlah tetangga 4.00
Minimum tetangga 1
Maksimum tetangga 7
Jumlah wilayah terisolasi 0

Wilayah dengan Konektivitas Ekstrem:

  • Tetangga Terbanyak (7): Kabupaten Bogor - karena posisi sentral dan luas wilayah besar
  • Tetangga Paling Sedikit (1):
    • Kota Bogor (berbatasan hanya dengan Kabupaten Bogor)
    • Kota Cirebon (enklave dalam Kabupaten Cirebon)
    • Kota Sukabumi (enklave dalam Kabupaten Sukabumi)

Interpretasi:

  • Tidak ada wilayah terisolasi (island), sehingga matriks pembobot spasial dapat dibentuk dengan baik
  • Konektivitas rata-rata 3.77 menunjukkan struktur spasial yang cukup terhubung
  • Wilayah kota cenderung memiliki sedikit tetangga karena luas wilayah kecil

Uji Autokorelasi Spasial Global

Indeks Moran’s I

Parameter Nilai
Moran’s I Statistik 0.1157
Nilai Ekspektasi -0.0400
Varians 0.0110
Z-score 1.4875
p-value (two-tailed) 0.1368

Interpretasi:

  • Nilai Moran’s I = 0.1157 (positif tetapi mendekati nol)
  • p-value = 0.1368 > 0.05, sehingga tidak signifikan pada α = 5%
  • Kesimpulan: Tidak terdapat bukti kuat adanya autokorelasi spasial global positif yang signifikan dalam distribusi IKG di Jawa Barat

Indeks Geary’s C

Parameter Nilai
Geary’s C Statistik 0.8488
Nilai Ekspektasi 1.0000
Varians 0.0085
Z-score -1.6381
p-value (two-tailed) 0.1681

Interpretasi:

  • Nilai Geary’s C = 0.8488 (< 1, mengindikasikan kecenderungan klaster positif)
  • p-value = 0.1681 > 0.05, sehingga tidak signifikan pada α = 5%
  • Kesimpulan: Konsisten dengan Moran’s I, tidak ada bukti autokorelasi spasial global yang signifikan

Implikasi:

Distribusi IKG di Jawa Barat cenderung acak secara spasial pada skala global. Ini dapat disebabkan oleh:

  1. Faktor lokal spesifik lebih dominan daripada pengaruh tetangga
  2. Kebijakan pembangunan yang bervariasi antar daerah
  3. Heterogenitas sosial-ekonomi yang tinggi

Analisis LISA (Local Indicators of Spatial Association)

Meskipun tidak ada autokorelasi global signifikan, analisis LISA dapat mendeteksi klaster lokal.

Hasil Klasifikasi LISA

Tipe Klaster Jumlah Persentase
High-High (HH) 1 3.85%
Low-Low (LL) 0 0.00%
High-Low (HL) 0 0.00%
Low-High (LH) 0 0.00%
Not Significant 25 96.15%
Total 26 100.00%

Interpretasi:

  • Hanya 1 wilayah (3.85%) teridentifikasi sebagai klaster High-High, yaitu wilayah dengan IKG tinggi yang dikelilingi oleh wilayah dengan IKG tinggi pula
  • 25 wilayah (96.15%) tidak menunjukkan pola klaster signifikan
  • Tidak ada klaster Low-Low (coldspot) atau outlier (High-Low, Low-High)

Implikasi Kebijakan:

  • Fokus intervensi dapat diarahkan ke hotspot High-High untuk mencegah penyebaran ketimpangan ke wilayah sekitarnya
  • Mayoritas wilayah memiliki pola independen, sehingga kebijakan harus disesuaikan dengan kondisi lokal masing-masing

Uji Multikolinearitas

Sebelum pemodelan regresi, dilakukan uji multikolinearitas menggunakan Variance Inflation Factor (VIF).

Variabel VIF Interpretasi
X1 2.134 Rendah
X2 5.089 Sedang
X3 2.053 Rendah
X4 1.135 Rendah
X6 2.995 Rendah
X8 1.090 Rendah

Interpretasi VIF:

  • VIF < 5: Multikolinearitas rendah (dapat diterima)
  • VIF 5-10: Multikolinearitas sedang (perlu diwaspadai)
  • VIF > 10: Multikolinearitas tinggi (harus dihapus atau ditransformasi)

Temuan:

  • Semua variabel memiliki VIF < 5, menunjukkan multikolinearitas rendah
  • Variabel X2 memiliki VIF tertinggi (5.089), mendekati batas sedang namun masih dapat diterima
  • Variabel X8 memiliki VIF terendah (1.090), menunjukkan independensi tinggi
  • Kesimpulan: Tidak ada masalah multikolinearitas serius, semua variabel dapat digunakan dalam pemodelan

Catatan: Variabel X5 (Pendidikan Laki-Laki) dan X7 (Parlemen Laki-Laki) dikeluarkan dari model karena berkorelasi tinggi dengan X6 dan X8, sehingga hanya variabel perempuan yang digunakan untuk menghindari redundansi.

Pemodelan Regresi Spasial

Perbandingan Model

Enam model regresi dibandingkan untuk menentukan model terbaik:

Model AIC BIC Log-Lik Status
OLS -69.77 -61.65 42.88 0.852 Baseline
SAR -67.99 -58.93 42.00 0.868
SEM -72.78 -63.72 44.39 0.898
SDM -79.42 -65.22 53.71 0.946
SDEM -81.94 -67.74 54.97 0.956 TERBAIK
SAC -74.03 -64.03 46.02 0.923

Kriteria Pemilihan Model:

  1. AIC (Akaike Information Criterion): Semakin kecil semakin baik → SDEM terendah (-81.94)
  2. BIC (Bayesian Information Criterion): Semakin kecil semakin baik → SDEM terendah (-67.74)
  3. R² (Koefisien Determinasi): Semakin besar semakin baik → SDEM tertinggi (0.956)
  4. Log-Likelihood: Semakin besar semakin baik → SDEM tertinggi (54.97)

Kesimpulan: Model SDEM (Spatial Durbin Error Model) adalah model terbaik dengan:

  • AIC dan BIC terendah
  • R² tertinggi (95.6% variasi IKG dijelaskan oleh model)
  • Kemampuan prediksi terbaik dengan RMSE = 0.025

Hasil Model OLS (Baseline)

Model OLS digunakan sebagai baseline untuk perbandingan:

\(Y = \beta_0 + \beta_1 X1 + \beta_2 X2 + \beta_3 X3 + \beta_4 X4 + \beta_5 X6 + \beta_6 X8 + \varepsilon\)

Variabel Koefisien Std. Error t-value p-value
(Intercept) 1.2845 0.2156 5.958 <0.001***
X1 0.0089 0.0021 4.238 <0.001***
X2 -0.0052 0.0019 -2.737 0.013*
X3 -0.0048 0.0032 -1.500 0.150
X4 -0.0011 0.0018 -0.611 0.548
X6 -0.0356 0.0127 -2.803 0.011*
X8 -0.0041 0.0024 -1.708 0.103

Signifikansi: *** p<0.001; ** p<0.01; * p<0.05

Interpretasi OLS:

  • X1 (NonFaskes): Setiap kenaikan 1% kelahiran di luar faskes meningkatkan IKG sebesar 0.0089 (signifikan)
  • X2 (Ibu Muda): Setiap kenaikan 1% ibu muda menurunkan IKG sebesar 0.0052 (signifikan, kontra-intuitif)
  • X6 (Pendidikan Perempuan): Setiap kenaikan 1 tahun pendidikan perempuan menurunkan IKG sebesar 0.0356 (signifikan)
  • R² = 0.852: Model menjelaskan 85.2% variasi IKG
  • Diagnostik: Uji Breusch-Pagan menunjukkan heteroskedastisitas (p=0.032), dan uji LM untuk efek spasial signifikan

Hasil Model SDEM (Model Terbaik)

Model SDEM menggabungkan lag spasial pada variabel independen dan autokorelasi error:

\(y = X\beta + WX\theta + u\) \(u = \lambda Wu + \varepsilon\)

Variabel Koefisien Std. Error Z-value p-value
Efek Langsung (Direct Effects)
X1 0.0075 0.0018 4.195 <0.001***
X2 -0.0041 0.0016 -2.548 0.011*
X3 -0.0034 0.0028 -1.214 0.225
X4 0.0009 0.0015 0.600 0.549
X6 -0.0369 0.0109 -3.387 <0.001***
X8 -0.0041 0.0020 -2.050 0.040*
Efek Spasial Lag (Spatial Lag Effects)
lag.X1 0.0102 0.0026 3.923 <0.001

Signifikansi: *** p<0.001; ** p<0.01; * p<0.05

Interpretasi Efek Langsung:

  1. X1 (NonFaskes Melahirkan): Setiap kenaikan 1% kelahiran di luar fasilitas kesehatan meningkatkan IKG sebesar 0.0075 (sangat signifikan, p<0.001)
    • Kelahiran di luar faskes mencerminkan akses kesehatan yang buruk, meningkatkan risiko kesehatan reproduksi
  2. X2 (Ibu Muda): Setiap kenaikan 1% ibu melahirkan di usia muda menurunkan IKG sebesar 0.0041 (signifikan, p=0.011)
    • Hasil kontra-intuitif, kemungkinan confounding dengan variabel lain
  3. X6 (Pendidikan Perempuan): Setiap kenaikan 1 tahun rata-rata lama sekolah perempuan menurunkan IKG sebesar 0.0369 (sangat signifikan, p<0.001)
    • Pendidikan adalah kunci pemberdayaan perempuan
  4. X8 (Parlemen Perempuan): Setiap kenaikan 1% representasi perempuan di parlemen menurunkan IKG sebesar 0.0041 (signifikan, p=0.040)
    • Representasi politik meningkatkan kebijakan pro-gender

Interpretasi Efek Spasial:

  1. lag.X1: Wilayah tetangga dengan kelahiran NonFaskes tinggi meningkatkan IKG lokal sebesar 0.0102 (spillover positif)
  2. lag.X8: Wilayah tetangga dengan representasi perempuan tinggi meningkatkan IKG lokal sebesar 0.0079 (efek kecil namun signifikan)

Parameter Autokorelasi Error (λ = -0.870):

  • Sangat signifikan (p<0.001)
  • Nilai negatif menunjukkan error di wilayah tetangga berhubungan negatif dengan error lokal
  • Mengindikasikan adanya faktor-faktor tidak teramati yang berpengaruh secara spasial

Goodness of Fit:

  • R² = 0.956: Model menjelaskan 95.6% variasi IKG
  • RMSE = 0.025: Kesalahan prediksi rata-rata sangat kecil
  • AIC = -81.94: Terendah dibanding model lain

Uji Lagrange Multiplier

Untuk menguji keberadaan efek spasial:

Uji Statistik p-value
LM test for SAR 8.247 0.004**
Robust LM test for SAR 5.183 0.023*
LM test for SEM 12.564 <0.001***
Robust LM test for SEM 9.500 0.002**

Interpretasi:

  • Baik uji SAR maupun SEM signifikan
  • Ini mendukung penggunaan model SDEM yang menggabungkan kedua efek
  • Robust LM test mengkonfirmasi hasil bahkan setelah memperhitungkan efek yang lain

Analisis Prediksi vs Aktual

Evaluasi Akurasi Prediksi

Model SDEM menghasilkan prediksi dengan akurasi tinggi:

Metrik Nilai
R-squared (R²) 0.956
Adjusted R² 0.922
RMSE 0.025
MAE 0.019
MAPE 5.12%

Interpretasi:

  • RMSE = 0.025: Kesalahan prediksi rata-rata hanya 0.025 unit IKG
  • MAPE = 5.12%: Kesalahan persentase rata-rata sangat rendah
  • Model sangat akurat dalam memprediksi IKG

Analisis Residual Spasial

Analisis residual menunjukkan:

Uji Statistik p-value
Moran’s I (Residual) 0.0234 0.487
Geary’s C (Residual) 0.9876 0.523

Interpretasi:

  • Tidak ada autokorelasi spasial pada residual (p>0.05)
  • Asumsi independensi error terpenuhi
  • Model SDEM berhasil menangkap struktur spasial dalam data

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan analisis spasial Indeks Ketimpangan Gender di Provinsi Jawa Barat, dapat disimpulkan:

  1. Distribusi Spasial IKG:

    • IKG bervariasi dari 0.162 (terendah) hingga 0.577 (tertinggi)
    • Rata-rata IKG kabupaten/kota (0.394) lebih rendah dari provinsi (0.458)
    • Tidak terdapat autokorelasi spasial global yang signifikan (Moran’s I = 0.116, p=0.137)
  2. Klaster Lokal:

    • Hanya 1 wilayah (3.85%) teridentifikasi sebagai klaster High-High (hotspot)
    • Mayoritas wilayah (96.15%) tidak menunjukkan pola klaster signifikan
    • Tidak ada coldspot atau outlier yang terdeteksi
  3. Faktor-Faktor Signifikan:

    Efek Langsung:

    • Kelahiran di NonFaskes (X1): Meningkatkan IKG (β=0.0075, p<0.001)
    • Pendidikan Perempuan (X6): Menurunkan IKG (β=-0.0369, p<0.001)
    • Parlemen Perempuan (X8): Menurunkan IKG (β=-0.0041, p=0.040)

    Efek Spasial (Spillover):

    • Wilayah tetangga dengan kelahiran NonFaskes tinggi menularkan IKG tinggi
    • Wilayah tetangga dengan representasi perempuan tinggi juga memiliki efek spillover positif kecil
  4. Model Terbaik:

    • SDEM (Spatial Durbin Error Model) adalah model terbaik
    • R² = 0.956, AIC = -81.94, RMSE = 0.025
    • Model menangkap 95.6% variasi IKG dengan kesalahan prediksi sangat kecil
  5. Validasi Model:

    • Tidak ada multikolinearitas serius (VIF < 5.1)
    • Residual tidak menunjukkan autokorelasi spasial
    • Uji LM signifikan untuk efek SAR dan SEM

Saran

Rekomendasi Kebijakan

  1. Peningkatan Akses Fasilitas Kesehatan:
    • Prioritaskan pembangunan puskesmas dan klinik di daerah dengan persentase kelahiran NonFaskes tinggi
    • Program insentif untuk persalinan di fasilitas kesehatan (jampersal, KIS)
    • Edukasi masyarakat tentang pentingnya persalinan di faskes
  2. Peningkatan Pendidikan Perempuan:
    • Program beasiswa untuk perempuan sampai pendidikan menengah atas
    • Kampanye anti-pernikahan dini
    • Pelatihan vokasional untuk perempuan dewasa
  3. Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan:
    • Penguatan affirmative action 30% kuota perempuan
    • Pendidikan politik untuk calon legislator perempuan
    • Kampanye anti-diskriminasi gender dalam politik
  4. Pendekatan Regional:
    • Fokus intervensi pada hotspot High-High yang teridentifikasi
    • Kerja sama antar daerah untuk mengatasi spillover effect
    • Koordinasi kebijakan antar kabupaten/kota yang bertetangga

Keterbatasan Penelitian

  1. Data cross-sectional (satu tahun), tidak dapat menganalisis tren temporal
  2. Beberapa variabel potensial tidak tersedia (mis: kekerasan gender, akses ekonomi)
  3. Efek kausalitas tidak dapat dipastikan (hanya asosiasi)
  4. Kemungkinan adanya faktor confounding yang tidak teramati

Saran Penelitian Lanjutan

  1. Analisis panel data untuk menangkap dinamika temporal IKG
  2. Inkorporasi variabel tambahan (budaya, agama, norma sosial)
  3. Analisis subgrup (urban vs rural, pesisir vs pedalaman)
  4. Studi kualitatif untuk memahami mekanisme kausal
  5. Penggunaan metode spatial econometrics yang lebih advanced (GWR, spatial quantile regression)

DAFTAR PUSTAKA

Anselin, L. (1995). Local Indicators of Spatial Association—LISA. Geographical Analysis, 27(2), 93-115.

Badan Pusat Statistik Jawa Barat. (2024). Indeks Ketimpangan Gender Provinsi Jawa Barat 2023. BPS Provinsi Jawa Barat.

Elhorst, J. P. (2014). Spatial Econometrics: From Cross-Sectional Data to Spatial Panels. Springer.

LeSage, J., & Pace, R. K. (2009). Introduction to Spatial Econometrics. CRC Press.

Tobler, W. R. (1970). A Computer Movie Simulating Urban Growth in the Detroit Region. Economic Geography, 46, 234-240.

UNDP. (2023). Gender Inequality Index (GII). United Nations Development Programme Human Development Reports.

Ward, M. D., & Gleditsch, K. S. (2018). Spatial Regression Models (2nd ed.). SAGE Publications.

LAMPIRAN

Lampiran A: Kode R untuk Analisis

# Load libraries
library(sf)
library(spdep)
library(spatialreg)

# Load data
jabar_sf <- st_read("path/to/shapefile.shp")

# Spatial weights matrix
nb <- poly2nb(jabar_sf, queen = TRUE)
lw <- nb2listw(nb, style = "W", zero.policy = TRUE)

# Moran's I test
moran.test(jabar_sf$IKG, lw, zero.policy = TRUE)

# LISA analysis
lisa <- localmoran(jabar_sf$IKG, lw, zero.policy = TRUE)

# Model SDEM
model_sdem <- errorsarlm(IKG ~ X1 + X2 + X3 + X4 + X6 + X8, 
                         data = jabar_sf, listw = lw, 
                         etype = "emixed", zero.policy = TRUE)

# Summary
summary(model_sdem)

Lampiran B: Data IKG dan Variabel Independen

Data lengkap tersedia di repository BPS Jawa Barat: https://jabar.bps.go.id

Lampiran C: Dashboard

Link : http://127.0.0.1:6114\