ANALISIS SPASIAL EKONOMETRIK KASUS TBC DI JAWA BARAT TAHUN 2024
Disusun oleh:
Charles Joshua Nathaniel Waruwu (140610230048)
Dosen Pengampu:
Dr. I Gede Nyoman Mindra Jaya, M.Si
PROGRAM STUDI S-1 STATISTIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2025
Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan kini masih menjadi tantangan utama kesehatan global [1]. Menurut laporan WHO tahun 2023, jumlah kasus TBC secara global mencapai 10,8 juta jiwa, dan Indonesia menempati posisi kedua tertinggi dengan sekitar 10% dari total kasus dunia [2].
Provinsi Jawa Barat menjadi wilayah dengan jumlah kasus TBC tertinggi di Indonesia, yaitu mencapai 224.798 kasus pada tahun 2024 menurut Badan Pusat Statistik [1]. Kondisi ini menunjukkan bahwa penularan TBC belum terkendali dan dapat menghambat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin ke-3, yaitu kehidupan sehat dan kesejahteraan bagi semua [2].
TBC merupakan penyakit yang sangat dipengaruhi oleh kondisi spasial dan lingkungan, karena penyebarannya tidak terjadi secara acak, tetapi membentuk pola antarwilayah. Kasus tinggi di suatu daerah dapat berdampak pada peningkatan kasus di daerah sekitar akibat mobilitas penduduk dan kesamaan kondisi lingkungan [4]. Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif pada kasus TBC di Jawa Tengah, di mana peningkatan kasus di satu kabupaten/kota meningkatkan risiko di wilayah tetangganya [5]. Hal ini menjadi dasar penggunaan model Spatial Autoregressive (SAR), yang mengasumsikan bahwa nilai variabel dependen di suatu wilayah dipengaruhi oleh y di wilayah sekitaranya (endogenitas spasial) [4] [5].
Selain aspek spasial, faktor lingkungan dan pelayanan kesehatan juga memiliki peran penting dalam penyebaran TBC. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan empat variabel independen utama:
Dengan demikian, analisis spasial ekonometrik menjadi penting untuk memahami pola penyebaran TBC di Jawa Barat secara menyeluruh. Model SAR digunakan untuk menangkap efek dependensi spasial antarwilayah, sedangkan Spatial Error Model (SEM) digunakan untuk mengatasi korelasi pada komponen error antarwilayah [8]. Model terbaik akan dipilih berdasarkan kriteria informasi seperti Akaike Information Criterion (AIC).
Melalui pendekatan ini, penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pola penyebaran TBC di Jawa Barat serta menjadi dasar kebijakan kesehatan publik yang efektif dan berbasis lokasi.
Kasus TBC di Jawa Barat berjumlah 224.798 dan diduga membentuk pola spasial, bukan acak. Diperlukan uji autokorelasi spasial global (Moran’s I dan Geary’s C) dan lokal (LISA) untuk membuktikan hal tersebut.
Perlu dianalisis pengaruh jumlah puskesmas, air minum layak, sanitasi layak, dan indeks kualitas udara terhadap jumlah kasus TBC dengan mempertimbangkan dependensi spasial.
Diperlukan model spasial ekonometrik terbaik yang dapat menjelaskan variasi jumlah kasus TBC antarwilayah di Jawa Barat.
Mendeskripsikan pola dan distribusi spasial kasus TBC di kabupaten/kota Jawa Barat tahun 2024.
Menguji adanya autokorelasi spasial global dan lokal pada kasus TBC.
Menganalisis pengaruh faktor lingkungan dan kesehatan terhadap kasus TBC dengan mempertimbangkan efek spasial.
Menentukan model spasial terbaik untuk menjelaskan variasi kasus TBC.
Penelitian difokuskan pada kasus TBC tingkat kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2024.
Variabel independen terbatas pada empat faktor: jumlah puskesmas, persentase rumah tangga yang memiliki air minum layak, persentase rumah tangga yang memiliki sanitasi layak, dan indeks kualitas udara.
Analisis spasial dilakukan pada level agregat wilayah (kabupaten/kota).
Model yang digunakan adalah SAR dan SEM dengan matriks bobot spasial queen contiguity.
Dependensi Spasial merupakan kondisi di mana nilai suatu variabel pada suatu wilayah dipengaruhi oleh nilai variabel yang sama di wilayah sekitaranya, sehingga observasi antarwilayah tidak bersifat independen [4]. Hal ini muncul akibat pendekatan geografis, interaksi sosial, atau kesamaan karakteristik lingkungan yang menyebabkan fenomena di suatu wilayah dapat menyebar ke lokasi lain di sekitarnya [5]. Dalam konteks epidemiologi, seperti pada penyebaran TBC, wilayah dengan jumlah kasus tinggi sering kali diikuti oleh wilayah tetangga dengan kasus tinggi juga karena mobilitas penduduk dan kondisi lingkungan yang serupa [1] [5].
Autokorelasi spasial menggambarkan tingkat hubungan antara nilai suatu variabel di satu lokasi dengan lokasi lain yang berdekatan secara geografis [4]. Autokorelasi spasial positif terjadi ketika wilayah yang berdekatan memiliki nilai yang setara, sedangkan autokorelasi negatif terjadi ketika wilayah berdekatan memiliki nilai berlawanan [5]. Secara umum, autokorelasi spasial dapat diukur menggunakan pendekatan global dan loka. Ukuran global yang paling umum adalah Moran’s I dan Geary’s C, di mana Moran’s I mirip dengan koefisien korelasi Pearson dengan mempertimbangkan aspek spasial, sedangkan Geary’s C lebih sensitif terhadap variasi lokal antarwilayah. Analisis lokal menggunakan Local Moran’s I (LISA) yang dapat mengidentifikasi klaster seperti high-high, low-low, high-low, dan low-high, serta Getis-Ord G yang mendeteksi hot spots dan cold spots. [4] [5]
Model spasial ekonometrik digunakan untuk mengatasi pelanggaran asumsi independensi akibat dependensi antarwilayah [4]. Bentuk umumnya adalah Spatial Autoregressive (SAR), yang memasukkan pengaruh nilai variabel dependen dari wilayah tetangga (spatial lag), dan Spatial Error Model (SEM), yang menggunakan dependensi spasial pada komponen error [5] [6]. SAR menekankan adanya hubungan spasial antarwilayah, sedangkan SEM menangkap korelasi spasial yang tidak teramati, dan keduanya dapat diestimasi menggunakan Maximum Likelihood [8].
Data yang digunakan merupakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat, Open Data Jabar, dan Laporan Kinerja Direktorat Pengendalian Pencemaran Udara tahun 2024 [9] [10] [11] [12]. Penelitian ini mencakup data dari 27 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Barat. Variabel yang digunakan dapat dilihat sebagai berikut:
| Variabel | Keterangan |
|---|---|
| \(Y\) | Jumlah Kasus TBC |
| \(X_1\) | Jumlah Puskesmas |
| \(X_2\) | Persentase Rumah Tangga dengan Sumber Air Minum Layak |
| \(X_3\) | Persentase Rumah Tangga dengan Sanitasi Layak |
| \(X_4\) | Indeks Kualitas Udara |
Unit spasial dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Setiap objek dianggap sebagai satuan wilayah yang merepresentasikan satu observasi dalam analisis spasial. Unit spasial ini dipilih karena data kasus TBC, jumlah fasilitas kesehatan, dan indikator lingkungan tersedia pada level daerah tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis spasial ekonometrik untuk mengidentifikasi pola penyebaran dan hubungan antarwilayah kasus TBC di Provinsi Jawa Barat tahun 2024. Tahapan analisis dilakukan sebagai berikut:
Berdasarkan gambar, kabupaten/kota yang memiliki kasus TBC tinggi (merah gelap) cenderung berdekatan dengan daerah kasus yang tinggi juga. Daerah dengan kasus yang rendah (merah terang) cenderung berdekatan dengan daerah kasus yang rendah juga. Hal ini menunjukkan kemungkinan dependensi spasial antar daerah.
| Uji Statistik | p-value |
|---|---|
| Moran’s I | 0.002 (I = 0.35) |
Berdasarkan hasil, nilai p-value < 0.05 (H₀ ditolak) dan nilai I =
0.35 yang berarti terdapat autokorelasi spasial positif yang
signifikan.
Daerah dengan kasus tinggi dikelilingi oleh daerah dengan kasus tinggi
juga, begitu pun sebaliknya.
Analisis Lokal Moran’s I (LISA) menunjukkan nilai berbeda pada setiap
daerah.
Terdapat beberapa daerah yang signifikan dan terbagi menjadi dua
bagian.
Pertama, daerah high-high cluster seperti Bekasi, Depok, dan
Bogor.
Kedua, daerah low-low cluster seperti Garut dan
Tasikmalaya.
Hasil visualisasi dapat dilihat pada gambar berikut.
| Variabel | Koefisien | Std. Error | Z_Statistic | Probability |
|---|---|---|---|---|
| Konstan | -7111.828 | 10610.883 | -0.6702 | 0.5027 |
| X1 | 247.941 | 17.651 | 14.0465 | <2.2e-16 |
| X2 | 167.51 | 93.263 | 1.7961 | 0.0724 |
| X3 | -68.125 | 23.739 | -2.8697 | 0.0041 |
| X4 | -92.440 | 51.785 | -1.7851 | 0.0742 |
Berdasarkan hasil estimasi SAR di atas, variabel yang signifikan ada dua, yaitu X1 (jumlah puskesmas) bernilai positif dan X3 (sanitasi layak) bernilai negatif. Lalu, untuk ρ, dengan nilai 0.29934 dan p-value < 0.05 menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah kasus TBC di suatu wilayah cenderung dipengaruhi oleh banyaknya kasus TBC di wilayah sekitarnya. Untuk AIC yang didapat sebesar 477.1.
| Variabel | Koefisien | Std. Error | Z_Statistic | Probability |
|---|---|---|---|---|
| Konstan | -7066.247 | 11567.157 | -0.6109 | 0.5413 |
| X1 | 226.324 | 16.037 | 14.1125 | <2.2e-16 |
| X2 | 184.085 | 101.778 | 1.8087 | 0.0705 |
| X3 | -66.077 | 25.868 | -2.5544 | 0.0106 |
| X4 | -68.433 | 58.184 | -1.1761 | 0.2395 |
Berdasarkan hasil estimasi SEM di atas, variabel yang signifikan ada dua, yaitu X1 (jumlah puskesmas) bernilai positif dan X3 (sanitasi layak) bernilai negatif. Lalu, untuk λ, dengan nilai 0.59413 dan p-value < 0.05 menunjukkan bahwa terdapat autokorelasi spasial pada residual antar wilayah. Untuk AIC yang didapat sebesar 482.04.
| Model | LM-Test | Value | p-value | AIC |
|---|---|---|---|---|
| SAR | \(LM_{lag}\) | 18.325 | 0.00001 | 475.64 |
| SEM | \(LM_{error}\) | 9.3529 | 0.002 | 478.58 |
| SAR (Robust) | \(LM_{lag}\) | 10.679 | 0.001 | 475.64 |
| SEM (Robust) | \(LM_{error}\) | 1.7062 | 0.19 | 478.58 |
Berdasarkan tabel uji LM (Lagrange Multiplier), p-value SAR
dan SEM sama-sama signifikan (p-value < 0.05) untuk uji LM biasa
sehingga dilanjutkan pada pengujian robust dan diperoleh SAR signifikan,
sedangkan SEM tidak signifikan.
Selain itu, berdasarkan AIC, nilai AIC SAR lebih kecil daripada SEM
sehingga model SAR merupakan model terbaik karena lebih cocok pada data
serta sesuai prinsip parsimoni.
Model SAR yang terbentuk dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
\[ y = \rho Wy + X\beta + \epsilon, \; \epsilon \sim N(0, \sigma^2 I) \]
dengan:
Kasus Tuberkulosis (TBC) di provinsi Jawa Barat menunjukkan dependensi spasial positif. Hal tersebut mendukung hipotesis bahwa kasus tuberkulosis memiliki dependensi spasial dan diperlukan pemodelan spasial ekonometrik. Model spasial ekonometrik terbaik yang dipilih adalah SAR (Spatial Autoregressive) berdasarkan uji LM dan AIC. Hasil estimasi model SAR menunjukkan bahwa kasus TBC dipengaruhi oleh kasus TBC di area tetangganya. Sedangkan variabel prediktor yang berpengaruh signifikan adalah jumlah puskesmas (X1) dengan koefisien bernilai positif dan persentase masyarakat yang memiliki akses terhadap sanitasi layak (X3) dengan koefisien bernilai negatif.
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah memasukkan variabel prediktor lain yang signifikan seperti kepadatan penduduk sehingga tidak memengaruhi pengaruh dari variabel prediktor yang sudah ada seperti X1 dan menggunakan metode yang melibatkan aspek waktu juga, tidak hanya ruang apabila didasari dengan landasan teori yang kuat.
1] H. Zeanova et al., “Analisis Faktor Penyebab Penyakit TBC di Jawa Barat Menggunakan Regresi Binomial Negatif,” ResearchGate, 2024. [Online]. Available: https://www.researchgate.net/publication/387640440_ANALISIS_FAKTOR_PENYEBAB_PENYAKIT_TBC_DI_JAWA_BARAT_MENGGUNAKAN_REGRESI_BINOMIAL_NEGATIF
[2] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Profil Kesehatan Indonesia 2024, Jakarta: Kemenkes RI, 2024.
[3] M. Sobari, I. G. N. M. Jaya, and B. N. Ruchjana, “Spatial Analysis of Dengue Disease in Jakarta Province,” CAUCHY – Jurnal Matematika Murni dan Aplikasi, vol.7, no. 4, pp. 535–547, 2023.
[4] L. Anselin, “Spatial Econometrics,” in A Companion to Theoretical Econometrics, B. H. Baltagi, Ed., Oxford: Blackwell Publishing, 2001, pp. 310–330.
[5] H. I. Zebua and I. G. N. M. Jaya, “Spatial Autoregressive Model of Tuberculosis Cases in Central Java Province 2019,” CAUCHY – Jurnal Matematika Murni dan Aplikasi, vol. 7, no. 2, pp. 240–248, 2022.
[6] H. Yasin, A. R. Hakim, and B. Warsito, Regresi Spasial (Aplikasi dengan R), Pekalongan: WADE Group, 2020.
[7] W. Wang et al., “Reclaiming independence in spatial-clustering datasets: A series of data-driven spatial weights matrices,” Statistics in Medicine, vol. 41, no. 15, pp. 2939–2956, 2022.
[8] A. A. Grasa, Econometric Model Selection: A New Approach, Dordrecht: Springer, 2018.
[9] Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Akses Terhadap Sumber Air Minum Layak (Persen), 2024,” Statistik Table, diakses 2025. [Online]. Tersedia: https://jabar.bps.go.id/id/statistics-table/2/NzI5IzI=/persentase-rumah-tangga-yang-memiliki-akses-terhadap-sumber-air-minum-layak-.html
[10] Pemerintah Provinsi Jawa Barat, “Persentase Keluarga dengan Akses Sanitasi Layak (Jamban Sehat) Berdasarkan Kabupaten/Kota di Jawa Barat,” Open Data Jabar, diakses 2025. [Online]. Tersedia: https://opendata.jabarprov.go.id/id/dataset/persentase-keluarga-dengan-akses-sanitasi-layak-jamban-sehat-berdasarkan-kabupatenkota-di-jawa-barat
[11] Pemerintah Provinsi Jawa Barat, “Jumlah Puskesmas Berdasarkan Kabupaten/Kota di Jawa Barat,” Open Data Jabar, diakses 2025. [Online]. Tersedia: https://opendata.jabarprov.go.id/en/dataset/jumlah-puskesmas-berdasarkan-kabupatenkota-di-jawa-barat
[12] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Laporan Kinerja Direktorat Pengendalian Pencemaran Udara Tahun 2024, Jakarta: Direktorat Pengendalian Pencemaran Udara, Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, 2024.