1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Perekonomian Indonesia pada tahun 2025 masih menghadapi sejumlah persoalan struktural yang menghambat laju pertumbuhan. Melemahnya konsumsi masyarakat, meningkatnya tekanan inflasi, serta ketidakpastian kondisi ekonomi global menjadi faktor utama yang menekan kinerja ekonomi nasional. Dampak dari kondisi ini semakin terasa melalui meningkatnya ketimpangan antarprovinsi, di mana pusat aktivitas industri dan ekonomi masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sementara itu, wilayah di luar Jawa masih berjuang dengan keterbatasan infrastruktur, kapasitas produksi, dan akses modal yang rendah (Badan Pusat Statistik [BPS], 2024). Melemahnya daya beli serta menurunnya arus investasi turut memperparah kesenjangan tersebut, menjadikan pertumbuhan ekonomi nasional tidak tersebar secara seimbang (Kementerian Keuangan [Kemenkeu], 2025).

Dalam konteks tersebut, peran Industri Mikro dan Kecil (IMK) menjadi sangat penting sebagai tulang punggung ekonomi daerah. IMK tidak hanya berfungsi dalam menyediakan lapangan pekerjaan, tetapi juga berkontribusi terhadap pemerataan pendapatan serta penguatan struktur ekonomi lokal. Berdasarkan laporan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia (2025), terdapat sekitar 30 juta unit IMK aktif di Indonesia pada tahun 2024, dengan pertumbuhan rata-rata 2,55% per kuartal. Meskipun demikian, tingkat produktivitas dan kontribusi ekonomi sektor ini belum merata. Provinsi-provinsi seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat menunjukkan capaian nilai tambah yang jauh lebih besar dibandingkan daerah lain, mencerminkan adanya ketimpangan spasial dalam pengembangan sektor industri kecil.

Selain itu, investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) juga memiliki peran strategis dalam mendorong peningkatan produktivitas, inovasi, dan efisiensi ekonomi daerah. Namun, penyalurannya masih terkonsentrasi di beberapa wilayah industri utama seperti Jawa Barat dan Banten, sementara daerah lain belum banyak menikmati dampak positifnya (Badan Koordinasi Penanaman Modal [BKPM], 2025). Kondisi ini menegaskan adanya keterkaitan ekonomi antarwilayah yang bersifat spasial, di mana pertumbuhan suatu daerah dapat dipengaruhi oleh dinamika ekonomi di wilayah sekitarnya (Susanti et al., 2024).

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Industri Mikro dan Kecil (IMK) serta investasi asing terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) antarprovinsi di Indonesia tahun 2024 dengan pendekatan ekonometrika spasial. Pendekatan ini dianggap relevan karena dapat menggambarkan hubungan dan ketergantungan antarwilayah yang tidak dapat dijelaskan melalui metode konvensional. Melalui analisis ini, diharapkan hasil penelitian dapat memperkaya literatur tentang ekonomi spasial di Indonesia serta menjadi dasar dalam perumusan kebijakan pembangunan daerah yang lebih merata, inklusif, dan berkelanjutan.

1.2 Identifikasi Masalah

Perekonomian Indonesia pada tahun 2024 masih menunjukkan ketimpangan yang cukup tinggi antarprovinsi. Aktivitas ekonomi yang masih terkonsentrasi di Pulau Jawa mencerminkan belum meratanya pemerataan pembangunan dan kontribusi pertumbuhan dari wilayah lain. Sektor Industri Mikro dan Kecil (IMK), yang memiliki peranan penting dalam menyerap tenaga kerja dan memperkuat ekonomi lokal, belum mampu memberikan dampak yang merata di seluruh provinsi karena adanya perbedaan tingkat produktivitas dan nilai tambah yang signifikan. Sementara itu, investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) juga masih terfokus di wilayah dengan infrastruktur dan fasilitas industri yang lebih baik, seperti Jawa Barat dan Banten, sehingga efek positifnya belum sepenuhnya dirasakan oleh daerah lain. Ketimpangan tersebut mengindikasikan adanya hubungan spasial antarwilayah, di mana pertumbuhan ekonomi suatu provinsi berpotensi dipengaruhi oleh kondisi ekonomi provinsi di sekitarnya. Oleh karena itu, diperlukan analisis yang dapat mengkaji pengaruh IMK dan investasi asing terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) antarprovinsi dengan mempertimbangkan keterkaitan spasial agar dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap pola ketimpangan ekonomi di Indonesia.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

  1. Menganalisis pengaruh Industri Mikro dan Kecil (IMK) terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) antarprovinsi di Indonesia tahun 2024.
  2. Menilai pengaruh investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) terhadap PDRB antarprovinsi di Indonesia tahun 2024.
  3. Mengidentifikasi adanya keterkaitan spasial antarprovinsi dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
  4. Mengetahui seberapa besar pengaruh faktor spasial terhadap hubungan antara IMK, investasi asing, dan PDRB antarprovinsi.
  5. Memberikan rekomendasi kebijakan pembangunan ekonomi daerah yang lebih merata dan berkelanjutan berdasarkan hasil analisis spasial.

1.4 Batasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa batasan agar pembahasannya lebih terarah dan fokus. Data yang digunakan merupakan data sekunder tahun 2024 yang diperoleh dari sumber resmi seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Variabel yang dianalisis terdiri atas Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai variabel dependen, serta Industri Mikro dan Kecil (IMK) dan Investasi Asing Langsung (Foreign Direct Investment/FDI) sebagai variabel independen. Unit analisis penelitian adalah provinsi di Indonesia, sehingga hasil temuan hanya menggambarkan kondisi pada tingkat antarprovinsi, bukan pada level kabupaten atau kota. Analisis yang digunakan dibatasi pada pendekatan ekonometrika spasial, meliputi pengujian autokorelasi spasial dan estimasi model spasial seperti SAR, SEM, atau SDM. Selain itu,penelitian ini tidak mencakup pembahasan terhadap faktor-faktor lain di luar variabel yang diteliti, seperti aspek sosial, politik, atau lingkungan yang mungkin turut memengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah.

2 Tinjauan Pustaka

2.1 Konsep Spatial dan Spatial Heterogenity

Keterkaitan spasial (spatial dependence) menunjukkan bahwa nilai suatu variabel di satu wilayah dipengaruhi oleh wilayah lain yang berdekatan secara geografis. Dalam konteks PDRB antarprovinsi di Indonesia, hal ini berarti pertumbuhan ekonomi suatu provinsi dapat terdorong oleh interaksi ekonomi, mobilitas tenaga kerja, keterhubungan infrastruktur, maupun kesamaan kebijakan dengan provinsi sekitarnya. Cartone et al. (2022) menyebutnya sebagai efek limpahan spasial (spatial spillover), yaitu penularan dinamika ekonomi antarwilayah yang membentuk pola pengelompokan (clustering) wilayah ber-PDRB tinggi maupun rendah.

Menurut Jankiewicz et al. (2025), ketergantungan spasial tidak hanya dipicu oleh kedekatan fisik, tetapi juga oleh keterhubungan fungsional seperti arus produksi dan pasar tenaga kerja. Deng et al. (2024) menambahkan bahwa pengaruh spasial menurun seiring jarak, namun tetap signifikan di wilayah yang memiliki hubungan ekonomi erat.

Selain itu, keragaman spasial (spatial heterogeneity) mencerminkan perbedaan karakteristik antarwilayah yang menyebabkan respons ekonomi tidak seragam. Trinh et al. (2024) dan Wu et al. (2024) menegaskan bahwa variasi kapasitas ekonomi, infrastruktur, dan aksesibilitas turut menentukan perbedaan tersebut.

Mengabaikan dependensi dan heterogenitas spasial dalam analisis, seperti dengan menggunakan metode OLS, dapat menyebabkan estimasi bias dan kesimpulan kebijakan keliru. Karena itu, pengujian autokorelasi spasial dan pengakuan terhadap perbedaan struktural antarwilayah menjadi langkah penting dalam membangun model spatial econometrics yang valid dan kontekstual.

2.2 Autokorelasi Spasial

Keterkaitan spasial tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga dapat diuji secara empiris melalui analisis autokorelasi spasial. Autokorelasi spasial menggambarkan hubungan antara nilai suatu variabel di satu wilayah dengan nilai variabel serupa di wilayah sekitarnya. Dalam konteks PDRB antarprovinsi di Indonesia, analisis ini berfungsi untuk mengidentifikasi apakah provinsi dengan PDRB tinggi membentuk klaster pertumbuhan di wilayah tertentu atau tersebar secara acak. Noviyanti et al. (2023) dalam Jurnal Artha Info menemukan bahwa provinsi dengan tingkat kemiskinan rendah cenderung dikelilingi oleh provinsi dengan karakteristik serupa, yang menandakan adanya pola spasial positif.

Dalam analisis spasial, autokorelasi dibedakan menjadi dua pendekatan, yaitu autokorelasi global dan autokorelasi lokal. Autokorelasi global digunakan untuk menilai apakah secara keseluruhan terdapat pola spasial dalam data. Jika nilai statistik global signifikan, maka terdapat indikasi pengelompokan antarwilayah dan pola data tidak terjadi secara acak. Namun, pendekatan ini tidak menunjukkan lokasi spesifik dari klaster atau anomali. Sebaliknya, autokorelasi lokal digunakan untuk mengidentifikasi area tertentu yang memiliki kemiripan nilai, seperti hotspot (wilayah bernilai tinggi yang berdekatan), coldspot (wilayah bernilai rendah yang membentuk klaster), maupun anomali spasial.

Beberapa ukuran yang umum digunakan dalam pengujian autokorelasi spasial antara lain Moran’s I Global, Geary’s C, Local Moran’s I (LISA), serta Getis–Ord Gi. Moran’s I dan Geary’s C mengukur keterkaitan spasial secara keseluruhan, sementara LISA dan Getis–Ord Gi digunakan untuk mendeteksi pola spasial lokal secara lebih detail.

2.2.1 Moran’s I Global

Moran’s I Global adalah ukuran yang paling umum digunakan untuk mendeteksi autokorelasi spasial global pada data. Indeks ini mengukur apakah terdapat pola pengelompokan nilai yang tinggi atau rendah antarwilayah. Nilai Moran’s I yang positif menunjukkan adanya klaster wilayah dengan nilai yang mirip (baik tinggi maupun rendah), sedangkan nilai negatif mengindikasikan pola penyebaran yang bersifat menyebar atau kontras antarwilayah.

Secara matematis, Moran’s I dirumuskan sebagai berikut:

\[ I = \frac{n}{\sum_{i=1}^n \sum_{j=1}^n w_{ij}} \cdot \frac{\sum_{i=1}^n \sum_{j=1}^n w_{ij} (x_i - \bar{x})(x_j - \bar{x})} {\sum_{i=1}^n (x_i - \bar{x})^2} \]

di mana \(n\) adalah jumlah wilayah, \(w_{ij}\) adalah elemen matriks bobot spasial yang menunjukkan kedekatan antara wilayah \(i\) dan \(j\), \(x_i\) adalah nilai variabel pada wilayah \(i\), dan \(\bar{x}\) adalah nilai rata-rata variabel pada seluruh wilayah.

2.2.2 Geary’s C

Geary’s C merupakan ukuran autokorelasi spasial global yang lebih sensitif terhadap perbedaan lokal antarwilayah tetangga dibandingkan Moran’s I. Jika Moran’s I lebih memperhatikan kovarians antarwilayah, Geary’s C lebih menekankan perbedaan kuadrat antarwilayah yang berdekatan.

Rumus Geary’s C dituliskan sebagai berikut:

\[ C = \frac{(n - 1)}{2 \sum_{i=1}^n \sum_{j=1}^n w_{ij}} \cdot \frac{\sum_{i=1}^n \sum_{j=1}^n w_{ij} (x_i - x_j)^2} {\sum_{i=1}^n (x_i - \bar{x})^2} \]


2.2.3 Local Moran’s I (LISA)

Local Moran’s I atau LISA (Local Indicators of Spatial Association) digunakan untuk mengidentifikasi klaster spasial lokal dan mendeteksi wilayah yang berpotensi menjadi hotspot, coldspot, atau outlier spasial

Formulasinya adalah sebagai berikut:

\[ I_i = \frac{(x_i - \bar{x})}{m_2} \sum_{j=1}^n w_{ij} (x_j - \bar{x}) \]

dengan \[ m_2 = \frac{\sum_{i=1}^n (x_i - \bar{x})^2}{n} \]

2.2.4 Getis–Ord Gi*

Indeks Getis–Ord Gi* digunakan untuk mendeteksi hotspot atau coldspot dengan melihat intensitas nilai tinggi atau rendah dalam radius spasial tertentu. Berbeda dengan Local Moran yang mengukur korelasi lokal, Getis–Ord Gi* fokus pada tingkat konsentrasi nilai tinggi atau rendah dalam suatu area

Rumus Getis–Ord Gi* adalah:

\[ G_i^* = \frac{\sum_{j=1}^n w_{ij} x_j - \bar{x} \sum_{j=1}^n w_{ij}} {s \sqrt{\frac{n \sum_{j=1}^n w_{ij}^2 - (\sum_{j=1}^n w_{ij})^2}{n - 1}}} \] ## 2.3 Spatial Econometrics

Spatial econometrics merupakan cabang dari ilmu ekonometrika yang memasukkan dimensi spasial ke dalam model regresi guna menangkap hubungan antarwilayah. Pendekatan ini penting digunakan ketika asumsi independensi antarunit geografis tidak terpenuhi, seperti pada kasus PDRB antarprovinsi di Indonesia, di mana aktivitas ekonomi suatu provinsi kerap dipengaruhi oleh kondisi ekonomi wilayah di sekitarnya. Jika faktor spasial diabaikan, maka hasil estimasi menggunakan Ordinary Least Squares (OLS) berpotensi menjadi bias dan tidak efisien akibat adanya autokorelasi spasial pada residual maupun variabel dependennya (Anselin, 2010).

Model dalam spatial econometrics secara umum terbagi menjadi dua kelompok utama, yakni model yang menekankan pada ketergantungan spasial (spatial dependence) dan model yang menangkap keragaman spasial (spatial heterogeneity). Beberapa model yang umum diterapkan meliputi OLS, Spatial Autoregressive (SAR), Spatial Error Model (SEM), Spatial Durbin Model (SDM), Spatial Autoregressive Combined (SAC), serta General Nesting Spatial (GNS) model.

2.2.5 Ordinary Least Squares (OLS)

Model OLS digunakan sebagai pendekatan dasar sebelum mempertimbangkan komponen spasial. Model ini mengasumsikan bahwa antarobservasi bersifat independen, sehingga hubungan antara variabel dependen dan independen dapat dijelaskan melalui persamaan linear klasik:

\[ y = X\beta + \varepsilon \]

dengan \(y\) adalah vektor variabel dependen (misalnya PDRB per provinsi), \(X\) matriks variabel independen (seperti TPAK dan IPM), \(\beta\) parameter yang diestimasi, dan \(\varepsilon\) adalah komponen error yang diasumsikan berdistribusi normal dengan varian homogen dan tanpa autokorelasi spasial. Namun, jika terdapat korelasi spasial antarwilayah, maka model OLS tidak lagi menghasilkan estimasi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator).

2.2.6 Spatial Autoregressive Model (SAR)

Model SAR menambahkan efek ketergantungan spasial langsung pada variabel dependen melalui matriks bobot spasial \(W\):

\[ y = \rho W y + X\beta + \varepsilon \]

dengan \(\rho\) adalah koefisien autokorelasi spasial, \(W y\) menunjukkan pengaruh nilai \(y\) dari wilayah sekitar terhadap nilai \(y\) pada suatu wilayah, dan \(\varepsilon\) adalah residual acak. Model ini relevan ketika interaksi antarwilayah bersifat langsung, misalnya pertumbuhan ekonomi suatu provinsi dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi provinsi tetangga.

2.2.6.1 Estimasi dengan Maximum Likelihood (ML)

Pendekatan estimasi yang paling umum digunakan dalam model SAR adalah Maximum Likelihood Estimation (MLE). Model dapat ditulis ulang menjadi bentuk setara dengan mendefinisikan \(A(\rho) = I - \rho W\):

\[ A(\rho)y = X\beta + \varepsilon \]

dengan \(\varepsilon \sim N(0, \sigma^2 I)\).

Fungsi log-likelihood untuk model SAR dirumuskan sebagai berikut:

\[ \ell(\beta, \rho, \sigma^2) = \log|A(\rho)| - \frac{N}{2}\log\sigma^2 - \frac{1}{2\sigma^2}(A(\rho)y - X\beta)^\top(A(\rho)y - X\beta) \]

Untuk setiap nilai \(\rho\), estimasi parameter \(\beta\) dan \(\sigma^2\) diperoleh sebagai berikut:

\[ \hat{\beta}(\rho) = (X^\top X)^{-1}X^\top A(\rho)y \]

\[ \hat{\sigma}^2(\rho) = \frac{1}{N}\|A(\rho)y - X\hat{\beta}(\rho)\|^2 \]

Sehingga fungsi likelihood terkonsentrasi (concentrated likelihood) dapat ditulis sebagai:

\[ \ell_c(\rho) = \log|A(\rho)| - \frac{N}{2}\log\hat{\sigma}^2(\rho) \]

Nilai \(\rho\) yang memaksimalkan \(\ell_c(\rho)\) memberikan estimasi maximum likelihood untuk parameter autokorelasi spasial.

Interpretasi koefisien \(\rho\) menunjukkan tingkat pengaruh langsung antara nilai variabel dependen suatu wilayah dengan nilai variabel dependen di wilayah sekitarnya. Semakin tinggi \(\rho\), semakin kuat pengaruh antarwilayah yang terjadi.

2.2.7 Spatial Error Model (SEM)

Model SEM tepat digunakan jika hasil uji Moran’s I pada residual OLS menunjukkan adanya autokorelasi spasial, namun teori ekonomi atau sosial tidak mendukung adanya interaksi langsung antarwilayah pada variabel dependen.

Rumus Model:

\[ y = X\beta + u, \quad u = \lambda W u + \varepsilon, \quad \varepsilon \sim N(0, \sigma^2 I) \]

dengan \(y\) sebagai variabel dependen (misalnya PDRB), \(X\) sebagai matriks kovariat (misalnya TPAK dan IPM), \(W\) adalah matriks bobot spasial, \(\lambda\) parameter autokorelasi error, dan \(\varepsilon\) adalah error acak.

2.2.8 Spatial Durbin Model (SDM)

Spatial Durbin Model digunakan ketika ada interaksi endogen pada y dan spillover dari kovariat. Model SDM merupakan perluasan dari SAR, dengan menambahkan pengaruh variabel independen dari wilayah sekitar ke dalam model.

\[ y = \rho W y + X\beta + W X\theta + \varepsilon \]

Parameter \(\theta\) merepresentasikan efek spasial dari variabel independen di wilayah tetangga. Model ini lebih fleksibel karena dapat menangkap efek spillover dari variabel-variabel penjelas, misalnya peningkatan IPM di suatu provinsi dapat berdampak pada peningkatan PDRB di provinsi sekitarnya.

2.2.9 Spatial Autoregressive Combined Model (SAC)

Model SAC menggabungkan unsur SAR dan SEM sekaligus, sehingga dapat menangkap ketergantungan spasial baik pada variabel dependen maupun pada error. SAC digunakan ketika ada interaksi endogen dan juga omitted variables berpola spasial. Berikut model SAC:

\[ y = \rho W y + X\beta + u, \quad u = \lambda W u + \varepsilon \]

2.2.10 General Nesting Spatial Model (GNS)

Model GNS merupakan bentuk paling umum dan komprehensif dalam ekonometrika spasial karena menggabungkan seluruh komponen ketergantungan spasial, baik pada variabel dependen, independen, maupun error:

\[ y = \rho W y + X\beta + W X\theta + u, \quad u = \lambda W u + \varepsilon \]

Model ini memungkinkan peneliti untuk menguji berbagai bentuk hubungan spasial yang kompleks dan saling tumpang tindih. Dalam konteks PDRB antarprovinsi, model ini dapat mengungkapkan apakah pengaruh IPM dan TPAK suatu provinsi tidak hanya berdampak pada wilayahnya sendiri tetapi juga menyebar ke wilayah sekitar.

3 Metodologi Penelitian

3.1 Data dan Sumber Data

Pada penelitian ini digunakan data sekunder yang bersumber dari situs resmi Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia (https://www.bps.go.id). Data yang diperoleh dari BPS dianggap memiliki tingkat keandalan yang tinggi karena dihimpun melalui prosedur statistik yang baku dan terverifikasi, sehingga layak dijadikan dasar dalam analisis spasial. Jenis data yang digunakan berupa data cross-sectional tahun 2024 dengan unit analisis mencakup 34 provinsi di Indonesia. Pemilihan jenis data tersebut dilakukan karena penelitian ini menitikberatkan pada pengujian hubungan spasial antarprovinsi dalam menganalisis pengaruh Industri Mikro dan Kecil (IMK) serta Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas tiga komponen utama. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) digunakan sebagai indikator untuk mengukur kinerja dan pertumbuhan ekonomi di masing-masing provinsi. Penanaman Modal Asing (PMA) berfungsi sebagai variabel yang merepresentasikan tingkat investasi dan aktivitas ekonomi yang masuk ke daerah. Sementara itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) digunakan sebagai ukuran kualitas sumber daya manusia yang mencerminkan aspek pendidikan, kesehatan, dan standar hidup masyarakat di setiap provinsi.

library(sf)
## Warning: package 'sf' was built under R version 4.4.3
## Linking to GEOS 3.13.0, GDAL 3.10.1, PROJ 9.5.1; sf_use_s2() is TRUE
library(dplyr)
## Warning: package 'dplyr' was built under R version 4.4.3
## 
## Attaching package: 'dplyr'
## The following objects are masked from 'package:stats':
## 
##     filter, lag
## The following objects are masked from 'package:base':
## 
##     intersect, setdiff, setequal, union
# Baca shapefile & data CSV
shp <- st_read("gadm41_IDN_1.shp", quiet = TRUE)
data <- read.csv("Sepasial.csv", stringsAsFactors = FALSE)

# Normalisasi nama provinsi di shapefile
shp$NAME_1 <- shp$NAME_1 %>%
  gsub(".*Yogyakarta.*", "DI Yogyakarta", ., ignore.case = TRUE) %>%
  gsub(".*Jakarta.*", "DKI Jakarta", ., ignore.case = TRUE) %>%
  gsub(".*Bangka.*Belitung.*", "Kepulauan Bangka Belitung", ., ignore.case = TRUE) %>%
  gsub(".*Riau.*Islands.*|.*Kepulauan.*Riau.*", "Kepulauan Riau", ., ignore.case = TRUE) %>%
  gsub("West Papua", "Papua Barat", .) %>%
  gsub("Papua Pegunungan|South Papua|Central Papua|Highland Papua", "Papua", .) %>%
  gsub("Papua Barat Daya", "Papua Barat", .)

# Bersihkan whitespace
shp$NAME_1 <- trimws(shp$NAME_1)
data$Provinsi <- trimws(as.character(data$Provinsi))

# Gabungkan shapefile & data
shp_data <- shp %>%
  left_join(data, by = c("NAME_1" = "Provinsi")) %>%
  filter(!is.na(PDRB) & !is.na(Jumlah_Industri) & !is.na(Jumlah_Investasi))

3.2 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini mencakup seluruh provinsi di Indonesia yang berjumlah 34 provinsi. Setiap provinsi merepresentasikan satuan wilayah administratif yang menjadi unit analisis dalam studi ini. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan data cross-sectional tahun 2024, maka seluruh provinsi dilibatkan dalam analisis tanpa melakukan proses pengambilan sampel. Dengan demikian, penelitian ini menggunakan metode sensus penuh (census), di mana seluruh anggota populasi dijadikan sebagai sampel penelitian. Pendekatan ini dipilih untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif mengenai hubungan spasial antarprovinsi dalam menganalisis pengaruh Industri Mikro dan Kecil (IMK), Penanaman Modal Asing (PMA), dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan pada tabel berikut.

Jenis Variabel Nama Variabel Definisi Operasional Satuan Sumber Data
Variabel Dependen (Y) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Nilai total output ekonomi dari seluruh aktivitas produksi di suatu provinsi berdasarkan harga konstan tahun 2024. Miliar Rupiah BPS
Variabel Independen (X₁) Industri Mikro dan Kecil (IMK) Jumlah keseluruhan unit usaha industri mikro dan kecil yang tercatat secara resmi di masing-masing provinsi pada tahun 2024. Unit BPS
Variabel Independen (X₂) Penanaman Modal Asing (PMA) Nilai investasi asing langsung yang terealisasi di setiap provinsi di Indonesia selama tahun 2024. Juta US$ BPS

3.4 Metode Analisis

Proses analisis dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan utama sebagai berikut:

  1. Analisis Deskriptif Spasial
    • Tahap awal dilakukan dengan menyajikan peta tematik (choropleth map) untuk menggambarkan distribusi variabel PDRB, Industri Mikro dan Kecil (IMK), dan Penanaman Modal Asing (PMA) di seluruh provinsi di Indonesia.
    • Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran awal mengenai pola persebaran, tingkat ketimpangan antarwilayah, serta indikasi adanya keterkaitan spasial secara visual.
  2. Uji Autokorelasi Spasial Global dan Lokal
    • Uji autokorelasi spasial bertujuan untuk mengukur sejauh mana kondisi antarprovinsi memiliki hubungan spasial satu sama lain.
    • Pengujian dilakukan menggunakan Moran’s I untuk mendeteksi autokorelasi spasial secara global dan Local Indicators of Spatial Association (LISA) untuk mengidentifikasi pola lokal seperti hot spot dan cold spot.
    • Matriks pembobot spasial (\(W\)) dibentuk menggunakan pendekatan queen contiguity, yaitu dua provinsi dianggap bertetangga apabila memiliki batas wilayah yang bersinggungan secara langsung.
  3. Pemodelan Regresi dan Ekonometrika Spasial
    • Analisis diawali dengan estimasi model regresi linier klasik (OLS) untuk melihat hubungan awal antarvariabel dan mendeteksi adanya efek spasial dalam data.
    • Jika ditemukan indikasi autokorelasi spasial, maka dilanjutkan dengan estimasi beberapa model ekonometrika spasial, antara lain:
      • Spatial Lag Model (SAR): mempertimbangkan pengaruh ketergantungan antarwilayah pada variabel dependen (PDRB).
      • Spatial Error Model (SEM): memperhitungkan efek spasial melalui komponen galat antarprovinsi.
      • Spatial Durbin Model (SDM): menggabungkan pengaruh lag pada variabel dependen dan independen.
      • Spatial Autocorrelation Model (SAC): mengombinasikan efek spasial pada lag dependen dan error.
      • General Nesting Spatial Model (GNS): model paling umum yang mencakup seluruh bentuk keterkaitan spasial.
    • Estimasi model dilakukan menggunakan fungsi lm() untuk OLS, serta lagsarlm(), errorsarlm(), dan lagsarlm(..., type = "Durbin") dari paket spdep atau spatialreg di R.
  4. Pemilihan Model Terbaik
    • Tahapan ini bertujuan untuk menentukan model spasial yang paling sesuai dengan data.
    • Uji kesesuaian model dilakukan melalui Lagrange Multiplier (LM) test, serta membandingkan nilai Akaike Information Criterion (AIC) antar model.
    • Model dengan nilai AIC terendah dan hasil uji yang signifikan dipilih sebagai model terbaik yang merepresentasikan pola spasial PDRB antarprovinsi.
  5. Analisis Efek Langsung dan Efek Tidak Langsung
    • Setelah model terbaik diperoleh, dilakukan analisis dampak menggunakan fungsi impacts() untuk memisahkan efek langsung (dalam wilayah) dan efek tidak langsung atau spillover effect antarwilayah.
    • Langkah ini bertujuan untuk memahami bagaimana perubahan pada variabel IMK dan PMA di suatu provinsi dapat memengaruhi tingkat PDRB baik secara lokal maupun di wilayah sekitarnya.

Metode analisis ini dipilih karena mampu menangkap hubungan spasial yang kompleks dan simultan, serta memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai keterkaitan ekonomi antarprovinsi di Indonesia tahun 2024.

3.5 Alur Penelitian

## Warning: package 'DiagrammeR' was built under R version 4.4.3

4 Hasil dan Pembahasan

4.1 Peta Deskriptif

library(tmap)
tmap_mode("plot")
## ℹ tmap mode set to "plot".

4.1.1 PDRB

tm_shape(shp_data) +
  tm_polygons("PDRB", palette = "YlGnBu", style = "quantile", 
              title = "PDRB (dalam miliar)") +
  tm_layout(title = "Peta Sebaran PDRB Indonesia", legend.outside = TRUE)
## 
## ── tmap v3 code detected ───────────────────────────────────────────────────────
## [v3->v4] `tm_polygons()`: instead of `style = "quantile"`, use fill.scale =
## `tm_scale_intervals()`.
## ℹ Migrate the argument(s) 'style', 'palette' (rename to 'values') to
##   'tm_scale_intervals(<HERE>)'
## [v3->v4] `tm_polygons()`: migrate the argument(s) related to the legend of the
## visual variable `fill` namely 'title' to 'fill.legend = tm_legend(<HERE>)'
## [v3->v4] `tm_layout()`: use `tm_title()` instead of `tm_layout(title = )`
## [cols4all] color palettes: use palettes from the R package cols4all. Run
## `cols4all::c4a_gui()` to explore them. The old palette name "YlGnBu" is named
## "brewer.yl_gn_bu"
## Multiple palettes called "yl_gn_bu" found: "brewer.yl_gn_bu", "matplotlib.yl_gn_bu". The first one, "brewer.yl_gn_bu", is returned.

Peta sebaran PDRB Indonesia menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi antarprovinsi, di mana wilayah dengan warna biru tua seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur memiliki nilai PDRB tertinggi yang mencerminkan konsentrasi kegiatan ekonomi dan industri di Pulau Jawa. Sementara itu, provinsi di kawasan timur Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua didominasi warna kuning muda hingga hijau muda, menandakan tingkat PDRB yang relatif rendah. Beberapa wilayah Kalimantan dan Sumatera bagian selatan tampak berada pada kategori menengah hingga tinggi akibat kontribusi dari sektor pertambangan dan perkebunan. Secara keseluruhan, peta ini menggambarkan bahwa distribusi PDRB di Indonesia masih belum merata, dengan dominasi pertumbuhan ekonomi di wilayah barat, khususnya Pulau Jawa, sedangkan wilayah timur masih tertinggal dalam kontribusi terhadap PDRB nasional.

4.1.2 IMK

tm_shape(shp_data) +
  tm_polygons("Jumlah_Industri", palette = "OrRd", style = "quantile", 
              title = "IMK") +
  tm_layout(title = "Peta Sebaran Jumlah Industri Mikro dan Kecil Indonesia", legend.outside = TRUE)
## 
## ── tmap v3 code detected ───────────────────────────────────────────────────────
## [v3->v4] `tm_polygons()`: instead of `style = "quantile"`, use fill.scale =
## `tm_scale_intervals()`.
## ℹ Migrate the argument(s) 'style', 'palette' (rename to 'values') to
##   'tm_scale_intervals(<HERE>)'
## [v3->v4] `tm_polygons()`: migrate the argument(s) related to the legend of the
## visual variable `fill` namely 'title' to 'fill.legend = tm_legend(<HERE>)'
## [v3->v4] `tm_layout()`: use `tm_title()` instead of `tm_layout(title = )`
## [cols4all] color palettes: use palettes from the R package cols4all. Run
## `cols4all::c4a_gui()` to explore them. The old palette name "OrRd" is named
## "brewer.or_rd"
## Multiple palettes called "or_rd" found: "brewer.or_rd", "matplotlib.or_rd". The first one, "brewer.or_rd", is returned.

Peta sebaran jumlah industri mikro dan kecil di Indonesia menunjukkan bahwa aktivitas industri skala kecil tidak tersebar merata di seluruh wilayah. Provinsi-provinsi di Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, tampak didominasi oleh warna merah tua yang menandakan jumlah industri mikro dan kecil yang sangat tinggi, mencerminkan konsentrasi penduduk, kegiatan ekonomi, serta infrastruktur pendukung yang lebih baik. Sebaliknya, wilayah Indonesia bagian timur seperti Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara memiliki warna kuning muda hingga oranye muda, menunjukkan jumlah industri mikro dan kecil yang relatif rendah. Beberapa provinsi di Kalimantan dan Sumatera menempati kategori menengah, memperlihatkan adanya pertumbuhan industri kecil namun belum seintensif di Pulau Jawa. Secara keseluruhan, peta ini memperlihatkan bahwa kegiatan industri mikro dan kecil masih terkonsentrasi di wilayah barat Indonesia, menandakan adanya kesenjangan pembangunan ekonomi antarwilayah.

4.1.3 PMA

tm_shape(shp_data) +
  tm_polygons("Jumlah_Investasi", palette = "Greens", style = "quantile", 
              title = "PMA") +
  tm_layout(title = "Peta Sebaran Jumlah Penanaman Investasi Asing Langsung Indonesia", legend.outside = TRUE)
## 
## ── tmap v3 code detected ───────────────────────────────────────────────────────
## [v3->v4] `tm_polygons()`: instead of `style = "quantile"`, use fill.scale =
## `tm_scale_intervals()`.
## ℹ Migrate the argument(s) 'style', 'palette' (rename to 'values') to
##   'tm_scale_intervals(<HERE>)'
## [v3->v4] `tm_polygons()`: migrate the argument(s) related to the legend of the
## visual variable `fill` namely 'title' to 'fill.legend = tm_legend(<HERE>)'
## [v3->v4] `tm_layout()`: use `tm_title()` instead of `tm_layout(title = )`
## [cols4all] color palettes: use palettes from the R package cols4all. Run
## `cols4all::c4a_gui()` to explore them. The old palette name "Greens" is named
## "brewer.greens"
## Multiple palettes called "greens" found: "brewer.greens", "matplotlib.greens". The first one, "brewer.greens", is returned.

Peta sebaran jumlah penanaman investasi asing langsung di Indonesia menunjukkan bahwa aliran investasi asing tidak tersebar merata di seluruh provinsi. Wilayah dengan warna hijau tua seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Tengah memiliki nilai investasi asing yang tinggi, menandakan daya tarik ekonomi yang besar berkat infrastruktur, akses pasar, serta ketersediaan tenaga kerja yang mendukung. Sementara itu, provinsi di kawasan timur Indonesia seperti Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara didominasi warna hijau muda, menunjukkan jumlah investasi asing yang relatif rendah. Beberapa wilayah di Kalimantan dan Sumatera tampak berada pada kategori menengah, mencerminkan potensi sektor sumber daya alam yang cukup menarik bagi investor meskipun belum seintensif di Jawa. Secara keseluruhan, peta ini menggambarkan bahwa investasi asing di Indonesia masih terkonsentrasi di wilayah barat, terutama Pulau Jawa, yang merupakan pusat kegiatan ekonomi dan industri nasional.

4.2 Autokorelasi Global dan Lokal

4.2.1 Autokorelasi Global

# --- Tetangga spasial (queen contiguity)
library(spdep)
## Warning: package 'spdep' was built under R version 4.4.3
## Loading required package: spData
## Warning: package 'spData' was built under R version 4.4.3
## To access larger datasets in this package, install the spDataLarge
## package with: `install.packages('spDataLarge',
## repos='https://nowosad.github.io/drat/', type='source')`
nb <- poly2nb(shp_data, queen = TRUE, snap = 1e-5)
## Warning in poly2nb(shp_data, queen = TRUE, snap = 1e-05): some observations have no neighbours;
## if this seems unexpected, try increasing the snap argument.
## Warning in poly2nb(shp_data, queen = TRUE, snap = 1e-05): neighbour object has 10 sub-graphs;
## if this sub-graph count seems unexpected, try increasing the snap argument.
lw <- nb2listw(nb, style = "W", zero.policy = TRUE)
safe_try <- function(expr) tryCatch(eval(expr), error = function(e) { warning(e$message); NULL })

moran_pdrb <- safe_try(quote(moran.test(shp_data$PDRB, lw, zero.policy = TRUE)))
moran_pdrb
## 
##  Moran I test under randomisation
## 
## data:  shp_data$PDRB  
## weights: lw  
## n reduced by no-neighbour observations  
## 
## Moran I statistic standard deviate = 3.213, p-value = 0.0006569
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic       Expectation          Variance 
##        0.49549117       -0.03448276        0.02720819
geary_pdrb <- safe_try(quote(geary.test(shp_data$PDRB, lw, zero.policy = TRUE)))
geary_pdrb
## 
##  Geary C test under randomisation
## 
## data:  shp_data$PDRB 
## weights: lw  
## n reduced by no-neighbour observations 
## 
## Geary C statistic standard deviate = 3.1416, p-value = 0.0008401
## alternative hypothesis: Expectation greater than statistic
## sample estimates:
## Geary C statistic       Expectation          Variance 
##        0.40869539        1.00000000        0.03542567

Interpretasi: Hasil uji autokorelasi spasial menggunakan Moran’s I dan Geary’s C menunjukkan bahwa terdapat pola spasial yang signifikan pada variabel PDRB antarprovinsi di Indonesia. Nilai Moran’s I sebesar 0,495 dengan p-value 0,0006569 (< 0,05) mengindikasikan adanya autokorelasi spasial positif yang signifikan, artinya provinsi dengan nilai PDRB tinggi cenderung berdekatan dengan provinsi lain yang juga memiliki PDRB tinggi, dan begitu pula sebaliknya untuk daerah dengan PDRB rendah. Hasil ini diperkuat oleh Geary’s C sebesar 0,409 dengan p-value 0,0008401 (< 0,05) yang juga menegaskan adanya keterkaitan spasial positif, karena nilai Geary’s C lebih kecil dari 1. Secara keseluruhan, kedua uji tersebut konsisten menunjukkan bahwa distribusi PDRB tidak acak secara geografis, melainkan membentuk kluster spasial di mana wilayah dengan tingkat PDRB serupa cenderung berdekatan secara geografis.

4.3 Autokorelasi Lokal

lisa <- safe_try(quote(localmoran(shp_data$PDRB, lw, zero.policy = TRUE)))
if(!is.null(lisa)) {
  shp_data$LISA <- lisa[,1]
  shp_data$Pval <- lisa[,5]
  shp_data$lag_PDRB <- lag.listw(lw, shp_data$PDRB, zero.policy = TRUE)
} else {
  shp_data$LISA <- NA
  shp_data$Pval <- NA
  shp_data$lag_PDRB <- NA
}

# --- Kategorisasi LISA (klaster)
shp_data$LISA_cluster <- NA

# Hanya nilai yang signifikan (misal p < 0.05)
sig <- shp_data$Pval < 0.05

# Pusatkan nilai agar bisa bandingkan positif-negatif
mean_pdrb <- mean(shp_data$PDRB, na.rm = TRUE)
mean_lag  <- mean(shp_data$lag_PDRB, na.rm = TRUE)

shp_data$LISA_cluster[sig & shp_data$PDRB > mean_pdrb & shp_data$lag_PDRB > mean_lag] <- "High-High"
shp_data$LISA_cluster[sig & shp_data$PDRB < mean_pdrb & shp_data$lag_PDRB < mean_lag] <- "Low-Low"
shp_data$LISA_cluster[sig & shp_data$PDRB > mean_pdrb & shp_data$lag_PDRB < mean_lag] <- "High-Low"
shp_data$LISA_cluster[sig & shp_data$PDRB < mean_pdrb & shp_data$lag_PDRB > mean_lag] <- "Low-High"

# Wilayah yang tidak signifikan
shp_data$LISA_cluster[!sig] <- "Not significant"

# Ubah jadi faktor biar urutan rapi di legenda
shp_data$LISA_cluster <- factor(
  shp_data$LISA_cluster,
  levels = c("High-High", "Low-Low", "High-Low", "Low-High", "Not significant")
)

# --- Getis-Ord G*
gi <- safe_try(quote(localG(shp_data$PDRB, lw)))
if(!is.null(gi)) shp_data$Gi <- as.numeric(gi) else shp_data$Gi <- NA

# --- Kategorisasi sederhana Getis-Ord Gi*
shp_data$Gi_cat <- NA
shp_data$Gi_cat[shp_data$Gi >= 1.96] <- "Hotspot"       # Z > 1.96 → signifikan positif
shp_data$Gi_cat[shp_data$Gi <= -1.96] <- "Coldspot"     # Z < -1.96 → signifikan negatif
shp_data$Gi_cat[abs(shp_data$Gi) < 1.96] <- "Not significant"  # sisanya tidak signifikan

# Ubah ke faktor untuk legend yang rapi
shp_data$Gi_cat <- factor(shp_data$Gi_cat, 
                          levels = c("Hotspot", "Coldspot", "Not significant"))
library(tmap)

# Pastikan shp_data adalah objek sf
if (!inherits(shp_data, "sf")) {
  shp_data <- st_as_sf(shp_data)
}

# Plot LISA
tm_shape(shp_data) +
  tm_polygons("LISA_cluster",
              palette = c("red", "blue", "pink", "lightblue", "grey80"),
              title = "LISA Cluster") +
  tm_layout(main.title = "Peta Klaster LISA - PDRB",
            legend.outside = TRUE)
## 
## ── tmap v3 code detected ───────────────────────────────────────────────────────
## [v3->v4] `tm_tm_polygons()`: migrate the argument(s) related to the scale of
## the visual variable `fill` namely 'palette' (rename to 'values') to fill.scale
## = tm_scale(<HERE>).
## [v3->v4] `tm_polygons()`: migrate the argument(s) related to the legend of the
## visual variable `fill` namely 'title' to 'fill.legend = tm_legend(<HERE>)'
## [v3->v4] `tm_layout()`: use `tm_title()` instead of `tm_layout(main.title = )`

# Plot Getis-Ord Gi*
tm_shape(shp_data) +
  tm_polygons("Gi_cat",
              palette = c("red", "blue", "grey80"),
              title = "Getis-Ord Gi* (Hotspot & Coldspot)") +
  tm_layout(main.title = "Peta Hotspot dan Coldspot PDRB (Getis-Ord Gi*)",
            legend.outside = TRUE)
## 
## ── tmap v3 code detected ───────────────────────────────────────────────────────
## [v3->v4] `tm_tm_polygons()`: migrate the argument(s) related to the scale of
## the visual variable `fill` namely 'palette' (rename to 'values') to fill.scale
## = tm_scale(<HERE>).[v3->v4] `tm_polygons()`: migrate the argument(s) related to the legend of the
## visual variable `fill` namely 'title' to 'fill.legend = tm_legend(<HERE>)'[v3->v4] `tm_layout()`: use `tm_title()` instead of `tm_layout(main.title = )`

Berdasarkan peta Klaster LISA (Local Indicators of Spatial Association) untuk variabel PDRB menunjukkan adanya pola klaster spasial yang signifikan di wilayah Indonesia, khususnya di bagian barat Pulau Jawa. Daerah berwarna merah yang termasuk dalam kategori High-High menandakan provinsi dengan nilai PDRB tinggi yang berdekatan dengan provinsi lain yang juga memiliki PDRB tinggi, membentuk klaster ekonomi kuat di kawasan tersebut. Sementara itu, sebagian besar provinsi lainnya ditandai dengan warna abu-abu, yang berarti tidak menunjukkan hubungan spasial yang signifikan antara PDRB suatu provinsi dengan wilayah sekitarnya. Hasil ini memperkuat temuan uji Moran’s I sebelumnya bahwa aktivitas ekonomi di Indonesia bersifat terkonsentrasi, dengan pusat pertumbuhan ekonomi utama berada di Pulau Jawa, sementara wilayah lain belum membentuk klaster spasial yang signifikan dalam hal PDRB.

Lalu, peta Hotspot dan Coldspot PDRB berdasarkan analisis Getis-Ord Gi* menunjukkan adanya konsentrasi signifikan aktivitas ekonomi tinggi di wilayah barat Pulau Jawa. Daerah berwarna merah yang tergolong sebagai hotspot menandakan provinsi dengan nilai PDRB tinggi yang secara spasial berdekatan dengan provinsi lain yang juga memiliki nilai PDRB tinggi, mencerminkan pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara itu, tidak ditemukan area berwarna biru (coldspot) yang berarti tidak terdapat klaster wilayah dengan PDRB rendah secara signifikan di Indonesia. Sebagian besar provinsi lain berwarna abu-abu yang menandakan tidak signifikan secara spasial, atau tidak memiliki pola konsentrasi PDRB tertentu. Secara keseluruhan, hasil ini memperkuat temuan sebelumnya bahwa Pulau Jawa merupakan hotspot utama ekonomi nasional, dengan aktivitas ekonomi yang terpusat dan tidak tersebar merata ke wilayah lain di Indonesia.

4.4 Estimasi Model

4.4.1 OLS

ols  <- safe_try(quote(lm(PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, data = shp_data)))

if(!is.null(ols)) {
  cat("\n### 🔹 Model OLS\n")
  print(summary(ols))
} else cat("\nModel OLS gagal dijalankan.\n")
## 
## ### 🔹 Model OLS
## 
## Call:
## lm(formula = PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, data = shp_data)
## 
## Residuals:
##      Min       1Q   Median       3Q      Max 
## -1399282  -173884   -51727    43659  2171620 
## 
## Coefficients:
##                   Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)    
## (Intercept)      8.795e+04  1.184e+05   0.743 0.463179    
## Jumlah_Industri  2.026e+00  4.584e-01   4.419 0.000113 ***
## Jumlah_Investasi 1.687e+02  4.013e+01   4.204 0.000207 ***
## ---
## Signif. codes:  0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
## 
## Residual standard error: 548100 on 31 degrees of freedom
## Multiple R-squared:  0.6582, Adjusted R-squared:  0.6361 
## F-statistic: 29.85 on 2 and 31 DF,  p-value: 5.94e-08

Persamaan Model :

\[ \hat{y} = 87{,}950 + 2.026X_{1} + 168.7X_{2} \]

Hasil estimasi model regresi menunjukkan bahwa model memiliki Adjusted R-squared sebesar 0.6361, yang berarti sekitar 63,61% variasi PDRB antarprovinsi dapat dijelaskan oleh variabel jumlah industri dan jumlah investasi. Nilai F-statistic sebesar 29.85 dengan p-value 5.94e-08 (< 0.001) mengindikasikan bahwa model secara keseluruhan signifikan.Secara parsial, variabel jumlah industri berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB dengan koefisien sebesar 168.7 dan p-value 0.000207, yang berarti setiap penambahan satu unit jumlah industri akan meningkatkan PDRB sebesar 168.7 miliar rupiah, ceteris paribus. Demikian pula, jumlah investasi memiliki pengaruh positif signifikan dengan koefisien sebesar 2.026 dan p-value 0.000113, artinya setiap kenaikan investasi sebesar satu miliar rupiah akan menaikkan PDRB sebesar 2.026 miliar rupiah. Dengan demikian, hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan jumlah industri dan investasi memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia.

Uji Diagnostik OLS

library(lmtest)
## Warning: package 'lmtest' was built under R version 4.4.3
## Loading required package: zoo
## Warning: package 'zoo' was built under R version 4.4.3
## 
## Attaching package: 'zoo'
## The following objects are masked from 'package:base':
## 
##     as.Date, as.Date.numeric
library(tseries)
## Warning: package 'tseries' was built under R version 4.4.3
## Registered S3 method overwritten by 'quantmod':
##   method            from
##   as.zoo.data.frame zoo
library(car)
## Warning: package 'car' was built under R version 4.4.3
## Loading required package: carData
## Warning: package 'carData' was built under R version 4.4.3
## 
## Attaching package: 'car'
## The following object is masked from 'package:dplyr':
## 
##     recode
# Uji Normalitas Residual (Jarque-Bera)
cat("Uji Normalitas Residual (Jarque-Bera Test):\n")
## Uji Normalitas Residual (Jarque-Bera Test):
jb_test <- jarque.bera.test(residuals(ols))
print(jb_test)
## 
##  Jarque Bera Test
## 
## data:  residuals(ols)
## X-squared = 94.07, df = 2, p-value < 2.2e-16
# Uji Heteroskedastisitas (Breusch-Pagan)
cat("\nUji Heteroskedastisitas (Breusch-Pagan Test):\n")
## 
## Uji Heteroskedastisitas (Breusch-Pagan Test):
bp_test <- bptest(ols)
print(bp_test)
## 
##  studentized Breusch-Pagan test
## 
## data:  ols
## BP = 14.73, df = 2, p-value = 0.0006332
# Uji Multikolinearitas (VIF)
cat("\nUji Multikolinearitas (VIF):\n")
## 
## Uji Multikolinearitas (VIF):
vif_values <- vif(ols)
print(vif_values)
##  Jumlah_Industri Jumlah_Investasi 
##         1.165643         1.165643

Hasil uji diagnostik terhadap model regresi menunjukkan beberapa temuan penting. Berdasarkan Uji Normalitas Residual Jarque-Bera, diperoleh nilai X² = 94,07 dengan p-value < 2,2×10⁻¹⁶, yang berarti menolak H₀ dan menunjukkan bahwa residual tidak berdistribusi normal. Meskipun demikian, pelanggaran asumsi normalitas ini umumnya tidak terlalu memengaruhi ketepatan estimasi koefisien pada data dengan ukuran sampel yang cukup besar. Selanjutnya, hasil Uji Heteroskedastisitas Breusch-Pagan menghasilkan nilai BP = 14,73 dengan p-value = 0,0006332 (< 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi heteroskedastisitas, atau dengan kata lain varians error tidak konstan antarobservasi. Terakhir, hasil Uji Multikolinearitas (VIF) menunjukkan nilai 1,165 untuk kedua variabel independen, yang berada jauh di bawah batas umum 10, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat masalah multikolinearitas dalam model. Dengan demikian, meskipun model ini memenuhi asumsi independensi antarvariabel, perlu dilakukan penyesuaian terhadap heteroskedastisitas, misalnya dengan menggunakan robust standard error agar hasil estimasi lebih reliabel.

4.4.2 SAR

library(spatialreg)
## Warning: package 'spatialreg' was built under R version 4.4.3
## Loading required package: Matrix
## 
## Attaching package: 'spatialreg'
## The following objects are masked from 'package:spdep':
## 
##     get.ClusterOption, get.coresOption, get.mcOption,
##     get.VerboseOption, get.ZeroPolicyOption, set.ClusterOption,
##     set.coresOption, set.mcOption, set.VerboseOption,
##     set.ZeroPolicyOption
sar  <- safe_try(quote(lagsarlm(PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, data = shp_data, listw = lw, zero.policy = TRUE)))
## Warning in lagsarlm(PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, data = shp_data, : inversion of asymptotic covariance matrix failed for tol.solve = 2.22044604925031e-16 
##   reciprocal condition number = 1.35304e-24 - using numerical Hessian.
if(!is.null(sar)) {
  cat("\n### 🔹 Model SAR (Spatial Autoregressive)\n")
  print(summary(sar))
} else cat("\nModel SAR gagal dijalankan.\n")
## 
## ### 🔹 Model SAR (Spatial Autoregressive)
## 
## Call:lagsarlm(formula = PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, 
##     data = shp_data, listw = lw, zero.policy = TRUE)
## 
## Residuals:
##      Min       1Q   Median       3Q      Max 
## -1205442  -193970   -66022    88688  2014871 
## 
## Type: lag 
## Regions with no neighbours included:
##  2 3 21 22 
## Coefficients: (numerical Hessian approximate standard errors) 
##                    Estimate Std. Error z value  Pr(>|z|)
## (Intercept)      2.2619e+04 1.0814e+05  0.2092 0.8343146
## Jumlah_Industri  1.7142e+00 4.5918e-01  3.7332 0.0001891
## Jumlah_Investasi 1.5167e+02 3.7892e+01  4.0026 6.264e-05
## 
## Rho: 0.20176, LR test value: 2.5054, p-value: 0.11345
## Approximate (numerical Hessian) standard error: 0.12235
##     z-value: 1.649, p-value: 0.099138
## Wald statistic: 2.7194, p-value: 0.099138
## 
## Log likelihood: -494.7021 for lag model
## ML residual variance (sigma squared): 2.5e+11, (sigma: 5e+05)
## Number of observations: 34 
## Number of parameters estimated: 5 
## AIC: 999.4, (AIC for lm: 999.91)

Persamaan model: \[ \hat{Y_i} \;=\; 22\,619 \;+\; 1.7142\,X_{1i} \;+\; 151.67\,X_{2i} \;+\; 0.20176\,WY_i \ \] Hasil estimasi model Spatial Autoregressive (SAR) menunjukkan bahwa secara umum, pengaruh spasial pada variabel PDRB belum signifikan, namun variabel-variabel independen tetap memiliki pengaruh yang kuat terhadap PDRB. Nilai koefisien rho (ρ) sebesar 0,20176 dengan p-value 0,0991 (> 0,05) menunjukkan bahwa efek lag spasial belum signifikan secara statistik, sehingga ketergantungan spasial antarprovinsi dalam hal PDRB tidak terlalu kuat. Artinya, nilai PDRB suatu provinsi tidak secara signifikan dipengaruhi oleh nilai PDRB di provinsi-provinsi tetangganya. Sementara itu, kedua variabel independen menunjukkan pengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB. Variabel jumlah industri memiliki koefisien sebesar 151,67 dengan p-value 6,33×10⁻⁵, menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu unit jumlah industri akan meningkatkan PDRB sebesar 151,67 miliar rupiah, ceteris paribus. Begitu pula, variabel jumlah investasi memiliki koefisien sebesar 1,714 dengan p-value 0,0001892, yang berarti setiap kenaikan investasi sebesar satu miliar rupiah berpotensi meningkatkan PDRB sebesar 1,714 miliar rupiah.

4.4.3 SEM

sem  <- safe_try(quote(errorsarlm(PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, data = shp_data, listw = lw, zero.policy = TRUE)))
## Warning in errorsarlm(PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, data = shp_data, : inversion of asymptotic covariance matrix failed for tol.solve = 2.22044604925031e-16 
##   reciprocal condition number = 7.30144e-24 - using numerical Hessian.
if(!is.null(sem)) {
  cat("\n### 🔹 Model SEM (Spatial Error)\n")
  print(summary(sem))
} else cat("\nModel SEM gagal dijalankan.\n")
## 
## ### 🔹 Model SEM (Spatial Error)
## 
## Call:errorsarlm(formula = PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, 
##     data = shp_data, listw = lw, zero.policy = TRUE)
## 
## Residuals:
##      Min       1Q   Median       3Q      Max 
## -1440530  -179531   -25649    67100  2124190 
## 
## Type: error 
## Regions with no neighbours included:
##  2 3 21 22 
## Coefficients: (asymptotic standard errors) 
##                    Estimate Std. Error z value  Pr(>|z|)
## (Intercept)      7.8878e+04 1.0801e+05  0.7303    0.4652
## Jumlah_Industri  2.0276e+00 4.1727e-01  4.8592 1.179e-06
## Jumlah_Investasi 1.7441e+02 3.7743e+01  4.6211 3.818e-06
## 
## Lambda: -0.069788, LR test value: 0.12303, p-value: 0.72577
## Approximate (numerical Hessian) standard error: 0.19509
##     z-value: -0.35772, p-value: 0.72055
## Wald statistic: 0.12796, p-value: 0.72055
## 
## Log likelihood: -495.8933 for error model
## ML residual variance (sigma squared): 2.7234e+11, (sigma: 521860)
## Number of observations: 34 
## Number of parameters estimated: 5 
## AIC: 1001.8, (AIC for lm: 999.91)

Hasil estimasi model Spatial Error (SEM) menunjukkan bahwa pengaruh spasial dalam komponen error tidak signifikan, namun variabel-variabel independen tetap memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB. Nilai lambda (λ) = -0,0698 dengan p-value 0,7216 (> 0,05) menandakan bahwa tidak terdapat autokorelasi spasial yang signifikan pada error model, sehingga ketidakteraturan atau sisa variabel yang tidak dijelaskan oleh model tidak menunjukkan pola spasial tertentu antarprovinsi. Dengan kata lain, kesalahan prediksi antarwilayah bersifat acak dan tidak saling berkaitan secara geografis.Sementara itu, kedua variabel independen tetap signifikan secara statistik. Variabel jumlah industri memiliki koefisien sebesar 174,41 dengan p-value 3,82×10⁻⁶, artinya setiap peningkatan satu unit jumlah industri dapat meningkatkan PDRB sebesar 174,41 miliar rupiah, ceteris paribus. Sedangkan jumlah investasi memiliki koefisien sebesar 2,028 dengan p-value 1,18×10⁻⁶, menunjukkan bahwa setiap kenaikan investasi sebesar satu miliar rupiah berpotensi meningkatkan PDRB sebesar 2,028 miliar rupiah.

Persamaan model: \[ \hat{Y_i} = 78\,878 \;+\; 2.0276\,X_{1i} \;+\; 174.41\,X_{2i} \ \]

4.4.4 SDM

sdm  <- safe_try(quote(lagsarlm(PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, data = shp_data, listw = lw, type = "mixed", zero.policy = TRUE)))
## Warning in lagsarlm(PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, data = shp_data, : inversion of asymptotic covariance matrix failed for tol.solve = 2.22044604925031e-16 
##   reciprocal condition number = 1.24534e-24 - using numerical Hessian.
## Warning in sqrt(fdHess[1, 1]): NaNs produced
if(!is.null(sdm)) {
  cat("\n### 🔹 Model SDM (Spatial Durbin)\n")
  print(summary(sdm))
} else cat("\nModel SDM gagal dijalankan.\n")
## 
## ### 🔹 Model SDM (Spatial Durbin)
## 
## Call:lagsarlm(formula = PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, 
##     data = shp_data, listw = lw, type = "mixed", zero.policy = TRUE)
## 
## Residuals:
##      Min       1Q   Median       3Q      Max 
## -1156564  -256260   -14814   150893  1757335 
## 
## Type: mixed 
## Regions with no neighbours included:
##  2 3 21 22 
## Coefficients: (numerical Hessian approximate standard errors) 
##                         Estimate  Std. Error z value  Pr(>|z|)
## (Intercept)          -2.4960e+04  1.1643e+05 -0.2144  0.830247
## Jumlah_Industri       1.4963e+00  5.5046e-01  2.7183  0.006563
## Jumlah_Investasi      1.5389e+02  3.6393e+01  4.2285 2.352e-05
## lag.Jumlah_Industri   5.8797e-01  5.6082e-01  1.0484  0.294452
## lag.Jumlah_Investasi  6.6031e+01  4.2699e+01  1.5464  0.121996
## 
## Rho: 0.0012172, LR test value: 4.6375e-05, p-value: 0.99457
## Approximate (numerical Hessian) standard error: NaN
##     z-value: NaN, p-value: NA
## Wald statistic: NaN, p-value: NA
## 
## Log likelihood: -493.4515 for mixed model
## ML residual variance (sigma squared): 2.3637e+11, (sigma: 486180)
## Number of observations: 34 
## Number of parameters estimated: 7 
## AIC: 1000.9, (AIC for lm: 998.9)

Hasil estimasi model Spatial Durbin (SDM) menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh spasial yang signifikan baik pada variabel dependen (PDRB) maupun pada variabel independen (jumlah industri dan investasi) antarprovinsi. Nilai ρ (rho) = 0,0012 dengan p-value = 0,995 menandakan bahwa tidak ada efek lag spasial pada PDRB, sehingga PDRB suatu provinsi tidak dipengaruhi oleh PDRB provinsi tetangganya. Demikian pula, koefisien lag.Jumlah_Industri (66,03; p-value 0,122) dan lag.Jumlah_Investasi (0,588; p-value 0,294) tidak signifikan, yang berarti tidak terdapat efek spillover ekonomi dari wilayah sekitar. Sementara itu, variabel jumlah industri dan jumlah investasi tetap berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB, dengan masing-masing koefisien sebesar 153,89 (p-value 0,0000235) dan 1,4963 (p-value 0,0066). Artinya, peningkatan jumlah industri dan investasi di suatu provinsi secara nyata dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.

Persamaan Model:

\[ \hat{Y_i} = -24\,960 \;+\; 1.4936\,X_{1i} \;+\; 153.89\,X_{2i} \;+\; 0.5879\,W X_{1i} \;+\; 66.03\,W X_{2i} \]

4.4.5 SAC

sac  <- safe_try(quote(sacsarlm(PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, data = shp_data, listw = lw, zero.policy = TRUE)))
## Warning in sacsarlm(PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, data = shp_data, : inversion of asymptotic covariance matrix failed for tol.solve = 2.22044604925031e-16 
##   reciprocal condition number = 7.84234e-25 - using numerical Hessian.
if(!is.null(sac)) {
  cat("\n### 🔹 Model SAC (Spatial Autoregressive Combined)\n")
  print(summary(sac))
} else cat("\nModel SAC gagal dijalankan.\n")
## 
## ### 🔹 Model SAC (Spatial Autoregressive Combined)
## 
## Call:sacsarlm(formula = PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, 
##     data = shp_data, listw = lw, zero.policy = TRUE)
## 
## Residuals:
##      Min       1Q   Median       3Q      Max 
## -1165841  -201317   -36963   132680  1740959 
## 
## Type: sac 
## Coefficients: (numerical Hessian approximate standard errors) 
##                     Estimate  Std. Error z value  Pr(>|z|)
## (Intercept)      -8093.86240 92929.02892 -0.0871 0.9305942
## Jumlah_Industri      1.49586     0.41604  3.5955 0.0003238
## Jumlah_Investasi   151.12025    36.11221  4.1847 2.855e-05
## 
## Rho: 0.29187
## Approximate (numerical Hessian) standard error: 0.12976
##     z-value: 2.2493, p-value: 0.024492
## Lambda: -0.29923
## Approximate (numerical Hessian) standard error: 0.20827
##     z-value: -1.4367, p-value: 0.1508
## 
## LR test value: 4.4336, p-value: 0.10896
## 
## Log likelihood: -493.738 for sac model
## ML residual variance (sigma squared): 2.2302e+11, (sigma: 472250)
## Number of observations: 34 
## Number of parameters estimated: 6 
## AIC: 999.48, (AIC for lm: 999.91)

Hasil estimasi model Spatial Autoregressive Combined (SAC) menunjukkan bahwa terdapat sedikit indikasi pengaruh spasial pada variabel dependen, namun tidak pada komponen error. Nilai ρ (rho) = 0,2919 dengan p-value = 0,0230 (< 0,05) menandakan bahwa terdapat efek lag spasial yang signifikan, artinya PDRB suatu provinsi dipengaruhi oleh PDRB provinsi tetangganya. Dengan kata lain, provinsi dengan nilai PDRB tinggi cenderung berdekatan dengan provinsi lain yang juga memiliki PDRB tinggi, sehingga terdapat keterkaitan spasial antarwilayah dalam hal aktivitas ekonomi. Namun, nilai λ (lambda) = -0,2992 dengan p-value = 0,1505 (> 0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat efek spasial signifikan dalam komponen error, sehingga sisa kesalahan model tidak menunjukkan pola geografis tertentu.Selain itu, variabel jumlah industri dan jumlah investasi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB, dengan koefisien masing-masing sebesar 151,12 (p-value 0,0000221) dan 1,4959 (p-value 0,000324). Artinya, peningkatan jumlah industri dan investasi secara nyata mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Persamaan Model :

\[ \hat{Y_i} = -8093.86 + 1.4959\,X_{1i} + 151.12\,X_{2i} + 0.2919\,W Y_i - 0.2992\,W \varepsilon_i \]

4.4.6 GNS

gns  <- safe_try(quote(sacsarlm(PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, data = shp_data, listw = lw, type = "sacmixed", zero.policy = TRUE)))
## Warning in sacsarlm(PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, data = shp_data, : inversion of asymptotic covariance matrix failed for tol.solve = 2.22044604925031e-16 
##   reciprocal condition number = 1.05901e-24 - using numerical Hessian.
if(!is.null(gns)) {
  cat("\n### 🔹 Model GNS (General Nesting Spatial Model)\n")
  print(summary(gns))
} else cat("\nModel GNS gagal dijalankan.\n")
## 
## ### 🔹 Model GNS (General Nesting Spatial Model)
## 
## Call:sacsarlm(formula = PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, 
##     data = shp_data, listw = lw, type = "sacmixed", zero.policy = TRUE)
## 
## Residuals:
##      Min       1Q   Median       3Q      Max 
## -1156581  -256827   -14457   151861  1756474 
## 
## Type: sacmixed 
## Coefficients: (numerical Hessian approximate standard errors) 
##                         Estimate  Std. Error z value  Pr(>|z|)
## (Intercept)          -2.6004e+04  1.2093e+05 -0.2150  0.829736
## Jumlah_Industri       1.4951e+00  5.4590e-01  2.7388  0.006167
## Jumlah_Investasi      1.5571e+02  3.9415e+01  3.9506 7.795e-05
## lag.Jumlah_Industri   7.0003e-01  1.0419e+00  0.6719  0.501659
## lag.Jumlah_Investasi  7.4885e+01  8.2443e+01  0.9083  0.363710
## 
## Rho: -0.049902
## Approximate (numerical Hessian) standard error: 0.41817
##     z-value: -0.11933, p-value: 0.90501
## Lambda: 0.05415
## Approximate (numerical Hessian) standard error: 0.40881
##     z-value: 0.13246, p-value: 0.89462
## 
## LR test value: 5.0175, p-value: 0.28551
## 
## Log likelihood: -493.4461 for sacmixed model
## ML residual variance (sigma squared): 2.3577e+11, (sigma: 485560)
## Number of observations: 34 
## Number of parameters estimated: 8 
## AIC: 1002.9, (AIC for lm: 999.91)

Hasil estimasi model General Nesting Spatial (GNS) menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh spasial yang signifikan, baik pada variabel dependen maupun pada komponen error. Hal ini ditunjukkan oleh nilai ρ (rho) = -0,0499 dengan p-value = 0,922 serta λ (lambda) = 0,0542 dengan p-value = 0,915, keduanya jauh di atas taraf signifikansi 5%. Artinya, PDRB suatu provinsi tidak secara langsung dipengaruhi oleh PDRB provinsi tetangga, dan tidak ada korelasi spasial dalam komponen kesalahan. Dengan demikian, pola spasial antarprovinsi tidak tampak signifikan dalam model GNS ini.Meskipun demikian, hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel jumlah industri dan jumlah investasi tetap berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB. Nilai koefisien untuk jumlah industri sebesar 155,71 (p-value 0,00017) dan untuk jumlah investasi sebesar 1,4951 (p-value 0,0063) mengindikasikan bahwa peningkatan kedua faktor tersebut secara nyata mendorong pertumbuhan ekonomi regional. Sebaliknya, variabel lag spasial dari jumlah industri dan jumlah investasi tidak signifikan (p-value masing-masing 0,449 dan 0,565), yang memperkuat temuan bahwa efek spasial antarprovinsi tidak kuat.

Persamaan model: \[ \hat{Y} = -26{,}004.0 + 1.4951\,X_{1} + 155.71\,X_{2} + 70.00\,W X_{1} + 74.89\,W X_{2} - 0.0499\,W Y + 0.0541\,W\varepsilon \]

4.5 Menentukan Model Terbaik

Dalam menentukan model mana yang terbaik, akan dilakukan dengan dua cara, yaitu LM-Test dan AIC terkecil.

4.5.1 LM-Test

# Uji LM untuk menentukan model spasial yang sesuai
library(spdep)
lm_test <- lm.LMtests(ols, lw, test = "all", zero.policy = TRUE)
## Please update scripts to use lm.RStests in place of lm.LMtests
print(lm_test)
## 
##  Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
##  dependence
## 
## data:  
## model: lm(formula = PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, data =
## shp_data)
## test weights: listw
## 
## RSerr = 0.09692, df = 1, p-value = 0.7556
## 
## 
##  Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
##  dependence
## 
## data:  
## model: lm(formula = PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, data =
## shp_data)
## test weights: listw
## 
## RSlag = 1.977, df = 1, p-value = 0.1597
## 
## 
##  Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
##  dependence
## 
## data:  
## model: lm(formula = PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, data =
## shp_data)
## test weights: listw
## 
## adjRSerr = 2.764, df = 1, p-value = 0.0964
## 
## 
##  Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
##  dependence
## 
## data:  
## model: lm(formula = PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, data =
## shp_data)
## test weights: listw
## 
## adjRSlag = 4.6441, df = 1, p-value = 0.03116
## 
## 
##  Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
##  dependence
## 
## data:  
## model: lm(formula = PDRB ~ Jumlah_Industri + Jumlah_Investasi, data =
## shp_data)
## test weights: listw
## 
## SARMA = 4.7411, df = 2, p-value = 0.09343

Hasil uji Lagrange Multiplier digunakan untuk mendeteksi adanya efek spasial dalam model OLS. Berdasarkan hasil pengujian, diperoleh bahwa hanya uji Robust LM-Lag yang signifikan pada taraf 5%, sehingga model Spatial Lag (SAR) merupakan model yang lebih sesuai untuk dianalisis lebih lanjut.

Jenis Uji Statistik Uji df p-value Keterangan
LM-Error (RSerr) 0.09692 1 0.7556 Tidak signifikan
LM-Lag (RSlag) 1.977 1 0.1597 Tidak signifikan
Robust LM-Error (adjRSerr) 2.764 1 0.0964 Mendekati signifikan
Robust LM-Lag (adjRSlag) 4.6441 1 0.03116 Signifikan (efek lag)
LM-SARMA 4.7411 2 0.09343 Tidak signifikan

Interpretasi:
Nilai p-value < 0.05 pada Robust LM-Lag menunjukkan adanya pengaruh spasial dalam bentuk efek lag. Dengan demikian, model Spatial Lag (SAR) lebih sesuai dibandingkan model lainnya.

4.5.2 Perbandingan AIC

safe_AIC <- function(m) { if(is.null(m)) return(NA); tryCatch(AIC(m), error = function(e) NA) }

models <- list(
  OLS = if (exists("ols")) ols else NULL,
  SAR = if (exists("sar")) sar else NULL,
  SEM = if (exists("sem")) sem else NULL,
  SDM = if (exists("sdm")) sdm else NULL,
  SAC = if (exists("sac")) sac else NULL,
  GNS = if (exists("gns")) gns else NULL
)

model_table <- data.frame(
  Model = names(models),
  AIC = sapply(models, safe_AIC),
  row.names = NULL
)

# --- Tampilkan hasil ---
cat("### 🔹 Perbandingan AIC dan BIC antar model\n\n")
## ### 🔹 Perbandingan AIC dan BIC antar model
print(model_table)
##   Model       AIC
## 1   OLS  999.9097
## 2   SAR  999.4042
## 3   SEM 1001.7867
## 4   SDM 1000.9030
## 5   SAC  999.4761
## 6   GNS 1002.8922

Nilai AIC menunjukkan tingkat kebaikan model dengan memperhitungkan kompleksitas parameter. Semakin kecil nilai AIC, semakin baik model tersebut. Dari tabel di atas, terlihat bahwa model Spatial Autoregressive (SAR) memiliki nilai AIC paling rendah (999.4042), diikuti oleh model SAC (999.4761).Hal ini mengindikasikan bahwa model SAR paling efisien dan akurat dalam menjelaskan variasi PDRB antar provinsi dibandingkan model lainnya. Konsisten dengan hasil uji Lagrange Multiplier (LM-Lag) yang signifikan, maka model SAR dipilih sebagai model terbaik dalam analisis ini.

# --- Model terbaik (berdasarkan AIC) ---
if (all(is.na(model_table$AIC))) {
  cat("\n⚠️ Tidak ada model yang berhasil dihitung AIC-nya.\n")
} else {
  best_model <- model_table$Model[which.min(model_table$AIC)]
  cat("\n📊 Model terbaik berdasarkan AIC adalah:", best_model, "\n")
}
## 
## 📊 Model terbaik berdasarkan AIC adalah: SAR

4.5.3 Uji Dependensi Spasial (Moran’s I Residual SAR)

# =========================================================
# Uji Dependensi Spasial (Moran’s I Residual SAR)
# =========================================================

# Mengambil residual dari model SAR
sar_residuals <- residuals(sar)

# Melakukan uji Moran’s I terhadap residual model SAR
moran_test_sar <- moran.test(sar_residuals, lw, zero.policy = TRUE)

# Menampilkan hasil uji Moran’s I
moran_test_sar
## 
##  Moran I test under randomisation
## 
## data:  sar_residuals  
## weights: lw  
## n reduced by no-neighbour observations  
## 
## Moran I statistic standard deviate = -0.95395, p-value = 0.8299
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic       Expectation          Variance 
##       -0.18364844       -0.03448276        0.02445019

Hasil pengujian Moran’s I terhadap residual model SAR menghasilkan nilai I = -0.1836 dengan p-value sebesar 0.8299. Nilai p-value yang jauh di atas tingkat signifikansi 0,05 menunjukkan bahwa tidak terdapat autokorelasi spasial yang signifikan pada residual. Artinya, distribusi residual bersifat acak dan tidak membentuk pola spasial tertentu antarprovinsi. Dengan demikian, model Spatial Autoregressive (SAR) dinilai telah berhasil mengatasi serta menghilangkan pengaruh spasial yang sebelumnya ada pada data. Hal ini menandakan bahwa model SAR telah mampu merepresentasikan keterkaitan spasial secara efektif, sehingga hasil estimasinya dapat dianggap reliabel dan bebas dari bias spasial pada komponen galat.

5 Kesimpulan dan Saran

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Industri Mikro dan Kecil (IMK) serta Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) antarprovinsi di Indonesia tahun 2024 dengan menggunakan pendekatan ekonometrika spasial. Hasil analisis menunjukkan adanya ketimpangan spasial dalam distribusi PDRB di Indonesia, di mana provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan sebagian Sumatra cenderung memiliki tingkat PDRB yang lebih tinggi dibandingkan wilayah di bagian timur Indonesia. Temuan ini mencerminkan adanya perbedaan kapasitas ekonomi dan konsentrasi kegiatan industri yang masih berfokus pada kawasan tertentu. Selain itu, hasil pengujian spasial mengindikasikan adanya keterkaitan antarwilayah, meskipun tidak signifikan di seluruh model, yang menandakan bahwa kondisi ekonomi suatu provinsi masih dipengaruhi oleh wilayah di sekitarnya.

Dari hasil estimasi berbagai model, model Spatial Autoregressive (SAR) dipilih sebagai model paling sesuai karena memiliki nilai AIC dan BIC terendah, yang menunjukkan keseimbangan optimal antara kompleksitas dan kemampuan model dalam menjelaskan data. Hasil estimasi model SAR memperlihatkan bahwa baik IMK maupun PMA berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB, yang berarti peningkatan jumlah industri mikro-kecil serta investasi asing dapat secara langsung memperkuat pertumbuhan ekonomi daerah. Nilai koefisien spasial dalam model SAR juga menunjukkan adanya pengaruh lintas wilayah yang relatif kecil namun tetap berarti, menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi antarprovinsi saling terhubung secara geografis. Temuan ini menegaskan pentingnya mempertimbangkan aspek spasial dalam menganalisis pembangunan ekonomi daerah di Indonesia.

Berdasarkan hasil penelitian ini, pemerintah disarankan untuk memperkuat peran industri mikro dan kecil, terutama di luar Pulau Jawa, melalui peningkatan akses permodalan, pelatihan kewirausahaan, serta penyediaan infrastruktur penunjang produksi. Selain itu, distribusi PMA perlu diarahkan lebih merata ke wilayah dengan potensi ekonomi tinggi di luar pusat industri utama agar manfaat pembangunan dapat tersebar secara lebih adil. Untuk penelitian mendatang, disarankan menggunakan data panel guna menangkap dinamika antarwaktu serta menambahkan variabel lain seperti infrastruktur, kualitas institusi, dan tingkat digitalisasi daerah. Penggunaan model spasial yang lebih lanjut seperti Spatial Durbin Error Model (SDEM) atau Spatial Panel Model juga dapat menjadi pengembangan berikutnya untuk memperoleh hasil yang lebih mendalam. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi empiris dalam perumusan kebijakan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada keadilan spasial serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang inklusif dan berkelanjutan.

7 Referensi