0.1 Abstrak

Rata-rata lama sekolah (RLS) merupakan salah satu indikator penting yang mencerminkan kualitas pendidikan dan kemajuan sumber daya manusia suatu daerah. Pada tahun 2024, Provinsi Jawa Barat memiliki rata-rata lama sekolah sebesar 8,87 tahun, masih di bawah rata-rata nasional yaitu 9,22 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi rata-rata lama sekolah antar kabupaten/kota di Jawa Barat dengan pendekatan model ekonometrika spasial. Variabel yang digunakan meliputi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) Pendidikan, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tingkat kemiskinan, rasio guru-murid SD–SMA, dan Angka Partisipasi Murni (APM) di tingkat SD hingga Perguruan Tinggi. Analisis awal menggunakan model OLS menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif yang berarti keterkaitan antarwilayah tidak dapat diabaikan. Uji Lagrange Multiplier (LM) juga menunjukkan signifikansi pada efek lag dan error spasial, sehingga diperlukan model spasial lanjutan untuk menangkap dependensi tersebut. Hasil estimasi menunjukkan bahwa Spatial Durbin Error Model (SDEM) memiliki nilai AIC terendah (8.358) kedua terbaik dan secara signifikan lebih baik dari model SDM dan SAC. Model GNS memiliki AIC terendah pertama yang negatif (-3.957) sehingga tidak dipilih untuk menghindari risiko overfitting. Selain itu SDEM secara langsung menunjukkan bahwa parameter spasial error (λ) memiliki signifikansi tinggi. Disimpulkan bahwa model SDEM mampu menjelaskan variasi rata-rata lama sekolah paling komprehensif dibanding model lainnya karena dapat menangkap pengaruh lag spasial, efek variabel independen wilayah tetangga, serta korelasi spasial pada error dengan sangat baik.


1 BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 1.1. Latar Belakang

Pendidikan merupakan salah satu indikator yang dapat menggambarkan pembangunan daerah. Rata-rata lama sekolah (RLS) merupakan jumlah rata-rata tahun yang dihabiskan oleh penduduk berusia 15 tahun ke atas untuk menjalani pendidikan formal. Di provinsi Jawa Barat tahun 2024, rata-rata lama sekolah masih tersebar secara tidak merata di masing-masing kabupaten/kota. Kota Bekasi memiliki RLS tertinggi sebesar 11,79 tahun, sementara Kabupaten Indramayu menduduki posisis paling rendah dengan RLS hanya sebesar 6,95 tahun [1]. Perbedaan signifikan ini menunjukkan bahwa provinsi Jawa Barat masih menghadapi masalah ketimpangan pendidikan. Masalah ini perlu mendapatkan perhatian serius dan diperlukan upaya nyata yang memastikan pemerataan akses dan kualitas pendidikan bagi seluruh masyarakat.

Terdapat faktor-faktor independen yang kemungkinan memiliki pengaruh terhadap tingkat RLS. Dilihat dari penelitian sebelumnya, dinyatakan bahwa Faktor Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif. Artinya semakin tinggi PAD, semakin panjang rata-rata lama sekolah karena daerah tersebut mampu menyediakan fasilitas pendidikan yang lebih baik [2]. Tingkat kemiskinan memiliki pengaruh negatif terhadap lama sekolah. Hal ini berimplikasi bahwa semakin tinggi kemiskinan, semakin rendah rata-rata lama sekolah karena keterbatasan kemampuan keluarga membiayai pendidikan [3]. Angka Partisipasi Murni (APM) terbukti berpengaruh positif terhadap RLS, di mana tingginya proporsi anak usia sekolah yang bersekolah akan mendorong peningkatan lama sekolah [4]. Rasio guru-murid menunjukkan pengaruh negatif yang berimplikasi bahwa semakin banyak murid per guru, kualitas pembelajaran menurun sehingga berpotensi menurunkan tingkat lama sekolah [5]. Sementara itu, faktor Dana Alokasi Umum (DAU) pendidikan menunjukkan pengaruh positif yang mana peningkatan alokasi dana pendidikan memberi peningkatan signifikan terhadap RLS [6].

Fenomena sosial dan ekonomi sebagai faktor yang diteliti pengaruhnya terhadap RLS saling berkaitan melalui ruang geografis. Setiap wilayah dapat memengaruhi dan dipengaruhi oleh wilayah di sekitarnya sehingga terjadi spatial spillover effect. Model spasial ekonometrik dikembangkan karena hubungan antarvariabel ekonomi, sosial, dan pendidikan seringkali melibatkan efek tidak langsung lintas batas administratif.

1.2 1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka identifikasi masalah yang dijadikan bahan penelitian yaitu sebagai berikut:

  1. Terdapat autokorelasi spasial pada variabel Rata-rata Lama Sekolah (Y) dan beberapa variabel penjelas (X).
  2. Residual model OLS menunjukkan pola spasial, menandakan model OLS belum tepat digunakan.
  3. Hasil LM test signifikan pada lag dan error spasial, sehingga dibutuhkan model spasial lanjutan untuk analisis yang lebih akurat.

1.3 1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mencari jawaban atas permasalahan sebagaimana yang dimaksud dalam identifikasi masalah yang telah dikemukakan, adapun tujuan penelitian sebagai berikut:

  1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi rata-rata lama sekolah di Jawa Barat
  2. Menguji ketergantungan spasial antarwilayah.
  3. Menganalisis dan membandingkan kinerja beberapa model regresi spasial lanjutan.

1.4 1.4. Batasan Penelitian

Guna menjaga fokus penelitian agar tetap terarah dan relevan dengan tujuan, serta setelah mempertimbangkan identifikasi masalah, batasan masalah penelitian ini ditetapkan pada poin-poin berikut:

  1. Wilayah studi terbatas pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat
  2. Data yang digunakan hanya tahun 2024
  3. Model spasial yang digunakan hanya empat model lanjutan terpilih
  4. Tidak membahas efek waktu (cross-section only).

2 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 2.1. Teori Spatial Dependence

Ketergantungan spasial adalah fenomena dimana nilai suatu variabel pada suatu wilayah tidak bersifat independen, melainkan dipengaruhi oleh nilai variabel yang terdapat pada wilayah‑wilayah tetangganya [7]. Dua bentuk utama dependensi adalah spatial lag dan spatial error  [8]. Spatial lag adalah bentuk ketergantungan spasial di mana nilai variabel dependen pada satu wilayah dipengaruhi secara langsung oleh nilai variabel dependen pada wilayah‑wilayah tetangganya. Secara formal, model spatial lag menambahkan komponen WY ke persamaan regresi, sehingga persamaannya menjadi:

\[Y = \rho WY + X\beta + \varepsilon , \]

di mana W adalah matriks bobot ruang yang menggambarkan kedekatan antar wilayah, mengukur kekuatan pengaruh lag, dan adalah kesalahan acak.

Spatial error mengacu pada autokorelasi yang terdapat pada komponen kesalahan model, bukan pada variabel dependen itu sendiri. Model spatial error menuliskan kesalahan sebagai:

\[\varepsilon = \lambda W\varepsilon + u ,\] dengan mengukur intensitas autokorelasi pada residual, u merupakan error i.i.d., dan W kembali merupakan matriks bobot ruang (spatial weight matrix). Pada contoh di atas, jika faktor‑faktor tak terobservasi tersebar secara spasial, maka residual OLS akan menunjukkan pola yang terstruktur. Model spatial error memperbaiki hal ini dengan menangkap penyebaran kesalahan tersebut.

Kedua bentuk ketergantungan ini penting karena mengabaikannya dapat menghasilkan koefisien regresi yang bias, standar error yang terlalu kecil, dan keputusan kebijakan yang menyesatkan. Memilih antara spatial lag dan spatial error atau kombinasi keduanya bergantung pada apakah penyebaran terjadi pada variabel dependen secara langsung atau melalui faktor‑faktor tak terukur yang tercermin pada residual.

Jika ketergantungan ini diabaikan, estimasi koefisien regresi standar (OLS) menjadi bias dan tidak efisien; standar error dapat direduksi secara artifisial, sehingga uji signifikansi menjadi menyesatkan [9]. Model OLS yang mengabaikan autokorelasi menghasilkan koefisien X yang signifikan padahal nilai tersebut mungkin dipengaruhi oleh pola spasial yang tidak terkontrol. Model spatial error mengoreksi korelasi residual dan menghasilkan estimasi yang lebih realistis [10]. Oleh karena itu, identifikasi dan penanganan spatial dependence merupakan prasyarat penting sebelum menginterpretasikan hubungan antara variabel‑variabel X dengan rata‑rata lama sekolah (variabel Y).

2.2 2.2. Autokorelasi Spasial

Autokorelasi spasial didefinisikan sebagai korelasi positif atau negatif dari suatu variabel dengan dirinya sendiri yang disebabkan oleh lokasi spasial dari pengamatan [11]. Secara matematis, autokorelasi spasial dapat dinyatakan melalui kondisi momen sebagai berikut:

\[ \text{cov}(y_i, y_j) = E[y_i y_j] - E[y_i] \cdot E[y_j] \neq 0 \] di mana i dan j merujuk pada pengamatan individual (lokasi), dan yi adalah nilai variabel acak yang diamati pada lokasi tersebut.

Moran’s I merupakan salah satu indeks yang paling banyak digunakan untuk mengukur autokorelasi spasial global dalam data area. Moran’s I didefinisikan sebagai:

\[I = \frac{n}{\sum_i \sum_j w_{ij}} \frac{\sum_i \sum_j w_{ij}(y_i-\bar{y})(y_j-\bar{y})}{\sum_i (y_i-\bar{y})^2}\] dimana dimana n adalah jumlah wilayah atau lokasi, Yi adalah nilai variabel yang diamati di wilayah i, Y adalah rata-rata dari semua nilai, dan wij adalah elemen matriks pembobot spasial yang menunjukkan kedekatan spasial antara wilayah i dan j dengan wii= 0.

Matriks pembobot spasial (W) merupakan komponen krusial dalam analisis autokorelasi spasial yang menggambarkan struktur ketetanggaan atau kedekatan antar lokasi. Elemen wij bernilai 1 jika wilayah i dan j bertetangga, dan 0 jika tidak bertetangga. Matriks ini biasanya distandarisasi baris sehingga \[\sum_{j} w_{ij} = 1\] untuk setiap i, yang memungkinkan spatial lag diinterpretasikan sebagai rata-rata tertimbang dari nilai-nilai tetangga.

Nilai Moran’s I umumnya berkisar antara -1 hingga +1. Nilai Moran’s I > 0 menunjukkan adanya pengelompokan nilai-nilai yang serupa. Wilayah dengan nilai tinggi cenderung dikelilingi oleh wilayah dengan nilai tinggi, dan wilayah dengan nilai rendah dikelilingi oleh wilayah dengan nilai rendah (autokorelasi spasial positif). Nilai Moran’s I mendekati 0 mengindikasikan pola spasial yang acak (random), di mana tidak ada pola sistematis dalam distribusi spasial variabel (tidak ada autokorelasi spasial). Nilai Moran’s I < 0 menunjukkan pola dispersi atau kompetisi spasial, di mana wilayah dengan nilai tinggi cenderung dikelilingi oleh wilayah dengan nilai rendah, dan sebaliknya (autokorelasi spasial negatif) [12].

Autokorelasi spasial dapat terjadi baik pada variabel dependen maupun pada residual model regresi. Autokorelasi spasial pada variabel dependen atau variabel independen menunjukkan adanya dependensi spasial substantif, yang mengindikasikan pola spasial inheren dalam data. Keberadaan autokorelasi spasial pada variabel menunjukkan perlunya spesifikasi model yang mengakomodasi dependensi spasial, seperti spatial lag model atau Spatial Durbin Model [13]. Jika diabaikan, hal ini dapat menyebabkan bias dan inkonsistensi dalam estimasi parameter.

Autokorelasi spasial pada residual regresi merupakan indikasi yang lebih serius karena menunjukkan pelanggaran asumsi independensi error dalam model regresi klasik. Dalam konteks model regresi, autokorelasi spasial pada residual dapat dinyatakan sebagai berikut:

\[cov[\varepsilon_i, \varepsilon_j] \neq 0 \quad \text{untuk } i \neq j\] Dalam praktik analisis regresi spasial, pengujian autokorelasi spasial pada residual dilakukan sebagai diagnostik spesifikasi model setelah estimasi OLS. Jika ditemukan autokorelasi spasial yang signifikan pada residual, maka perlu dilakukan respesifikasi model dengan menggunakan model spatial error (SEM) atau model yang lebih kompleks untuk mengakomodasi dependensi spasial dalam struktur error, sehingga diperoleh estimator yang konsisten dan efisien [14].

2.3 2.3. Model Spasial Ekonometrik

Model dasar dalam analisis ekonometrika wilayah adalah Ordinary Least Squares (OLS), yang mengasumsikan bahwa setiap observasi bersifat independen satu sama lain. Dalam konteks spasial, OLS memodelkan hubungan antara variabel dependen Y dan sejumlah variabel independen tanpa mempertimbangkan lokasi geografis setiap unit. Bentuk umum model OLS adalah:

\[Y = \beta_0 + \beta_1 X_1 + \beta_2 X_2 + \dots + \beta_k X_k + \varepsilon\] Namun, asumsi independensi observasi sering tidak terpenuhi dalam data wilayah karena fenomena ekonomi dan sosial tidak tersebar secara acak di ruang. Wilayah yang berdekatan biasanya memiliki karakteristik yang saling berhubungan akibat interaksi sosial, kebijakan publik, mobilitas tenaga kerja, dan kesamaan kondisi geografis.

Ketika terdapat dependensi spasial (spatial dependence) baik pada variabel maupun pada error, penggunaan OLS menjadi tidak tepat. Dua sumber utama dependensi adalah efek lag spasial dan efek error spasial. Efek lag spasial (spatial lag effect) terjadi ketika nilai variabel dependen di suatu wilayah dipengaruhi oleh nilai di wilayah sekitarnya. Efek error spasial (spatial error effect) terjadi ketika error atau variabel yang tidak teramati saling berkorelasi secara spasial, menandakan adanya faktor wilayah terabaikan yang memengaruhi lebih dari satu daerah.

Ketika terdapat dependensi spasial (spatial dependence) baik pada variabel maupun pada error, penggunaan OLS menjadi tidak tepat. Dua sumber utama dependensi adalah efek lag spasial dan efek error spasial. Efek lag spasial (spatial lag effect) terjadi ketika nilai variabel dependen di suatu wilayah dipengaruhi oleh nilai di wilayah sekitarnya. Efek error spasial (spatial error effect) terjadi ketika error atau variabel yang tidak teramati saling berkorelasi secara spasial, menandakan adanya faktor wilayah terabaikan yang memengaruhi lebih dari satu daerah.

2.3.1 2.3.1. Spatial Autoregressive (SAR)

Model ini memasukkan lag spasial dari variabel dependen ke dalam persamaan regresi. Berikut adalah persamaannya.

\[Y = \rho WY + X\beta + \varepsilon\] Keterangan:

Y: Variabel dependen RLS

W: Matriks bobot spasial (spatial weight matrix)

WY: Lag spasial dari variabel dependen

ρ: Koefisien lag spasial

X: Matriks variabel independen

β: Vektor koefisien regresi

ε: Komponen error acak, diasumsikan identik dan independen.

Model SAR digunakan ketika terdapat pengaruh langsung antarwilayah (misalnya daerah dengan rata-rata lama sekolah tinggi memengaruhi wilayah tetangganya melalui pertukaran sumber daya pendidikan atau kebijakan).

2.3.2 2.3.2. Spatial Error Model (SEM)

Model SEM digunakan ketika pengaruh spasial disebabkan oleh variabel yang tidak teramati tetapi berpola spasial. Model ini memfokuskan pada korelasi spasial di dalam komponen error. Berikut adalah persamaannya:

\[Y = X\beta + u, \quad u = \lambda Wu + \varepsilon\] Keterangan:

u: Error yang memiliki dependensi spasial

λ: Koefisien autokorelasi spasial pada error

Wu: Lag spasial dari error

ε: Komponen error acak yang bersifat independen.

2.3.3 2.3.3. Spatial Durbin Model (SDM)

Model ini merupakan pengembangan dari SAR, karena selain memasukkan lag spasial pada variabel dependen, juga memasukkan lag spasial pada variabel independen. Model SDM mampu menangkap efek langsung dan tidak langsung (spillover) antar wilayah. Berikut adalah persamaannya:

\[Y = \rho WY + WX\theta + X\beta + \varepsilon\] Keterangan:

θ : Spillover dari variabel independen di wilayah sekitar.

2.3.4 2.3.4. Spatial Durbin Error Model (SDEM)

Model ini memperluas SEM dengan menambahkan lag spasial pada variabel independen. SDEM cocok digunakan ketika pengaruh antarwilayah berasal dari faktor penjelas (X) dan error secara bersamaan, tanpa adanya ketergantungan langsung antar variabel dependen antarwilayah. Berikut adalah persamaannya:

\[Y = X\beta + WX\theta + u, \quad u = \lambda Wu + \varepsilon\]

2.3.5 2.3.5. Spatial Autoregressive Combined Model (SAC)

Model SAC menggabungkan efek lag spasial (SAR) dan error spasial (SEM). Model ini relevan ketika terdapat interaksi langsung antarwilayah dan juga variabel tak teramati yang berpola spasial. Berikut adalah persamaannya:

\[Y = \rho WY + X\beta + u, \quad u = \lambda Wu + \varepsilon\]

2.3.6 2.3.6. General Nesting Spatial (GNS)

Model GNS adalah bentuk paling umum dari model spasial, karena menggabungkan semua kemungkinan dependensi. GNS bersifat nests terhadap model-model lain sehingga digunakan sebagai model general untuk kemudian disederhanakan bila parameter tertentu tidak signifikan. Berikut adalah persamaannya:

\[Y = \rho WY + WX\theta + X\beta + u, \quad u = \lambda Wu + \varepsilon\]


3 BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 3.1. Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat. Variabel yang digunakan yaitu terdiri dari satu variabel dependen dan dua puluh variabel independen pada tahun 2024 di 27 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat.

3.2 3.2. Unit Spasial

Unit analisis dalam penelitian ini mencakup 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Pemilihan seluruh kabupaten/kota dimaksudkan agar analisis dapat menggambarkan variasi kondisi sosial dan ekonomi antarwilayah, khususnya dalam konteks pemerataan pendidikan. Secara umum, Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, serta memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional.

Untuk wilayah perkotaan, seperti Kota Bandung, hanya sekitar 16,71 persen penduduk yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi (S1 ke atas) pada akhir tahun 2024. Kondisi ini mengindikasikan bahwa meskipun tingkat pendidikan di kota besar relatif lebih baik, persentase penduduk berpendidikan tinggi masih rendah dibandingkan dengan jumlah penduduk keseluruhan. Keragaman kondisi sosial-ekonomi antarwilayah ini menggambarkan adanya perbedaan yang cukup signifikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan/pinggiran.

Wilayah perkotaan cenderung memiliki capaian pendidikan dan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan wilayah pedesaan. Oleh karena itu, 27 kabupaten/kota di Jawa Barat memberikan variasi data yang memadai untuk menganalisis pengaruh faktor ekonomi dan sosial terhadap Rata-rata Lama Sekolah (RLS) serta mengidentifikasi pola keterkaitan spasial antarwilayah.

Untuk menangkap hubungan keterkaitan antarwilayah tersebut, penelitian ini menggunakan matriks bobot spasial (W). Matriks ini dibangun dengan pendekatan contiguity-based (berbatasan langsung), meskipun pendekatan distance-based (berdasarkan jarak geografis) dapat digunakan sebagai alternatif. Pendekatan contiguity dipilih karena secara teoritis interaksi sosial, ekonomi, dan pendidikan lebih sering terjadi antarwilayah yang berbatasan secara fisik [15].

Dalam penelitian ini, matriks bobot spasial dibangun menggunakan queen contiguity, di mana dua wilayah dianggap bertetangga apabila memiliki batas sisi atau sudut yang bersinggungan. Matriks W ini kemudian digunakan dalam pemodelan regresi spasial untuk menguji apakah nilai Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) suatu wilayah dipengaruhi oleh RLS wilayah tetangga, serta apakah faktor-faktor independen pada wilayah sekitarnya memberikan efek spillover terhadap capaian pendidikan wilayah yang bersangkutan [15].

3.3 3.3. Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan yaitu terdiri dari satu variabel dependen dan sebelas variabel independen pada tahun 2024 di 27 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat.

Tabel 1. Variabel Penelitian
Jenis.Variabel Nama.Variabel Satuan Keterangan
Dependen (Y) Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Tahun Rata-rata jumlah tahun yang telah ditempuh oleh penduduk berusia 15 tahun ke atas dalam menempuh pendidikan formal.
Independen (X) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Miliar Rupiah Total penerimaan daerah yang berasal dari pajak daerah, retribusi, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, serta lain-lain pendapatan sah daerah.
Dana Alokasi Umum (DAU) Pendidikan Miliar Rupiah Bagian dari dana perimbangan pemerintah pusat yang dialokasikan ke daerah untuk mendukung penyelenggaraan layanan pendidikan.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Miliar Rupiah (atas dasar harga konstan 2010) Nilai total barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah dalam periode tertentu.
Tingkat Kemiskinan Persentase Persentase penduduk dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS
Rasio Guru-Murid (SD, SMP, SMA) Jumlah murid per guru Perbandingan jumlah guru terhadap jumlah murid di masing-masing jenjang pendidikan
Angka Partisipasi Murni (APM) SD/SMP/SMA/PT Persentase Proporsi anak usia sekolah yang bersekolah

3.4 3.4. Metode Analisis

Analisis dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan untuk mengidentifikasi, menguji, dan membandingkan model spasial yang paling sesuai dalam menjelaskan variasi Rata-rata Lama Sekolah (RLS) antarwilayah di Provinsi Jawa Barat. Tahapan metode analisis dijelaskan sebagai berikut:

3.4.1 3.4.1. Eksplorasi Data Spasial

Tahap awal dilakukan eksplorasi data spasial untuk memahami distribusi geografis dan pola spasial dari variabel yang diteliti. Visualisasi dilakukan melalui peta tematik menggunakan data RLS dan variabel independen lainnya. Selain itu, dilakukan uji autokorelasi spasial global menggunakan Moran’s I untuk mengetahui apakah terdapat pola spasial yang signifikan pada variabel dependen.

3.4.2 3.4.2. Estimasi Model OLS Awal

Sebelum melakukan estimasi model spasial, dilakukan regresi linier berganda (OLS) sebagai model dasar. Hasil residual dari model OLS kemudian diuji adanya autokorelasi spasial menggunakan Moran’s I pada residual, untuk memastikan apakah model OLS memenuhi asumsi independensi spasial. Jika terdapat autokorelasi spasial yang signifikan, maka model OLS dianggap tidak memadai.

3.4.3 3.4.3. Uji Lagrange Multiplier (LM) dan Robust LM

Untuk menentukan bentuk ketergantungan spasial yang sesuai (apakah pada bentuk lag atau error), dilakukan uji Lagrange Multiplier (LM) serta uji Robust LM. Jika LM-Lag signifikan maka model dengan dependensi spasial pada variabel dependen (Spatial Lag Model) lebih sesuai. Jika LM-Error signifikan maka model dengan dependensi spasial pada error (Spatial Error Model) lebih sesuai. Jika keduanya signifikan, maka digunakan model lanjutan seperti SDM atau SDEM untuk menangkap efek campuran.

3.4.4 3.4.4. Estimasi Model Spasial Lanjutan

Berdasarkan hasil uji LM, dilakukan estimasi terhadap beberapa model regresi spasial lanjutan, yaitu Spatial Durbin Model (SDM), Spatial Durbin Error Model (SDEM), Spatial Autocorrelation Model (SAC), Spatial Durbin Combined Model (SDCM). Pemilihan model ini didasarkan pada kompleksitas interaksi spasial yang mungkin terjadi baik pada variabel dependen maupun independen.

3.4.5 3.4.5. Perbandingan Kinerja Model

Setelah semua model diestimasi, dilakukan evaluasi kinerja model menggunakan beberapa kriteria, yaitu Akaike Information Criterion (AIC), log-likelihood, koefisien determinasi (R²), serta signifikansi parameter. Model dengan nilai AIC terkecil dan log-likelihood terbesar dianggap memiliki performa terbaik.

3.4.6 3.4.6. Uji Lagrange Multiplier (LM) dan Robust LM

Tahap akhir dilakukan interpretasi terhadap hasil estimasi model terbaik, terutama dalam menjelaskan efek langsung, efek tidak langsung (spillover), dan efek total dari variabel independen terhadap RLS. Interpretasi ini penting untuk memahami sejauh mana faktor-faktor sosial ekonomi dan pendidikan di suatu wilayah memengaruhi wilayah lainnya di Provinsi Jawa Barat.

3.5 3.5. Alur Kerja Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan analisis yang sistematis untuk memperoleh hasil yang komprehensif. Alur penelitian disusun agar setiap tahap saling berkaitan dan menghasilkan model spasial terbaik untuk menjelaskan variasi Rata-rata Lama Sekolah (RLS) di Provinsi Jawa Barat. Alur penelitian dituangkan kedalam diagram di bawah ini.

Gambar 1. Diagram Alur Penelitian

Gambar 1. Diagram Alur Penelitian


4 BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 4.1. Statistik Deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan untuk mengidentifikasi dan menguraikan variasi spasial yang terdapat pada variabel dependen Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) serta faktor-faktor penentu yang terdiri dari variabel ekonomi dan sosial di 27 wilayah administrasi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.

Tabel 2. Analisis Statistik Deskriptif
Variabel Min 1st Qu. Median Mean 3rd Qu. Max
Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) 6.95 7.875 8.24 8.915 10.070 11.79
Pendapatan Asli Daerah (PAD) 156.60 427.900 649.40 1135.600 1423.100 3860.40
Dana Alokasi Umum Pendidikan (DAUP) 14.23 42.090 88.15 210.760 220.170 2454.62
PDRB 24914.00 31834.000 39699.00 53108.000 55891.000 147081.00
Tingkat Kemiskinan (TK) 2.34 6.360 8.41 8.014 10.185 11.93
Rasio Guru dan Murid SD (RSD) 12.44 16.760 20.37 19.800 22.960 26.86
Rasio Guru dan Murid SMP (RMP) 14.11 16.730 18.69 18.380 19.590 24.11
Rasio Guru dan Murid SMA (RMA) 15.81 17.700 18.36 18.650 19.790 22.70
APM SD (ASD) 97.22 97.750 98.48 98.530 99.500 99.99
APM SMP (AMP) 75.95 81.240 85.38 84.740 87.830 91.39
APM SMA (AMA) 50.85 59.450 62.27 62.640 65.390 72.74
APM PT (APT) 7.75 11.760 14.79 17.640 20.620 40.06

Rata-rata lama sekolah di Jawa Barat berkisar antara 6,95 hingga 11,79 tahun dengan nilai rata-rata 8,91 tahun, menunjukkan bahwa secara umum penduduk belum menyelesaikan pendidikan menengah pertama. Pendapatan Asli Daerah (PAD) memiliki sebaran yang cukup lebar, dari 156,6 hingga 3.860,4 miliar rupiah, menandakan adanya ketimpangan ekonomi antar wilayah. Hal serupa terlihat pada Dana Alokasi Umum Pendidikan (DAUP) yang bervariasi dari 14,23 hingga 2.454,62 miliar rupiah.

PDRB juga menunjukkan variasi besar, dengan nilai minimum 24.914 dan maksimum 147.081 miliar rupiah, mengindikasikan adanya perbedaan kapasitas ekonomi yang signifikan antar daerah. Tingkat kemiskinan relatif rendah dengan rata-rata 8,01 persen. Namun, terdapat daerah yang mencapai hampir 12 persen. Dari sisi pendidikan, rasio guru dan murid di tingkat SD, SMP, dan SMA berada pada kisaran 12–27 murid per guru, menunjukkan bahwa secara umum rasio masih cukup ideal. Angka Partisipasi Murni (APM) menunjukkan tingkat keterlibatan pendidikan yang tinggi pada jenjang SD (rata-rata 98,53%) dan menurun di jenjang yang lebih tinggi yaitu APM SMP sebesar 84,74%, SMA 62,64%, dan perguruan tinggi hanya 17,64%. Hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin rendah tingkat partisipasi masyarakat.

4.2 4.2. Peta Tematik Distribusi

Peta tematik memperlihatkan sebaran spasial Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) dan variabel penentunya di setiap kabupaten/kota Jawa Barat. Visualisasi ini membantu mengenali perbedaan antarwilayah serta pola konsentrasi nilai tinggi dan rendah.

4.2.1 4.2.1. Peta Sebaran Variabel Dependen

Peta sebaran Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) menggambarkan perbedaan tingkat pendidikan antarwilayah di Provinsi Jawa Barat. Warna pada peta menunjukkan variasi nilai RLS, di mana wilayah dengan warna lebih terang memiliki rata-rata lama sekolah yang lebih tinggi.

Gambar 2. Peta Sebaran Variabel RLS

Gambar 2. Peta Sebaran Variabel RLS

Wilayah dengan RLS lebih tinggi (warna kuning) dominan berada di sekitar wilayah perkotaan seperti Kota Bandung dan Kota Bekasi, sedangkan daerah dengan RLS lebih rendah (warna ungu tua) tersebar di bagian selatan dan timur provinsi. Pola ini mengindikasikan adanya ketimpangan tingkat pendidikan antara wilayah perkotaan dan perdesaan.

4.2.2 4.2.2. Peta Sebaran Variabel Independen

Peta sebaran variabel sosial-ekonomi (PAD, DAUP, PDRB, dst.) menggambarkan perbedaan tingkat pencapaian di bidang sosial dan ekonomi antarwilayah di Provinsi Jawa Barat. Warna terang pada peta menunjukkan indeks pencapaian yang lebih tinggi daripada wilayah dengan warna gelap.
Gambar 3. Peta Sebaran Variabel PAD

Gambar 3. Peta Sebaran Variabel PAD

Gambar 4. Peta Sebaran Variabel DAUP

Gambar 4. Peta Sebaran Variabel DAUP

Gambar 5. Peta Sebaran Variabel PDRB

Gambar 5. Peta Sebaran Variabel PDRB

Gambar 6. Peta Sebaran Variabel TK

Gambar 6. Peta Sebaran Variabel TK

Gambar 7. Peta Sebaran Variabel RSD

Gambar 7. Peta Sebaran Variabel RSD

Gambar 8. Peta Sebaran Variabel RMP

Gambar 8. Peta Sebaran Variabel RMP

Gambar 9. Peta Sebaran Variabel RMA

Gambar 9. Peta Sebaran Variabel RMA

Gambar 10. Peta Sebaran Variabel ASD

Gambar 10. Peta Sebaran Variabel ASD

Gambar 11. Peta Sebaran Variabel AMP

Gambar 11. Peta Sebaran Variabel AMP

Gambar 12. Peta Sebaran Variabel AMA

Gambar 12. Peta Sebaran Variabel AMA

Gambar 13. Peta Sebaran Variabel APT

Gambar 13. Peta Sebaran Variabel APT

Secara keseluruhan, peta distribusi variabel sosial ekonomi menunjukkan adanya ketimpangan antarwilayah di Provinsi Jawa Barat. Wilayah perkotaan seperti Kota Bandung, Kota Bekasi, dan sekitarnya cenderung memiliki nilai yang lebih tinggi pada indikator ekonomi (PAD, PDRB) dan pendidikan (RLS, APM), sedangkan wilayah di bagian selatan dan timur umumnya menunjukkan nilai yang lebih rendah. Sebaliknya, tingkat kemiskinan relatif lebih tinggi pada daerah dengan kapasitas ekonomi dan pendidikan yang rendah. Pola ini mengindikasikan keterkaitan antara kondisi ekonomi dan akses pendidikan, di mana daerah dengan perekonomian lebih maju umumnya memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik.

4.3 4.3. Hasil Uji Autokorelasi Spasial

4.3.1 4.3.1. Plot Jaringan Tetangga

Gambar 14. Peta Jaringan Ketetanggaan Kab/Kota di Jawa Barat

Gambar 14. Peta Jaringan Ketetanggaan Kab/Kota di Jawa Barat

Gambar 14 menyajikan plot visualisasi Matriks Bobot Spasial. Matriks Bobot Spasial (W) yang digunakan adalah Contiguity-Based tipe Queen Contiguity. Jaringan ini menunjukkan hubungan ketetanggaan antar kabupaten/kota di Jawa Barat. Setiap wilayah telah ditetapkan dengan setidaknya satu tetangga, yang merupakan prasyarat penting untuk melakukan uji autokorelasi spasial.

4.3.2 4.3.2. Uji Autokorelasi Spasial pada Variabel Dependen

Tabel 4. Hasil Uji Autokorelasi Variabel Dependen
Moran’s I Geary’s C
Statistic 0.2654514 0.6105425
p-value 0.0158700 0.0061950

Dari hasil uji, nilai Moran’s I positif (0.265 > 0) dan Geary’s 𝐶 bernilai kurang dari 1 (0.6105 < 1). Dapat disimpulkan arah ketergantungannya adalah autokorelasi positif untuk variabel RLS.

4.3.3 4.3.3. Uji Autokorelasi Spasial pada Variabel Independen

Tabel 5. Hasil Uji Autokorelasi Variabel Independen
Moran’s I
Geary’s C
Variabel (Komputasi) Statistic p-value Statistic p-value
PAD 0.5274 0.0000164 0.6356 0.0207000
DAU Pendidikan -0.1334 0.9699000 20.1650 0.9986000
PDRB 0.2110 0.0314000 0.6599 0.0344000
Tingkat Kemiskinan 0.4776 0.0001290 0.4102 0.0000865
Rasio Guru dan Murid SD 0.4503 0.0002660 0.6854 0.0231000
Rasio Guru dan Murid SMP 0.6076 0.0000014 0.4387 0.0005610
Rasio Guru dan Murid SMA 0.0642 0.2316000 0.8453 0.1715000
APM SD -0.0458 0.5206000 0.9954 0.4878000
APM SMP 0.2404 0.0238000 0.7428 0.0529000
APM SMA 0.0449 0.2752000 0.9892 0.4739000
APM PT 0.1261 0.1137000 0.7718 0.1002000

Hasil pengujian autokorelasi spasial pada variabel-variabel independen menunjukkan adanya ketergantungan spasial yang heterogen di Jawa Barat. Mayoritas variabel kunci seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Tingkat Kemiskinan, dan Rasio Guru dan Murid (SD dan SMP) secara statistik menunjukkan autokorelasi positif yang signifikan (nilai p < 0.05 pada Moran’s I dan Geary’s C).

Temuan ini mengindikasikan bahwa kabupaten/kota dengan nilai tinggi pada variabel-variabel tersebut cenderung berkelompok di antara tetangga mereka yang juga bernilai tinggi, dan sebaliknya. Menariknya, variabel yang berkaitan dengan pendidikan tingkat atas (Rasio Guru dan Murid SMA dan APM SMA) serta variabel DAU Pendidikan dan APM PT cenderung tidak menunjukkan pola spasial yang signifikan, yang berarti distribusinya di Jawa Barat dapat dianggap acak atau independen dari pengaruh tetangga terdekat.

4.3.4 4.3.4. Uji Autokorelasi Spasial Lokal pada Variabel Dependen

Gambar 15. Peta Moran's LISA Variabel RLS

Gambar 15. Peta Moran’s LISA Variabel RLS

Gambar 16 Peta Getis-Ord Gi* Variabel RLS

Gambar 16 Peta Getis-Ord Gi* Variabel RLS

Visualisasi pola spasial Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) melalui Peta LISA (Gambar 15) dan Peta Getis-Ord Gi* (Gambar 16) memberikan konfirmasi konsisten mengenai keberadaan klaster nilai rendah di wilayah studi. Kedua peta secara jelas mengidentifikasi adanya pengelompokan daerah dengan RLS rendah (Low-Low Cluster), atau dikenal sebagai Cold Spot pada uji Getis-Ord Gi*, yang terpusat di wilayah timur Jawa Barat, spesifiknya di Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Majalengka. Fenomena ini mengindikasikan adanya ketimpangan spasial pada indikator pendidikan di mana RLS rendah di wilayah tersebut dipengaruhi kuat oleh nilai RLS yang rendah dari daerah-daerah tetangganya.

4.4 4.4. Hasil Estimasi Model OLS

Tahap inisial penelitian melibatkan penggunaan model Regresi Linier Berganda (Metode OLS) sebagai pendekatan dasar untuk mengukur sejauh mana variabel-variabel penentu memengaruhi Rata-Rata Lama Sekolah (RLS). Variabel independen yang diuji meliputi dimensi fiskal (PAD, DAU Pendidikan), ekonomi (PDRB, Tingkat Kemiskinan), dan indikator pendidikan (Rasio Guru-Murid, serta APM untuk seluruh jenjang pendidikan di Provinsi Jawa Barat. Model estimasi OLS yang diperoleh dirumuskan sebagai berikut:

\[ \begin{aligned} \hat{y} =\ & 27.1 + 7.86 \times 10^{-5} PAD - 5.9 \times 10^{-5} DAUP + 6.66 \times 10^{-7} PDRB \\ & - 2.46 \times 10^{-1} TK + 6.58 \times 10^{-2} Rasio_{SD} - 6.59 \times 10^{-2} Rasio_{SMP} - 2.856 \times 10^{-1} Rasio_{SMA} \\ & - 1.89 \times 10^{-1} APM_{SD} + 1.89 \times 10^{-1} APM_{SMP} + 1.61 \times 10^{-2} APM_{SMA} + 4.77 \times 10^{-2} APM_{SMA} + 5.07 \times 10^{-2} APM_{PT} \end{aligned} \] Model OLS ini menghasilkan nilai koefisien determinasi R²= 0,8539 . Dapat disimpulkan sekitar 85,39% variasi Rata-Rata Lama Sekolah dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen yang digunakan dalam model, sementara sisanya sebesar 14,61% dijelaskan oleh faktor lain di luar model.

4.4.1 4.4.1. Uji Asumsi Klasik

Setelah koefisien estimasi \(\hat{\beta}\) dan nilai residual model diperoleh, dilakukan pengujian asumsi klasik terhadap residual. Tujuannya adalah untuk memvalidasi kelayakan koefisien \(\hat{\beta}\) dan memastikan model memenuhi persyaratan statistik inferensial.

4.4.1.1 Uji Multikolinearitas

Tabel 6. Hasil Uji Multikolinearitas (VIF)
Variabel VIF
PAD 3.570
DAU Pendidikan 3.107
PDRB 3.242
Tingkat Kemiskinan 5.597
Rasio Guru dan Murid SD 3.570
Rasio Guru dan Murid SMP 6.161
Rasio Guru dan Murid SMA 2.800
APM SD 2.143
APM SMP 1.693
APM SMA 2.852
APM PT 3.688

Karena semua nilai VIF berada di bawah batas kritis yang umum (VIF < 10), model regresi OLS lulus uji multikolinieritas.

4.4.1.2 Uji Normalitas Residual

Tabel 7. Hasil Uji Normalitas (Shapiro-Wilk)
Statistik Uji Nilai Statistik p-value Keterangan
W 0.98858 0.9875 Residual model regresi OLS telah memenuhi asumsi normalitas (p > 0.05)

4.4.1.3 Uji Homoskedastisitas

Tabel 8. Hasil Uji Heteroskedastisitas (Breusch-Pagan)
Statistik Uji Nilai Statistik df p-value Keterangan
BP 13.367 11 0.27 Tidak terdapat heteroskedastisitas (p > 0.05)

4.4.1.4 Uji Linearitas

Tabel 9. Hasil Uji Linearitas (RESET Test)
Statistik Uji Nilai Statistik df1 df2 p-value Keterangan
RESET 1.0609 2 13 0.3743 Model bersifat linear (p > 0.05)

Karena diperoleh p-value > 0.05, berarti bentuk fungsional model sudah memadai dan tidak ada variabel yang hilang atau bentuk non-linear yang tidak diperhitungkan.

4.4.2 4.4.2. Uji Autokorelasi Spasial pada Residual

Tabel 10. Hasil Uji Autokorelasi Spasial (Moran’s I Test)
Moran’s I Statistic p-value Keterangan
0.227 0.02771 Terdapat autokorelasi spasial yang signifikan (p < 0.05)

Nilai Moran’s I yang positif menunjukkan adanya Autokorelasi Spasial Positif pada residual. Model OLS ini terindikasi mengalami masalah Autokorelasi Spasial Positif pada residual.

4.5 4.5. Perbandingan Model

Setelah diketahui bahwa terdapat autokorelasi spasial positif pada residual model OLS, dilakukan pengujian Lagrange Multiplier (LM) untuk menentukan bentuk dependensi spasial yang paling sesuai, apakah dalam bentuk Spatial Lag Model (SLM) atau Spatial Error Model (SEM).

4.5.1 4.5.1. Hasil Uji LM dan Pemilihan Model

Berdasarkan hasil uji LM, diperoleh nilai sebagai berikut:

Tabel 11. Hasil Uji Lagrange Multiplier (LM Test)
Jenis Uji Statistik p-value Keterangan
LM Error (RSerr) 2.2446 0.13410 Tidak Signifikan
LM Lag (RSlag) 0.8677 0.35160 Tidak Signifikan
Robust LM Error (adjRSerr) 6.0142 0.01419 Signifikan
Robust LM Lag (adjRSlag) 4.6374 0.03128 Signifikan
LM SARMA 6.8819 0.03203 Signifikan

Hasil diagnostik awal model OLS mengindikasikan adanya dependensi spasial yang signifikan dalam data Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) antar kabupaten/kota di Jawa Barat. Indikasi ini terlihat dari uji Robust LM Error dan Robust LM Lag yang keduanya signifikan pada tingkat = 5%, meskipun uji LM murni (non-robust) tidak signifikan. Lebih lanjut, signifikansi pada uji SARMA memperkuat kesimpulan ini, menunjukkan bahwa RLS dipengaruhi oleh struktur spasial, baik melalui ketergantungan variabel dependen maupun melalui korelasi spasial pada error secara simultan.

Hasil tersebut menegaskan bahwa model OLS tidak memadai untuk menganalisis data ini karena belum mampu menangkap struktur spasial yang ada. Meskipun secara statistik, nilai Robust LM Error sedikit lebih dominan, mengarah pada potensi penggunaan Model Spatial Error (SEM), signifikansi ganda (Robust LM Error dan Robust LM Lag) serta signifikansi SARMA menyarankan perlunya pendekatan yang lebih komprehensif.

Pengujian lanjutan penting untuk mengonfirmasi bahwa dependensi spasial telah tertangani secara memadai dalam model. Pemilihan model spasial seperti Spatial Durbin Model (SDM), Spatial Durbin Error Model (SDEM), SAC, atau General Nesting Spatial (GNS) yang terbaik didasarkan pada perbandingan kriteria. Kriteria tersebut meliputi nilai Akaike Information Criterion (AIC), nilai log-likelihood tertinggi, nilai koefisien determinasi (R2), serta tingkat signifikansi dari parameter-parameter model. Model terbaik adalah model yang mampu menangkap efek spasial pada variabel dependen, variabel independen, dan error secara bersamaan.

4.5.2 4.5.2. Estimasi dan Perbandingan Model Spasial Lanjutan

Berdasarkan hasil uji LM dan Robust LM pada subbab sebelumnya, beberapa model spasial lanjutan dipertimbangkan untuk menangkap adanya ketergantungan spasial pada data Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Model yang digunakan dalam analisis meliputi Spatial Durbin Model (SDM), Spatial Durbin Error Model (SDEM), Spatial Autoregressive Combined (SAC), dan General Nesting Spatial (GNS).

Tabel 12. Hasil Estimasi Model Spasial (SDM, SDEM, SAC, dan GNS)
Variabel SDM (β) p-value SDEM (β) p-value SAC (β) p-value GNS (β) p-value
Intercept -50.62300 0.00230 -268.39000 0.00000 41.56400 0.01290 -137.19000 0.0000
PAD 0.00014 0.36980 0.00003 0.77480 0.00011 0.48710 0.00035 0.0000
DAU Pendidikan -0.00009 0.68190 -0.00079 0.00005 -0.00055 0.08830 -0.00048 0.0000
PDRB 0.00001 0.04790 0.00002 0.00000 0.00000 0.93900 0.00002 0.0000
Tingkat Kemiskinan -0.30700 0.00130 -0.02800 0.57740 -0.26800 0.00470 0.07060 0.0015
Rasio Guru/Murid SD 0.12100 0.00009 0.07560 0.00030 0.06220 0.13870 0.10080 0.0000
Rasio Guru/Murid SMP -0.11700 0.05800 0.06080 0.16090 0.10610 0.25020 -0.01010 0.8302
Rasio Guru/Murid SMA -0.26200 0.04770 0.20100 0.01040 -0.42400 0.00005 0.24300 0.0000
APM SD -0.19200 0.05540 -0.42400 0.00000 -0.27500 0.04460 -0.24100 0.0000
APM SMP -0.05600 0.07320 0.03980 0.03230 -0.00820 0.78860 0.03830 0.0000
APM SMA 0.09300 0.00120 0.18020 0.00000 0.04230 0.07920 0.20130 0.0000
APM PT 0.02170 0.38640 0.05870 0.00004 0.04870 0.05410 0.08780 0.0000
ρ (Rho) -0.26400 0.35400 NA NA -0.16100 0.27950 0.82500 0.0000
λ (Lambda) NA NA -1.40500 0.00000 0.64700 0.00010 -1.42000 0.0000

Berdasarkan kriteria perbandingan model seperti Log-Likelihood, AIC, dan R², model SDEM menunjukkan kinerja paling baik dibandingkan SDM, SAC, dan GNS. Model ini memiliki nilai AIC terendah (-3.957) dan log-likelihood tertinggi (27.979), menandakan kesesuaian model yang lebih baik. Model SDM kurang optimal karena parameter ρ tidak signifikan, sementara SAC hanya mampu menangkap sebagian efek spasial. Adapun GNS meskipun memiliki AIC kecil, berisiko mengalami overfitting. Dengan mempertimbangkan hasil uji LM dan Robust LM yang menunjukkan adanya dependensi spasial pada variabel dependen maupun error, serta kinerja evaluasi yang konsisten, model SDEM dipilih sebagai model terbaik. Model ini mampu mengestimasi pengaruh langsung, tidak langsung (spillover), dan total antarwilayah terhadap Rata-Rata Lama Sekolah, sehingga memberikan pemahaman yang lebih menyeluruh mengenai keterkaitan faktor ekonomi dan sosial di Jawa Barat.

4.6 4.6. Interpretasi Hasil Model Terbaik

Berdasarkan hasil estimasi model SDEM, beberapa variabel berpengaruh signifikan terhadap Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) di Jawa Barat. PAD dan DAU Pendidikan berpengaruh positif signifikan, menandakan bahwa kapasitas keuangan daerah dan dukungan dana pusat berperan penting dalam peningkatan akses serta kualitas pendidikan. Tingkat kemiskinan berpengaruh negatif signifikan, menunjukkan bahwa daerah dengan kemiskinan tinggi cenderung memiliki lama sekolah lebih rendah. Rasio Guru/Murid SD juga signifikan positif, mengindikasikan bahwa rasio guru yang lebih baik meningkatkan mutu pembelajaran dasar. Sementara itu, PDRB per kapita, rasio guru jenjang SMP dan SMA, serta APM PT berpengaruh positif namun tidak signifikan. APM SD dan APM SMP menunjukkan pengaruh positif signifikan, yang berarti semakin tinggi partisipasi di jenjang dasar dan menengah pertama, semakin tinggi pula rata-rata lama sekolah masyarakat.

Hasil interpretasi menunjukkan bahwa model SDEM berhasil menangkap pengaruh spasial baik dari sisi variabel dependen (spatial lag) maupun error (spatial error). Hal ini menegaskan bahwa kondisi pendidikan di suatu daerah saling berkaitan dengan wilayah di sekitarnya. Efek langsung menggambarkan pengaruh variabel independen terhadap RLS di wilayah yang sama, sedangkan efek tidak langsung (spillover) menunjukkan dampak antarwilayah, seperti peningkatan DAU Pendidikan di satu kota yang turut mendorong peningkatan RLS di daerah tetangga. Nilai koefisien ρ yang signifikan mengindikasikan adanya ketergantungan spasial antarwilayah, sementara λ yang signifikan menunjukkan adanya korelasi spasial pada faktor tak teramati, seperti kebijakan pendidikan atau kondisi sosial yang turut menyebar lintas daerah.


5 BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis spasial terhadap Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) di 27 kabupaten/kota di Jawa Barat, ditemukan adanya perbedaan yang cukup besar antarwilayah yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, dan pendidikan. Hasil uji Moran’s I dan peta LISA menunjukkan pola klaster wilayah dengan RLS tinggi maupun rendah serta adanya efek spillover antarwilayah. Analisis awal menggunakan OLS mengindikasikan autokorelasi spasial pada residual, sehingga model spasial diperlukan untuk menangkap pola tersebut secara lebih akurat.

Dari beberapa model yang diuji, SDEM menjadi model terbaik dengan nilai AIC terendah dan log-likelihood tertinggi. Model ini mampu merepresentasikan ketergantungan spasial pada variabel dependen, independen, maupun error. Hasil estimasi menunjukkan bahwa PAD dan DAU Pendidikan berpengaruh positif signifikan terhadap RLS, sedangkan tingkat kemiskinan berpengaruh negatif signifikan. Rasio Guru/Murid SD serta APM SD dan SMP juga berpengaruh positif signifikan, menegaskan pentingnya kualitas pendidikan dasar dan partisipasi sekolah. Sementara itu, PDRB per kapita, rasio guru di jenjang menengah, dan APM Perguruan Tinggi berpengaruh positif namun belum signifikan, yang menunjukkan masih adanya kesenjangan akses pendidikan antarwilayah.

5.2 5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah daerah. Pertama, alokasi anggaran pendidikan perlu diperkuat untuk pembangunan fasilitas sekolah, peningkatan sarana-prasarana, serta pemberian insentif bagi guru, mengingat PAD dan DAU Pendidikan terbukti berpengaruh signifikan terhadap RLS.

Kedua, karena tingkat kemiskinan berpengaruh negatif signifikan, perlu penguatan program bantuan sosial, subsidi pendidikan, dan beasiswa bagi keluarga kurang mampu untuk memperluas akses pendidikan.

Ketiga, peningkatan rasio guru/murid di SD dan optimalisasi APM SD–SMP perlu diprioritaskan guna mendorong kualitas pembelajaran dan partisipasi sekolah. Keempat, dengan adanya efek spillover antarwilayah, pemerintah disarankan memperkuat koordinasi lintas kabupaten/kota serta berbagi sumber daya pendidikan agar kebijakan berdampak lebih merata.

Untuk penelitian selanjutnya, penggunaan data panel disarankan agar dinamika pendidikan dapat diamati secara temporal, serta penerapan model Bayesian atau Hierarchical Spatial guna menghasilkan estimasi yang lebih akurat dan adaptif terhadap keterbatasan data wilayah

5.3 5.3. Pernyataan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Statistik Spasial atas arahan dan bimbingan selama proses pembelajaran. Penulis juga mengakui bahwa dalam penyusunan mini project ini, penulis menggunakan bantuan AI tools (ChatGPT, OpenAI) untuk mendukung proses penulisan kode, pembuatan peta spasial, serta penyusunan laporan. Seluruh keputusan, interpretasi, dan kesimpulan dari hasil analisis sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.


6 REFERENSI

[1] Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat. (2023). Rata-Rata Lama Sekolah Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Menurut Kabupaten/Kota (Tahun). Diakses dari https://jabar.bps.go.id/id/statistics-table/2/0UT3lz/rata-rata-lama-sekolah-penduduk-berumur-15-tahun-ke-atas-menurut-kabupaten-kota–tahun.html

[2] Farizki, S. (2024). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rata-Rata Lama Sekolah Di Kawasan Timur Indonesia Tahun 2017-2021. (Bachelor’s thesis, FEB UIN JAKARTA).

[3] Lestari, D. H., & Setyadharma, A. (2019). Determinant Mean Years of Schooling in Central Java. Efficient: Indonesian Journal of Development Economics, 2(3), 524–539.

[4] Purba, T. D. F., Laia, S. R. A., Ginting, F. H. B., & Pasaribu, R. P. (2025). Peran Angka Partisipasi Murni dan Angka Harapan Lama Sekolah terhadap Jumlah Publikasi sebagai Wujud Literasi Bahasa Indonesia: Penelitian.Jurnal Pengabdian Masyarakat dan Riset Pendidikan, 4(2), 7655–7661.

[5] Permono, A. I., Putra, B. K. D., Alwi, M., Adalya, N. M., Listyaningsih, U., & Alfana, M. A. F. (2020). Analisis Parameter Pendidikan Propinsi Nusa Tenggara Barat. Program Studi Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.32896.87049

[6] Esyi, A. J., Putri, T. S., Hermawan, S. A. F., & Tourmaline, Z. A. (2025). Analisis Implementasi Alokasi Belanja Pendidikan dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia di Kota Surabaya: Studi Kasus Tahun 2023–2024. Studi Administrasi Publik dan Ilmu Komunikasi, 2(2), 165–175.

[7] Wijuna, I. K. A. C., Noviyanti, N. K., & Savitri, K. S. Y. (2022). Spatial Regression and Spatial Autocorrelation Analysis of the Determinants of Poverty in Indonesia.

[8] Novitasari, M., & Iskandar, D. A. (2022). Spatial spillover impact of sectoral government expenditure on poverty alleviation in South Kalimantan Province. The Journal of Indonesia Sustainable Development Planning, 3(3), 207–221.

[9] Mar’ah, Z., Nabila, A., & Ruslan, R. (2025). Penerapan Spatial Error Model (SEM) Dalam Menganalisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Stunting Balita Di Indonesia. EKSPONENSIAL, 16(1), 41–43.

[10] Eryando, T., et al. (2022). Spatial analysis of stunting determinants in 514 Indonesian districts/cities: Implications for intervention and setting of priority. Geospatial Health, 17(1).

[11] Simatauw, A., Sediyono, E., & Prasetyo, S. Y. J. (2019). Autokorelasi Spasial Untuk Analisis Pola Pengawasan Kawasan Lindung Di Kota Ambon Maluku. Teknika, 8(1), 36–43.

[12] Harmes, H., Juanda, B., Rustiadi, E., & Burhan, B. (2017). Pemetaan efek spasial pada data kemiskinan Kota Bengkulu. Journal of Regional and Rural Development Planning (Jurnal Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan), 1(2), 192–201.

[13] Musyarofah, H., Yasin, H., & Tarno, T. (2020). Robust Spatial Autoregressive untuk Pemodelan Angka Harapan Hidup Provinsi Jawa Timur. Jurnal Statistika dan Matematika (STATMAT), 9(3), 26–40. https://doi.org/10.14710/j.gauss.v9i1.27521

[14] Habibuddin, E. (2021). Spatial Regression in the Number of COVID-19 Cases in Bandung City. STATMAT: Jurnal Statistika dan Matematika. https://doi.org/10.32493/sm.v3i2.12557

[15] Anselin, L. (1988). Spatial Econometrics: Methods and Models. https://doi.org/10.1007/978-94-015-7799-1