Disusun oleh:
Rahma Aulia Putri — 140610230037
Dosen Pengampu:
I Gede Nyoman Mindra Jaya, M.Si., Ph.D.
Pendidikan merupakan salah satu indikator utama dalam menilai keberhasilan pembangunan suatu daerah. Tingkat pendidikan yang baik tidak hanya mencerminkan kualitas sumber daya manusia, tetapi juga menjadi faktor kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, produktivitas tenaga kerja, dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikator yang banyak digunakan untuk menggambarkan capaian pendidikan adalah rata-rata lama sekolah (RLS), yang menunjukkan jumlah tahun belajar penduduk usia 15 tahun keatas yang telah diselesaikan dalam pendidikan formal (tidak termasuk tahun yang mengulang).
Provinsi Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia terus menunjukkan kemajuan di sektor pendidikan. Namun, dibalik capaian tersebut masih terdapat ketimpangan rata-rata lama sekolah antar kabupaten/kota yang cukup mencolok. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat tahun 2024, meskipun perekonomian daerah tumbuh sebesar 4,95%, ketimpangan pendidikan masih terjadi. Kota Bekasi mencatat RLS tertinggi sebesar 11,79 tahun, sedangkan Kabupaten Indramayu memiliki RLS terendah sebesar 6,95 tahun. Kota Bandung memiliki RLS sebesar 9,15 tahun, sedangkan Kabupaten Garut dan Cianjur masing-masing sekitar 7,34 tahun dan 7,33 tahun. Perbedaan yang signifikan ini menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi belum sepenuhnya diikuti oleh pemerataan hasil pembangunan pendidikan. Kondisi tersebut menandakan bahwa masih terdapat tantangan besar dalam memastikan pemerataan akses dan kualitas pendidikan di seluruh wilayah Jawa Barat.
Ketimpangan rata-rata lama sekolah ini tidak dapat dilepaskan dari berbagai faktor ekonomi dan sosial di tingkat daerah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif terhadap lama sekolah, dimana semakin tinggi PAD, semakin besar kemampuan daerah dalam menyediakan fasilitas dan layanan pendidikan yang memadai (Farizki S., 2024). Sebaliknya, tingkat kemiskinan memiliki pengaruh negatif terhadap lama sekolah karena keterbatasan kemampuan keluarga dalam membiayai pendidikan (Lestari, D. H., & Setyadharma, A., 2018).
Di sisi lain, Angka Partisipasi Murni (APM) mencerminkan keberhasilan daerah dalam menjaga anak usia sekolah agar tetap bersekolah. APM yang tinggi menandakan meningkatnya partisipasi pendidikan yang berdampak langsung pada peningkatan rata-rata lama sekolah. Rasio guru-murid yang tinggi menunjukkan beban pengajaran yang berat, sehingga berpotensi menurunkan kualitas pembelajaran dan berimplikasi pada menurunnya lama sekolah. Sementara itu, Dana Alokasi Umum (DAU) bidang pendidikan turut berperan dalam mendukung penyediaan sarana, prasarana, serta peningkatan mutu pendidikan di daerah, meskipun belum banyak kajian empiris yang secara spesifik meneliti pengaruhnya terhadap lama sekolah.
Lebih lanjut, dalam konteks wilayah, rata-rata lama sekolah (RLS) di Provinsi Jawa Barat menunjukkan adanya pola spasial, yaitu kondisi di mana nilai RLS suatu kabupaten atau kota cenderung berkaitan dengan wilayah di sekitarnya. Kota-kota besar seperti Bandung, Depok, dan Bekasi memiliki RLS yang relatif tinggi karena akses pendidikan lebih mudah, pendapatan penduduk lebih tinggi, serta kesadaran akan pentingnya pendidikan yang lebih kuat. Wilayah di sekitar kota-kota besar, seperti Kabupaten Bandung, Kabupaten Bekasi, atau Kabupaten Bogor, juga cenderung memiliki RLS yang tinggi karena terpengaruh oleh kedekatannya dengan pusat pendidikan dan ekonomi.
Dalam kehidupan nyata, penduduk tidak selalu beraktivitas hanya di satu wilayah. Misalnya, warga Kabupaten Bandung banyak yang bersekolah atau bekerja di Kota Bandung, sementara penduduk Kabupaten Bekasi dapat menempuh pendidikan di Jakarta atau Kota Bekasi. Ketika banyak penduduk dari daerah sekitar bersekolah atau bekerja di kota dengan fasilitas pendidikan lebih baik, mereka membawa pulang nilai-nilai dan kesadaran pentingnya pendidikan. Dalam jangka panjang, hal ini menimbulkan efek sosial yang menular, yaitu meningkatnya motivasi sekolah di daerah asal mereka.
Selain itu, sekolah-sekolah menengah favorit di kota besar juga menampung siswa dari kabupaten sekitar, dan pemerintah provinsi maupun kabupaten kerap menjalankan program pendidikan regional, seperti beasiswa atau pembangunan sekolah lintas kabupaten. Akibatnya, daerah yang berdekatan dengan pusat pendidikan besar memperoleh manfaat tidak langsung, antara lain peningkatan partisipasi sekolah dan peningkatan tingkat pendidikan penduduk. Fenomena ini memperkuat adanya efek tumpahan antarwilayah (spatial spillover), di mana peningkatan atau penurunan rata-rata lama sekolah dapat menyebar melampaui batas administratif daerah.
Untuk memahami kompleksitas hubungan antarvariabel dan efek spasial tersebut, penelitian ini menggunakan model ekonometrik spasial seperti Spatial Durbin Model (SDM), Spatial Error Model (SEM), Spatial Autoregressive Combined Model (SAC), hingga General Nesting Spatial Model (GNS). Pendekatan ini diharapkan mampu memberikan gambaran yang lebih akurat mengenai faktor-faktor yang memengaruhi rata-rata lama sekolah di Jawa Barat dan sejauh mana pengaruh tersebut meluas ke wilayah sekitarnya.
Berdasarkan hasil eksplorasi awal terhadap data rata-rata lama sekolah di Jawa Barat, ditemukan adanya indikasi autokorelasi spasial baik pada variabel dependen (Y) maupun beberapa variabel independen (X). Selain itu, hasil estimasi model OLS menunjukkan adanya autokorelasi spasial pada residual, yang mengindikasikan bahwa model OLS tidak mampu menangkap dependensi spasial antarwilayah secara memadai.
Hasil uji Lagrange Multiplier (LM) dan Robust LM menunjukkan bahwa terdapat signifikansi baik pada bentuk spatial lag (Y) maupun spatial error. Dengan pertimbangan adanya signifikansi baik pada bentuk spatial lag (Y) maupun spatial error, serta adanya spillover pada variabel X, diperlukan model spasial lanjutan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dengan demikian, pemilihan model spasial yang tepat menjadi penting agar hubungan antarvariabel dapat dijelaskan secara akurat, baik dari segi efek langsung maupun efek tidak langsung (spillover).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
Mengidentifikasi faktor-faktor ekonomi dan sosial yang memengaruhi rata-rata lama sekolah di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
Menguji keberadaan ketergantungan spasial (spatial dependence) antarwilayah dalam rata-rata lama sekolah.
Menganalisis dan membandingkan kinerja beberapa model spasial ekonometrik lanjutan dalam menjelaskan variasi rata-rata lama sekolah di Jawa Barat.
Agar analisis lebih terfokus, penelitian ini dibatasi pada hal-hal berikut :
Wilayah studi terbatas pada 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
Data yang digunakan merupakan data cross-section tahun 2024.
Model yang dianalisis hanya mencakup empat model spasial ekonometrik, yaitu SDM, SDEM, SAC, dan GNS.
Penelitian ini tidak membahas dimensi waktu (time-series) sehingga dinamika perubahan antar tahun tidak dianalisis.
Ketergantungan spasial (spatial dependence) mengacu pada fenomena ketika nilai suatu variabel di satu wilayah tidak bersifat independen, tetapi dipengaruhi oleh nilai variabel di wilayah sekitarnya (Anselin & Bera, 1998). Artinya, informasi di satu lokasi mengandung nilai prediktif terhadap lokasi lain. Hal ini umum dijumpai pada data sosial, ekonomi, kesehatan, atau lingkungan karena wilayah berdekatan biasanya saling berinteraksi melalui mobilitas penduduk, kebijakan publik, maupun kondisi geografis yang serupa. Secara umum, terdapat dua bentuk utama ketergantungan spasial, yaitu spatial lag dependence dan spatial error dependence (LeSage & Pace, 2009) :
Spatial Lag Dependence
Ketergantungan spasial ini terjadi ketika nilai variabel dependen pada
suatu wilayah secara langsung dipengaruhi oleh nilai variabel dependen
di wilayah-wilayah tetangganya. Persamaannya dapat ditulis sebagai
:
\[
Y = \rho WY + X\beta + \varepsilon
\]
dengan W sebagai matriks bobot spasial yang merepresentasikan kedekatan antarwilayah, ρ menunjukkan kekuatan efek lag, dan ε adalah error acak.
Spatial Error Dependence
Spatial Error Dependence muncul ketika ketergantungan spasial
berada pada komponen error, bukan pada variabel dependen. Kondisi ini
biasanya terjadi karena terdapat variabel atau faktor yang berpengaruh
terhadap variabel dependen (Y) namun tidak dimasukkan ke dalam model,
dan variabel tersebut memiliki pola spasial (spatially
autocorrelated omitted variable). Model spatial error menuliskan
kesalahan sebagai :
\[
\varepsilon = \lambda W\varepsilon + u
\]
dengan \(λ\) mengukur intensitas autokorelasi pada residual, \(u\) merupakan error i.i.d., dan \(W\) kembali merupakan matriks bobot spasial (spatial weight matrix).
Mengabaikan dependensi spasial dapat menyebabkan estimasi koefisien regresi standar (OLS) menjadi bias dan tidak efisien, serta mengakibatkan kesalahan dalam uji signifikansi (LeSage & Pace, 2009). Oleh karena itu, identifikasi dan penanganan dependensi spasial merupakan tahap penting sebelum melakukan interpretasi terhadap hubungan antarvariabel.
Autokorelasi spasial menggambarkan sejauh mana nilai suatu variabel di satu lokasi berkorelasi dengan nilai variabel yang sama di lokasi lain. Secara matematis, autokorelasi spasial dapat dinyatakan melalui kondisi momen sebagai berikut:
\[ \text{cov}[y_i , y_j] = E[y_i y_j] - E[y_i]E[y_j] \neq 0 \]
di mana \(i\) dan \(j\) merujuk pada pengamatan individual (lokasi), dan \(y_i\) adalah nilai variabel acak yang diamati pada lokasi tersebut. Berikut adalah ukuran yang biasa digunakan untuk mendeteksi autokorelasi spasial pada data :
Ukuran global yang paling umum digunakan untuk mengukur autokorelasi spasial adalah Moran’s I (Moran, 1950) dengan rumus perhitungan sebagai berikut :
\[ I = \frac{n}{\sum_i \sum_j w_{ij}} \frac{\sum_i \sum_j w_{ij} (Y_i - \bar{Y})(Y_j - \bar{Y})} {\sum_i (Y_i - \bar{Y})^2} \]
dimana \(n\) adalah jumlah wilayah atau lokasi, \(Y_i\) adalah nilai variabel yang diamati di wilayah \(i\), \(\bar{Y}\) adalah rata-rata dari semua nilai, dan \(w_{ij}\) adalah elemen matriks pembobot spasial yang menunjukkan kedekatan spasial antara wilayah \(i\) dan \(j\) dengan \(w_{ii}= 0\).
Adapun interpretasi Moran’s I adalah sebagai berikut :
Moran’s I bersifat global, artinya hanya mengukur kecenderungan keseluruhan data, bukan lokasi spesifik di mana pengelompokan terjadi.
Indeks Geary’s C (Geary, 1954) merupakan ukuran autokorelasi spasial yang berfungsi sebagai alternatif dari Moran’s I. Berbeda dengan Moran’s I yang menilai kemiripan nilai antarwilayah secara keseluruhan (global similarity), Geary’s C lebih sensitif terhadap perbedaan nilai antar pasangan wilayah (local dissimilarity). Dengan demikian, Geary’s C lebih menekankan pada variasi spasial lokal daripada pola global.
Secara matematis, Geary’s C dapat dihitung menggunakan rumus berikut :
\[ C = \frac{(n-1)\sum_i \sum_j w_{ij} (Y_i - Y_j)^2}{2W \sum_i (Y_i - \bar{Y})^2} \]
dengan:
\(n\) : jumlah wilayah atau lokasi
pengamatan,
\(Y_i\) : nilai variabel yang diamati
di wilayah ke-\(i\),
\(\bar{Y}\) : rata-rata dari seluruh
nilai variabel,
\(w_{ij}\) : elemen matriks pembobot
spasial antara wilayah \(i\) dan \(j\), dan
\(W = \sum_i \sum_j w_{ij}\) : total
bobot spasial.
Adapun interpretasi dari nilai Geary’s C adalah sebagai berikut :
Untuk mengidentifikasi dimana pola spasial terjadi, digunakan ukuran lokal yaitu Local Moran’s I (Anselin, 1995). Berbeda dari Moran’s I yang bersifat global dan hanya memberikan informasi mengenai ada tidaknya autokorelasi spasial secara keseluruhan, LISA memungkinkan identifikasi lokasi spesifik tempat terjadinya pengelompokan nilai yang serupa atau berbeda secara signifikan. Dengan kata lain, ukuran ini dapat mengungkap pola spasial lokal seperti hotspots, coldspots, dan spatial outliers.
Rumus umum Local Moran’s I untuk wilayah ke-\(i\) adalah sebagai berikut :
\[ I_i = z_i \sum_j w_{ij} z_j \]
dengan:
\(I_i\) : nilai indeks lokal untuk
wilayah ke-\(i\),
\(z_i\) dan \(z_j\) : nilai standar dari variabel pada
wilayah \(i\) dan \(j\) (yakni \(z_i
= Y_i - \bar{Y}\)),
\(w_{ij}\) : elemen dari matriks bobot
spasial yang menggambarkan kedekatan wilayah \(i\) dan \(j\).
Nilai \(I_i\) yang signifikan menunjukkan bahwa wilayah \(i\) memiliki keterkaitan spasial dengan wilayah di sekitarnya. Berdasarkan hasil tersebut, pola spasial dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe :
Interpretasi Local Moran’s I umumnya divisualisasikan melalui peta LISA cluster dan LISA significance map. Peta-peta ini membantu peneliti mengidentifikasi secara geografis wilayah yang membentuk klaster signifikan, sehingga dapat digunakan untuk analisis spasial berbasis lokasi, seperti penentuan daerah prioritas kebijakan atau pemeriksaan anomali lokal. Dengan demikian, LISA merupakan alat analisis penting dalam eksplorasi data spasial karena memberikan informasi lokal yang tidak dapat ditangkap oleh ukuran global seperti Moran’s I dan Geary’s C.
Ukuran lokal lain yang populer adalah Getis–Ord Gi* (Getis & Ord, 1992; 1996), merupakan salah satu indikator asosiasi spasial lokal yang digunakan untuk mengidentifikasi klaster nilai tinggi (hotspot) dan klaster nilai rendah (coldspot) dalam suatu wilayah. Berbeda dengan Local Moran’s I yang menilai hubungan antara satu wilayah dengan nilai tetangganya secara relatif terhadap rata-rata global, ukuran Gi* lebih menekankan pada intensitas nilai absolut di sekitar suatu lokasi dibandingkan dengan rata-rata keseluruhan wilayah.
Rumus umum statistik Getis–Ord Gi* adalah sebagai berikut :
\[ G_i^* = \frac{ \sum_j w_{ij} x_j - \bar{X} \sum_j w_{ij} } { S \sqrt{ \frac{ n \sum_j w_{ij}^2 - (\sum_j w_{ij})^2 }{n-1} } } \]
dengan:
\(G_i^*\) : nilai statistik Getis–Ord
untuk wilayah ke-\(i\),
\(x_j\) : nilai variabel pada wilayah
\(j\),
\(w_{ij}\) : elemen matriks bobot
spasial yang menunjukkan kedekatan antara wilayah \(i\) dan \(j\),
\(\bar{X}\) : rata-rata nilai variabel
seluruh wilayah,
\(S\) : simpangan baku variabel,
dan
\(n\) : jumlah total wilayah
pengamatan.
Nilai \(G_i^*\) kemudian diuji secara statistik dengan distribusi normal baku (z-score). Interpretasinya adalah :
Kelebihan utama metode ini adalah kemampuannya dalam mengidentifikasi area dengan konsentrasi ekstrem tanpa terpengaruh oleh nilai rata-rata global, sehingga lebih peka terhadap fenomena lokal. Secara visual, hasil analisis Gi* biasanya disajikan dalam bentuk peta hotspot (Hotspot Map) yang menampilkan area-area signifikan berdasarkan nilai z-score. Peta ini memberikan informasi strategis bagi pengambil kebijakan untuk menentukan wilayah prioritas intervensi, misalnya daerah dengan tingkat pendidikan rendah (coldspot) yang memerlukan peningkatan akses atau sarana pendidikan.
Model dasar dalam analisis ekonometrika wilayah adalah Ordinary Least Squares (OLS), yang mengasumsikan bahwa setiap observasi bersifat independen satu sama lain. Dalam konteks spasial, OLS memodelkan hubungan antara variabel dependen \(Y\) dan sejumlah variabel independen \((X_i)\) tanpa mempertimbangkan lokasi geografis setiap unit. Bentuk umum model OLS adalah :
\[ Y = \beta_0 + \beta_1 X_1 + \beta_2 X_2 + \ldots + \beta_k X_k + \varepsilon \]
Namun, asumsi independensi observasi sering tidak terpenuhi dalam
data wilayah karena fenomena ekonomi dan sosial tidak tersebar secara
acak di ruang. Wilayah yang berdekatan biasanya memiliki karakteristik
yang saling berhubungan akibat interaksi sosial, kebijakan publik,
mobilitas tenaga kerja, dan kesamaan kondisi geografis.
Ketika terdapat dependensi spasial (spatial dependence) baik
pada lag maupun pada error, penggunaan OLS menjadi
tidak tepat. Dua sumber utama dependensi adalah efek lag
spasial dan efek error spasial sebagaimana yang sudah
dijelaskan pada 2.1. Jika kedua jenis efek ini muncul, maka model OLS
menghasilkan koefisien yang bias dan tidak efisien. Residual yang
menunjukkan autokorelasi spasial mengindikasikan bahwa model OLS gagal
menangkap hubungan antarwilayah. Oleh karena itu, dibutuhkan model
spatial econometrics yang secara eksplisit mengakomodasi
struktur ketergantungan spasial.
Model spatial econometric merupakan pendekatan dalam analisis ekonometrika yang secara eksplisit mempertimbangkan adanya ketergantungan spasial (spatial dependence) dan/atau heterogenitas spasial (spatial heterogeneity) antarwilayah dalam data. Beberapa model spasial ekonometrik yang dapat digunakan adalah sebagai berikut :
Model ini memasukkan lag spasial dari variabel dependen ke dalam persamaan regresi. Berikut adalah persamaannya:
\[ Y = \rho WY + X\beta + \varepsilon \]
dimana
- \(Y\) : Variabel dependen
- \(W\) : Matriks bobot spasial
(spatial weight matrix), yang menunjukkan hubungan kedekatan
antarwilayah (misalnya berbatasan langsung, atau berjarak dalam radius
tertentu).
- \(WY\) : Lag spasial dari
variabel dependen, yaitu rata-rata tertimbang variabel dependen di
wilayah-wilayah tetangga.
- \(\rho\) : Koefisien lag
spasial, mengukur seberapa besar pengaruh variabel dependen di daerah
tetangga terhadap daerah bersangkutan.
- \(X\) : Matriks variabel
independen.
- \(\beta\) : Vektor koefisien regresi,
menunjukkan besarnya pengaruh masing-masing variabel \(X\) terhadap variabel dependen.
- \(\varepsilon\) : Komponen
error acak, diasumsikan identik dan independen.
Model SAR digunakan ketika terdapat efek spillover antarwilayah (misalnya daerah dengan rata-rata lama sekolah tinggi memengaruhi wilayah tetangganya melalui pertukaran sumber daya pendidikan atau kebijakan).
Model SEM digunakan ketika pengaruh spasial tidak berasal dari hubungan langsung antarwilayah, tetapi dari faktor tak teramati yang berpola spasial (misalnya kualitas infrastruktur atau kebijakan regional yang tidak dimasukkan ke model). Model SEM cocok digunakan ketika uji LM-error signifikan, atau ketika pola spasial hanya muncul pada residu model OLS. Model ini memfokuskan pada korelasi spasial di dalam komponen error. Berikut adalah persamaanya:
\[ Y = X\beta + u, \quad u = \lambda W u + \varepsilon \]
dimana
- \(u\) : Error yang memiliki
dependensi spasial.
- \(\lambda\) : Koefisien autokorelasi
spasial pada error, menunjukkan seberapa kuat keterkaitan
error antarwilayah.
- \(Wu\) : Lag spasial dari
error, yaitu rata-rata kesalahan prediksi di wilayah
tetangga.
- \(\varepsilon\) : Komponen
error acak yang bersifat independen.
Model ini merupakan pengembangan dari SAR, karena selain memasukkan lag spasial pada variabel dependen, juga memasukkan lag spasial pada variabel independen (\(WX\)). Oleh karena itu, model SDM dapat digunakan ketika efek spasial tidak hanya berasal dari hasil (\(Y\)), tetapi juga dari faktor penentu (\(X\)). Berikut adalah persamaannya:
\[ Y = \rho WY + X\beta + W X\theta + \varepsilon \]
dimana
- \(WX\) : Lag spasial dari
variabel independen, yaitu rata-rata tertimbang dari nilai
variabel-variabel penjelas di wilayah sekitar.
- \(\theta\) : Koefisien efek tidak
langsung (spillover) dari variabel independen di wilayah
sekitar.
Model ini memperluas SEM dengan menambahkan lag spasial pada variabel independen (\(WX\)). Model ini digunakan untuk menangkap pengaruh spasial yang berasal dari faktor penjelas di wilayah sekitar (spatially lagged X) dan korelasi error spasial secara bersamaan. Berikut adalah persamaannya:
\[ Y = X\beta + W X\theta + u, \quad u = \lambda W u + \varepsilon \]
Model SDEM tidak memasukkan lag spasial pada \(Y\), sehingga tidak mengasumsikan adanya ketergantungan langsung antarhasil antarwilayah. Namun, SDEM efektif menangkap efek antarwilayah melalui faktor penjelas (\(X\)) dan komponen error spasial (\(u\)).
Model SAC menggabungkan efek lag spasial (SAR) dan error spasial (SEM) merupakan kombinasi antara model SAR dan SEM, sehingga mengakomodasi efek lag spasial pada variabel dependen (\(WY\)) dan autokorelasi spasial pada error (\(Wu\)) secara bersamaan. Model ini relevan ketika terdapat interaksi langsung antarwilayah dan juga variabel tak teramati yang berpola spasial. Berikut adalah persamaanya:
\[ Y = \rho WY + X\beta + u, \quad u = \lambda W u + \varepsilon \]
Model GNS adalah bentuk paling umum dari model spasial, karena menggabungkan semua kemungkinan dependensi. GNS bersifat nests terhadap model-model lain (SAR, SEM, SDM, SDEM, SAC), sehingga digunakan sebagai model general untuk kemudian disederhanakan bila parameter tertentu tidak signifikan. Berikut adalah persamaannya:
\[ Y = \rho WY + X\beta + W X\theta + u, \quad u = \lambda W u + \varepsilon \]
Berdasarkan teori yang dipaparkan di atas, dapat diketahui bahwa
masing-masing model memiliki asumsi dan struktur ketergantungan spasial
yang berbeda. Beberapa model menekankan adanya dependensi langsung antar
wilayah (melalui lag spasial pada variabel dependen \(WY\)), sementara yang lain menangkap
hubungan tidak langsung melalui variabel penjelas (lag spasial
pada variabel independen \(WX\)) atau
dependensi spasial pada error (\(Wu\)). Untuk memberikan gambaran yang lebih
jelas, berikut disajikan tabel perbandingan model-model spasial
ekonometrik berdasarkan keberadaan unsur spasial pada variabel dependen
(\(Y\)), variabel independen (\(X\)), dan komponen error (\(u\)) :
Penelitian ini menggunakan data sekunder berbentuk cross-section yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang digunakan merupakan data tahun 2024 yang mencakup indikator sosial, ekonomi, dan pendidikan di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
library(openxlsx)
data <- read.xlsx("C:/Users/DEDEN GUNAWAN/Downloads/DATA SPASIAL.xlsx")
head(data)
## Kabupaten/Kota Rata.Rata.Lama.Sekolah PAD DAU.Pendidikan PDRB
## 1 Bogor 8.39 3860.40 2454.62 54857
## 2 Sukabumi 7.34 698.62 296.85 31167
## 3 Cianjur 7.33 1090.76 313.59 24914
## 4 Bandung 9.15 1408.61 299.85 44126
## 5 Garut 7.85 519.63 252.25 29012
## 6 Tasikmalaya 7.97 394.69 112.41 25916
## Tingkat.Kemiskinan Rasio.Guru.dan.Murid.SD Rasio.Guru.dan.Murid.SMP
## 1 7.05 26.86101 23.03686
## 2 6.87 25.71247 19.61370
## 3 10.14 21.42955 19.37992
## 4 6.19 23.17538 19.87356
## 5 9.68 23.11797 18.95353
## 6 10.23 18.26736 16.27961
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMA APM.SD APM.SMP APM.SMA APM.PT
## 1 20.27888 97.48 85.01 52.05 20.62
## 2 21.01312 99.99 82.66 59.45 12.76
## 3 19.31692 99.84 79.10 57.37 7.75
## 4 21.14745 99.74 85.75 53.50 19.64
## 5 18.95326 98.40 81.14 59.44 10.63
## 6 17.90658 98.64 88.60 64.92 14.79
Unit analisis dalam penelitian ini adalah 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Setiap wilayah memiliki karakteristik sosial ekonomi dan kondisi pendidikan yang berbeda, seperti tingkat kemiskinan, ketersediaan guru, serta capaian angka partisipasi sekolah. Untuk menangkap keterkaitan antarwilayah, penelitian ini menggunakan matriks bobot spasial (\(W\)). Matriks ini merepresentasikan hubungan kedekatan antarwilayah dan menjadi dasar dalam analisis spasial. Pendekatan yang digunakan adalah queen contiguity dimana dua wilayah dianggap bertetangga jika berbagi sudut atau sisi administratif yang sama.
Penelitian ini menggunakan satu variabel dependen (\(Y\)) dan beberapa variabel independen (\(X\)) sebagaimana dirangkum berikut :
| Jenis Va riabel | Nama Va riabel | Keterangan | Satuan | Sumber Data |
|---|---|---|---|---|
| Y | Rat a-rata Lama S ekolah (RLS) | Rata-rata jumlah tahun penduduk berusia ≥15 tahun yang menempuh pendidikan formal | Tahun | Sta tistik Pr ovinsi Jawa Barat |
| X₁ | Pend apatan Asli Daerah (PAD) | Pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan guna keperluan daerah yang bersangkutan dalam membiayai kegiatannya | Miliar Rupiah | Badan Pusat Sta tistik |
| X₂ | Dana A lokasi Umum Pend idikan (DAU Pendi dikan) | Transfer dana bagi pemerintah pusat ke Pemerintah Daerah yang dimaksudkan untuk menutup kesenjangan fiskal (fiscal gap) dan pemerataan kemampuan fiskal antardaerah | Miliar Rupiah | Dire ktorat Je nderal Perim bangan Ke uangan |
| X₃ | Produk Do mestik Re gional Bruto (PDRB) | Nilai tambah bruto yang dihasilkan daerah dalam satu tahun | Ribu Rupiah | Badan Pusat Sta tistik |
| X₄ | T ingkat Kemi skinan | Persentase penduduk miskin terhadap total penduduk | Persen (%) | Badan Pusat Sta tistik |
| X₅ | Rasio Guru dan Murid SD | Jumlah murid per satu guru di jenjang SD | Rasio | Badan Pusat Sta tistik |
| X₆ | Rasio Guru dan Murid SMP | Jumlah murid per satu guru di jenjang SMP | Rasio | Badan Pusat Sta tistik |
| X₇ | Rasio Guru dan Murid SMA | Jumlah murid per satu guru di jenjang SMA | Rasio | Badan Pusat Sta tistik |
| X₈ | Angka Parti sipasi Murni (APM) SD | Persentase penduduk usia sekolah SD yang sedang bersekolah di SD | Persen (%) | Badan Pusat Sta tistik |
| X₉ | APM SMP | Persentase penduduk usia sekolah SMP yang sedang bersekolah di SMP | Persen (%) | Badan Pusat Sta tistik |
| X₁₀ | APM SMA | Persentase penduduk usia sekolah SMA yang sedang bersekolah di SMA | Persen (%) | Badan Pusat Sta tistik |
| X₁₁ | APM Per guruan Tinggi (PT) | Persentase penduduk usia kuliah yang sedang menempuh pendidikan tinggi | Persen (%) | Badan Pusat Sta tistik |
Pendekatan analisis yang digunakan dalam penelitian ini merupakan analisis spasial ekonometrik yang dilakukan melalui beberapa tahapan berurutan. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai proses analisis dalam penelitian ini, berikut disajikan diagram alur penelitian, yang menunjukkan tahapan mulai dari eksplorasi data hingga interpretasi hasil model spasial.
Analisis deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran umum mengenai kondisi rata-rata lama sekolah (RLS) serta variabel-variabel yang diduga memengaruhinya di 27 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat.
library(spdep)
## Loading required package: spData
## To access larger datasets in this package, install the spDataLarge
## package with: `install.packages('spDataLarge',
## repos='https://nowosad.github.io/drat/', type='source')`
## Loading required package: sf
## Linking to GEOS 3.13.0, GDAL 3.10.1, PROJ 9.5.1; sf_use_s2() is TRUE
library(sp)
library(sf)
library(ggplot2)
library(dplyr)
##
## Attaching package: 'dplyr'
## The following objects are masked from 'package:stats':
##
## filter, lag
## The following objects are masked from 'package:base':
##
## intersect, setdiff, setequal, union
Indo <- st_read("C:/Users/DEDEN GUNAWAN/Downloads/RBI_50K_2023_Jawa Barat.x26272/RBI_50K_2023_Jawa Barat.shp")
## Reading layer `RBI_50K_2023_Jawa Barat' from data source
## `C:\Users\DEDEN GUNAWAN\Downloads\RBI_50K_2023_Jawa Barat.x26272\RBI_50K_2023_Jawa Barat.shp'
## using driver `ESRI Shapefile'
## Simple feature collection with 27 features and 25 fields
## Geometry type: MULTIPOLYGON
## Dimension: XY
## Bounding box: xmin: 106.3703 ymin: -7.82099 xmax: 108.8468 ymax: -5.806538
## Geodetic CRS: WGS 84
# Merged data
jabar_merged <- Indo %>%
left_join(data, by = c("WADMKK" = "Kabupaten/Kota"))
ggplot(jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = Rata.Rata.Lama.Sekolah)) +
scale_fill_viridis_c(option = "C") +
labs(title = "Sebaran Rata-Rata Lama Sekolah di Jawa Barat", fill = "Rata-Rata Lama Sekolah (tahun)") +
theme_minimal()
Hasil pemetaan di atas menunjukkan bahwa pola distribusi Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) di Jawa Barat tidak merata antarwilayah. Daerah perkotaan seperti Kota Bekasi, Kota Depok, dan Kota Bandung memiliki RLS tinggi, berada pada kisaran 9 hingga 11.79 tahun, yang menunjukkan bahwa penduduknya rata-rata telah menempuh pendidikan hingga jenjang menengah atas atau lebih. Sebaliknya, wilayah seperti Kabupaten Indramayu, Garut, dan Cianjur memiliki nilai RLS relatif rendah, yaitu sekitar 6.95–7.33 tahun yang menggambarkan bahwa sebagian besar penduduk di wilayah tersebut hanya menamatkan pendidikan dasar. Pola ini memperlihatkan adanya ketimpangan spasial pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan yang berpotensi membentuk spatial clustering, yakni pengelompokan daerah berpendidikan tinggi dan rendah yang berdekatan secara geografis.
Selain RLS, pemetaan juga dilakukan terhadap variabel-variabel independen seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) Bidang Pendidikan, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Tingkat Kemiskinan, Rasio Guru-Murid, serta Angka Partisipasi Murni (APM) pada tiap jenjang pendidikan.
ggplot(jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = PAD)) +
scale_fill_viridis_c(option = "C") +
labs(title = "Sebaran Pendapatan Asli Daerah di Jawa Barat", fill = "PAD (M)") +
theme_minimal()
Berdasarkan peta sebaran di atas, Pendapatan Asli Daerah (PAD) memperlihatkan variasi yang cukup kontras, di mana beberapa wilayah menampilkan warna dengan intensitas lebih terang yang menunjukkan PAD tinggi, sedangkan sebagian besar wilayah lainnya memiliki PAD relatif rendah. Kondisi ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil wilayah yang memiliki kemandirian fiskal tinggi, sementara daerah lain masih bergantung pada dana transfer dari pusat.
ggplot(jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = DAU.Pendidikan)) +
scale_fill_viridis_c(option = "C") +
labs(title = "Sebaran Dana Alokasi Umum Bidang Pendidikan di Jawa Barat", fill = "DAU Pendidikan (M)") +
theme_minimal()
Dana Alokasi Umum (DAU) Bidang Pendidikan tampak lebih merata di seluruh wilayah dengan dominasi warna gelap, menandakan bahwa hampir semua daerah memperoleh alokasi anggaran pendidikan yang relatif kecil. Hanya beberapa wilayah dengan intensitas warna lebih terang yang menunjukkan nilai DAU pendidikan lebih kecil.
ggplot(jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = Tingkat.Kemiskinan)) +
scale_fill_viridis_c(option = "C") +
labs(title = "Sebaran Tingkat Kemiskinan di Jawa Barat", fill = "Tingkat Kemiskinan (%)") +
theme_minimal()
Tingkat Kemiskinan memperlihatkan pola sebaran dimana wilayah dengan warna terang menunjukkan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi. Terlihat adanya pengelompokan wilayah dengan kemiskinan tinggi di bagian tertentu, sedangkan daerah lain menunjukkan kondisi sosial ekonomi yang lebih baik.
ggplot(jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = PDRB)) +
scale_fill_viridis_c(option = "C") +
labs(title = "Sebaran PDRB di Jawa Barat", fill = "PDRB (Ribu Rupiah)") +
theme_minimal()
Sementara itu, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menunjukkan pola yang cukup mirip dengan PAD, di mana terdapat beberapa wilayah dengan warna lebih gelap yang menandakan tingkat aktivitas ekonomi tinggi, sementara sebagian besar daerah lainnya berada pada kategori rendah hingga sedang.
ggplot(jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = Rasio.Guru.dan.Murid.SD)) +
scale_fill_viridis_c(option = "C") +
labs(title = "Sebaran Rasio Guru dan Murid SD di Jawa Barat", fill = "Rasio Murid : Guru SD") +
theme_minimal()
ggplot(jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = Rasio.Guru.dan.Murid.SMP)) +
scale_fill_viridis_c(option = "C") +
labs(title = "Sebaran Rasio Guru dan Murid SMP di Jawa Barat", fill = "Rasio Murid : Guru SMP") +
theme_minimal()
ggplot(jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = Rasio.Guru.dan.Murid.SMA)) +
scale_fill_viridis_c(option = "C") +
labs(title = "Sebaran Rasio Guru dan Murid SMA di Jawa Barat", fill = "Rasio Murid : Guru SMA") +
theme_minimal()
ggplot(jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = Rasio.Guru.dan.Murid.SMA)) +
scale_fill_viridis_c(option = "C") +
labs(title = "Sebaran Rasio Guru dan Murid SMA di Jawa Barat", fill = "Rasio Murid : Guru SMA") +
theme_minimal()
Untuk rasio guru dan murid, baik pada jenjang SD, SMP, maupun SMA, tampak bahwa sebagian wilayah memiliki warna yang lebih cerah, menandakan rasio murid per guru yang lebih tinggi (artinya beban mengajar guru lebih besar). Sementara wilayah dengan warna lebih gelap menunjukkan rasio yang lebih ideal. Secara umum, pola ini belum merata di seluruh provinsi dan menunjukkan adanya kesenjangan distribusi tenaga pendidik antarwilayah.
ggplot(jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = APM.SD)) +
scale_fill_viridis_c(option = "C") +
labs(title = "Sebaran Angka Partisipasi Murni SD di Jawa Barat", fill = "APM SD") +
theme_minimal()
ggplot(jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = APM.SMP)) +
scale_fill_viridis_c(option = "C") +
labs(title = "Sebaran Angka Partisipasi Murni SMP di Jawa Barat", fill = "APM SMP") +
theme_minimal()
ggplot(jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = APM.SMA)) +
scale_fill_viridis_c(option = "C") +
labs(title = "Sebaran Angka Partisipasi Murni SMA di Jawa Barat", fill = "APM SMA") +
theme_minimal()
ggplot(jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = APM.PT)) +
scale_fill_viridis_c(option = "C") +
labs(title = "Sebaran Angka Partisipasi Murni PT di Jawa Barat", fill = "APM PT") +
theme_minimal()
Pada peta Angka Partisipasi Murni (APM), terlihat bahwa APM SD memiliki variasi warna yang cukup beragam antarwilayah, menunjukkan bahwa pemerataan akses pendidikan dasar belum sepenuhnya merata di seluruh provinsi. Memasuki jenjang yang lebih tinggi, yaitu SMP dan SMA, pola warnanya mulai menunjukkan keseragaman yang lebih besar, menandakan bahwa perbedaan partisipasi antarwilayah mulai menyempit. Namun, pada jenjang Perguruan Tinggi (PT), hampir seluruh wilayah tampak berwarna gelap, yang mengindikasikan bahwa tingkat partisipasi pendidikan tinggi secara umum masih rendah dan relatif seragam di seluruh Jawa Barat.
Statistik deskriptif berikut memberikan gambaran kuantitatif mengenai sebaran data setiap variabel penelitian di 27 kabupaten/kota Jawa Barat :
summary(data)
## Kabupaten/Kota Rata.Rata.Lama.Sekolah PAD DAU.Pendidikan
## Length:27 Min. : 6.950 Min. : 156.6 Min. : 14.23
## Class :character 1st Qu.: 7.875 1st Qu.: 427.9 1st Qu.: 42.09
## Mode :character Median : 8.240 Median : 649.4 Median : 88.15
## Mean : 8.915 Mean :1135.6 Mean : 210.76
## 3rd Qu.:10.070 3rd Qu.:1423.1 3rd Qu.: 220.17
## Max. :11.790 Max. :3860.4 Max. :2454.62
## PDRB Tingkat.Kemiskinan Rasio.Guru.dan.Murid.SD
## Min. : 24914 Min. : 2.340 Min. :12.44
## 1st Qu.: 31834 1st Qu.: 6.360 1st Qu.:16.76
## Median : 39699 Median : 8.410 Median :20.37
## Mean : 53108 Mean : 8.014 Mean :19.80
## 3rd Qu.: 55891 3rd Qu.:10.185 3rd Qu.:22.96
## Max. :147081 Max. :11.930 Max. :26.86
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMP Rasio.Guru.dan.Murid.SMA APM.SD
## Min. :14.11 Min. :15.81 Min. :97.22
## 1st Qu.:16.73 1st Qu.:17.70 1st Qu.:97.75
## Median :18.69 Median :18.36 Median :98.48
## Mean :18.38 Mean :18.65 Mean :98.53
## 3rd Qu.:19.59 3rd Qu.:19.79 3rd Qu.:99.50
## Max. :24.11 Max. :22.70 Max. :99.99
## APM.SMP APM.SMA APM.PT
## Min. :75.95 Min. :50.85 Min. : 7.75
## 1st Qu.:81.24 1st Qu.:59.45 1st Qu.:11.76
## Median :85.38 Median :62.27 Median :14.79
## Mean :84.74 Mean :62.64 Mean :17.64
## 3rd Qu.:87.83 3rd Qu.:65.39 3rd Qu.:20.62
## Max. :91.39 Max. :72.74 Max. :40.06
Berdasarkan perhitungan, berikut adalah tabel statistika deskriptif :
Nilai rata-rata RLS sebesar 8.92 tahun menunjukkan bahwa secara umum penduduk Jawa Barat telah menempuh pendidikan hingga sekitar kelas 3 SMP. Namun, rentang yang lebar antara 6.95 hingga 11.79 tahun memperlihatkan ketimpangan yang cukup besar antarwilayah. Variabel-variabel lainnya pun hampir semua menunjukkan variasi yang cukup besar yang menandakan adanya ketimpangan pada setiap daerah.
Uji autokorelasi spasial dilakukan untuk mendeteksi apakah terdapat keterkaitan spasial antarwilayah pada variabel dependen maupun variabel-variabel penjelas. Berikut adalah pengujian autokorelasi spasial pada Rata-Rata Lama Sekolah secara global :
# Load library
library(spdep)
library(spatialreg)
## Loading required package: Matrix
##
## Attaching package: 'spatialreg'
## The following objects are masked from 'package:spdep':
##
## get.ClusterOption, get.coresOption, get.mcOption,
## get.VerboseOption, get.ZeroPolicyOption, set.ClusterOption,
## set.coresOption, set.mcOption, set.VerboseOption,
## set.ZeroPolicyOption
# Ubah ke format Spatial untuk fungsi spdep
jabar_sp <- as_Spatial(jabar_merged)
row.names(jabar_sp) <- jabar_sp$WADMKK
# Buat daftar ketetanggaan (queen contiguity)
W <- poly2nb(jabar_sp, row.names = row.names(jabar_sp), queen = TRUE)
WL <- nb2listw(W, style = "W", zero.policy = TRUE)
# Moran's I
Global_Moran <- moran.test(
jabar_merged$Rata.Rata.Lama.Sekolah,
WL,
zero.policy = TRUE
)
Global_Moran
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: jabar_merged$Rata.Rata.Lama.Sekolah
## weights: WL
##
## Moran I statistic standard deviate = 2.1476, p-value = 0.01587
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## 0.26545136 -0.03846154 0.02002679
# Geary's C
Global_Geary <- geary.test(
jabar_merged$Rata.Rata.Lama.Sekolah,
WL,
zero.policy = TRUE
)
Global_Geary
##
## Geary C test under randomisation
##
## data: jabar_merged$Rata.Rata.Lama.Sekolah
## weights: WL
##
## Geary C statistic standard deviate = 2.5008, p-value = 0.006195
## alternative hypothesis: Expectation greater than statistic
## sample estimates:
## Geary C statistic Expectation Variance
## 0.61054249 1.00000000 0.02425242
Hasil uji Moran’s I dan Geary’s C menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif yang signifikan (p-value < 0.05), artinya wilayah dengan RLS tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah lain yang juga memiliki RLS tinggi, dan sebaliknya. Berikut adalah peta untuk melihat autokorelasi spasial secara lokal :
Peta Klaster dengan LISA
# Hitung Local Moran’s I
lwB <- nb2listw(W, style = "B", zero.policy = TRUE) # biner (0/1)
lwW <- nb2listw(W, style = "W", zero.policy = TRUE) # row-standardized (weight row sum = 1)
Wb_mat <- listw2mat(lwB) # matriks bobot biner
Local_Moran <- localmoran(jabar_merged$Rata.Rata.Lama.Sekolah, lwW, zero.policy = TRUE)
# Tambahkan hasil ke data
colnames(Local_Moran) <- c("Ii", "E.Ii", "Var.Ii", "Z.Ii", "P.value")
jabar_merged$P.value <- Local_Moran[, "P.value"]
# Klasifikasi klaster
mean_var <- mean(jabar_merged$Rata.Rata.Lama.Sekolah, na.rm = TRUE)
mean_lag <- lag.listw(lwW, jabar_merged$Rata.Rata.Lama.Sekolah)
jabar_merged$cluster <- NA
jabar_merged$cluster[jabar_merged$Rata.Rata.Lama.Sekolah >= mean_var & mean_lag >= mean(mean_lag)] <- "High-High"
jabar_merged$cluster[jabar_merged$Rata.Rata.Lama.Sekolah <= mean_var & mean_lag <= mean(mean_lag)] <- "Low-Low"
jabar_merged$cluster[jabar_merged$Rata.Rata.Lama.Sekolah >= mean_var & mean_lag <= mean(mean_lag)] <- "High-Low"
jabar_merged$cluster[jabar_merged$Rata.Rata.Lama.Sekolah <= mean_var & mean_lag >= mean(mean_lag)] <- "Low-High"
jabar_merged$cluster[jabar_merged$P.value > 0.05] <- "Non-signifikan"
# --- Peta LISA ---
ggplot(jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = cluster), color = "white", size = 0.2) +
scale_fill_manual(values = c(
"High-High" = "red",
"Low-Low" = "blue",
"High-Low" = "orange",
"Low-High" = "green",
"Non-signifikan" = "grey80"
)) +
labs(
title = "Peta Klaster Autokorelasi Lokal (LISA)",
subtitle = "Variabel: Rata-Rata Lama Sekolah di Jawa Barat",
fill = "Tipe Klaster"
) +
theme_minimal()
Peta Klaster dengan Getis Ord Gi*
# Hitung local Gi*
Global_Getis <- globalG.test(
jabar_merged$Rata.Rata.Lama.Sekolah,
WL,
zero.policy = TRUE
)
## Warning in globalG.test(jabar_merged$Rata.Rata.Lama.Sekolah, WL, zero.policy =
## TRUE): Binary weights recommended (especially for distance bands)
Global_Getis
##
## Getis-Ord global G statistic
##
## data: jabar_merged$Rata.Rata.Lama.Sekolah
## weights: WL
##
## standard deviate = -1.7108, p-value = 0.9564
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Global G statistic Expectation Variance
## 3.695542e-02 3.846154e-02 7.750191e-07
row.names(jabar_sp) <- jabar_sp$WADMKK
jabar_merged <- jabar_merged[match(row.names(jabar_sp), jabar_merged$WADMKK), ]
lwB <- nb2listw(W, style = "B", zero.policy = TRUE) # biner (0/1)
lwW <- nb2listw(W, style = "W", zero.policy = TRUE) # row-standardized (weight row sum = 1)
Wb_mat <- listw2mat(lwB) # matriks bobot biner
x_raw <- jabar_merged$Rata.Rata.Lama.Sekolah
na_idx <- is.na(x_raw)
if(any(na_idx)) {
message(sum(na_idx), " observasi memiliki NA pada variabel; NA akan diperlakukan sebagai 0 untuk perhitungan G raw.")
}
x_for_calc <- x_raw
x_for_calc[is.na(x_for_calc)] <- 0
sum_x <- sum(x_for_calc)
num_G <- as.numeric(Wb_mat %*% x_for_calc)
den_G <- (sum_x - x_for_calc)
G_raw <- num_G / den_G
Wb_star <- Wb_mat
diag(Wb_star) <- 1
num_Gs <- as.numeric(Wb_star %*% x_for_calc)
den_Gs <- sum_x
G_star_raw <- num_Gs / den_Gs
Gz <- as.numeric(spdep::localG(x_for_calc, listw = lwW, zero.policy = TRUE))
# Tambahkan hasil ke data
jabar_merged$z_Gistar <- as.numeric(Gz)
jabar_merged$hotcold <- dplyr::case_when(
jabar_merged$z_Gistar >= 1.96 ~ "Hot spot (p<=0.05)",
jabar_merged$z_Gistar <= -1.96 ~ "Cold spot (p<=0.05)",
TRUE ~ "Not significant"
)
# --- Peta Getis–Ord Gi* ---
library(ggplot2)
jabar_merged$hotcold <- factor(jabar_merged$hotcold,
levels = c("Hot spot (p<=0.05)", "Cold spot (p<=0.05)", "Not significant")
)
ggplot(jabar_merged) +
geom_sf(aes(fill = hotcold), color = "white", size = 0.2) +
scale_fill_manual(values = c(
"Hot spot (p<=0.05)" = "#b2182b",
"Cold spot (p<=0.05)" = "#2166ac",
"Not significant" = "grey85"
)) +
labs(
title = "Getis–Ord Gi* — Hot/Cold Spots (z-score)",
subtitle = "Variabel: Rata-Rata Lama Sekolah di Jawa Barat",
fill = NULL
) +
theme_minimal()
Hasil LISA (Local Moran’s I) memperlihatkan pola low–low di
sekitar Kabupaten Sumedang dan Majalengka, yang berarti wilayah-wilayah
tersebut memiliki Rata-rata Lama Sekolah (RLS) rendah dan dikelilingi
oleh daerah lain yang juga memiliki RLS rendah. Dengan kata lain,
terdapat pengelompokan spasial (spatial clustering) dari
wilayah dengan tingkat pendidikan rendah yang saling berdekatan. Pola
ini juga didukung oleh hasil Getis–Ord Gi* yang menunjukkan adanya cold
spot di kawasan yang sama, mengonfirmasi keberadaan konsentrasi wilayah
dengan nilai RLS rendah secara signifikan dibandingkan daerah lain di
Jawa Barat.
Pemeriksaan autokorelasi spasial juga dilakukan terhadap
variabel-variabel independen. Adapun pengujian dilakukan secara global
menggunakan Moran’s I dan Geary’s C untuk melihat gambaran autokorelasi
spasial secara umum.
library(spdep)
library(ggplot2)
library(dplyr)
# Daftar variabel X
x_vars <- c(
"PAD", "DAU.Pendidikan", "PDRB", "Tingkat.Kemiskinan",
"Rasio.Guru.dan.Murid.SD", "Rasio.Guru.dan.Murid.SMP",
"Rasio.Guru.dan.Murid.SMA", "APM.SD", "APM.SMP", "APM.SMA", "APM.PT"
)
# Buat list kosong untuk menyimpan hasil global
hasil_moran <- list()
hasil_geary <- list()
# Loop semua variabel
for (v in x_vars) {
cat("\n=====================================\n")
cat("🔹 Variabel:", v, "\n")
cat("=====================================\n")
# Skip kalau variabel tidak ada
if (!v %in% names(jabar_merged)) {
cat("❌ Variabel", v, "tidak ditemukan di data.\n")
next
}
# -------------------- Global Tests --------------------
moran_res <- moran.test(jabar_merged[[v]], WL, zero.policy = TRUE)
geary_res <- geary.test(jabar_merged[[v]], WL, zero.policy = TRUE)
hasil_moran[[v]] <- moran_res
hasil_geary[[v]] <- geary_res
cat("Moran's I :", round(moran_res$estimate[1], 4),
"| p =", round(moran_res$p.value, 4), "\n")
cat("Geary's C :", round(geary_res$estimate[1], 4),
"| p =", round(geary_res$p.value, 4), "\n")
}
##
## =====================================
## 🔹 Variabel: PAD
## =====================================
## Moran's I : 0.5274 | p = 0
## Geary's C : 0.6356 | p = 0.0207
##
## =====================================
## 🔹 Variabel: DAU.Pendidikan
## =====================================
## Moran's I : -0.1334 | p = 0.9699
## Geary's C : 2.0165 | p = 0.9986
##
## =====================================
## 🔹 Variabel: PDRB
## =====================================
## Moran's I : 0.211 | p = 0.0314
## Geary's C : 0.6599 | p = 0.0344
##
## =====================================
## 🔹 Variabel: Tingkat.Kemiskinan
## =====================================
## Moran's I : 0.4776 | p = 1e-04
## Geary's C : 0.4102 | p = 1e-04
##
## =====================================
## 🔹 Variabel: Rasio.Guru.dan.Murid.SD
## =====================================
## Moran's I : 0.4503 | p = 3e-04
## Geary's C : 0.6854 | p = 0.0231
##
## =====================================
## 🔹 Variabel: Rasio.Guru.dan.Murid.SMP
## =====================================
## Moran's I : 0.6076 | p = 0
## Geary's C : 0.4387 | p = 6e-04
##
## =====================================
## 🔹 Variabel: Rasio.Guru.dan.Murid.SMA
## =====================================
## Moran's I : 0.0642 | p = 0.2316
## Geary's C : 0.8453 | p = 0.1715
##
## =====================================
## 🔹 Variabel: APM.SD
## =====================================
## Moran's I : -0.0458 | p = 0.5206
## Geary's C : 0.9954 | p = 0.4878
##
## =====================================
## 🔹 Variabel: APM.SMP
## =====================================
## Moran's I : 0.2404 | p = 0.0238
## Geary's C : 0.7428 | p = 0.053
##
## =====================================
## 🔹 Variabel: APM.SMA
## =====================================
## Moran's I : 0.0449 | p = 0.2752
## Geary's C : 0.9892 | p = 0.4739
##
## =====================================
## 🔹 Variabel: APM.PT
## =====================================
## Moran's I : 0.1261 | p = 0.1137
## Geary's C : 0.7718 | p = 0.1002
# 🔹 Buat tabel ringkasan
summary_autokorelasi <- data.frame(
Variabel = names(hasil_moran),
Moran_I = sapply(hasil_moran, function(x) x$estimate[1]),
Moran_p = sapply(hasil_moran, function(x) x$p.value),
Geary_C = sapply(hasil_geary, function(x) x$estimate[1]),
Geary_p = sapply(hasil_geary, function(x) x$p.value)
)
# 🔹 Cetak tabel hasil akhir
print(summary_autokorelasi)
## Variabel Moran_I
## PAD.Moran I statistic PAD 0.52735753
## DAU.Pendidikan.Moran I statistic DAU.Pendidikan -0.13336132
## PDRB.Moran I statistic PDRB 0.21102909
## Tingkat.Kemiskinan.Moran I statistic Tingkat.Kemiskinan 0.47755328
## Rasio.Guru.dan.Murid.SD.Moran I statistic Rasio.Guru.dan.Murid.SD 0.45029177
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMP.Moran I statistic Rasio.Guru.dan.Murid.SMP 0.60763659
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMA.Moran I statistic Rasio.Guru.dan.Murid.SMA 0.06415660
## APM.SD.Moran I statistic APM.SD -0.04584671
## APM.SMP.Moran I statistic APM.SMP 0.24036188
## APM.SMA.Moran I statistic APM.SMA 0.04493035
## APM.PT.Moran I statistic APM.PT 0.12614145
## Moran_p Geary_C Geary_p
## PAD.Moran I statistic 1.637057e-05 0.6355874 2.074409e-02
## DAU.Pendidikan.Moran I statistic 9.698745e-01 2.0164783 9.985881e-01
## PDRB.Moran I statistic 3.142485e-02 0.6599026 3.442808e-02
## Tingkat.Kemiskinan.Moran I statistic 1.293441e-04 0.4101916 8.646061e-05
## Rasio.Guru.dan.Murid.SD.Moran I statistic 2.656564e-04 0.6854435 2.311490e-02
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMP.Moran I statistic 1.378178e-06 0.4387419 5.605401e-04
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMA.Moran I statistic 2.316410e-01 0.8452953 1.715153e-01
## APM.SD.Moran I statistic 5.206240e-01 0.9954343 4.878184e-01
## APM.SMP.Moran I statistic 2.383792e-02 0.7427978 5.296689e-02
## APM.SMA.Moran I statistic 2.751792e-01 0.9892363 4.738992e-01
## APM.PT.Moran I statistic 1.137042e-01 0.7718023 1.001649e-01
Berdasarkan tabel di atas, pola autokorelasi ditemukan pada PAD, PDRB, Tingkat Kemiskinan, Rasio Guru-Murid SD dan SMP, serta APM SMP yang semuanya memiliki nilai statistics, Moran’s I maupun Geary’s C, yang positif dan signifikan (p-value < 0.05). Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa daerah dengan kondisi ekonomi atau sumber daya pendidikan yang mirip cenderung berdekatan secara geografis. Sebaliknya, variabel seperti DAU Pendidikan, APM SD, APM SMA, dan APM PT tidak menunjukkan autokorelasi signifikan, menandakan distribusi yang relatif acak tanpa adanya pola spasial yang kuat.
Analisis awal dilakukan menggunakan model Ordinary Least Squares (OLS) untuk mengidentifikasi pengaruh variabel ekonomi dan sosial terhadap Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) di 27 kabupaten/kota di Jawa Barat tanpa memperhatikan struktur spasialnya.
ols_model <- lm(Rata.Rata.Lama.Sekolah ~
PAD +
DAU.Pendidikan +
PDRB +
Tingkat.Kemiskinan +
Rasio.Guru.dan.Murid.SD +
Rasio.Guru.dan.Murid.SMP +
Rasio.Guru.dan.Murid.SMA +
APM.SD +
APM.SMP +
APM.SMA +
APM.PT,
data = data
)
summary(ols_model)
##
## Call:
## lm(formula = Rata.Rata.Lama.Sekolah ~ PAD + DAU.Pendidikan +
## PDRB + Tingkat.Kemiskinan + Rasio.Guru.dan.Murid.SD + Rasio.Guru.dan.Murid.SMP +
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMA + APM.SD + APM.SMP + APM.SMA + APM.PT,
## data = data)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -1.20316 -0.37712 -0.00192 0.28643 1.37944
##
## Coefficients:
## Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
## (Intercept) 2.710e+01 2.493e+01 1.087 0.2943
## PAD 7.856e-05 2.572e-04 0.305 0.7643
## DAU.Pendidikan -5.904e-04 5.621e-04 -1.050 0.3102
## PDRB 6.659e-07 7.917e-06 0.084 0.9341
## Tingkat.Kemiskinan -2.458e-01 1.307e-01 -1.882 0.0794 .
## Rasio.Guru.dan.Murid.SD 6.579e-02 7.169e-02 0.918 0.3733
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMP 6.594e-02 1.579e-01 0.418 0.6822
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMA -2.853e-01 1.426e-01 -2.001 0.0638 .
## APM.SD -1.893e-01 2.307e-01 -0.821 0.4248
## APM.SMP 1.608e-02 4.604e-02 0.349 0.7318
## APM.SMA 4.768e-02 4.407e-02 1.082 0.2964
## APM.PT 5.068e-02 3.644e-02 1.391 0.1846
## ---
## Signif. codes: 0 '***' 0.001 '**' 0.01 '*' 0.05 '.' 0.1 ' ' 1
##
## Residual standard error: 0.7458 on 15 degrees of freedom
## Multiple R-squared: 0.8539, Adjusted R-squared: 0.7467
## F-statistic: 7.969 on 11 and 15 DF, p-value: 0.0001909
Model OLS yang diperoleh adalah sebagai berikut :
\[ \begin{aligned} Y &= 27.1 + (7.86 \times 10^{-5})\, PAD - (5.91 \times 10^{-5})\, DAU_{Pendidikan} + (6.66 \times 10^{-7})\, PDRB \\ &\quad - (2.46 \times 10^{-1})\, TK + (6.58 \times 10^{-2})\, Rasio_{SD} - (6.59 \times 10^{-2})\, Rasio_{SMP} - (2.856 \times 10^{-1})\, Rasio_{SMA} \\ &\quad - (1.891 \times 10^{-1})\, APM_{SD} + (1.611 \times 10^{-2})\, APM_{SMP} + (4.77 \times 10^{-2})\, APM_{SMA} + (5.07 \times 10^{-2})\, APM_{PT} \end{aligned} \]
dengan \(R^2 = 0.8539\) yang menunjukkan bahwa sekitar 85,39% variasi RLS dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen dalam model. Selanjutnya, dilakukan pengujian asumsi klasik untuk memastikan validitas model regresi OLS.
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah antarvariabel independen dalam model memiliki hubungan linear yang tinggi. Uji ini dilakukan dengan Variance Inflation Factor (VIF) sebagai berikut.
Hipotesis
\(H_0\): Tidak terdapat
multikolinearitas antarvariabel independen.
\(H_1\): Terdapat multikolinearitas
antarvariabel independen.
Kriteria Uji
Jika nilai VIF < 10, maka \(H_0\)
diterima
Statistik Uji
library(car)
## Loading required package: carData
##
## Attaching package: 'car'
## The following object is masked from 'package:dplyr':
##
## recode
vif(ols_model)
## PAD DAU.Pendidikan PDRB
## 3.569644 3.106706 3.241988
## Tingkat.Kemiskinan Rasio.Guru.dan.Murid.SD Rasio.Guru.dan.Murid.SMP
## 5.597198 3.569846 6.160609
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMA APM.SD APM.SMP
## 2.799998 2.143041 1.692572
## APM.SMA APM.PT
## 2.852115 3.688319
Seluruh variabel independen memiliki nilai VIF < 10 sehingga tidak terdapat multikolinearitas antarvariabel dalam model.
Uji ini dilakukan untuk menguji apakah residual model berdistribusi normal. Uji normalitas residual salah satunya dapat dilakukan menggunakan Shapiro–Wilk test sebagai berikut.
Hipotesis
H₀ : Residual berdistribusi normal.
H₁ : Residual tidak berdistribusi normal.
Kriteria Uji
Terima H₀ jika p-value > α, dimana α = 5%
Statistik Uji
shapiro.test(residuals(ols_model))
##
## Shapiro-Wilk normality test
##
## data: residuals(ols_model)
## W = 0.98858, p-value = 0.9875
Berdasarkan hasil tes, diperoleh p-value = 0.9875 > 0.05 sehingga H₀ diterima. Artinya, residual berdistribusi normal dan asumsi terpenuhi.
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah varian residual sama atau homogen di seluruh pengamatan. Uji ini dilakukan menggunakan Breusch–Pagan test sebagai berikut.
Hipotesis
H₀ : Tidak terdapat heteroskedastisitas (varian residual homogen).
H₁ : Terdapat heteroskedastisitas (varian residual tidak homogen).
Kriteria Uji
Terima H₀ jika p-value > α, dimana α = 5%
Statistik Uji
library(lmtest)
## Loading required package: zoo
##
## Attaching package: 'zoo'
## The following objects are masked from 'package:base':
##
## as.Date, as.Date.numeric
bptest(ols_model)
##
## studentized Breusch-Pagan test
##
## data: ols_model
## BP = 13.367, df = 11, p-value = 0.27
Berdasarkan hasil tes, diperoleh p-value = 0.27 > 0.05 sehingga H₀ diterima. Artinya, tidak terdapat heteroskedastisitas (varian residual homogen) pada data dan asumsi terpenuhi.
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah hubungan antara variabel independen dan dependen bersifat linear. Uji ini dilakukan menggunakan RESET test.
Hipotesis
H₀ : Model bersifat linear.
H₁ : Model tidak linear.
Kriteria Uji
Terima H₀ jika p-value > α, dimana α = 5%
Statistik Uji
library(lmtest)
resettest(ols_model)
##
## RESET test
##
## data: ols_model
## RESET = 1.0609, df1 = 2, df2 = 13, p-value = 0.3743
Berdasarkan hasil tes, diperoleh p-value = 0.3743 > 0.05 sehingga H₀ diterima. Artinya, model bersifat linear dan asumsi terpenuhi.
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah residual model OLS tidak memiliki autokorelasi. Uji ini dilakukan dengan Moran’s I test. Berikut adalah hasil pengujiannya :
jabar_merged$residual_ols <- residuals(ols_model)
moran_res <- moran.test(
jabar_merged$residual_ols,
WL,
zero.policy = TRUE
)
moran_res
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: jabar_merged$residual_ols
## weights: WL
##
## Moran I statistic standard deviate = 1.9156, p-value = 0.02771
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## 0.22699884 -0.03846154 0.01920382
Uji autokorelasi spasial terhadap residual model OLS menunjukkan nilai Moran’s I yang positif (I > 0) dan signifikan (p-value < 0.05), menandakan masih terdapat dependensi spasial yang belum terjelaskan oleh model OLS. Dengan kata lain, nilai residual antarwilayah saling berkorelasi, sehingga asumsi independensi residual tidak terpenuhi. Kondisi ini mengindikasikan bahwa penggunaan model OLS kurang tepat untuk menggambarkan hubungan antar variabel karena adanya efek spasial yang kuat. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan model ekonometrik spasial untuk menangkap pengaruh keterkaitan antarwilayah tersebut secara lebih akurat.
Uji ini digunakan untuk mendeteksi jenis dependensi spasial yang terdapat pada model OLS, apakah berbentuk spatial lag (efek ketergantungan pada variabel dependen di wilayah sekitar) atau spatial error (efek ketergantungan pada komponen error). Berikut adalah perhitungan Uji LM :
lm.RStests(ols_model, listw = WL, zero.policy = TRUE, test = "all")
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Rata.Rata.Lama.Sekolah ~ PAD + DAU.Pendidikan +
## PDRB + Tingkat.Kemiskinan + Rasio.Guru.dan.Murid.SD +
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMP + Rasio.Guru.dan.Murid.SMA + APM.SD + APM.SMP
## + APM.SMA + APM.PT, data = data)
## test weights: WL
##
## RSerr = 2.2446, df = 1, p-value = 0.1341
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Rata.Rata.Lama.Sekolah ~ PAD + DAU.Pendidikan +
## PDRB + Tingkat.Kemiskinan + Rasio.Guru.dan.Murid.SD +
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMP + Rasio.Guru.dan.Murid.SMA + APM.SD + APM.SMP
## + APM.SMA + APM.PT, data = data)
## test weights: WL
##
## RSlag = 0.8677, df = 1, p-value = 0.3516
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Rata.Rata.Lama.Sekolah ~ PAD + DAU.Pendidikan +
## PDRB + Tingkat.Kemiskinan + Rasio.Guru.dan.Murid.SD +
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMP + Rasio.Guru.dan.Murid.SMA + APM.SD + APM.SMP
## + APM.SMA + APM.PT, data = data)
## test weights: WL
##
## adjRSerr = 6.0142, df = 1, p-value = 0.01419
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Rata.Rata.Lama.Sekolah ~ PAD + DAU.Pendidikan +
## PDRB + Tingkat.Kemiskinan + Rasio.Guru.dan.Murid.SD +
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMP + Rasio.Guru.dan.Murid.SMA + APM.SD + APM.SMP
## + APM.SMA + APM.PT, data = data)
## test weights: WL
##
## adjRSlag = 4.6374, df = 1, p-value = 0.03128
##
##
## Rao's score (a.k.a Lagrange multiplier) diagnostics for spatial
## dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Rata.Rata.Lama.Sekolah ~ PAD + DAU.Pendidikan +
## PDRB + Tingkat.Kemiskinan + Rasio.Guru.dan.Murid.SD +
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMP + Rasio.Guru.dan.Murid.SMA + APM.SD + APM.SMP
## + APM.SMA + APM.PT, data = data)
## test weights: WL
##
## SARMA = 6.8819, df = 2, p-value = 0.03203
Berdasarkan output R, diperoleh hasil :
| Jenis Uji |
|
df |
|
Ke putusan (α = 5%) |
| LM Error (RSerr) | 2.2446 | 1 | 0.1341 | Tidak s ignifikan |
| LM Lag (RSlag) | 0.8677 | 1 | 0.3516 | Tidak s ignifikan |
| LM Error Ter standarisasi (adjRSerr) | 6.0142 | 1 | 0.01419 | S ignifikan |
| LM Lag Ter standarisasi (adjRSlag) | 4.6374 | 1 | 0.03128 | S ignifikan |
| LM SARMA | 6.8819 | 2 | 0.03203 | S ignifikan |
Hasil uji menunjukkan bahwa nilai LM-Lag dan LM-Error tidak signifikan yang berarti secara umum tidak ada indikasi kuat adanya efek spasial pada model dasar. Namun, ketika dilakukan uji Robust LM, hasilnya menunjukkan bahwa Robust LM-Error Robust LM-Lag signifikan pada α = 5%. Temuan ini mengindikasikan bahwa setelah memperhitungkan kemungkinan interaksi antara efek lag dan error, terdapat dependensi spasial yang signifikan pada lag dan error.
Berdasarkan hasil uji LM dan Robust LM, ditemukan bahwa baik lag spasial maupun error spasial signifikan pada taraf signifikansi 5%. Selain itu, sebagian variabel independen juga menunjukkan adanya indikasi autokorelasi spasial. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh spasial tidak hanya muncul pada nilai dependen antarwilayah, tetapi juga dapat terjadi pada error maupun variabel independennya. Oleh karena itu, analisis dilanjutkan dengan menguji beberapa model spasial lanjutan yang mampu mengakomodasi setidaknya dua dari tiga jenis efek spasial tersebut, yaitu Spatial Durbin Model (SDM), Spatial Durbin Error Model (SDEM), Spatial Autocorrelation Model (SAC), dan General Nesting Spatial Model (GNS).
Empat model spasial, yaitu SDM, SDEM, SAC, dan GNS diestimasi untuk mengidentifikasi model terbaik yang mampu menggambarkan pengaruh spasial terhadap rata-rata lama sekolah di Jawa Barat.
SDM
sdm_model <- lagsarlm(
Rata.Rata.Lama.Sekolah ~
PAD + DAU.Pendidikan + PDRB + Tingkat.Kemiskinan +
Rasio.Guru.dan.Murid.SD + Rasio.Guru.dan.Murid.SMP + Rasio.Guru.dan.Murid.SMA +
APM.SD + APM.SMP + APM.SMA + APM.PT,
data = data,
listw = WL,
Durbin = TRUE,
method = "eigen"
)
## Warning in lagsarlm(Rata.Rata.Lama.Sekolah ~ PAD + DAU.Pendidikan + PDRB + : inversion of asymptotic covariance matrix failed for tol.solve = 2.22044604925031e-16
## reciprocal condition number = 1.59551e-16 - using numerical Hessian.
summary(sdm_model)
##
## Call:lagsarlm(formula = Rata.Rata.Lama.Sekolah ~ PAD + DAU.Pendidikan +
## PDRB + Tingkat.Kemiskinan + Rasio.Guru.dan.Murid.SD + Rasio.Guru.dan.Murid.SMP +
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMA + APM.SD + APM.SMP + APM.SMA + APM.PT,
## data = data, listw = WL, Durbin = TRUE, method = "eigen")
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -0.4011178 -0.1511316 -0.0026241 0.0792597 0.7131894
##
## Type: mixed
## Coefficients: (numerical Hessian approximate standard errors)
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) -5.0623e+01 1.6621e+01 -3.0458 0.002320
## PAD 1.3645e-04 1.5215e-04 0.8968 0.369824
## DAU.Pendidikan -8.5671e-05 2.0903e-04 -0.4098 0.681923
## PDRB 8.1394e-06 4.1145e-06 1.9782 0.047905
## Tingkat.Kemiskinan -3.0738e-01 9.5765e-02 -3.2097 0.001329
## Rasio.Guru.dan.Murid.SD 1.2140e-01 3.1069e-02 3.9075 9.326e-05
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMP -1.1745e-01 6.1966e-02 -1.8955 0.058030
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMA -2.6239e-01 1.3255e-01 -1.9796 0.047749
## APM.SD -1.9172e-01 1.0007e-01 -1.9159 0.055378
## APM.SMP -5.5908e-02 3.1207e-02 -1.7915 0.073213
## APM.SMA 9.3052e-02 2.8799e-02 3.2311 0.001233
## APM.PT 2.1652e-02 2.4999e-02 0.8661 0.386437
## lag.PAD -9.2271e-05 3.1370e-04 -0.2941 0.768654
## lag.DAU.Pendidikan 2.8324e-04 5.7333e-04 0.4940 0.621292
## lag.PDRB 4.9924e-05 1.1749e-05 4.2493 2.145e-05
## lag.Tingkat.Kemiskinan 1.1490e-01 1.6950e-01 0.6779 0.497852
## lag.Rasio.Guru.dan.Murid.SD 3.3055e-01 1.1748e-01 2.8137 0.004898
## lag.Rasio.Guru.dan.Murid.SMP -1.1126e+00 1.9529e-01 -5.6972 1.218e-08
## lag.Rasio.Guru.dan.Murid.SMA 1.1095e+00 2.0106e-01 5.5180 3.428e-08
## lag.APM.SD 4.7641e-01 1.7402e-01 2.7376 0.006189
## lag.APM.SMP 2.5514e-01 1.0510e-01 2.4276 0.015198
## lag.APM.SMA 1.1211e-01 5.4907e-02 2.0418 0.041173
## lag.APM.PT -5.5763e-03 4.9677e-02 -0.1123 0.910625
##
## Rho: -0.26404, LR test value: 0.62355, p-value: 0.42973
## Approximate (numerical Hessian) standard error: 0.28486
## z-value: -0.92689, p-value: 0.35398
## Wald statistic: 0.85913, p-value: 0.35398
##
## Log likelihood: -0.5617963 for mixed model
## ML residual variance (sigma squared): 0.06003, (sigma: 0.24501)
## Number of observations: 27
## Number of parameters estimated: 25
## AIC: 51.124, (AIC for lm: 49.747)
SDEM
library(spatialreg)
library(spdep)
sdem_model <- errorsarlm(
Rata.Rata.Lama.Sekolah ~
PAD + DAU.Pendidikan + PDRB + Tingkat.Kemiskinan +
Rasio.Guru.dan.Murid.SD + Rasio.Guru.dan.Murid.SMP + Rasio.Guru.dan.Murid.SMA +
APM.SD + APM.SMP + APM.SMA + APM.PT,
data = data,
listw = WL,
Durbin = TRUE,
method = "eigen"
)
## Warning in errorsarlm(Rata.Rata.Lama.Sekolah ~ PAD + DAU.Pendidikan + PDRB + : inversion of asymptotic covariance matrix failed for tol.solve = 2.22044604925031e-16
## reciprocal condition number = 2.51961e-18 - using numerical Hessian.
summary(sdem_model)
##
## Call:errorsarlm(formula = Rata.Rata.Lama.Sekolah ~ PAD + DAU.Pendidikan +
## PDRB + Tingkat.Kemiskinan + Rasio.Guru.dan.Murid.SD + Rasio.Guru.dan.Murid.SMP +
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMA + APM.SD + APM.SMP + APM.SMA + APM.PT,
## data = data, listw = WL, Durbin = TRUE, method = "eigen")
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -0.16825813 -0.04242035 -0.00060182 0.04974527 0.15696417
##
## Type: error
## Coefficients: (asymptotic standard errors)
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) -2.6839e+02 4.9746e+01 -5.3951 6.847e-08
## PAD 2.7748e-05 9.7009e-05 0.2860 0.7748483
## DAU.Pendidikan -7.9049e-04 1.9440e-04 -4.0664 4.775e-05
## PDRB 1.7335e-05 1.8281e-06 9.4823 < 2.2e-16
## Tingkat.Kemiskinan -2.7951e-02 5.0168e-02 -0.5572 0.5774218
## Rasio.Guru.dan.Murid.SD 7.5629e-02 2.0929e-02 3.6137 0.0003019
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMP 6.0750e-02 4.3325e-02 1.4022 0.1608565
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMA 2.0100e-01 7.8406e-02 2.5636 0.0103604
## APM.SD -4.2374e-01 7.4106e-02 -5.7181 1.077e-08
## APM.SMP 3.9796e-02 1.8588e-02 2.1409 0.0322816
## APM.SMA 1.8017e-01 2.2052e-02 8.1701 2.220e-16
## APM.PT 5.8663e-02 1.4297e-02 4.1031 4.076e-05
## lag.PAD 1.8569e-04 1.4902e-04 1.2461 0.2127439
## lag.DAU.Pendidikan 1.8795e-03 3.5650e-04 5.2720 1.350e-07
## lag.PDRB 1.6472e-04 1.8195e-05 9.0532 < 2.2e-16
## lag.Tingkat.Kemiskinan 1.4713e+00 3.1569e-01 4.6606 3.154e-06
## lag.Rasio.Guru.dan.Murid.SD 4.5366e-01 5.8957e-02 7.6947 1.421e-14
## lag.Rasio.Guru.dan.Murid.SMP -2.6016e+00 2.3129e-01 -11.2483 < 2.2e-16
## lag.Rasio.Guru.dan.Murid.SMA 2.2328e+00 1.7796e-01 12.5466 < 2.2e-16
## lag.APM.SD 2.4913e+00 5.0539e-01 4.9296 8.241e-07
## lag.APM.SMP 5.2100e-02 6.7999e-02 0.7662 0.4435678
## lag.APM.SMA 3.3836e-01 6.4771e-02 5.2240 1.751e-07
## lag.APM.PT 1.1363e-01 5.8096e-02 1.9559 0.0504736
##
## Lambda: -1.4052, LR test value: 43.389, p-value: 4.4866e-11
## Approximate (numerical Hessian) standard error: 0.018085
## z-value: -77.701, p-value: < 2.22e-16
## Wald statistic: 6037.4, p-value: < 2.22e-16
##
## Log likelihood: 20.82102 for error model
## ML residual variance (sigma squared): 0.0053965, (sigma: 0.073461)
## Number of observations: 27
## Number of parameters estimated: 25
## AIC: 8.358, (AIC for lm: 49.747)
SAC
sac_model <- sacsarlm(
Rata.Rata.Lama.Sekolah ~
PAD + DAU.Pendidikan + PDRB + Tingkat.Kemiskinan +
Rasio.Guru.dan.Murid.SD + Rasio.Guru.dan.Murid.SMP + Rasio.Guru.dan.Murid.SMA +
APM.SD + APM.SMP + APM.SMA + APM.PT,
data = data,
listw = WL,
method = "eigen"
)
summary(sac_model)
##
## Call:sacsarlm(formula = Rata.Rata.Lama.Sekolah ~ PAD + DAU.Pendidikan +
## PDRB + Tingkat.Kemiskinan + Rasio.Guru.dan.Murid.SD + Rasio.Guru.dan.Murid.SMP +
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMA + APM.SD + APM.SMP + APM.SMA + APM.PT,
## data = data, listw = WL, method = "eigen")
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -0.8938399 -0.3285814 -0.0095635 0.2515072 0.9919206
##
## Type: sac
## Coefficients: (asymptotic standard errors)
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) 4.1564e+01 1.6708e+01 2.4876 0.012860
## PAD 1.1423e-04 1.6438e-04 0.6949 0.487115
## DAU.Pendidikan -5.4504e-04 3.1979e-04 -1.7044 0.088312
## PDRB -3.7658e-07 4.9163e-06 -0.0766 0.938944
## Tingkat.Kemiskinan -2.6798e-01 9.4870e-02 -2.8247 0.004732
## Rasio.Guru.dan.Murid.SD 6.2205e-02 4.2011e-02 1.4807 0.138692
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMP 1.0608e-01 9.2260e-02 1.1498 0.250213
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMA -4.2389e-01 1.0425e-01 -4.0662 4.778e-05
## APM.SD -2.7545e-01 1.3715e-01 -2.0083 0.044609
## APM.SMP -8.1964e-03 3.0575e-02 -0.2681 0.788641
## APM.SMA 4.2308e-02 2.4101e-02 1.7555 0.079178
## APM.PT 4.8717e-02 2.5294e-02 1.9260 0.054101
##
## Rho: -0.16136
## Asymptotic standard error: 0.14919
## z-value: -1.0816, p-value: 0.27945
## Lambda: 0.64697
## Asymptotic standard error: 0.16724
## z-value: 3.8685, p-value: 0.00010949
##
## LR test value: 7.7349, p-value: 0.020912
##
## Log likelihood: -18.58993 for sac model
## ML residual variance (sigma squared): 0.20242, (sigma: 0.44991)
## Number of observations: 27
## Number of parameters estimated: 15
## AIC: 67.18, (AIC for lm: 70.915)
GNS
gns_model <- sacsarlm(
Rata.Rata.Lama.Sekolah ~
PAD + DAU.Pendidikan + PDRB + Tingkat.Kemiskinan +
Rasio.Guru.dan.Murid.SD + Rasio.Guru.dan.Murid.SMP + Rasio.Guru.dan.Murid.SMA +
APM.SD + APM.SMP + APM.SMA + APM.PT,
data = data,
listw = WL,
Durbin = TRUE,
method = "eigen"
)
## Warning in sacsarlm(Rata.Rata.Lama.Sekolah ~ PAD + DAU.Pendidikan + PDRB + : inversion of asymptotic covariance matrix failed for tol.solve = 2.22044604925031e-16
## reciprocal condition number = 1.99751e-18 - using numerical Hessian.
summary(gns_model)
##
## Call:sacsarlm(formula = Rata.Rata.Lama.Sekolah ~ PAD + DAU.Pendidikan +
## PDRB + Tingkat.Kemiskinan + Rasio.Guru.dan.Murid.SD + Rasio.Guru.dan.Murid.SMP +
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMA + APM.SD + APM.SMP + APM.SMA + APM.PT,
## data = data, listw = WL, Durbin = TRUE, method = "eigen")
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -0.0966083 -0.0314664 0.0022841 0.0342568 0.1050062
##
## Type: sacmixed
## Coefficients: (numerical Hessian approximate standard errors)
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) -1.3719e+02 4.8991e-02 -2800.2116 < 2.2e-16
## PAD 3.4918e-04 3.5563e-05 9.8187 < 2.2e-16
## DAU.Pendidikan -4.7594e-04 8.9923e-05 -5.2927 1.205e-07
## PDRB 1.6765e-05 1.0696e-06 15.6738 < 2.2e-16
## Tingkat.Kemiskinan 7.0589e-02 2.2252e-02 3.1723 0.001513
## Rasio.Guru.dan.Murid.SD 1.0076e-01 1.7351e-02 5.8074 6.343e-09
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMP -1.0102e-02 4.7117e-02 -0.2144 0.830239
## Rasio.Guru.dan.Murid.SMA 2.4296e-01 2.1369e-02 11.3700 < 2.2e-16
## APM.SD -2.4064e-01 2.5692e-03 -93.6664 < 2.2e-16
## APM.SMP 3.8266e-02 7.2847e-03 5.2529 1.497e-07
## APM.SMA 2.0126e-01 5.7355e-03 35.0896 < 2.2e-16
## APM.PT 8.7791e-02 7.0271e-03 12.4931 < 2.2e-16
## lag.PAD -2.1145e-04 6.6160e-05 -3.1960 0.001393
## lag.DAU.Pendidikan 1.8509e-03 1.8405e-04 10.0568 < 2.2e-16
## lag.PDRB 1.3878e-04 2.0240e-06 68.5667 < 2.2e-16
## lag.Tingkat.Kemiskinan 7.0987e-01 4.2822e-02 16.5773 < 2.2e-16
## lag.Rasio.Guru.dan.Murid.SD 6.5607e-02 3.5044e-02 1.8722 0.061185
## lag.Rasio.Guru.dan.Murid.SMP -1.8675e+00 9.5055e-03 -196.4654 < 2.2e-16
## lag.Rasio.Guru.dan.Murid.SMA 1.9128e+00 8.3118e-03 230.1293 < 2.2e-16
## lag.APM.SD 1.1391e+00 6.0451e-04 1884.2770 < 2.2e-16
## lag.APM.SMP 5.5462e-02 2.5258e-02 2.1958 0.028106
## lag.APM.SMA 1.0648e-01 1.0516e-02 10.1261 < 2.2e-16
## lag.APM.PT -1.0949e-01 1.0979e-02 -9.9732 < 2.2e-16
##
## Rho: 0.82504
## Approximate (numerical Hessian) standard error: 0.12603
## z-value: 6.5465, p-value: 5.8884e-11
## Lambda: -1.4199
## Approximate (numerical Hessian) standard error: 0.0098645
## z-value: -143.94, p-value: < 2.22e-16
##
## LR test value: 100.87, p-value: 1.1102e-15
##
## Log likelihood: 27.97863 for sacmixed model
## ML residual variance (sigma squared): 0.0022456, (sigma: 0.047388)
## Number of observations: 27
## Number of parameters estimated: 26
## AIC: -3.9573, (AIC for lm: 70.915)
Berikut adalah hasil estimasi parameter untuk setiap model :
Untuk menentukan model terbaik, dilakukan perbandingan berdasarkan nilai Log-Likelihood dan Akaike Information Criterion (AIC). Hasil summary di atas menunjukkan nilai Log-likelihood dan AIC sebagai berikut :
Berdasarkan tabel di atas, model GNS memiliki nilai log-likelihood tertinggi (27.979) dan AIC terendah (-3.957), menunjukkan kecocokan model yang sangat tinggi. Namun, karena nilai AIC pada GNS negatif sementara model lainnya bernilai positif, hal ini mengindikasikan adanya potensi overfitting, di mana model terlalu kompleks dan kurang stabil untuk generalisasi. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan keseimbangan antara akurasi dan stabilitas, model SDEM dipilih sebagai model yang paling representatif untuk menjelaskan variasi Rata-Rata Lama Sekolah di Jawa Barat.
Selanjutnya, dilakukan kembali pengujian untuk memastikan bahwa residual pada model SDEM sudah bebas dari dependensi spasial. Pengujian dilakukan menggunakan Moran’s I dengan hasil sebagai berikut :
moran.test(residuals(sdem_model), WL, zero.policy = TRUE)
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: residuals(sdem_model)
## weights: WL
##
## Moran I statistic standard deviate = -1.417, p-value = 0.9218
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## -0.23587214 -0.03846154 0.01940978
Uji autokorelasi spasial terhadap residual model SDEM menunjukkan nilai Moran’s I yang tidak signifikan (p-value > 0.05), menandakan sudah tidak terdapat dependensi spasial yang belum terjelaskan oleh model. Artinya, residual sudah white noise.
Efek langsung (direct effect) menggambarkan pengaruh variabel-variabel pendidikan dan ekonomi terhadap Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) di wilayah yang sama. Berdasarkan hasil estimasi model Spatial Durbin Error Model (SDEM), beberapa variabel menunjukkan pengaruh signifikan terhadap RLS di Jawa Barat. Berikut interpretasi hasilnya :
PAD (Pendapatan Asli Daerah) memiliki koefisien positif sebesar 0.0000277, namun tidak signifikan (p = 0.7748). Hal ini menunjukkan bahwa besarnya PAD tidak secara langsung memengaruhi rata-rata lama sekolah. Kemungkinan karena PAD belum sepenuhnya difokuskan pada program peningkatan akses dan kualitas pendidikan.
Dana Alokasi Umum Pendidikan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap RLS (β = -0.00079; p < 0.001). Artinya, meskipun secara teoritis peningkatan dana pendidikan seharusnya meningkatkan RLS, dalam jangka pendek peningkatan DAU bisa saja mencerminkan upaya pemerintah menyalurkan dana ke daerah dengan capaian pendidikan rendah, sehingga korelasi yang muncul bersifat negatif.
PDRB per kapita berpengaruh positif dan sangat signifikan (β = 0.0000173; p < 0.001). Daerah dengan tingkat perekonomian lebih tinggi cenderung memiliki infrastruktur dan akses pendidikan yang lebih baik, sehingga meningkatkan rata-rata lama sekolah masyarakatnya.
Tingkat Kemiskinan berkoefisien negatif (-0.0279) namun tidak signifikan (p = 0.5774). Artinya, tingkat kemiskinan tidak secara langsung memengaruhi lama sekolah setelah memperhitungkan variabel lain, kemungkinan karena adanya intervensi kebijakan pendidikan bagi keluarga miskin.
Rasio Guru dan Murid SD berpengaruh positif dan signifikan (β = 0.0756; p = 0.0003). Semakin kecil rasio murid per guru (lebih sedikit siswa per guru), semakin meningkat kualitas pembelajaran dasar yang berdampak pada peningkatan lama sekolah.
Rasio Guru dan Murid SMP tidak signifikan (p = 0.1609), menunjukkan bahwa variasi rasio guru-murid di jenjang menengah pertama belum berdampak nyata terhadap rata-rata lama sekolah antarwilayah.
Rasio Guru dan Murid SMA berpengaruh positif dan signifikan (β = 0.2010; p = 0.0104), yang berarti emakin kecil rasio murid per guru (lebih sedikit siswa per guru), semakin besar kemungkinan siswa untuk melanjutkan pendidikan hingga jenjang menengah atas.
APM SD berpengaruh negatif dan signifikan (β = -0.4237; p < 0.001). Nilai negatif ini dapat diartikan bahwa peningkatan partisipasi di tingkat SD mungkin telah mencapai titik jenuh, sehingga kenaikan kecil tidak lagi mendorong peningkatan lama sekolah secara keseluruhan.
APM SMP berpengaruh positif dan signifikan (β = 0.0398; p = 0.0323), menandakan bahwa semakin tinggi partisipasi di jenjang SMP, semakin lama pula rata-rata masa sekolah masyarakat.
APM SMA berpengaruh positif dan sangat signifikan (β = 0.1802; p < 0.001). Peningkatan partisipasi di tingkat SMA mendorong peningkatan lama sekolah secara langsung karena siswa lebih banyak yang menyelesaikan pendidikan menengah atas.
APM Perguruan Tinggi (PT) berpengaruh positif dan signifikan (β = 0.0587; p < 0.001), menunjukkan bahwa semakin tinggi partisipasi di pendidikan tinggi, semakin tinggi pula rata-rata lama sekolah di daerah tersebut.
Secara keseluruhan, efek langsung dalam model ini menegaskan bahwa faktor ekonomi (PDRB) dan indikator pendidikan (rasio guru dan murid serta APM menengah dan tinggi) merupakan penentu utama variasi RLS di Jawa Barat.
Efek tidak langsung (indirect effect / spillover) menunjukkan bagaimana perubahan variabel di suatu wilayah dapat memengaruhi RLS di wilayah sekitarnya. Berdasarkan hasil model SDEM, sejumlah variabel lag menunjukkan pengaruh signifikan, yang mengindikasikan adanya keterkaitan spasial antarwilayah. Interpretasi hasilnya adalah sebagai berikut :
Lag PAD berkoefisien positif (0.0001857) namun tidak signifikan (p = 0.2127), menunjukkan bahwa PAD di suatu daerah belum memberikan pengaruh nyata terhadap RLS di wilayah sekitar.
Lag Dana Alokasi Umum Pendidikan berpengaruh positif dan signifikan (β = 0.0018795; p < 0.001). Artinya, peningkatan dana pendidikan di suatu daerah dapat menimbulkan efek positif terhadap lama sekolah di daerah tetangga, kemungkinan melalui penyebaran program pendidikan, kerja sama lintas wilayah, atau mobilitas pelajar.
Lag PDRB berpengaruh positif dan sangat signifikan (β = 0.0001647; p < 0.001). Ini berarti pertumbuhan ekonomi di satu wilayah turut mendorong peningkatan RLS di wilayah sekitarnya, misalnya karena efek kemakmuran regional dan peluang pendidikan yang meluas.
Lag Tingkat Kemiskinan berpengaruh positif dan signifikan (β = 1.4713; p < 0.001), menunjukkan bahwa daerah dengan kemiskinan tinggi dapat memengaruhi kondisi sosial-ekonomi wilayah tetangga, mendorong respons kebijakan regional dalam bidang pendidikan.
Lag Rasio Guru dan Murid SD berpengaruh positif dan signifikan (β = 0.4537; p < 0.001). Ini berarti ketersediaan guru SD yang baik di suatu wilayah dapat memberikan efek positif bagi pendidikan di daerah sekitar, misalnya melalui distribusi tenaga pengajar atau kegiatan pelatihan bersama.
Lag Rasio Guru dan Murid SMP berpengaruh negatif dan sangat signifikan (β = -2.6016; p < 0.001). Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan jumlah guru SMP di suatu daerah dapat memberikan dampak negatif terhadap lama sekolah di wilayah sekitarnya.
Lag Rasio Guru dan Murid SMA berpengaruh positif dan signifikan (β = 2.2328; p < 0.001), menandakan adanya efek penyebaran positif dari ketersediaan tenaga pengajar SMA antarwilayah berdekatan.
Lag APM SD berpengaruh positif dan signifikan (β = 2.4913; p < 0.001), yang mengindikasikan bahwa partisipasi tinggi di jenjang SD di satu daerah dapat menular ke daerah sekitarnya melalui peningkatan kesadaran pentingnya pendidikan dasar.
Lag APM SMP tidak signifikan (p = 0.4436), artinya partisipasi di tingkat SMP di suatu daerah belum secara nyata memengaruhi wilayah tetangga.
Lag APM SMA berpengaruh positif dan signifikan (β = 0.3384; p < 0.001), menandakan adanya efek penyebaran positif partisipasi pendidikan menengah antarwilayah.
Lag APM PT tidak signifikan (p = 0.0505), menunjukkan bahwa angka partisipasi perguruan tinggi di suatu daerah belum memberikan pengaruh nyata terhadap RLS di wilayah sekitar.
Parameter λ (lambda) bernilai -1.4052 dan signifikan (p < 0.001), menandakan adanya dependensi spasial pada komponen error. Artinya, faktor-faktor tak teramati seperti motivasi belajar masyarakat, kualitas kebijakan pendidikan, dan dukungan sosial juga menyebar antarwilayah secara spasial.
Dengan demikian, hasil model SDEM menunjukkan bahwa pendidikan di Jawa Barat memiliki keterkaitan spasial yang kuat, di mana peningkatan kondisi sosial-ekonomi dan pendidikan di satu wilayah dapat memberikan dampak positif terhadap wilayah sekitarnya. Hal ini menegaskan pentingnya koordinasi kebijakan pendidikan lintas kabupaten/kota untuk meningkatkan pemerataan akses dan kualitas pendidikan di seluruh Jawa Barat.
Temuan dari model Spatial Durbin Error Model (SDEM) menunjukkan bahwa faktor ekonomi dan pendidikan di suatu wilayah tidak hanya berpengaruh terhadap rata-rata lama sekolah (RLS) di wilayah tersebut, tetapi juga memiliki dampak tidak langsung (spillover effect) terhadap wilayah sekitarnya. Dengan demikian, kebijakan pendidikan di tingkat daerah perlu mempertimbangkan keterkaitan spasial antarwilayah agar upaya peningkatan kualitas pendidikan dapat memberikan manfaat yang lebih luas.
Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tidak dapat bekerja secara terpisah, melainkan perlu memperkuat kolaborasi lintas wilayah dalam pemerataan guru, fasilitas pendidikan, serta perencanaan anggaran berbasis spasial. Peningkatan PAD dan optimalisasi penggunaan DAU sektor pendidikan sebaiknya diarahkan tidak hanya untuk memperbaiki kondisi internal daerah, tetapi juga untuk memperkuat konektivitas pendidikan antarwilayah, terutama di kawasan dengan tingkat kemiskinan tinggi dan rasio guru–murid yang masih besar.
Selain itu, hasil SDEM menegaskan bahwa peningkatan partisipasi pendidikan (APM) di satu daerah dapat memberi dampak positif bagi wilayah sekitarnya. Oleh karena itu, program seperti beasiswa lintas kabupaten, kerja sama antarwilayah dalam pelatihan guru, dan pengembangan pusat pendidikan regional dapat menjadi strategi efektif untuk mengurangi kesenjangan capaian RLS di Jawa Barat secara berkelanjutan.
Berdasarkan hasil analisis Spatial Durbin Error Model (SDEM) terhadap faktor-faktor yang memengaruhi Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) di 27 kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat tahun 2024, diperoleh beberapa kesimpulan. Hasil uji Moran’s I dan Geary’s C menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif signifikan pada RLS. Artinya, kabupaten/kota dengan rata-rata lama sekolah tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah lain yang juga memiliki rata-rata lama sekolah tinggi, dan begitu pula sebaliknya. Fenomena ini terlihat pada kota-kota besar seperti Bandung, Depok, dan Bekasi yang memiliki RLS tinggi karena akses pendidikan lebih mudah, pendapatan penduduk lebih tinggi, dan kesadaran pendidikan yang kuat. Wilayah-wilayah di sekitar kota besar, misalnya Kabupaten Bandung atau Kabupaten Bogor, juga cenderung memiliki RLS relatif tinggi karena kedekatannya dengan pusat pendidikan dan ekonomi. Hal ini dapat dijelaskan melalui fenomena spasial dimana banyak penduduk dari kabupaten sekitar menempuh pendidikan di kota besar, membawa pulang nilai-nilai dan kesadaran pentingnya pendidikan, sehingga memunculkan efek sosial yang “menular” ke wilayah tetangga. Selain itu, sekolah favorit di kota besar juga biasanya membuka pendaftaran dari kota/kabupaten sekitar, dan program pendidikan regional lintas kabupaten turut memperkuat efek ini.
Uji autokorelasi residual dari model OLS menunjukkan adanya ketergantungan spasial yang signifikan, sehingga model klasik belum cukup menjelaskan variasi antarwilayah. Kondisi ini menegaskan perlunya penerapan model spasial ekonometrik lanjutan yang dapat menangkap efek spasial pada variabel independen maupun distribusi error antarwilayah.
Hasil estimasi SDEM menunjukkan adanya pengaruh langsung sebagai berikut :
PDRB, Rasio Guru dan Murid (SD & SMA), dan APM (SMP, SMA, PT) berpengaruh positif signifikan terhadap RLS. Artinya, peningkatan peningkatan variabel-variabel tersebut berkontribusi terhadap peningkatan rata-rata lama sekolah di daerahnya.
Dana Alokasi Umum Pendidikan dan APM SD berpengaruh negatif signifikan terhadap RLS. Artinya, peningkatan peningkatan variabel-variabel tersebut berkontribusi terhadap penurunan rata-rata lama sekolah di daerahnya.
Pendapatan Asli Daerah, Tingkat Kemiskinan, dan Rasio Guru dan Murid SMP tidak berpengaruh signifikan terhadap rata-rata lama sekolah di daerahnya.
Selain pengaruh langsung (direct effect), model SDEM juga menunjukkan adanya pengaruh tidak langsung (indirect/spillover effect) dari variabel ekonomi dan pendidikan di wilayah sekitar, yaitu :
Lag Dana Alokasi Umum Pendidikan, Lag PDRB, Lag Tingkat Kemiskinan, Lag Rasio Guru dan Murid (SD & SMA), dan Lag SPM (SD & SMA) berpengaruh positif signifikan, menunjukkan bahwa peningkatan variabel tersebut dapat mendorong peningkatan rata-rata lama sekolah di wilayah sekitarnya.
Lag Rasio Guru dan Murid SMP serta Lag APM SMP berpengaruh negatif signifikan, menunjukkan bahwa peningkatan variabel tersebut dapat mendorong penurunan rata-rata lama sekolah di wilayah sekitarnya.
Lag PAD dan Lag APM PT tidak berpengaruh signifikan terhadap rata-rata lama sekolah di wilayah sekitarnya.
Temuan efek lintas wilayah (spillover) di atas menegaskan bahwa kebijakan peningkatan pendidikan tidak dapat dilakukan secara parsial per kabupaten/kota, tetapi harus mempertimbangkan keterkaitan antarwilayah. Peningkatan ekonomi, pemerataan guru, dan partisipasi pendidikan di daerah inti akan berdampak positif terhadap wilayah tetangga.
Berdasarkan hasil analisis di atas, saran kebijakan dan pengembangan penelitian adalah sebagai berikut:
Penguatan Kebijakan Pendidikan Regional Terpadu
Pemerintah Provinsi Jawa Barat perlu merancang kebijakan pendidikan berbasis kawasan. Daerah dengan capaian pendidikan tinggi seperti Kota Bandung dan Kota Bekasi dapat dijadikan pusat penggerak peningkatan pendidikan wilayah sekitarnya melalui program kerja sama antarwilayah.
Optimalisasi Penggunaan Dana Pendidikan
Karena DAU Pendidikan justru berpengaruh negatif, perlu dilakukan evaluasi efektivitas penggunaan anggaran agar lebih tepat sasaran, misalnya dengan meningkatkan proporsi belanja untuk pelatihan guru, fasilitas belajar, dan program keberlanjutan pendidikan.
Pemerataan Distribusi Guru dan Akses Sekolah
Hasil estimasi menunjukkan bahwa rasio guru–murid SD dan SMA berpengaruh positif signifikan terhadap Rata-Rata Lama Sekolah (RLS). Sementara rasio guru–murid SMP tidak berpengaruh signifikan, sehingga secara statistik tidak memberikan efek langsung terhadap RLS. Meski demikian, untuk menjaga kesinambungan pendidikan dan mencegah terjadinya ketimpangan akses antarwilayah, pemerintah tetap perlu memperhatikan pemerataan tenaga pendidik di semua jenjang, terutama SMP sebagai jenjang transisi dari SD ke SMA. Kebijakan seperti insentif bagi guru yang bersedia ditempatkan di wilayah dengan kekurangan tenaga pengajar dapat diterapkan untuk memastikan setiap anak memiliki kesempatan belajar yang setara di seluruh jenjang pendidikan.
Sinergi Program Ekonomi dan Pendidikan
Hasil lag variabel ekonomi yang signifikan menunjukkan perlunya integrasi antara kebijakan ekonomi dan pendidikan. Peningkatan kegiatan ekonomi di satu daerah dapat berdampak pada kualitas pendidikan di sekitarnya bila disertai dengan kebijakan pendidikan yang inklusif.
Pengembangan Penelitian Spasial Lanjutan
Penelitian selanjutnya disarankan menggunakan data panel spasial agar dapat menganalisis dinamika perubahan RLS antarwaktu. Selain itu, model dapat dikembangkan ke bentuk Spatial Panel Durbin Model (SPDM) atau Spatial Error Correction Model (SECM) untuk menggambarkan hubungan spasial dan temporal secara lebih komprehensif.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. (2025, Februari 5). Ekonomi Jawa Barat 2024 tumbuh 4,95 persen (C-to-C). Badan Pusat Statistik. https://jabar.bps.go.id/id/pressrelease/2025/02/05/1185/ekonomi-jawa-barat-2024-tumbuh-4-95-persen--c-to-c-.html
Lestari, D. H., & Setyadharma, A. (2018). Determinant mean years of schooling in Central Java. Efficient: Indonesian Journal of Development Economics, 2(3), 137–147.https://doi.org/10.15294/efficient.v2i3.35905
Farizki, S. (2024). FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RATA-RATA LAMA SEKOLAH DI KAWASAN TIMUR INDONESIA TAHUN 2017-2021. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/81551/1/SALSABILA%20FARIZKI-FEB.pdf
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. (2024). Produk Domestik Regional Bruto per Kapita atas Dasar Harga Berlaku menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat (ribu rupiah), 2022. https://jabar.bps.go.id/id/statistics-table/3/YWtoQlRVZzNiMU5qU1VOSlRFeFZiRTR4VDJOTVVUMDkjMw==
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. (2024). Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat. https://jabar.bps.go.id/id/statistics-table/2/OTE5IzI=/persentase-penduduk-miskin-menurut-kabupaten-kota-di-jawa-barat.html
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. (2024). Jumlah Sekolah, Guru, dan Murid Sekolah Dasar di Bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat, 2023. https://jabar.bps.go.id/id/statistics-table/3/VWtKTmFFbDZaSFJWWVhOYU16WmhaRzlCYlM5Wlp6MDkjMw==
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. (2024). Angka Partisipasi Murni (APM) Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat. https://jabar.bps.go.id/id/statistics-table/2/OTcjMg==/angka-partisipasi-murni.html
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (2024). Data Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) – Dana Alokasi Umum (DAU) Pendidikan Provinsi Jawa Barat. https://djpk.kemenkeu.go.id/portal/data/tkdd?tahun=2024&provinsi=10&pemda=10
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. (n.d.). [Komponen IPG] Rata-rata lama sekolah. https://jabar.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTg5IzI=/-komponen-ipg-rata---rata-lama-sekolah.html
Anselin, L. (1995). Local indicators of spatial association—LISA. Geographical Analysis, 27(2), 93–115. https://doi.org/10.1111/j.1538-4632.1995.tb00338.x
Geary, R. C. (1954). The contiguity ratio and statistical mapping. The Incorporated Statistician, 5(3), 115–146. https://doi.org/10.2307/2986645
Getis, A., & Ord, J. K. (1992). The analysis of spatial association by use of distance statistics. Geographical Analysis, 24(3), 189–206. https://doi.org/10.1111/j.1538-4632.1992.tb00261.x
Getis, A. and Ord, J.K. (1996) Local spatial statistics: An overview. In: Longley, P. and Batty, M., Eds., Spatial Analysis: Modeling in A GIS Environment, John Wiley & Sons, New York, 261-277.
Moran, P. A. P. (1950). Notes on continuous stochastic phenomena. Biometrika, 37(1–2), 17–23. https://doi.org/10.2307/2332142
LeSage, J., & Pace, R. K. (2009). Introduction to spatial econometrics (1st ed.). Chapman and Hall/CRC.https://doi.org/10.1201/9781420064254
Anselin, L., & Bera, A. K. (1998). Spatial dependence in linear regression models with an introduction to spatial econometrics. In A. Ullah & D. E. A. Giles (Eds.), Handbook of applied economic statistics (pp. 237–289). CRC Press.
Link Rpubs : https://rpubs.com/rahmaaja/analisisekonometrikaspasial
Link Dashboard : https://nafallaffta.shinyapps.io/dashboard_rata_rata_lama_sekolah/