ANALISIS SPASIAL INDEKS KETIMPANGAN GENDER DI JAWA BARAT TAHUN 2024

Disusun oleh: Raymond Emmanuel Krista (140610230067)

Dosen Pengampu: I Gede Nyoman Mindra Jaya, M.Si., Ph.D.

Program Studi Statistika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Padjadjaran

Jatinangor 2025

Bab 1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Isu ketimpangan atau ketidaksetaraan gender merupakan salah satu perhatian khusus dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) tujuan ke-5 “Gender Equality” [1]. Kesetaraan Gender merupakan salah satu faktor utama dalam mencapai pertumbuhan sosial, politik, dan ekonomi yang berkelanjutan [2].Contohnya pada provinsi NTT, kota yang memiliki nilai ketipangan gender yang tinggi realtif memiliki nilai PDRB per kapita yang rendah [3]. Oleh karena itu, masalah ketimpangan gender merupakan masalah yang serius karena dapat mengancam berbagai faktor terutama di Jawa Barat yang merupakan provinsi dengan populasi terbanyak di Indonesia.

Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah yang sangat beragam. Terdapat daerah yang memiliki wilayah metropolitan, tetapi juga terdapat daerah yang bergantung pada agraria. Hal itulah yang memungkinkan, Keragaman ini sangat mungkin menciptakan variasi spasial dalam isu ketimpangan gender. Artinya, tingkat kesetaraan gender tidak terdistribusi secara acak di seluruh wilayah, melainkan membentuk pola-pola tertentu. Faktor-faktor yang memengaruhinya, seperti akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, peluang ekonomi, dan norma sosial-budaya, juga cenderung berbeda antarwilayah. Misalnya, kabupaten/kota yang berdekatan dengan pusat ekonomi mungkin menawarkan peluang kerja yang lebih besar bagi perempuan dibandingkan dengan daerah pedesaan yang lebih terpencil.

Dengan beberapa hal diatas,diperlukan analisis spasial yang dapat memudahkan pendekatan dan pengambilan keputusan [4]. Selain dari itu, perlu juga diteliti beberapa faktor yang memengaruh indeks ketimpangan gender seperti tingkat partisipasi angkatan kerja, pendidikan, persentase perempuan pada anggota parlemen, dll. Sehinnga pada akhirnya dapat dibentuk suatu model spatial econometrics yang dapat menggambarkan masalah ini.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, beberapa pertanyaan penelitian yang menjadi fokus utama adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana pola distribusi spasial Indeks Ketimpangan Gender (IKG) ?

  2. Apakah terdapat bukti statistik adanya autokorelasi spasial pada sebaran nilai IKG di Jawa Barat? Apakah wilayah dengan IKG tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah ber-IKG tinggi lainnya, dan sebaliknya?

  3. Faktor-faktor sosial-ekonomi apa saja yang secara signifikan memengaruhi tingkat ketimpangan gender di Jawa Barat?

  4. Model ekonometrika spasial manakah yang paling tepat untuk menjelaskan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap IKG dengan mempertimbangkan efek ketergantungan spasial?

1.3 Tujuan Penelitian

Sejalan dengan identifikasi masalah, tujuan dari penelitian ini adalah:

  1. Memetakan dan menganalisis pola sebaran spasial Indeks Ketimpangan Gender (IKG) di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.

  2. Menguji dan mengidentifikasi keberadaan autokorelasi spasial global (menggunakan Moran’s I dan Geary’s C) dan lokal (menggunakan LISA) pada data IKG.

  3. Menganalisis pengaruh variabel-variabel sosial-ekonomi terhadap Indeks Ketimpangan Gender di Jawa Barat.

  4. Menentukan model ekonometrika spasial terbaik untuk menjelaskan fenomena ketimpangan gender dan memberikan interpretasi hasil yang komprehensif

1.4 Batasan Penelitian

Untuk menjaga agar penelitian ini tetap fokus dan mendalam, maka ditetapkan beberapa batasan sebagai berikut:

  1. Unit Analisis Spasial: Unit analisis yang digunakan adalah 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.

  2. Cakupan Waktu: Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data cross-section pada tahun 2024

  3. Variabel Penelitian: Variabel dependen adalah Indeks Ketimpangan Gender (IKG). Variabel independen akan dibatasi pada beberapa indikator sosial-ekonomi utama yang relevan, seperti proporsi gender Kelahiran Non-FasKes, proporsi gender pada kelahiran Usia Anak Pertama, Tingkat Partisipasi Kerja Laki-Laki dan Perempuan, Pendidikan Laki-Laki dan Perempuan, serta Partisipasi pada Parlemen Laki-Laki dan perempuan

  4. Metode Analisis: Analisis dibatasi pada statistik deskriptif spasial, uji autokorelasi spasial (Moran’s I dan LISA), serta pemodelan ekonometrika spasial dengan membandingkan 6 model (OLS, SAR, SEM, SD,. SDEM, dan SAC).

Bab 2. Tinjauan Pustaka

2.1 Dependensi Spasial

Dependensi spasial atau ketergantungan spasial, adalah kondisi dimana nilai suatu variabel pada satu lokasi memiliki korelasi dengan nilai variabel yang sama di lokasi-lokasi terdekatnya (tetangga). Dalam konteks sosial-ekonomi, fenomena ini dapat terjadi karena berbagai mekanisme, seperti efek limpahan (spillover), interaksi antarwilayah, persaingan, atau adanya faktor-faktor tak teramati yang memiliki struktur spasial.

Untuk mengoperasionalkan konsep kedekatan atau ketetanggaan secara kuantitatif, digunakan Matriks Pembobot Spasial (W). Matriks ini berukuran n x n adalah jumlah unit observasi/wilayah) yang merepresentasikan struktur hubungan spasial antar unit observasi. Elemen matriks, wij mendefinisikan hubungan antara lokasi i dan lokasi j.

2.2 Autokorelasi Spasial

Autokorelasi spasial adalah ukuran formal untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya pengelompokan (klaster) atau pola sistematis dalam distribusi data spasial. Terdapat dua jenis utama autokorelasi spasial:

2.3.1 Moran’s I

Indeks Moran (Moran’s I) adalah statistik yang paling umum digunakan untuk menguji autokorelasi spasial secara global di seluruh wilayah studi. Nilai Moran’s I berkisar antara -1 hingga +1.

  • Nilai I > 0: Menandakan autokorelasi spasial positif, artinya wilayah dengan nilai tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah bernilai tinggi lainnya (pola mengelompok/klaster).

  • Nilai I < 0: Menandakan autokorelasi spasial negatif, artinya wilayah dengan nilai tinggi cenderung berdekatan dengan wilayah bernilai rendah (pola menyebar/terdispersi).

  • Nilai I ≈ 0: Menandakan tidak ada autokorelasi spasial (pola acak).

2.3.2 Geary’s C

Geary’s C adalah ukuran autokorelasi spasial global lainnya yang sering digunakan sebagai pelengkap Moran’s I. Perbedaan utamanya adalah, jika Moran’s I menggunakan produk silang dari deviasi terhadap rata-rata, Geary’s C menggunakan kuadrat perbedaan nilai antara dua lokasi yang bertetangga. Dengan kata lain, Geary’s C lebih fokus pada disimilaritas atau variasi antar tetangga.

Nilai Geary’s C berkisar dari 0 hingga 2, dengan interpretasi yang berkebalikan dari Moran’s I:

  • 0 < C < 1: Menandakan autokorelasi spasial positif (pola mengelompok). Semakin dekat nilai C ke 0, semakin kuat pengelompokannya.

  • C ≈ 1: Menandakan tidak ada autokorelasi spasial (pola acak).

  • 1 < C < 2: Menandakan autokorelasi spasial negatif (pola menyebar). Semakin dekat nilai C ke 2, semakin kuat pola penyebarannya.

2.3.3 LISA

Sementara Moran’s I dan Geary’s C memberikan satu nilai ringkasan untuk seluruh area, Local Indicators of Spatial Association (LISA) memungkinkan identifikasi klaster lokal atau titik-titik anomali (outlier) spasial. LISA mengurai statistik global menjadi kontribusi spesifik dari setiap lokasi. Hasil analisis LISA biasanya divisualisasikan dalam Peta Moran (Moran Map) yang mengklasifikasikan setiap wilayah ke dalam salah satu dari empat kuadran:

  • High-High (Hot Spot): Wilayah bernilai tinggi dikelilingi oleh wilayah bernilai tinggi.

  • Low-Low (Cold Spot): Wilayah bernilai rendah dikelilingi oleh wilayah bernilai rendah.

  • High-Low (Spatial Outlier): Wilayah bernilai tinggi dikelilingi oleh wilayah bernilai rendah.

  • Low-High (Spatial Outlier): Wilayah bernilai rendah dikelilingi oleh wilayah bernilai tinggi.

2.3 Model Spasial Ekonometrik

Ketika analisis data menunjukkan adanya dependensi spasial, penggunaan model regresi klasik menjadi tidak memadai. Model ekonometrika spasial dikembangkan untuk secara eksplisit memasukkan interaksi spasial ke dalam spesifikasi model, sehingga menghasilkan estimasi yang lebih akurat dan tidak bias.

2.4.1 Model Dasar: Ordinary Least Squares (OLS)

Model OLS adalah titik awal dalam analisis regresi. Model ini mengasumsikan bahwa setiap observasi (wilayah) independen satu sama lain dan galatnya terdistribusi secara identik dan independen. Persamaan model OLS adalah:

\[ Y = X\beta+\epsilon \] di mana Y adalah vektor variabel dependen, X adalah matriks variabel independen, \[\beta\] adalah vektor koefisien yang akan diestimasi, dan \[\epsilon\] adalah vektor galat. Jika uji diagnostik pada residual OLS (seperti uji Moran’s I pada residual) menunjukkan adanya autokorelasi spasial, maka asumsi independensi dilanggar dan diperlukan model spasial.

2.4.2 Spatial Autoregressive Model (SAR)

Model SAR, juga dikenal sebagai Spatial Lag Model (SLM), digunakan untuk memodelkan dependensi spasial substantif. Model ini mengasumsikan bahwa nilai variabel dependen di suatu wilayah dipengaruhi secara langsung oleh nilai variabel dependen di wilayah-wilayah tetangganya. Ini mencerminkan adanya efek limpahan (spillover effect) atau interaksi langsung antar wilayah. Persamaan model SAR adalah:

\[ Y=\rho WY +X\beta+\epsilon \] di mana \[\rho\] adalah parameter lag spasial yang mengukur kekuatan dependensi spasial pada variabel dependen Y. WY adalah spatial lag dari variabel dependen, yang merupakan rata-rata tertimbang dari nilai Y di wilayah tetangga.

2.4.3 Spatial Error Model (SEM)

Model SEM digunakan untuk memodelkan dependensi spasial residual (nuisance). Model ini mengasumsikan bahwa dependensi spasial tidak terjadi pada variabel dependen secara langsung, melainkan pada galat (error) dari model. Hal ini seringkali disebabkan oleh adanya variabel-variabel penting yang tidak teramati (tidak dimasukkan dalam model) namun memiliki pola spasial, atau karena adanya kesalahan pengukuran yang berkorelasi antar wilayah. Persamaan model SEM adalah:

\[ Y = X\beta +u \]

dengan,

\[ u = \lambda Wu +\epsilon \]

di mana lambda adalah koefisien autokorelasi spasial pada galat. Model ini memperbaiki efisiensi estimator dan validitas uji hipotesis.

2.4.4 Spatial Durbin Model (SDM)

Model SDM adalah model yang lebih umum yang memasukkan lag spasial dari variabel dependen WY dan juga lag spasial dari variabel-variabel independen WX. Model ini dapat menangkap efek limpahan yang berasal dari variabel dependen (interaksi endogen) dan variabel independen (interaksi eksogen). SDM mampu mengestimasi efek langsung (dampak perubahan variabel independen di suatu wilayah terhadap variabel dependen di wilayah itu sendiri) dan efek tidak langsung/limpahan (dampak perubahan di suatu wilayah terhadap wilayah lain). Persamaan model SDM adalah:

\[ Y = \rho WY+X\beta+WX\theta+\epsilon \]

di mana thetaadalah vektor koefisien untuk lag spasial dari variabel independen WX.

2.4.5 Spatial Durbin Error Model (SDEM)

Model SDEM adalah variasi dari model SEM yang juga memasukkan lag spasial dari variabel independen WX, namun tidak memasukkan lag spasial dari variabel dependen WY. Model ini cocok untuk situasi di mana autokorelasi spasial diyakini berada pada galat, namun tetap ada efek limpahan yang berasal dari variabel-variabel independen di wilayah tetangga. Persamaan model SDEM adalah: \[Y=X\beta+WX\theta+u\]

\[ u = \lambda Wu+\epsilon \]

2.4.6 Spatial Autocorrelation Model (SAC)

Model SAC, juga dikenal sebagai General Spatial Model atau model Kelejian-Prucha, adalah model yang paling komprehensif karena memasukkan kedua jenis dependensi spasial secara bersamaan: lag spasial pada variabel dependen WY dan autokorelasi pada galat Wu. Model ini digunakan ketika ada alasan teoretis untuk meyakini bahwa kedua proses spasial (substantif dan residual) terjadi secara simultan. Persamaan model SAC adalah:

\[ Y = \rho WY + X\beta+u \] dengan

\[ u = \lambda Wu + \epsilon \]

Pemilihan model yang paling tepat di antara berbagai alternatif ini harus didasarkan pada teori yang relevan serta uji diagnostik statistik, seperti uji Lagrange Multiplier (LM-Lag dan LM-Error) dan uji rasio kemungkinan (Likelihood Ratio test).

Bab 3. Metodologi Penelitian

3.1 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersifat kuantitatif dengan dimensi cross-sectional pada tahun 2024. Sumber data utama berasal dari publikasi resmi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat, serta lembaga terkait lainnya. Data yang dikumpulkan terdiri dari dua komponen utama:

  1. Data Atribut/Statistik: Data tabular yang berisi nilai-nilai variabel penelitian untuk setiap kabupaten/kota di Jawa Barat.

  2. Data Spasial: Peta digital dalam format shapefile (.shp) yang memuat batas-batas administratif 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Data ini diperlukan untuk mendefinisikan hubungan ketetanggaan dan melakukan visualisasi spasial.

3.2 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini dibedakan menjadi variabel dependen dan variabel independen.

3.2.1 Variabel Dependen (Y)

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Indeks Ketimpangan Gender (IKG). IKG merupakan indeks komposit yang mengukur hilangnya capaian dalam tiga dimensi pembangunan manusia—kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan pasar tenaga kerja—akibat adanya ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Nilai IKG berkisar antara 0 (kesetaraan sempurna) hingga 1 (ketimpangan sempurna).

3.2.2 Variabel Independen (X)

Variabel independen adalah faktor-faktor sosial-ekonomi yang secara teoretis diduga memengaruhi tingkat ketimpangan gender di suatu wilayah. Variabel yang digunakan antara lain:

Nama Variabel Simbol Definisi Operasional Sumber Data
Dimensi Kesehatan
Kelahiran Tidak di Fasilitas Kesehatan X1 Persentase kelahiran yang tidak terjadi di fasilitas kesehatan (rumah sakit, puskesmas, klinik) terhadap total kelahiran. Indikator ini menjadi proksi akses dan kualitas layanan kesehatan ibu. BPS / Dinas Kesehatan
Median Usia Kawin Pertama (UKP) Perempuan X2 Usia tengah (median) dari perempuan berstatus kawin atau pernah kawin pada saat perkawinan pertama. UKP yang rendah sering berkorelasi dengan pemberdayaan yang rendah. BPS (Susenas)
Dimensi Ekonomi
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Laki-Laki X3 Persentase penduduk laki-laki usia 15 tahun ke atas yang termasuk dalam angkatan kerja (bekerja atau mencari kerja) terhadap total penduduk laki-laki usia 15 tahun ke atas. BPS (Sakernas)
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Perempuan X4 Persentase penduduk perempuan usia 15 tahun ke atas yang termasuk dalam angkatan kerja terhadap total penduduk perempuan usia 15 tahun ke atas. BPS (Sakernas)
Dimensi Pendidikan & Pemberdayaan
Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Laki-Laki X5 Rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk laki-laki usia 25 tahun ke atas dalam menempuh semua jenis pendidikan formal. BPS
Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Perempuan X6 Rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk perempuan usia 25 tahun ke atas dalam menempuh semua jenis pendidikan formal. BPS
Persentase Keterwakilan Laki-Laki di DPRD X7 Persentase jumlah kursi yang diduduki oleh laki-laki di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat Kabupaten/Kota. BPS
Persentase Keterwakilan Perempuan di DPRD X8 Persentase jumlah kursi yang diduduki oleh perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat Kabupaten/Kota. BPS

3.3 Unit Analisis Spasial

Unit analisis spasial yang digunakan dalam penelitian ini adalah 27 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. Pemilihan level administrasi ini didasarkan pada pertimbangan ketersediaan data yang lengkap dan relevan untuk semua variabel penelitian, serta kemampuannya untuk menunjukkan variasi spasial yang signifikan di dalam provinsi.

3.4 Alur Kerja Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan melalui serangkaian tahapan yang sistematis, seperti digambarkan dalam alur kerja berikut:

  1. Pengumpulan Data: Mengumpulkan data statistik (IKG dan variabel X) dan data spasial (peta .shp) dari BPS.

  2. Persiapan Data: Melakukan pembersihan data (data cleaning) dan menggabungkan data statistik ke dalam data spasial (proses table join) sehingga setiap poligon kabupaten/kota memiliki atribut yang lengkap.

  3. Analisis Deskriptif dan Eksplorasi Spasial: Membuat statistik deskriptif untuk semua variabel dan menyajikan peta tematik (choropleth) dari IKG untuk mendapatkan gambaran awal pola spasialnya.

  4. Pembuatan Matriks Pembobot Spasial (W): Mendefinisikan hubungan ketetanggaan antar kabupaten/kota menggunakan metode Queen Contiguity dan melakukan standardisasi baris (row-standardization).

  5. Uji Autokorelasi Spasial:

    • Global: Menghitung indeks Moran’s I dan Geary’s C untuk menguji keberadaan dependensi spasial secara keseluruhan.

    • Lokal: Melakukan analisis LISA (Local Indicators of Spatial Association) untuk mengidentifikasi lokasi klaster hot spots (High-High), cold spots (Low-Low), dan spatial outliers.

  6. Pemodelan Ekonometrika Spasial:

    • Mengestimasi model regresi OLS sebagai baseline.

    • Melakukan uji diagnostik (misalnya, Lagrange Multiplier Test) pada residual OLS untuk mendeteksi jenis dependensi spasial.

    • Mengestimasi minimal dua model spasial yang relevan (misalnya, SAR dan SEM, atau SEM dan SDM) berdasarkan hasil uji diagnostik.

  7. Pemilihan Model Terbaik dan Interpretasi: Membandingkan model-model spasial berdasarkan kriteria statistik (AIC, BIC, R-squared, signifikansi parameter spasial) dan interpretasi substantif untuk memilih model terbaik.

  8. Visualisasi dan Pembahasan: Menyajikan hasil dari model terbaik, termasuk interpretasi koefisien dan pemetaan residual atau prediksi untuk memperkaya analisis.

  9. Penarikan Kesimpulan: Merumuskan kesimpulan dari hasil analisis dan memberikan rekomendasi kebijakan berdasarkan temuan penelitian.

Bab 4. Hasil dan Pembahasan

4.1 Analisis Deskriptif dan Eksplorasi Data Spasial

4.1.1 Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif memberikan ringkasan data melalui nilai minimum, maksimum, rata-rata, dan standar deviasi. Tabel di bawah ini menyajikan statistik deskriptif untuk variabel dependen dan independen.

Tabel 4.1

Variabel Min Maks Rata-rata Median
IKG (Y) 0.1620 0.5770 0.3945 0.3860
X1 0.0000 0.3620 0.1020 0.0640
X2 0.1420 0.4300 0.2687 0.2545
X3 78.90 88.86 83.95 83.83
X4 43.48 56.48 51.01 51.55
X5 19.88 76.82 41.60 35.31
X6 12.55 71.36 34.59 27.85
X7 65.71 90.91 79.08 79.09
X8 9.09 34.29 20.92 20.91

Dari Tabel 4.1, dapat dilihat bahwa Indeks Ketimpangan Gender (IKG) di Jawa Barat memiliki rentang yang cukup lebar, dari nilai minimum 0.162 hingga maksimum 0.577, dengan rata-rata sebesar 0.3945. Hal ini mengindikasikan adanya disparitas yang signifikan antar kabupaten/kota. Rata-rata Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) laki-laki (X3) sebesar 83.95%, jauh lebih tinggi dibandingkan TPAK perempuan (X4) yang rata-ratanya hanya 51.01%. Begitu pula dalam partisipasi parlemen, rata-rata keterwakilan laki-laki di DPRD (X7) mencapai 79.08%, sementara perempuan (X8) hanya 20.92%. Data ini secara deskriptif menunjukkan adanya ketimpangan yang nyata dalam partisipasi ekonomi dan politik.

4.1.2 Pola Spasial Indeks Ketimpangan Gender (IKG)

Untuk melihat distribusi spasial IKG secara visual, dibuat peta tematik (choropleth) seperti yang disajikan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Peta Sebaran Indeks Ketimpangan Gender di Jawa Barat Tahun 2024

Berdasarkan peta pada Gambar 4.1, secara visual terlihat adanya indikasi pengelompokan spasial yang jelas. Wilayah dengan tingkat ketimpangan gender yang tinggi (diwakili oleh warna oranye tua hingga merah) cenderung terkonsentrasi di bagian selatan dan barat Jawa Barat. Kabupaten seperti Bogor, Kota Bogor, Depok, Cianjur, Tasikmalaya, Garut, dan Kota Tasikmalaya menunjukkan nilai IKG yang relatif tinggi. Sebaliknya, wilayah dengan IKG yang lebih rendah (diwakili oleh warna kuning muda) umumnya berada di bagian pesisir utara dan timur, seperti Kabupaten Bekasi, Karawang, Indramayu, dan Kota Cirebon. Pola ini mengisyaratkan bahwa kondisi ketimpangan gender di suatu wilayah kemungkinan dipengaruhi oleh kondisi di wilayah tetangganya, yang akan diuji lebih lanjut melalui analisis autokorelasi spasial.

4.2 Uji Autokorelasi Spasial

Uji autokorelasi spasial dilakukan untuk membuktikan secara statistik apakah pola visual yang teramati sebelumnya memang signifikan.

4.2.1 Autokorelasi Spasial Global

Uji Moran’s I dan Geary’s C digunakan untuk mendeteksi autokorelasi spasial secara global di seluruh wilayah studi.

Tabel 4.2. Hasil Uji Moran’s I dan Geary’s C untuk IKG

Statistik Nilai Indeks Nilai Z P-value Interpretasi
Moran’s I 0.1166 1.0678 0.1428 Pola Spasial Acak
Geary’s C 0.8487 0.9602 0.1685 Pola Spasial Acak

Hasil uji autokorelasi spasial global pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa nilai Moran’s I adalah 0.1166 dengan p-value sebesar 0.1428. Sementara itu, nilai Geary’s C adalah 0.8487 dengan p-value 0.1685. Karena p-value dari kedua uji tersebut lebih besar dari tingkat signifikansi standar (α = 0.05), maka hipotesis nol (H0) yang menyatakan tidak adanya autokorelasi spasial gagal ditolak. Dengan kata lain, secara statistik tidak ditemukan bukti yang cukup kuat untuk menyatakan adanya pola pengelompokan (klaster) maupun penyebaran pada distribusi Indeks Ketimpangan Gender (IKG) di seluruh Jawa Barat. Pola sebaran IKG dianggap acak secara spasial. Meskipun analisis visual pada peta sebelumnya menunjukkan adanya indikasi pengelompokan, hasil uji statistik global ini tidak mengonfirmasi hal tersebut.

4.2.2 Autokorelasi Spasial Lokal (LISA)

Analisis LISA dilakukan untuk mengidentifikasi lokasi spesifik dari klaster spasial.

Gambar 4.2. Peta Klaster LISA Indeks Ketimpangan Gender di Jawa Barat

Hasil analisis LISA pada Gambar 4.2 menunjukkan adanya satu klaster lokal yang signifikan secara statistik. Ditemukan Klaster High-High (Hot Spot) yang terkonsentrasi di bagian barat Jawa Barat, mencakup wilayah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, dan Kota Depok. Ini berarti ketiga wilayah tersebut tidak hanya memiliki nilai IKG yang tinggi, tetapi juga dikelilingi oleh wilayah tetangga yang sama-sama memiliki IKG tinggi, membentuk sebuah “hot spot” ketimpangan gender. Di luar area tersebut, tidak ditemukan adanya klaster Low-Low (cold spot) maupun pencilan spasial (spatial outlier) yang signifikan. Temuan ini menarik karena meskipun secara global pola IKG dianggap acak, ternyata terdapat satu kantong pengelompokan masalah yang signifikan di wilayah sekitar ibu kota.

4.3 Hasil Estimasi Model Ekonometrika Spasial

Bagian ini menyajikan hasil estimasi model, dimulai dari model OLS sebagai dasar, hingga model-model spasial.

Tabel 4.3. Perbandingan Hasil Estimasi Model OLS, SAR, dan SEM

Variabel OLS SAR SEM SDM SDEM SAC
Koefisien
(Intercept) 0.2508 0.1976 0.3890 0.8929 0.8535 0.0580
X1 0.7987*** 0.7904*** 0.8606*** 0.7901*** 0.7547*** 0.7812***
X2 -0.2063 -0.2130 -0.3042* -0.2807 -0.4082* -0.3449**
X3 0.0053 0.0055 0.0056 0.0003 0.0011 0.0074.
X4 -0.0033 -0.0031 -0.0060** -0.0035. -0.0021 -0.0049**
X6 -0.0029* -0.0029** -0.0034*** -0.0032*** -0.0037*** -0.0031***
X8 -0.0027 -0.0028. -0.0019. -0.0040*** -0.0041** -0.0015
lag.X1 - - - 1.0205*** 0.7400** -
lag.X2 - - - -0.5463* -0.2063 -
lag.X3 - - - 0.0079 -0.0005 -
lag.X4 - - - -0.0097* -0.0061 -
lag.X6 - - - -0.0040* -0.0008 -
lag.X8 - - - 0.0047* 0.0079*** -
Parameter Spasial
Rho - 0.0718 - -0.5964** - 0.2889.
Lambda - - -0.8192*** - -0.8699*** -1.0242***
Statistik Model
R-squared 0.8523 - - - - -
Log-Likelihood -34.8855 42.9929 45.3912 54.7104 55.9701 47.0141
AIC 69.7710 -67.9860 -72.7820 -79.4210 -81.9400 -74.0280

4.4 Pemilihan Model Terbaik

Pemilihan model terbaik didasarkan pada perbandingan kriteria statistik dari semua model yang telah diestimasi. Kriteria utama yang digunakan adalah Akaike Information Criterion (AIC), Bayesian Information Criterion (BIC), nilai Log-Likelihood (LogLik), dan koefisien determinasi (R2). Model yang ideal memiliki nilai AIC dan BIC terendah, serta nilai LogLik dan R2 tertinggi

Tabel 4.4. Statistik Kunci Perbandingan Model

Model AIC BIC LogLik R2 Status
OLS -69.77 -59.71 42.89 0.8523 Terbentuk
SAR -67.99 -56.66 42.99 0.8537 Terbentuk
SEM -72.78 -61.46 45.39 0.8984 Terbentuk
SDM -79.42 -60.55 54.71 0.9457 Terbentuk
SDEM -81.94 -63.07 55.97 0.9561 TERBAIK
SAC -74.03 -61.45 47.01 0.9226 Terbentuk

Berdasarkan Tabel 4.4, terlihat jelas bahwa Model Spatial Durbin Error (SDEM) unggul secara signifikan dibandingkan model lainnya di semua kriteria utama. Model SDEM memiliki nilai AIC terendah (-81.94) dan BIC terendah (-63.07), yang mengindikasikan model paling pas dengan penalti kompleksitas yang paling efisien. Selain itu, SDEM juga menunjukkan nilai Log-Likelihood tertinggi (55.97) dan R-squared tertinggi (0.9561), yang berarti model ini memiliki kemampuan terbaik dalam menjelaskan variasi data Indeks Ketimpangan Gender. Oleh karena itu, Model SDEM secara definitif dipilih sebagai model terbaik untuk penelitian ini.

4.5 Interpretasi Hasil Model Terbaik

Interpretasi difokuskan pada hasil estimasi Model SDEM sebagai model terbaik. Model ini tidak hanya mengukur pengaruh langsung dari variabel independen di suatu wilayah (efek langsung) tetapi juga pengaruh dari variabel di wilayah tetangga (efek tidak langsung/spillover).

  • Parameter Spasial Lambda: Nilai Lambda yang signifikan dan negatif (-0.8699) menunjukkan adanya autokorelasi spasial negatif yang kuat pada galat. Ini berarti bahwa ada variabel-variabel yang tidak terukur dalam model ini yang memiliki efek spasial. Misalnya, faktor positif yang tak terukur di satu kabupaten (seperti program pemberdayaan perempuan lokal yang berhasil) berkorelasi dengan faktor negatif tak terukur di kabupaten tetangganya.

  • Efek Langsung (Direct Effects):

    • Proporsi Kelahiran Non-FasKes (X1): Koefisien 0.7547 (p < 0.001) menunjukkan bahwa semakin tinggi proporsi perempuan yang melahirkan tidak di fasilitas kesehatan, semakin tinggi pula tingkat ketimpangan gender di wilayah tersebut.

    • Proporsi Usia Anak Pertama < 20 thn (X2): Koefisien -0.4082 (p < 0.05) signifikan negatif. Ini berarti semakin tinggi proporsi perempuan yang melahirkan anak pertama di usia muda, justru Indeks Ketimpangan Gender cenderung lebih rendah. Temuan ini memerlukan analisis kualitatif lebih lanjut untuk dipahami.

    • Pendidikan Perempuan (X6): Koefisien -0.0037 (p < 0.001) menunjukkan bahwa peningkatan rata-rata lama sekolah perempuan secara signifikan menurunkan ketimpangan gender.

    • Partisipasi Parlemen Perempuan (X8): Koefisien -0.0041 (p < 0.01) mengindikasikan bahwa semakin tinggi persentase keterwakilan perempuan di parlemen, semakin rendah tingkat ketimpangan gender.

  • Efek Tidak Langsung/Spillover (Indirect Effects):

    • lag.X1 (Proporsi Kelahiran Non-FasKes Tetangga): Koefisien 0.7400 (p < 0.01) signifikan positif. Artinya, tingginya proporsi kelahiran non-faskes di wilayah tetangga juga turut meningkatkan ketimpangan gender di suatu wilayah. Ini menunjukkan adanya efek limpahan masalah kesehatan reproduksi.

    • lag.X8 (Partisipasi Parlemen Perempuan Tetangga): Koefisien 0.0079 (p < 0.001) signifikan positif. Temuan ini cukup menarik: tingginya partisipasi perempuan di parlemen wilayah tetangga justru berasosiasi dengan peningkatan ketimpangan gender di suatu wilayah.

4.6 Visualisasi Hasil Model

Untuk mengevaluasi dan menginterpretasi hasil dari model terbaik (SDEM) secara lebih intuitif, dilakukan beberapa visualisasi.

4.6.1 Plot Prediksi vs Aktual

Plot ini membandingkan nilai IKG aktual dengan nilai IKG yang diprediksi oleh model untuk setiap kabupaten/kota.

Gambar 4.3. Plot Sebaran Nilai IKG Aktual vs Prediksi Model SDEM

Gambar 4.3 menunjukkan bahwa titik-titik data (IKG prediksi vs aktual) tersebar sangat dekat dengan garis diagonal sempurna (Garis Sempurna). Hal ini mengindikasikan performa model yang sangat baik, di mana nilai yang diprediksi sangat mendekati nilai sebenarnya. Nilai R² sebesar 0.9334 menegaskan bahwa model mampu menjelaskan 93.34% variasi dalam data IKG. Selain itu, nilai Root Mean Square Error (RMSE) yang sangat kecil (0.0313) menunjukkan bahwa rata-rata kesalahan prediksi model sangat rendah.

4.6.2 Peta Prediksi Spasial

Peta ini menampilkan nilai IKG hasil prediksi model SDEM untuk setiap wilayah di Jawa Barat.

Gambar 4.4. Peta Sebaran Prediksi IKG Berdasarkan Model SDEM

Peta prediksi pada Gambar 4.4 menunjukkan pola spasial yang sangat mirip dengan peta data aktual (Gambar 4.1). Model berhasil memprediksi bahwa wilayah dengan IKG tinggi terkonsentrasi di bagian barat dan selatan, seperti Bogor, Depok, dan Cianjur. Sementara itu, wilayah dengan IKG lebih rendah diprediksi berada di kawasan pesisir utara. Kesamaan pola ini kembali menegaskan keandalan model dalam menangkap dinamika spasial ketimpangan gender.

4.6.3 Peta Residual Spasial

Peta residual menampilkan selisih antara nilai IKG aktual dan nilai prediksi (error) untuk setiap wilayah. Peta ini berguna untuk mengidentifikasi di mana model cenderung over-predict (memprediksi terlalu tinggi) atau under-predict (memprediksi terlalu rendah).

Gambar 4.5. Peta Sebaran Residual Spasial Model SDEM

Dari Gambar 4.5, sebaran residual tampak acak dan tidak membentuk pola klaster yang jelas. Ini adalah indikasi yang baik, menunjukkan bahwa model telah berhasil menangkap sebagian besar dependensi spasial dalam data.

  • Wilayah Merah (Residual Positif): Ini adalah wilayah di mana model under-predict atau memprediksi nilai IKG lebih rendah dari kenyataannya. Contohnya adalah di wilayah Sumedang dan Purwakarta

  • Wilayah Biru (Residual Negatif): Ini adalah wilayah di mana model over-predict atau memprediksi nilai IKG lebih tinggi dari kenyataannya. Contohnya terlihat di wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bekasi.

Bab 5. Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan

Analisis spasial terhadap Indeks Ketimpangan Gender (IKG) di Provinsi Jawa Barat menunjukkan sebuah anomali yang menarik. Secara statistik global, sebaran ketimpangan gender tidak menunjukkan pola pengelompokan yang signifikan dan cenderung acak. Namun, analisis yang lebih mendalam pada tingkat lokal berhasil mengidentifikasi adanya kantong permasalahan yang terkonsentrasi secara geografis. Terungkap sebuah klaster High-High (hot spot) yang signifikan secara statistik, mencakup wilayah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, dan Kota Depok. Temuan ini menegaskan bahwa meskipun masalah ketimpangan gender tidak merata di seluruh provinsi, terdapat wilayah-wilayah tertentu yang menjadi pusat dari tingginya tingkat ketimpangan dan dikelilingi oleh tetangga dengan kondisi serupa.

Pemodelan ekonometrika spasial lebih lanjut mengonfirmasi kompleksitas fenomena ini, di mana Model Spatial Durbin Error (SDEM) terbukti menjadi yang paling unggul dalam menjelaskan dinamika IKG. Terpilihnya model ini tidak hanya menegaskan keberadaan dependensi spasial, tetapi juga menunjukkan bahwa ketimpangan gender di suatu wilayah dipengaruhi oleh efek limpahan (spillover) dari kondisi sosial-ekonomi di wilayah tetangganya, serta adanya faktor-faktor tak teramati yang juga memiliki pola spasial.

Dari model terbaik tersebut, teridentifikasi tiga faktor kunci yang secara signifikan membentuk tingkat ketimpangan gender di Jawa Barat. Pertama, akses terhadap kesehatan reproduksi menjadi faktor krusial, di mana tingginya proporsi kelahiran di luar fasilitas kesehatan terbukti meningkatkan IKG. Kedua, pendidikan menjadi pilar utama kesetaraan, dengan peningkatan rata-rata lama sekolah perempuan secara signifikan mampu menekan tingkat ketimpangan. Terakhir, pemberdayaan di ranah politik juga memegang peranan penting, di mana peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen terbukti efektif dalam menurunkan IKG.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, berikut adalah beberapa saran yang dapat diajukan:

5.2.1 Saran Kebijakan

  1. Intervensi Kebijakan Berbasis Spasial: Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebaiknya tidak menerapkan kebijakan kesetaraan gender yang seragam di seluruh wilayah. Perhatian dan alokasi sumber daya khusus perlu difokuskan pada wilayah hot spot (Bogor, Kota Bogor, dan Depok) untuk mengurai akar masalah ketimpangan gender yang tinggi di area tersebut.

  2. Penguatan Akses dan Kualitas Layanan Kesehatan Ibu: Mengingat kuatnya pengaruh faktor kesehatan reproduksi, pemerintah daerah perlu memprioritaskan program yang meningkatkan akses dan kualitas fasilitas kesehatan untuk ibu melahirkan. Kebijakan ini tidak hanya akan memperbaiki indikator kesehatan tetapi juga secara langsung mengurangi ketimpangan gender.

  3. Mendorong Pendidikan Tinggi bagi Perempuan: Program beasiswa, afirmasi, dan kampanye untuk mendorong perempuan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi harus terus digalakkan, karena terbukti efektif dalam menekan angka IKG.

  4. Kerja Sama Antarwilayah: Adanya efek spillover menunjukkan bahwa masalah ketimpangan gender tidak dapat diselesaikan oleh satu kabupaten/kota secara mandiri. Diperlukan forum koordinasi dan program kerja sama antarwilayah, terutama dalam hal pelayanan kesehatan dan pemberdayaan perempuan, agar kebijakan di satu daerah dapat memberikan dampak positif bagi daerah tetangganya.

5.2.2 Saran untuk Penelitian Selanjutnya

  1. Analisis Kualitatif Mendalam: Melakukan studi kualitatif (wawancara, studi kasus) di wilayah hot spot dan cold spot untuk memahami konteks sosial, budaya, dan historis di balik angka statistik. Hal ini juga dapat membantu menjelaskan temuan yang kontra-intuitif.

  2. Penggunaan Data Panel: Penelitian ini bersifat cross-sectional pada satu titik waktu. Penelitian di masa depan disarankan menggunakan data panel (multi-tahun) untuk menganalisis bagaimana pola spasial dan pengaruh variabel-variabel ini berubah dari waktu ke waktu.

  3. Eksplorasi Variabel Lain: Menambahkan variabel lain yang berpotensi memengaruhi IKG, seperti alokasi anggaran responsif gender (ARG) di tingkat pemda, tingkat kek

Lampiran

https://drive.google.com/drive/folders/1W8qR6MolFIzOCn4ntqUVbz6VbkINCvWh?usp=drive_link

https://raymondemmanuel.shinyapps.io/DashboardSpasialIKGJabar/

Daftar Pustaka

  1. Badan Pusat Statistik (BPS). (2024a). Indeks Ketimpangan Gender (IKG) menurut Provinsi dan Kabupaten/Kota.

  2. Badan Pusat Statistik (BPS). (2024b). Proporsi perempuan pernah kawin (15–49 tahun) yang melahirkan anak pertama kali berumur kurang dari 20 tahun menurut Kabupaten/Kota.

  3. Badan Pusat Statistik (BPS). (2024c). Proporsi perempuan pernah kawin (15–49 tahun) yang pernah melahirkan anak lahir hidup dalam 2 tahun terakhir tidak di fasilitas kesehatan menurut Kabupaten/Kota.

  4. Badan Pusat Statistik (BPS). (2024d). Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja menurut Kabupaten/Kota (Persen), 2024.

  5. Badan Pusat Statistik (BPS). (2024e). Persentase penduduk usia 25 tahun ke atas dengan pendidikan SMA ke atas menurut jenis kelamin (Persen), 2024.

  6. Badan Pusat Statistik (BPS). (2024f). Keterlibatan perempuan di parlemen menurut Provinsi dan Kabupaten/Kota.

  7. Badan Pusat Statistik (BPS). (2025). Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Indonesia Konsisten Mengalami Penurunan Menjadi 0,421, Menunjukkan Perbaikan dalam Kesetaraan Gender. Siaran Pers, 5 Mei 2025.

  8. Larashati. (2022). Ketimpangan Dan Peningkatan Kesetaraan Gender Dalam Sdgs ( Sustainable Development Goals ). Jurnal Sains Edukatika Indonesia, 4(2), 55–61.

  9. Jewaru, D. H. S., & Meilawijaya, A. (2024). PENGARUH KETIMPANGAN GENDER TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI (Studi Pada Kabupaten/Kota di Nusa Tenggara Timur). Jurnal Statiska Terapan, 4(2), 55–68.

  10. Biostatistik, J., Kesehatan, I., Riznawati, A., Yudhistira, D., Eryando, T., Riznawati, A., Yudhistira, D., Rahmaniati, M., Sipahutar, T., & Eryando, T. (2022). Autokorelasi Spasial Prevalensi Stunting di Jawa Barat Tahun 2021. Jurnal Biostatistik, Kependudukan, Dan Informatika Kesehatan, 3(1). https://doi.org/10.7454/bikfokes.v3i1.1035

  11. Nurjanah, N. (2015). Pengaruh Guru Dan Pendidikan Kewarganegaraan Terhadap Kesadaran Gender Siswa Kelas Xi Sman I Sindang Indramayu. Sinau: Jurnal Ilmu Pendidikan Dan Humaniora, 1(1), 1–22.